Anda di halaman 1dari 18

IJTIHAD SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

DOSEN PENGAMPU:
HJ. MAISARAH, S.Pd.I, M.Pd.

DISUSUN OLEH KELOMPOK II:


ALYA DEANOVA PUTR 2311011120007
BIYAH MILAWATI 2311011120002
MAUIZATIL HASANAH 2311011120010
NUR AZMI FAUZIAH 2311011120003
SITI MUNAWAROH EKA WULAN SARI 2311011120005
YUSRIANA HELDA 2311011120011

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


S-1 MATEMATIKA

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT


KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT


yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah
Agama Islam, dengan judul “Ijtihad Sebagai Sumber Hukum Islam”.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari
bantuan beberapa pihak yang dengan tulus memberikan saran dan kritik, sehingga
makalah ini dapat terselesaikan.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini jauh dari kata
sempurna dikarenakan keterbatasan pengalaman dan pengetahuan kami. Oleh
karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran dan masukan serta kritik dari
berbagai pihak. Kami juga berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
yang menggunakanya.

Banjarbaru, 19 September 2023

i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan.................................................................................................... 1
C. Tujuan ....................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 3
A. Definisi Ijtihad .......................................................................................... 3
B. Macam-macam Istijhad ............................................................................. 5
C. Istijhad Menurut Tingkatannya ................................................................. 6
D. Syarat-syarat Mujtahid .............................................................................. 7
E. Tingkatan Mujtahid ................................................................................... 8
F. Fungsi Istijhad Sebagai Sumber Hukum Islam Ketiga ............................. 11
G. Istijhad Sebagai Gaya Pengembangan hukum Islam ................................ 12
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 14
A. Simpulan ................................................................................................... 14
B. Saran.......................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 15

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ijtihad ialah berupaya serius dalam berusaha atau berusaha yang
bersungguh-sungguh. ijtihad selalu dilakukan oleh para sahabat, tabi'in hingga
sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa
taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa tertentu pula (kebangkitan
atau pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena tidakBisa dipungkiri,
ijtihad adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan kehidupan
yangproblematikanya semakin kompleks.Saat ini, banyak ditemui perbedaan-
perbedaan madzab dalam hukum Islam yang itudisebabkan dari ijtihad. Justru
dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam segala
hallapis waktu, tempat dan kondisi. ijtihad membuat syariat islam mampu
menghadapi problematika kehidupan. Adapun mujtahid ituialah ahli fiqih yang
menghabiskan atau mengerahkan seluruh kesanggupannya untukmemperoleh
persangkaan yang kuat terhadap sesuatu hukum agama. Oleh karena itu kita
harusTerima kasih kepada para mujtahid yng telah menyumbangkan waktu,
tenaga, dan pikiranuntuk menggali hukum tentang masalah-masalah yang
dihadapi umat Islam dengan baiksudah lama terjadi di zaman Rasullullah
maupun yang baru terjadi.
B. Rumusan
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah:
1. Apa definisi dari istijhad?
2. Apa saja macam-macam dari istijhad?
3. Apa saja tingkatan istijhad?
4. Apa saja syarat mujtahid?
5. Apa saja tingkatan mujtahid?
6. Apa saja fungsi istijhad sebagai sumber hukum islam ketiga?
7. Bagaimana istijhad sebagai gaya pengembangan hukum islam?

1
C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui apa makna dari istijhad
2. Untuk mengetahui macam macam dari istijhad
3. Untuk mengetahui dan menjelaskan tingkatan istijhad
4. Untuk mengetahui syarat-syarat mujtahid
5. Untuk mengetahui tingkatan mujtahid
6. Untuk mengetahui fungsi istijhad sebagai sumber hukum islam ketiga
7. Untuk mengetahui cara istijgad sebagai gaya pengembangan hukum islam
8. Menambah wawasan penulis dan pembaca tentang ijtihad
9. Untuk memenuhi tugas mata kuliah agama

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Ijtihad

Ijtihad dari segi bahasa berasal dari kata ijtihada yang berarti
bersungguh-sungguh, rajin, giat atau mencurahkan segala kemampuan (jahada).
Menurut bahasa, ijtihad berarti "pengerahan segala kemampuan untuk
mengerjakan sesuatu yang sulit." Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berupaya
serius dalam berusaha atau berusaha yang bersungguh-sungguh. Pengertian
ijtihad menurut istilah hukum Islam ialah mencurahkan tenaga (memeras
pikiran) untuk menemukan hukum agama (syara’) melalui salah satu dalil syara’,
dan tanpa cara-cara tertentu. Sementara secara istilah, para ulama ushul
mendefinisikan ijtihad sebagai berikut:

1. Menurut Abdul Hamid Hakim, ijtihad adalah pengerahan kesanggupan


berpikir dalam memperoleh hukum dengan jalan istimbath (menarik
kesimpulan) dari Al-Qur’an As-Sunnah; sedangkan A. Hanafi
mengartikan dengan tambahan “dengan cara-cara tertentu.”.
2. Menurut At-Ta’ribat bab “Alif” ijtihad adalah keadaan dimana seorang
fakih mencurahkan kemampuan pikirannya untuk menemukan hukum
islam yang masih zhonni (dalam persangkaan).
3. Menurut Wahbah al-Zuhaili Ijtihad adalah melakukan istimbath hukum
syari`at dari segi dalil-dalilnya yang terperinci di dalam syari`at.
4. Menurut Imam al-Ghazali, Ijtihad adalah suatu istilah tentang
mengerahkan segala yang diushakan dan menghabiskan segenap upaya
dalam suatu pekerjaan, dan istilah ini tidak digunakan kecuali terdapat
beban dan kesungguhan. Maka dikatakan dia berusaha keras untuk
membawa batu besar, dan tidak dikatan dia berusaha (ijtihad) dalam
membawa batu yang ringan. Dan kemudian lafaz ini menjadi istilah
secara khusus di kalangan ulama, yaitu usaha sungguh-sungguh dari

3
seorang mujtahid dalam rangka mencari pengetahuan hukum-hukum
syari`at. Dan ijtihad sempurna yaitu mengerahkan segenap usaha dalam
rangka untuk melakukan penncarian, sehingga sampai merasa tidak
mampu lagi untuk melakukan tambahan pencarian lagi.
5. Menurut Abdul hamid Muhammad bin Badis al-shanhaji, Ijtihad adalah
mengerahkan segenap kemampuan untuk melakukan istibath hukum dari
dalil syara’ dengan kaidah-kaidah. Dan orang melakukan ijtihad tersebut
adalah orang yang pakar dalam bidang ilmu-ilmu al-Quran dan al-
sunnah, memiliki pengetahuan yang luas tentang maqasid syariah
(tujuan-tujuan hukum islam), dan memiliki pemahaman yang benar
terkait dengan bahasa Arab.

Ahli ushul fiqih memberikan banyak definisi yang berbeda-beda


mengenai ijtihad, dengan mendefinisikan ijtihad dari berbagai pandangan namun
adapun maksud mereka ialah agar menutup jalan ijtihad dari orang yang tergesa-
gesa mengambil hukum dan orang-orang lalai mengambil hukum seenaknya
tanpa memeras kemampuan terlebih dahulu untuk meneliti dalilnya,
memperdalam pemahamannya dan mengambil konklusi dari dalil-dalil tersebut
serta memperbandingkan dalil yang bertentangan dengannya.

Dengan kata lain, ijtihad merupakan suatu aktivitas ulama untuk


mengintroduksi dan meng-eksplorasi makna serta materi hukum (maqashid al-
syarui‘ah) yang terkandung dalam Al-Qur’an As-Sunnah . Ijtihad adalah suatu
alat untuk menggali hukum Islam, dan hukum Islam yang dihasilkan dengan
jalan ijtihad statusnya adalah zanni. Ijtihad juga dapat dimaknai sebagai kerja
secara optimal-profesiaonal dan progresif-ilmiah guna memberikan solusi
hukum yang tepat dan benar, agar nilai-nilai normatif yang terkandung dalam
Alquran dan Sunah mampu membimbing perilaku manusia sesuai dengan situasi
dan kondisi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemahaman dan
pengamalan wahyu Ilahi dalam realitas kehidupan akan berjalan linier dengan
aktivitas dan dinamika ijtihad itu sendiri. Di sinilah posisi strategis dan

4
signifikansi ijtihad dalam proses pembinaan dan pembaruan hukum Islam guna
menemukan kepastian hukum.

B. Macam-macam Ijtihad

Macam macam istijhad menurut beberapa buku dan jurnal yang peneliti
temukan adalah sebagai berikut:

a. Ijtihad menurut al-Dualibi, sebagaimana dikatakan oleh Wahbah Al-Zuhaili,


ijtihad dibedakan dalam tiga macam:
1) Al-Ijtihad al-Bayani, yaitu menjelaskan (bayan) hukum-hukum syari`ah
dari nash-nash syar`i.
2) Al-Ijtihad al-Qiyasi, yaitu meletakkan (wadl`an) hukum-hukum syari`ah
untuk kejadian/peristiwa yang tidak terdapat dalam al Qur`an dan
Sunnah, dengan jalan menggunakan qiyas atas apa yang terdapat dalam
nash-nash hukum syar`i.
3) Al-Ijtihad al-Isthishlahi, yaitu meletakkan hukum-hukum syari`ah untuk
kejadian/peristiwa yang terjadi yang tidak terdapat dalam al Qur`an dan
Sunnah menggunakan ar ra`yu yang disandarkan atas isthishlah. Maksud
istislah adalah dengan memelihara kepentingan hidup manusia yaitu
menarik manfaat dan menolak madlarat dalam kehidupan manusia.
b. Menurut al Shāțibi, Ijtihad ada dua macam, yaitu:
1) Ijtihad dalam dark al-Ahkām al shar'iyyah (menemukan, mengetahui
hukum syara') dimana sifatnya khusus yang hanya boleh dilakukan oleh
mereka yang memenuhi kualifikasi ahli untuk melakukannya.
2) Ijtihad dalam Tatbiq al-ahkām al-shar'iyyah (menerapkan hukum syara').
Dimana sifatnya umum yang boleh dilakukan oleh semua muslim.

5
C. Ijtihad Menurut Tingkatannya

Dalam kaidah fiqih, ada beberapa tingkatan kemampuan berijtihad:

a. Ijtihad mutlak yaitu orang-orang yang nelakukan ijtihad langsung secara


keseluruhan dari Quran dan hadis. Serta seringkali mendirikan madzhab
sendiri, seperti halnya para sahabat dan para Imam yang empat, syafi’i,
Hambali, Hanafi, dan Maliki

b. Ijtihad Madzhab, yaitu para mujtahid yang mengikuti salah sati madzhab
dan tidak membentuk suatu madzhab tersendiri, madzhab yang dalam
beberapa hal berbeda pendapat dengan imamnya, misalnya Imam Syafi’i
tidak mengikuti pendapat gurunya Imam Malik, dalam beberapa masalah.

c. Ijtihad Muqqayad, yakni orang-orang yang berijtihad yang mengikatkan diri


dan mengikuti pendapat ulama salaf. Tetapi memiliki kesanggupan untuk
menentukan mana yang kuat dan pendapat yang berbeda beserta riwayat
yang lebih kuat diantara riwayat itu. Mereka juga memahami dalil-dalil
yang menjadi dasar pendapat para mujtahid yang diikuti misalnya Sayuti
Tholib

d. Ijtihad mustaqil ialah yang mampu secara independen membuat kaidah dan
kesimpulan sendiri dalam masalah hukum agama, diantaranya para imam
mazhab

e. Ijtihad Tarjih ialah yang mampu menjelaskan dan menguatkan pendapat


salah satu imam mazhab dengan memakai pendapat imam mazhab lain atau
murid-muridnya. Yang terkemuka pada tingkatan ini antara lain Al
Murghainany dalam mazhab Hanafy, Imam al Khalil dalam mazhab Maliky,
Imam an Nawawy dalam mazhab Syafi’i dan al Qadhi Alauddin al Mardawi
dalam mazhab Hanabilah.

f. Ijtihad fatwa ialah yang mengikuti pendapat salah satu mazhab dan dapat
di bedakan mana pendapat yang kuat dan lemah, tetapi memiliki
keterbatasan dalam menetapkan dalil atau pendapatnya secara indpenden

6
g. Ijtihad Muqalid ialah yang bertaklid atau cukup mengikuti pendapat yang
telah dirumusan oleh para ulam

D. Syarat-syarat Mujtahid

Berijtihad bukanlah persoalan yang sederhana, seorang yang akan


melakukan ijtihad harus memiliki kemampuan khusus. Oleh karena itu para
ulama menetapkan beberapa syarat ijtihad.

Al Ghazali secara umum mengemukakan dua syarat;

1. Seorang mujtahid harus menguasai ilmu syara’, mampu melihat nas yang
zhanni secara cermat, mendahulukan apa yang wajib didahulukan serta
mengakhirkan apa yang mesti dikemudiankan.
2. Seorang mujtahid hendaknya seorang yang adil, menjauhi segala yang
maksiat.
Asy Syatibi mengemukakan dua syarat bagi seorang mujtahid:
1. Seorang mujtahid itu harus benar-benar mengetahui maqasid asy syari’ah
(tujuan syari’ah) dengan sempurna.
2. seorang mujtahid harus mampu melakukan istimbal hukum berdasarkan
pemahaman dan pengertiannya terhadap tujuan syari’ah tersebut.

Pada umumnya ulama ushul mensyaratkan secara rinci mengenai seorang yang
melakukan ijtihad sebagai berikut :

1. Mempunyai pengetahuan yang luas tentang Al Qur’an,


2. Mempunyai pengetahuan sunnah Nabi yang merupakan sumber kedua
sesudah Al Qur’an,
3. Mengetahui nasikh mansukh, mengetahui masalah-masalah hukum yang
telah menjadi ijma para ulama terdahulu,
4. Menguasai Ushul Fiqih dan Mengetahui Maqasid
5. Menguasai ilmu bahasa Arab. Karena Al-Qur'an berbahasa Arab
dan Sunnah yang diucapkan Nabi dalam bahasa Arab. Para ulama Ushul
Fiqh sepakat bahwa untuk melakukan ijtihad seseorang harus fasih
berbahasa Arab.

7
6. Mengetahui permasalahan yang telah disepakati dan permasalahan yang
masih kontroversial.
7. Mengenal qiyas. Dalam hal ini dapat melaksanakan qiyas dengan
memadukan ilmu ushul fiqh, mengetahui kaidah-kaidah qiyas dan
mengetahui metode-metode yang digunakan oleh ulama salafush yang
sejati untuk menegakkan illah sebagai landasan dalam membangun
hukum fiqhilyah.
8. Mengetahui tujuan ditetapkannya undang-undang agar dapat memberi
manfaat bagi umat manusia, dan inilah inti risalah Muhammad
sebagaimana tertuang dalam Firman Allah yang artinya: “Dan kamu
(Muhammad) tidak Kami utus kecuali sebagaimana Pemahaman dan
penilaian yang benar, yang digambarkan Al Asnawi adalah mengetahui
batasan dan mengetahui bagaimana menyusun pendahuluan dan
kesimpulan, agar tidak terjadi kesalahan yang tercampur dalam analisis
dan refleksi. Dalam hal ini sepertinya anda perlu mengetahui ilmu
mantiq.
9. Niat dan i'tiqadnya benar, hanya demi Allah untuk menunjang agama
yang benar.
10. Mukallaf.
11. Mengetahui pengertian lafadz dan rahasianya
12. Mengetahui kondisi Mukhatab penyebab pertama kemunculannya
melarang.
13. Mampu mengambil keputusan hukum
14. Akhaqul Karimah.

E. Tingkatan Mujtahid

Ulama ahli ushul membagi kepada tujuh tingkatan mujtahid. Empat


tingkatan pertama tergolong mujtahid, dan tiga berikutnya masuk kedalam
kategori muqallid.

1. Mujtahid Mustaqil (mandiri); untuk mencapai derajat ini harus dipenuhi


seluruh persyaratan ijtihad. Ulama pada tingkatan ini mempunyai otoritas

8
mengkaji ketetapan hukum langsung dari Alquran dan sunnah, melakukan
qiyas, mengeluarkan fatwa, dan berwenang menggunakan seluruh metode
istidlal yang mereka ambil sebagai pedoman, tidak mengekor pada mujtahid
lain. Termasuk kategori ini adalah seluruh fuqaha sahabat, tabiin dan fuqaha
mujtahid.
2. Mujtahid Muntasid; mereka adalah mujtahid yang mengarnbil/memilih
pendapatpendapat imamnya dalam ushul dan berbeda pendapat dari
imamnya dalam cabang furu’, meskipun secara umum ijtihadnya
menghasilkan kesimpulan- kesimpulan yang hampir sama dengan hasil
ijtihad yang diperoleh imamnya.
3. Mujtahid Mazhab; mereka yang mengikuti imamnya baik dalam ushul
maupun furu’ yang lelah jadi. Peranan mereka terbatas melakukan istinbath
hukum terhadap masalah-masalah yang belum diriwayatkan oleh imamnya.
Menurut Maliki, tidak pernah kosong suatu masa dari mujtahid mazhab.
Tugas mereka dalam ijtihad adalah menerapkan illat-iliat fiqh yang telah
digali oleh para pendahulunya terhadap masalahmasalah yang belum
dijumpai di masa lampau. Dengan melakukan istinbath hukum didasarkan
pertimbangan yang sudah tidak relevan lagi dengan tradisi dan kondisi
masyarakat dan ulama mutaakhirin.
4. Mujtahid Murajjih, Mereka tidak melakukan istinbath hukum furu’,
melainkan mentarjih (mengunggulkan) diantara pendapat-pendapat yang
diriwayatkan imam dengan alat tarjih yang telah dirumuskan oleh mujtahid
pada tingkatan di atasnya. Mereka mentarjih sebagian pendapat atas
pendapat lain karena dipandang kuat dalilnya atau karena sesuai dengan
konteks kehidupan masyarakat pada masa itu atau karena alasan lain,
sepanjang tidak melakukan istinbath baru yang independen ataupun
mengikuti metode istinbath imamnya.
5. Mujtahid Muwazin; Mereka membanding-bandingkan beberapa pendapat
dan riwayat. Misalnya, mereka menetapkan bahwa qiyas yang dipakai
dalam pendapat ini lebih mengena dibanding penggunaan qiyas pada

9
pendapat lain. Atau pendapat ini lebih shahih riwayatnya atau lebih kuat
dalilnya.
6. Tingkatan Muhafizh‫ ؛‬Mereka adalah yang mampu membedakan antara
pendapat yang terkuat, dhaif. Mereka tergolong tingkatan muqallid, hanya
saja mereka mempunyai hujjah dengan mengetahui hasil tarjih ulama
terdahulu. Bisa mengeluarkan fatwa, tetapi dalam lingkup terbatas.
7. Tingkatan Muqallid\ Tingkatan ini berada di bawah semua tingkatan yang
telah diuraikan di atas. Mereka adalah ulama yang mampu memahami kitab-
kitab, tetapi tidak mampu melakukan tarjih terhadap pendapat atau riwayat.
Tingkat keilmuannya belum cukup mendukung untuk bisa mentarjih
pendapat mujtahid murajjih dan menentukan tingkatan tarjih. Golongan
muqallid, cukup besar jumlahnya pada masamasa belakangan. Mereka
menerima ibarat yang terdapat dalam kitab-kitab sebagaimana adanya dan
tidakniampu mengklasifikasi dalil- dalil, pendapat-pendapat maupun
riwayat-riwayat.

Dr. Abd Salam Arief membedakan tingkatan mujtahid terdiri dari 4


kategori, yaitu:

1. Mujtahid Mutlaq Mustaqil(mujtahid independen)

Meujtahid independen adalah seorang mujtahid yang membangun teori


dan kaidah istinbat sendiri, tanpa bersandar kepada kaidah istinbat pihak
lain. Yang termasuk dalam jajaran kelompok ini antara lain: imam empat
mazhab, yaitu Abu Hanifah, Malik bin anas, Imam al-Syafi’i, dan Imam
Ahmad bin Hanbal; laits bi Saad, al Auzai, Sufyan al-Tsauri, Abu saur, dan
sebagainya.

2. Mujtahid Muntasib (Mujtahid Afiliatif)


Mujtahid afiliatif adalah mujtahid yang melakukan ijtihad dengan
menggunakan kaidah istinbath tokoh mazhab yang diikutinya,meskipun
dalam masalah masalah furu’ ia berbeda pendapat dengan imam yang
diikutinya itu. Dan yang masuk dalam tingkatan ini adalah diantaranya: Abu

10
Yusuf, Muhammad Saibani, Zufar dari kalangan Hanafiyah. Abd al-
Rahman bi Qasim dan Ashab bin Wahab, dari kalangan Malikiyah. Al-
Buwaiti, al-Za’farani, al-Muzani dari kalangan Syafi’iyyah. Al-qadhi Abu
Ya’la, Ibn Qudamah, Ibn Taimiyah, dan Ibn Qayyim dari kalangan
Hanabilah.
3. Mujtahid fi al-madhab
Mujahid fi al-mazhab adalah para mujtahid yng mengikuti sepenuhnya
imam mazhab mereka baik dalam kaidah istinbath ataupun dalam persoalan-
persoalan furu’iyyah. Mereka berijtihad pada masalah-masalah yang
ketentuan hukumnya tidak didapatkan dari imam mazhab mereka. Mereka
juga adakalanya meringkas kaidahkaidah istinbat yang dibangun oleh imam
mereka.
4. Mujtahid Murajih
Mujtahid murajih adalah mujtahid yang tidak mengistinbatkan hukum
furu’, mereka melakukan ijtihad hanya terbatas membandingkan beberapa
pemikiran hukum mujtahid sebelumnya, kemudian memilih salah satu yang
dianggap arjah (paling kuat)

F. Fungsi Ijtihad Sebagai Sumber Hukum Islam Ketiga

Sebagai sumber hukum Islam ketiga, ijtihad memiliki beberapa fungsi di


antaranya, adalah:

1. Sebagai jawaban atas permasalahan kehidupan yang dialami oleh umat Islam,
yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam al-Qur'an maupun dalam hadis.
Dalam menyelesaikan permasalahan, dengan syarat sesuai dengan prinsip-
prinsip yang terdapat dalam al-Qur'an dan hadis.
2. Sangat dihargainya peran akal dalam ajaran Islam. Penggunaan akal atau
pertimbangan dalam masalah agama memegang peran penting dalam agama
Islam. Al-Qur'an secara terang-terangan menghargai akal pikiran, salah satu
firman Allah dalam (Q.S. Ali Imran/3: 190-191)

11
G. Ijtihad Sebagai Upaya Pengembangan Hukum Islam

Ijtihad sebagai metode penemuan hukum yang bersandar pada hadits Nabi
yang diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal ketika diutus sebagi seorang hakim ke
Yaman, yang bunyi hadits tersebut; Artinya: "Dari Mu'adz bin Jabal bahwasanya
Rasululloh SAW, ketika mengutusnya ke Yaman Bersabda: "bagaimana kamu
menetapkan hukum jika diajukan kepadamu sesuatu yang harus diputuskan,
Muadz menjawab saya akan memutuskan berdasarkan kitab Allah, Rasulullah
berkata:"jika kamu tidak menemukan dalam kitab Allah ? Muadz menjawab:
"saya akan memutus berdasarkansunnah Rasulullah. Rasululloh berkata: "jika
kamu tidak menemukan dalam sunnah Rasululloh, Muadz menjawab saya akan
berijtihad dengan pendapatku dan dengan seluruh kemampuanku. Maka
Rasulullah merasa lega dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi
taufiq kepada utusan Rasulullah (muadz) dalam hal yang diridhoi oleh
Rasulullah. Hadits ini dijadikan oleh para ulama sebagai dasar pijakan eksistensi
ijtihad sebagai sumber dalam tatanan hukum Islam dan menggambarkan sumber
hukum Islam secara hirearkis yang meliputi al-Qur'an, Hadits dan Ijtihad.

Materi hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah adalah
bersifat umum dan Universal. Hukum yang demikian dapat diserap untuk
memperkaya dan menyempurnakan hukum nasional. Akan tetapi, untuk
mempermudah penyerapan tersebut diperlukan rumusan-rumusan yang jelas dan
rasional, sehingga dapat diterapkan secara real. Dengan demikian, untuk
mengembangkan upaya kontribusi hukum Islam terhadap hukum nasional
diperlukan pemikiran kembali ajaran hukum al-Qur’an dan sunnah. Atau
tegasnya, perlu adanya pembaharuan dibidang hukum Islam, guna menjawab
tantangan zaman.

Untuk menjawab persoalan, kita tidak mungkin lepas dari pembaharuan


pemikiran Islam secara umum. Dan dalam hal ini ditemukan dua pendekatan
oleh para pakar, yakni: pendekatan melalui analisis tekstual dan pendekatan
sosiohistoris. Pendekatan model pertama, melalui analisis kebahasaan dan

12
interpretasi dari ulama salaf, akhirnya didapat sebuah kesimpulan bahwa kata
pembaharuan (tajdid) dalam Islam mengandung enam elemen, diantaranya:

1. Pembaharuan adalah upaya menghidupkan ajaran Islam, penyebarannya,


dan mengembalikanya kepada bentuk aslinya pada masa salaf pertama.
2. Pembaharuan demikian mencakup pula upaya memelihara teks-teks suci
keagamaan yang benar dan otentik agar terhindar dari intervensi
manusia.
3. Upaya pembaharuan harus diimbangi dengan suatu metode yang benar
dalam memahami teks-teks suci, dan pemahaman demikian dapat
ditelusuri melalui komentar-komentar yang telah dilakukan oleh aliran
Sunni.
4. Tujuan penting pembaharuan agama adalah menjadikan hukum Islam
sebagai landasan hukum bagi berbagai aspek kehidupan.
5. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan sebuah ijtihad, sehingga
agama Islam dapat menjawab segala permasalahan hukum yang muncul
dalam masyarakat
6. Aspek penting dalam pembaharuan adalah upaya membedakan ajaran
agama yang sebenarnya dengan yang disisipkan kepadanya, baik sisipan
yang muncul dari dalam maupun berupa pengaruh dari luar.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa upaya pembaharuan pada satu
sisi adalah upaya pembersihan ajaran agama dari berbagai hal yang bukan ajaran
agama, tetapi hanya berupa budaya yang dipahami sebagai ajaran agama dan
disisi lain pembaharuan sekaligus pula upaya menjawab tantangan zaman. Sisi
pertama, dapat dikatakan sebagai sebuah pemurnian ajaran agama, yang
dimaksud adalah memurnikan ajaran dari hal-hal yang berbau dari kemusyrikan,
khurafat, dan bid’ah, untuk dikembalikan kepada ajaran Islam yang asli, yang
diajarkan oleh al-Qur’an dan nabi Muhammad SAW. Maka bagian kedualah dari
elemen-elemen diatas yang dapat dikatakan sebagai sebuah pembaharuan dalam
agam.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ijtihad merupakan pedoman hukum yang sangat penting dalam perumusan


hukum Islam sebagai upaya menyelesaikan permasalahan kemanusiaan tertentu
dan menjelaskan konsep Islam dalam segala aspeknya. Selain itu, ijtihad
merupakan sumber hukum Islam sebagai penentu hukum setelah Al-Quran dan
Sunnah. Apabila Al-Qur’an, Sunnah, dan Hadits tidak dapat ditemukan secara
jelas dan rinci mengenai hukum yang dimaksud, maka kita selalu dapat mencari
dalil ketetapan tersebut dengan ilmu dan akal sehat. Sesungguhnya jika dalam
ijtihad dan timbul perselisihan, diperintahkan untuk mengacu pada Al-Qur'an
dan Sunnah. Dalil Aqli tidak bisa dijadikan landasan mutlak karena biasanya
dalil tersebut hanya digunakan untuk menguatkan dan menambah keimanan
terhadap hikmah di balik suatu hal.

B. Saran
Demikian makalah ijtihad dalam mata kuliah yang tentunya masih jauh dari
kesempurnaan. Kami sadar bahwa ini merupakan proses dalam menempuh
pembelajaran, untuk itu kami mengharapkan kritik serta saran yang membangun
demi kesempurnaan hasil diskusi kami. Harapan kami semoga dapat dijadikan
suatu ilmu yang bermanfaat bagi kita semua.

14
DAFTAR PUSTAKA
Dr. H.M. Lathoif Ghozai. 2020. Dinamika Ijtihad Tidak Pernah Tertutup.
Surabaya: IMTIYAZ.
Agus Miswanto, S.Ag., MA. 2018. Usul Fiqih Metode Ijtihad Hukum Islam.
Magelang: UNIMMA PRESS
Dr. Moh. Bahrudin, M.Ag. 2019. Ilmu Ushul Fiqh.
Bandar Lampung: AURA.
Dr. A. Halil Thahir, MHI.. 2015. Ijtihad Maqasidi: Rekontruksi Hukum Islam
Berbasis Interkoneksitas Maslahah. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara.
Ahmad Taufik, S.Pd.I, M.Pd. & Dra. Hj. Iim Halimah. 2019. PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM DAN BUDI PEKERTI. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam Kementerian Agama RI.
Ahmad Badi’, 2013. IJTIHAD: Teori dan Penerapannya. https://ejournal.uit-
lirboyo.ac.id [Diakses pada 18 September 2023]
Imam Mustofa, 2011. Optimalisasi Perangkat dan Metode Ijtihad Sebagai Upaya
Modernisasi Hukum Islam. D:/Downloads/37015-ID-optimalisasi-
perangkat-dan-metode-ijtihad-sebagai-upaya-modernisasi-hukum-
islam%20(2).pdf [Diakses 18 September 2023]
Fauzul Iman, 2004. Ijtihad dan Mujtahid. D:/Downloads/1645-Article%20Text-
3885-1-10-20190222%20(1)%20(2).pdf [Diakses pada 18 September 2023]
Muslimatus Sholehah, 2014. Urgensi Ijtihad dalam Hukum Islam.
file:///D:/Downloads/Ushul%20Fiqh%202%20(4).pdf [Diakses pada 18
September 2023]
Afiful Huda, dkk, 2022. Ijtihad Sebagai Model Pengembangan Hukum Islam.
file:///D:/Downloads/2.+Afiful+Huda%20(3).pdf [Diakses pada 18
September 2023]
Sarmiji Asri, 2021. Apakah Mungkin Pada Masa Yang Akan Datang Lahirnya
Seorang Mujtahid. file:///D:/Downloads/4840-13658-1-SM%20(2).pdf
[Diakses pada 18 September 2023]
___,__. IJTIHAD: Sumber Dinamika Islam D:/Downloads/BAB%20VI%20(5).pdf
[Diakses pada 18 September 2023]

15

Anda mungkin juga menyukai