Anda di halaman 1dari 22

QA’IDAH FIQHIYYAH KEDUA

(KEYAKINAN ITU TIDAK BISA DIHILANGKAN DENGAN KERAGUAN)


Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Qawa’id Fiqhiyyah
Dosen Pengampu :
Dr. Ahmad Sudirman Abbas, M. Ag.

Disusun Oleh :
Meriana Sabela 11220430000037
Muhamad Prayogi 11220430000123
Riefat Ariq Az-zufar 11220430000073
Fatih Zein 11220430000082
Satria Al-Fath 11220430000031

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2023 M

I
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum WR. WB
Puja-puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang mana telah
memberikan kita nikmat yang luar bisa sehingga makalah ini bisa terselesaikan tepat pada
waktunya.

Makalah yang membahas “Qa’idah Fiqhiyyah kedua (KEYAKINAN ITU TUDAK BISA
DIHILLANGKAN DENGAN KERAGUAN)” disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Qawaidah Fiqhiyyah

Penulis berharap makalah ini dapat menambah wawasan ilmu dan pengetahuan tentang
qawaid fiqhiyyah “keyakinan tidak bisa dihilamgkan dengan keraguan”. Penulis juga
sepenuhnya menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dan banyaknya kekurangan.
Oleh sebab itu penulis mengharapakan saran dan kritik yang bersifat membangun dari para
pembaca terkhusus dosen pengampu mata kuliah qawa’idah fiqhiyyah, guna penyempurnaan
makalah yang akan kami buat dimasa yang akan datang.

Tangerang Selatan, 2023

Penulis

II
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ II


DAFTAR ISI ...................................................................................................................... III
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 1
C. Tujuan Pembahasan ................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 3

A. Dalil Dan Sumber pembentukan ............................................................................. 3


B. Pengertian Qa’idah.................................................................................................. 4
C. Qa’idah Furu’ .......................................................................................................... 9

BAB III PENUTUP .......................................................................................................... 18


A. Kesimpulan ............................................................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 19

III
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Qawaid fiqhiyyah adalah kata majemuk yang terbentuk dari 2 kata yaitu, kata
qawaid dan kata fiqhiyyah, kedua kata itu memiliki pengertian sendiri. Secara
etimologi, kata “qaidah” jamaknya “qawaid” berarti asas, dasar, landasan, atau
fondasi sesuatu baik yang bersifat konkret, materi atau inderawi.
Qawaid fiqhiyyah atau kaidah-kaidah fiqh yaitu kaidah-kaidah yang bersifat
umum (kulli)yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih terperinci menjadi
beberapa kelompok yang pula merupakan kaidah atau pedoman yang memudahkan
dalam mengistinbathkan (menyimpulkan) hukum bagi suatu masalah yaitu dengan cara
menggolongkan masalah-masalah yang serupa dengan suatu kaedah.
Para fuqoha pada umumnya memberikan pengertian bahwa yang dimaksud
dengan kaidah fiqhiyyah ialah hukum kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada
semua bagian-bagiannya atau cabang-cabangnya. Dari pengertian di atas dapat
diketahui bahwa setiap qaidah fiqhiyyah telah mengatur dan menghimpun beberapa
banyak masalah fiqh dari berbagai bab dan juga diketahui bahwa para fuqoha’ telah
benar-benar mengembalikan masalah-masalah hukum fiqh kepada kaidah-kaidahnya.
Maka, Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah sesuatu yang sangat
penting dan menjadi kebutuhan bagi kaum Muslim. Akan tetapi tidak sedikit orang
yang kurang memahami tentang hal ini, untuk itu perlu kiranya bagi kaum muslim
untuk mempelajari dan mengkaji ulang ilmu ini. Dengan menguasai kaidah-kaidah
fiqih seorang muslim akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqih, karena
kaidah fiqih itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqih. Selain itu juga akan
menjadi lebih arif dalam menerapkan fiqih pada waktu dan tempat yang berbeda untuk
kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan.
Dengan mempelajari kaidah fiqih, diharapkan pada akhirnya juga bisa menjadi
lebih moderat dalam menyikapi masalah-masalah politik, ekonomi, sosial, budaya
sehingga kaum muslim bisa mencari solusi terhadap masalah-masalah yang terus
muncul dan berkembang dalam Masyarakat dengan lebih baik.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian qa’idah?
2. Apa arti dari qa’idah furu’?

1
3. Apa saja dalil dan sumber pembentukan qa’idah?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian atau arti qa’idah
2. Mengetahui arti dari qa’idah furu’
3. Mengetahui dalil-dalil dan sumber pembentukan qa’idah

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dalil Dan Sumber Pembentukan


Qa’idah ini merupakan pondasi syariat islam yang kokoh. Didalamnya terdapat banyak
persoalan hukum fiqh, yang bermuara pada penghilangan kesulitan dan keberatan. Dimana,
qa’idah ini dengan tegas memposisikan keyakinan sebagai hukum asal, terlebih dalam masalah
bersuci (tharah) dan shalat. Seperti yang telah diketahui, bahwa was-was adalah penyakit yang
menyesatkan dan sulit dihilangkan, apabila sudah mencengkram seseorang maka ia akan sulit
melepaskannya sehingga ia berada dalam kesulitan yang tidak ada habisnya dan mersakan
keberatan dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban ibadah.
Demikian pula pada masalah-masalah bersuci dan shalat. Qa’idah ini menawarkan
sebuah solusi berupa kemudahan-kemudahan dan pertolongan kepada semua orang dalam
melakukan ibadah.
Qa’idah ini didasari oleh dalil-dalil nash, di antaranya apa yang diriwayatkan oleh
Imam Al-Bukhari dari ‘Abbad bin Tamim dari pamannya, bahwa ada seorang anak laki-laki
mengadu pada kepada Rasulullah, di mana ia meragukan dan menduga-duga ada sesuatu
Ketika sedang shalat, maka Rasulullah menjawab :
‫الينفتل او ال ينصرف حتّى يسمع صوتا أو يجد ريحا‬

“Jangan pergi (pindah) jangan membubarkan diri dari shalat sampai mendengarkan suara
(angin keluar) atau mencium bau”

Hadits yang sama diriwayatkan dari Abdillah Bin Zayid. Senada dengan substansi
hadits ini, namun dalam redaksi yang berbeda, yaitu hadits ini diriwayatkan Abu Hurairah :
‫إذا وجد أحدكم في بطنه شيئا فأ شكل عليه أخرج منه شيء ام ال ؟ فل يخرجن من المسجد حتى‬
‫يسمع صوتا أو يجد ريحا‬
“Apabila salah satu darimu mendapati sesuatu, kemudian ia ragu, adakah sesuatu (angin)
yang keluar dari dirinya atau tidak ?. maka jangan keluar atau membubarkan diri dari masjid
sampai ia mendengarkan suara, atau mencium bau”

Mengomentari hadits ini, Imam An-Nawawi mengatakan :


Hadits ini merupakan salah satu legitimasi dari dasar-dasar hukm islam, dan banyak bentuk
ungkapannya menyerupai sebuah qa’idah universal. Bahwa segala sesuatu dihukumi dengan

3
ketetapan atau keberadaan awalnya, sampai ada keyakinan yang bisa mengugurkannya.
Apabila yang datang hanyalah sebuah keraguan, bbukan keyakinan, maka tidak bisa
mengugurkan dari keberadaan awalnya (hukum asal).

Hadits ini merupakan dalil yang dijadikan sandaran oleh para ahli ulama fiqh dalam
mencetuskan qa’idah tentang keyakinan dan keraguan. Tampak dengan jelas dalam hadits ini,
bahwa perasaaan ragu-ragu sama sekali tidak bisa mempengaruhi sahnya shalat. Shalat akan
terus dihukumi sah, selama belum ada keyakinan hilangnya suci (hadats).

Hadits-hadits diatas tidak hanya berlaku pada persoalan-persoalan thaharah dan shalat
saja, melaikan juga bisa berlaku pada semua persoalan fiqh yang memiliki titik persamaan
dengan permasalahan yang termuat dalam hadits-hadits tersebut, yaitu dengan jalan meng-
analogikan (qiyas).

Pada qa’idah al-yaqin la yuzalu bi al-syak Imam An-Nawawi berpendapat “qa’idah ini
berlaku menyeluruh pada semua persoalan fiqh, kecuali beberapa masalah saja”. Ketika
qa’idah diatas telah menjadi qa’idah yang asasi dan tidak ada celah bagi mujtahid untuk tidak
menggunakannya saat melakukan penggalian hukum, maka Sebagian ulama ushul tertarik juga
untuk menuturkannya dalam kitab-kitab mereka. Hali itu terlihat dari pernyataan Imam al-‘Alai
Ketika menjelaskan qa’idah ini, ia mengatakan :

“substansi yang terkandung dalam qa’idah ini juga menjadi penentu (pertimbangan) dalam
menggali dan menggunakan dalil-dalil. Secara hukum asal, lafal itu menunjukan arti hakikat,
perintah (al-amru) menunjukan arti wajib dan larangan (al-nahi) menunjukan arti larangan.
Semuanya tidak akan keluar dari hukum asalnya kecuali ada dalil tertentu yang menuntut
dialihkannya arti lafal tersebut dari arti aslinya”.

B. Pengertian Qa’idah
Agar bisa memahami qa’idah ini secara detail dam mengetahui seberapa jauh jangkauannya
dalam mengahadapi persoalan-persoalan fiqh islam, maka sebelum djelaskan pengertian
qa’idah fiqh ini, baik dari segi etimologis dan terminologis, terlebih dahulu harus mengetahui,
bahwa tingkat daya hati dalam menangkap sesuatu (idrak) selalu berbeda-beda. Perbedaan
tersebut dapat dilihat dalam empat terminologi yaitu :

1. Al-Yakin

4
Al-Yakin secara bahasa menurut Al-Jauhari adalah “menegtahui dan hilangnya keraguan,
misal lafal : ‫ يقنت وتيقنت واستيقنت وايقنت االمريقنا‬semuanya menggunakan satu arti, yaitu
mengetahui dan menghilangnya keraguan.
Menurut Ibnu Mandzur, “Al-yakin adalah mengetahui, menyingkirkan keraguan, dan
membuktikan kebenaran masalah (verivikasi masalah). Al-yakin merupakan kebalikan dari Al-
syak.
Al-yaqin secara Bahasa berbeda dengan Al-ilmu, meskipun bisa saja dikatakan Al-yaqin
adalah pengetahuan (Al-ilmu) yang tidak disertai keraguan, atau bisa saja dikatakan sebagai
sifat ilmu, seperti ungkapan “ilmu Al-yaqin” dan tidak ada yang mengucapkan “ma’rifatu
yaqin”. Abu Hilal Al-Askari mencoba membedakan antara keduanya, ia mengatakan :
“Al-ilmu adalah meng-iktiqadi sesuatu secara kuat berdasarkan apa adanya, sedang Al-
Yakin adalah tenang (menerima)nya hati terhadap sesuatu yang diketahui. Oleh karenanya
tidak diperbolehkan mensifati Allah dengan Al-Yakin. Yang jelas mereka (para ulama)
memposisikan Al-yakin sebagai kebalikan dari al-syak, mereka mengatakan ‘syak wa yakin’
dan tidak menucapkan ‘syak wa ‘ilmu’. Terbukti ilmu (pengetahuan) yang ada dalam diri kita
disebut ‘keyakinan’, karena keberdaannya memang bisa menghilangkan ‘keraguan’
Untuk membuktikan suatu keyakinan tidak disyaratkan harus ada pengakuan dan
pembenaran. Keyakinan bisa saja ditemukan Bersamaan adanya pengingkaran dan penolakan,
seperti firman Allah :

َ‫عاقِبَةُ ْال ُم ْف ِس ِديْن‬


َ َ‫ْف َكان‬
َ ‫ظ ْر َكي‬ ُ ‫ظ ْل ًما َّو‬
ُ ‫علُ ًّوا فَا ْن‬ ُ ‫س ُه ْم‬
ُ ُ‫َو َج َحد ُْوا ِب َها َوا ْستَ ْيقَنَتْ َها اَ ْنف‬

“dan mereka mengingkari karena kezaliman dan kesombongan (meraka) padahal hati mereka
meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan/akibat orang-orang
yang berbuat kerusakan” (An-Naml : 14)

Pengertian Al-yakin secara lebih jelas diungkapkan oleh Ali Haidar :

ّ
‫اوظن الغالب بوقوع الشيءاوعدم وقوعه‬ ‫حصول الجزم‬

“tercapainya kemantapan atau dugaan kuat atas terjadinya sesuatu, atau atas tidak
terjadinya sesuatu”

Sebagian ulama mendefinisikannya :

‫هوعلم الشيءالمستتر عن نظرواستدالل‬

5
“al-yakin adalah mengetahui sesuatu yang tersimpan berdasarkan penalaran dan pencarian
adil”

Sampai disini bisa disimpulkan, bahwa Al-yakin adalah bentuk penetapan dan
penenangan atas hakikatnya sesuatu sekiranya tidak tersisa lagi keraguan. Maksudnya adalah,
bahwa keyakinan yang ada (lebih dulu) tidak bisa dihilangkan oleh keraguan yang baru datang,
dan keyakinan semacam ini tidak bisa dihilangkan kecuali dengan keyakinan yang sesamanya.

2. Ghalabah Al-Dzan

Ghalabatu al-dzan menurut Abu Hilal al-'Asykari adalah, "Dugaan tetap, yaitu
mendominasinya salah satu di antara dua perkara atas lainnya dengan dominasi muthlak, dan
lainnya dikesampingkan, karena terlalu lemah". Hampir senada dengan definisi ini
diungkapkan oleh Abd al-Aziz Muhammada 'Azam, "Ghalabatu al-dzan adalah
mendominasinya salah satu dari dua kemungkinan atas lainnya, seiring dengan tenang
(menerima)nya hati pada sisi yang lebih mendomonasi". Pengertian ghalabatu al-dzan secara
lebih jelas akan banyak disinggung dalam pembahasan al-syak.

Menurut para pakar fiqh, hukum ghalabatu al-dzan adalah sama dengan al-yakin.
Dengan kata lain, bagi seorang mujtahid boleh mencetuskan hukum fiqh dengan hanya
berlandaskan pada ghalabatu al-dzan ketika tidak ditemukan al-yakin, karena al-yakin dalam
proses mencari dalil (istidlal) dan menggali hukum (istinbath al-hukmi) adalah hal yang sulit
dan jarang sekali bisa dicapai oleh seorang mujtahid.

Gahalabatu al-dzan bisa digambarkan ketika seseorang dihadapkan pada dua


kemungkinan. Ia menduga bahwa salah satunya lebih unggul, dan hatinya condong untuk
membuang salah satu lainnya yang lemah, maka yang lebih unggul disebut ghalabatu al-dzan.

3. Al-Dzan

Menurut Imam Raghib, al-dzan adalah, "Perkara yang dihasilkan dari tanda-tanda.
Apabila tanda-tandanya kuat, maka akan menghasilkan pengetahuan (al-ilmu), dan apabila
lemah sekali, maka disebut salah duga (tawahhum)". 37 Al-Hamawi dalam kitabnya,
mendefinisikan al-dzan dengan mengatakan, "Al-dzan adalah, menduga di antara
kemungkinan dua perkara, sekiranya kemungkinan salah satunya lebih mendominasi, namun
tidak bisa mengesampingkan lainnya. Perbedaan yang lebih transparan antara al-dzan dan
ghalabatu al-dzan dikemukakan oleh Ibn Abidin, mengutip dari pernyataan para pakar fiqh :
"Apabila salah satu dari dua sisi kemungkinan itu lebih kuat dan bisa mengungguli sisi yang

6
lain, namun hati enggan untuk mengambil sisi yang kuat ini dan enggan juga untuk membuang
sisi lain yang lemah, maka dilema hati yang demikian inilah yang disebut al-dzan. Apabila hati
berpegang pada salah satunya dan mengesampingkan yang lain, maka disebut ghalabatu al-
dzan"

4. Al-Syak

Al-syak, dipandang dari sisi etimologis artinya, "menyambung" atau "melekat" ( ‫االتصال‬
‫)واللزوق‬. Pada perkembangannya, al-syak kemudian menjadi terminologi fiqh dan terkenal di
kalangan ulama fiqh dengan memiliki arti "ragu" atau "bingung". Mengutip apa yang
dinyatakan Siraju al-Din ibn al-Mulaqqin dalam kitab Al-Asybah-nya, ia mengatakan bahwa
yang dimaksud al-syak adalah, "Ragu atau bingung dalam menentukan di antara ada dan tidak
adanya sesuatu dengan sama-sama kuat".

Menurut al-Hamawi, al-syak secara bahasa artinya "ragu", sedangkan dalam


terminologi ulama ushul, “al-syak Sepadan antara dua sisi perkara‫ استواء طرفي الشيء‬yaiut
berhenti (tidak bisa menentukan) di antara dua perkara, dan hati tidak condong pada salah
satunya"

Sementara Al-Razi menjelaskan perbedaan antara al- syak, al-dzan, dan al-wahm
dengan mengatakan, "Ragu di antara dua perkara, apabila keduanya seimbang, maka disebut
al- Syak. Jika tidak seimbang, maka yang lebih unggul disebut Dzan dan yang lemah disebut
salah duga (al-wahm).

Imam al-Nawawi melihat bahwa al-syak menurut para ulama fiqh adalah, "ragu" secara
mutlak, karana tidak ada perbedaan antara keraguan yang seimbang atau yang lebih unggul.
Hal itu mengantarkan kepada sinyalemen bahwa al-syak dan al-dzan menurut para ulama fiqh
adalah sama. Pernyataan Imam al-Nawawi selengkapnya demikian :

"Perlu diketahui bahwa yang dikehendaki oleh para fuqaha dengan kata-kata "ragu
(al-syak) pada masalah air, khadats, najasah, shalat, puasa, thalaq, dan lain-lain, adalah
keraguan di antara wujudnya sesuatu dan tidak adanya. Misalnya dalam masalah air, berarti
meragukan berubah dan tidaknya air, baik adanya dua kemungkinan yang diragukan itu
seimbang atau salah satunya lebih mendominasi. Demikian ini pengertian al-syak yang
digunakan oleh para ulama dalam kitab-kitab fiqh"

Pendapat Imam al-Nawawi ini didukung oleh Ibn Nujaim. la mengatakan "Para ulama
fiqh mengkatagorikan al- dzan pada golongan al-syak, karena yang dimaksudkan oleh mereka

7
adalah 'ragu antara wujud sesuatu dan tidak adanya, baik kadar keduanya sama atau salah
satunya lebih mendominasi" Berbeda dengan para ulama ushul yang membedakan antara al-
syak dan al-dzan. Mereka mengatakan, "Meragukan antara dua kemungkinan, jika bobot
keduanya seimbang, maka disebut al-syak, dan apabila tidak seimbang, maka yang lebih
unggul disebut al-dzan, sedangkan yang lemah disebut al-wahm (salah duga).

Tampak bahwa pendapat Imam al-Nawawi dan yang senada dengannya itu tidak kuat.
Oleh karena itu, Al-Zarkasyi buru-buru mengklarifikasi pernyataan Imam al-Nawawi tersebut.
Al-Zarkasyi mengatakan :

"Al-syak secara bahasa adalah keraguan yang mutlak. Menurut terminologi ulama
ushul, al-syak adalah seimbang antara dua kemungkinan. Jika tidak seimbang, maka yang
mendominasi disebut al-dzan dan yang lemah disebut al-wahm. Adapun menurut ulama fiqh,
Imam al-Nawawi berasumsi bahwa menurut mereka yang dimaksud al-syak dalam bab-bab
fiqh sama dengan arti al-syak secara bahasa. Tidak ada beda antara kemungkinan yang
seimbang dan kemungkinan yang mendominasi, kedua- duanya disebut al-syak. Padahal
sebenarnya pendapat ini hanya mereka katakan pada bab-bab hadats, sedangkan pada bab-
bab lain, mereka membedakan antara keduanya (al-syak dan al-dzan).

Demikian pula menurut Al-Hamawi ketika mengomentari pendapat Ibn Nujaim, ia


megatakan : "Sebaiknya tidak menganggap bahwa apa yang dikatakan Ibn Nujaim adalah
pendapat para ulama fiqh secara muthlaq, agar 'tidak menggunakan al-syak pada arti sisi
yang mendominasi, ini tidak di salah pahami sama sekali".

Dalam realitasnya, ulama fiqh tidak begitu ketat memperdulikan istilah-istilah ini.
Mereka bahkan terkesan longgar, dan tidak jarang menempatkan al-dzan pada tempat al-syak,
atau sebaliknya. Sebagaimana hal ini diungkapkan di dalam kitab Kasyf al-Asrar, "Asumsi (al-
dzan) yang bertolak dari sinyalemen dalil-dalil syar'i adalah sama dengan melakukan ijtihad
dalam menggali hukum, maka asumsi yang demikian ini bisa dijadikan dasar dalam
memutuskan hukum.

C. QA'IDAH FURU'
Dari Qa'idah pokok ini kemudian lahir banyak sekali Qa'idah-Qa'idah furu',
diantaranya:

‫األصل بقاء ما كان على ما كان‬

8
"Menurut hukum asal, sesuatu itu dilihat (dihukum) menurut keberadaan awalnya secara apa
adanya".
Sesuatu yang sudah ada secara apa adanya pada masa yang telah lewat, maka hukum
pada masa berikutnya disesuaikan atau disamakan dengan keberadaan yang semula itu. Qa'idah
ini dalam term ulama ushul yang disebut "Al-istishab". Mereka mendefinisikan al-istishab
dengan arti,

"Menghukumi dengan cara menetapkan atau mentiadakan sesuatu pada masa yang sedang
berjalan atau yang akan datang, berdasarkan tetapnya sesuatu tersebut di masa-masa
sebelumnya".

Qa'idah ini menurut Muhammad 'Azam ditulis secara berbeda oleh Imam al-Suyuthi
dengan demikian:

‫ما ثبت بزمان يحكم ببقائه مالم يوجد دليل على خلفه‬

"Sesuatu yang telah menetap pada masa tertentu, maka masa berikutnya tetap dihukum
demikian, selama tidak ditemukan dalil (bukti/petunjuk) yang menentangnya".
Dalam kitab Rad al-Muhtar, sebagian Hanafiyah menambahkan Qa'idah tersebut
dengan kata-kata:

‫حتى يقوم الدليل على خلفه‬


"Sampai adanya dalil (bukti/petunjuk) yang menggugurkan".
Dikarenakan hukum asal itu apabila berhadapan dengan dalil yang menentangnya,
maka hukum asal menjadi gugur. Diantara banyak masalah yang bertautan dengan Qa'idah ini
adalah:

1. Apabila zaujah menuduh suaminya tidak memberikan nafaqah yang layak padanya,
sedangkan suami mengaku sudah memberikannya, maka yang dimenangkan adalah zaujah
dengan sumpahnya, karena menurut hukum asal, nafkah tersebut masih tetap berada pada
suami setelah ada ketetapan hukum, bahwa nafkah merupakan tanggungan wajib suami
sampai dalil yang menggugurkannya, sebagaimana ada saksi yang mengatakan sebaliknya.
2. Demikian pula dalam masalah jual beli. Umpamanya, pembeli mengaku sudah membayar
harga barang atau tsaman kepada penjual, sedang penjual mengatakan belum, maka yang
dimenangkan adalah penjual, karena menurut hukum asal tsaman tersebut masih menetap
pada pembeli setelah ada ketetapan hukum, bahwa tsaman merupakan tanggungan yang
wajib dibayarnya, sampai ada dalil yang menggugurkan.

9
‫األصل براءة الذّمة‬
"Secara hukum asal seseorang itu terbebas dari segala tanggungan".
Al-Dzimmah menurut arti bahasa adalah " janji". Sedangkan menurut istilah adalah,
"suatu sifat yang menjadikan seseorang menerima kewajiban". Artinya, apabila seseorang
melakukan suatu kasus yang kemudian melahirkan akibat yang harus ia tanggung, maka ia
wajib memenuhi tanggungan tersebut.

Contoh dari Qa'idah ini, antara lain:

1. Jika setelah rusaknya barang yang dibeli, terjadi perselisihan antara penjual (ba'i) dan
pembeli (musytari) mengenai besarnya harga. Atau setelah dimanfaatkannnya barang
sewaan, terjadi perselisihan antara orang yang menyewakan (mu'jir) dan orang yang
menyewa (musta'jir) mengenai uang sewa. Umpannya, pembeli, atau penyewa yang
mengaku bahwa harga yang telah disepakati adalah Rp. 10.000. Sedangkan penjual, atau
orang yang menyewakan mengaku bahwa harga yang telah disepakati adalah Rp. 15.000,
maka yang dimenangkan adalah perkataan musytari (pembeli) dan musta'jir (penyewa). Ba'i
dan mu'jir (orang yang menyewakan) harus menghadirkan saksi bila ingin melegitimasi
pengakuannya, yaitu pengakuan bahwa harganya adalah Rp. 15.000.
2. Jika seseorang merusakkan harta milik orang lain, kemudian keduanya berselisih mengenai
besarnya harta yang rusak. Misalnya, pemilik harta mengatakan bahwa kerugian yang ia
derita akibat kerusakan tersebut adalah Rp. 25.000. Sementara orang yang merusakkan
(mutlif) mengatakan bahwa harta yang ia rusak hanya seharga Rp. 20.000, maka dalam
kasus demikian ini yang dimenangkan adalah mutlif dengan sumpahnya, karena ia
mengingkari besarnya tanggungan dan hanya mengakui kecilnya tanggungan. Demikianlah,
secara hukum asal seseorang itu terbebas dari tanggungan sama sekali atau terbebas dari
besarnya tanggungan.
3. Apabila terjadi konflik dalam masalah ganti rugi harta yang rusak, yaitu harta yang berada
pada titipan, sewaan, pinjaman, perawatan, atau harta-harta yang disebut sebagai "harta
amanah". Di mana, menurut logika umum, ganti rugi harus dibebankan pada orang yang
merusakkan. Namun menurut Qa'idah ini yang dimenangkan adalah pendapat orang yang
dibebani ganti rugi (orang yang merusakkan), jika ia berani bersumpah. Karena menurut
hukum asal ia terbebas dari tanggungan.

‫من شك أفعل شيئا أم ال فاألصل أنه لم يفعله‬

10
"Bagi yang meragukan, adalah ia telah melakukan sesuatu atau belum? maka hukum yang
terkuat (hukum asal) adalah ia belum melakukannya".
Contoh aplikasi dari Qa'idah ini :
1. Apabila seorang mushalli (orang yang shalat) ragu dalam hal meninggalkan perkara yang
diperintahkan dalam shalat, makai a menggantinya dengan melakukan sunat sujud sahwi.
Sementara kalua ia meragukan, adakah ia telah melakukan perkara yang dilarang atau tidak,
maka tidak sunnat sujud sahwi, karena menurut hukum asal ia tidak menjalankan larangan
tersebut. Atau ia meragukan, apakah sudah membaca al-fatihah atau belum, maka hokum
asalnya asalah belum.
2. Apabila ditengah-tengah wudlu, shalat atau ibadah yang lainnya, ia ragu, adakah ia sudah
melakukan rukun atau belum, maka ia wajib mengulangi rukun tersebut. Selanjutnya
Qa'idah ini disempurnakan oleh Qa'idah ke empat dibawah ini.

‫من تيقن الفعل وشك في القليل أو الكثير حمل على القليل ألنه المتيقن‬

"Bagi yang meyakini telah melakukan suatu pekerjaan, tetapi ia ragu-ragu tentang sedikit
banyaknya pekerjaan tersebut, maka yang dianggap adalah yang sedikit, karena yang sedikit
inilah yang meyakinkan".

Pada dasarnya Qa'idah ini telah terkomodir dalam Qa'idah ke tiga, namun Qa'idah ini
berbicara pada masalah yang lebih spesifik, yaitu masalah ragu dalam hal jumlah. Diantara
contoh implementasi Qa'idah ini:

1. Mushalli meragukan jumlah rakaat yang ia lakukan, adakah masih berada pada rakaat ke
tiga atau sudah rakaat ke empat?, maka yang dimenangkan adalah yang sedikit, yaitu tiga
rakaat.
2. Orang yang berwudlu meragukan jumlah basuhan yang ia lakukan, adakah ia sudah
membasuh anggota wudlunya dua kali atau tiga kali, maka yang dimenangkan adalah yang
sedikit, yaitu dua kali.

‫إنما ثبت بيقين ال يرتفع إال بيقين‬


"Sesuatu yang menetap berdasarkan keyakinan, tidak dapat hilang kecuali dengan keyakinan
pula".
Qa'idah ini merupakan ungkapan Imam al-Syafi'i, merespon dua Qa'idah sebelumnya
yang menjelaskan, bahwa segala keraguan harus dikembalikan kepada hukum asal, karena
hukum asal adalah simbol dari keyakinan yang tidak bisa di goyahkan oleh keraguan. Namun
demikian, keyakinan bisa saja goyah apabila yang menghadapinya sama-sama keyakinan.

11
Maka, apabila seseorang meyakini telah melakukan suatu kesalahan, ia harus melakukan suatu
hal sampai ia yakin telah bisa menutup kesalahan tersebut.
Contoh pengamalan dari Qa'idah ini:

1. Orang yang yakin telah meninggalkan shalat, hanya saja ia ragu berapa jumlahnya, maka ia
harus meng-qadla' shalat yang ia tinggalkan sampai pada jumlah yang ia yakin telah
terlunasi semua.
2. Orang yang ingat dengan yakin, bahwa di antara shalat lima waktu yang ia lakukan seharian
ini, ada satu shalat yang ia lupa melakukan salah satu sujud di dalamnya, namun ia lupa
mengenai shalat apa yang ia tingggalkan salah satu sujudnya itu, makai ia harus mengulangi
shalat lima waktunya, karena hanya dengan inilah ia yakin telah mengganti.

‫صفات العارضة العدم‬


ّ ‫األصل في ال‬
"Menurut hukum asal, sifat yang baru datang adalah tidak ada".
Al-Suyuthi dan Ibnu Nujaim menulis Qa'idah ini dengan lebih ringkas;

‫األصل العدم‬
"Menurut hukum asal, sesuatu itu tidak ada".
Menurut hukum asal, "sifat asli (tidak baru datang)" itu adalah "ada (maujud)",
sedangkan hukum asal dari "sifat yang baru datang" adalah "tidak ada", sehingga sifat yang
tidak asli (baru datang) hukum asalnya menjadi ada.

Suatu sifat dipandang ada dan tidak ada dibagi menjdi dua;

1. Sifat yang melekat pada sesuatu, namun baru dating (‘aridl). Dengan kata lain, pada
umumnya, sesuatu itu menurut tabiatnya tidak memiliki sifat tersebut. Sifat yang semacam
ini disebut sifat baru datang. Sehingga menurut hukum asal ini dianggap tidak ada.
Contohnya sifat yang keberadaannya didahului ketidak adaan. Misalnya seorang wanita
memasukkan puting susunya kedalam mulut bayi laki-laki, namun tidak diketahui apakah
ada air susu yang masuk ke dalam tenggorokan sang bayi atau tidak? Maka antara wanita
dan bayi tersebut hukumnya adalah bukan mahram (boleh dinikahi), karena menurut hukum
asal, tidak ada air susu yang masuk. Jika terjadi perselisihan antara penjual dan pembeli
dalam masalah harta dagangan sudah diterima atau belum? Atau masalah uang sudah
dibayarkan atau belum?, maka dalam kasus ini, yang dimenangkan adalah perkataan orang
yang mengingkari terjadinya penerimaan, karena menurut hukum asal tidak ada penerimaan.

12
2. Sifat yang keberadaannya bersamaan dengan wujud sesuatu. Artinya, sesuatu itu secara
tabiatnya memang memiliki sifat tersebut. Sifat semacam ini disebut sifat ashliyah, sehingga
menurut hukum asal dianggap “ada”. Misalnya “keperawanan” bagi wanita yang belum
nikah. Keperawanan, pada umumnya dan secara tabiat merupakan sesuatu yang menempel
pada setiap gadis (belum menikah), sehingga apabila karena suatu hal, terjadi perselisihan
mengenai perawan dan tidaknya seorang gadis, maka yang dimenangkan adalah keadaan
asalnya (perawan), selama tidak ada bukti-bukti kuat yang menunjukkan atas hilangnya
keperawanan tersebut. Transaksi jual beli yang sudah terjadi, pada umumnya berlangsung
dengan saling menerima (tradli) antara penjual dan pembeli, dan tidak ada masalah pada
harta yang dibeli, atau uang yang dibayarkan. Kondisi yang demikian inilah yang disebut
hukum asal. Oleh karenanya, apabila terjadi perselisihan karenanya, apabila terjadi
perselisihan antara penjual dan pembeli mengenai ada atau tidak adanya cacat pada harta
dagangan atau kurang dan tidak kurangnya uang yang dibayarkan, maka yang dimenangkan
adalah pendapat orang yang mengatakan, bahwa harta dagangan tidak cacat atau uang
pembayaran tidak kurang, karena secara hukum asal transaksi jual beli sudah berlangsung
dengan sah dan tidak ada gugatan apa-apa. Berbeda masalahnya kalua dua orang yang
bertransaksi tersebut berselisih mengenai sah dan batalnya akad jual beli (ba’i), maka yang
dimenangkan adalah pendapat orang yang mengatakan “batal”, karena maksud kata-kata
batal adalah “tidak sah”, dan hal itu berarti mengingkari terjadinya akad. Perselisihan antara
terjadi akad dan tidak terjadi akad, condong kepada tidak terjadi akad, karena secara hukum
asal yang benar adalah tidak atau belum terjadi akad.

‫األصل في األشياء الباحة حتى يدل الدليل على التحريم‬


"Hukum asal dari segala sesuatu adalah diperbolehkan, sampai ada dalil yang
mengharamkan."
Kalangan ulama membahas secara mendalam hukum segala sesuatu, meliputi benda,
tasharruf (kewenangan bertindak), dan perbuatan yang belum ditentukan hukumnya oleh syar'i.
Adakah hukum mubah atau haram?. Dalam masalah ini, para ulama terpecah menjadi empat
golongan. Pertama, kelompok yang mengatakan: hukum asal sesuatu adalah dicegah (haram).
Kelompok ini didukung oleh sebagian mu'tazilah, Ibn Hamid dan Abu Ya'la (dari Hanabilah).
Kedua, kelompok yang mengatakan, hukum asal sesuatu adalah mauquf (tidak ada jawaban),
sampai ada dalil yang menjelaskan. Kelompok ini di dukung oleh Asy'ariyah, mayoritas ahl al-
hadis, Abu al-Hasan al-Hirzi (Hanabilah), dan kelompok ahli Mauquf (waqifiyah). Ketiga,
kelompok yang mengatakan, hukum asal sesuatu yang bermanfaat adalah boleh. Sedang hukum

13
asal sesuatu yang berbahaya adalah haram. Keempat, kelompok yang mengatakan, hukum asal
segala sesuatu adalah boleh. Kelompok ini didukung oleh qaul muhtar dari Hanafiyah,
Syafi'iyah, Dzahiriyah, sekelompok ulama dari Hanabilah, Abu Hasyim, dan Juba'i
(mu'tazilah).

Menurut al-Suyuthi, Qa'idah ini merupakan pendapat Imam al-Syafi'i. Sedangkan


Qa'idah yang oleh kalangan Syafi'iyah dinisbatkan kepada Abu Hanifah adalah,

‫األصل في األشياء التحريم حتى يدل الدليل على الباحة‬


"Hukum asal dari segala sesuatu adalah haram, sampai ada dalil yang memperbolehkannya."

Dasar yang digunakan oleh Imam al-Syafi'i dalam merumuskan Qa'idah diatas adalah, pertama,
ayat 29 dari surat al-Baqarah:

}٢٩:٢/‫" {البقرة‬...‫"هو الذي خلق لكم ما في األرض جميعا‬


"Dia adalah Dzat yang menciptakan untukmu segala sesuatu di bumi"
Konteks ayat ini adalah pemberitahuan Allah akan sifat kedermawanan-Nya yang
memberikan anugerah secara besar-besaran kepada hamba-Nya, sehingga seluruh apa yang
diciptakan-Nya di bumi diperuntukkan bagi hamba-Nya, maka tidak mungkin, hal-hal yang
dipaparkan oleh Allah sebagai anugerah itu dihukumi haram, maka yang sesuai dan tepat
adalah menghukuminya mubah.

Kedua, firman Allah dalam surat al-Araf ayat 32:

{ 32:7/‫الر ۡزق…“} األعراف‬


ّ ‫ّٰللا الت ۡۤۡى ا ۡخرج لعباده والطيّ ٰبت من‬
‫”ق ۡل م ۡن حرم ز ۡينة ه‬
"Katakanlah: Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya
untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rizki yang baik?"

Ayat ini mendeskripsikan sikap Allah yang tidak terima dan menentang orang-orang
yang mengharamkan segala ciptaan yang diperuntukkan bagi hamba-hamba-Nya, maka tidak
logis, jika sesuatu yang dibela oleh Allah itu dihukumi haram.

Ketiga, firman Allah dalam surat al-An'am ayat 145:


ٓ ‫ال اجد في ما ٓ اوحي الي محرما ع ٰلى طاعم يطعمه ا‬
‫ال ان يكون ميتة او دما مسفوحا او لحم‬ ٓ ‫قل‬
‫ّٰللا به فمن اضطر غير باغ وال عاد فان ربك غفور رحيم‬‫خنزير فانه رجس او فسقا اهل لغير ه‬
}١٤٥:٦/‫{األنعام‬
"Katakanlah: Tidak aku dapati dalam wahyu yang diwahyukan ke padaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu berupa bangkai,

14
atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau
binatang yang disembelih atas nama selain Allah"

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan tentang bolehnya memakan segala makanan yang
diberikan kepada hamba-Nya, kecuali hanya hal-hal yang secara jelas telah diharamkan.

Qa'idah yang disusun Imam al-Syafi'i ini diperkuat oleh hadis hasan yang diriwayatkan
oleh Imam al-Bazzar dan Imam al-Thabrani dari hadis Abu Darda';

‫ فإن‬،‫ فاقبلوا من للا عافيته‬،‫ وما سكت عنه فهو عفو‬،‫ وما حرم فهو حرام‬،‫ما أَٔح ّل ّٰللا فهو حلل‬
‫للا لم يكن لينسى شيئا‬

"Sesuatu yang dihalalkan Allah, maka halal hukumnya dan sesuatu yang diharamkan Allah,
maka haram hukumnya. Sedangkan sesuatu yang tidak disebutkan Allah, berarti anugerah
(ma'fu) dari-Nya, maka terimalah anugerah Allah, karena sesungguhnya Allah tidak pernah
melupakan sesuatupun"

Dikuatkan pula oleh hadis yang diriwayatkan Imam al-Thabrani dari hadis Abi Tsa'labah;

،‫ وحد حدودا فل تعتدوها‬،‫ ونهي عن أشياء فل تنتهكوها‬،‫إن للا فرض فرائض فل تضيّعوها‬
‫ وسكت عن كثير من غير نسيان‬،‫وسكت عن أشياء من غير نسيان فل تبحثوا عنها ( وفي لفظ‬
)‫فل تتكلفوها رحمة لكم فأقبلوها‬
"sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka janganlah kamu menyia-
nyiakannya, dan telah melarang dari beberapa hal, maka janganlah kamu sampai merubah
(merusak)nya, dan telah memberikan batasan dengan beberapa batasan, maka janganlah
kamu melampaui (melanggar)nya, dan telah mendiamkan beberapa hal, namun bukan karena
lupa, maka janganlah kamu mempermasalahkannya (dalam redaksi lain, 'dan mendiamkan
banyak hal, tapi bukan karena lupa, maka janganlah kamu mempersulitnya, karena semua itu
adalah rahmat bagimu, maka terimalah"

Aplikasi dari Qa'idah ini banyak sekali, misalnya:- Binatang yang tidak jelas jenisnya
dan tidak pernah disebutkan dalam Al-Qur'an dan dalam al-Hadis, maka mengacu kepada
Qa'idah ini hukumnya adalah halal, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Imam al-Rafi'i. -Pohon
yang tidak diketahui namanya dan tidak ada teks-teks Al-Qur'an maupun al-Hadis yang
menyebutkannya, maka berdasarkan Qa'idah ini, menurut Imam al-Nawawi, halal hukumnya.
Ia meyakini yang demikian ini merupakan pendapat yang sesuai dengan pendapat al-Syafi'i.

‫األصل في ك ّل حادث تقديره بأقرب زمنه‬

15
"Secara hukum asal, sesuatu yang baru datang itu dikira-kirakan (dikembalikan) pada waktu
yang terdekat"
Meski memiliki substansi sama, Ali Haidar menuliskan Qa'idah ini, dengan redaksi berbeda,

‫األصل إضافة الحادث إلى أقرب أوقاته‬


"Menurut hukum asal, sesuatu yang baru datang harus disandarkan kepada masa yang paling
dekat"

Artinya, jika ada kejanggalan mengenai suatu hal, maka menurut hukum asal, penyebabnya
harus dikembalikan kepada waktu (penyebab) yang terdekat.

Contoh aplikasi Qa’idah ini adalah: Seseorang melihat mani pada bajunya, dan ia tidak
ingat kapan mani itu keluar dan juga tidak ingat bahwa dalam tidurnya semalam ia mengalami
ihtilam (mimpi keluar mani). Berarti, mungkin saja mani itu keluar diwaktu kemarin atau
sebelumnya, namun mengacu kepada Qa’idah ini, kemungkinan tersebut harus dikembalikan
kepada waktu terdekat, yaitu tidurnya yang semalam. Itu pun jika disiang hari sebelum
mengetahui mani tersebut, ia tidak tidur. Dengan demikian, ia wajib mengqadha shalat subuh
dan shalat dzuhur, apabila mengetahuinya pada waktu ashar, dan mengqadha shalat subuh,
dzuhur dan ashar, apabila mengetahuinya setelah shalat ashar. Dan demikian seterusnya.
Karena waktu yang memungkinkan ia keluar mani dan paling terdekat adalah saat tidur
semalam.

‫األصل في الكلم الحقيقة‬


"Menurut hukum asal, perkataan itu menunjukkan arti hakikat

Hakikat merupakan hokum asal dalam kalimat. Majaz adalah cabangnya. Oleh karena
itu, arti secara hakikat lebih didahulukan daripada arti secara majaz. Mengamalkan arti secara
hakikat lebih utama dari pada mengamalkan majaz. Demikian ini, selama tidak ada dalil atau
petunjuk yang menguatkan arti majaz. Hakikat secara istilah adalah kalimat yang digunakan
untuk arti yang sesuai dengan tujuan asal kalimat tersebut. Seperti menggunakan lafal “al-
qatlu” untuk arti “menghilangkan nyawa”. Sedangkan majaz secara istilah adalah kalimat
yang digunakan untuk arti yang tidak sesuai dengan tujuan asal kalimat tersebut. Seperti
menggunakan lafal “al-qatlu” untuk menunjukkan arti “menyulitkan” atau lainnya. Biasanya
penggunaan majaz ini selalu dibarengi dengan qarinah (petunjuk) yang memalingkan kalimat
kalimat dari arti hakikinya.

16
Maksud dari Qa’idah ini ialah, apabila dalam satu kalimat terdapat dua arti, yaitu arti
secara hakiki dan arti secara majazi, dan diantara keduanya tidak ada sesuatu yang
mengunggulkan atas salah satunya. Bila demikian yang terjadi, maka yang dimenangkan
adalah arti secara hakiki. Seperti contoh lafal “al-Nikah”, dimana secra hakikat menunjukkan
arti “bersetubuh” dan secara majaz menunjukan arti “akad”. Kedua arti tersebut sama-sama
digunakan dalam lafal al-nikah, sebagaimana dalam firman Allah ;

"}٢٢:٤/‫" {النساء‬...‫وال تنكحوا ما نكح ٰاب ۤۡاؤكم ّمن النّس ۤۡاء‬


"Janganlah kalian nikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh bapak-bapakmu... "
Jika lafal “al-Nikah” pada ayat ini menggunakan arti majaz, maka maksud yang
terkandung di dalamnya adalah “diharamkan bagi seorang anak menikahi wanita yang telah
dinikahi oleh bapaknya, baik sudah penah disetubuhi atau belum”. Yang menjadi prioritas
adalah telah dinikahi. Namun apabila yang digunakan adalah arti secara hakiki, maka maksud
dari nash dalam ayat ini adalah : Diharamkan bagi seorang menikahi wanita yang pernah
disetubuhi oleh bapaknya, baik dengan cara halal (nikah) atau dengan cara haram (zina).
Yang menjadi adalah pernah disetubuhi.

Berpijak pada Qa’idah diatas, maka yang dimenangkan adalah arti secara hakikat.
Dengan kata lain, haram bagi seorang anak menikahi wanita yang sudah pernah disetubuhi
bapaknya, baik persetubuhan yang dilakukan dengan cara halal (nikah) atau dengan haram
(zina). Sedangkan diharamkannya seorang anak menikahi wanita yang pernah dinikahi (dalam
nikah yang shahih) oleh bapaknya, namun belum disetubuhi adalah ditetapkan berdasarkan
ijma’, bukan berdasarkan nash. -Jika seseorang bersumpah tidak memakan daging kambing
(tertentu) ini, maka ia tidak disebut melanggar sumpah, sebab meminum susu dan memakan
daging dari anak kambing tersebut.

17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al yaqin adalah sesuatu yang menetap, kepercayaan yang pasti, teguh, dan sesuai
dengan kenyataan. Bisa juga di maknai sebagai ilmu, sesuatu yang dapat menjauhkan keraguan,
dan sesuatu yang nyata, jadi yaqin merupakan kebalikan dari syakk, dan syakk lawannya yaqin.
Adapula yang mengartikan al yaqin dengan ilmu tentang sesuatu yang membawa kepada
kepastian dan kemantapan hati tentang hakikat sesuatu itu, dalam arti tidak ada keraguan lagi.

Sedang al syakk adalah keraguan antara dua masalah/peristiwa yang berlawanan tanpa
mengunggulkan salah satunya. Menurut Ali Ahmad al-Nadwi mendefinisikan al syakk sebagai
suatu pertentangan antara kepastian dengan ketidakpastian tentang kebenaran dan kesalahan
dengan kekuatan yang sama, dalam arti tidak bisa ditarjihkan salah satunya.ketika seseorang
ragu, tapi ada suatu pendukung lain yang bisa meyakinkan atau membatalkan keraguan yang
ada pada dirinya, maka hal semacam itu tidak termasuk dalam kategori al syakk, karena hal itu
bisa di kaji (dikuatkan) salah satunya dengan yang lebih menyakinkan. Namun, ketika tidak
ada penguat dari salah satunya, dan betul-betul ragu tidak bisa menentukan salah satunya, maka
inilah yang di namakan al syakk.

18
DAFTAR PUSTAKA
Sudirman Abbas, Ahmad, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, Cetakkan ke-2 ( Jakarta, Pedoman
Ilmu Jaya, 2016)

19

Anda mungkin juga menyukai