Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah qawaidh fiqhiyyah fiil
Mu’amalah
1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad saw yang kita nanti-natikan syafa’atnya di
akhirat nanti.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
kami mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami
mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penyusun Kelompok 1
2
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang.......................................................................................... 4
A. Kesimpulan................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 16
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai kitab suci terakhir yang ditujukan pada pedoman dan petunjuk
bagi umat manusia di seluruh waktu dan tempat al-quran sepatutnya
diterjemahkan ditelaah diteliti dikaji dalam berbagai upaya dikerahkan dari
berbagai pihak terutama yang memiliki basis keilmuan keagamaan yang
mempuni. Islam dikenal kurang lebih14 abad masih juga belum memperoleh
manfaat dari petunjuk yang diberikan secara berlimpah-limpah didalamnya.
B. Rumusan Masalah
1. Memahami definisi, ruang lingkup, dan tujuan qawaidh fiqhiyyah & fiqh
mu’amalah.
2. Memahami Sejarah munculnya qawaidh fiqhiyyah
3. Memahami perbandingan qawaidh fiqhiyyah dan qawaidh ushuliyyah
4
BAB II
PEMBAHASAN
العمل اباحلاكم الرشيعة العملية من ادلهتا التفصلية وهو عمل مس تنبط ابلرأي وااجلهتاد
وحيتاج فيه اىل النظر والتأمل
“Ilmu yang menerangkan hukum hukum syara yang amaliyah yang diambil dari
dalil-dalilnya yang tafsily dan diistinbatkan melalui ijtihad yang memerlukan
analisa dan perenungan”2
25
5
1.1 Dasar-Dasar Pengambilan Qawaid Fiqhiyyah
Yang dimaksud dengan dasar pengambilan Qawaid Fiqhiyyah ialah
dasar-dasar perumusan qaidah fiqhiyyah. Perumusan tersebut meliputi dasar
formil dan materiilnya. Dasar formil maksudnya apakah yang dijadikan dasar
ulama dalam merumuskan qaidah fiqhiyyah itu, jelasnya nash-nash manakah yang
menjadi pegangan ulama sebagai sumber motivasi penyusunan qaidah fiqhiyyah.
Adapun dasar materiil maksudnya darimana materi qaidah fiqhiyyah itu
dirumuskan.
6
c. Al-Qawa’id al-Madzhabiyyah, yaitu kaidah-kaidah yang menyeluruh pada
sebagian madzhab, tidak pada madzhab yang lain
d. Al-Qawa’id al-Mukhtalaf fiha fi al-Madzhab al-Wahid, yaitu kaidah yang
diperselisihkan dalam satu madzhab. Kaidah-kaidah itu diaplikasikan dalam
satu furu’ (cabang) fiqh tidak pada furu’ yg lain, dan diperselisihkan dalam
furu’ satu madzhab.
Pada dasarnya peletakan batu dasar ilmu qawaid fiqhiyyah telah di mulai
sejak tiga kurun pertama dari tahun Hijriyyah, yaitu sejak masa Rasulullah SAW,
Sahabat, dan Tabi’in. hal ini dapat di lihat dari hal-hal berikut ini:
7
Ayat ini dikemudian hari di jadikan sebagai landasan lahirnya
kaidah “ Adat kebiasaan merupakan hukum”.
b. Terdapat hadist-hadist Rasulullah yang padat dan singkat. Di
antaranya adalah hadist “Innamal a’malu binniyah….” Dan
hadist “La darara wa la dirara”.
c. Terdapat Atsar Sahabat yang singkat dan padat yang dapat dijadikan
sebagai sumber dalam mengambil keputusan hukum. Di antaranya
atsar Ali bin Abi Tahlib r.a (wafat 40 H) yang diriwayatkan oleh
Abdul Razaq (211 H) : “orang yang membagi keuntungan tidak
harus menanggung kerugian”.
d. Dan timbulnya kaidah-kaidah di kalangan para Tabi’in. di antaranya
adalah pernyataan Imam Syafi’i: “Apabila yang besar gugur, maka
yang kecil pun gugur”.
meskipun belum dikenal sebagai kaidah dan belum menjadi satu disiplin
ilmu tersendiri.
2. Perkembangan qawa’id fiqhiyyah dapat ditelusuri lewat pernyatan-
pernyatan para ulama di atas, karena mereka adalah rujukan pertama ilmu
ini.
3. Beberapa kaidah yang dibentuk para ulama mutaqaddimin, terutama apa
yang disampaikan oleh Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Syafi’I ,
merupakan beberapa kaidah ulama mutakhirin.
4. Atsar dan pernyataan para ulama mutaqaddimin menjadi rujukan ulama
mutakhirin dalam membentuk, mangumpulkan, dan mengkodifikasikan
qawa’id fiqhiyyah
8
ulama dari mazhab Hanafi, yaitu Abu Hasan Al Karkhi (wafat 340 H). Dalam
risalahnya yang berjudul Ushul Al Karkhi, Abu Hasan Al Karkhi mengembangkan
17 kaidah dari Imam Abu Tahir al Dabbas menjadi 39 kaidah. Setelah Karkhi
ulama mazhab Hanafi yang mengembangkan ilmu Qawaid Fiqhiyyah adalah Abu
Zaid Ubaidullah al Dabbusi (wafat 430 H) dalam kitabnya Ta’sis an Nadhar.
Muamalat al-Maliyah
9
Karya-karya besar yang mengkaji qawa’id fiqhiyyah yang disusun pada
abad IX H banyak mengikuti metode karya-karya abad sebelumnya. Diantara
karya-karya tersebut adalah:
10
penyusunan dilakukan dengan melalui proses pengumpulan dan penyeleksian
terhadap berbagai kitab-kitab fiqh.
11
1) Pertama, pada dataran aksiologis, qawaid al-fiqhiyyah berfungsi untuk
memudahkan mujtahid dalam mengistinbathkan hokum yang bersesuaian
dengan tujuan syara dan kemaslahatan manusia, karena dengan adanya
kaidah tersebut, para mujtahid dapat menggolongkan masalah serupa
dalam lingkup suatu kaidah.
2) Kedua, dari qawaid al-fiqhiyyah adalah agar para mujtahid dapat
mengistinbathkan hokumhukum syara dengan baik dan benar, orang tidak
akan dapat menetapkan hokum dengan baik apabila tidak mengetahui
kaidah fiqih.
3) Ketiga, qawaidh al-fiqhiyyah berfungsi untuk membina hokum Islam. Hal
ini ditegaskan oleh Hasbi As-Shiddiqie, yang menyatakan bahwa qawaid
al-fiqhiyyah berfungsi untuk memelihara ruh Islam dalam membina
hokum, mewujudkan ide-ide yang tinggi, baik mengenai hak keadilan
persamaan, maupun dalam memelihara maslahat, menolak mafsadat serta
memperhatikan keadaan dan suasana.
4) Keempat, qawaid fiqhiyyah yang bersifat kulli itu akan mengikat atau
mengekang furu’ yang bermacam-macam, dan meletakkan furu’ itu dalam
satu kandungan umum yang lengkap, karena hakikat qawaidh al-fiqhiyyah
adalah himpunan hukum-hukum syara yang serupa atau sejenis, lantaran
adanya titik persamaan atau adanya ketetapan fiqih yang merangkaikan
kaidah tersebut.6
6 Syahrul Anwar, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia,
2010, h 125-127
7 Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2009, hal.
26
12
terpapar secara acak dalm al-Qur’an dan al-Sunnah dalam bentuk kalam-kalam
yang tertulis, dan mereka tidak berjumpa langsung dengan rasulullah sebagai
orang yang menyampaikan kalam tersebut dan mampu menjelaskannya dengan
baik8 . Dengan demikian, kaidah ushulliyyah ini hanya merupakan metodelogi
kajian hukum dari nash-nash al-Quran dan al-Sunnah yang berfungsi mengangkat
ketentuan-ketentuan hukum islam, untuk kemudian menjadi pedoman bagi orang-
orang mukallaf dalam menjalani kehidupan ini.
a. Ilmu ushul fiqih merupakan parameter (tolak ukur) cara berinstinbat fikih
yang benar. Kedudukan ilmu ushul fiqih (dalam fiqih) ibarat kedudukan ilmu
nahwu dal hal pembicaraan dan penilisan, qawaid fiqhiyyah merupakan
wasilah, jembatan penghubung, antara dalil dan hukum. Tugas qawaid
fiqhiyyah adalah mengeluarkan hukum dari dalildalil yang tafshili
(terperinci). Ruang lingkup qawaid ushuliyyah adalah dalil dan hukum seperti
amr itu menunjukan wajib, nahyi menunjukan haram, dan wajib mukhayar
bila telah dikjerjakan sebagaian orang, maka yang lainya bebas dari tanggung
jawab. Qawaid fiqhiyyah adalah qaidah kulliyah atau aktsariyah (mayoritas)
yang juz’i-juz’inya (farsialfarsialnya) beberapa masalah fiqih dan ruang
lingkupnya selslu perbuatan orang mukalaf.
b. Qawaid ushuliyyah merupakan qawaid kulliyah yang dapat diaplikasikan
pada seluruh juz’i dan ruanglingkupnya. Ini berbeda dengan qawaid fiqhiyyah
yang merupakan kaidah aghlabiyah (mayoritas) yang dapat diaplikasikan
pada sebagaian juz’i-nya, karena ada pengecualiannya.
c. Qawaid ushuliyyah merupakan dzari’ah (jalan) untuk mengeluarkan hukum
syara’ amali. Qawaid fiqhiyyah merupakan kumpulan dari hukum-hukum
serupa yang mempunyai ‘illat yang sama, dimana tujuannya untuk menekatkan
berbagai persoalan dan mempermudah mengetahuinya.
8 Ibid. hal 19
13
d. Eksistensi qawaid fiqhiyyah baik dalam teori maupun realitas lahir setelah
furu’, karena berfungsi menghimpun furu’ yang berserakan dan
mengalokasikan makna-maknanya. Adapun ushul fiqih dalam teori ditunut
eksistensinya sebelum eksistensinya furu’, karena akan menjadi dasar seorang
fakih dalam menetapkan hukum. Posisinya seperti al-Qur’an terhadap sunah
dan nash al-Qur’an lebih kuat dari zahirnya. Ushul sebagai pembuka furu’.
Posisinyaseperti anak terhadap ayah, buah terhadap pohon, dan tanaman
terhadap benih.
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal penting seputar posisi,
fungsi, peran, sejarah, dan kitab-kitab qawaid fiqhiyyah sebagai berikut :
2. Dalam konteks penetapan hukum, kaidah fikih berperan penting sebagai ‘pisau
analisis’mengingat permasalahan hukum di era kontemporer yang semakin
berkembang dankompleks. Tentu saja, kaidah fikih tidak sendirian, dibutuhkan
juga perangkat ilmu lainuntuk menghasilkan hukum yang komprehensif.
15
DAFTAR PUSTAKA
Beni ahmad saebani. Ilmu ushul fiqhi. 2009. Bandung : CV Pustaka setia
Syahrul Anwari. Ilmu fiqh & ushul fiqh. 2010. Bogor : Penerbit ghalia Indonesia
16