Anda di halaman 1dari 21

MEMAHAMI IJTIHAD

MAKALAH

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Ushul Fiqh
Dosen Pengampu : Bapak Mahadir, MA
Program Studi Ekonomi Syariah

Oleh:
Kelomok 13
Semester 1/Unit A
Syakrial
NPM: 22420311465

FAKULTAS SYARIAH, DAKWAH DAN USHULUDDIN


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TAKENGON
2022
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbil alamin, segala pujian dan rasa syukur atas
kehadirat Allah Swt karena rahmat, hidayah wal inayah-Nya yang telah
dikaruniakan kepada segenap hambanya, sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini. Adapun yang akan kami kaji dalam makalah ini ialah
“Memahami Ijtihad.”
Penyusun menyadari bahwa masih banyak kekurangan di dalam
Makalah ini, oleh karena itu, kami mengharapkan adanya kritikan yang
membangun demi kesempurnaan ulasan Makalah ini.
Pada kesempatan ini penyusun menyampaikan terima kasih yang
setulus-tulusnya kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
penyelesaian makalah ini, civitas akademi, teman sejawat dan khusus dosen
pengampu mata kuliah Ushul Fiqh.
Akhir kalimat, semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan
bermanfaat bagi kita semua khusus kepada penyusun sendiri dalam
mempelajari Sejarah Peradaban Islam. Apabila terdapat kebenaran dari
makalah ini itu datangnya dari Allah dan apabila terdapat kesalahan dan
kekeliruan, datangnya dari penyusun makalah ini.

Penulis
Takengon, 20 November 2022
.

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 1
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................... 3


A. Pengertian Ijtihad ........................................................................ 3
B. Dasar Hukum Ijtihad ................................................................... 4
C. Kedudukan dan Fungsi Ijtihad .................................................... 6
D. Objek Kajian Ijtihad .................................................................... 8
E. Macam-Macam Ijtihad ................................................................ 10
F. Syarat – Syarat Mujtahid dan Tingkatannya ............................... 12

BAB III PENUTUP ............................................................................... 16


A. Kesimpulan ................................................................................. 16
B. Saran ............................................................................................ 16

DAFTAR PUSTAKA

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan berbagai inovasi dan
produktivitasnya adalah tantangan serius hokum Islam yang selama ini berjalan
secara stagnan, rigid dan konvensional. Iptek tidak mungkin akan bergerak ke
belakang dan pasti bergerak ke depan untuk merekayasa peradaban manusia dengan
kekayaan kreasi dan progresivitasnya. Kalau sekedar mengandalkan al-turats al-
islamiy dengan paradigma konvensional, tentu banyak fenomena kontemporer yang
jatuh pada masalah mauquf (dipending) karena belum ada nash yang meresponnya.
Kalau itu yang terjadi, suara hokum Islam tidak akan didengar lagi gelombang
modernisasi yang sudah sangat maju. Dalam konteks ini, sudah saatnya umat Islam
mengoptimalkan seluruh daya pikirannya untuk dinamisasi, reaktualisasi dan
refungsionalisasi hokum Islam agar formulasi hokum Islam relevan dengan kondisi
kekinian yang selalu berubah setiap saat. Untuk merespon semua itu diperlukan
ijtihad dari orang-orang yang memiliki kapsitas keilmuan yang mumpuni dalam
menanggapi berbagai problematika kekinian.
Usaha untuk tetap menjaga eksistensi syariat Islam dan terlepas dari
belenggu kekakuan dan ketertinggalan zaman, maka ijtihad satu-satunya jalan yang
harus dilakukan secara maksimal. Dengan ijtihad, reaktualisasi nilai-nilai syariat
Islam tetap actual dan dapat dipertahankan dalam kehidupan praktis.
Oleh karena itu, di dalam makalah ini akn dibahas mengenai pengertian
ijtihad, dasar hukum ijtihad, kedudukan ijtihad, fungsi ijtihad, obyek ijtihad,
macam-macam ijtihad, serta syarat-syarat Mujtahid dan tingkatan-tingkatannya.

B. Rumusan Masalah
Adapaun rumusan masalah pada makalah ini, yaitu :
1. Bagaimana pengertian ijtihad?
2. Bagaimana dasar hukum ijtihad?
3. Bagaimana kedudukan dan fungsi ijtihad?
4. Bagaimana objek ijtihad?

1
5. Bagaimana macam-macam ijtihad?
6. Bagaimana syarat-syarat mujtahid serta tingkatannya?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui pengertian ijtihad.
2. Untuk mengetahui dasar hukum ijtihad.
3. Untuk mengetahui kedudukan dan fungsi ijtihad.
4. Untuk mengetahui obyek kajian ijtihad.
5. Untuk mengetahui macam-macam ijtihad.
6. Untuk mengetahui syarat-syarat mujtahid dan tingkatannya.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad
Secara etimologi ijtihad berasal dari akar kata ja ha da yang berarti kesulitan
dan kesusahan. Dari sudut ilm sharf kata ijtihad bentuknya mengikuti pola
timbangan ifti’al yang menunjukkan arti berlebih (mubalagah) dalam melaksanakn
suatu perbuatan. Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa berijtihad bukanlah
kegiatan yang mudah atau ringan, tetapi mengandung kesulitan serta membutuhkan
pengerahan tenaga dan daya pikir yang maksimal. Dilihat dari segi kebahasaan,
kata ijtihad berarti mengerahkan segala kemampuan untuk mewujudkan sesuatu.
Maka, jika disederhanakan perumusannya, ijtihad bermakna kerja keras dan
bersungguh-sungguh, Dengan demikian, setiap pekerjaan yang dilakukan dengan
maksimal serta mengerahkan segenap kemampuan yang ada, dinamakan ijtihad dan
pelakunya dinamai mujtahid.1
Kemudian, kata tersebut digunakan sebagai salah satu istilah dalam kajian
ushul fiqh yang bermakna “usaha maksimal ulama fiqh dalam melakukan kajian
untuk memperoleh ketentuan-ketentuan hukum yang bersfat zanni”. Dengan
demikian, setiap terungkap istilah ijtihad dalam pembahasan ilmu ushul fiqh,
bermakna usaha-usaha maksimal yang dilakukan para ulama fiqh untuk
merumuskan pemikiran-pemikiran fiqh, baik berupa hasil pemahaman terhadap
teks lafal Alqur’an dan Sunnah, maupun hasil analisa terhadap persoalan-persoalan
actual yang mereka hadapi. Namun, kekuatan hukum hasil ijtihad bersifat sanni,
yakni memiliki peluang benar dan salah, dengan dugaan terkuat pada benarnya
bukan pada salahnya.
Secara terminologis, ijtihad sebagai pengerahan daya upaya untuk sampai
kepada hukum syara dari dalil yang terinci dengan sumber dari dalil-dalil syara.
Sedangkan Muhammad Abu Zahrah mengartikannya sebagai daya upaya ahli
hukum Islam semaksimal mungkin dalam menginstinbatkan hukum praktis dari
dalil-dalinya yang terperinci. Muhammad Musa Tuwana juga memberikan definisi

1
Misbahuddin, Ushul Fiqh II, (Makassar: UIN Alauddin Press, 2014), hal.104
3
ijtihad yang senada yakni dalam pengerahan segala upaya ahli hukum Islam dalam
menggali hukum-hukum syara yang berstatus cabang dari dalil-dalilnya.2
Istilah ijtihad itu tidak dapat dipisahkan dari istilah ra’yu (rasionalitas).
Istilah ra’yu dapat diartikan sebagai upaya pencarian dan perenungan terhadap
masalah-masalah tertentu berdasarkan Al-Qur’an dan hadis atau prinsip-prinsip
umum syariat Islam. Merenung dan mentadabburi sesuatu adalah pekerjaan rasio.
Karena itu, istilah ra’yu tidak bisa dipisahkan dari kata ‘aql. Al-Qur’an sangat
menganjurkan kepada umat Islam untuk memaksimalkan potensi akal. Dalam
kaitannya denga ijtihad dibidang fiqh, Imam al-Gazali menyatakan bahwa akal
manusia hanya dapat menetapkan hukum mengenail kasus-kasus tertentu yang
secara eksplisit tidak terdapat dalam wahyu. Pendapat ini mewakili pendapat Sunni
pada umumnya. Bagi kelompok ini, wahyu mempunyai kedudukan yang sangat
menentukan dalam menetapkan hukum.
Menurut Misbahuddin, dengan melakukan analisis dari beberapa definisi
yang dikemukakan tersebut dan membandingkannya dari berbagai sudut pandang,
maka dapat ditarik konklusi dari hakikat dan substansi dari ijtihad itu yaitu: 3
a. Ijtihad adalah pengerahan segala daya nalar secara optimal.
b. Usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang telah memiliki kapasitas keilmuan yang
mumpuni.
c. Hasil dari kreativitas ijtihad adalah dugaan yang kuat tentang hukum syara yang
bersifat praksis.
d. Kreatifitas ijtihad dilakukan dengan cara istinbath.

B. Dasar Hukum Ijtihad


Dasar hukum yang menunjukkan kebolehan melakukan ijtihad, antara lain:4
1. Q.S An-Nisa ayat 59 :

2
Misbahuddin, Ushul Fiqh II,...hal.130
3
Misbahuddin, Ushul Fiqh II,...hal.132
4
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1, (Jakarta: Kencana, 2011), hal.41
4
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya,
dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S: an-Nisa’/4:59)

Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan kepada Al-Qur’an dan


Sunnah, menurut Ali Hasaballah adalah peringatan agar orang tidak mengikuti
hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul_nya
dengan jalan ijtihad dalam membahas kandungan ayat atau hadist yang barangkali
tidak mudah untuk dijangkau begitu saja, atau berijtihad dengan menerapkan
kaidah-kaidah umum yang disimpulkan dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah,
seperti menyamakan hukum sesuatu yang tidak ditegaskan hukumnya dengan
sesuatu yang disebutkan dalam al-Qur’an karena persamaan ‘illat-nya’ seperti
dalam praktik qiyas (analogi), atau dengan meneliti kebijaksanaan-kebijaksanaan
syariat. Melakukan ijtihad seperti inilah yang dimaksud mengembalikan sesuatu
kepada Allah dan Rasul-Nya seperti yang dimaksud oleh ayat itu.
2. Hadis yang diriwayatkan dari Mu’az bin Jabal. Ketika ia akan diutus ke Yaman,
menjawab pertanyaan rasulullah dengan apa ia memutuskan hukum, ia menjelaskan
secara berurutan, yaitu dengan Al-Qur’an, kemudian dengan sunnah Rasulullah,
dan kemudian dengan melakukan ijtihad. Rasulullah mengakui hal itu dengan
mengatakan : “Segala pujian bagi Allah yang telah memberi taufik atas diri utusa
dari Rasulullah dengan apa yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. Arti hadis
tersebut secara lengkap sebagai berikut :
“Dari al-Haris bin Amr, dari sekelompok orang teman-teman Mu’az, sesungguhnya
Rasulullah SAW. Mengutus Mu’az ke Yaman, maka beliau bertanya kepada Mu’az,
5
atas dasar apa Anda memutuskan suatu persoalan, dia jawab, dasarnya adalah
Kitab Allah, Nabi bertanya ; “kalau tidak anda temukan dalam kitab Allah?”, dia
menjawab dengan dasar Sunnah Rasulullah SAW. Beliau bertanya lagi : “kalau
tidak Anda temukan adalam Sunnah Rasulullah?’, Mu’az menjawab aku akan
berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi berkata: “Segala pujian bagi Allah
yang telah memberi taufiq atas diri utusan Rasulullah SAW.” (HR.Tirmizi)
Bagi seseorang yang sudah memenuhi persayratan ijtihad, ada lima hukum
yang bisa dikenakan pada orang tersebut berkenaan dengan ijutihad, yaitu:5
1. Orang tersebut dihukum fardhu’ain untuk berijtihad apabila ada permasalahan
yang menimpa dirinya, dan harus mengamalkan hasil dari ijtihadnya dan
tidak boleh taqlid kepada orang lain, karena hukum ijtihad itu sama dengan
hukum Allah terhadap permasalahan yang ia yakini bahwa hal itu termasuk
hukum Allah.
2. Juga dihukumi fardhu’ain jika ditanyakan tentang suatu permasalahan yang
belum ada hukumnya. Karena jika tidak segera dijawab, dikhawatirkan akan
terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum tersebut atau habis waktunya
dalam mengetahui kejadian tersebut.
3. Dihukumi fardu kifayah, jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak
dikhawatirkan akan habis waktunya, atau ada orang lain selain dirinya yang
sama-sama memenuhi syarat sebagai seorang mujtahid.
4. Dihukumi sunah apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik
ditanya ataupun tidak.
5. Dihukumi haram apabila berijtihad terhadap permasalahan yang sudah
ditetapkan secara qathi’, sehingga hasil ijtihadnya itu bertentangan dengan
dalil syara’.

C. Kedudukan dan Fungsi Ijtihad


Masalah-masalah yang menjadi lapangan ijtihad adalah masalah-
masalah yang bersifat Zhanny, yakni hal-hal yang belum jelas dalilnya baik di

5
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1,...hal.45
6
dalam Al-qur’an maupun Hadis. Adapun hal-hal yang bersifat Qat’iy, yakni hal-hal
yang telah tegas dalilnya seperti wajibnya Shala, Zakat, Puasa dan lain-lain tidak
ada ijtihad padanya.
Bila dilihat dari segi akal, tidaklah dapat dikatakan bahwa tiap-tiap hasil
ijtihad itu benar. Menurut akal, yang benar hanya satu yakni bila hasil ijtihadnya
tepat. Apabila tidak tepat, berarti dosa, hal ini ditentag oleh Al-Anbary dan Al-
Jahiz. Menurut beliau, tiap-tiap mujtahid adalah benar dan tidak ada dosa diatasnya.
Tentang kedudukan hasl ijtihad dalam masalah fiqh, terdapat dua golongan,
yaitu :6
a. Golongan I
Berpendapat bahwa, tiap-tiap mujtahid adalah benar dengan alas an karena
dalam masalah tersebut Allah tidak menentukan hukum tertentu sebelum
diijtihadkan. Oleh karena itu, wajib mengikuti hasil ijtihadnya mujtahid. Adapun
perselisihan hukum dalam satu masalah adalah karena berbedanya jangkauan
mujtahid-mujtahid.
b. Golongan II
Berpendapat bahwa yang benar itu hanya satu, yaitu hasil ijtihad yang cocok
jangkauannya dengan hukum Allah, sedang bagi yang tidak cocok jangkauannya
maka dikategorikan salah. Golngan ini beralasan bahwa Allah SWT telah
meletakkan hukum tertentu pada satu masalah sebelum diijtihadkan, hanya saja
terkadang mujtahid dapat menjangkaunya, sedang terkadang tidak. Demikian
pendapat jumhur dan termasuk Asysyafi’I, berdalil dengan hadis, yang artinya
: “Siapa yang berijtihad dan ternyata benar, maka mendapat dua pahala, dan
(orang yang berijtihad) ternyata salah maka dapat satu pahala”(H.R.Buchari dan
Muslim).
Imam Syafi’ira (150H-240H), penyusun pertama Ushul Fiqh dalam
bukunya Ar-Risalah, ketika menggambarkan kesempurnaan Al-Qur’an
menegaskan: “Maka tidak terjadi suatu peristiwa pun pada seorang pemeluk agama
Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk tentang hukumnya”.

6
Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh Metode Istinbath dan Istidlal, (Bandung: Remaja,
2014), hal.4
7
Menurutnya, hukum-hukum yang dikandung oleh Al-Qur’an yang bisa menjawab
berbagai permasalahan itu harus digali dengan kegiatan ijtihad. Oleh karena itu,
menurutnya, Allah mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtihad dalam upaya
menimba hukum-hukm dari sumbernya itu. Selanjutnya ia mengatakan bahwa
Allah menguji ketatan seseorang untuk melakukan ijtihad, sama halnya seperti
Allah menguji ketaatan hamba-Nya dalm hal-hal yang diwajibkan lainnya.
Pernyataan Imam Syafi’I diatas, menggambarkan betapa pentingnya
kedudukan ijtihad disamping AL-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Ijtihad berfungsi
baik untuk menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis
mutawatir seperti hadis ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis
yang tidak tegas pengertiannya sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali
dengan ijtihad dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang
terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah seperti dengan qiyas, istihsan, dan mashalah
mursalah. Hal yang disebut terakhir ini, yaitu pengembangan prinsip-prinsiphukum
dalam Al-Qur’an dan Sunnah adalah penting, karena dengan itu ayat-ayat dan
hadis-hadis hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai
permasalahn yang tidak terbatas jumlahnya.

D. Objek Kajian Ijtihad


Para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa ayat-ayat atau Hadis Rasulullah yang
sudah tidak diragukan lagi kepastiannya (qath’i) dating dari Allah atau Rasul-Nya,
seperti al-Qur’an dan Hadis Mutawatir (hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok
orang yang tidak mungkin berbohong), bukan lagi merupakan lapanga ijtihad dari
segi periwatannya. Al-Qur’an yang beredar dikalangan umat Islam sekarang ini
adalah pasti (gqth’i) keasliannya dating dari Allah dan begitu juga Hadis Mutawatir
adalah pasti (qth’i) datang dari Rasulullah. Kepastian itu dapat diketahui karena
baik al-Qur’an atau Hadis Mutawatir sampai kepada kita dengan riwayat yang
mutawatir yang tidak ada kemungkinan adanya pemalsuan.7

7
Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh,...hal.15
8
Selain dapat digunakan dalam semua ajaran atau aspek Islam, menurut
penulis, ijtihad juga mempunyai obyek yang sangat luas. Objek ijtihad adalah setiap
peristiwa, baik yang sudah ada ketentuan nashnya yang bersifat zanni, maupun
belum ada nashnya sama sekali. Bagi peristiwa-peristiwa yang sudah ada ketentuan
nashnya, cara ijtihad adalah dengan jalan memahami nash dan meneliti apakah nash
bersifat khusus atau bersifat umum, dan kalau bersifat umum, apakah dibatas
keumumannya atau tidak. Bagi peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya, maka
obyek ijtihad ialah meneliti hukumnya dengan memakai qiyas atau istihsan atau
pemakain ‘urf atau dalil-dalil hukum lainnya.
Demikian pula halnya para ulama Ushul Fiqh telah sepakat bahwa ijtihad
tidak lagi diperlukan pada ayat-ayat atau hadis yang menjelaskan hukum secara
tegas dan pasti (qath’i). Wahbah az-Zuhaili menegaskan tidak dibenarkan berijtihad
pada hukum-hukum yang sudah ada keterangannya secara tegas dan pasti dalam al-
Qur’an da Synnah. Misalnya kewajiban melakukan shalat lima waktu, kewajiban
berpuasa, zakat, haji, larangan berzina, membunuh dan kadar pembagian harta
warisan yang telah ditegaskan dalam al-Qur’an dan Sunnah.8
Hal-hal yang menjadi objek kajian ijtihad, seperti dikemukakan oleh Abdul
Wahhab Khallaf, adalah masalah-masalah yang tidak pasti (zhanni) baik dari segi
datangnya dari Rasulullah, atau dari segi pengertiannya, yang dapat dapat
dikategorikan menjadi tiga macam :9
1. Hadis Ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang seorang atau beberapa
orang yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir. Hadis ahad dari segi kepastian
datangnya dari Rasulullah hanya sampai ke tingkat dugaan kuat (zhanni) dalam arti
tidak tertutup kemungkinan adanya pemalsuan meskipun sedikit . Dalam hal ini
seorang mujtahid perlu melakukan ijtihad dengan cara meneliti kebenaran
periwayatannya.
2. Lafal-lafal atau redaksi al-Qur’an atau hadis yang menunjukkan pengertiannya
secara tidak tegas (zhanni), sehingga ada kemungkinan pengertian lain selain yang
cepat ditangkap ketika mendengar bunyi lafal atau redaksi iyu. Ayat-ayat atau hadis

8
Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh,...hal.17
9
Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh,...hal.19
9
yang tidak tegas pengertiannya ini menjadi objek ijtihad dalam upaya memahami
maksudnya. Fungsi ijtihad disini adalah untuk mengetahui makna sebenarnya yang
dimaksud oleh suatu teks. Dalam hal ini sering membawa kepada perbedaan
pendapat ulama dalam menetapkan hukum.
3. Masalah-masalah yang tidak ada teks atau hadis dan tidak pula ada ijma’ yang
menjelaskan hukumnya. Dalam hal ini ijtihad memainkan peranannya yang amat
penting dalam rangka mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam
al-Qur’an dan sunnah. Fungsi ijtihad disini adalah untuk meneliti dan menemukan
hukumnya lewat tujuan hukum, seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, ‘urf,
istishab, dan sad al-zari’ah. Disini terbuka kemungkinan luas untuk berbeda
pendapat.

E. Macam-Macam Ijtihad
Ijtihad ada beberapa macam, yaitu :10
1. Memberi segala daya kesanggupan untuk sampai kepada hukum yang dikehendaki
dari nash yang dhanni tusubutnya, atau dhanni dalalahnya. Dalam hal ini, kita
berijtihad dalam batas memahami nash dan mentarjihkan sebagian atas yang lain,
seperti mengetahui sanad nash dan jalannya sampai kepada kita.
2. Memberi segala daya kesungguhan untuk memperoleh sesuatu hukum yang tidak
ada padanya nash qath’I, nash dhanni dan tidak ada pula ijma’. Dalam hal ini kita
memperoleh hukum itu dengan berpegang kepada tanda-tanda dan wasilah-wasilah
yang telah diletakkan syara’, seperti qiyas dan istihsan. Inilah yang disebut ijtihad
bir ra’yi.
3. Memberikan segala daya kesungguhan untuk memperoleh hukum-hukum syara’
dengan jalan menerapkan kaidah-kaidah kulliyah.. Ijtihad ini berlaku dalam bidang
yang mungkin diambil dari kaidah dan nash-nash yang kulliyah, taka da padanya
suatu nash tertentu, taka da pula ijma’ dan tidak pula ditetapkan dengan qiyas atau
istihsan. Hal ini sebenarnya kembali kepada mendatangkan kemashlahatan dan
menolak kemafsadatan, sesuai dengan kaidah-kaidah syara’.

10
Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh,...hal.21-25
10
Dikalangan ulama, terjadi perbedaan pendapat mengenai masalah ijtihad.
Imam Syafi’I menyamakan ijtihad dengan qiyas, yakni dua nama, tetapi maksudnya
satu. Dia tidak mengakui ra’yu yang didasarkan pada istihsan atau mashlahah
mursalah. Sementara itu, para ulama lainnya memiliki pandangan lebih luas tentang
ijtihad. Menurut mereka, ijtihad itu mencakup ra’yu, qiyas dan akal.
Pemahaman mereka tentang ra’yu sebagaimana yang diungkapkan oleh
para sahabat, yaitu mengamalkan apa-apa yang dipandang maslahat oleh seorang
mujtahid, atau setidak-tidaknya mendekati syari’at, tanpa melihat apakah hal itu ada
dsarnya atau tidak.
Menurut Syafe’i (2010:104), berdasarkan pendapat diatas, Dr. Dawalibi
membagi ijtihad menjadi tiga bagian, yang sebagiannya sesuai dengan pendapat
Asy-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqat, yaitu :
1. Ijtihad Al-Batani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nash.
2. Ijtihad Al-Qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam
Al-Qur’an dan As-Sunah dengan menggunakan metode qiyas.
3. Ijtihad Al-Istishlah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat
dalam Al-Qur’an dan As-Sunah denga menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah
istishlah.
Menurut Syafe’i (2010:104), pembagian diatas masih belum sepurna,
seperti yang diungkapka oleh Muhammad Taqiyu al-Hakim dengan
mengemukakan beberapa alas an, diantaranya jami’ wal mani. Menurutnya, ijtihad
dapat dibagi menjadi dua bagian saja, yaitu:
1. Ijtihad al-aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal, tidak
menggunakan dalil syara’. Mujtahid dibebaskan untuk berpikir, dengan mengikuti
kaidah-kaidah yang pasti. Misalnya, menjaga kemadaratan, hukuman itu jelek bila
tidak disertai penjelasan,dan lain-lain.
2. Ijtihad syar’i, yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’, termasuk dalam pembagian
ini adalah ijma’, giyas, istihsan, istishlah, ‘urf, istishab, dan lain-lain.

11
F. Syarat – Syarat Mujtahid dan Tingkatannya
1. Syarat-syarat Mujtahid
Menurut Effendi (2005,251), Wahbah az-Zuhaili menyimpulkan ada
delapan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid, yaitu :
a. Mengerti dengan makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat hukum dalam Al-
Qur’an baik secara bahasa maupun menurut istilah syariat. Tidak perlu menghafal
di luar kepala dan tidak perlu menghafal seluruh al-Qur’an. Seorag mujtahid cukup
mengetahui tempat-tempat dimana ayat-ayat hukum itu berada sehingga mudah
baginya menemukan waktu yang dibutuhkan.
Menurut Imam al-Ghazali, jumlah ayat-ayat hukum yang perlu dikuasai itu sekitar
500 ayat. Pembatasan jumlah ayat-ayat hukum seperti dikemukakan al-Ghazali itu
oleh sebagian ulama tidak disepakati . Al-Syaukani (w.1255H) umpamanya
menyebutkan bahwa ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an bisa jadi berlipat ganda dari
jumlah yang disebutka al-Ghazali itu. Orang yang mendalam pemahamannya
bahkan mungkin meng-istinbatkan hukum dari ayat-ayat dalam bentuk kisah umat-
umat terdahulu. Pembatasan jumlah ayat yang dikemukakan al-Ghazali itu,
demikian komentar al-Syaukani, bisa dianggap benar bilamana yang dimaksud
adalah ayat-ayat yang dengan langsung menunjukkan hukum, dalam arti belum
termasuk ke dalamnya ayat-ayat yang tidak langsung.
Mengetahui makna ayat secara bahasa, yaitu dengan mengetahui makna-
makna mufrad (tunggal) dari suatu lafal dan maknanya dalam susunan suatu
redaksi. Pengetahuan seperti itu mungkin didapatkannya karena bakat atau karena
tumbuh dikalangan masyarakat yang menguasai seluk-beluk bahasa Arab. Adapun
pengetahuan tentang makna-makna ayat secara syara’ ialah dengan mengetahui
berbagai segi penunjukan lafal terhadap hukum, seperti melalui mantuq (makna
tersurat), lewat mafhum muwafaqah (makna tersirat), atau mafhum mukhalafah
(makna kebalikan dari makna tersurat), serta mengetahui pembagian lafal dari segi
cakupannya, seperti lafal umum dan lafal khusus, dan mengerti pula dengan
tingkatan kejelasan dan ketidakjelasan dari penunjukan suatu lafal terhadap
maknanya. Disamping itu, juga mengetahui tentang ‘illat atau alasan logis mengapa
sesuatu diperintah dan mengapa sesuatu diperintah dan mengapa dilarang.

12
b. Mengetahui tentag hadis-hadis hukum baik secara bahasa maupun dalam
pemakaian syara’, seperti telah diuraikan pada syarat pertam. Seperti halnya al-
Qur’an, maka dalam masalah hadis juga tidak mesti dihafal seluruh hadis yag
berhubungan dengan hukum, tetapi cukup adanya pengetahuan dimana hadis-hadis
hukum yang dapat di jangkau bilamana diperlukan. Menurut sebagian ulama
misalnya Ibnu al-Arabi (w.543H), ahli tafsir dari kalangan Malikiyah, seperti
dinukil Wahbah az-Zuhaili, jumlah hadis-hadis hukumsekitar 3000 hadis,
sedangkan menurut riwayat dari Ahmad bin Hanbal bahwa hadis-hadis hukum
sekitar 1200 hadis. Namun, Wahbah az-Zuhaili tidak sependapat dengan dengan
pembatasan jumlah hadis hukum itu. Menurutnya yang penting bagi seorang
mujtahid mengerti dengan seluruh hadis-hadis hukum yang terdapat di dalam kitab-
kitab hadis besar yang sudah diakui, seperti Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, dan
lain-lain. Hadis-hadis hukum harus diketahui, disamping pengertiannya secara
bahasa dan secara syara’, juga mengetahui kesahihannya.
c. Mengethui tentang mana ayat atau hadis yang telah dimansukh (telah dinyatakan
tidak berlaku lagi oleh Allah atau Rasul-Nya), dan mana ayat atau hadis yang me-
nasakh atau sebagai penggantinya. Pengetahuan seperti ini diperlukan, agar seorang
mujtahid tidak mengambil kesimpulan dari ayat atau hadis yang sudah dinyatakan
tidak lagi berlaku.
d. Mempunyai pengetahuan tentang masalah-masalah yang sudah terjadi ijma’
tentang hukumnya dan mengetahui tempat-tempatnya. Pengetahuan ini diperlukan
agar seorang mujtahid dalam ijtihadnya tidak menyalahi hukum yang telah
disepakati para ulama.
e. Mengetahui tentang seluk-beluk qiyas, seperti syarat-syaratnya, rukun-rukunnya,
tentang ‘illat hukum dan cara menemukan ‘illat itu dari ayat atau hadis, dan
mengetahui kemaslahatan yang dikandung oleh suatu ayat hukum dan prinsip-
prinsip umum syariat Islam.
f. Menguasai bahasa Arab serta ilmu-ilmu bantu yang berhubungan dengannya.
Pengetahuan ini dibutuhkan, mengingat al-Qur’an dan Suunnah adalah berbahasa
Arab. Seseorang tidak akan bisa meng-istinbatkan hukum dari dua sumber tersebut
tanpa mengetahui seluk beluk bahasa Arab. Antara lain, misalnya, mengetahui

13
mana lafal umum dan mana lafal khusus, mana lafal hakikat dan mana lafal majaz,
lafal mutlaq dan muqayyad, dan berbagai cara penunjukan lafal terhadap
maknanya. Penguasaan bahasa Arab tidak perlu menjadi ahli, tetapi cukup
sekadarmampu memahami secara benar ungkapan-ungkapan dalam bahasa Arab
dan kebiasaan orag Arab dalam pemakaiannya.
g. Menguasai ilmu Ushul Fiqh, seperti tentang hukum dan macam-macamnya, tentang
sumber-sumber hukum atau dalil-dalilnya, tentang kaidah-kaidah dan cara
mengistinbatkan hukum dari sumber-sumber tersebut, dan tentang ijtihad.
Pengetahuan tentang hal ini diperlukan karena Ushul Fiqh merupakan pedoman
yang harus dipegang dalam melakukan ijtihad.
h. Mampu menangkap tujuan syariat dalam merumuskan suatu hukum. Pengetahuan
ini dibutuhkan karena untuk memahami suatu redaksi dan dalam penerapannya
kepada berbagai peristiwa, ketepatannya sangat bergantung kepada pengetahuan
tentang bidang ini. Hal ini disebabkan, penunjukan suatu lafal kepada maknanya
mengandung berbagai kemungkinan, dan pengetahuan tentang maqasid al-Syari’ah
memberi petunjuk untuk memilih pengertiannya yang mana yang layak diangkat
dan difatwakan. Di samping itu, dan yang terpenting, denga penguasaan bidang ini
prinsip-prinsip hukum dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah dapat
dikembangkan, seperti dengan qiyas, istihsan, dan mashlahah mursalah.
2. Tingkatan – Tingkatan Mujtahid
Menurut As-Suyuthi “Umat sekarang (pada zamannya) telah terjebak pada
pemikiran bahwa mujtahid mutlaq itu sudah tidak ada lad\gi dan yang ada sekarang
hanyalah mujtahid muqayyad”. Pernyataan seperti itu adalah salah besar dan tidak
sesuai dengan pendapat para ulama. Mereka tidak mengetahui apa sebenarnya
perbedaan antara mujtahid mutlaq, mujtahid muqayyad, dan mujtahid muntasib
yang semuanya berbeda(Syafe’i,2010 :108).
Menurut Syafe’I (2010,108-109), tingkatan mujtahid menurut para ulama,
diantaranya menurut Imam Nawawi Ibnu Shalah dan lain-lain, terbagi dalam lima
tingkatan, yaitu :

14
a. Mujtahid Mustaqi, adalah seorang mujtahid yang bebas menggunakan kaidah-
kaidah yang ia buat sendiri, dia menyusun fiqihnya sendiri yang berbeda dengan
madzhab yang ada. Menurut As-Suyuthi, tingkatan ini sudah tidak ada lagi.
b. Mujtahid mutlaq ghairu mustaqil, adalah orang yang memiliki kriteria seperti
mujtahid mustaqi namun dia tidak menciptakan sendiri kaidah-kaidahnya , tetapi
mengikuti metode salah satu imam madzhab. Dia bisa disebut juga sebagai muthlaq
muntasib, tidak mustaqil, tetapi juga tidak terikat, karena dia tidak dikategorikan
taqlid kepada imamnya melainkan mengikuti jalan yang ditempuh imamnya.
Diantaraya Abu Yusuf dan Muhammad Jafar dari Hanafiyah.
c. Mujtahid muqayyad atau mujtahid takhrij adalah mujtahid yang terikat oleh
madzhab imamnya. Memang dia diberi kebebasan dalam menentukan berbagai
landasannya berdasarkan dalil, tetapi tidak boleh keluar dari kaidah-kaidah yang
telah dipakai imamnya. Diantaranya Hasan bin Ziyad dari golongan Hanafi, Ibnu
Qayyim dan Asyhab dari golongan Maliki, serta Al-Buwaiti dan Majani dari
golongan Syafi’i.
d. Mujtahid tarjih, adalah mujtahid yang belum sampai derajatnya pada mujtahid
takhrij, tetapi menurut Imam Nawawi dalam kitab Majmu’, mujtahid ini sangat
faqih, hafal kaidah-kaidah imamnya, mengetahui dalil-dalilnya, cara memutuskan
hukumnya, dia juga mengetahui bagaimana cara mencari dalil yang lebih kuat, dan
lain-lain. Tetapi kalau dibandingkan dengan tingkatan mujtahid di atas, dalam
mengetahui kaidah-kaidah imamnya, ia tergolong masih kurang. Diantaranya, Al-
Qaduri dan pengarang kitab Al-Hidayah dalam madzhab Hanafi.
e. Mujtahid fatwa, adalah orang yang hapal dan paham terhadap kaidah-kaidah imam
madzhab, mampu menguasai permasalahan yang sudah jelas atau yang sulit, namun
dia masih lemah dalam menetapka suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah
dalam menetapkan qiyas. Menurut Imam Nawawi, “Tingkatan ini dalam fatwanya
sangat bergantung kepada fatwa-fatwa yang telah disusun oleh imam madzhab,
serta berbagai cabang yang ada dalam madzhab tersebut”.

15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ijtihad adalah pengerahan segala daya nalar secara optimal.Usaha ijtihad
dilakukan oleh orang yang telah memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni.Hasil
dari kreativitas ijtihad adalah dugaan yang kuat tentang hukum syara yang bersifat
praksis.Kreatifitas ijtihad dilakukan dengan cara istinbath.
Dasar hukum ijtihad diantaranya, yaitu Q.S An-Nisa ayat 59 yag menjelaskan
tentang mengembalikan sesuatu kepada Allah dan Rasul-Nya seperti yang
dimaksud oleh ayat tersebut yang dapat dikatakan sebagai ijtihad dan hadis yang
diriwayatkan dari Mu’az bin Jabal mengenai ketika ia akan diutus ke Yaman,
menjawab pertanyaan rasulullah dengan apa ia memutuskan hukum, ia menjelaskan
secara berurutan, yaitu dengan Al-Qur’an, kemudian dengan sunnah Rasulullah,
dan kemudian dengan melakukan ijtihad.
Pernyataan Imam Syafi’I mengenai untuk menjawab hukum-hukum Al-
Qur’an dapat digali dengan ijtihad menggambarkan betapa pentingnya kedudukan
ijtihad disamping AL-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Ijtihad berfungsi baik untuk
menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir
seperti hadis ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak
tegas pengertiannya dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum
yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Macam-macam Ijtihad, antara lain Ijtihad Al-Batani, Ijtihad Al-Qiyasi,
Ijtihad Al-Istishlah, Ijtihad al-aqli dan Ijtihad syar’i.

B. Saran
Jika ditinjau ulang, tentu didalam makalah ini tidak akan lepas dari koreksi
para pembaca. Karena kami menyadari apa yang kami sajikan ini sangatlah jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca agar nantinya makalah ini akan menjadi lebih
sempurna dan lebih baik lagi.

16
DAFTAR PUSTAKA
Hasbiyallah. 2014. Fiqh dan Ushul Fiqh Metode Istinbath dan Istidlal. Bandung:
Remaja

Misbahuddin. 2014. Ushul Fiqh II. Makassar: UIN Alauddin Press

Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh, Jilid 1. Jakarta: Kencana

17

Anda mungkin juga menyukai