Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

METODE IJTIHAD KONTEMPORER


Dosen Pengampu: Drs. MATERAN,M.HI
Mata Kuliah: Ushul Fiqih dan Qawaidh Fiqhiyyah

Disusun Oleh:

U mar Ahmad Syahid (2221609091)


Sofiatun Hasanah (2221609033)
Priagustina Sari (2221609098)

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS
SAMARINDA
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, dengan rahmat dan hidayah dari Allah Swt, makalah ini
telah selesai disusun untuk memenuhi tugas kelompok.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dari Mata kuliah Ushul Fiqih
dan Qawaidh Fiqhiyyah Disamping itu, makalah ini dapat digunakan sebagai
media belajar dan media pengetahuan bagi para mahasiswa-mahasiswa yang
membacanya.

Dengan segala kekurangan dan keterbatasannya kami mohon maaf kepada


para pembaca. Semoga makalah ini ada guna dan manfaatnya bagi kita semua,
Amin.

Tenggarong Seberang,11 September 2023

Kelompok 1

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii


DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ..................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 2
A. Makna Ijtihad Kontemporer .................................................................................... 2
B. Model Ijtihad........................................................................................................... 3
C. Perangkat Ijtihad ..................................................................................................... 6
BAB III PENUTUP ............................................................................................... 8
A. Kesimpulan ............................................................................................................. 8
B. Saran ....................................................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 9

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Metode ijtihad atau langkah-langkah dalam penggalian hukum syara‟
dari dalil-dalil, dalam proses penetapan hukum untuk masalah yang tidak
dijelaskan secara eksplisit dalam Alquran dan sunnah secara prinsip sama,
baik dalam ijtihad masa lalu atau kontemporer. Dengan kata lain metode
ijtihad kontemporer tidak berbeda dengan metode yang dipakai oleh para
imam mazhab dan ulama-ulama klasik. Hanya saja dari segi teknis dan
langkah-langkahnya ijtihad kontemporer sedikit berbeda dengan metode
ijtihad para imam mazhab misalnya. Hal itu karena para imam mazhab
dianggap sebagai “pembuka jalan ijtihad”, dan mujtahid kontemporer
sebagai “penerus” mereka. Di bawah ini akan diuraikan secara ringkas
kedua metode itu.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Makna Ijtihad Kontemporer?
2. Bagaimanakah Model Ijtihad?
3. Bagaimanakah Perangkat Ijtihad?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Bagaimanakah Makna Ijtihad Kontemporer
2. Untuk mengetahui Model Ijtihad
3. Untuk Mengetahui Perangkat Ijtihad

1
BAB II

PEMBAHASAN
A. Makna Ijtihad Kontemporer
Bila menilik definisi ijtihad dalam karya ulama klasik, maka secara
umum dapat ditarik kesimpulan bahwa ijtihad adalah mengerahkan
segala kemampuan keilmuan untuk mendapatkan sebuah simpulan,
pengetahuan, atau prasangka tentang suatu hukum dari pebuatan orang
mukallaf (cakap hukum). Sementara menurut kalangan ulama
kontemporer, ijtihad merupakan sebuah konsep yang sekaligus
mengandung implikasi metodologis, metodis dan fungsional. Fazlur
Rahman misalnya, mendefinisikan ijtihad sebagai upaya memahami
makna suatu teks atau preseden di masa lampau yang mengandung
suatu aturan, dan mengubah aturan tersebut dengan cara memperluas
atau membatasi atau pun memodifikasinya dengan cara-cara yang lain
sedemikian rupa sehingga suatu situasi baru dapat dicakup ke
dalamnya. Menurut Abdullah Ahmed An-Na'im, penggunaan ijtihad
dalam pengertian umum relevan dengan interpretasi al- Quran dan
sunnah. Ketika suatu prinsip atau aturan syari'ah didasarkan pada
makna umum atau implikasi yang luas dari suatu teks al-Quran dan
sunnah berbeda dengan aturan langsung dari teks yang jelas dan
terinci, maka teks dan prinsip syari'ah itu harus dihubungkan melalui
penalaran hukum. Agar ijtihad dapat menghasilkan hukum yang tepat
dan dapat menjawab permasalahan yang ada, maka harus dilakukan
dengan berbagai pendekatan dan bidang ilmu.
Berangkat dari pemaparan di atas, maka ijtihad kontemporer dapat
diartikan sebagai sebuah upaya yang dilakukan oleh orang, baik
individu maupun kolektif yang mempunyai kelayakan dan kompetensi
ilmiah untuk mendapatkan formulasi hukum yang tepat dengan
mensinergikan metode usul fikih dengan metode ilmiah serta
menggunakan berbagai disiplin ilmu dengan berlandaskan sumber-

2
sumber hukum dengan mempertimbangkan realitas sosial dan konteks
masa dan situasi untuk mencapai kemaslahatan. Ijtihad seorang, akan
tetapi secara kolektif, karena menggunakan berbagai perspektif dan
pendekatan.

B. Model Ijtihad
Schacht sebagaimana dikutip yusdani menegaskan bahwa
yurisprudensi dan legislasi Islam, agar dapat bersifat logis dan
permanen, tengah membutuhkan basis teoritis yang lebih tegas dan
konsisten. Dengan kata lain, meminjam ungkapan Esposito lanjut
Yusdani, bahwa kebutuhan mendesak para pembaharu Islam sekarang
jika ingin menghasilkan hukum Islam yang komprehensif dan
berkembang secara konsisten adalah merumuskan suatu metodologi
sistematis dan mempunyai akar Islam yang kokoh.
J.N.D. Anderson dan John L. Esposito mempunyai kesimpulan
bahwa pada umumnya metode ijtihad yang dilakukan di beberapa
negara muslim, termasuk Indoensia dalam rangka pembaruan hukum
keluarga adalah dengan menggunakan takhayyur dan talfiq.
Takhayyur adalah memilih suatu pendapat atau mengkombinasikan
berbagai pendapat ulama yang paling cocok dan kontekstual dengan
sebuah kasus hukum. Dengan demikian maka tidak ada keterikatan
dengan salah satu mazhab tertentu. Takhayyur merupakan cara yang
paling banyak digunakan masyarakat modern saat menghadapi
problematika kontemporer. Sementara talfiq adalah mengambil
(menggabungkan) dua pendapat ulama atau lebih dalam suatu
permasalahan, sehingga akan memunculkan alternatif baru dalam
fikih .

Sebagai suatu metode untuk menemukan hukum, ada beberapa


model ijtihad. Wahbah al-Zuhayli dalam kitab al-Fiqh al-Islam wa
Adillatuh menjelaskan bahwa sebuah metode ijtihad (penalaran
hukum) sendiri secara umum dapat dibagi ke dalam tiga model.

3
Pertama, pola bayani, yaitu sebuah metode penalaran hukum yang
berangkat dari semua kegiatan yang berkaitan dengan kajian
kebahasaan (semantik). Metode ini ditujukan terhadap teks-teks
syariah yang berupa al-Quran dan Hadis untuk mengetahui bagaimana
cara lafaz- lafaz kedua sumber itu menunjuk kepada hukum-hukum
dimaksudkannya. fikih yang dimaksudkannya.
Kedua, pola qiyasi (analogi), yaitu usaha untuk menetapkan hukum
Islam yang khususnya tidak terdapat dalam nass dengnn cara
menganalogikan dengan kasus (peristiwa) hukum yang terdapat dalam
nass karena adanya keserupaan hukum." Ketiga, pola Istislahi, yaitu
suatu metode penalaran hukum yang mengumpulkan ayat-ayat umum
guna menciptakan prinsip universal untuk melindungi atau
mendatangkan kemaslahatan. Karena pada dasarnya, esensi dari
penetapan syariat (tasyri)adalah bertujuan untuk mendatangkan
kemaslahatan. Prinsip- prinsip tersebut disusun menjadi tiga.
tingkatan. Daruriyyat (kebutuhan esensial), hajiyya (kebutuhan
primer), dan tahsiniyya (kebutuhan kemewahan). Prinsip-prinsip ini
dideduksikan kepada persoalan yang ingin diselesaikan.
Pada kesempatan lain, al-Zuhayli juga menawarkan metode
mu'tadil mutawazin atau wasati. Metode ini pada dasarnya sama
dengan Istislahi. Metode ini dapat diterima secara syara' maupun akal.
Hal ini karena; pertama, metode ini menjaga segala yang sudah tetap
dalam. syari'ah; kedua, metode ini memperhatikan tuntutan-tuntutan
perkembangan atas dasar maslahah mursalah, termasuk urf
(kebiasaan) umum, sebagai bentuk pengamalan semangat syari'at
tanpa "menabrak nass'. Metode inilah yang dipakai oleh para shabat,
tabi'in, dan para imam mazhab di setiap waktu dan masa. Metode ini
berusaha mewujudkan otentisitas dan modernitas sekaligus. Metode
ini juga mempertemukan dua hal: pertama, tetap berpegang teguh
pada nass dan kedua, tetap menjaga dan mempertemukan aspek

4
kemaslahatan dan kebutuhan setelah melakukan pemahaman
mendalam terhadap nass dan menjelaskan illah- nya.
Sementara itu, Yusuf al-Qardawi memberikan tawaran tiga
alternatif dalam melaksanakan ijtihad kontemporer, yakni ijtihad
intiqa'i ijtihad insya'i, dan ijtihad integrasi antara keduanya. Ijtihad
intiqa'i adalah memilih satu pendapat dari beberapa pendapat terkuat
yang terdapat pada khazanah fikih Islam. yang penuh dangan fatwa
dan keputusan hukum. Sementara ijtihad insya'i adalah adalah
pengambilan konklusi hukum dari suatu persoalan yang belum pernah
dikemukakan oleh ulama terdahulu. Tawaran ketiga adalah dengan
memadukan antara ijtihad intiqa'i dan insya'i, yaitu memilih pendapat
para ulama terdahulu yang dipandang lebih relevan dan kuat,
kemudian dalam pendapat tersebut ditambah unsur-unsur ijtihad baru.
Dalam kesempatan lain Yusuf al- Qardawi menjelaskan tentang tiga
model ijtihad kontemporer, yaitu tagnin (legislasi), fatwa dan al-bahs.
Berdasarkan model-model ijtihad di atas, maka dalam konteks
pembaruan hukum keluarga di Indonesia, model yang paling cocok
adalah metode mu'tadil mutawazin atau wasati atau istislahi. Istislahi
atau al-maslahah al- mursalah adalah maslahah berupa kebaikan atau
manfaat yang dinilai dengan pertimbangan logika dan sesuai dengan
tjuan syarak, namun tidak ada petunjuk dalam nass yang mendukung
atau mereduksinya. Pengembangan hukum keluarga dengan
menggunakan metode mu'tadil mutawazin dan istislahi bertujuan
mencapai kemaslahatan dalam kehidupan masyarakat Indonesia
dengan memadukan ukuran nass atau teks dengan pandangan logika
atau akal." Pemaduan keduanya bertujuan agar kemaslahatan yang
hendak dicapai tidak liar, lepas dari koridor syarak serta hanya
menggunakan pertimbangan akal semata dan realitas sosial. Di
samping itu, pemaduan nass dan akal dilakukan gara ijtihad tidak
hanya dogmatis dan melangit hanya berpegang pada teks atau nass
tanpa pertimbangan kemaslahatan yang realistis dan praktis. Ijtihad

5
dogmatis yang hanya mempertimbangkan kemaslahatan tekstual maka
tidak akan dapat mencapai tujuan hukum Islam secara maksimal, yaitu
kemaslahatan yang membumi yang dapat menjawab dan
menyelesaikan berbagai proble sosial masyarakat saat ini.

C. Perangkat Ijtihad
Perangkat ijtihad merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh
Maksud dari pernyataan di atas, menurut yang diterjemahkan dan
dijelaskan oleh Baradikal sebagai berikut: Perangkat ijtihad
kontemporer adalah: Pertama, Fiqh al-Nass dan hal-hal yang
berhubungan dengannya. Hal yang paling pertama dilakukan oleh
seorang mujtahid ketika berijtihad adalah mencari landasan dalil-dalil
hukum yang terdapat dalam al-Qur'an dan Sunah. Untuk mencapai
kemaslahatan umat dan ketepatan berijtihad, diperlukan kerjasama
semua komponen yang berkaitan dengan masalah tersebut, agar
produk hukum tersebut menjadi kuat dan bijak. Di samping itu
beberapa kaidah dalam memahami dimiliki oleh teks yang perlu
seorang mujtahid diantaranya; (a) memiliki kapabilitas dalam
pengetahuan bahasa Arab, (b) mengetahui sebab turunnya sebuah ayat
atau hadis (asbab al-nuzul wa al- wurud), (c) mengetahui tujuan atau
maksud dari turunnya ayat tersebut (maqasid al-Syari'ah). Kedua,
fikih realitas (al-figh al-waqai'), yaitu pemahaman yang mendalam
dan integral terhadap sebuah obyek atau realitas yang dihadapi oleh
manusia dalam ranah hidupnya. Adapun hal-hal yang mencakup figh
al-waqi' adalah: (a) memahami dan mengetahui pengaruh- pengaruh
alami yang muncul di lingkungan sekitarnya, terutama kondisi
geografis wilayah tertentu dimana mujtahid tersebut hidup dan
tinggal, (b) mengetahui kondisi sosial kemasyarakatan dan
transformasinya dalam berbagai bentuk yang memiliki keterikatan
social, yaitu segala sesuatu yang berhubungan antara satu orang
dengan yang lainnya apapun jenis hubungan tersebut, baik dalam
ranah agama, budaya, ekonomi, politik atau militer, (c) di samping

6
memahami realita sosial yang melingkupi sebuah permasalahan,
seorang mujtahid juga dituntut untuk mempelajari kondisi psikologi
manusia sekitarnya. Ketiga, ijtihad kolektif (jama'i). Ijtihad
kontemporer hanya bisa dilakukan dengan merealisasikan ijtihad
kolektif (ijtihad jama'i), kecuali ketika keadaan benar-benar
mendesak. Keberadaan sebuah lembaga atau institusi yang
mengakomodir para mujtahid dari berbagai bidang ilmu, mutlak
diperlukan di era kontemporer ini.
Menurut Muhammad bin Ibrahim, mujtahid harus mempunyai
multi talenta terhadap lingkungan sekitar (mikrokosmos dan
mikrokosmis), individu-individu manusia dan adat kebiasaan mereka,
kondisi sosiologisnya dan politik dalam negeri maupun luar negeri
sehingga tidak bersifat konservatif eksklusif pada sesuatu hal yang
baru. Menurut Syamsuddin, seorang mujtahid harus menguasai
berbagai ilmu, dan tidak hanya ilmu tentang teks, akan tetapi juga
ilmu sosial humaniora, seperti sejarah. Di antara mujtahid jami', harus
ada yang menguasai ilmu ilmu sosiologi dan antropologi dan yang
terpenting adalah penguasaan sains modern, agar ijtihad yang
dihasilkan benar-benar relevan dan menjawab persoalan kontemporer.
Penguasaan metode ijtihad klasik usul fikih dan berbagai ilmu atau
humaniora dan sains modern menjadi keharusan bagi para mujtahid
kontemporer. Hal ini merupakan usaha untuk mensinergikan antara
metode usul fikih klasik dengan metode ilmiah modern. Kedua
metode ini memang harus disinergikan dalam rangka ijtihad yang
fresh dan kontekstual .

7
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada
prinsipnya metode ijtihad kontemporer sama dengan metode ijtihad para
imam mujtahidin, di mana yang menjadi sumber utama hukum syara‟
adalah Alquran dan sunnah. Hanya saja ulama mutaakhirin tidak harus
memulai semuanya dari Alquran dan sunnah itu, karena telah banyak para
mujtahid sebelumnya telah berijtihad dan berfatwa. Seharusnyan pendapat
para imam dijadikan pedoman bagi mujtahid mutaakhirin, tanpa harus
bertaqlid kepada mereka. Ijtihad ulama mutaakhirin diperlukan dalam
memilih diantara khazanah fiqhiyah itu pendapat yang shalih, dengan tidak
menolak pendapat baru yang ashlah.

B. Saran
Alhamdulillah, penyusunan makalah yang sederhana ini dapat
terselesaikan dengan tepat pada waktunya. Penulis selaku penyusun
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
kami dalam penyusunan makalah ini.Semoga segala bantuan dan
dukungan dijadikan Allah sebagai amalan yang sholeh dan mendapat
balasan yang setimpal dari-Nya. Amin.

8
DAFTAR PUSTAKA

Musfar bin Ali bin Muhammad al-Qahthani, Manhaj li Istikhraj alAhkam al-
Fiqhyah li al-Nawazil al-mu‟ashirah Dirasah Ta`shiliyah
Tathbiqiyah, (Makkah: Jami‟ah Ummul Qura, 2000), jilid I, h.
292-293

Hasan Ali al-Syadzaly, al-Madkhal Li al-Fiqh al-Islamy, (Kairo: jamiah al-Azhar,


1980), h. 262.

Lihat, Muhammad bin Idris al-Syafi‟i, al-Risalah, (Mesir: Musthafa al-Halaby,


1938), cet. Ke-1, h. 599

Lihat, Ibnu Amir al-Haj al-halaby, Al-Taqrir dan al-Tahbir, (Beirut : Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1999), cet. Ke-1, jilid III, h.346

Musfar, op. cit. h. 298. Lihat juga Abu Bakr Ahmad bin Ali binTsabit al-Khatib
al-Bagdady, Al-Faqih wa al-Mutafaqqih, (Saudi Arabia: Dar Ibnu
jauzy, 1996), cet. Ke-1, jilid 4, h. 389.

Musfar, op. cit. h. 303-304

Abi al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardy, Adab alQadhi, (Bagdad:
Maktabah al-„Any, 1972), jilid 1, h. 516.

Ibid, dan lihat Musfar,op. cit. h. 428

Ahmad bin Taimiyah, Majmu‟ al-fatawa, (Madinah : Mujamma‟ Malik Fahd,


2004), jiild 19, h. 195

Abi Bakr Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl al-Sarakhsy, Ushul al-Sarakhsy
(Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiyah, 1993), cet. Ke-1, jilid I, h.301

Mustafa Ahamad Zarqa`, al-Madkhal al-Fiqhi al-„Am, (Damaskus: Dar al-Qalam,


1998), cet. Ke-1, jilid 1, h. 68, 74

Lihat Ibnu Qayyim, I‟lam Muwaqqi‟in, (Kairo: Dar al-Hadits, t.t. ), jilid 4, h. 113

9
Ungkapan ini dinisbahkan kepada al-Khawarizmy dalam al-Kafi, dan al-Zarkasyi
dalam al-Bahru al-Muhith 6/17, dan al-Syaukani dalam Irsyad al-Fuhul.

Abu Hamid Muhammad bin Muhamad al-Ghazaly, Al-Muhtashfa Min „Ilmi al-
Ushul, (Madinah :t.t. , t.t. ), jilid 1, h. 315

Takwil menurut ulama Ushul, sepertti Ibnu Qudamah adalah memalingkan suatu
lafaz dari maknanya yang zhahir kepada makna lain yang marjuh karena didukung
oleh dalil, sehingga berat dugaan bahwa makna inilah yang dimaksud oleh nash,
Lihat Ibnu Qudamah, Raudhatu Nazhir :, jilid 2, h. 563, Abu Hamid, op. cit. jilid
1, h. 387,

10

Anda mungkin juga menyukai