Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

QAWAIDH FIQHIYYAH FIIL MU’AMALAH

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah qawaidh fiqhiyyah fiil
Mu’amalah

Dosen pengampu : Safaruddin Munthe, M.E.I

Disusun Oleh Kelompok 1 :

1. M. Reza dzulkhairi (09.22.3211)


2. Nur Andini hasibuan (09.22.3244)
3. Syazwina Nadhira (09.22.3286)

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH

INSTITUT SYEKH ABDUL HALIM HASAN (INSAN)


BINJAI
TAHUN AKADEMIK 2024

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad saw yang kita nanti-natikan syafa’atnya di
akhirat nanti.

Kami mengucapkan syukur kepada Allah Swt atas limpahan nikmat


sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu
untuk menyelesaikan pembuatan makalah dari mata kuliah ‘QAWAIDH
FIQHIYAH FIL MUAMALAH’

Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
kami mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.

Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami
mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Binjai, 26 February 2024

Penyusun Kelompok 1

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2

DAFTAR ISI .......................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 4

A. Latar Belakang.......................................................................................... 4

B. Rumusan Masalah .................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 5

A. Definisi Quwaid Fiqhiyyah Fill Muamalah.............................................. 5

1.1 Dasar-Dasar Pengambilan Qawaid Fiqhiyyah ...................................... 6

1.2 Obyek Qawaid Fiqhiyyah ..................................................................... 6

1.3 Ruang Lingkup Qawaid Fiqhiyyah Qawaid fiqhiyah ........................... 6

1.4 Tujuan dan Kepentingan Mempelajari Qawaid Fiqhiyyah ................... 7

B. Sejarah Perkembangan dan Pengkodifikasian Qawaid Fiqhiyyah ........... 7

1. Fase pertumbuhan dan pembentukan (Abad I-III H) ............................ 7

2. Fase Perkembangan dan Pembukuan (Abad IV-XII H) ....................... 8

3. Fase Pemantapan Dan Penyempurnaan (Abad XIII H) ............................ 10

C. Perbandingan Qawaidh Fiqhiyyah Dan Qawaidh Ushulliyah .......................11

1. Perbedaan Dari Segi Pengertian .................................................................11

2. Dari Segi Fungsi.........................................................................................11

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 15

A. Kesimpulan................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 16

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai kitab suci terakhir yang ditujukan pada pedoman dan petunjuk
bagi umat manusia di seluruh waktu dan tempat al-quran sepatutnya
diterjemahkan ditelaah diteliti dikaji dalam berbagai upaya dikerahkan dari
berbagai pihak terutama yang memiliki basis keilmuan keagamaan yang
mempuni. Islam dikenal kurang lebih14 abad masih juga belum memperoleh
manfaat dari petunjuk yang diberikan secara berlimpah-limpah didalamnya.

Penganut Islam di negeri Nusantara ini gagal menangkap pesan-pesan


yang amat berharga mengangkat martabat harkat memakmurkan diri masyarakat
bangsa dan negara sebagai jaminan hidup yang penuhpenuh kenikmatan di akhirat
kelak.

Disamping kekayaan duniawi ada pahala besar pada hari kebangkitan


nantiyang disediakan bagi pengusaha yang jujur dengan tetap memegang aturan-
aturan disamping sikap adil dan jujur dalam beraktivitas sarana kehidupan yang
telah diciptakan Tuhan di bumi untuk memenuhi kebutuhan manusia. Jika karena
nasib baik seseorang menemukan sarana-sarana yang lebih baik dibanding
kebutuhannya seharusnya melihat orang sekelilingnya dari kehidupan tidak layak
atau gagal mendapatkannya, maka harus disadari bahwa mereka inilah bagiannya
jatuh ketangannya, dalam arti butuh uluran tangan, dengan kata lain Itulah salah
satu pengentasan kemiskinan bagi orang yang membutuhkan.

B. Rumusan Masalah
1. Memahami definisi, ruang lingkup, dan tujuan qawaidh fiqhiyyah & fiqh
mu’amalah.
2. Memahami Sejarah munculnya qawaidh fiqhiyyah
3. Memahami perbandingan qawaidh fiqhiyyah dan qawaidh ushuliyyah

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Quwaid Fiqhiyyah Fill Muamalah


Quwaid fiqhiyyah adalah kata majemuk yang terbentuk dari dua
kata,yaitu dari kata quwaid dan fiiqhiyah, kedua kata itu memiliki pengertian
tersendiri. Secara etimologi quwaid berarti asas,landasan,dasar atau fondasi.
Sedangkan kata fiqhiyyah berasal dari kata fiqh yang berarti pengetahuan atau
pemahaman. Quwaid Fiqhiyah merupakan pokok fiqh yang bersifat universal
yang mengandung hukum hukum syara".1

Kepentingan qawaid fiqhiyyah dari segi penggalian dan penetapan


hukum Islam mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh
karena itu, qawaid fiqhiyyah dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam
menyelesaikan persoalan hukum yang belum ada ketentuan atau kepastian
hukumnya

Sedangkan secara terminologi fiqh Menurut al-Jurjani al-Hanafi:

‫العمل اباحلاكم الرشيعة العملية من ادلهتا التفصلية وهو عمل مس تنبط ابلرأي وااجلهتاد‬
‫وحيتاج فيه اىل النظر والتأمل‬
“Ilmu yang menerangkan hukum hukum syara yang amaliyah yang diambil dari
dalil-dalilnya yang tafsily dan diistinbatkan melalui ijtihad yang memerlukan
analisa dan perenungan”2

1 Mu’jam al-lughah al’-arabiyah, mu’jam al-wajid,t.tp. wuzarah al tarbiyah wa

al-ta’lim, th. H. 509


2 2 Hasbi as-siddiqy, Pengantar Hukum Islam, Jakarta bulan bintang 1975. hal.

25

5
1.1 Dasar-Dasar Pengambilan Qawaid Fiqhiyyah
Yang dimaksud dengan dasar pengambilan Qawaid Fiqhiyyah ialah
dasar-dasar perumusan qaidah fiqhiyyah. Perumusan tersebut meliputi dasar
formil dan materiilnya. Dasar formil maksudnya apakah yang dijadikan dasar
ulama dalam merumuskan qaidah fiqhiyyah itu, jelasnya nash-nash manakah yang
menjadi pegangan ulama sebagai sumber motivasi penyusunan qaidah fiqhiyyah.
Adapun dasar materiil maksudnya darimana materi qaidah fiqhiyyah itu
dirumuskan.

1.2 Obyek Qawaid Fiqhiyyah


Adapun obyek qawaid fiqhiyyah adalah amaliyah orangorang dewasa
yang bersifat praktis (af’al al-mukallaf al-‘amaliyyah) yaitu perbuatan mukallaf
itu sendiri. Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy menyebutkan perbuatan hukum
adalah pekerjaan-pekerjaan yang dikerjakan mukallaf yang memiliki implikasi
hukum. Perbuatan hukum adalah setiap perbuatan atau tindakan subjek hukum
yang mempunyai akibat-akibat hukum karena di dalam peristiwa itu ada hukum
seperti hukum wajib dan hukum haram.

1.3 Ruang Lingkup Qawaid Fiqhiyyah Qawaid fiqhiyah


Menurut M. az-Zuhayliy dalam kitabnya al-Qawa’id al-Fiqhiyyah
berdasarkan cakupannya yang luas terhadap cabang dan permasalahan fiqh, serta
berdasarkan disepakati atau diperselisihkannya qawaid fiqhiyyah tersebut oleh
madzhab-madzhab atau satu madzhab tertentu, terbagi pada 4 (empat) bagian,
yaitu: 3

a. Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Asasiyyah al-Kubra, yaitu kaidah-kaidah fiqh


yang bersifat dasar dan mencakup berbagai bab dan permasalahan fiqh.
b. Al-Qawa’id al-Kulliyyah, yaitu qawa’id yang menyeluruh yang diterima oleh
madzhab-madzhab, tetapi cabang-cabang dan cakupannya lebih sedikit dari
pada qawa’id yang lalu

3 H. Asnin Syafiuddin, Lc. MA http://www.slideshare.net/asnin_syafiuddin/01 -

02-pendahuluan diposting pada tanggal 10 september 2013

6
c. Al-Qawa’id al-Madzhabiyyah, yaitu kaidah-kaidah yang menyeluruh pada
sebagian madzhab, tidak pada madzhab yang lain
d. Al-Qawa’id al-Mukhtalaf fiha fi al-Madzhab al-Wahid, yaitu kaidah yang
diperselisihkan dalam satu madzhab. Kaidah-kaidah itu diaplikasikan dalam
satu furu’ (cabang) fiqh tidak pada furu’ yg lain, dan diperselisihkan dalam
furu’ satu madzhab.

1.4 Tujuan dan Kepentingan Mempelajari Qawaid Fiqhiyyah


Mempelajari Qawaid Fiqhiyyah tentu ada tujuannya. Adapun tujuan
mempelajari Qawaid Fiqhiyyah itu adalah agar dapat mengetahui prinsip-prinsip
umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan
kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh. Dari tujuan mempelajari
Qawaid Fiqhiyyah tersebut, maka manfaat yang diperoleh adalah akan lebih
mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi; akan lebih arif
dalam menerapkan materi-materi hukum dalam waktu dan tempat yang berbeda,
untuk keadaan dan adat yang berbeda; mempermudah dalam menguasai materi
hukum.

B. Sejarah Perkembangan dan Pengkodifikasian Qawaid Fiqhiyyah


Menurut Ali Ahmad al Nadawi , perkembangan qawaid fiqhiyyah dapat
dibagi kedalam tiga fase, yaitu:

1. Fase pertumbuhan dan pembentukan (Abad I-III H)

Pada dasarnya peletakan batu dasar ilmu qawaid fiqhiyyah telah di mulai
sejak tiga kurun pertama dari tahun Hijriyyah, yaitu sejak masa Rasulullah SAW,
Sahabat, dan Tabi’in. hal ini dapat di lihat dari hal-hal berikut ini:

a. Terdapat beberapa Ayat dari Al Quran yang secara inplisit telah


menunjukan Qawaid Fiqhiyyah. Diantaranya adalah yang terdapat
dalam QS. Al Baqarah ayat 228 “…dan para wanita mempunyai hak
yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf….”

7
Ayat ini dikemudian hari di jadikan sebagai landasan lahirnya
kaidah “ Adat kebiasaan merupakan hukum”.
b. Terdapat hadist-hadist Rasulullah yang padat dan singkat. Di
antaranya adalah hadist “Innamal a’malu binniyah….” Dan
hadist “La darara wa la dirara”.
c. Terdapat Atsar Sahabat yang singkat dan padat yang dapat dijadikan
sebagai sumber dalam mengambil keputusan hukum. Di antaranya
atsar Ali bin Abi Tahlib r.a (wafat 40 H) yang diriwayatkan oleh
Abdul Razaq (211 H) : “orang yang membagi keuntungan tidak
harus menanggung kerugian”.
d. Dan timbulnya kaidah-kaidah di kalangan para Tabi’in. di antaranya
adalah pernyataan Imam Syafi’i: “Apabila yang besar gugur, maka
yang kecil pun gugur”.

Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa pernyataan berikut ini:


1. Kaidah fiqh telah ada semenjak masa Ulama Mutaqaddimin (abad 1,2,3 H)

meskipun belum dikenal sebagai kaidah dan belum menjadi satu disiplin
ilmu tersendiri.
2. Perkembangan qawa’id fiqhiyyah dapat ditelusuri lewat pernyatan-
pernyatan para ulama di atas, karena mereka adalah rujukan pertama ilmu
ini.
3. Beberapa kaidah yang dibentuk para ulama mutaqaddimin, terutama apa
yang disampaikan oleh Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Syafi’I ,
merupakan beberapa kaidah ulama mutakhirin.
4. Atsar dan pernyataan para ulama mutaqaddimin menjadi rujukan ulama
mutakhirin dalam membentuk, mangumpulkan, dan mengkodifikasikan
qawa’id fiqhiyyah

2. Fase Perkembangan dan Pembukuan (Abad IV-XII H)


Awal mula qawaid fiqhiyyah menjadi disiplin ilmu tersendiri dan
dibukukan terjadi pada abad ke 4 H dan terus berlanjut pada masa setelahnya.
Ulama pertama yang melakukan pembukuan ilmu Qawaid Fiqhiyyah adalah

8
ulama dari mazhab Hanafi, yaitu Abu Hasan Al Karkhi (wafat 340 H). Dalam
risalahnya yang berjudul Ushul Al Karkhi, Abu Hasan Al Karkhi mengembangkan
17 kaidah dari Imam Abu Tahir al Dabbas menjadi 39 kaidah. Setelah Karkhi
ulama mazhab Hanafi yang mengembangkan ilmu Qawaid Fiqhiyyah adalah Abu
Zaid Ubaidullah al Dabbusi (wafat 430 H) dalam kitabnya Ta’sis an Nadhar.

Selanjutnya Ilmu qawaid fiqhiyyah semangkin mengalami


perkembangan. Pada abad ke-7 H qawa’id fiqhiyyah mengalami perkembangan
yang sangat signifikan walaupun terlau dini untuk dikatakan matang. Diantara
ulama yang menulis kitab qawa’id pada abad ini adalah al-‘Allamah Muhammad
bin Ibrahin al-Jurjani al Sahlaki (w.613 H) ia menulis kitab dengan judul “al-
Qawa’id fi Furu’I al- Syafi’iyah” , kemudian al-Imam Izzudin Abd al-Salam (w.
660 H) menulis kitab “Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam” yang sempat
menjadi kitab terkenal. Dari kalangan madzhab Maliki Muhammad bin Abdullah
bi Rasyid al-bakri al-Qafshi (685 H) menulis “al-Mudzhb fi Qawa’id al-Madzhab”
dan masih banyak lagi. Karya-karya ini menunjukan bahwa qawa’id fiqhiyyah
menglami perkembangan yang pesat pada abad ke-7 H. Qawa’id fiqhiyyah pada
abad ini nampak tertutup namun sedikit demi sedikt mulai meluas. 4

Pada abad ke-8 H, ilmu qawaid fiqhiyyah mengalami masa keemasan,


ditandai dengan banyaknya bermunculannya kitab-kitab Qawa’if fiqhiyyah. Dalm
hal ini, ulama Syafi’iyyah termasuk yang paling kreatif. Diantara karya-karya
besar yang muncul dalam abad ini adalah:

1. al-Asyabah wa an-Nadhair karya Ibnu al-Wakil al-Syafi’I (w.716 H)


2. kitab al-Qawa’id karya al-Maqqari al-Maliki (w. 758 H)
3. al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabt al-Madzhab karya al-‘Alai al-Syafi’I
(w.761 H). dll

4 Umar Abdulla Kamil, al-Qawaid al-Kulliah al-Kubra Wa Atsruha fi al-

Muamalat al-Maliyah

9
Karya-karya besar yang mengkaji qawa’id fiqhiyyah yang disusun pada
abad IX H banyak mengikuti metode karya-karya abad sebelumnya. Diantara
karya-karya tersebut adalah:

1. Kitab al-Qawa’id karya Ibnu al-Mulaqqin (w. 840 H)


2. Asnal Maqashid fi Tahrir al-Qawa’id karya Muhammad bin Muhammad
al-Zubairi (w. 808 H)
3. kitab al-Qawa’id karya Taqiyuddin al-Hishni (w. 829 H). dll

Dengan demikian, ilmu qawa’id fiqhiyyah berkembang secara berangsur-


angsur. Pada abad VIII H, perkembangan ini qawa’id fiqhiyyah terbatas hanya
pada penyempurnaan hasil karya para ulama sebelumnya, khususnya di kalangan
ulama Syafi’iyah. Hal ini dapat dilihat misalnya pada kitab Ibnu al-Mulaqqin dan
Taqiyuddin al-Hishni.

Pada abad X H, pengkodifikasian qawa’id fiqhiyyah semakin


berkembang. Imam al-Suyuti (w. 911 H) telah berusaha mengumpulkan qaidah
fiqhiyyah yang paling penting dari karya al-‘Alai, al-subaki, dan al-zarkasyi. Ia
mengumpulkan kaidah-kaidah tersebut dalam kitabnya al-Asybah wa al-Nadhai.
Kitab-kitab karya ketiga tokoh ulama tersebut masih mencakup qawa’id ushuliyah
dan qawa’id fiqhiyyah, kecuali kitab karya al-Zarkasyi.

Pada abad XI dan XII H, ilmu qawa’id fiqhiyyah terus berkembang.


Dengan demikian, fase kedua dari ilmu qawa’id fiqhiyyah adalah fase
perkembangan dan pembukuan. Fase ini ditandai dengan munculnya al-Karkhi
dan al-Dabbusi. Para ulama yang hidup dalam rentang waktu ini (abad IV-XII)
hampir dapat menyempurnakan ilmu Qawa’id fiqhiyyah.

3. Fase Pemantapan Dan Penyempurnaan (Abad XIII H)


Pengkodefikasian ilmu qawaid fiqhiyyah mencapai puncaknya ketika
disusunya Al Majalla Al Ahkam Al Adliyyah pada akhir abad ke 13 H oleh komite
ulama pada masa khalifah Al Ghazi Abdul Azis dari dinasti Ustmaniyyah.

10
penyusunan dilakukan dengan melalui proses pengumpulan dan penyeleksian
terhadap berbagai kitab-kitab fiqh.

C. Perbandingan Qawaidh Fiqhiyyah Dan Qawaidh Ushulliyah


Ada beberapa perbedaan dan perbandingan antara qawaidh fiqhiyyah dan
qawaidh ushulliyah yang akan dibahas dimakalah ini, antara lain :

1. Perbedaan Dari Segi Pengertian


Pengertian qawaidh ushulliyah dalil syara’ yang bersifat menyeluruh,
universal dan global (kulli dan mujmal). Qaidah ushuliyyah merupakan sejumlah
peraturan untuk menggali hukum.5 Dari pengertian ushul fiqih terkandung
pengertian bahwa objek kajian ushul fiqih itu antara lain adalah kaidah-kaidah
penggalian hukum dari sumbernya. Dengan demikian kaidah ushuliyah adalah
sejumlah proporsi/ pernyataan/ ketentuan dalam menggali hukum islam dari
sumber-sumbernya yaitu al-Quran dan as-sunnah. Qaidah ushuliyyah berfungsi
sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa sumber
hukum. Menguasai qaidah ushuliyyah dapat mempermudah faqih untuk
mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya.

2. Dari Segi Fungsi


a. Fungsi Kaidah Fiqhiyyah

Para Imam Madzhab dalam mengistinbathkan suatu hukum memiliki


pola pikir tertentu yang dapat dijadikan aturan pokok, sehingga hasil istinbath-nya
dapat dievaluasi secara objektif oleh para pengikutnya. Kaidah-kaidah dasar
merupakan acuan dalam beristinbath.

Dengan demikian pada dataran epistemology, kaidah fiqhiyah berfungsi


sebagai alat untuk mengetahui dan menelusuri pola dan kerangka berpikir para
imam dalam beristinbath, sekaligus dapat diketahui titik relevansi antara ijtihad
yang satu dengan yang lain. Akhirnya dapat diketahui metode yang digunakan
oleh para imam madzhab dalam beristinbath hokum, yaitu :

5 Abdul Wahah Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal. 47

11
1) Pertama, pada dataran aksiologis, qawaid al-fiqhiyyah berfungsi untuk
memudahkan mujtahid dalam mengistinbathkan hokum yang bersesuaian
dengan tujuan syara dan kemaslahatan manusia, karena dengan adanya
kaidah tersebut, para mujtahid dapat menggolongkan masalah serupa
dalam lingkup suatu kaidah.
2) Kedua, dari qawaid al-fiqhiyyah adalah agar para mujtahid dapat
mengistinbathkan hokumhukum syara dengan baik dan benar, orang tidak
akan dapat menetapkan hokum dengan baik apabila tidak mengetahui
kaidah fiqih.
3) Ketiga, qawaidh al-fiqhiyyah berfungsi untuk membina hokum Islam. Hal
ini ditegaskan oleh Hasbi As-Shiddiqie, yang menyatakan bahwa qawaid
al-fiqhiyyah berfungsi untuk memelihara ruh Islam dalam membina
hokum, mewujudkan ide-ide yang tinggi, baik mengenai hak keadilan
persamaan, maupun dalam memelihara maslahat, menolak mafsadat serta
memperhatikan keadaan dan suasana.
4) Keempat, qawaid fiqhiyyah yang bersifat kulli itu akan mengikat atau
mengekang furu’ yang bermacam-macam, dan meletakkan furu’ itu dalam
satu kandungan umum yang lengkap, karena hakikat qawaidh al-fiqhiyyah
adalah himpunan hukum-hukum syara yang serupa atau sejenis, lantaran
adanya titik persamaan atau adanya ketetapan fiqih yang merangkaikan
kaidah tersebut.6

b. Fungsi Kaidah Ushulliyah


Fungsi utama dari kaidah Ushuliyah menurut Amin Darmah adalah untuk
mengangkat ketentuan-ketentuan hukum islam yang terpapar dalam al-Qur’an dan
alSunnah, sehingga setiap orang mukallaf dapat mengetahuinya dengan baik, dan
menerimanya sebagai ketentuan syara’ baik secara yakin maupun dzan 7 . Para
ulama menempuh langkah-langkah kreatif menurut norma-norma hukum itu yang

6 Syahrul Anwar, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia,

2010, h 125-127
7 Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2009, hal.

26

12
terpapar secara acak dalm al-Qur’an dan al-Sunnah dalam bentuk kalam-kalam
yang tertulis, dan mereka tidak berjumpa langsung dengan rasulullah sebagai
orang yang menyampaikan kalam tersebut dan mampu menjelaskannya dengan
baik8 . Dengan demikian, kaidah ushulliyyah ini hanya merupakan metodelogi
kajian hukum dari nash-nash al-Quran dan al-Sunnah yang berfungsi mengangkat
ketentuan-ketentuan hukum islam, untuk kemudian menjadi pedoman bagi orang-
orang mukallaf dalam menjalani kehidupan ini.

Menurut Ali Ahmad al-Nadawi, perbedaan antara qawaid fiqhiyyah dengan


qawaid ushuliyyah adalah sebagai berikut: 9

a. Ilmu ushul fiqih merupakan parameter (tolak ukur) cara berinstinbat fikih
yang benar. Kedudukan ilmu ushul fiqih (dalam fiqih) ibarat kedudukan ilmu
nahwu dal hal pembicaraan dan penilisan, qawaid fiqhiyyah merupakan
wasilah, jembatan penghubung, antara dalil dan hukum. Tugas qawaid
fiqhiyyah adalah mengeluarkan hukum dari dalildalil yang tafshili
(terperinci). Ruang lingkup qawaid ushuliyyah adalah dalil dan hukum seperti
amr itu menunjukan wajib, nahyi menunjukan haram, dan wajib mukhayar
bila telah dikjerjakan sebagaian orang, maka yang lainya bebas dari tanggung
jawab. Qawaid fiqhiyyah adalah qaidah kulliyah atau aktsariyah (mayoritas)
yang juz’i-juz’inya (farsialfarsialnya) beberapa masalah fiqih dan ruang
lingkupnya selslu perbuatan orang mukalaf.
b. Qawaid ushuliyyah merupakan qawaid kulliyah yang dapat diaplikasikan
pada seluruh juz’i dan ruanglingkupnya. Ini berbeda dengan qawaid fiqhiyyah
yang merupakan kaidah aghlabiyah (mayoritas) yang dapat diaplikasikan
pada sebagaian juz’i-nya, karena ada pengecualiannya.
c. Qawaid ushuliyyah merupakan dzari’ah (jalan) untuk mengeluarkan hukum
syara’ amali. Qawaid fiqhiyyah merupakan kumpulan dari hukum-hukum
serupa yang mempunyai ‘illat yang sama, dimana tujuannya untuk menekatkan
berbagai persoalan dan mempermudah mengetahuinya.

8 Ibid. hal 19

9 Ali Ahmad al Nadawy, al Qawi’id al Fiqhiyyah, h. 68,69.

13
d. Eksistensi qawaid fiqhiyyah baik dalam teori maupun realitas lahir setelah
furu’, karena berfungsi menghimpun furu’ yang berserakan dan
mengalokasikan makna-maknanya. Adapun ushul fiqih dalam teori ditunut
eksistensinya sebelum eksistensinya furu’, karena akan menjadi dasar seorang
fakih dalam menetapkan hukum. Posisinya seperti al-Qur’an terhadap sunah
dan nash al-Qur’an lebih kuat dari zahirnya. Ushul sebagai pembuka furu’.
Posisinyaseperti anak terhadap ayah, buah terhadap pohon, dan tanaman
terhadap benih.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal penting seputar posisi,
fungsi, peran, sejarah, dan kitab-kitab qawaid fiqhiyyah sebagai berikut :

1. Qawaid al fiqhiyyah telah disepakati menduduki kedudukan ke dua dalam


disiplin ilmusyariah setelah ushul fiqh. Dengan berpegang kepada rambu-rambu
yang tertata didalamnya, para mujtahid akan lebih sistematis dalam mengambil
kesimpulan hukum atassuatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah
pada lingkup satu kaidah besar yangnanti dicabangkan pada kaidah-kaidah
lainnya.

2. Dalam konteks penetapan hukum, kaidah fikih berperan penting sebagai ‘pisau
analisis’mengingat permasalahan hukum di era kontemporer yang semakin
berkembang dankompleks. Tentu saja, kaidah fikih tidak sendirian, dibutuhkan
juga perangkat ilmu lainuntuk menghasilkan hukum yang komprehensif.

3. Perkembangan al-Qawaid al-Fiqhiyyah dapat dibagi menjadi 4 fase, yaitu


masaRasulullah(embrio), masa Khulafaurrasyidin, masa Tabi’in dan generasi
setelahnya,masa penyusunan/pembukuan. Kaidahkaidah fiqh mengalami perkemb
angan pesat semenjak abad ke-8 hingga masa-masa berikutnya. Salah satu di
antara kitab tentang al-Qawa’id al-Fiqhiyyah yang sering dijadikan rujukan ialah
kitab al-Asybah wa al-Nadzhair karya Imam Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi

15
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab khalaf. Ilmun ushul fiqh

Ali ahmad al-nadawy. Al-qawaidh fiqhiyyah

Beni ahmad saebani. Ilmu ushul fiqhi. 2009. Bandung : CV Pustaka setia

Hasbi ash-shiddqy. Pengantar hukum islam. Jakarta : bulan Bintang

H. Asnin Syafiyuddin Lc. MA http://www.slideshare.net/asnin_syafiuddin/01-02-


pendahuluan diposting pada tanggal 10 september 2013

Syahrul Anwari. Ilmu fiqh & ushul fiqh. 2010. Bogor : Penerbit ghalia Indonesia

Umar Abdullah Kamil. Al-qawaid al-kulli’ah wa asthruha fi muamalat al-maliyah

Mu’jam al-lughah al’-arabiyah, mu’jam al-wajid,t.tp. wuzarah al tarbiyah wa al-


ta’lim, th.

16

Anda mungkin juga menyukai