Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

METODE IJTIHAD DAN KAIDAH USHULIYAH

Mata Kuliah Ushul Fiqih

Dosen Pengampu : Agus Ali M.Pd.

KAMPUS ASWAJA

Di susun oleh :

M.Ikbal Tawakal M.Nur Fahmi

Labib Adnan Siti Nurhidayah

Fikriyyah Sakinah Ghina Imania

Masturiah

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT UMMUL QURO AL-ISLAMI

LEUWILIANG KABUPATEN BOGOR


2022-2023

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Puji syukur kami ucapkan kepada tuhan yang maha esa telah banyak
nikmat yang diberikan.sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah Ushul
Fiqih. kami juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu
Bapak Agus Ali, M.Pd makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam
pemahaman kami dan para mahasiwa tengtang manajemen kelas tersebut.
Terlepas dari itu semua kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
banyak kekurangan baik dari segi susunan kalimat,bahasa,dan isi karena
keterbatsan pengetahuan dan pengalaman kami, sehingga kami membutuhkan
kritik dan saran yang bersifat membangun.akhir kata kami berharap semoga
makalah kami dapat bermanfaat bagi mahasiswa dalam mata kuliah ini.

Wassalamualaikum Wr.Wb

Bogor, November 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................
DAFTAR ISI................................................................................................................................................
PENDAHULUAN........................................................................................................................................
A. Latar Belakang................................................................................................................................
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................................
C. Tujuan masalah...............................................................................................................................
BAB II..........................................................................................................................................................
PEMBAHASAN...........................................................................................................................................
A. Pengertian Ijtihad...............................................................................................................................

B. Dasar Hukum Ijtihad.........................................................................................................................

C. Keduudukan Ijtihad...........................................................................................................................

D. Fungsi Ijtihad......................................................................................................................................

E. Objek Ijtihad.......................................................................................................................................
F. Kaidah Ushuliyah ('amm dan khash, amr dan nahyi)
……………………………………………...
BAB III.........................................................................................................................................................
PENUTUP....................................................................................................................................................
A. Kesimpulan......................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Ushul Fiqh sebagai cabang ilmu tersendiri seperti yang kita kenal sekarang
ini, tidak dikenal pada zaman Rasulullah saw. Hal ini dikarenakan pada zaman
Nabi SAW, dalam memberikan fatwa dan menegakkan hukum bisa langsung
mengambil dari nash Alquran yang diturunkan kepadanya atau menjelaskan
hukum melalui sunnah-Nya yang notabene wahyu juga. Demikian pula yang
terjadi pada masa para sahabat, para sahabat Nabi SAW memberikan fatwa dan
mengatur hukum berdasarkan dalil nash yang dapat mereka pahami berdasarkan
kemampuan mereka dalam memahami bahasa Arab, tanpa perlu adanya aturan
bahasa sebagaimana panduan dalam memahami nash. Selain itu, juga karena
mereka menyaksikan alasan turunnya ayat dan keberadaan hadits Nabi saw
menyebabkan mereka memahami tujuan dan dasar-dasar pembentukan hukum
Islam.
Akan tetapi dalam konteks sekarang, hukum Islam yang semestinya
diharapkan dapat menjawab segala persoalan kehidupan umat manusia pada
kenyataannya seolah tidak mampu untuk menjawab persoalan itu. Didalam tataran
empiris, fiqh sebagai bagian produk pemikiran hukum Islam (ijtihad), semestinya
tidak adaptis terhadap persoalan baru yang muncul dalamkonstruksi sosial budaya
Masyarakat yang terus berubah. Sebaliknya hukum Islam (fiqh) dituntut harus
peka dalam menjawab setiap problematika kemasyarakatan. Oleh karena itu,
dalam proses aplikasinya sebagai konsekuensi logis dari konsep syari’ah pada
akhirnya akan selalu melahirkan sebuah penafsiran, pemahaman, bahkan produk
pemikiran baru melalui ijtihad. Munculnya perbedaan dalam pemahaman dan
penafsiran para ulama melahirkan apa yang disebut fiqh. Pada prinsipnya
munculnya perbedaan pemikiran dalam fiqh disebabkan oleh adanya perbedaan
dalam metodologi ijtihad.

B.Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ijtihad ?
2. Apa yang dimaksud dengan dasar hukum ijtihad ?
3. Apa kedudukan ijtihad dalam ushul fiqih ?
4. Apa saja fungsi ijtihad ?
5. Apa saja Objek ijtihad ?
6. Apa yang dimaksud dengan Kaidah ushuliyah ?
C.Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian ijtihad
2. Untuk menegtahui dasar hukum ijtihad
3. Untuk mengetahui kedudukan ijtihad dalam ushul fiqih
4. Untuk mengetahui fungsi ijtihad
5. Untuk mengetahui objek ijtihad
6. Untuk mengetahui kaidah ushuliyah

BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad berasal dari kata berbahasa Arab "‫ "جه;;;د‬yang berarti
"pencurahan segala kemampuan untuk memperoleh sesuatu dari berbagai urusan".
Ringkasnya, ijtihad berarti "sungguh-sungguh" atau "bekerja keras dan gigih
untuk mendapatkan sesuatu". Sedangkan secara teknis menurut Abdullahi Ahmed
An-Na'im ijtihad berarti penggunaan penalaran hukum secara independen untuk
memberikan jawaban atas sesuatu masalah ketika al- Qur'an dan al-Sunnah diam
tidak memberi jawaban. Lebih jauh ia mengatakan bahwa ijtihad telah menuntun
para perintis hukum pada kesimpulan dimana konsensus masyarakat atau para
ulama atas suatu masalah harus dijadikan sebagai salah satu sumber syari'ah. Dan
al-Qur'an dan Sunnah itu yang mendukung dan mendasari ijtihad sebagai sumber
syari'ah. 1
Lebih dari itu, penggunaan ijtihad dalam pengertian umum sangat relevan
dengan interpretasi al-Qur'an dan al-Sunnah. Ketika suatu prinsip atau syari'ah
didasarkan pada makna umum atas suatu teks al-Qur'an dan al- Sunnah, maka teks
dan prinsip (aturan) syari'ah itu harus dihubungkan dengan penalaran hukum.
Sebab bagaimana pun juga sulit untuk dibayangkan, ketika suatu teks al-Qur'an
atau al-Sunnah -betapapun jelas dan rincinya, tidak lagi memerlukan ijtihad untuk
interpretasi dan penerapanya dalam situasi konkrit.2

1
Abdullahi Ahmed an-Na'im, Dekonstruksi Syari'ah, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani
(Yogyakarta: Lkis, 1994), hlm.54.
2
Ibid., hlm. 54.
Dari sisi ini menurut Abdullahi Ahmed, jelaslah bahwa ijtihad adalah
konsep yang fundamental dan sangat aktif dalam pembentukan syari'ah selama
abad VIII dan IX M. Begitu syari'ah matang sebagai sistem perundang- undangan,
dan pengembangan berbagai prinsip dan aturan yang segar dirasakan sudah cukup,
maka ruang ijtihad tampak menyempit menuju titik kepunahannya. Fenomena ini
dikenal dalam sejarah yurisprudensi Islam sebagai tertutupnya pintu ijtihad.
Namun banyak ulama kontemporer menuntut dibukanya kembali pintu ijtihad
tersebut.
Adapun secara terminologis, definisi ijtihad yang dikemukakan oleh ahli
ushul fiqh adalah: “Pengarahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli figh atau
mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syar’i. Pada
pengertian ini ijtihad memiliki fungsi mengeluarkan (istinbat) hukum syar’i,
sehingga ijtihad tersebut tidak berlaku di lapangan teologi dan akhlaq. Dan
pengertian ijtihad menurut ulama ushul fiqh inilah yang dikenal oleh masyarakat
luas. Adalah Ibrahim Hosen yang dalam hal ini mewakili kelompok ahli fiqh
dalam definisi ijtihad membatasinya dalam bidang figh saja, yaitu bidang hukum
yang berhubungan dengan amal. Sedangkan bagi sebagian ulama lainnya, seperti
Ibn Taimiyah mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku dalam dunia tasawuf.
Demikian juga pendapat Harun Nasution yang mengatakan ijtihad di dalam fiqh
merupakan definisi ijtihad dalam arti sempit, sementara dalam arti luas ijtihad
juga berlaku di bidang politik, akidah, tasawuf, dan juga filsafat.
B.Dasar Hukum Ijtihad
Hukum Islam adalah sistem hukum yang bersumber dari wahyu agama
sehingga istilah hukum Islam mencerminkan konsep yang jauh berbeda jika
dibandingkan dengan konsep, sifat dan fungsi hukum biasa. Seperti lazim
diartikan agama adalah suasana spiritual dari kemanusiaan yang lebih tinggi dan
tidak bisa disamakan dengan hukum. Sebab hukum dalam pengertian biasa hanya
menyangkut soal keduniaan semata. Joseph Schacht mengartikan hukum Islam
sebagai totalitas perintah Allah yang mengatur kehidupan umat Islam dalam
keseluruhan aspek menyangkut penyembahan, ritual, politik dan hukum. Terkait
tentang sumber hukum, kata-kata sumber hukum Islam merupakan terjemahan
dari lafaz Mashadir al-Ahkam. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-
kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulamaulama fikih dan ushul fiqh klasik.
Untuk menjelaskan arti sumber hukum Islam, mereka menggunakan al-adillah al-
Syariyyah. Penggunaan mashadir al-Ahkam oleh ulama pada masa sekarang ini,
tentu yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah al-Adillah al-Syariyyah.
Yang dimaksud Masadir al-Ahkam adalah dalil-dalil hukum syara yang diambil
daripadanya untuk menemukan hukum. Sumber hukum dalam Islam, ada yang
disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf).
Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah al-Qur’an,
hadis, ijma dan qiyas. Para ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut.
Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para
ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsan, maslahah
mursalah, istishab, ‘uruf, mazhab as-Shahabi, dan syar’u man qablana.
Dengan demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat sumber
hukum yang disepakati dan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan.
Wahbah al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber hukum yang diperselisihkan, enam
sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh adalah ad-dzara’i.
Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan
itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan
sebagai metode ijtihad.
Hukum Islam mengalami perkembangan pesat di periode Nabi
Muhammad yang ketika itu tradisi Arab pra-Islam dihilangkan. Sedangkan tradisi
lokal Arab yang berhubungan dengan muamalah, sejauh masih sejalan dengan
nilai-nilai Islam, dipertahankan dan diakulturasikan. Namun dalam perjalanannya,
hukum Islam mengalami pergolakan dan kontroversi yang luar biasa ketika
dihadapkan dengan kondisi sosiokultural dalam dimensi tempat dan waktu yang
berbeda. Menurut hemat penulis, hukum Islam meliputi syariat (al-Qur’an dan
sunnah) sebagai sumber primer dan fikih yang diambil dari syariat yang pada
dasarnya digunakan sebagai landasan hukum. Dalam hukum Islam untuk
menentukan hukum ijtihad, para ulama berpendapat bahwa jika ada seorang
Muslim ditanya atau dihadapkan kepada suatu peristiwa atau ditanya tentang
suatu masalah yang berkaitan dengan hukum syara maka hukum bagi orang yang
dihadapkan atau ditanya tersebut bisa wajib `ain, wajib kifayah, sunnat, ataupun
haram. Tergantung pada kapasitas seseorang tersebut. Pertama, bagi seorang
Muslim yang sudah memenuhi kriteria menjadi mujtahid dan dimintai fatwa
hukum atas suatu peristiwa dan ia juga dihadapkan kepada suatu masalah atau
suatu peristiwa dan ia khawatir akan hilangnya kepastian hukum akan terjadinya
suatu peristiwa tersebut padahal tidak ada seorang mujtahid lain maka hukum
ijtihad adalah wajib `ain.
Kedua, bagi seorang Muslim yang ditanya fatwa hukum atas terjadinya
suatu peristiwa tetapi ia khawatir akan tidak ada kepastian dari hukumnya tersebut
tetapi masih ada mujtahid yang lain maka hukum ijtihad tersebut wajib kifayah.
Artinya apabila tidak ada yang melakuakan ijtihad atas kasus tersebut maka
semuanya berdosa. Apabila ada salah satu dari mujtahid melakukan suatu upaya
untuk melakukan ijtihad atas kasus tersebut maka gugurlah hukum dosa tersebut.
Ketiga, hukum ijtihad akan menjadi sunnah apabila dilakukan atas persoalan yang
belum terjadi. Adapun spesifikasi dari macam-macam hukum Islam, fuqaha
memberi formulasi di antaranya wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah3.
1. Wajib
Ulama memberikan banyak pengertian mengenainya, antara lain suatu
ketentuan agama yang harus dikerjakan kalau tidak berdosa. Atau
suatu ketentuan jika ditinggalkan mendapat azab. Contoh, salat subuh
hukumnya wajib, yakni suatu ketentuan dari agama yang harus
dikerjakan, jika tidak berdosalah ia. Alasan yang dipakai untuk
menetapkan pengertian
di atas adalah atas dasar firman Allah Swt:
Artinya: “Dirikanlah salat dari tergelincir matahari sampai malam
telah gelap dan bacalah al-Qur’an di waktu fajar sesungguhnya
membaca al-Qur’an di waktu fajar disaksikan (dihadiri oleh malaikat
yang bertugas di malam hari dan yang bertugas di siang hari).”
2. Sunnah
Suatu perbuatan jika dikerjakan akan mendapat pahala dan jika
ditinggalkan tidak berdosa Atau bisa dikatakan sebagai suatu
perbuatan yang diminta oleh syari’ tetapi tidak wajib dan
meninggalkannya tidak berdosa.
3. Harom
Suatu ketentuan larangan dari agama yang tidak boleh dikerjakan.
Kalau orang melanggarnya, berdosalah orang itu.
4. Makruh
Arti makruh secara bahasa adalah dibenci. Suatu ketentuan larangan
yang lebih baik tidak dikerjakan. Atau meninggalkannya lebih baik
daripada melakukannya.
5. Mubah
Arti mubah itu adalah dibolehkan atau sering kali juga disebut halal.
Satu perbuatan yang tidak ada ganjaran atau siksaan bagi orang yang
mengerjakannya atau tidak mengerjakannya atau segala sesuatu yang
diizinkan oleh Allah untuk mengerjakannya atau meninggalkannya
tanpa
dikenakan siksa bagi pelakunya.

C.Kedudukan Ijtihad
ijtihad memiliki kedudukan sebagai sumber hukum Islam ketiga setelah
Al-Qur'an dan hadis. Ijtihad digunakan untuk menetapkan suatu hukum Islam
yang belum disebutkan secara tegas dalam Al-Qur'an dan hadis. Ijtihad memang
3
Atang Abd. Hakim, Metodologi Studi Islam, h. 105.
merupakan salah satu sumber ajaran Islam, setelah alQur’an dan as-Sunnah. Hal
ini berarti bahwa ijtihad baru dapat dirujuk sebagai sumber ajaran Islam ketika
dalil yang diperlukan untuk menetapkan suatu hukum benar-benar secara eksplisit
tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Dan lebih dari itu, mengingat
perintah taat—sebagaimana terdapat dalam Qs. an-Nisa’ (4): 59—hanya
difokuskan pada Allah dan rasul-Nya “athi’u Allah wa athi’u arrasul”, maka
ketaatan mutlak hanyalah terhadap al-Qur’an dan as-sunnah, sedangkan ketaatan
terhadap ijtihad sifatnya kondisional: jika hasil ijtihad itu sejalan dengan al-
Qur’an dan as-Sunnah, sebagai produk ulil amri, maka wajib dipatuhi, sedangkan
jika kebijakannya tidak sesuai dengan al-Qur’an dan asSunnah, maka tidak ada
kewajiban untuk mengikutinya.4
Di kalangan ulama’ fiqih, ijtihad dapat mengambil berbagai bentuk.
Keragaman model ijtihad itu di kalangan ulama’ telah terepresentasikan,
misalnya, dalam hal perbedaan pendapat dari empat madzhab fikih mengenai
sumber-sumber ajaran Islam. Bentuk-bentuk ijtihad itu dapat berupa ijma’ ulama’
(kesepakatan para ulama’), qiyas (analogi), al-mashlahat al-mursalah
(kemaslahatan ummat), ‘urf (tradisi yang sudah berlangsung), istihsan (sesuatu
yang dianggap baik), qaul as-shahabat (pendapat para sahabat), syar’u man
qablana (agama sebelum Islam), dan sadd ad-dzari’ah (menolak keburukan).34
Agak sedikit berlainan, Imam Syaukani menyebutkan metode ijtihad dengan
memberikan rincian sebagai berikut ini: ijma’, qiyas, istishab, istihsan, istishlah,
sadd ad-dzari’ah dan ‘urf.35 Sementara itu Abdullah Ahmed an-Na’im menyebut
ijma’ dan qiyas sebagai tehnik ijtihad,36 dan tehnik lain yang merupakan
tambahan adalah: istihsan, istislah atau maslahah, istishab, darurah dan ‘urf.
D.Fungsi Ijtihad
Fungsi ijtihad adalah untuk menentukan hukum-hukum baru atau
mengatasi situasi yang tidak terdokumentasikan secara eksplisit dalam teks-teks
klasik. Ini memungkinkan hukum Islam untuk dapat mengakomodasi perubahan
zaman dan kebutuhan masyarakat.
Adapun beberapa fungsi ijtihad dalam hukum islam yaitu:
1. Ijtihad al-ruju' (kembali) yaitu mengembalikan ajaran-ajaran Islam dari
segala jenis interpretasi yang kurang jelas berdasarkan Al-Quran dan
Sunnah.
2. Fungsi ijtihad al-ihya (kehidupan) yaitu menghidupkan kembali bagian-
bagian dari nilai agar semangat dan mampu menjawab tantangan zaman
menurut Islam.

4
Dr. Hj. Nurjannah, M Ag Metode Istanbat Hukum dari lafadz am, (2022), hal 59
3. Fungsi ijtihad al-inabah (pembenahan) yaitu memenuhi ajaran-ajaran
Islam yang sebelumnya diijtihadi oleh ulama terdahulu yang kemungkinan
ada kesalahan menurut kondisi dan konteks zaman sekarang.
E.Objek Ijtihad
Ijtihad dilakukan apabila terdapat suatu masalah yang hukumnya belum
jelas dan pasti di dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah atau hadits. Maka objek
yang diperbolehkan untuk berijtihad ialah hukum yang serta hukum-hukum
berdasarkan dalil-dalil yang yang bersifat dzanni, baik pengertiannya,
petunjuknya, belum ada nash-nya dan ijma' para ulama'. Apabila ada nash yang
keberadaannya masih dzanni, misalnya hadits ahad, maka yang menjadi lapangan
ijtihad ialah meneliti bagaimana sanadnya, derajat para perawinya, dan lain-lain.
Sedangkan terhadap permasalahan yang tidak ada nash-nya, maka yang menjadi
lapangan ijtihad ialah dengan cara menggunakan kaidah-kaidah yang bersumber
dari akal, seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan lain-lain5.
Adapun macam-macam mujtahid
1. Mujtahid mustaqil
2. Mujtahid Mutlaq muntaqil
3. Mujtahid muqoyyad
4. Mujtahid tarjih
5. Mujtahid fatwa

F.Kaidah Ushuliyah (amm dan Khash, Amr Dan Nahyi)


Qa’idah shuliyyah merupakan gabungan dari kata Qaidah dan ushuliyah,
kaidah dalam bahasa Arab ditulis dengan qaidah, yang artinya patokan, pedoman
dan titik tolak. Dan ada pula yang mengartikan dengan peraturan. Sedangkan
bentuk jamak dari qa’idah adalah qawa’id. Adapun ushuliyah berasal dari kata al-
ashl, yang artinya pokok, dasar, atau dalilsebagai landasan. adi, Qa’idah
(shuliyyah adalah pedoman untuk menggali dalil syara’, yang bertitik tolak pada
pengambilan dalil atau peraturan yang dijadikan metode dalam penggalian
hukum, kaidah ushuliyah disebut juga sebagai kaidah istinbathiyah atau ada yang
menyebut sebagai kaidah lughawiyah. Sedangkan menurut prof. Dr. Muhammad
Syabir (dalam Amin Darmah: 2011) mendefinisikan sebagai Suatu perkara kulli
kaidah-kaidah umum yang dengannya bisa sampai pada pengambilan kesimpulan
hukum syar’iyyah alfar’iyyah dari dalil-dalilnya yang terperin6.

5
Prof.DR.Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2,(1999) hal 109
6
Yeni Ahmad Saebani, ilmu ushul fiqh, (2009), hal 35
Maka bisa diambil kesimpulan bahwa kaidah ushulliyyah merupakan
sejumlah peraturan untuk menggali dalil-dalil syara’ sehingga didapatkan hukum
syara’ dari dalil-dalil tersebut dan kaidah ushulliyah ini juga merupakan kaidah
yang berhubungan dengan masalah kebahasaan, yang didalamnya tidak berbicara
sama sekali tentang fiqih karena didalamnya hanya berhubungan dengan masalah
kebahasan saja, yang telah disepakati oleh semua ulama’madzhab dan dijadikan
pijakan ulama’ tentang hukum.
Adapun contoh kaidah ushuliyah yang di paparkan oleh prof. Dr Rachmat
Syafe’I, MA. Adalah sebagai berikut:
Kaidah:
Yang artinya: “Bila dalil yang menyuruh bergabung dengan dalil yang
melarang makadidahulukan dalil yang melarang.”
1. Jenis-jenis qowaid ushuliyah

Drs. Yeni Ahmad Saebani, menjelaskan bahwa penerapan kaidah


ushuliyah yang pertama adalah kaidah lughawiyah, yaitu kaidah
bahasa yang berhubungan dengan kalimat-kalimat yang tersirat dalam
Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Adapun kaidah-kaidah tersebut adalah
sebagai berikut:
1) Pengertian Amr
Menurut jumhur ulama ushul, definisi amr adalah lafadw yang
menunjukkan tuntutan dariatasan kepada bawahannya untuk
mengerjaan suatu pekerjaan.
Kaidah dalam Amr
‫األصل في األمر للوجوب‬
meskipun suatu perintah bisa menunjukkan berbagai pengertian,
namun pada dasarnya suatu perintah menunjukkan hukum wajib
dilaksanakan kecuali bila ada indikasi atau dalil yang
memalingkannya.
Contoh perintah yang terbebas dari indikasi yang memalingkan
dari hukum yang wajib adalah (Q.S An-Nisa (4) : 77).
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada
mereka: Tahanlah tanganmu (dari berperang) dirikanlah sholat
dan tunaikanlah zakat.”
2) Nahi
Mayoritas ulama fiqih mendefinisikan nahi sebagai
‫االستعالء بالسيغة الدال عليطلب الكف عن الفعل علي الجهة‬
Larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi
kedudukannya kepadayang lebih rendah tingkAatannya dengan
kalimat yang menunjukkan atas hal itu. Jika lafal khusus yang
terdapat dalam nash syara’ berbentuk nahi atau bentuk berita
yangnermakna larangan, maka berarti haram. vaitu menuntut untuk
tidak melakukan yangdilarang secara tetap dan pasti. 1enurut
ulama ushul, definisi nahi adalah kebalikan amr, yakni lafad yang
menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan sesuatu tuntutan yang
mesti dikerjakan dari atasan kepada bawahan. Namun, para ulama
ushul sepakat bahsa nahyi ituseperti juga amr dapat digunakan
dalam berbagai arti.
Kaidah yang berhubungan dengan nahi
Kaidah ‫ األصل في النهى للتحريم‬pada dasarnya suatu larangan
menunjukkan hukum harammelakukan perbuatan yang dilarang
ke"uali ada indikasi yang menunjukkan hukum lain. Contohnya
ayat 151 surat al-An’am. “Dan janganlah kamu membunuh jika
yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan
sesuatu (sebab) yang benar.”
Contoh larangan yang disertai indikasi yang menunjukkan hukum
selain haram, dalam Surat Al-um’ah ayat (62) : 9. “Hai orang-
orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat jum’at,
Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika
kamu Mengetahui.”
3) Pengertian am
Am menurut bahasa artinya merata, yang umum dan
menurut istilah adalah lafadz yang memiliki pengertian umum,
terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadz itu.
Dengan pengertian lain, ‘am adalah kata yang memberi pengertian
umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu
dengan tidak terbatas.
‘Amm menurut istilah yaitu suatu lafadz digunakan untuk
menunjukan suatu makna yang pantas (boleh) dimasukkan pada
makna itu dengan mengucapkan sekali ucapan saja. Seperti lafadz
(arrijal) maka lafadz ini meliputi semua laki-laki.
Kaidah
yang menunjukkan pada umum yang melengkapi dan melingkupi
semua yang khusus, misalnya kaidah.
‫العمعوم من عوارض األلفاظ‬
Artinya: “Keumuman itu yang dimaksudkan adalah lafazhnya.”
4) Pengertian Khash
Khas ialah lafadz yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak
meliputi arti umum, dengankata lain, khas itu kebalikan dari ‘am
menurut istilah, definisi khas adalah ”Al-khas adalah lafadz yang
diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu, seperti
Muhammad Atau menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau
menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga belas, seratus,
sebuah kaum, sebuah masyarakat, sekumpulan, sekelompok, dan
lafadz-lafadz lain yang menunjukkan bilangan beberapa satuan,
tetapi tidak mencakup semua satuan-satuan itu”. 7
Dalam pengertian lain khas adalah lafaz yang khash itu
lafadz yang diletakkan untuk menunjukkan suatu individu yang
satu perseorangannya, seperti seorang laki-laki, ataumenunjuk
kepada sejumlah individu dan tidak menunjukkan terhadap
penghabisan seluruh individu-individu. Atau khas ialah lafadz yang
tidak meliputi mengatakannya sekaligus terhadap dua sesuatu atau
beberapa hal tanpa menghendaki kepada batasan.
Kaidah
Yang berkaitan dengan khash, misalnya:
‫ان التخصيص العمومات جائز‬
“Sesungguhnya penghkhususan lafadz umum diperbolehkan”

7
Fadal Muh Kurdi, Kaidah-kaidah fikih,(2008) hal 135
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Ijtihad merupakan salah satu cara berfikir secara mendalam dengan
segenap kemampuan yang dimiliki untuk menginterpretasikan ayat-ayat
Al-Qur’an yang bersifat Dzanni, dengan menggunakan beberapa metode
yang telah ditetapkan sebagai suatu problemsolving atas suatu kasus yang
belum terdapat dalam nash al-qur’an ataupun as-sunnah, kemudian
dilegitimasi lewat ijma’ para ulama, bila dianalogikan mungkin ijtihad ini
bisa disebut pula filsafat, dengan sebuah indicator yang bersifat prinsipil
dari segi para digma berfikir sehingga terbentuklah suatu konklusi dalam
sebuah kasus.Iijtihad dimulai sejak zaman Rasullah SAW terbukti dari
beberapa hadits-hadits dan beberapa pendapat para Ulama, memang dalam
hal ini terdapat suatu ikhtilaf antar ulama,bahkan bukan hanya itu saja,
dalam hal pintu ijtihad tertutup pun menjadi perdebatan hinggasaat ini,
karena bukti rill mengungkapkan sebagaian ulama menyepakati bahwa
tidak ada kata tutup dalam hal berijtihad, ada pula yang berpendapat
bahwa pintu ijtihad tertutup tetapi bilakita kritisi bukti konkrit yang
menjelaskannya bisa dikatakan kurang valid. Kapan mulai ditutupnya
ataupun dibukanya pintu ijtihad ini masih bias. Akan tetapi konon katanya
Ibnu taimiyah adalah orang yang pertama kali menggembar gemborkan
bahwa pintu ijtihad telah dibuka. Apakah mungkin semua itu hanya suatu
manajemen konfik semata? yang pasti dalam hal ini hanya bersifat dzanni.
Yeberapa jenis-jenis ka’idah (shuliyyah diantaranya amr dan nahi,
aam dan khas, (tersurat/tekstual) mafhum (tersirat/kontekstual) masing-
masing mempunyai pengertian yang berbeda namun pada hakikatnya sama
yaitu guna menggali sebuah hukum, yang berfungsi sebagai alat menggali
sebuah hukum syara’.

B.Saran
Makalah ini sangat jauh dari kata sempurna karena kami juga
masih tahap belajar untuk itu kritikan dan saran yang membangun kami
tunggu.

DAFTAR PUSTAKA

 https://jurnalannur.ac.id/index.php/An-Nur/article/download/21/20/
 Amir Mu’allim dan Yusdani, 1997 Ijtihad Suatu Kontroversi
Antara Teori dan Fungsi Yogyakarta: Titian Ilahi.
 Asy-Syarqawi, Abdurrahman, Riwayat sembilan Imam Fikih,
Jakarta: Pustaka Hidayah.
 https://jurnal.scribd.com/document/325730487/kaidah-ushuliyah
 http://kozam.wordpress.com/2009/II/10/kaidah-kaidah-ushul-fiqh

Anda mungkin juga menyukai