Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

Qawa’id al-Fiqhiyyah Ghairu Asasiyah: kaidah 1-20

02-1‫القواعد الفقهية غير اساسية مختلف عليها‬


Ditulis Untuk Memenuhi Tugas Kelomok Mata Kuliah

Qawa’id Fiqhiyyah

Dosen Pengampu

Dr. H. Johari, M.Ag

UIN SUSKA RIAU

Disusun Oleh
Kelompok 8
Ahmad Andri (12120110685)
Yodi Triadi (12120120400)
Angela Octavinka (12120120444)
Sabila Putri Larasati (12120122880)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA SEMESTER V

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM

RIAU 1445 H/2023 M


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, karena dengan rahmat dan
karunianya kami masih diberikan kesempatan untuk menyelesaikan tugas makalah
kelompok Qawa‟id Fiqhiyyah tentang “Qawa‟id al-Fiqhiyyah Ghairu Asasiyah:
kaidah 1-20”. Tidak lupa kami ucapkan kepada Bapak Dosen dan teman-teman
yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan tugas makalah kelompok
Qawa‟id Fiqhiyyah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
kekurangan, oleh sebab itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun. Dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan teman-teman. Amiin.
Pekanbaru, 07 November 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

A. Latar Belakang ..................................................................................... 2


B. Rumusan Masalah ................................................................................ 2
C. Tujuan .................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASN ................................................................................... 3

A. Pengertian Kaidah Ghoiru Asasiyah Mukhtalaf Fiha .......................... 4


B. Macam-Macam Kaidah Ghoiru Asasiyah Mukhtalaf Fiha .................. 4
C. Kaedah Pertama ................................................................................... 4
D. Kaedah Kedua ...................................................................................... 4
E. Kaedah Ketiga ...................................................................................... 5
F. Kaedah Keempat................................................................................. 6
G. Kaedah Kelima ..................................................................................... 6
H. Kaedah Keenam ................................................................................... 7
I. Kaedah Ketujuh.................................................................................... 7
J. Kaedah Kedelapan ............................................................................... 8
K. Kaedah Kesembilan ............................................................................. 9
L. Kaedah Kesepuluh ............................................................................... 10
M. Kaedah Kesebelas ................................................................................ 10
N. Kaedah Kedua belas ............................................................................. 11
O. Kaedah Ketiga belas............................................................................. 11
P. Kaedah Keempat belas ......................................................................... 12
Q. Kaedah Kelima belas............................................................................ 12
R. Kaedah Keenam belas .......................................................................... 13
S. Kaedah Ketujuh belas .......................................................................... 13
T. Kaedah Kedelapan belas ...................................................................... 14
U. Kaedah Kesembilan belas .................................................................... 14
V. Kaedah Kedua puluh ............................................................................ 15

BAB III PENUTUP ........................................................................................ 16

A. Kesimpulan .......................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seperti mana yang kita ketahui bahwa kaidah-kaidah Fiqhiyah yang non
asasiyah untuk dasar dalam istinbath hukum-hukum islam ada yang telah
disepakati dan ada juga yang diperselisihkan (kontroversial). Kaidah non
asasiyah yang disepakati ada 40 kaidah dalam Al-Asyba‟ wan Nadzoir
(Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi). Kaidah-kaidah non asasiyah ini,
walaupun kedudukannya bukan kaidah asasiyah, namun keabsahannya dapat
diakui, dan tiada jumhur ulama mengingkarinya walaupun terdapat sebagian
ulama yang tidak sepakat.
Sedangkan kaidah yang mukhtalafah ini banyaknya ada duapuluh
kaidah. Menurut al suyuthi, kedua puluh kaidah tersebut tidak dapat ditarjih
(diunggulkan) salah satunya. Hal ini dikarenakan kedua puluh kaidah tersebut
mempunyai dasar hukum masing-masing.1
Dalam sebuah kaidah fikih dikatakan “la yunkaru al-mukhtalafu fihi wa
innama yunkaru al-muttafaq 'alaih”/pandangan lain yang masih
diperselisihkan ulama tidak boleh serta merta diingkari, berbeda dengan
pandangan yang telah disepakati ulama maka kita boleh mengingkari
pandangan sebaliknya. Sementara itu hampir seluruh ulama sepakat bahwa
ajaran yang mukhtalaf fihi jauh lebih banyak dari ajaran yang muttafaq 'alaih.
Ini artinya wilayah takfir dan idhlal dalam ajaran Islam sangatlah sempit,
tidak mudah untuk mengkafirkan dan memandang sesat pihak lain.
Problem kita adalah tidak adanya kesepakatan di kalangan ulama tentang
ajaran yang masuk dalam katagori mujma‟ „alayhi dan mana yang mukhtalaf
fihi. Akibatnya tidak ada standard baku atas dasar apa seseorang dapat

1
Muhammad Taufiq, „Kaidah-Kaidah Non Asasiyah Yang Kontroversial‟, Blogspot
<https://pcinupakistan.blogspot.com/2016/>.

1
dipandang kafir dan sesat. Oleh karena itu, makalah ini mencoba untuk
membahas tentang kaidah-kaidah fiqh yang mukhtalaf.2

B. Rumusan Masalah
Meninjau lebih lanjut dari latar belakang di atas, maka rumusan
masalah dapat di uraikan sebagai berikut:
1. Apa itu Kaidah Fiqhiyyah Ghairu Asasiyah Mukhtallaf?
2. Apa saja Kaidah-kaidah Fiqhiyyah Ghairu Asasiyah Mukhtallaf?
3. Bagaimana contoh dari Kaidah-kaidah Ghairu Asasiyah Mukhtallaf?

C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui defenisi,
kaidah-kaidah serta contoh dari Kaidah Fiqhiyyah Ghairu Asasiyah
Mukhtallaf. Dan yang paling utama adalah untuk menambah wawasan
pemahaman dan pengetahuan pembaca dan penulis dalam memahami
penyebab terjadinya perbedaan pendapat para ulama dalam masalah fikih.

2
Muhaimin, „Kaidah-Kaidah Fiqh Yang Mukhtalaf Alaih‟, Blogspot, 2011
<https://muhaiminks.blogspot.com/2011/01/kaidah-kaidah-fiqh-yang-mukhtalaf-
alaih.html?m=1> [accessed 6 November 2023].

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kaidah Ghoiru Asasiyah Mukhtalaf Fiha


Qawaidul Fiqhiyyah berarti dasar-dasar yang berhubungan dengan
masalah-masalah atau jenis-jenis hukum (fikih) sebagaimana yang telah
disebutkan dalam materi yang telah lampau. Qawaidul fiqhiyyah ini
mencakup kaidah-kaidah asasi dan ghairu asasi. Qawaid fiqhiyyah asasiyyah
yaitu kaidah pokok dari segala kaidah fiqh yang ada. Kaidah ini dipergunakan
untuk menyelesaikan masalah furuiyyah. Sedangkan qawaid fiqhiyyah ghairu
asasiyyah berarti kaidah-kaidah umum fikih yang bukan kaidah asasiyyah
seperti yang diuraikan sebelumnya. Kaidah tersebut adalah kaidah-kaidah
umum yang ruang lingkup dan cakupannya luas. Kaidah ini berlaku dalam
berbagai cabang hukum fikih. Qawaid fiqhiyyah ghairu asasiyyah dibagi
menjadi dua bagian, yaitu kaidah ghairu asasiah muttafaq „alaih (yang tidak
dipertentangkan), dan kaidah ghairu asasiah mukhtalafah fiha (yang
dipertentangkan).3
Kaidah al mukhtalaf adalah kaidah yang berbentuk pertanyaan pada
satu tema tertentu dengan dua jawaban atau lebih. Satu permasalahan yang
seharusnya mempunyai jawaban yang pasti, ternyata di sana di temukan
jawaban yang beragam. Disinilah letak keunikan kaidah muktalaf. Disebut
mukhtalaf karena kaidah ini adalah kaidah yang subtansinya dikhilafkan
dalam madzhab Syafi‟i. Ketika mengaplikasikan kaidah-kaidah al-mukhtalaf
kedalam sebuah permasalahan, dengan tanpa menjelaskan predikat hukum
mana yang lebih kuat dari dua sisi kaidah yang berbeda. Sebagian lagi, ada
yang lebih kreatif dengan melakukan proses tarjih. Kekreatifan ini diteruskan
pada saat menyikapi permasalahan lain dengan menerapkan kaidah dalam
satu permasalahan yang sama dengan tinjauan sisi kaidah yang lain. 4

3
Ietha Fairuz, „Kaidah Ghoiru Asasiyah‟, Blogspot
<https://iethafairuz.blogspot.com/2014/11/kaidah-ghoiru-asasiyah.html>.
4
Muhaimin, Op.cit.

3
Kaidah-kaidah yang mukhtalaf , artinya kaidah-kaidah yang masih
diperselisihkan, dan tarjihnya juga tidak sama. Terkadang juga ada cabang
yang diperselisihkan tapi hanya sebagian, atau karena masing-masing
mempunyai dalil yang tidak dapat dikesampingkan.5

B. Macam-Macam Kaidah Ghoiru Asasiyah Mukhtalaf Fiha


Menurut Abdurrahman as-suyuthi dalam “Al-Asybah Wa Nadhoir”
menyebutkan 20 (dua puluh) kaidah yang diperselisihkan, yaitu:
1. Kaidah Pertama
6
‫حال ها ع لى ص الة او م ق صىرة ظهر ال جم عة‬

Artinya: “Shalat jum‟at itu adalah shalat dzuhur yang dipendekan atau shalat
sebagaimana adanya.”
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat ulama. Pertama, ulama yang
berpendapat bahwa shalat jum‟at itu adalah shalat zuhur yang dipendekan.
Implikasinya adalah bahwa shalat jumat boleh dijamak (digabung) dengan
shalat ashar. Kedua, ulama yang berpendapat bahwa shalat jumat adalah
shalat sebagaimana adanya, bukan shalat zuhur yang dipendekan.
Implikasinya, shalat jumat tidak boleh dijamak dengan shalat ashar.7
Apabila salat jum‟at diniati dengan salat dzuhur yang diringkas, maka
menurut hakikatnya sudah sah, tetapi menurut fungsinya tidak sah, karena
niat itulah sebenarnya yang membedakan setiap amalan.8

2. Kaidah Kedua
‫انصالة خهف انًحذث انًجٕٓل انحال ارا لهُا بانصحت ْم ًْ صالة جًاعت أاَفشاد‬
Artinya: “salat (makmum) dibelakang imam yang berhadas dan tidak
diketahui kondisi itu, jika salatnya diketahui sah, apakah sahnya itu karena
salat jamaah ataukah karena salat sendirian.” 9

5
Ibid
6
Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Bin Abu Bakr As-Suyuti, al-Asybah wan Nadhoir, h.
109.
7
Ali Ahmad Al-Nadwi, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah, edisi ke 1, (Palembang: Perpustakaan
Nasional dalam terbitan KDT, 2019), h. 155.
8
Wakid Yusuf, „20 Kaidah Fiqh Yang Diperselisihkan (Mukhtalaf Fiha) Beserta Contohnya
, Wordpress <https://wakidyusuf.wordpress.com/2017/02/04/20-kaidah-fiqh-yang-diperselisihkan-
mukhtalaf-fiha-beserta-contihnya/>.

4
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat ulama. Pertama, ulama yang
berpendapat bahwa dalam kasus seseorang makmum mengikuti imam yang
berhadats tapi tidak diketahui keadaannya, bila kita berpendapat sah maka
shalatnya itu adalah shalat berjamaah. Kedua, ulama yang berpendapat bahwa
dalam kasus semacam ini shalat itu dianggap shalat sendirian.10
Pendapat bahwa shalat mereka shalat jamaah, adalah pendapat yang
lebih shaheh. Kalau makmum mendapatkan imam sedang ruku‟, kemudian
mengikutinya (masbuq), kemudian mengetahui tetang hadasnya imam
sebelum salam dan memisahkan diri, maka yang lebih shah adalah shalatnya
dianggap shalat sendiri, dan rakaat pertama yang bersama dengan imam
(mengikuti ruku‟nya imam ) dianggap tidak sah.11

3. Kaidah Ketiga
‫يٍ اتى بًا ٌُا فى انفشض دٌٔ انُفم فى أل فشض أاثُاءِ بطم فشظّ ْٔم تبمى صالتّ َفال‬
12
‫أتبطم‬

Artinya: “Barangsiapa yang melakukan perbuatan dengan membatalkan


perbuatan fardu, bukan perbuatan sunnat, diawal atau ditengah-tengah
perbuatan fardu, maka perbuatan fardunya menjadi batal, tetapi apakah
perbuatan itu menjadi perbuatan sunnat ataukah batal secara keseluruhan.”

Kaidah ini membahas tentang pelaksanaan ibadah fardhu yang pada


awal ataupun di tengah-tengah pelaksanaannya terjadi hal-hal yang merusak
shalat yang menjadikannya tidak dapat dinilai sebagai fardlu lagi. Secara
otomatis dengan melakukan hal semacam ini akan merusak kefardhuan
tersebut, dalam hal ini, bahwa ada perbedaan dalam mengunggulkan dua
pendapat yang ada.13
Kaidah tersebut menimbulkan dua pendapat, yaitu:

9
Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Bin Abu Bakr As-Suyuti, Op.cit, h. 110.
10
Ali Ahmad Al-Nadwi, Op.cit, h. 156.
11
Muhaimin, Op.cit.
12
Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Bin Abu Bakr As-Suyuti, al-Asybah wan Nadhoir, h.
110.
13
Muhaimin, Op.cit.

5
1) Bila seorang melakukan salat fardu sendirian, kemudian ada salat jamaah
dan karena ingin mengikuti salat jamaah, maka ia salam setelah dua rakaat,
maka salatnya tetap sah, dan salatnya berstatus salat sunnah.
2) Bila seorang telah melakukan takbiratul ihram untuk salat fardu sebelum
masuknya waktu atau karena ia membatalkan salat fardunya untuk
ditukarkan kepada fardu yang lain, tau untuk berpindah kepada salat
sunnah tanpa sebab, maka salatnya dianggap tidak sah.14

4. Kaedah Keempat
15
‫انُزس ْم ٌﺴهﻚ بّ يﺴهﻚ انٕاجﺐ أانجاﺋﺰ‬
Artinya: “Realisasi nazar, apakah apakah dilakukan seperti mengerjakan
pekerjaan wajib, ataukah pekerjaan jaiz.”

Kaidah tersebut menimbulkan dua pendapat, yaitu:


1) Dilaksanakan seperti pelaksanaan ibadah wajib, misalnya; nazar salat,
puasa maupun kurban, maka salat , puasa, ataupun kurban itu harus
dilakukan sebagaimana pekerjaan wajib. Kalau salat harus berdiri, tidak
boleh duduk bila kuasa, puasanya harus berniat dimalam hari, tidak boleh
siang hari seperti puasa sunnat, sedang kurbanya harus hewan yang cukup
umur serta tidak cacat.
2) Dilaksanakan seperti pelaksanaan ibadah jaiz, seperti memerdekakan
budak, sehingga boleh memerdekakan budak kafir atau budak cacat.16

5. Kaedah Kelima
17
‫ْم انﻌبشة بصٍﻎ انﻌمٕد أ بًﻌآٍَا‬
Artinya: “Apakah ungkapan itu yang dianggap bentuk akadnya tau
maknanya.”
Misalnya ada seseorang yang mengadakan transaksi, dengan
mengatakan saya beli laptop engkau dengan syarat model yang terbaru, harga

14
Wakid Yusuf, Op.cit.
15
Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Bin Abu Bakr As-Suyuti, Op.cit, h. 110.
16
Ietha Fairuz, Op.cit.
17
Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Bin Abu Bakr As-Suyuti, Op.cit, h. 111.

6
Rp. 5.000.000,-, kemudian penjual menjawab : Ya, jadi. Dilihat dari bentuk
akadnya adalah akad jual beli, sedangkan menurut maknanya adalah akad
salam (pesanan). Demikian juga seseorang berkata kepada temannya: ini,
engkau akan aku beri uang, tetapi nanti engkau kembali dari pasar, saya minta
sehelai bajunya. Hal ini terjadi perbedaan pendapat ulama. Menurut sebagian
ulama, ucapan semacam ini adalah akad hibah, sedangkan menurut ulama
yang lain, ucapan seseorang tersebut adalah akad jual-beli.18

6. Kaedah Keenam
19
‫انﻌٍٍ انًﺴﺘﻌاسة نهشٍْ ْم انًﻐهﺐ فٍٓا جاَﺐ انعًاٌ أ جاَﺐ انﻌاسٌت‬
Artinya: “Barang yang dipinjam untuk gadai , apakah pantas sebagai jaminan
ataukah sebagai pinjaman?”.

Barang pinjaman untuk jaminan gadai dipegang oleh pemberi gadai,


apakah yang mempunyai barang tersebut boleh meminta kembali? Kalau
barang tersebut dianggap sebagai pinjaman, maka dapat kembali atau diambil,
sedang jika sebagai jaminan maka tidak dapat diminta kembali kecuali sudah
dilunasi utangnya. Demikian juga, jika barang itu rusak, maka pihak gadai
harus mengganti, jika sebagai pinjaman, tetapi tidak wajib mengganti, jika
sebagai jaminan.20
Umpamanya, seseorang meminjam motor honda dari temannya dan
terus terang mengatakan bahwa motor honda tersebut akan digadaikan.
Setelah motor digadaikan tiba-tiba motor tersebut dicuri orang. Sebahagian
ulama berpendapat bahwa pihak penggadai tidak wajib mengganti, demikian
pula penerima gadai. Sebahagian lain berpendapat, bahwa penggadai sebagai
pemimjam dan yang menggadaikan motor itu wajib menggantinya. 21

7. Kaedah Ketujuh
‫انحٕانت ْم ًْ بٍع أ اسﺘٍفاء‬

18
Ali Ahmad Al-Nadwi, Op.cit, h. 158.
19
Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Bin Abu Bakr As-Suyuti, Op.cit, h. 113.
20
Wakid Yusuf, Op.cit.
21
Ali Ahmad Al-Nadwi, Op.cit, h. 159.

7
Artinya: “Apakah hiwalah (pemindahan utang) itu merupakan jual beli
ataukah kewajiban yang dipenuhi”.

Jika hiwalah merupakan kewajiban yang harus dipenuhi, maka tidak


ada khiyar baginya (pilihan untuk ditangguhkan), namun bila dianggap jual
beli maka ia berlaku persyaratan-persyaratan sebagaimana jual beli , yakni
bila ada cacatnya dapat dikembalikan, atau bila tidak senang dapat
dikembalikan kembali (khiyar majlis), namun apabila sebagai istifa‟ maka
tidak ada persyaratan tersebut.22
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat: Pertama, ulama yang
berpendapat bahwa hiwalah adalah akad jual beli. Kedua, ulama yang
berpendapat bahwa akad hiwalah itu dianggap sebagai pembayaran saja.
Umpamanya, Hijjas Naini mempunyai tanggungan utang sebesar Rp.
1.000.000,- yang harus dilunasinya kepada Abdul Aziz, sedangkan Abdul
Aziz juga masih harus membayar hutangnya sejumlah Rp.1.000.000,- kepada
Rahmah Meladia. Jadi, Abdul Aziz di satu sisi wajib membayar utang kepada
Rahmah Meladia di sisi lain ia berhak menerima pembayaran utang dari
Hijjas Naini sejumlah yang sama. Abdul Aziz berkata kepada Hijjaz Naini:
Uang saya Rp.1.000.000,- yang harus engkau bayarkan nanti, dibayarkan saja
kepada Rahmah Meladia, sebab saya berutang Rp 1.000.000,- kepadanya.
Kepada Rahmah Meladiah, Abdul Aziz berkata: Hutang saya Rp 1.000.00,-
kepadamu nanti akan dibayar oleh Hijjas Naini. Akad hiwalah semacam ini,
boleh khiyar, sebab hiwalah itu berarti jual-beli. Namun, sebagian ulama
berpendapat bahwa akad hiwalah semacam ini tidak ada khiyar, sebab
hilawah itu berarti pembayaran.23

8. Kaedah Kedepalan
24
‫اﻹبشاﺀ ْم ْٕ ﺇسماغ أ تًهٍﻚ‬
Artinya: “Pembebasan utang, apakah sebagai pengguguran utang atau
merupakan pemberian untuk dimiliki.”

22
Ietha Fairuz, Op.cit.
23
Ali Ahmad Al-Nadwi, Op.cit, h. 159-160.
24
Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Bin Abu Bakr As-Suyuti, Op.cit, h. 114.

8
Pembebasan utang yang tidak diketahui jumlah utangnya oleh orang
yang membebaskan, maka yang lebih sah adalah pemberian untuk dimiliki
dan tidak sah pengguguranya, sedanfkan kalau pemberi membebaskan dengan
mengetahui jumlah uangnya, maka yang lebih sah dengan isqoth
(pengguguran). Demikian juga pembebasan utang dari salah satu orang,
maka yang lebih sah adalah pemberian untuk dimiliki (tamlik) dan
jika ibro‟nya dikaitakan dengan sesuatu (tempat,keadaan) maka yang sah
adalah tamlik, kalu disyaratkan adanya qobul maka yang sah dengan isqoth
(pengguguran), sedang tamlik tidak disyaratkan adanya qobul. 25
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Pertama, ulama yang
berpendapat bahwa pembebasan utang tersebut adalah pengguguran utang.
Kedua, ulama yang berpendapat bahwa pembebasan utang itu adalah
kepemilikan saja.
Umpamanya, seorang buruh meminjam uang sebesar Rp 100.000,-
kepada majikannya. Mengingat buruh tersebut membebaskan utang buruhnya
tersebut. Dalam hal ini berbeda pendapat ulama. Pertama, ulama yang
berpendapat bahwa majikan boleh menarik kembali „pembebasan utangnya‟,
sebab pembebasan sama dengan pemilikan. Kedua, ulama yang berpendapat
bahwa majikan tidak boleh menarik „pembebasan utangnya‟, karena
pembebasan berarti pengguguran.26

9. Kaedah Kesembilan
27
‫اﻹلانت ْم ًْ فﺴﺦ أ بٍع‬
Artinya: “iqolah (pencabutan jual beli terhadap orang yang menyesal) adakah
itu merupakan pembatalan jual beli ataukah merupakan jual-beli
(keduakalinya)”.

Umpamanya, ada seseorang yang membeli sebuah rumah mewah, tetapi


karena merasa harganya mahal, maka pembeli merasa menyesal. Lantas si
penjual menginginkan iqalah (pencabutan jual-beli terhadap orang yang

25
Ietha Fairuz, Op.cit.
26
Ali Ahmad Al-Nadwi, Op.cit, h. 160-161.
27
Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Bin Abu Bakr As-Suyuti, Op.cit, h. 115.

9
menyesal). Dalam hal ini, seandainya iqalah dianggap sebagai fasakh
(pembatalan jual-beli), maka tidak perlu ijab qabul. Tetapi, kalau dianggap
sebagai jualbeli, maka harus ada ijab qabul.28

10. Kaedah Kesepuluh


29
‫انصذاق انًﻌٍٍ فً ٌذ انﺰٔج لبم انمبط يعًٌٕ ظًاٌ عمذ أ ظًاٌ ٌذ‬
Artinya: “Maskawin yang sudah ditentukan dan masih dalam genggaman
suami yang belum diterima oleh istri, hal itu merupakan barang yang di jamin
oleh suami berdasarkan akad ataukah dijamin sebagai barang yang diambil
dari tangan istri.

Artinya, maskawin kalau dianggap sebagai barang yang dijamin akad


maka tidak sah untuk dijual sebelum diterima, sedangkan kalau dianggap hak
milik istri maka boleh dijual walaupun barangnya masih disuaminya.
Demikian juga jika maskawin yang ditangan suami itu rusak atau hilang,
maka harus diganti sesuai dengan maskawin misil istri, karena jaminan
berdasarkan akad. Tetapi kalau dianggap sebagai barang yang diambil dari
tangan istri maka harus diganti persis seperti wujud semula atau seharga
mahar itu.30

11. Kaedah Kesebelas


31
‫انطالق انشجﻌً ْم ٌمطع انُكاح أال‬
Artinya: “Thalaq raj‟i apakah itu merupakan pemutusan nikah atai tidak.”
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat ulama. Pertama, ulama yang
menganggap bahwa talak raj‟i memutuskan nikah (memutuskan hubungan
perkawinan). Kedua, ulama yang mengganggap bahwa talak raj‟i tidak
memutuskan nikah, Konsekuensinya terlihat (umpamanya) ketika ada
seseorang laki-laki mentalak raj‟i isterinya, tiba-tiba (mantan) suaminya
meninggal dunia sebelum habis masa idah isterinya. Menurut pendapat
pertama, isterinya tersebut tidak boleh ikut memandikan jenazah (mantan)

28
Ali Ahmad Al-Nadwi, Op.cit, h. 161.
29
Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Bin Abu Bakr As-Suyuti, Op.cit, h. 116.
30
Wakid Yusuf, Op.cit.
31
Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Bin Abu Bakr As-Suyuti, Op.cit, h. 116.

10
suaminya itu, karena nikahnya dianggap sudah putus. Menurut pendapat
kedua, isterinya tersebut boleh ikut serta memandikan jenazah suaminya itu,
sebab hubungan nikahnya dianggap belum putus.32

12. Kaedah Kedua belas


33
ًٍٍٍ‫انظٓاس ْم انًﻐهﺐ فٍّ يشابٓت انطالق أيشابٓت ان‬
Artinya: “Dhihar itu apakah selayaknya serupa dengan talak, ataukah serupa
dengan sumpah.”

Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat ulama. Pertama, ulama yang
menyerupakan zihar dengan talak. Kedua, ulama yang menyerupakan zihar
dengan sumpah. Konsekuensinya, kalau ada seseorang yang menzihar empat
isterinya dengan satu kalimat, seperti: “Kamu semua seperti punggung
ibuku”, maka menurut ulama pertama, apabila suami ingin kembali kepada
isterinya, ia wajib membayar empat kafarat, karena diserupakan dengan talak.
Menurut ulama kedua, cukup hanya membayar satu kafarat (yaitu kafarat
sumpah), karena diserupakan dengan sumpah. Selanjutnya, apabila
diserupakan dengan talak maka boleh dengan lisan atau tulisan: tetapi apabila
diserupakan dengan sumpah, maka dengan lisan.34

13. Kaedah Ketiga belas


35
‫فشض انكفاٌت ْم ٌﺘﻌٍٍ بانششٔﻉ أ ال‬
Artinya: “Fardu kifayah, apakah menjadi fardu „ain setelah dilaksanakan atau
masih tetap sebagai fardu kifayah “.36

Dalam hal ini terdapat pendapat ulama. Pertama, sebahagian ulama ada
yang menganggapnya tetap sebagai fardu kifayah, Kedua, sebahagian ulama
ada yang menganggapnya sebagai fardu „ain. Konsekuensinya dapat dilihat

32
Ali Ahmad Al-Nadwi, Op.cit, h. 162-163.
33
Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Bin Abu Bakr As-Suyuti, Op.cit, h. 116.
34
Ali Ahmad Al-Nadwi, Op.cit, h. 163-164.
35
Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Bin Abu Bakr As-Suyuti, Op.cit, h. 117.
36
Wakid Yusuf, Op.cit.

11
dalam contoh shalat jenazah. Apabila shalat jenazah (yang sedang dikerjakan
itu) dianggap fardu„ain, maka haram dibatalkan kalau sedang dikerjakan.
Tetapi, kalau shalat itu dianggap sebagai fardu kifayah, maka tidak
diharamkan dibatalkan walaupun sedang dikerjakan.37

14. Kaedah Keempat belas


38
‫انﺰاﺋم انﻌاﺋذ ْم ْٕ كانزي نى ٌﺰل أ كانزي نى ٌﻌذ‬
Artinya: “Suatu yang hilang kemudian kembali, apakah hukumnya seperti
tidak hilang sebagaimana sedia kala ataukah sebagai barang baru”.39

Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat ulama. Pertama, ada ulama
yang menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak hilang. Kedua, ada ulama
yang menganggapnya sebagai sesuatu yang baru. Konsekuensinya,
umpamnaya isteri yang telah ditalak sebelum digauli suami, maka hilang
kepemilikannya atas mahar, apabila suaminya kembali maka kembali pula
kepemilikannya terhadap mahar seperti mahar semula. Contoh lain, harta
yang pada akhir tahun perlu dizakati kemudian hilang pada tengah tahun,
yang kemudian kembali, maka tetap pada akhir tahun dizakati, seperti tidak
hilang. Pendapat kedua yang mengangap sebagaimana barang baru, seperti
hakim gila atau hilang keahliannya, kemudian sembuh atau kembali atau
kekuasaan hakimnya.40

15. Kaedah Kelima belas


41
‫ْم انﻌبشة بانحال أبانًال‬
Artinya: “Apakah yang dipertimbangkan itu menurut keadaan atau menurut
benda.”
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat ulama. Pertama, ulama yang
mengatakan bahwa yang dipertimbangkan adalah keadaan. Kedua, ulama
yang mengatakan bahwa yang dipertimbangkan adalah benda.

37
Ali Ahmad Al-Nadwi, Op.cit, h. 164-165.
38
Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Bin Abu Bakr As-Suyuti, Op.cit, h. 118.
39
Muhammad Taufiq, „Kaidah-Kaidah Non Asasiyah Yang Kontroversial‟, Op.cit.
40
Ali Ahmad Al-Nadwi, Op.cit, h. 165.
41
Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Bin Abu Bakr As-Suyuti, Op.cit, h. 119.

12
Konsekwensinya kalau ada orang shalat memakai baju pendek, yang ketika ia
berdiri auratnya tidak kelihatan tetapi ketika rukuk nanti auratnya pasti akan
kelihatan, maka menurut pendapat pertama, tidak sah shalatnya karena
keadaannya akan tampak aurat ketika rukuk nanti. Sedangkan menurut
pendapat kedua bahwa shalat seseorang tersebut tidak sah sejak semula,
karena pakaian (benda) seperti itu.42

16. Kaedah Keenam belas


43
‫ارا بطم انخصٕص ْم ٌبمى انﻌًٕو‬
Artinya: “Apabila yang khusus telah batal, apakah yang umum masih tetap.”
Umpamanya, ada orang shalat yang telah mengucap takbiratul ikhram
pada shalat yang belum masuk waktunya, maka batallah kekhususannya (niat
44
shalat wajib itu). Tetapi menurut pendapat yang kuat masih dianggap
berlaku keumuman takbir itu untuk shalat sunnah.

17. Kaedah Ketujuh belas


45
‫انحًم ْم ٌﻌطً حكى انًﻌهٕو أانًجٕٓل‬
Artinya: “Anak yang masih dalam kandungan, apakah dihukumi seperti
sesuatu yang telah diketahui ataukah sebagai sesuatu yang belum
diketahui”.46

Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat ulama. Pertama, ulama yang
berpendapat dihukumi seperti sesuatu yang telah diketahui. Kedua, ulama
yang berpendapat dihukumi seperti sesuatu yang belum diketahui.
Konsekuensinya, seandainya Hijjas Naini menjual seekor sapi yang sedang
bunting, lalu mengatakan: Saya jual induk sapi ini kepadamu, tetapi aku tidak
menjual anak yang ada dalam perutnya. Ulama pertama menganggapnya sah

42
Ali Ahmad Al-Nadwi, Op.cit, h. 166.
43
Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Bin Abu Bakr As-Suyuti, Op.cit, h. 121.
44
Ali Ahmad Al-Nadwi, Op.cit, h. 166-167.
45
Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Bin Abu Bakr As-Suyuti, Op.cit, h. 121.
46
Ietha Fairuz, Op.cit.

13
sedangkan ulama kedua menganggapnya tidak sah. Sama halnya dengan jual
beli sperma binatang, jual beli hewan dalam kandungan.47

18. Kaedah Kedelapan belas


ّ‫انُادس ْم ٌهحك بجُﺴّ أبُفﺴ‬
Artinya: “Hal yang jarang terjadi apakah dihubungkan dengan jenisnya atau
dihubungkan dengan keadaan sendiri”.

Misalnya hukum menyentuh kelamin laki-laki yang telah putus,


menurut pendapat yang lebih kuat adalah membatalkan wudlu, karena secara
hakiki adalah menyentuh alat kelamin. Sedangkan jika menyentuh anggota
tubuh wanita yang telah terputus dari induknya maka tidak membatalkan,
karena hal itu tidak menyentuh wanita lagi. Demikian juga orang yang
mempunyai anggota badan lebih, misalnya jarinya 6 (enam), maka wajib juga
dibasuh saat berwudhu.48

19. Kaedah Kesembilan belas


49
ٍ‫انمادس عهى انٍمٍٍ ْم نّ االجﺘٓاد ٔاﻷخز بانظ‬
Artinya: “Orang yang mampu secara yakin, apakah ia dibolehkan
ijtihad dan mengambil perkiraan yang kuat”.
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat ulama. Pertama, ulama yang
berpendapat dibolehkan berijtihad dan mengambil perkiraan yang kuat.
Kedua, ulama yang berpendapat tidak dibolehkan berijtihad. Pemahaman dan
konsekwensinya dapat dilihat dalam kasus sebagai berikut: Abdul Aziz
memilki dua helai kain yang satunya suci dan yang satunya terkena najis
tetapi karena najisnya telah kering maka sulit untuk menentukan secara pasti
mana yang suci dan mana yang najis. Sementara itu, Abdul Aziz itu juga
mempunyai kain lain yang sudah pasti sucinya, masih disimpan dilemari.
Dalam menanggapi hal ini ulama pertama membolehkan Abdul Aziz
berijtihad menetukan tentang dua kain yang masih diragukan itu, untuk

47
Ali Ahmad Al-Nadwi, Op.cit, h. 168.
48
Wakid Yusuf, Op.cit.
49
Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Bin Abu Bakr As-Suyuti, Op.cit, h. 123.

14
dipakai shalat. Ulama kedua, tidak membolehkannya berijtihad tapi wajib
mengambil kain yang ada dilemari.50

20. Kaedah Kedua puluh


51
ٌ‫انًاَع انطاسئ ْم ْٕ كانًماس‬
Artinya: “Penghalang yang datang kemudian, apakah dia seperti bercampur
(dengan yang dihalangi) atau tidak”.

Dalam hal ini terjadi perbedaan ulama. Pertama, ulama yang


berpendapat bahwa penghalang yang datang kemudian seperti bercampur.
Atas dasar ini, maka penambahan terhadap air musta‟mal sehingga menjadi
banyak hukumnya suci dan menyucikan. Sembuhnya perempuan istihadhah
ketika sedang shalat, hukum shalatnya batal; murtadnya orang yang sedang
ihram, ihramnya batal; adanya niat maksiat dalam perjalanan taat tidak ada
hukum rukhshah. Kedua, ulama yang berpendapat bahwa halangan yang
datang kemudian tidak seperti bercampur. Atas dasar ini, maka datangnya air
ketika sedang shalatnya orang tayamum, hukum shalatnya tidak batal;
melakukan maksiat di tengah perjalanan taat hukumnya tetap ada rukhshah;
niat berdagang setelah membeli barang-barang (yang semula tidak
dimaksudkan untuk berdagang); hukumnya bahwa bagi pembeli barang
kewajiban zakatnya tidak dihitung mulai dari waktu pembelian, tetapi mulai
dari adanya niat berdagang. 52
Dari beberapa kaidah diatas, dapat diamati bahwa kaidah-kaidah yang
diperselisihkan sebenarnya bukan pada kaidah itu sendiri tetapi lebih
mengarah pada kondisi yang mempengaruhi kaidh itu tercipta, sehingga
keberlakuan kaidah tersebut menurut kondisi yang melatarbelakanginya. 53

50
Ali Ahmad Al-Nadwi, Op.cit, h. 169-170.
51
Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Bin Abu Bakr As-Suyuti, Op.cit, h. 123.
52
Ali Ahmad Al-Nadwi, Op.cit, h. 170-171.
53
Wakid Yusuf, Op.cit.

15
BAB III

PENUTUP

A. Keimpulan
Qawaidul fiqhiyyah terbagi dalam kaidah-kaidah asasi dan ghairu
asasi. Qawaid fiqhiyyah ghairu asasiyyah dibagi menjadi dua bagian,
yaitu kaidah ghairu asasiah muttafaq „alaih (yang tidak dipertentangkan),
dan kaidah ghairu asasiah mukhtalafah fiha (yang dipertentangkan).
Adapun kaidah ghairu asasiah yang tidak dipertentangkan banyaknya ada
empat puluh kaidah. Kaidah ini disebut sebagai kaidah kulliah (kaidah
universal). Sedangkan kaidah yang mukhtalafah ini banyaknya ada duapuluh
kaidah. Kedua puluh kaidah tersebut tidak dapat ditarjih (diunggulkan) salah
satunya.

16
DAFTAR PUSTAKA

As-Suyuti, Al-Imam Jalaludin bin Abu Bakr, Al-Asybah Wan Nadhor

Al-Nadwi, Ali Ahmad, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah, 1994

Fairuz, Ietha, „Kaidah Ghoiru Asasiyah‟, Blogspot


<https://iethafairuz.blogspot.com/2014/11/kaidah-ghoiru-asasiyah.html>

Muhaimin, „Kaidah-Kaidah Fiqh Yang Mukhtalaf Alaih‟, Blogspot, 2011


<https://muhaiminks.blogspot.com/2011/01/kaidah-kaidah-fiqh-yang-
mukhtalaf-alaih.html?m=1> [accessed 6 November 2023]

Taufiq, Muhammad, „Kaidah-Kaidah Non Asasiyah Yang Kontroversial‟,


Blogspot <https://pcinupakistan.blogspot.com/2016/>

Yususf, Wakid, „No Title‟, Wordpress


<https://wakidyusuf.wordpress.com/2017/02/04/20-kaidah-fiqh-yang-
diperselisihkan-mukhtalaf-fiha-beserta-contihnya/>

17

Anda mungkin juga menyukai