Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH FIQH DAN USHUL FIQH

KAIDAH-KAIDAH FIQIYAH

OLEH:

Zulfahmi Maryadi

PEROGRAM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY

BANDA ACEH

2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji  syukur  kami  panjatkan  kehadirat  Allah  swt., karena  atas  limpahan  rahmat  dan 
karunia–Nya lah  sehingga  kami  dapat  menyelesaikan  makalah ini  sesuai  waktunya.
Kami  mencoba  berusaha  menyusun  makalah ini  sedemikian  rupa  dengan  harapan 
dapat  membantu  pembaca  dalam  memahami  mata kuliah Fiqh Ushul FIqh yang  merupakan 
judul  dari  makalah kami yaitu Kaidah-kaidah Fiqiyah, kami  berharap  bahwa   makalah ini 
dapat  dijadikan  bekal  pengetahuan  untuk  pengetahuaan kita  yang  lebih  tinggi  lagi tentang
pajak.
          Kami  menyadari  bahwa  didalam  pembuatan  makalah  ini  masih  ada  kekurangan 
sehingga  kami  berharap  saran  dan  kritik  dari  pembaca  sekalian  khususnya  dari  dosen mata
kuliah Fiqh Ushul Fiqh agar  dapat  meningkatkan  mutu  dalam  penyajian  berikutnya. Akhir 
kata  kami  ucapkan  terima  kasih.

Banda aceh, 11 November 2020

Penulis
BAB I

Pendahuluan

1.Latar Belakang
Dalam sebuah alinea kitab al-Madkhal al-Fiqhi, karya Dr. Musthafa az- Zarqa` (w. 1375
H) menulis: “seandainya kaidah fiqih tidak ada, maka hukum-hukum fiqih akan tetap menjadi
cecaran-cecaran hukum yang secara lahir saling bertentangan satu sama lain.”
Mustafa az-Zarqa benar, sebab apabila kita terus-menerus berkutatmempelajari hukum-
hukum fiqih secara parsial (sepotong-sepotong), maka kitaakan merasakan adanya kontradiksi
antara satu hukum dengan hukum lainnya. Kitasering dibuat bingung saat mempelajari
persoalan-persoalan hukum yangkarakternya sama tetapi ketentuan hukumnya berbeda.
Salah satu solusi untuk mengurai benang kusut itu adalah denganmengetahui substansi
dan esensi hukum-hukum syari’at. Jadi, selain kita mempelajari hukum-hukum yang sudah jadi,
kita juga dituntut untuk menguasai pangkal persoalan atau substanti hukumnya. Caranya adalah
degan mempelajarikaidah fiqih, baik kaidah ushuliyah maupun kaidah fiqhiyyah. Dengan kedua
kaidah tersebut nilai-nilai esensial syari’at terurai dengan sangat lugas, logis, tuntas,dan rasional.
2.Rumusan Masalah
a.Pengertian Kaidah-Kaidah Fiqiyah
b.Macam-macam Kaidah Fiqiyah
c.Perbedaan Kaidah Fiqiyah Dan Ushuliyah
BAB II

Pembahasan

1. Pengertian Kaidah Fiqiyah


Kata Qai’dah fiqhiyah terdiri dari dua kata yakni qa’idah dan fiqhiyyah.Qa’idah kata
mufrad yang jama’nya qawa’id menurut bahasa berarti dasar atau asas.Dan kata fiqhiyyah
berasal dari kata fiqh, yang berarti faham, yang menurut istilah berarti kumpulan hukum-hukum
syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukalaf,yang dikeluarkan dari dalil-dalil yang
terperinci.
Qawaid fiqhiyah berasal dari bahasa arab yang terdiri dari dua suku kata, yaitu Qawaid
dan fiqhiyah.Qawaid adalah bentuk jama’ dari kata qa’idah yang secara etimologi berarti dasar
ataufondasi (al-asas). Jadi qawaid berarti dasar-dasar sesuatu. Ada dasar atau fondasi yang
bersifat hissin(kongkrit, bias dilihat) seperti dasar atau fondasi rumah, dan ada juga yang bersifat
ma’nawi (abstrak,tak bias dilihat) seperti dasar-dasar agama.Secara terminologi, al-Taftazani
mendefinisikan qa’idah dengan “hukum yang bersifat universal dan dapat diterapkan pada
seluruh bagian-bagiannya, yang mana persoalan-persoalan bagian tersebut dapat dikenali
darinya.”Sedangkan al-jurjani dengan lebih sederhana mendefinisikan qa’idah sebagai proposisi/
peristiwa (qodhiyyah) universal yang dapat diterapkan pada seluruh bagian- bagiannya.
Sedangkan fiqhiyah berassal dari kata fiqh yang ditambah ya nisbah, gunanya
untukmenunjukkan jenis. Secara etimologi, kata fiqh berasal dari kata fiqhan yang merupakan
madzhar dari fi’il madhi faqiha yang berarti paham. Selain itu, fiqh juga dimaknai sebagai
pemahaman mendalamyang untuk sampai padanya diperlukan pengerahan pemikiran secara
sungguh-sungguh. Oleh sebab itu, pemahaman disini tidak hanya pemahaman secara lahir, tetapi
secara batin.
Berdasarkan definisi-definisi diatas, maka ulama terbagi dua dalam memaknai qawa’id
fiqhiyyah. Bagi ulama yang memandang bahwa qawa’id fiqhiyyah bersifat aghlabi, mereka
beralasan bahwa realitanya memang qawa’id fiqhiyyah memiliki pengecualian, sehingga
penyebutan kulli terhadap Qawa’id fiqhiyyah menjadi kurang tepat. Sedang bagi ulama yang
memandang qawaid fiqhiyyah sebagai besifat kulli , mereka beralasan pada kenyataan bahwa
pengecualian yang terdapat pada qawa’id fiqhiyyah tidaklah banyak. Disamping itu, mereka juga
beralasan bahwa pengecualian(al-istitsna’) tidak memiliki hukum , sehingga tidak mengurangi
sifat kulli pada qawa’id fiqhiyyah.
2. Macam-macam Kaidah Fiqhiyah
Kaidah-kaidah fiqhiyah merupakan kaidah-kaidah yang disimpulkan dari dalil-dalil Al-
Qur'an dan As-Sunnah mengenai hukum-hukum fiqih. Dengan demikian, kaidah-kaidah fiqih ini
adalah rumusan para ulama' setelah mereka melakukan istiqra' (observasi) terhadap dalil-dalil
Al-Qur'an dan Al-Sunnah mengenai berbagai hukum fiqih. Terdapat banyak sekali kaidah
fiqhiyah. Namun, kaidah-kaidah yang asasi ada lima, biasa disebut sebagai al-qawa'id al-fiqhiyah
al-khams atau al-qawa'id al-fiqhiyah al-kubra. Berikut ini ringkasan mengenai lima kaidah
fiqhiyah tersebut.
a. Perkara tergantung pada tujuannya
Diantara dalilnya adalah sabda Rasulullah saw: "Sesungguhnya amalan itu hanya
tergantung pada niatnya." Dalam hal ini, amalan tergantung kepada niat dalam hal: 1)
diterima tidaknya amalan oleh Allah tergantung pada niatnya, apakah ikhlas karena Allah
ataukah tidak, 2) amalan mubah bernilai ibadah ataukah tidak, 3) untuk membedakan
perbuatan biasa (adat) dengan ibadah, 4) untuk membedakan ibadah yang satu dengan
ibadah yang lainnya.
Contoh penerapan kaidah ini untuk membedakan perbuatan biasa dengan ibadah:
1) Duduk di masjid bisa jadi sekadar untuk beristirahat atau dengan tujuan untuk i'tikaf,
tergantung niatnya.
2) Memberi harta kepada orang lain bisa jadi untuk zakat, atau kafarah, atau sekadar
sedekah biasa, tergantung niatnya.
3) Menyembelih binatang bisa jadi untuk ibadah kurban, atau aqiqah, atau sekadar untuk
makan-makan biasa, tergantung niatnya.
Contoh penerapan kaidah ini untuk membedakan ibadah yang satu dengan ibadah yang
lainnya:
1) Sholat empat rakaat bisa jadi sholat zhuhur atau sholat asar, tergantung niatnya.
2) Sholat dua rakaat di waktu shubuh bisa jadi sholat shubuh atau sholat sunnah sebelum
shubuh, tergantung niatnya.
3) Puasa bisa jadi puasa qadha' atau puasa sunnah, tergantung niatnya.
b. Keyakinan tidak hilang oleh keraguan, atau: keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh
keraguan
Diantara dalilnya adalah hadits tentang orang yang ragu-ragu apakah telah buang
angin dalam sholatnya, dimana Rasulullah saw bersabda: "Hendaknya ia tidak
meninggalkan (membatalkan) sholatnya sampai ia mendengar suara atau mendapati bau
(dari kentutnya)."
Juga hadits Rasulullah saw dari Abu Sa'id Al-Khudri: "Jika salah seorang kalian
ragu-ragu dalam sholatnya dan dia tidak tahu apakah dia sudah sholat tiga atau empat
rakaat, maka hendaklah dia buang keraguannya dan menetapkan hatinya atas apa yang ia
yakini."
Contoh penerapan kaidah ini adalah sebagaimana yang disebutkan dalam kedua
hadits diatas.
c. Kesempitan mendatangkan kemudahan
Diantara dalilnya adalah firman Allah Ta'ala: ‫"ي ُِري ُد اللَّـهُ بِ ُك ُم ْاليُ ْس َر َواَل ي ُِري ُد بِ ُك ُم ْال ُع ْس َر‬Allah
menginginkan kemudahan buat kalian dan tidak menginginkan kesulitan buat kalian."
ٍ ‫" َو َما َج َع َل َعلَ ْي ُك ْم فِي الدِّي ِن ِم ْن َح َر‬Dan tidaklah Allah jadikan atas
dan juga firman Allah Ta'ala: ‫ج‬
kalian dalam agama ini suatu kesukaran."
َّ ‫" بعثت بالحنيفيــة‬Sesungguhnya aku
Kemudian juga sabda Rasulullah saw: ‫الس ـ ْم َحة‬
diutus dengan membawa agama yang lurus dan mudah (lapang)." dan juga sabda
Rasulullah saw: ‫" يسروا وال تعسروا‬Permudahlah dan jangan mempersulit."
Contoh dari kaidah ini adalah berbagai macam rukhshah (kemudahan) dalam
ibadah bagi mereka yang memiliki kesempitan atau kesulitan, seperti sholat qashar bagi
musafir, sholat dengan duduk atau berbaring bagi orang yang sakit, qadha' puasa bagi
musafir dan yang sakit, dan membayar fidyah bagi orang yang sudah tidak lagi sanggup
berpuasa.
d. Kemudharatan hendaknya dihilangkan
Diantara dalilnya adalah sabda Rasulullah saw:‫" ضـــرر وال ضـــرار ال‬Janganlah
memberikan madharat kepada orang lain dan juga diri kalian sendiri."
Diantara contoh penerapan kaidah ini adalah:
1) Haramnya makanan yang diharamkan menjadi hilang jika seseorang tidak
mendapati satu makanan pun kecuali itu dan jika ia tidak memakannya maka ia
akan mati.
2) Seseorang yang dipaksa untuk mengucapkan kalimat kekafiran dibawah ancaman
yang nyata diperbolehkan untuk mengucapkan kalimat tersebut asalkan hatinya
masih mantap dalam keimanan.
e. Adat/kebiasaan bisa dijadikan landasan hukum
Diantara dalilnya adalah sabda Rasulullah saw: "Apa yang kaum muslimin
menganggapnya baik maka ia di sisi Allah juga baik."
Contoh penerapan kaidah ini adalah penetapan masa haidh, kadar nafkah, kualitas
bahan makanan untuk kafarah, dan sahnya akad jual beli tanpa ucapan eksplisit "aku jual"
dan "aku beli" dalam sistem jual beli modern.
3. Perbedaan Kaidah Fiqhiyah dan Kaidah Ushuliyah
Kaidah ushul pada hakikatnya adalah qa’idah istidlaliyah yang menjadi wasilah para
mujtahid dalam istinbath (pengambilan) sebuah hukum syar’iyah amaliah. Kaidah ini menjadi
alat yang membantu para mujtahid dalam menentukansuatu hukum. Dengan kata lain, kita bisa
memahami, bahwa kaidah ushul bukanlah suatu hukum, ia hanyalah sebuah alat atau wasilah
kepada kesimpulan suatu hukum syar’i. Sedangkan, kaidah fiqih adalah suatu susunanlafadz
yang mengandung makna hukum syar’iyyah aghlabiyyah yangmencakup di bawahnya banyak
furu’. Sehingga kita bisa memahami bahwakaidah fiqih adalah hukum syar’i. Dan kaidah ini
digunakan sebagai istihdhar(menghadirkan) hukum bukan istinbath (mengambil) hukum
(layaknya kaidah ushul). Misalnya, kaidah ushul “al-aslu fil amri lil wujub” bahwa asal dalam
perintah menunjukan wajib. Kaidah ini tidaklah mengandung suatu hukum syar’i. Tetapi dari
kaidah ini kita bisa mengambil hukum, bahwa setiap dalil(baik Qur’an maupun Hadits) yang
bermakna perintah menunjukan wajib.Berbeda dengan kaidah fiqih “al-dharar yuzal” bahwa
kemudharatan mesti dihilangkan. Dalam kaidah ini mengandung hukum syar’i, bahwa
kemudharatan wajib dihilangkan.
Kaidah ushul dalam teksnya tidak mengandung asrarus syar’i (rahasia-rahasia syar’i)
tidak pula mengandung hikmah syar’i. Sedangkan kaidah fiqih dari teksnya terkandung kedua
hal tersebut.
Kaidah ushul kaidah yang menyeluruh (kaidah kulliyah) dan mencakup seluruh furu’ di
bawahnya. Sehingga istitsna’iyyah (pengecualian) hanya ada sedikit sekali atau bahkan tidak ada
sama sekali. Berbeda dengan kaidah fiqih yang banyak terdapat istitsna’iyyah karena itu
kaidahnya kaidah aghlabiyyah(kaidah umum).
Perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqih pun bisa dilihat dari maudhu’nya (objek).
Jika Kaidah ushul maudhu’nya dalil-dalil sam’iyyah.Sedangkan kaidah fiqih maudhu’nya
perbuatan mukallaf, baik itu pekerjaanatau perkataan. Seperti sholat, zakat dan lain-lain.
Kaidah-kaidah ushul lebih umum dari kaidah-kaidah fiqh.
Kaidah Ushuliyah diperoleh secara deduktif, sedangkan fiqhiyah secarainduktif. Kaidah
ushuliyah merupakan mediator untuk meng-istinbath-kan hukum syara’ amaliyah, sedangkan
kaidah fiqhiyah adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa diikat oleh kesamaan ‘illat atau
kaidah fiqhiyah yang mencakupnya dan tujuannya taqribu al-masa’il – alfiqhiyawa tashiliha.
BAB III
Penutup
1. Kesimpulan
Qawaidul fiqhiyah adalah suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada
semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yangdengannya diketahui hukum-
hukum cabang itu.
Qawaid ushuliyah adalah hukum kulliyah (umum) yang dibentuk dengan bentuk yang
akurat yang menjadi perantara dalam pengambilan kesimpulan fiqhdari dalil-dalil, dan cara
penggunaan dalil serta kondisi pengguna dalil.
Dengan berpegang kepada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasalebih mudah
dalam menginstinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni denganmenggolongkan masalah
yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.

Anda mungkin juga menyukai