USHUL FIQIH
FATWA TAQLID ITTIBA’ TALFIQ
Dosen Pengampu : Nuryanto MPd.I
Kelompok 13
Disususun Oleh :
Ahmad Shodiq : 13100062
Muhammad Sultoni : 13100762
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB SEMESTER III
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
JURAI SIWO METRO
2014/2015
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah wasyukurillahkita ucapkan sebagai bukti syukur kita kehadirat Allah
SWTkarena berkat nikmat, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan
tugas makalah ini tanpa halangan apapun.
Sholawat beserta salam sealu terlimpah kepada nabi Muhammad SAW. Karena Beliau-
lah petunjuk bagi manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Makalah yang kami buat merupakan salah satu tugas mata kuliah yang mana didalamnya
menjelaskan tentang ilmu pendidikan islam. Penulis berharap semoga makalah ini dapat
menambah khazanah pengetahuan serta membuka cakrawala kita khususnya tentang pendidikan
Islam. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam membuat makalah ini tidak luput dari
kesalahan.oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat penyusun harapkan, demi
tercapainya makalah yang baik dan benar. Besar harapan penulis semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
KKelompok 13
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu Ushul Fiqh merupakan metode dalam menggali dan menetapkan hukum, ilmu ini
sangat berguna untuk membimbing para mujtahid dalam mengistimbatkan hukum syara’ secara
benar dan dapat dipertanggung jawabkan hasilnya. Melalui ushul fiqh dapat ditemukan jalan
keluar dalam menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan dengan dalil lainnya.
Dalam ushul fiqh juga dibahas masalah talfiq, taklid dan ittiba’. Ketiganya memiliki arti
yang berbeda dan maksudnya pun berbeda. Tetapi ketiga-tiganya sangat jelas diatur dalam Islam.
Ittiba’ ini didasarkan dalam Al-Qur’an surat An-nahl ayat 43 yang artinya : “Dan Kami tidak
mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka;
maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, penyusun akan membahas perihal yang berkaitan dengan:
1. Apa yang dimaksud dengan taqlid, ittiba’ dan talfiq ?
2. Bagaimanakah hukum-hukum dalam bertaqlid, berittiba’ maupun bertalfiq ?
3. Bagaimanakah pendapat ulama mengenai taqlid, ittiba, dan talfiq ?
C. Tujuan
Dalam pembuatan makalah ini penulis mempunyai maksud dan tujuan antara lain :
1. Memberi pemahaman tentang Pengertian Taqlid dan Talfiq, Perbedaan antara keduanya dengan
Ittiba’ dan Hukm pembagiannya.
2. Untuk bahan diskusi pada mata kuliah Ushul Fiqih dan juga untuk memenuhi tugas mata kuliah
yang diberikan dosen pembimbimg.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Fatwa
Fatwa dalam bahasa arab berarti jawaban pertanyaan atau hasil ijtihad atau ketetapan
hukkum. Fatwa adalah pendapat atau keputusan mengenai ajaran isalam yang disampaikan
lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya yakni mufti. Kumpulan tentang fatwa, seperti
fatwa alamidiriyyah. Di indonesia juga dikenal adanya fatwa majelis ulama indonesia (MUI).
Maksudnya adalah ketetapan atau keputusan hukum tentang suatu masalah atau pristiwa yang
dinyatakan oleh keorang nujtahid sebagai hasil ijtihaad-nya
- Fatwa khulafa’il arba’ah idzattafaqu
Fatwa yang diberikan oleh khalifah yang empat, apabila kebetulan itu serupa adanya.
Sebagai ulama berpendapat bahwa fatwa ini dapat dijadikan hujjah.
- Fatwa shahbi
Pendapat yang difatwakan oleh seorang ulama shahabi.
Ulama hanafiyah mengakui fatwa shahabi seebagai hujjah, sedangkn jumhur ulama, mazhab
seorang sahabat bukanlah sebagai hujjah.
- Fatwa shahbi idza khalafal qiyas
Sebgian ulama berpendapat bahwa shahabi itu menjadi hyjjah apabila menyalahi qiyas.
Ahmad bin hambal menetapkan bahwa fatwa shahabi sebagai hujjah dan menetapkannya
sesudah hadis shahih, mursal, dan sebelum hadis dhaif, yakni apabila beliau tidak mendapati
hadis shahih dalam permasalahan yang dihadapinya, bliau mengambil fatwa sahabat dan
mendahulukan fatwa sahabat daripada haadis mursl dan hadis dhaif.[1]
B. Taqlid
1. Pengertian dan hukum taqlid
Mengenai pengertian taqlid, ada beberapa ulama mendefinisikan antara lain:
a. Al-Ghazali dan Ibnu Subhi
العمل بقول من ليس قوله إحدى الحجج الشرعبة بال حجة منها
Artinya:
“Mengamalkan pendapat orang yang pendapatnya bukan suatu hujjah syar’iyah tanpa ada
hujjah.”
قبول قول بال حجة
Artinya:
“menerima suatu pendapat tanpa ada hujjah.”
b. Al-Amidi mengemukakan bahwa taqlid adalah:
العمل بقول الغير من غير حجة ملزمة كأخذالعام وأخذ المجتهد بقول المجتهد مثله
Artinya:
“mengamalkan pendapat orang tanpa ada hujjah yang memastikan kita menerimanya, seperti
orang awam menerima pendapat awam, san seperti seseorang mujtahid menerima pendapat
seseorang mujtahid.”
C. Ittiba’
1. Pengertian dan Hukum Ittiba’
Ittiba’ ialah mengikuti pendapat seseorang mujtahid dengan memehami atau mengerti, baik
cara-cara maupin alasan-alasan yang menjadikan dasar mujtahid yang bersangkutan untuk
mnenyalurkanatau menerapkan garis-garis mengenai sesuatu hal tertentu.
menurut beberapa pendapat sejarah islam, ittiba’ ialah mengikuti sesseorang karrena jelasdan
nyata ddalilnya, sah madzhabnya, bahkan diperintahkan agama.
Imam syafi’i mengemukakan pada pendapat bahwa ittiba’ ialah mengikutu pendapat-
pendapat yang datang dari nabi muhammad SAW, dan para shabat atau yang daatang dari tabi’in
yang mendatangkan kebijakan.
Orang –orang yang melakukan ittiba’ disssebut muttabi’ yang jamaknya disebut muttabi’un,
bila seseorang tidak sanggup berijtihad, maka hukum ittiba’ diperbolehkan (iabadah), ittiba’
artiny mengikuti dan menerima pendapat-pendapat atau garis-garis yang diturunkan oeleh para
mujtahid baik terhadap fatwa mujtahid atau mujtahid yang mengikuti madzhab maupun terhadap
mujtahid langsung dari al-quran dan hadis.
Ittiba’ menurut para ahli ushul fiqih ialah:
هو قبول قول القاتل وأنت تعرف مأخذه
Artinya:
“menerima atau mengikkuti perkataan orsng lain dengan mengetahui suber atau alasan
perkataan.”
2. Tujuan Ittiba’
Jelaslah bagi kita bahwa ittiba’ termasuk satu perbuatn yang utama. Dan hukumnya adalah
wajib akau sekiranya kita tidak dapat berijtihad sendiri. Dan inilah tujuan kita sebagai orang-
orang muslim agar kita dapat memehami secara baik agama kita dan semua peraturan-peraturan
yang ada didalamnya.
Kita diwajibkan bertnya apabila kita tidak mengerti sehingga mengerti dan mengetahui
dalilnya merupakan faktor yang sangat penting dalam kesempuraan amal kita.
D. Talfiq
1. Pengertian dan Hukum Tafliq
Menurut para ulama, seseorang boleh muqollid mengambil suatu masalah dari seorang
mujtahid dan mengambil masalah dari mujtahid lain. Ia juga boleh mengambil suatu massalah
dari suatu madzhab dan beberapa massalah lain dari madzhab lain. Suatu masalah boleh diambil
dari berbagai hukum yang bertautan dengan wasilah-wasilah dan muqodimah-muqodimah dari
beberapa madzhab dan beberapa pendapat yang berlain lainan. Inilah yang disebut dengan tafliq.
Dalam melakukan suatu ibadah apakah itu shalat, puasa, zakat, kita bisa mengikuti aturan dan
tata cara yang telah dibukakan suatu madzhab. Dalam melakukan shalat (umpamanya) kita
bukan saja mengikuti Syafi’i tetapi juga mengikuti Hanafi, sebagai contoh, sewaktu wudhu kita
mengikuti cara Syafi’i, namun mengenai batalnya wudhu, tersebut kita mengikuti madzhab
Hanafi, maka yang kita lakukan ini dikenal dengan nama tafliq.
2. pandangan ulama ushul tentang tafliq
Fuqaha dan ahlu ushul beberapa pendapat tentang hukum tafliq ini, yaitu boleh tidaknya
seseorang berpindah madzhab, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Maka kita lebih lanjut
pendapat mereka:
Pendapat pertama mengatakan bahwa seseorang telah memiliki (memilih) salah satu
madzhab, maka ia harus tetap pada madzhab yang dipilihnya tiu. Ia tidak dibenarkan pindah
kepada madzhab yang lain baik secara keseluruhan maupun sebagian.
Pendapat kedua mengatakan bahwa seseorang yang telah memeilih salah satu
madzhab boleh berpindah kemadzhab yang lain walaupun untuk mecari keringan dengan
ketentuan hal itu tidak terjadi dalam satu kasus hukum yang menurut madzhab pertama dan
madzhab kedua sama-sama memandang batal (tidak sah). Atas dasar ini, maka talfiq dapat
dibenarkan.
Pendapat ketiga berpkiran bahwa, seorang yang telah memiliki salah satu madzhab
tidak ada larangan agama terhadap dirinya untuk pindah kemadzhab lain walaupun didorong
untuk mencari keringan. Ia dibenarkan menngambil pendapat dari tiap-tiap madzhab yang
dipandangnya mudah dan gampang dengan alasa rasulallah sendiri kalau disuruh meilih antara
dua perkara bliau memilih yang paling mudah selama itu tak membawa dosa. Didalam salah satu
hadisnya juga dikatan, beliau senang mempermudah urusan umatnya juga ada hadis yang
mnegatakann, agama itu mudah.
Maka menurut pendapat ini dengan berdasarkan alasan diatas talfiq hukumnya mubah
(boleh). Golongan ini dipelopori oleh imam al-kamal humam dari ulama hanafiah.
3. Sebab-sebab terjadinya talfiq
Persoalan talfiq ini, tidak ditemukan didalam kitab-kitab ulama salaf bahkan tidak
pernah dibicarakan secara serius dikalangan mereka. Oleh kerena itu, dapat kita katakan bahwa
talfiq sebnarnya adalah masalah yang kita kenal didalam permasalah fiqih dewasa, yang sengaja
dibuat oleh ulama khalaf, khususnya pada abad kelima hijriah. Ulama muta’ahirin (Khalaf) yang
memprokalamilkan bahwa pintu ijtihad telah presentasi mengakibatkan terjangkitnya penyakit
taqlid yang mulai dirasan oleh dunia islam, khususnyaulama-ulama islam.
Dari sinilah muncul ppendapat bahwa seorang harus terikat dengan salah satu madzhab
lain baik secara keseluruhan maupun sebagian. Pindah dari satu madzhab ke madzhab lain
secara sebagian ini lah yang dikenal sebagai istilah talfiq.
Pendapat semacam ini cukup menarik perhatian di dunia islam. Bukan saja di ikuti oleh
orang-orang awam, tetapi juga oelh para ulamanya. Berabad-abad lamannya pendapat ini
melanda dunia islam termasuk indonesia ini. Dengan adanya pendapat ini menurut penulis,
wawasan umat islam khususnya menjadi sempit. Hal ini menyebabkan hukum islam yang
semestinya lues (fleksibel) mejadi loyo, kaku, tidak sehat, dan tidak dinamis serta tidak berdiri
tegak untuk menjawab tantangan zaman. Ketidak berasan ini tidak muncul dari hukum islam
melainkan mucul dari sikap ulama islam yang tidak tepat dalam mendudukkan hukum islam
sebagai akibat dari adanya pendapat yang sempit sebagai mana yang kita sebutkan diatas.
Penulis melihat hal ini, sangat perlu dilluruskan dengan cara mendudukkan masalah talfiq
secara propolsional. Untuk itu perlu diadakan penelitian seara terpadu dengan mengkaji pendapat
fuqoha dan para ahli usul nerdasarkan kitab-kitab turatz (lama) kitab-kitab hadis (moderen)
sehingga kita nantinya dapat membandingkan antara engkajian lama dengan pengkajian baru,
selanjutnya kita menarjihkan manayang lebih rasional dan sesuai dengan perkembangan masa
kini itu lah yang kita mainkan.[2]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Fatwa adalah pendapat atau keputusan mengenai ajaran isalam yang disampaikan lembaga atau
perorangan yang diakui otoritasnya yakni mufti.
2. Dari pengertian taqlid dan ittiba’ serta talfiq di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan taqlid adalah menerima perkataan orang lain yang berkata, sedangkan si
penerima tersebut tidak mengetahui alasan perkataannya itu.
3. Ittiba’ adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan
mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil suatu hukum
berdasarkan alasan yang diaagap lebih kuat dengan jalan membanding.
4. Talfiq adalah mengamalkan satu hukum yang terdiri dari dua mazhab atau lebih atau dapat
dikatakan bahwa talfiq adalah mencampuradukkan hukum yang ditetapkan oleh suatu mazhab
dengan mazhab lainnya. Contohnya seperti seperti dalam masalah wudhu. Seseorang tidak
melafazkan niat, karena mengikut mazhab Hanafy. Tapi dalam hal mengusap kepala ketika
wudhu cukup sebagian kepala saja, karena mengikuti mazhab Maliki misalnya.
B. Saran
1. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan-
kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan pembaca dapat menyampaikan kritik dan juga
sarannya terhadap hasil penulisan makalah kami.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Khairul Uman & Drs. H. A. Achyar Aminudin, 2001. Ushul Fiqih II, Pustaka Setia,
Bandung.
Drs. Totok Jumantoro, M.A., dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag.
2005. Kamus Ilmu Ushul Fikih, Sinar Grafika Offset, jakarta.
[1] Drs. Totok Jumantoro, M.A., dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag. Kamus Ilmu Ushul
Fikih, Sinar Grafika Offset, jakarta, 2005., hlm. 62-63.
[2] Drs. Khairul Uman & Drs. H. A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, Pustaka Setia,
Bandung. 2001. Cetakan ke2
http://betexmk.blogspot.com/2014/11/makalah-ushul-fiqih-fatwa-taqlid-ittiba.html