Anda di halaman 1dari 17

PENGANTAR STUDI ISLAM

KEDUDUKAN DAN FUNGSI IJTIHAD, METODE


MEMAHAMI HADIS

Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah
Pengantar Studi Islam

Oleh:
Hidayatul Putri Nur Fajriyah 07010322016
Hilwa Aqila Salsabila 07010322017
Rahardian Ahmad 07010322020
Dosen Pengampu:
Ida Rochmawati M.Fil.I

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN dan TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala


rahmat dan hidayah-Nya seningga dapat menyelesaikan makalah ini untuk
memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Studi Islam.
Harapannya dengan makalah ini para mahasiswa akan terbantu dalam
memahami “Kedudukan dan Fungsi Hadis, Metode Memahami Hadis” yang
merupakan salah satu dari materi yang terdapat dalam mata kuliah Pengantar
Studi Islam.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Ibu Ida Rochmawati, M.Fil.I.
selaku Dosen pengampu yang selalu memberikan bimbingan dan pengetahuan
tentang mata kuliah Pengantar Studi Islam. Demikian juga teman-teman semua
yang selalu memberikan semangat untuk menyelesaikan tugas.
Dengan segala kerendahan hati, diterima dengan lapang dada segala kritik
dan saran yang teman-teman berikan. Agar dapat memperbaiki pembuatan
makalah selanjutnya. Demikian pengantar yang disampaikan, semoga apa yang
diusahakan dapat bermanfaat bagi para mahasiswa.

Surabaya, 09 Oktober 2022

Penyusun

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................I
DAFTAR ISI......................................................................................................................II
BAB I.................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................1
C. Tujuan Penelitian...................................................................................................1
BAB II...............................................................................................................................2
PEMBAHASAN................................................................................................................2
A. Pengertian Ijtihad...................................................................................................2
B. Dasar Penetapan Ijtihad..........................................................................................3
C. Hukum Ijtihad........................................................................................................5
D. Macam-Macam Ijtihad...........................................................................................5
E. Kedudukan dan fungsi ijthad..................................................................................7
F. Metode Memahami Hadis......................................................................................8
BAB III............................................................................................................................12
PENUTUP.......................................................................................................................12
A. Kesimpulan..........................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................13

II
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Allah SWT memerintahkan manusia untuk selalu mengiuti ajaran Al-
Qur’an dan hadis. Meskipun al-qur’an telah diturunkan secara sempurna dan
lengkap tidak semua masalah dalam kehidupan manusia diatur secara detail
oleh Al-Qur’an maupun hadis. Setiap saat masalah baru akan terus muncul
dan diperlukan aturan-aturan baru dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Syariat Islam tellah mengatur semua problem melalui Al-Qur’an dan hadis.
Tetapi, tidak semua orang dapat memahami dalil-dalil tersebut. Sebab
manusia mempunyai keterbatasan dalam hukum-Islam dari semua sumber
aslinya yakni Al-Qur’an dan hadis. Bermadzhab merupakan alternatif bagi
orang yang tidak mampu berijtihad.
B. Rumusan Masalah
Latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan dalam
makalah ini dirumuskan sebagai berikut :
1. Apa pengertian Ijtihad ?
2. Bagaimana dasar penetapan, hukum, dan macam-macam Ijtihad ?
3. Bagaimana kedudukan dan fungsi Ijtihad, serta metode memahami hadis ?
C. Tujuan Penelitian
Pembentukan rumusan masalah seperti di atas mempunyai tujuan sebagai
berikut :
1. Mengetahui pengertian Ijtihad.
2. Mengetahui dasar penetapan, hukum, dan macam-macam Ijtihad.
3. Mengetahui kedudukan dan fungsi Ijtihad, serta metode memahami hadis.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad berasal dari kata berbahasa Arab “‫“ جه??د‬yang berarti
“pencurahan segala kemampuan untuk memperoleh sesuatu dari berbagai
urusan”. Ringkasnya, ijtihad berarti “sungguh-sungguh” atau “bekerja keras
dan gigih untuk mendapatkan sesuatu”. Sedangkan secara teknis menurut
Abdullahi Ahmed An-Na’im ijtihad berarti penggunaan penalaran hukum
secara independen untuk memberikan jawaban atas sesuatu masalah ketika
alQur’an dan al-Sunnah diam tidak memberi jawaban. Lebih jauh ia
mengatakan bahwa ijtihad telah menuntun para perintis hukum pada
kesimpulan dimana konsensus masyarakat atau para ulama atas suatu masalah
harus dijadikan sebagai salah satu sumber syari’ah. Dan al-Qur’an dan
Sunnah itu yang mendukung dan mendasari ijtihad sebagai sumber syari’ah. 1
Lebih dari itu, penggunaan ijtihad dalam pengertian umum sangat relevan
dengan interpretasi al-Qur’an dan al-Sunnah. Ketika suatu prinsip atau
syari’ah didasarkan pada makna umum atas suatu teks al-Qur’an dan
alSunnah, maka teks dan prinsip (aturan) syari’ah itu harus dihubungkan
dengan penalaran hukum. Sebab bagaimana pun juga sulit untuk
dibayangkan, ketika suatu teks al-Qur’an atau al-Sunnah -betapapun jelas dan
rincinya-, tidak lagi memerlukan ijtihad untuk interpretasi dan penerapanya
dalam situasi konkrit.
Adapun secara terminologis, definisi ijtihad yang dikemukakan oleh
ahli ushul fiqh adalah: “Pengarahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli
fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum
syar’i”. Pada pengertian ini ijtihad memiliki fungsi mengeluarkan (istinbat)
hukum syar’i, sehingga ijtihad tersebut tidak berlaku di lapangan teologi dan
akhlaq. Dan pengertian ijtihad menurut ulama ushul fiqh inilah yang dikenal
oleh masyarakat luas. Adalah Ibrahim Hosen yang dalam hal ini mewakili
1
Abdullahi Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani
(Yogyakarta: LkiS, 1994)

2
kelompok ahli fiqh dalam definisi ijtihad membatasinya dalam bidang fiqh
saja, yaitu bidang hukum yang berhubungan dengan amal. Sedangkan bagi
sebagian ulama lainnya, seperti Ibn Taimiyah mengatakan bahwa ijtihad juga
berlaku dalam dunia tasawuf. Demikian juga pendapat Harun Nasution yang
mengatakan ijtihad di dalam fiqh merupakan definisi ijtihad dalam arti
sempit, sementara dalam arti luas ijtihad juga berlaku di bidang politik,
akidah, tasawuf, dan juga filsafat.

B. Dasar Penetapan Ijtihad


1. Al-Qur’an
Ayat al-Qur’an yang dipahami oleh para ulama sebagai ayat yang
menunjukkan dan menjelaskan penetapan ijtihad sebagai dasar tasyri’
(penetapan hukum) adalah Surah an-Nisa’ ayat 5 yang berbunyi:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan RasulNya,
dan orang-orang yang memegang kekuasaan di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah Rasul)”
Di dalam ayat ini terdapat penegasan Allah swt. Yang berbunyi:
“Jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu hal, maka kembalikanlah
kepada Allah dan Rasul-Nya”.
Pengertian dari seruan ini adalah: Tersirat adanya perintah untuk
melakukan qiyas atau analogi terhadap hukum-hukum yang secara tidak
tegas diatur di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Artinya persoalan ini
dikembalikan kepada al-Qur’an dan al-Sunnah yaitu dengan diqiyaskan
pada hukum yang ada di dalamnya. Dapat saja terjadi suatu masalah
secara lahiriyah berbeda, namun esensinya sama dengan yang sudah diatur
secara tegas di dalam al-Qur’an maupun di dalam al-Sunnah. Untuk kasus
yang demikian, maka hukumnya dapat dianalogkan. Di samping itu
perintah untuk merujuk kepada al-Qur’an dan al-Sunnah juga berarti agar
setiap kegiatan intelektual yang berupa ijtihad adalah bahwa hasil akhirnya
harus tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.
2. Sunnah Nabi

3
Hadis Nabi saw. yang dijadikan landasan ijtihad adalah hadis yang
diriwayatkan oleh al-Baghawi dari Mu’az bin Jabal yang menerangkan
tentang dialog yang terjadi antara Nabi saw dengan Mu’az ketika akan
diangkat sebagai qadhi di Yaman. Nabi bersabda, “Bagaimana jika
engkau diserahi urusan peradilan?. Jawab Mu’az: “Saya akan menetapkan
perkara berdasarkan nash al-Qur’an”. Nabi bertanya: “Bagaimana jika
tidak kau dapatkan di dalam al-Qur’an”. Jawab Mu’az: “Dengan Sunnah
Rasul”. Kemudian Nabi mengakhiri pertanyaannya dengan: “Bagaimana
jika di dalam Sunnah pun tidak kau dapatkan?”. Mu’az menjawab: “Saya
akan mengerahkan kemampuan saya untuk menetapkan hukum dengan
pikiranku”. Rasulullah saw. mengakhiri dialog tersebut dengan
mengatakan: “Segala puji hanya bagi Allah yang memberikan petunjuk
kepada utusan RasulNya jalan yang diridlai Rasul Allah”
Hampir setiap pembahasan mengenai ijtihad menjelaskan tentang hadis
Mu’az ini. Dimana ditampilkan bahwa Nabi Muhammad saw memuji
Mu’az yang akan melakukan ijtihad dengan ra’yu (pikiran) jika ia tidak
dapat menemukan penjelalasan atau perkara tentang suatu hal di dalam al-
Qur’an maupun al-Sunnah, dengan kata lain ra’yu dapat dipakai sebagai
sarana penetapan hukum.
3. Dalil Aqli
Allah menciptakan syari’at Islam yang dibawa Nabi saw. merupakan
yang terakhir dan berlaku sampai hari akhir. Perlu diingat, bahwa nash
atau teks al-Qur’an dan al-Sunnah sangat terbatas jumlahnya, sementara
kejadian demi kejadian terus berjalan sepanjang zaman sesuai
perskembangan situasi. Para ahli hukum Islam menegaskan “an nushus
mutanahiyah wa al waqa’i ghair mutanahiyah” (Teks hukum terbatas
adanya, sementara kasus-kasus hukum berkembang tidak terbatas).
Dengan kondisi nash yang jumlahnya terbatas dan jika ijtihad tetap tidak
dibolehkan, maka akan menyebabkan kesulitan dalam memecahkan
persoalan hidup, oleh karenanya diperlukan ijtihad untuk menemukan

4
hukum sebagai solusi atas problematika yang muncul di era kontemporer
ini.

C. Hukum Ijtihad
Jumhur ulama sepakat bahwa apabila dalam nas tidak dijumpai hukum
yang akan diterapkan pada suatu kasus, maka seorang mujtahid boleh
melakukan ijtihad sesuai dengan metode yang telah disepakati bersama.
Mayoritas Ulama fiqih dan usul , diperkuat oleh atTaftazani dan ar-
Ruhawi mengatakan, “ijtihad tidak boleh dalam masalah qat’iyyat dan
masalah akidah”. Minoritas Ulama (al.Ibnu Taimiyah dan Al-Hummam)
membolehkan adanya ijtihad dalam akidah.
Hukum melakukan ijtihad bagi orang yang telah memenuhi syarat dan
kriteria ijtihad:
1) Fardu ‘ain untuk melakukan ijtihad untuk kasus dirinya sendiri dan ia
harus mengamalkan hasil ijtihadnya sendiri.
2) Fardu ‘ain juga untuk menjawab permasalahan yang belum ada
hukumnya. Dan bila tidak dijawab dikhawatirkan akan terjadi kesalahan
dalam melaksanakan hukum tersebut, dan habis waktunya dalam
mengetahui kejadian tersebut.
3) Fardu kifayah jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak
dikhawatirkan akan habis waktunya, atau ada lagi mujtahid yang lain yang
telah memenuhi syarat.
4) Dihukumi sunnah, jika berijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik
ditanya ataupun tidak.
5) Hukumnya haram terhadap ijtihad yang telah ditetapkan secara qat’i
karena bertentangan dengan syara’.

D. Macam-Macam Ijtihad
Secara garis besarnya ijtihad dibagi atas dua bagian, yaitu Ijtihad Fardi
dan Ijtihad Jama’y
a. Ijtihad fardi

5
adalah ijtihad yang dilakukan oleh perseorangan atau beberapa orang
yang tak ada keterangan bahwa mujtahid lain menyetujuinya dalam suatu
perkara. Ijtihad semacam inilah yang pernah dibenarkan oleh Rasulullah
kepada Muaz ketika Rasul mengutusnya untuk menjadi qat’i di Yaman.
Sesuai dengan pula ijtihad yang pernah dilakukan Umar bin Khattab kepada
Abu Musa Al-Asyari dan Syuraikh. Umar dengan tegas mengatakan kepada
Syuraikh.“apa-apa yang belum jelas bagimu di dalam AsSunnah, maka
berijtihadlah padanya dengan menggunakan daya pikiranmu”.
Umar berkata kepada Abu Musa al-‘Asy’ary “kenalilah penyerupaan-
penyerupaan dan tamsilan-tamsilan dan qiyaskanlah segala urusan sesudah
itu.”
b. jtihad Jama’i
adalah suatu ijtihad dalam suatu perkara yang disepakati oleh semua
mujtahidin.ijtihad semacam ini yang dimaksud oleh HadisAli ketika
menanyakan kepada Rasul tentang urusan yang tidak ditemukan hukumnya
dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Ketika itu nabi SAW Bersabda
Artinya: “kumpulkanlah untuk menghadapi masalah itu orang-orang yang
berilmu dari orang-orang mukmin dan jadikanlah hal ini masalah yang
dimusyawarahkan di antara kamu dan janganlah kamu memutuskan hal itu
dengan pendapat orang seorang. (HR. Ibnu Abdul Barr).
Di samping itu, Umar bin Khattab juga pernah berkata kepada Syuraih:
Artinya: “Dan bermusyawarahlah (bertukar pikiran) dengan orang-orang yang
saleh.”
Diriwayatkan oleh Maimun bin Mihran bahwasanya Abu bakar dan
Umar, apabila menghadapi suatu yang tidak ada hukumnya dalam Al-Qur’an
dan Sunnah, keduanya mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat atau
menanyakan pendapat mereka. Apabila mereka menyepakati suatu pendapat,
mereka pun manggunakan pendapat itu uuntuk menyelesaikan hal itu dengan
pendapat tersebut.Contoh lain ijtihad jama’i adalah kesepakatan sahabat
dukung dan mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah dan kesepakatan mereka

6
menerima anjuran Umar penulisan supaya Al-Qur;an di dalam mushaf,
padahal keputusan itu belum pernah dilakukan di masa Rasul.

E. Kedudukan dan fungsi ijthad


1) Kedudukan Ijtihad
Faqih dan fuqaha melakukan ijtihad apabila dalam suatu peristiwa
yang terjadi tidak ada dasar hukum atau petunjuk nas-nas Al-Qur’an.
Manusia secara kodrati terdiri atas jasmani dan rohani. Rohani itu
berfungsi untuk memahami apa yang dilihat oleh manusia, apa yang
dialami oleh akal pikiran yang sekaligus berfungsi untuk memahami segala
sesuatu yang ada dalam jagat raya ini. Sekalipun tidak ada petunjuk dari
agama, manusia dapat menggunakan akalnya untuk memperoleh
kebahagiaan hidupnya.
Dari sifat kodrati manusia itu sendiri dalam perjuangan kehidupan
untuk kebahagiaan lahir batin dari dunia sampai ke akhirat, ijtihad dapat
dianggap sebagai kebutuhan pokok dari setiap insan, sedangkan
kebahagiaan lahir batin dan ketentraman hidup yang dituntut itu adalah
berdasarkan hukum syara’. Untuk memahami ketentuan-ketentuan hukum
syara’, itu ijtihad merupakan kebutuhan utama. Kita mengetahui akal
manusia berbeda denganmakhluk lain dan perbedaan yang paling
menonjol antara manusia dengan makhluk lain adalah akal.
Tuhan memberikan petunjuk kepada manusia dengan insting,
pancaindra, akal, dan agama. Dengan insting, manusia dapat menghindari
bahaya yang dapat mengancamnya. Dengan instingnya manusia berusaha
untuk hidup lebih baik daripada yang diperolehnya sekarang. Dengan
pancaindranya manusia memperoleh petunjuk sehingga terhindar dari
kerugian-kerugian dan mendapat keuntungan. Namun demikian, baik
insting maupun panca indra mempunyai keterbatasan. Apabila manusia
sakit, insting dan pancaindra tidak dapat berfungsi dengan baik, misalnya
waktu sakit makanan yang enak itu rasanya pahit.
2) Fungsi Ijtihad

7
Sebagai sumber hukum Islam adalah untuk menetapkan suatu hukum
dimana hal tersebut tidak dibahas dalam Al-Qur’an dan hadis. Seperti yang
telah disinggung sebelumnya, fungsi Ijtihad sebagai sumber hukum
dipandang sebagai sumber hukum ketigasetelah Al-Qur’an dan hadis. Yang
berguna untuk mendapatkan sebuah solusi hukum jika ada sebuah masalah
yang harus ditetapkan hukumnya, akan tetapi tidak ditemukan baik Al-
Qur’an atau hadis.
Oleh karena itu, dari Ijtihad sebagai sumber hukum Islam, Ijtihad
memiliki kedudukan dan legalitas dalam Islam. Walaupun demikian Ijtihad
tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang artinya hanya orang-orang
tertentu saja, yang memenuhi syarat khusus yang boleh berijtihad.
Beberapa syarat tersebut diantaranya adalah :
 Mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam.
 Mempunyai pemahaman yang baik, baik itu bahasa arab, ilmu tafsir, ushul
fiqh, dan tarikh (sejarah).
 Mengetahui cara mengistinbatkan (perumusan) hukum dan melakukan
qiyas.
 Mempunyai akhlakul karimah.
Pada intinya fungsi Ijtihad sebagai sumber hukum Islam sangat penting
untuk kehidupan umat Islam di kehidupan yang semakin berkembang.
Sebagai sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan hadis, tentunya
seorang mujtahid yang akan berijtihad tidak bisa sembarang orang. Karena
Ijtihad sebagai sumber hukum Islam akan mempengaruhi semua orang
Islam di dunia.

F. Metode Memahami Hadis


Hadis merupakan sumber hukum kedua umat Islam. Oleh karena itu, perlu
adanya pemahaman tentang hadis. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan
untuk memahami hadis, antara lain :
1. Pemahaman Tekstual

8
Yaitu pemahaman hadis dengan apa adanya pada teks hadis (lafziyah).
Contoh hadis yang dipahami tekstual yakni :

‫صلوا كما رأيتموىن اصلى رواه مسلم‬


Artinya : “Shalatlah kamu sebagaimana kalian melihat aku shalat.”2
2. Pemahaman Kontekstualis
Apabila hadis tidak dapat dipahami secara tekstual, maka harus
dipahami secara kontekstual yakni dipahami dengan melihat aspek-aspek
di luar lafaz hadis itu sendiri. Ini dapat dipahami karena ada kaitannya
dengan :
a) Pemahaman Asbabul wurud
Perlu diketahui bahwa tidak semua hadis memiliki latar belakang
atau historis, ada hadis yang diriwayatkan karena faktor-faktor
tertentu, ada pula yang tidak. Dia datang begitu saja, seperti Al-
Qur’an ada yang turun secara ibtida’an tanpa sebab, ada pula yang
turun karena ada sebab.
Pemahaman hadis melalui metode ini sangatlah penting dilakukan,
karena dengann megetahui Asbabul Wurud suatu hadis, maka akan
diketahui makna umum, khusus, mutlak, dan muqayyad. Sehingga,
dapat diketahui makna hadis sesuai dengan porsinya. Contohnya :

‫قال رسول اهلل ص م اذا جاء احد كم اجلمعة فليغتسل‬

Artinya : “Rasulullah SAW bersabda apabila kamu sekalian hendak


datang (menunaikan shalat) Jumat maka hendaklah dia mandi.” 3
Menurut Imam Daud Al-Zhohiri, hadis tersebut menjelaskan
tentang wajibnya orang muslim yang hendak shalat Jumat melakukan
mandi sebelumnya. Hadis ini turun sebab pada zaman itu ada dua

2
Ahmad Sobari. 2014. “Metode Memahami Hadis”. Bogor: Universitas Ibn Khaldun, vol 2, no 2.
142.
3
Ahmad Sobari. 2014. “Metode Memahami Hadis”. Bogor: Universitas Ibn Khaldun, vol 2, no 2.
144.

9
orang penduduk Irak yang datang kepada Ibnu Abas dan bertanya
tentang mandi sebelum Shalat Jumat dan itu sangat baik. Dan
diriwayatkan pula bahwa masyarakat Arab pada saat itu berada dalam
perekonomian yang sulit. Mereka hanya bisa memakai pakaian dari
wol saja yang kasar dan jarang dicuci. Mereka banyak yang bekertja
di kebun, dan apabila waktu shalat Jumat tiba, mereka langsung
bergegas pergi ke masjid. Pada saat cuaca terik dan masjid memiliki
ukuran yang cukup sempit, ketika Nabi khutbah terciumlah bau
keringat orang-orang yang berbaju wol. Sehingga suasana masjid yang
hening dan tenang menjadi terganggu akan aroma tersebut.
b) Pemahaman Geografis
Sebagaimana hadis berikut :

‫ما بني املشرق واملغرب قبلة‬


Artinya : “Arah antara timur dan barat adalah kiblat”4
Hadis tersebut disabdakan ketika Nabi berada di kota Madinah
yakni sebelah Utara Ka’bah (Mekah) makna hadis ini sangatlah tepat
bagi orang penduduk Madinah. Tetapi tidak tepat untuk penduduk
kota dan negeri lain seperti Indonesia. Oleh karena itu, pemahaman
hadis ini harus melihat dimana lokasi hadis ini disabdakan.
c) Pemahaman Illat Al-Kalam (Kausalitas Kalimat)
Terkadang Nabi bersabda dalam hadis menggunakan ungkapan-
ungkapan yang maksudnya tidak bisa dipahami secara konkrit oleh
para sahabat. Sebagaimana salah satu hadis berikut :

‫اليصلني احدكم العصر اال ىف بىن قريظة رواه البخارى‬

Artinya : “Janganlah salah seorang kamu shalat ashar kecuali di


bani quraizhoh”5

4
Ahmad Sobari. 2014. “Metode Memahami Hadis”. Bogor: Universitas Ibn Khaldun, vol 2, no 2.
144.
5
Ahmad Sobari. 2014. “Metode Memahami Hadis”. Bogor: Universitas Ibn Khaldun, vol 2, no 2.
145.

10
Hadis ini dipahami oleh sebagian sahabat bahwa rasul
melarang shalat ashar kecuali di Bani Quraizhoh, walaupun sudah
habis waktunya (sesuai dengan tektual). Sahabat lain memahami
bahwa yang dimaksud oleh larangan rasul dan menyuruhnya shalat
ashar di Bani Quraizhoh adalah agar supaya cepat-cepat menuju Bani
Quraizhoh dan bukan keharusan shalat ashar disana. Dengan
demikian bagi mereka yang jalanya lambat dan tidak sampai Bani
Quraizhoh kecuali setelah matahari terbenam, maka mereka harus
shalat Ashar sebelum matahari terbenam, meskipun belum sampai di
Bani Quraizhoh, karena apabila shalat ashar di Bani Quraizhoh
sementara waktu Ashar telah habis maka berarti mereka
meninggalkan shalat Ashar pada waktunya dengan sengaja. Setelah
dikabarkan kepada rasul tentang masalah keduanya nabi
membenarkan kedua-duanya.
d) Pemahaman Sosio-Kultural
Yakni memahami hadis dengan cara mengaitkan hadis dengan
kondisi sosial masyarakat pada waktu itu. Misalnya hadis Nabi yang
membolehkan meludah di masjid pada saat shalat yakni ke sebelah
kiri atau ke bawah telapak kaki. Sebagai berikut :

‫عن انس ابن مالك قال قال رسول اهلل ص م اذا كان احدكم ىف الصالة‬
‫فانه يناجى ربه فال يبزقن بني يديه وال عن ميينه ولكن عن مشاله حتت‬
‫قدمه رواه مسلم‬
Artinya : “Dari Anas bin Malik Dia berkata Rasulullah saw
bersabda: Apabila salah seorang kamu dalam keadaan shalat
sesungguhnya dia sedang bermunajat kepada tuhannya, maka
janganlah meludah diantara tanganya dan kesebalah kanannya,
akan tetapi kesebelah kiri dibawah telapak kakinya.”(H.R
Muslim)6

6
Ahmad Sobari. 2014. “Metode Memahami Hadis”. Bogor: Universitas Ibn Khaldun, vol 2, no
2. 146.

11
Karena konteks meludah di masjid pada waktu itu merupakan
hal yang biasa, karena lantai masjidnya masih dari pasir dan tanah.
Sehingga ludah yang jatuh akan teresap karena udara yang sangat
panas. Sehingga bakteri-bakterinya pun tidak dapat bertahan lama.
Berbeda dengan masjid pada zaman sekarang yang lantainya terbuat
dari kramik maupun marmer. Jika meludah itu dibenarkan, tentu
akan malah mengotori masjid dan membahayakan kesehatan, serta
menjauhnya jamaah dari masjid karena kotor.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan materi yang telah dipaparkan diatas, dapat diketahui
bagaimana pengertian Ijtihad, kedudukan dan fungsi Ijtihad, serta metode
memahami hadis.
Ijtihad sangatlah penting bagi kehidupan umat Islam saat ini, karena
merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan hadis.

13
DAFTAR PUSTAKA

Lihat Liputanenam. “Fungsi Itihad Sebagai Sumber Hukum Islam Beserta Jenis
dan Contohnya”. Dalam https://m.liputan6.com/hot/read/4050903/fungsi-ijtihad-
sebagai-sumber-hukum-islam-beserta -jenis-dan-contohnya#:~:text=Fungsi
%20ijtihad%20sebagai%20sumber%20hukum%20Isla m%20adalah%20untuk
%20menetapkan%20suatu,setelah%20Al%2DQuran%20dan%20Ha dits . Diakses
pada 09 Oktober 2022.

Sobari, Ahmad. 2014. “Metode Memahami Hadis”. Bogor: Universitas Ibn


Khaldun. Dalam https://scholar.google.com/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=metode+memahami+hadits&oq
=metode+mema#d=gs_qabs&t=1663558011716&u=%23p%3DcaYTgxczgD4J.
Diakses pada 09 Oktober 2022.

14

Anda mungkin juga menyukai