Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

“IJTIHAD, ITTIBA dan TAQLID“

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fikih


Dosen Pengampu: Ali Sadikin Ritonga, M.Pd.I

Oleh :

1. Nur’Afni
2. Dewi Noviyana
3. Aidil Syahputra Hasibuan

Program studi pendidikan guru madrasah ibtidaiyah (PGMI)

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH AL – BUKHARY

LABUHANBATU

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan


rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “Ijtihad, Ittiab dan Ta’lid” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
mata kuliah Ushul Fikih, dengan Bapak Ali Sadikin Ritonga, M.Pd.I sebagai Dosen
Pengampu. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
Ushul Fikih bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ali Sadikin Ritonga, M.Pd.I
selaku dosen pengampu mata kuliah Ushul Fikih yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi
yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Rantau Prapat, 10 November 2022

Tim Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..........................................................................................1

Daftar isi .......................................................................................... 2

BAB 1 PENDAHULUAN

a. Latar belakang ............................................................................................. 3

b. Perumusan masalah..................................................................................... 3

c. Tujuan penelitian.......................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN

A.Pengertian Ijtihad, Tujuan Ijtihad dan Jenis-jenis Ijtihad..................................4

B.Pengertian Ittiba, Macam-Macam Ittiba, Tujuan Ittiba, hukum ittiba, dan


Kedudukan Ittiba Dalam islam..............................................................................10

C.Pengertian Taqlid dan Hukum Taqlid .......................................................... 15

BAB III KESIMPULAN

a. Kesimpulan .............................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 20
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Ijtihad (‫( ادٓاجت‬adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh atau mencurahkan
segala kemampuan (jahada). Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk
berupaya atau berusaha yang bersungguh-sungguh., yang sebenarnya bisa
dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan
suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat
menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Namun pada perkembangan
selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama
Islam.
Menurut ulama ushul, ittiba` adalah mengikuti atau menuruti semua yang
diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan Rasulullah SAW. Dengan kata lain
ialah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Nabi
Muhammad
Menurut Muhammad Rasyid Ridha, taqlid ialah mengikuti pandapat orang lain
yang dianggap terhormat dalam masyarakat serta dipercaya tentang suatu hukum
agama Islam tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik atau buruknya,
manfaat atau mudlarat hukum itu.

B.RUMUSAN MASALAH
1. Apa Pengertian Ijtihad, Tujuan Ijtihad dan Jenis-jenis Ijtihad
2. Pengertian Ittiba, Macam-Macam Ittiba, Tujuan Ittiba, hukum ittiba, dan
Kedudukan Ittiba Dalam islam
3. Pengertian Taqlid dan Hukum Taqlid
C .TUJUAN
1. Untuk mengetahui tentang Ijtihad
2. Untuk mengetahui tentang ittiba
3. Untuk mengetahui tentang Taqlid
BAB II

PEMBAHASAN

A. IJTIHAD

1. PENGERTIAN IJTIHAD

Ijtihad (‫( ادٓاجت‬adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh atau mencurahkan


segala kemampuan (jahada). Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk
berupaya atau berusaha yang bersungguh-sungguh., yang sebenarnya bisa
dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan
suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat
menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Namun pada perkembangan
selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama
Islam.

Menurut Dr. Wahbah az Zuhaili, ijtihad adalah perbuatan istimbath hukum


syari`at dari segi dalil-dalilnya yang terperinci di dalam syari`at. Imam al Ghazali,
mendefinisikan ijtihad dengan ”usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam
rangka mengetahui hukum-hukum syari`at”. Sedangkan menurut Imam Syafi`i, arti
sempit ijtihad adalah qiyas.

2. TUJUAN IJTIHAD

Tujuan Ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan


pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada
suatu waktu tertentu.

3. JENIS-JENIS IJTIHAD

1. ijma'
Ijma' artinya sepakat yakni sepakat para ulama dalam menetapkan suatu hukum
hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang
terjadi. Adalah sepakat bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad
untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu
keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh
umat.
Ijma‟ dalam istilah ahli ushul adalah sepakat semua para mujtahid dari kaum
muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara'

Qiyâs

Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu


hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun
memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan
perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya
darurat, bila memang terdapat hal hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-
masa sebelumnya.
Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada
nashnya dalam Al Qur‟an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu
yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain,
Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu
yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.
Istihsan
Beberapa definisi Istihsân
1. Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa
hal itu adalah benar.
2. Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan
olehnya
3. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang
banyak.
4. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
5. Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada
sebelumnya.

Maslahah murshalah Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada


naskhnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip
menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.
B. ITTIBA`
1. Pengertian Ittiba
Menurut bahasa Ittiba‟ berasal dari bahasa arab adalah mashdar (kata
bentukan) dari kata ittaba‟a ( َ َ‫ )ثَات‬yang berarti mengikuti. Ada beberapa kalimat
yang semakna dengannya diantaranya iqtifa‟ (‫()اقتياء‬menelusuri jejak), qudwah(‫)جقذ‬
ٔ
(bersuri teladan) dan uswah(‫( ( ٕجأس‬berpanutan). Dikatakan mengikuti sesuatu jika
berjalan mengikuti jejaknya dan mengiringinya. Dan kata ini berkisar pada makna
menyusul, mencari, mengikuti, meneladani dan mencontoh.

Sedangkan menurut istilah ittiba‟ adalah mengikuti pendapat seseorang baik


itu ulama atau yang lainnya dengan didasari pengetahuan dalil yang dipakai oleh
ulama tersebut. Ibnu Khuwaizi Mandad mengatakan : "Setiap orang yang engkau
ikuti dengan hujjah dan dalil padanya, maka engkau adalah muttabi‟(orang yang
mengikuti).
Menurut ulama ushul, ittiba` adalah mengikuti atau menuruti semua yang
diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan Rasulullah SAW. Dengan kata lain
ialah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Nabi
Muhammad SAW.
Definisi lainnya, ittiba` ialah menerima pendapat seseorang sedangkan yang
menerima itu mengetahui dari mana atau asal pendapat itu. Ittiba` ditetapkan
berdasarkan hujjah atau nash. Ittiba` adalah lawan taqlid.

2. Macam-Macam Ittiba`
a. Ittiba` kepada Allah dan Rasul-Nya
b. Ittiba` kepada selain Allah dan Rasul-Nya

Ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada yang tidak


membolehkan. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba` itu hanya
dibolehkan kepada Allah, Rasul, dan para sahabat saja, tidak boleh kepada yang lain.
Pendapat yang lain membolehkan berittiba` kepada para ulama yang dapat
dikatagorikan sebagai ulama waratsatul anbiyaa (ulama pewaris para Nabi).
3. Tujuan Ittiba`
Dengan adanya ittiba` diharapkan agar setiap kaum muslimin, sekalipun ia
orang awam, ia dapat mengamalkan ajaran agama Islam dengan penuh keyakinan
pengertian, tanpa diselimuti keraguan sedikitpun. Suatu ibadah atau amal jika
dilakukan dengan penuh keyakinan akan menimbulkan keikhlasan dan kekhusukan.
Keikhlasan dan kekhusukan merupakan syarat sahnya suatu ibadah atau amal yang
dikerjakan.

Kepada siapa kita wajib ittiba’?

Dari penjelasan diatas bisa kita simpulkan bahwa yang berhak kita berittiba‟
kepadanya adalah mereka yang pendapatnya didasari dengan dalil yang jelas, dalam
hal ini Rasulullah saw adalah orang yang paling berhak kita ikuti hal itu
sebagaimana Allah swt berfirman:
‫سنَةٌ لِّ َمنْ َكانَ يَ ْر ُجوا هّٰللا َ َوا ْليَ ْو َم ااْل ٰ ِخ َر َو َذ َك َر هّٰللا َ َكثِ ْي ًر ۗا‬
َ ‫س َوةٌ َح‬
‫هّٰللا‬
ُ ‫لَقَ ْد َكانَ لَ ُك ْم فِ ْي َر‬
ْ ُ‫س ْو ِل ِ ا‬
"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik., (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kesenangan) hari akhirat dan dia
banyak menyebut Allah." (QS. Al-Ahzab[33]:21).

4. Hukum Ittiba‟
Seorang muslim wajib ittiba‟ kepada Rasulullah saw dengan menempuh jalan
yang beliau tempuh dan melakukan apa yang beliau lakukan. Begitu banyak ayat al-
Qur‟an yang memerintahkan setiap muslim agar selalu ittiba‟ kepada Rasulullah
saw di antaranya firman Allah swt.
َ‫س ْو َل ۚ فَاِنْ تَ َولَّ ْوا فَاِنَّ هّٰللا َ اَل يُ ِح ُّب ا ْل ٰكفِ ِريْن‬ ‫هّٰللا‬
ُ ‫قُ ْل اَ ِط ْي ُعوا َ َوال َّر‬
“Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka
sesungguhnya Allah swt tidak menyukai orang-orang kafir” (QS. Ali lmran[3]: 32).
Dalam ayat lain Allah swt berfirman:
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬ ‫ٰيٓاَيها الَّذيْنَ ٰامنُوا اَل تُقَ ِّدموا بيْنَ يد هّٰللا‬
َ َ َّ‫س ْولِ ٖه َواتَّقُوا َ ۗاِن‬
‫س ِم ْي ٌع َعلِ ْي ٌم‬ ُ ‫َي ِ َو َر‬ ِ َ َ ُْ ْ َ ِ َ ُّ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah swt dan
Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah swt. Sesungguhnya Allah swt Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. al-Hujurat[49]:1).
Demikian juga Allah swt memerintahkan setiap muslim agar ittiba‟ kepada
sabilil mukminin yaitu jalan para sahabat Rasulullah saw dan mengancam dengan
hukuman yang berat kepada siapa saja yang menyeleweng darinya:
‫سبِ ْي ِل ا ْل ُمْؤ ِمنِيْنَ نُ َولِّ ٖه َما ت ََو ٰلّى‬
َ ‫س ْو َل ِم ۢنْ بَ ْع ِد َما تَبَيَّنَ لَهُ ا ْل ُه ٰدى َويَتَّبِ ْع َغ ْي َر‬
ُ ‫ق ال َّر‬ ِ ِ‫َو َمنْ ُّيشَاق‬
ِ ‫س ۤا َءتْ َم‬
‫ص ْي ًرا‬ َ ‫صلِ ٖه َج َهنَّ ۗ َم َو‬ ْ ُ‫ࣖ َون‬
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudahjelas kebenaran baginya,
dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan Ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan Ia ke dalam
jahanam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisa‟[4]: 115).

5. Kedudukan Ittiba’ Dalam Islam


Ittiba' kepada Rasulullah saw mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam
Islam, bahkan merupakan salah satu pintu seseorang dapat masuk Islam.
Berikut ini akan disebutkan beberapa kedudukan penting yang ditempati oleh
ittiba', di antaranya adalah:
Pertama, Ittiba' kepada Rasulullah saw adalah salah satu syarat diterima amal.
Sebagaimana para ulama telah sepakat bahwa syarat diterimanya ibadah ada dua:
1. Mengikhlaskan niat ibadah hanya untuk Allah swt semata.
2. Harus mengikuti dan serupa dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw.
Ibnu 'Ajlan mengatakan: "Tidak sah suatu amalan melainkan dengan tiga
perkara: taqwa kepada Allah swt, niat yang baik (ikhlas) dan ishabah (sesuai dan
mengikuti sunnah Rasul)." Maka barangsiapa mengerjakan suatu amal dengan
didasari ikhlas karena Allah swt semata dan serupa dengan sunnah Rasulullah saw,
niscaya amal itu akan diterima oleh Allah swt. Akan tetapi kalau hilang salah satu
dari dua syarat tersebut, maka amal itu akan tertolak dan tidak diterima oleh Allah
swt.
Hal inilah yang sering luput dari pengetahuan banyak orang. Mereka hanya
memperhatikan satu sisi saja dan tidak memperdulikan yang lainnya. Oleh karena itu
sering kita dengar mereka mengucapkan: "yang penting niatnya, kalau niatnya baik,
maka amalnya baik."
Kedua, Ittiba' merupakan bukti kebenaran cinta seseorang kepada Allah swt
dan Rasul-Nya. Allah swt berfirman:
‫قُ ْل اِنْ ُك ْنتُ ْم تُ ِحبُّ ْونَ هّٰللا َ فَاتَّبِ ُع ْونِ ْي يُ ْحبِ ْب ُك ُم هّٰللا ُ َويَ ْغفِ ْر لَ ُك ْم ُذنُ ْوبَ ُك ْم ۗ َوهّٰللا ُ َغفُ ْو ٌر َّر ِح ْي ٌم‬
"Katakanlah: 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya
Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (QS. Ali Imran[3]: 31).
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan ucapannya: "Ayat yang mulia ini
sebagai hakim bagi setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah swt, akan tetapi
tidak mengikuti sunnah Muhammad saw. Karena orang yang seperti ini berarti dusta
dalam pengakuan cintanya kepada Allah swt sampai dia ittiba' kepada syari'at agama
Nabi Muhammad saw dalam segala ucapan dan tindak tanduknya."

Ketiga, Ittiba' adalah sifat yang utama wali-wali Allah swt


Ibnu Taimiyah dalam kitabnya menjelaskan panjang lebar perbedaan antara
waliyullah dan wali syaitan, diantaranya beliau menjelaskan tentang wali Allah swt
dengan ucapannya: "Tidak boleh dikatakan wali Allah swt kecuali orang yang
beriman kepada Rasulullah saw dan syari'at yang dibawanya serta ittiba' kepadanya
baik lahir maupun batin. Barangsiapa mengaku cinta kepada Allah swt dan mengaku
sebagai wali Allah swt, tetapi dia tidak ittiba' kepada Rasul-Nya, berarti dia
berdusta. Bahkan kalau dia menentang Rasul-Nya, dia termasuk musuh Allah swt
dan sebagai wali syaitan."
Imam Ibnu Abil 'Izzi Al-Hanafi berkata: "Pada hakikatnya yang dinamakan
karamah itu adalah kemampuan untuk senantiasa istiqamah di atas al-haq, karena
Allah swt tidak memuliakan hamba-Nya dengan suatu karamah yang lebih besar dari
taufiq-Nya yang diberikan kepada hamba itu untuk senantiasa menyerupai apa yang
dicintai dan diridhai-Nya yaitu istiqamah di dalam mentaati Allah swt dan Rasul-
Nya dan ber-wala kepada wali-wali Allah swt serta bara' dari musuh-musuh-Nya."
Mereka itulah wali-wali Allah swt sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
َ‫آَاَل اِنَّ اَ ْولِيَ ۤا َء هّٰللا ِ اَل َخ ْوفٌ َعلَ ْي ِه ْم َواَل ُه ْم َي ْح َزنُ ْو ۚن‬
"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah swt itu, tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS. Yunus[10]: 62).

Demikianlah beberapa kedudukan ittiba' yang tinggi dalam syari'at Islam dan
masih banyak lagi kedudukan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa ittiba'
kepada Rasulullah saw merupakan suatu amal yang teramat besar dan banyak
mendapat rintangan. Mudahmudahan Allah swt menjadikan kita termasuk orang-
orang yang ittiba' kepada Nabi-Nya dalam segala aspek kehidupan kita, sehingga
kita akan bertemu Allah swt dengan membawa husnul khatimah. Amien, ya Rabbal
Alamin.
C. TAQLID
Ulama ushul fiqh mendefinisikan taqlid “penerimaan perkataan seseorang
sedangkan engkau tidak mengetahui dari mana asal kata itu”.
Menurut Muhammad Rasyid Ridha, taqlid ialah mengikuti pandapat orang lain
yang dianggap terhormat dalam masyarakat serta dipercaya tentang suatu hukum
agama Islam tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik atau buruknya, manfaat
atau mudlarat hukum itu.
Sedangkan menurut istilah taqlid adalah mengikuti perkataan (pendapat) yang
tidak ada hujjahnya atau tidak mengetahui darimana sumber atau dasar
perkataan(pendapat) itu. ketika seseorang mengikuti orang lain tanpa dalil yang
jelas, baik dalam hal ibadah, maupun dalam hal adat istiadat. Baik yang diikuti itu
masih hidup, atau pun sudah mati. Baik kepada orang tua maupun nenek moyang,
hal seperti itulah yang disebut dengan taqlid buta. Sifat inilah yang disandang oleh
orang-orang kafir dan dungu, dari dahulu kala hingga pada zaman kita sekarang ini,
dimana mereka menjalankan ibadah mereka sehari-hari berdasarkan taqlid buta dan
mengikuti perbuatan nenek-nenek moyang mereka yang tidak mempunyai dalil dan
argumen sama sekali. Allah swt berfirman:
‫َواِ َذا قِ ْي َل لَ ُه ُم اتَّبِ ُع ْوا َمٓا اَ ْن َز َل هّٰللا ُ قَالُ ْوا بَ ْل نَتَّبِ ُع َمٓا اَ ْلفَ ْينَا َعلَ ْي ِه ٰابَ ۤا َءنَا ۗ اَ َولَ ْو َكانَ ٰابَ ۤاُؤ ُه ْم اَل‬
َ َ‫يَ ْعقِلُ ْون‬
َ‫ش ْيـًٔا َّواَل يَ ْهتَد ُْون‬
“Dan apabila dikatakan kepada mereka ( orang-orang kafir dan yang
menyekutukan Allah swt ): “ikutilah semua ajaran dan petunjuk yang telah Allah swt
turunkan”. Mereka menjawab: “Kami hanya mengikuti segala apa yang telah
dilakukan oleh nenek-nenek moyang kami”. Padahal nenek-nenek moyang mereka
itu tidak mengerti apa-apa dan tidak juga mendapat hidayah ( dari Allah swt )” (QS.
Al-Baqarah[2]: 170).

1. Hukum Taqlid
Dalam menghukumi taqlid menurut para ulama terdapat 3 macam hukum:
Pertama, Taqlid yang diharamkan, kedua, Taqlid yang diwajibkan, dan ketiga,
Taqlid yang dibolehkan.
Taqlid yang diharamkan.
Ulama sepakat haram melakukan taqlid ini. Taqlid ini ada tiga macam :
a. Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau
orang dahulu kala yang bertentangan dengan al Qur`an Hadits.

b. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya.

c. Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang bertaqlid


mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.

Taqlid yang dibolehkan

Adalah taqlidnya seorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk ittiba‟ kepada
apa yang diturunkan Allah swt. Hanya saja sebagian darinya tersembunyi bagi orang
tersebut sehingg dia taqlid kepada orang yang lebih berilmu darinya, maka yang
seperti ini adalah terpuji dan tidak tencela, dia mendapat pahala dan tidak berdosa.
Taqlid ini sifatnya sementara. Misalnya taqlid sebagian mujtahid kepada mujtahid
lain, karena tidak ditemukan dalil yang kuat untuk pemecahan suatu persoalan.
Termasuk taqlidnya orang awam kepada ulama.

Ulama muta-akhirin dalam kaitan bertaqlid kepada imam, membagi kelompok


masyarakat kedalam dua golongan:

a. Golongan awan atau orang yang berpendidikan wajib bertaqlid kepada salah satu
pendapat dari keempat madzhab.

b. Golongan yang memenuhi syarat-syarat berijtihad, sehingga tidak dibenarkan


bertaqlid kepada ulama-ulama.

Golongan awam harus mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui sama sekali
dasar pendapat itu (taqlid dalam pengertian bahasa).

Syaikhul Islam lbnu Taimiyah berkata, “Adapun orang yang mampu ijtihad apakah
dibolehkan baginya taqlid? ini adalah hal yang diperselisihkan, dan yang shahih
adalah dibolehkan ketika dia dalam keadaan tidak mampu berijtihad entah karena
dalil-dalil (dan pendapat yang berbeda) sama-sama kuat atau karena sempitnya
waktu untuk berijtihad atau karena tidak nampak dalil baginya”

Taqlid yang diwajibkan

Adalah taqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu
perkataan dan perbuatan Rasulullah saw. Juga apa yang dikatakan oleh lbnul
Qayyim: Sesungguhnya Allah swt telah memerintahkan agar bertanya kepada Ahlu
Dzikr, dan AdzDzikr adalah al-Qur‟an dan al-Hadis yang Allah swt perintahkan
agar para istri Nabi-Nya selalu mengingatnya sebagaimana dalam firman-Nya:

‫ت هّٰللا ِ َوا ْل ِح ْك َم ۗ ِة‬


ِ ‫َو ْاذ ُك ْرنَ َما يُ ْت ٰلى فِ ْي بُيُ ْوتِ ُكنَّ ِمنْ ٰا ٰي‬

“ Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dan ayat-ayat Allah swt dan hikmah
(Sunnah Nabimu)”(QS. al-Ahzab[33]:34)

lnilah Adz-Dzikr yang Allah swt perintahkan agar kita selalu ittiba‟(mengikuti)
kepadanya, dan Allah swt perintahkan orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya
kepada ahlinya. Inilah yang wajib atas setiap orang agar bertanya kepada ahli ilmu
tentang Adz-Dzikr yang Allah swt turunkan kepada Rasul-Nya agar ahli ilmu ini
memberitahukan kepadanya. Kalau dia sudah diberitahu tentang Adz-Dzikr ini maka
tidak boleh baginya kecuali ittiba‟ kepadanya

Taqlid yang Berkembang

Taqlid yang berkembang sekarang, khususnya di Indonesia ialah taqlid kepada buku,
bukan taqlid kepada imam-imam mujtahid yang terkenal ( Imam Abu Hanifah,
Malik bin Anas, As Syafi`i, dan Hambali).

Jamaludin al Qosini (w. 1332 H) : “segala perkataan atau pendapat dalam suatu
madzhab itu tidak dapat dipandang sebagai madzhab tersebut, tetapi hanya dapat
dipandang sebagai pendapat atau perkataan dari orang yang mengatakan perkataan
itu”.

Taqlid kepada yang mengaku bertaqlid kepada imam mujtahid yang terkenal, sambil
menyisipkan pendapatnya sendiri yang ditulis dalam kitab-kitabnya. Taqlid yang
seperti ini tidak dibolehkan oleh Ad Dahlawi, Ibnu Abdil Bar, Al Jauzi dan
sebagainya.
2. Pendapat Imam Madzhab tentang Taqlid

a. Imam Abu Hanifah (80-150 H) Beliau merupakan cikal bakal ulama fiqh. Beliau
mengharamkan orang mengikuti fatwa jika orang itu tidak mengetahui dalil dari
fatwa itu.

b. Imam Malik bin Anas (93-179 H) Beliau melarang seseorang bertaqlid kepada
seseorang walaupun orang itu adalah orang terpandang atau mempunyai kelebihan.
Setiap perkataan atau pendapat yang sampai kepada kita harus diteliti lebih dahulu
sebelum diamalkan.

c. Imam asy Syafi`i (150-204 H) Beliau murid Imam Malik. Beliau mengatakan
bahwa “ beliau akan meninggalkan pendapatnya pada setiap saat ia mengetahui
bahwa pendapatnya itu tidak sesuai dengan hadits Nabi SAW.

d. Imam Hambali (164-241 H) Beliau melarang bertaqlid kepada imam manapun,


dan menyuruh orang agar mengikuti semua yang berasal dari Nabi SAW dan para
sahabatnya. Sedang yang berasal dari tabi`in dan orang-orang sesudahnya agar
diselidiki lebih dahulu. Mana yang benar diikuti dan mana yang salah ditinggalkan.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Ijtihad adalah perbuatan istimbath hukum syari`at dari segi dalil-dalilnya yang
terperinci di dalam syari`at. Imam al Ghazali, mendefinisikan ijtihad dengan ”usaha
sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam rangka mengetahui hukum-hukum
syari`at”. Sedangkan menurut Imam Syafi`i, arti sempit ijtihad adalah qiyas.

ittiba` ialah menerima pendapat seseorang sedangkan yang menerima itu


mengetahui dari mana atau asal pendapat itu. Ittiba` ditetapkan berdasarkan hujjah
atau nash. Ittiba` adalah lawan taqlid.
Ulama ushul fiqh mendefinisikan taqlid “penerimaan perkataan seseorang
sedangkan engkau tidak mengetahui dari mana asal kata itu”.
DAFTAR PUSTAKA

http://repository.radenfatah.ac.id/5279/2/Lengkap.pdf
https://www.google.com/search?
q=IJTIHAD+ITTIBA+DAN+TAQLID+PDF&oq=IJTIHAD+ITTIBA+DAN+TAQLID+PDF
&aqs=chrome..69i57.17997j0j1&sourceid=chrome&ie=UTF-8

Anda mungkin juga menyukai