Oleh :
1. Nur’Afni
2. Dewi Noviyana
3. Aidil Syahputra Hasibuan
LABUHANBATU
2022
KATA PENGANTAR
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
mata kuliah Ushul Fikih, dengan Bapak Ali Sadikin Ritonga, M.Pd.I sebagai Dosen
Pengampu. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
Ushul Fikih bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ali Sadikin Ritonga, M.Pd.I
selaku dosen pengampu mata kuliah Ushul Fikih yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi
yang kami tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.
Tim Penulis
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
b. Perumusan masalah..................................................................................... 3
c. Tujuan penelitian.......................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
a. Kesimpulan .............................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 20
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ijtihad (( ادٓاجتadalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh atau mencurahkan
segala kemampuan (jahada). Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk
berupaya atau berusaha yang bersungguh-sungguh., yang sebenarnya bisa
dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan
suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat
menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Namun pada perkembangan
selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama
Islam.
Menurut ulama ushul, ittiba` adalah mengikuti atau menuruti semua yang
diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan Rasulullah SAW. Dengan kata lain
ialah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Nabi
Muhammad
Menurut Muhammad Rasyid Ridha, taqlid ialah mengikuti pandapat orang lain
yang dianggap terhormat dalam masyarakat serta dipercaya tentang suatu hukum
agama Islam tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik atau buruknya,
manfaat atau mudlarat hukum itu.
B.RUMUSAN MASALAH
1. Apa Pengertian Ijtihad, Tujuan Ijtihad dan Jenis-jenis Ijtihad
2. Pengertian Ittiba, Macam-Macam Ittiba, Tujuan Ittiba, hukum ittiba, dan
Kedudukan Ittiba Dalam islam
3. Pengertian Taqlid dan Hukum Taqlid
C .TUJUAN
1. Untuk mengetahui tentang Ijtihad
2. Untuk mengetahui tentang ittiba
3. Untuk mengetahui tentang Taqlid
BAB II
PEMBAHASAN
A. IJTIHAD
1. PENGERTIAN IJTIHAD
2. TUJUAN IJTIHAD
3. JENIS-JENIS IJTIHAD
1. ijma'
Ijma' artinya sepakat yakni sepakat para ulama dalam menetapkan suatu hukum
hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang
terjadi. Adalah sepakat bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad
untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu
keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh
umat.
Ijma‟ dalam istilah ahli ushul adalah sepakat semua para mujtahid dari kaum
muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara'
Qiyâs
2. Macam-Macam Ittiba`
a. Ittiba` kepada Allah dan Rasul-Nya
b. Ittiba` kepada selain Allah dan Rasul-Nya
Dari penjelasan diatas bisa kita simpulkan bahwa yang berhak kita berittiba‟
kepadanya adalah mereka yang pendapatnya didasari dengan dalil yang jelas, dalam
hal ini Rasulullah saw adalah orang yang paling berhak kita ikuti hal itu
sebagaimana Allah swt berfirman:
سنَةٌ لِّ َمنْ َكانَ يَ ْر ُجوا هّٰللا َ َوا ْليَ ْو َم ااْل ٰ ِخ َر َو َذ َك َر هّٰللا َ َكثِ ْي ًر ۗا
َ س َوةٌ َح
هّٰللا
ُ لَقَ ْد َكانَ لَ ُك ْم فِ ْي َر
ْ ُس ْو ِل ِ ا
"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik., (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kesenangan) hari akhirat dan dia
banyak menyebut Allah." (QS. Al-Ahzab[33]:21).
4. Hukum Ittiba‟
Seorang muslim wajib ittiba‟ kepada Rasulullah saw dengan menempuh jalan
yang beliau tempuh dan melakukan apa yang beliau lakukan. Begitu banyak ayat al-
Qur‟an yang memerintahkan setiap muslim agar selalu ittiba‟ kepada Rasulullah
saw di antaranya firman Allah swt.
َس ْو َل ۚ فَاِنْ تَ َولَّ ْوا فَاِنَّ هّٰللا َ اَل يُ ِح ُّب ا ْل ٰكفِ ِريْن هّٰللا
ُ قُ ْل اَ ِط ْي ُعوا َ َوال َّر
“Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka
sesungguhnya Allah swt tidak menyukai orang-orang kafir” (QS. Ali lmran[3]: 32).
Dalam ayat lain Allah swt berfirman:
هّٰللا هّٰللا ٰيٓاَيها الَّذيْنَ ٰامنُوا اَل تُقَ ِّدموا بيْنَ يد هّٰللا
َ َ َّس ْولِ ٖه َواتَّقُوا َ ۗاِن
س ِم ْي ٌع َعلِ ْي ٌم ُ َي ِ َو َر ِ َ َ ُْ ْ َ ِ َ ُّ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah swt dan
Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah swt. Sesungguhnya Allah swt Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. al-Hujurat[49]:1).
Demikian juga Allah swt memerintahkan setiap muslim agar ittiba‟ kepada
sabilil mukminin yaitu jalan para sahabat Rasulullah saw dan mengancam dengan
hukuman yang berat kepada siapa saja yang menyeleweng darinya:
سبِ ْي ِل ا ْل ُمْؤ ِمنِيْنَ نُ َولِّ ٖه َما ت ََو ٰلّى
َ س ْو َل ِم ۢنْ بَ ْع ِد َما تَبَيَّنَ لَهُ ا ْل ُه ٰدى َويَتَّبِ ْع َغ ْي َر
ُ ق ال َّر ِ َِو َمنْ ُّيشَاق
ِ س ۤا َءتْ َم
ص ْي ًرا َ صلِ ٖه َج َهنَّ ۗ َم َو ْ ُࣖ َون
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudahjelas kebenaran baginya,
dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan Ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan Ia ke dalam
jahanam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisa‟[4]: 115).
Demikianlah beberapa kedudukan ittiba' yang tinggi dalam syari'at Islam dan
masih banyak lagi kedudukan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa ittiba'
kepada Rasulullah saw merupakan suatu amal yang teramat besar dan banyak
mendapat rintangan. Mudahmudahan Allah swt menjadikan kita termasuk orang-
orang yang ittiba' kepada Nabi-Nya dalam segala aspek kehidupan kita, sehingga
kita akan bertemu Allah swt dengan membawa husnul khatimah. Amien, ya Rabbal
Alamin.
C. TAQLID
Ulama ushul fiqh mendefinisikan taqlid “penerimaan perkataan seseorang
sedangkan engkau tidak mengetahui dari mana asal kata itu”.
Menurut Muhammad Rasyid Ridha, taqlid ialah mengikuti pandapat orang lain
yang dianggap terhormat dalam masyarakat serta dipercaya tentang suatu hukum
agama Islam tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik atau buruknya, manfaat
atau mudlarat hukum itu.
Sedangkan menurut istilah taqlid adalah mengikuti perkataan (pendapat) yang
tidak ada hujjahnya atau tidak mengetahui darimana sumber atau dasar
perkataan(pendapat) itu. ketika seseorang mengikuti orang lain tanpa dalil yang
jelas, baik dalam hal ibadah, maupun dalam hal adat istiadat. Baik yang diikuti itu
masih hidup, atau pun sudah mati. Baik kepada orang tua maupun nenek moyang,
hal seperti itulah yang disebut dengan taqlid buta. Sifat inilah yang disandang oleh
orang-orang kafir dan dungu, dari dahulu kala hingga pada zaman kita sekarang ini,
dimana mereka menjalankan ibadah mereka sehari-hari berdasarkan taqlid buta dan
mengikuti perbuatan nenek-nenek moyang mereka yang tidak mempunyai dalil dan
argumen sama sekali. Allah swt berfirman:
َواِ َذا قِ ْي َل لَ ُه ُم اتَّبِ ُع ْوا َمٓا اَ ْن َز َل هّٰللا ُ قَالُ ْوا بَ ْل نَتَّبِ ُع َمٓا اَ ْلفَ ْينَا َعلَ ْي ِه ٰابَ ۤا َءنَا ۗ اَ َولَ ْو َكانَ ٰابَ ۤاُؤ ُه ْم اَل
َ َيَ ْعقِلُ ْون
َش ْيـًٔا َّواَل يَ ْهتَد ُْون
“Dan apabila dikatakan kepada mereka ( orang-orang kafir dan yang
menyekutukan Allah swt ): “ikutilah semua ajaran dan petunjuk yang telah Allah swt
turunkan”. Mereka menjawab: “Kami hanya mengikuti segala apa yang telah
dilakukan oleh nenek-nenek moyang kami”. Padahal nenek-nenek moyang mereka
itu tidak mengerti apa-apa dan tidak juga mendapat hidayah ( dari Allah swt )” (QS.
Al-Baqarah[2]: 170).
1. Hukum Taqlid
Dalam menghukumi taqlid menurut para ulama terdapat 3 macam hukum:
Pertama, Taqlid yang diharamkan, kedua, Taqlid yang diwajibkan, dan ketiga,
Taqlid yang dibolehkan.
Taqlid yang diharamkan.
Ulama sepakat haram melakukan taqlid ini. Taqlid ini ada tiga macam :
a. Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau
orang dahulu kala yang bertentangan dengan al Qur`an Hadits.
b. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya.
Adalah taqlidnya seorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk ittiba‟ kepada
apa yang diturunkan Allah swt. Hanya saja sebagian darinya tersembunyi bagi orang
tersebut sehingg dia taqlid kepada orang yang lebih berilmu darinya, maka yang
seperti ini adalah terpuji dan tidak tencela, dia mendapat pahala dan tidak berdosa.
Taqlid ini sifatnya sementara. Misalnya taqlid sebagian mujtahid kepada mujtahid
lain, karena tidak ditemukan dalil yang kuat untuk pemecahan suatu persoalan.
Termasuk taqlidnya orang awam kepada ulama.
a. Golongan awan atau orang yang berpendidikan wajib bertaqlid kepada salah satu
pendapat dari keempat madzhab.
Golongan awam harus mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui sama sekali
dasar pendapat itu (taqlid dalam pengertian bahasa).
Syaikhul Islam lbnu Taimiyah berkata, “Adapun orang yang mampu ijtihad apakah
dibolehkan baginya taqlid? ini adalah hal yang diperselisihkan, dan yang shahih
adalah dibolehkan ketika dia dalam keadaan tidak mampu berijtihad entah karena
dalil-dalil (dan pendapat yang berbeda) sama-sama kuat atau karena sempitnya
waktu untuk berijtihad atau karena tidak nampak dalil baginya”
Adalah taqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu
perkataan dan perbuatan Rasulullah saw. Juga apa yang dikatakan oleh lbnul
Qayyim: Sesungguhnya Allah swt telah memerintahkan agar bertanya kepada Ahlu
Dzikr, dan AdzDzikr adalah al-Qur‟an dan al-Hadis yang Allah swt perintahkan
agar para istri Nabi-Nya selalu mengingatnya sebagaimana dalam firman-Nya:
“ Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dan ayat-ayat Allah swt dan hikmah
(Sunnah Nabimu)”(QS. al-Ahzab[33]:34)
lnilah Adz-Dzikr yang Allah swt perintahkan agar kita selalu ittiba‟(mengikuti)
kepadanya, dan Allah swt perintahkan orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya
kepada ahlinya. Inilah yang wajib atas setiap orang agar bertanya kepada ahli ilmu
tentang Adz-Dzikr yang Allah swt turunkan kepada Rasul-Nya agar ahli ilmu ini
memberitahukan kepadanya. Kalau dia sudah diberitahu tentang Adz-Dzikr ini maka
tidak boleh baginya kecuali ittiba‟ kepadanya
Taqlid yang berkembang sekarang, khususnya di Indonesia ialah taqlid kepada buku,
bukan taqlid kepada imam-imam mujtahid yang terkenal ( Imam Abu Hanifah,
Malik bin Anas, As Syafi`i, dan Hambali).
Jamaludin al Qosini (w. 1332 H) : “segala perkataan atau pendapat dalam suatu
madzhab itu tidak dapat dipandang sebagai madzhab tersebut, tetapi hanya dapat
dipandang sebagai pendapat atau perkataan dari orang yang mengatakan perkataan
itu”.
Taqlid kepada yang mengaku bertaqlid kepada imam mujtahid yang terkenal, sambil
menyisipkan pendapatnya sendiri yang ditulis dalam kitab-kitabnya. Taqlid yang
seperti ini tidak dibolehkan oleh Ad Dahlawi, Ibnu Abdil Bar, Al Jauzi dan
sebagainya.
2. Pendapat Imam Madzhab tentang Taqlid
a. Imam Abu Hanifah (80-150 H) Beliau merupakan cikal bakal ulama fiqh. Beliau
mengharamkan orang mengikuti fatwa jika orang itu tidak mengetahui dalil dari
fatwa itu.
b. Imam Malik bin Anas (93-179 H) Beliau melarang seseorang bertaqlid kepada
seseorang walaupun orang itu adalah orang terpandang atau mempunyai kelebihan.
Setiap perkataan atau pendapat yang sampai kepada kita harus diteliti lebih dahulu
sebelum diamalkan.
c. Imam asy Syafi`i (150-204 H) Beliau murid Imam Malik. Beliau mengatakan
bahwa “ beliau akan meninggalkan pendapatnya pada setiap saat ia mengetahui
bahwa pendapatnya itu tidak sesuai dengan hadits Nabi SAW.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ijtihad adalah perbuatan istimbath hukum syari`at dari segi dalil-dalilnya yang
terperinci di dalam syari`at. Imam al Ghazali, mendefinisikan ijtihad dengan ”usaha
sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam rangka mengetahui hukum-hukum
syari`at”. Sedangkan menurut Imam Syafi`i, arti sempit ijtihad adalah qiyas.
http://repository.radenfatah.ac.id/5279/2/Lengkap.pdf
https://www.google.com/search?
q=IJTIHAD+ITTIBA+DAN+TAQLID+PDF&oq=IJTIHAD+ITTIBA+DAN+TAQLID+PDF
&aqs=chrome..69i57.17997j0j1&sourceid=chrome&ie=UTF-8