Anda di halaman 1dari 13

KAIDAH FIQIYAH

KAIDAH KEDUA
Dosen Pengampu : Imam Nawawi,SE.,ME.

Dibuat Oleh:
Anggota Kelompok 3 :

ILHAM IHSANI
(2060206039)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS NAHLATUL ULAMA
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan
pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan makalah Kaidah Kedua

Makalah Sejarah Peradapatan Islam tepat waktu.disusun guna memenuhi tugas pada
mata kuliah Kaidah Fiqiyah di Universitas Nahdlatul Ulama. Selain itu, penulis juga berharap
agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang Kaidah Fiqiyah.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada bapak Imam Nawawi M.E.
selaku dosen mata kuliah. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan
wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada
semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.

Blitar, 25 Februari 2022

1
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR.......................................................................................................................................1
DAFTAR ISI...................................................................................................................................................2
BAB I............................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN...........................................................................................................................................3
A. Latar Belakang.................................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................................3
C. Tujuan Masalah...............................................................................................................................3
BAB II...........................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN.............................................................................................................................................4
2.2 Dasar Kaidah......................................................................................................................................4
2.3 Sumber pengambilan kaidah.............................................................................................................5
2.4 Kaidah-Kaidah Cabang dan Pengaplikasiannya..................................................................................7
2.5 Pengaplikasian Penerapan Qaidah Dalam Bidang Muamalah............................................................9
BAB III........................................................................................................................................................11
PENUTUP...................................................................................................................................................11
3.1 Kesimpulan......................................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................................12

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Diantara kaidah fiqih penting adalah : “Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak”(Keyakinan


tidaklah bisa dihilangkan dengan keraguan). Para fuqaha memasukkan berbagai amalan ibadah,
mu’amalah, dan hak-hak sesama ke dalam kaidah ini. Maka barangsiapa yang ragu akan sesuatu,
maka dikembalikan lagi ke asalnya, yakni yang yakin.

Dan fuqaha juga mengatakan : “Asal segala sesuatu adalah suci” dan “Pada asalnya,
seseorang itu terbebas dari beban kewajiban dan dari menanggung hak-hak makhluk sampai ada
dalil yang menunjukkan berubahnya hal tersebut”

Mendengar suara atau mencium bau dari gas yang keluar dari dubur akan membuat
pelakunya yakin telah berhadats. Maka Rasulullah memerintahkan untuk meneruskan shalatnya
hingga dia yakin telah berhadats. Ini adalah kaidah besar yang permasalahan fiqih banyak
merujuk kaidah ini. Hanya sedikit bab fiqih yang tidak merujuk kaidah ini. Fuqaha bersepakat
atas keabsahan kaidah ini. Imam Al Qarafy rahimahullahu berkata, “Ini adalah kaidah yang
disepakati” (Al Furuq, 1/111)

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian kaidah kedua?


2. Apa sumber pengambilan kaidah?
3. Apa kaidah cabang atau turunanya?
4. Bagaimana aplikasinya dalam kehidupan?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui pengertian kaidah.


2. Untuk mengetahui sumber pengambilan kaidah.
3. Untuk mengetahui kaidah cabang atau turunannya.
4. Untuk memahami aplikasi kaidah dalam kehidupan.

3
BAB II
PEMBAHASAN

KAIDAH KEDUA: َ

AL-YAQIN LA YUZALU BI AS-SYAKK

2.1 Pengertian Kaidah

Kaidah adalah patokan atau ukuran sebagai pedoman bagi manusia dalam bertindak.
Kaidah juga dapat dikatakan sebagai aturan yang mengatur perilaku manusia dan perilaku
sebagai kehidupan bermasyarakat. Secara umum kaidah dibedakan atas dua hal yaitu kaidah
etika atau kaidah hukum. Kaidah etika merupakan kaidah yang meliputi norma susila, norma
agama dan norma kesopanan. Pada dasarnya kaidah etika datang dari diri dalam manusia itu
sendiri contohnya menghormati orangnya yang lebih tua, berbuat baik pada orang tua, saling
menghargai, atau malu jika berbuat salah. Namun tidak jarang kaidah etika merupakan kaidah
yang datang dari diri manusia misalnya dari ajaran agama contohnya tidak boleh berprilaku jahat
pada orang lain. Kaidah hukum merupakan kaidah yang memiliki sanksi tegas. Kaidah hukum
ialah kaidah yang mengatur hubungan atau intraksi antar pribadi, baik secara langsung atau tidak
langsung oleh karena itu kaidah hukum ditujukan untuk kedamaian, ketentraman, dan ketertiban
hidup bersama. Kaidah hukum biasanya ada paksaan yang berwujud ancaman bagi para
pelanggarnya.

2.2 Dasar Kaidah

Sebenarnya qa`idah-qa`idah fiqh hanyalah kesimpulan general dari para ulama fiqh,
diambil dari materi-materi fiqh yang pada akhirnya dapat digunakan untuk menentukan hukum
dari kasus kasus baru yang muncul belakangan dan belum jelas status hukumnya dalam nash.
Tentunya qa`idah-qa`idah fiqh ini tidak bertentangan dengan nash karena sudah melalui uji
kesesuaian dengan substansi ayat-ayat al-Qur’an dan hadits nabi, sebelum menjadi suatu qa`idah
fiqh yang mapan, kendatipun untuk kasuskasus tertentu ada pengecualian. Qa`idah “al-Yaqinu

4
layuzalu bi alsyakk” (Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan) juga begitu
halnya, tidak ada yang bertentangan dengan nash, dan bila dirujuk pada beberapa hadits nabi
akan terlihat kesesuaiannya. Mengenai rujukan qa`idah ini, para ulama telah memaparkan dalil-
dalil yang dinilai sebagai dasarnya, baik itu firman Allah SWT ataupun Sunah Rasulullah saw.

Di antaranya adalah ayat al-Qur’an surat Yunus ayat 36:

Artinya: “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja.


Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.”

2.3 Sumber pengambilan kaidah

Hadis-hadis berikut merupakan dalil yang dijadikan sandaran oleh para ahli fiqh dalam
mencetuskan Qa’idah tentang keyakinan dan keraguan.

Artinya: ” Dari Abbad bin Tamim dari pamannya, bahwa ia menyampaikan kepada
Rasulullah saw permasalahan seorang lakilaki yang muncul keraguannya dengan anggapan
adanya sesuatu yang membatalkan wudhu’nya padahal dia dalam keadaan shalat, lalu Nabi
berkata: “ia tidak boleh pergi meninggalkan shalatnya, sampai ia mendengar adanya suara
yang keluar(dari duburnya) atau ia mencium bau yang tidak sedap.” (HR. Bukhari)

5
Artinya:”Dari Abi Sa`id al-Khudri berkata, Rasulullah saw bersabda: jika seseorang
darimu mengalami keraguan dalam shalatnya, dan ia tidak tahu sudah berapa rakaat ia shalat,
tiga atau empat rakaat maka hendaknya ia membuang keraguannya (empat rakaat) dan tetaplah
dengan keyakinannya (tiga rakaat).” (HR. Muslim)

Tampak dengan jelas dalam hadis diatas, bahwa perasaan ragu-ragu sama sekali tidak
bisa mempengaruhi sahnya shalat. Shalat akan terus dihukumi sah, selama belum ada keyakinan
hilangnya suci (hadats).

Secara rasional, sebuah keyakinan tentu saja lebih kuat dan lebih kokoh bila dibanding
dengan gejala hati yang lain, karena didalam sebuah keyakinan itu terdapat suatu kepastian yang
tidak bisa dikalahkan oleh keraguan. Sebuah keyakinan yang akan mengantarkan seseorang
kepada sikap komitmen yang tidak mudah goyah. Sementara keraguan adalah suatu kondisi yang
kerap hadir dalam hati dan tidak bosan untuk terus menggoda dan menggoyahkan keyakinan atau
komitmen seseorang.

Qa’idah “Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak” yang menjadi konklusi dari hadishadis diatas,
dalam prakteknya bisa menyusup kepada seluruh pembahasan fiqh meliputi masalah ibadat,
muamalat,’uqubat, aqdhiyah. Memandang kenyataan demikian itu, Imam al-Syuyuthi
mengatakan bahwa Qai’dah ini bisa masuk pada seluruh bab-bab fiqh. Masalah-masalah yang
bisa diselesaikan oleh qa’idah ini mencapai lebih dari tiga seperempat masalah fiqh atau bahkan
lebih. Menyangkut masalah ibadah, muamalah, sanksi, dan lain-lain.

Maka ketika seseorang ragu, tapi ada suatu pendukung lain yang bisa menyakinkan atau
membatalkan keraguan yang ada pada dirinya, maka hal semacam itu tidak termasuk dalam
kategori alsyakk, karena hal itu bisa ditarjih (dikuatkan) salah satunya dengan yang lebih
menyakinkan. Namun, ketika tidak ada penguat dari salah satunya, dan betul-betul ragu tidak
bisa menentukan salah satunya, maka inilah yang dinamakan al-syakk.

6
2.4 Kaidah-Kaidah Cabang dan Pengaplikasiannya

Dalam Qaidah ini memiliki beberapa cabang yang didalamnya membahas lebih dalam
tentang keyakinan dan keraguan, sekurang-kurangnya ada enam cabang Al-Yaqin La Yuzalu Bi
Al-Syak, cabang-cabangnya sebagai berikut :

Qaidah 1

“ yang menjadi pokok adalah tetapnya sesuatu pada keadaan sebelumnya “.

Maksud dari kaidah ini adalah keadaan dimasa lalu masih dianggap berlaku sampai ada
yang mengubahnya. Jadi, bila seseorang ragu terhadap hukum suatu perkara, maka harus
dikembalikan pada hukum yang telah ada, karena apa yang telah ada lebih dapat diyakini,
kecuali bila sudah ada ketentuan baru yang mengubahnya. Misalnya, bila telah terjadi
perselisihan antara dua orang dalam hal pelunasan hutang piutang, apakah sudah dilunasi atau
belum, maka hutang tersebut dianggap tetap ada, karena belum ada bukti pelunasan. Dan hal itu
dapat berubah apabila ada bukti-bukti baru atas pelunasan hutang tersebut.

Qaidah 2

“ Hukum dasar adalah kebebasan seseorang dari tanggung jawab”.

Kaidah ini sesuai dengan kodrat manusia, bahwa ia lahir dalam keadaan bebas belum
mempunyai tanggungan apapun, makhluk suci yang tidak terbebani oleh dosa waris atau dosa
akibat perbuatan orang tuanya. Untuk itu para Ulama berpendapat bahwa anak buangan yang
ditemukan orang dipandang anak merdeka, bukan anak budak, sebab kemerdekaannya itu
menjadi asal. Sebagaimana hadits Nabi Saw

7
“ semua anak dilahirkan atas dasar kesucian ( dari segala dosa ) dan pembawaan
beragama tauhid, sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua orang tuanya-lah yang
menyebabkan anaknya menjadi yahudi, nasrani, atau majusi “. ( HR. Abu Yazid, at-Thabrani,
dan al-Bayhaqi dari al-Aswad bin Sari’ )

Qaidah 3

“ Asal dari segala Hukum adalah tidak ada”.

Contohnya: jika terjadi perselisihan dalam hal kerja-sama aqad Mudlorobah ( bagi hasil) ,
yaitu A memberikan modal kepada B Rp.1000.000 dengan perjanjian laba dibagi bersama,
kemudian tiba-tiba A menuduh B telah mendapatkan laba dan dihabiskan sendiri, tetapi tuduhan
si A tersebut tanpa ada buktinya dan si B menyangkal tuduhan itu. Maka penyelesaiannya
menurut kaidah ini yang dibenarkan adalah si B yang menyatakan belum ada keuntungan. Sebab
pada dasarnya adalah tidak ada.

Qaidah 4

(Pokok yang asli pada sesuatu adalah boleh)

Misalnya, Segala macam binatang yang sukar untuk ditentukan keharamannya


disebabkan tidak didapat sifat-sifat atau ciri-ciri yang dapat digolongkan kepada binatang haram,
maka binatang itu halal dimakan.

Qaidah 5

8
(Pokok yang asli pada setiap kejadian penetapannya menurut masa yang terdekat dengan
kejadiannya).

Misalnya: Seseorang berwudhu dengan air yang diambil dari sumur. Beberapa hari
kemudian diketahuinya bahwa di dalam sumur tersebut ada bangkai, sehingga menimbulkan
keragu-raguannya perihal wudhu dan sembahyang yang dikerjakan beberapa hari lalu. Dalam hal
ini ia tidak wajib mngqadha shalat yang sudah dikerjakannya. Karena masa yang terdekat sejak
dari kejadian diketahuinya bangkai itulah yang dijadikan titik tolak untuk penetapan kenajisan air
sumur yang mengakibatkan tidak sahnya shalat.

Qaidah 6

(Pokok yang asli dalam pembicaraan adalah yang hakiki).

Misalnya, Seseorang mewaqafkan harta miliknya kepada anakanaknya. Maka jika terjadi
gugatan dari cucucucunya untuk menuntut bagian, maka gugatan itu tidak digubris. Karena
menurut arti hakikat perkataan anak itu adalah hanya terbatas kepada anak kandung yang
dilahirkan secara langsung oleh orang yang berwaqaf.

2.5 Pengaplikasian Penerapan Qaidah Dalam Bidang Muamalah

a. Jika seseorang membeli mobil, kemudian ia mengatakan, bahwa mobil yang dibelinya itu
cacat dan ia ingin mengembalikannya, lalu penjual menolak ucapan pembeli yang
mengata kan adanya cacat itu, maka si pembeli tidak boleh mengembalikannya, karena
pada asalnya mobil itu yakin dalam keadaan baik. Cacat tidak boleh ditetapkan dengan
adanya keraguan, sebab yang yakin tidak boleh dihapuskan oleh keraguan.

b. Apabila dua orang melakukan transaksi jual beli, kemudian salah seorang mensyaratkan
sendiri khiyar dalam akad, ia berkeinginan membatalkan transaksi jual beli itu dan
mengembalikan barang, sementara penjual menyanggah adanya syarat itu, maka
perkataan yang dipercaya adalah perkataan sipenjual disertai sumpahnya, karena syarat
tersebut suatu hal kejadiannya belakangan. Karena pada dasarnya dalam akad adalah
bebas dari syarat-syarat tambahan, maka tidak adanya syarat tambahan, itulah yang
yakin.

c. Apabila seseorang berhutang mengatakan kepada orang yang punya piutang, bahwa ia
telah membayar hutangnya, sedangkan orang yang punya piutang mengingkarinya, maka
perkataan yang diperpegangi adalah perkataan piutang yang mengingkari pembayaran itu.

9
Karena yang diyakini adalah belum bayarnya orang yang berhutang, terkecuali orang
yang berhutang itu dapat membuktikan bahwa ia sudah bayar hutangnya, seperti ada alat
bukti pembayaran. Karena hak orang yang punya piutang itu diyakini.

d. Seseorang memakan makanan orang lain, ia mengatakan pemiliknya telah


mengizinkannya, pada hal pemilik makanan tersebut tidak mengizinkannya. Dalam kasus
ini yang dibenarkan adalah pemilik makanan, sebab menurut hukum pokok makanan
orang lain itu tidak boleh di makan.

10
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Qa’idah ini merupakan pondasi syar’i yang kokoh. Didalamnya termuat banyak persoalan
hukum fiqh, yang bermuara pada penghilangan kesulitan dan keberatan. Dimana qa’idah ini
dengan tegas memposisikan keyakinan sebagai hukum asal, terlebih dalam masalh bersuci, dan
shalat. Agar bisa memahami qa’idah ini secara detail dan mengetahui seberapa jauh
jangkauannya dalam menghadapi persoalan persoalan fiqh islam, terlebih dahulu harus
mengetahui bahwa tingkat daya hati dalam menangkap sesuatu selalu berbedabeda.

Al-Yakin secara bahsa adalah mengetahui, menyingkirkan keraguan, dan membuktikan


kebenaran masalah. Al-Yakin merupakan kebalikan dari al-Syak. Sedangkan Ghalabah al-Dzan
adalah dugaan tetap yaitu mendominasinya salah satu diantara dua perkara atas lainnya dengan
dominasi mutlak, dan lainnya dikesampingkan karena terlalu lemah. AlDzan yaitu perkara yang
dihasilkan dari tanda-tanda. Apabila tanda-tandanya kuat, maka akan menghasilkan pengetahuan.
Dan apabila lemah sekali maka disebut salah duga. Al – Syak adalah sepadan antara dua sisi
perkara, yaitu berhenti (tidak bisa menentukan) diantara dua perkara, dan hati tidak condong
pada salah satunya

11
DAFTAR PUSTAKA

Al-Zarqa, Muhammad. 1999, Syarah al-Qawaid al-Fiqhiyyah (Damaskus: Dar al-Qalam).

Andiko, Toha. 2011. Ilmu Qawaid Fiqhiyyah Panduan Praktis Dalam Merespon Problematika
Hukum Islam Kontemporer. (Yogyakarta: Sukses Offset).

Azhari, Fathurrahman. 2015. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah (Banjarmasin: Lembaga


Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU).

Rahman, Asymuni A. 1976. Qaidah-Qaidah Fiqh Cet I, (Jakarta, Bulan Bintang)

Yahya, Mukhtar dan Fatchurrahman. 1986. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam,
(Bandung: Al-Ma’arif)

12

Anda mungkin juga menyukai