Anda di halaman 1dari 30

Bab 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Banyak Ulama’ yang mendefinisikan ijtihad dengan pendapatnya masing-
masing mulai dari Syafi’i, Syaukani, Ibnu al Qayyim al Jauzi sampai kepada
Qordlowi dan Toha Jabir al 'Alwani, hemat penulis akan mengambil definisinya
Sayyid Tontowi yang amat ringkas tapi padat yaitu: Ijtihad adalah usaha seorang
muslim dengan seluruh kemampuannya untuk menghasilkan hukum syara’ dengan
cara mengambil dalil dari dalil-dalil syar’i. Ijtihad kontemporer merupakan
keharusan bagi umat islam karena mengingat dewasa ini banyak muncul
permasalahan yang belum tercaver dalam kitab –kitab klasik.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah ijtihad itu?


2. Tertutupkah ijtihad untuk masa sekarang?
3. Apakah ijtihad kontemporer itu?
4. Apa saja metode ijtihad kontemporer?
5. Ijtihad apa saja bila masih dipakai pada masa kontemporer?
6. Adakah bidang khusus yang lebih mmbutuhkan ijtihad di masa sekarang?

1.3 Tujuan penulisan

1. Memperluas wawasan tentang apa itu ijtihad.


2. Menuntut mahasiswa agar mampu mengaplikasikan ijtihad dalam kehidupan sehari-
hari.
3. Mengetahui syarat-syarat seorang mujtahid dan jenis-jenis ijtihad.

1.4 Metode dan teknik penulisan


Berbagai metode dan teknik penuisan dapat kita gunakan. Namun dalam hal ini
metode dan teknik penulisan yang kami gunakan dengan cara browsing internet dan
kajian buku.

1
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian IJTIHAD

Tuntunan dan Hadist


Ijtihad dalam Islam adalah mengerahkan kemampuan untuk mengetahui
hukum syar’i dari dalil-dalil syari’atnya. Hukumnya wajib atas setiap orang yang
mampu melakukannya karena Allah telah berfirman,
“Artinya : Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu
tidak mengetahui.” [Al-Anbiya’ : 7]

Orang yang mampu berijtihad memungkinkannya untuk mengetahui yang haq dengan
sendirinya, namun demikian ia harus memiliki ilmu yang luas dan mengkaji nash-
nash syari’at, dasar-dasar syari’at dan pendapat-pendapat para ahlul ilmi agar tidak
menyelisihi itu semua

“Katakanlah, ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang


nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia
tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu
yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan
terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui” [Al-A’raf : 33]

2
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya ituakan diminta pertanggunganjawabnya..” [Al-Isra : 36]

Sandaran ijtihad dari al Quran adalah:

"Dan kalau mereka menyerahkan kepada rasul dan ulil amri tentulah orang-orang
yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka
(rasul dan ulil amri)."1[2]
Dan firman Allah: “wa amruhum syurâ bainahum”. lafadz "syura" dalam ayat
tersebut mengandung arti membahas segala masalah yang terjadi, yang cocok dengan
dalil-dalil syari’ baik masalah tersebut termaktub dalam nash ataupun tidak. Hal
tersebut tidak terjadi kecuali dalam ijtihad.
Adapun sandaran ijtihad dari hadist adalah ucapan Nabi: “Apabila seseorang
berijtihad dan dia benar maka baginya dua pahala, dan apabila dia salah maka
baginya satu pahala.” Pengakuan Nabi terhadap sahabat Amru ibn al ’Ash tatkala
datang membawa salah satu tawanan dalam keadaan junub dan udara pada waktu itu
sangat dingin dia tidak mandi junub tetapi hanya bertanya, kemudian dia berkata
kepada nabi dengan maksud menyangkal kepada orang yang mengadukannya,

1[2] Q.S Al-Nisa': 83

3
“Apakah kamu tidak tahu Allah berfirman janganlah kamu membunuh dirimu sendiri,
sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu.” Kemudian Nabi tersenyum dan
mengakui ijtihadnya Amru ibn al ’Ash. Begitu juga pengakuannya Nabi terhadap
sahabat Muadz bin Jabal tatkala diutus ke yaman Muadz berani berijtihad apabila
hukum tidak didapatkannya di dalam al-Quran dan Hadist.

2. TERBUKA DAN TERTUTUPNYA PINTU IJTIHAD.


Sesungguhnya ummat kita sangat membutuhkan ijtihad baru yang tidak
mengisolir masa lalu dari masa kini atau memutuskan masa sekarang dari masa lalu,
akan tetapi ijtihad yang menghubungkan setiap zaman, ijtihad yang mengakomodasi
semua dimensi realitas, ijtihad yang peka akan kenyataan dan menyadari hakikatnya,
sehingga prospek masa depan akan memancar terang melalui tahapan pengaruh lokal,
regional dan internasional. Umat kini tengah membutuhkan ijtihad yang memiliki
strategi dan pertimbangan masa depan.
Para ulama dari golongan SYIAH berpendapat bahwa pernyataan tentang
tertutupnya ijtihad dan adanya pembatasan dalam berfikir pada abad ke empat adalah
kesalahan besar. Padahal tiga abad sebelumnya pintu ijtihad terbuka lebar2[3].

3. HUKUM MELAKSANAKAN IJTIHAD


Menurut para ulama’ bagi seseorang yang sudah memenuhi persyratan ijtihad
ada empat hukum ijtihad, yaitu:

A. Fardu ‘ain, apabila ada permasalahan yang menima dirinya dan harus
mengamalkan hasil dari ijtihadnya serta tidak boleh taqlid kepada orang lain
dan apabila di tanyakaan tentang suatu permasalahan yang belum ada
hukumnya. Karena jika tidak segera dijawab, dikhawatirkan akan terjadi
kesalahan dalam melaksanakan hukum tersebut.

4
B. Fardu kifayah, jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak
dikhawatirkan akan habis waktunya atau tidak ada orang lain selain dirinya
yang sama-sama memennuhi syarat sebagai seorang mujtahid.
C. Sunnah, apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yng baru baik ditanyakan
atau tidak.
D. Haram, apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang sudah ditetapkan
secara QOTH’I,sehingga hasil ijtihadnya tidak sesuai dengan dalil syara’3[4].

Dalam bukunya Yusuf Qordlowi alijtihad al-muasyir bain al-indibath


wa-infiroth dikemukakan bahwa ijtihad bukan hanya jaiz akan tetapi lebih
mengarah pada fardu kiifayah pada setiap muslim.

Di dalam ijtihad terdapat rambu-rambu yang harus diperhatikan. Seperti yang


dikemukakan Ahmad Bu’ud dala kitabnya ijtihad baina haaqoid at-tarikh
mutatholibat al-waqiya:

A. Fiqh nashi dan yang berhubungan dengannya.


B. Fiqh realitas (al-waq’iy)yang mencakup.
C. Ijtihad kolektif (jama’iy).

5
4. SYARAT-SYARAT BERIJTIHAD

1. Mengetahui Dalil-Dalil Syar’i Yang Diperlukan Dalam Berijtihad.


Apabila seorang berijtihad dalam masalah ahkam (hukum-hukum), maka dia
harus mengetahui ayat-ayat dan hadits-hadits hukum. Sedangkan ayat-ayat
dan hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah aqidah, tidak harus diketahui
karena hal itu tidak berkait dengan ijtihadnya.

2. Mengetahui Hal-Hal Yang Berkaitan Dengan Keshahihan Hadits Dan


Kelemahannya.
Bila seseorang tidak mengetahui hal-hal yang berkait dengan keshahihan
hadits dan kelemahannya, maka ia bukan seorang mujtahid. Sebab, bisa jadi,
dia menetapkan hukum berdasarkan hadits dha’if dengan menolak hadits yang
shahih. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus memiliki ilmu hadits dan
rijalnya.

3. Mengetahui Nasikh Dan Mansukh Dan Perkara – Perkara Yang Sudah


Disepakati Ulama.
Seorang mujtahid harus mengetahui nasikh dan mansukh. Karena, jika tidak
mengetahuinya, maka terkadang dia menghukumi berdasarkan ayat atau
hadits yang telah dimansukh. Padahal sudah dimaklumi, hadits yang telah
dimansukh tidak boleh digunakan dalam penetapan hukum, karena kandungan
hukumnya telah dihapus.

4. Mengetahui Substansi Dalil-Dalil, Yang Menyebabkan Terjadinya Perbedaan


Hukum.
Seorang mujtahid harus mengetahui substansi yang tersimpan dalam dalil-
dalil, yang mengakibatkan munculnya hukum yang berbedabeda, misalnya
seperti takhshish (pengkhususan), taqyid (pembatasan), dan lain-lain. Sebab,
kalau ia buta tentang itu, maka mungkin menghukumi dengan keumuman

6
kandungan dalil, padahal ada dalil lain yang mengkhususkannya atau terpaku
pada kemutlakan dalil, sementara terdapat dalil lain yang mentaqyidkannya.

5. IJTIHAD KONTEMPORER SEBAGAI SOLUSI

Ijtihad kontemporer sekarang ini menjadi sebuah kebutuhan primer terutama


pada era seperti sekarang ini yang penuh dinamika problematika dan perkembangan
zaman teknologi yang cukup pesat.

Dalam bukunya Yusuf Qordlowi alijtihad al-muasyir bain al-indibath wa-


infiroth dikemukakan bahwa ijtihad bukan hanya jaiz akan tetapi lebih mengarah
pada fardu kiifayah pada setiap muslim.

6. METODE-METODE IJTIHAD
Terdapat berbaagai metode atau macam-macam yang digunakandalam ijtihad,
yaitu:

A. Ijtihad selektif ( inthiqaiy ) yaitu memilih salah satu pendapat yang dinukil
dari fikih klasik yang begitu luas untuk fatwa atau sebagai penguat terhadap
pendapat-pendapat yang lain,ini bukan berarti taklid buta, sebab taklid buta
bukan tergolong dalam kategori ijtihad. Namun yang dimaksud bagaimana
mempertimbangkan antara pendapat-pendapat yang ada, kemudian merujuk
kepada dalil, baik nash maupun hasil ijtihad, sehingga diambil sebuah hukum
yang paling kuat dalilnya sesuai dengan pentarjihan sebuah hukum. Antara
lain: pendapat harus sesuai dengan zaman dan manusia, lebih akrab pada
syariat, mengutamakan pemakain maksud-maksud disyariatkan sebuah
hukum, kepentingan umum serta menjauhi timbulnya kerusakan. Dalam hal
ijtihad seperti ini boleh saja seorang mujtahid keluar dari mazhab empat untuk
memilih pendapat-pendapat yang dilontarkan para sahabat para, tabiin atau
para ulama salaf, sangat disayangkan sekali kalau ada ungkapan bahwa orang-

7
orang seperti Umar, Aisyah, Ibnu mas’ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Zaid Bin
Tsabit, Ibnu al Musayyab Ibnu Jubair, Thowus, ‘Atho, Hasan, Ibnu Sirin atau
ulama thabiin yang lain bukan dikatakan sebagi pendapat ulama yang layak di
ikuti, bisa diambil contoh boleh saja dalam masalah rodlo memakai
ungkapannya Layst bin Sa’d dan ulama dzohiriah termasuk didalamnya Ibnu
Hazm. Begitu juga di ungkapkan oleh Syeh Abdullah bin Zaid al mahmud,
boleh saja melempar jumrah sebelum tergesernya matahari, ungkapan ini
adalah pendapatnya Atho’ dan Thowus.
B. Ijtihad kreatif ( insyai ) mengambil hukum baru dalam permasalahan yang
tidak di gagas oleh ulama terdahulu, baik masalah itu lama ataupun baru,
Dalam ijtihad seperti ini biasanya yang menjadi kendala bagi para mujtahid
adalah terjadinya ikhtilaf dengan ulama-ulama yang lain, padahal ijtihad
adalah bukan sebuah kejahatan, ikhtilaf adalah simbol kelenturan syariat islam
dan suburnya sumber. Imam syafii pernah berkata: “Pendapat saya benar
namun bisa mengandung kesalahan, pendapat selain saya salah namun bisa
mengandung kebenaran”. Jadi tak ada alasan untuk berhenti berijtihad hanya
takut berbeda pendapat dengan para mujtahid yang lain, karena suatu perkara
yang dipertentangkan oleh para ulama terdahulu dalam dua ungkapan, boleh
saja seorang mujtahid menelorkan ungkapan yang ketiga ataupun yang
kempat.
C. Integrasi antara intiqo’i dan Insya’I yaitu ijtihad integratif antara intiqo’i dan
Insya’i yaitu memilih berbagai pendapat para ulama’ terdahulu yang
dipandang lebih relevan dan kuat, kemudian dalam pendapat tersebut
ditambahkan unsur-unsur ijtihad baru .
D. Ijtihad Ilmi al-Ashri Metode ini ditawarkan oleh Prof. Dr. A. Qodry Azizy
dalam bukunya Reformasi Bermadzhab atau dengan kata lain bisa disebut
Modern Scientific Ijtihad. Ada 11 langkah yang ditawarkan beliau dalam
model ini :

8
1) Lebih mementingkan atau mendahulukan sumber primer (primary source) dalam
sistem bermadzhab atau dalam menentukan rujukan.
2) Berani mengkaji pemikiran ulama atau hasil keputusan hukum islam oleh organisasi
keagamaan secara critical study sebagai sejarah pemikiran.
3) Semua hasil karya ulama masa lalu diposisikan sebagai pengetahuan (knowledge).
4) Mempunyai sikap terbuka terhadap dunia luar dan bersedia mengantisipasi hal-hal
yang akan terjadi.
5) Hendaknya meningkatkan daya tanggap (responsif) dan cepat terhadap permasalahan
yang muncul.
6) Mengusulkan penafsiran yang aktif dan progresif.
7) Ajaran al-ahkam al-khamsah agar dapat dijadikan sebagai konsep atau ajaran etika.
8) Menjadikan ilmu fiqh sebagian dari ilmu hukum secara umum.
9) Berbicara mengenai fiqh tidak dapat dilupakan harus pula berorientasi pada kajian
induktif dan empirik, disamping deduktif.
10) Menjadikan mashlahah sebagai landasan penting dalam mewujudkan hukum islam.
11) Menjadikan nash sebagai kontrol terhadap hal-hal yang akan dihasilkan dalam
ijtihad.

Berdasarkan 11 langkah yang diatas, maka kombinasi dari sumber pokok


(al-Qur’an dan al-Hadits) dan cabang (kitab-kitab fiqh) dengan optimalisasi peran
akal dalam memunculkan solusi hukum adalah langkah terbaik dari dua pilihan yang
sama-sama kontraproduktif di tengah eskalasi problem sosial yang menuntut ulama
untuk meresponnya secara capat dan tepat.

E. Ijtihad Jama’I, adalah setiap Ijtiihad yang dilakukan oleh para mujtahid untuk
menyatukan pendapat-pendapatnya dalam suatu problematika . Yang
dilakukan dengan mengumpulkan para mujtahid dengan para ilmuan lintas
sektoral dalam satu forum musyawarah untuk membahas fenomena aktual
yang terjadi. Salah satu cara efektif untuk melaksanakan ijtihad di era

9
sekarang dimana sulitnya mencari orang yang mampu mengumpulkan
segudang persyaratan ijtihad adalah melakukan Ijtihad Jama’I (Ijtihad
Kolektif). Dalam aplikasinya, ijtihad jama’I meliputi dua hal. Pertama, ijtihad
dalam upaya memecahkan status hukum permasalahan baru yang belum
disinggung oleh al-Qur’an, al-Sunnah, dan pembahasan ulama terdahulu.
Kedua, ijtihad untuk memilih pendapat yang paling sesuai dengan cita
kemashlahatan kemanusiaan universal sebagai spirit ajaran islam . Tidak bisa
kita pungkiri bahwa ijtihad model ini sangat berkaitan sekali dengan
musyawarah. Musyawarah adalah sarana yang mulia untuk mencapai titik
temu atas perbedaan pendapat, untuk mempertemukan beraneka ragam
faedah, untuk memadukan ideologi, untuk menarik kesimpulan dari beberapa
pendapat, dan untuk mempersatukan tujuan. Ada tiga hal yang mendorong
untuk melakukan ijtihad jama’I atau ijtihad kolektif tersebut yang memang
sangat berpengaruh, yaitu :

a. Perubahan Sosial Politik dan Budaya

b. Perkrmbangan Pengetahuan Modern

c. Kebutuhan dan Tuntutan Zaman

7. DUA BIDANG BARU UNTUK IJTIHAD.


Yusuf Qordowi dalam bukunya alijtihad al-muasyir bain al-indibath wa-
infiroth menemukakan dua bidang baru untuk ijtihad, yaitu:

A. Bidang hubungan Keuangan dan Ekonomi.


B. Bidang ilmu Kedokteran dan ilmu Pengetahuan

10
8.MENYIKAPI IJTIHAD SEORANG ULAMA

1. Tidak boleh mengingkari orang yang menyelisihi ijtihad seorang ulama,


apalagi sampai menyatakan fasiq, mengatakan berdosa, atau
mengkafirkannya.
2. Jika ingin mengingkari, maka harus dengan penjelasan hujjah (artinya dengan
dalil).
3. Tidak layak bagi seorang ulama mujtahid memaksa manusia untuk mengikuti
pendapatnya.
Imam Ahmad mengatakan, “Laa yanbaghi lil faqiih ay yahmilan naas ‘ala
madzhabihi (Tidak layak bagi seorang yang berilmu untuk memaksa manusia
agar mengikuti pendapatnya)”.
4. Selain ulama mujtahid boleh baginya mengikuti salah satu dari dua pendapat
jika ia yakin benarnya pendapat tersebut. Begitu pula selanjutnya, ia boleh
meninggalkan pendapat tersebut dan mengambil pendapat lainnya dengan
alasan karena mengikuti DALIL, bukan hanya sekedar mengikuti hawa nafsu.
5. Tidak layak bagi seorang ulama mujtahid untuk memastikan benarnya
pendapatnya dan menyatakan keliru pendapat lain yang menyelisihinya, jika
ini dalam permasalahan yang masih memiliki penafsiran sana-sini.

11
9. BEBERAPA PENYIMPANGAN IJTIHAD
Banyak kemungkinan yang menjadi penyebab terjadinya penyimpangan-
penyimpangan dalam ber-ijtihad, ijtihad dilakukan oleh mujtahid yang bukan
ahlinya, berijtihad demi kepentingan individual dan kepentingan kelompok serta
berijtihad berdasarkan hawa nafsu dan lain-lain Terlepas dari penyebab individual
atau kelompok, factor-faktor urgen yang menjadi penyebab kesalahan dalam
berijtihad, seperti yang telah diketengahkan oleh Dr. Yusuf Al-Qordhowi dalam
bukunya al-ijtihad fi al-syari’ah al-islamiyyah dan juga dalam bukunya Drs.H.
Rohadi Abdul fatah, M.Ag. yang berjudul Analisis fatwa keagama, antara lain
sebagai berikut:

A. Mengesampingkan nash dan mengedepankan ra’yu mengesampingkan


nash dan mengedepankan ra’yu adlah factor yang menyebabkan terjadinya
kesalahan dalam berijtihad, nash al-qur’anul karim maupun dari sunnah
nabi Muhammad SAW selaku Rasululloh. Metode ijtihad yang dilakukan
oleh ulama’ salaf maupun ulama’ kontemporer harus selalu mengacu
kepada alqu’an dan al-hadish, seandainya ada suatu problematika
masyarakat yang selalu membutuhkan solusi, seorang mujtahid harus
merujuk kepada Al qur’an jika tidak ditemukan jawaban yang tepat
beralih kepada al-hadist jika belum juga ditemukan solusi yang tepat
sasaran baru kemudian menggunakan metode selanjutnya. Urutan-urutan
sumber hukum seperti ini, adalah urutan yang telah dilakukan oleh sahabat
sayyidina Abu Bakar ra dan sahabat sayyidina Umar bin khottob ra,dan
sesuai dengan hadist nabi yang diriwayatkat oleh sahabat mu’adz bin jabal
Beberapa contoh ijtihad yang mengesampingkan Nash -
Alqur’an,Alhadist- antara lain:  memperbolehkan mengadopsi anak
buangan  menyambung rambut atau wig  membolehkan gambar secara
keseluruhan.

12
B. salah memahami Nash atau menyimpang dari konteksnya Kesalahan
ijtihad kontemporer terkadang tidak disebabkan oleh ketidak pahaman
akan Nash atau mengabaikannya, tetapi dapat di sebabkan oleh kesalahan
dan keliru dalam menginterpretasikan nash tersebut , diantara kesalahan
tersebut adalah:  kesalah pahaman terhadap Nash atau kesalahan
mentakwil kan seperti menganggap khusus kalimat yang umum 
menganggap muqqayyad kata yang mutlak atau sebaliknya  dipisahkan
dari konteks kalimat sebelumnya atau terpisahkan dari apa yang
menguatkan dalil ijma’ yang menyakinkan dan belum belum pernah
dilanggar oleh salah seorang ulama’ sepanjang zaman.
C. Kontra terhadap ijma’ yang telah dikukuhkan Yang di maksud disini
adalah ijma’ yang telah di yakini, yang telah menjadi ketetapan fiqih dan
ijma’ itu telah diterapkan oleh semua ummat islam. Disamping itu telah
disepakati oleh semua mazhab pakar fiqih dari kalangan ummat islam
sepanjang masa.
D. Qiyas tidak pada tempatnya. Seperti meng-qiyaskan nash qath’iy dengan
nash zhanniy dalam hal diperbolehkannya ijtihad dalam nash tersebut atau
mengqiyaskan perkara-perkara yang sifatnya ta’abbudi murni dengan
perkara adapt dan mu’amalat didalam hal memandang hukum dan
maksud-maksudnya serta dalam hal mengambil kesimpulan illat-illat-nya
dengan akal, yang mana illat tersebut menjadi sebab adanya hukum.
E. Kealpaan terhadap realita zaman Zaman terus berkembang dari detik
sampai menuju ke-milenium dan hal ini menjadikan zaman prasejarah
menuju zaman sekarang ini yang di sebut zaman modern.seorang mujtahid
tidak dibenarkan lengah dari realita zaman baik budaya, pendidikan,
teknologi, dan lain-lain Manusia terbawa hanyut dalam arus realita yang
ada dan sikap mereka yang menyerahkan total kepada aliran modern,
sekalipun aliran-aliran tersebut suatu hal yang asing bagi kaum muslimin

13
bahkan bertentangan dengan Islam. Mereka berusaha untuk membenarkan
(melegitimasi) realita tersebut dengan memberikan sandaran hukum yang
diambilnya dari Islam dengan cara penyelewengan dan paksaan.
F. Berlebih-lebihan dalam menganggab maslhahat walaupun
mengesampingkan Nash. Agama islam adalah agama yang memegang
konsep rahmatan lil alamin, dapat di ambil kesimpulan bersama bahwa
syariat islam mengandung segala sesuatu untuk kebaikan bagi manusia,
kemaslahatan dalam kehidupan dunia dan akhirat, mencakup setiap hal
yang mencakup kejahatan dan kerusakan yang membahayakan manusia,
baik secara individu maupun kolektiv Sebagai contoh  maslahat
memperbolehkan riba  memindahkan sholat jum’at pada hari ahad4[7].

14
10. BOLEHKAH BERIJTIHAD DALAM SATU BAB ATAU SATU
MASALAH SAJA?

Ijtihad itu terklasifikasi. Maksudnya, seseorang dapat melakukan ijtihad


dalam sub pembahasan tertentu dalam suatu bab atau dalam masalah tertentu dari
masalahmasalah ilmu, tetapi dia tidak dikatakan mujtahid pada selain bab atau
masalah tersebut.

Contohnya, seseorang ingin meneliti masalah mengusap dua sepatu, lalu


dia merujuk perkataan-perkataan ulama dan dalil-dalil, sehingga sampai bisa
menguatkan pendapat yang rajih dan membantah pendapat yang lemah. Maka
orang itu bisa dikatakan mujtahid, tapi dalam bab ini saja, bukan dalam bab
lainnya.

11. APA YANG HARUS DILAKUKAN MUJTAHID?

Seorang muqallid tidak perlu bersusah payah. Cukup baginya bertanya


kepada seseorang atau mengambil sebuah kitab, lalu dia menghukumi dengan
hukum yang ada di dalamnya. Tetapi seorang mujtahid harus mencurahkan semua
kemampuannya untuk mengetahui kebenaran. Apabila dia telah mencurahkan
semua kemampuannya dan merujuk dalil-dalil dan perkataanperkatan ulama, lalu
kebenaran nampak jelas baginya, maka wajib baginya untuk menghukumi dengan
hukum maka dia mendapatkan satu pahala. [Shahih diriwayatkan oleh Bukhari
no. 6919 dan Muslim no. 1716]

Hadits ini secara tegas menjelaskan, jika seorang mujtahid salah dalam
ijtihadnya, maka dia mendapatkan satu pahala, karena telah optimal dan
bersungguhsungguh untuk mengetahui kebenaran, akan tetapi belum
mandapatkan taufik sampai kepada kebenaran, maka dia mendapatkan pahala
bersusah payah.

15
Sedangkan pahala dalam menepati kebenaran, maka dia tidak
mendapatkannya, lantaran hasil ijtihadnya belum bersesuaian dengan kebenaran.
Adapun apabila dia berijtihad dan hasil ijtihadnya benar, maka dia mendapatkan
dua pahala. Pahala yang pertama, karena bersusah payah dalam ijtihad dan
mencari dalil. Sedangkan pahala kedua, karena mencocoki kebenaran, yang
berarti menampakkan kebenaran.

Apabila seorang mujtahid telah berijtihad dan mengkaji dalil-dalil dan


perkataan-perkataan ulama, tetapi kebenaran tidak nampak jelas baginya, maka
dia wajib tawaquf (tidak mengambil sikap) dan jangan menghukumi dengan
ijtihadnya. Dalam keadaan seperti ini, dia diperbolehkan bertaklid karena terpaksa
(darurat). Allah berfirman, artinya : Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-
orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. [Al Anbiya‘ : 7].

16
2. Pengertian Taklid
Pengertian Para ulama hampir sepakat dalam mendefisikan taklid.
Yaitu, menerima perkataan orang lain tanpa hujah. Berdasarkan
pengertian ini, orang yang mengambil perkataan orang tanpa dasar hujjah,
maka dia muqallid. Sedangkan orang yang mengambil perkataan orang
lain dengan dasar hujjah, maka bukan muqallid.
Kemudian hujjah itu berbeda-beda antara satu orang dengan
lainnya. Bagi seorang mujtahid atau orang yang belum sampai tingkatan
ijtihad, tetapi dia bisa memahami dalil dan mentarjih dengan cara yang
benar, maka hujjah baginya adalah dalil khusus; dan dia tidak boleh
menerima perkataan orang, kecuali dengan dalil khusus yang
membenarkannya. Adapun bagi orang yang awam tidak bisa memahami
makna-makna nash (dalil), maka hujjah baginya adalah dalil umum, yaitu
kembali kepada ahlul ilmi yang menguasai Al Kitab dan Sunnah.
Hanya saja, ada sebagian ulama yang mendefinisikan taklid
dengan pengertian lain. Yaitu, menerima perkataan orang dan kamu tidak
mengetahui dari mana orang itu mengatakannya (mengambilnya). Jadi,
orang yang mengambil perkataan orang lain tanpa mengetahui dalil
khusus yang membenarkannya, disebut muqallid, meskipun dia
mengambilnya berdasarkan hujjah dalil umum.

Kalau yang dimaksudkan oleh pengertian yang kedua itu adalah taklid
yang tercela, maka pengertian ini tidak benar, sebab tanpa mengetahui dalil
khusus yang menunjukkan perkataan tersebut tidaklah tercela. Tetapi jika yang
dimaksudkan taklid itu ada dua macam, yaitu tersebut. Jika dia benar dalam
ijtihadnya, maka dia mendapatkan dua pahala. Dan jika dia salah dalam
ijtihadnya, maka dia mendapatkan satu pahala, dan kesalahannya diampuni.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya : Apabila seorang
hakim menghukumi lalu berijtihad dan benar, maka dia mendapatkan dua pahala,

17
dan apabila dia menghukumi lalu berijtihad dan salah, taklid yang tercela
sebagaimana pada pengertian yang pertama, dan tidak tercela sebagaimana pada
pengertian yang kedua, maka pengertian tersebut dapat diterima.

Disamping itu, sebagian ulama yang mendefinisikan taklid dengan


pengertian pertama, menamakan taklid pada macam yang kedua. Padahal
sebaiknya, jenis taklid ini diberi nama tersendiri yang membedakannya dengan
taklid yang tercela, sehingga tidak terjadi campur-aduk dalam penggunaan
istilah.Ada juga ulama yang tetap mencela taklid secara umum, dan memberikan
nama pada jenis yang kedua dengan nama yang berbeda.

Abu Abdullah bin Khuwaiz Mandad Al Bashri Al Maliki dalam


menjelaskan hal itu mengatakan : “Setiap yang kamu ikuti perkataanya tanpa
wajib bagimu untuk mengikutinya, karena adanya suatu dalil, maka berarti kamu
bertaklid kepadanya. Taklid dalam agama Allah tidak benar. Dan setiap orang
yang dalil mewajibkanmu untuk menerima perkataanya, maka berarti kamu
berittiba’ kepadanya. Ittiba` di dalam agama itu benar, dan taklid dilarang.

Dalam hal ini Asy Syaukani mengatakan: “…Persoalannya tidak seperti


yang mereka sebutkan, karena di sana masih ada perantara lain di antara ijtihad
dan taklid, yaitu bertanyanya orang yang jahil kepada orang ‘alim (berilmu)
tentang masalah agama yang dihadapinya, bukan dari semata-mata pendapatnya
dan ijtihadnya”.Sedangkan Ibnu Hazm menamakan bertanyanya orang jahil
kepada orang ‘alim dengan nama ijtihad. Dia mengatakan: “Dan ijtihadnya orang
awam, (yaitu) apabila dia bertanya kepada orang ‘alim tentang urusanurusan
agamanya”.

18
KAPAN SESEORANG BERTAKLID?

Taklid bisa dilakukan oleh seseorang karena adanya salah satu di antara dua
keadaan.

Pertama. Orang awam yang tidak bisa mengetahui hukum dengan dirinya sendiri.
Maka dia wajib bertaklid dengan bertanya kepada ulama. Karena Allah berfirman,

artinya: Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu
tiada mengetahui

[Al Anbiya‘:7]

Orang awam seperti ini dianjurkan untuk memilih orang yang lebih utama
keilmuannya dan kewara’annya. Kalau menurutnya ada dua orang yang sama
dalam keilmuan dan kewara’annya, maka dia boleh memilih di antara keduanya.

Sebagai contoh, ada seorang awam mendengarkan seorang alim


mengatakan “perhiasan itu wajib dizakati”. Kemudian ia juga mendengar ada
seorang alim lainnya mengatakan “perhiasan itu tidak ada zakatnya”. Di sini, dia
dihadapkan kepada dua pendapat. Maka dia boleh memilih salah satunya, tetapi
hendaknya bertaklid kepada yang lebih dekat kepada kebenaran karena keilmuan
dan kewara`annya.

Kedua. Seorang mujtahid yang menghadapi persoalan yang harus segera


dijawab, tetapi ia tidak memiliki kelonggaran waktu untuk berijtihad. Ia juga

19
tidak mungkin merujuk kitab-kitab, dalil-dalil ataupun menelaah perkataan-
perkataan ulama, maka dia boleh bertaklid.

Syaikh Utsaimin mencontohkan, apabila beliau tidak mampu mengetahui


hukum suatu masalah dan hal itu melelahkannya. Maka biasanya beliau bertaklid
kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Menurut Syaikh Utsaimin, perkataan
Syaikhul Islam lebih dekat kepada kebenaran dari pada ulama lain. Tetapi dalam
hal ini, bukan berarti tidak boleh bertaklid kepada yang lain, karena pendapat
yang rajih ialah, apabila ada dua orang ‘alim, salah satunya lebih utama dari pada
yang lain, maka tidak mesti wajib bertaklid kepada yang lebih utama, tapi boleh
juga bertaklid kepada yang tingkatannya di bawahnya.

MACAM-MACAM TAKLID

1. Taklid Umum.

Yaitu berpegang kepada madzhab tertentu, mengambil rukhshah-rukhshah


dan azimahazimahnya dalam semua perkara-perkara agamanya. Sebagai contoh,
seseorang bermadzhab Hambali. Dia berpegang kepada madzhab ini dan
mengambil rukhshah-rukhshah dan azimah-azimahnya. Azimah ialah, masalah-
masalah yang wajib atau haram. Dan rukhshah ialah, masalah selain itu.

Misalnya, dia mengatakan “Saya seorang Hambali (pengikut madzhab


Hambali), dan saya akan mengikuti madzhab Hambali di dalam semua hal”.
Seperti itu juga yang dilakukan oleh orang bermadzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki,
atau lainnya. Itulah yang dinamakan dengan taklid umum. Yaitu seseorang
bertaklid kepada madzhab, mengambil rukhshah-rukhshah dan azimah-

20
azimahnya, serta tidak melihat kepada madzhab-madzhab lain atau kepada
perkataan Nabi.

Tentang taklid ini, para ulama berbeda pendapat. Di antara para ulama ada
yang mewajibkannya, karena pintu ijtihad telah ditutup untuk mutaakhirin. Ini
adalah pendapat yang sangat batil, karena mengharuskan makna-makna Kitab dan
Sunnah telah terkunci rapat. Padahal Al Qur‘an dan Sunnah merupakan petunjuk
dan penjelasan bagi manusia sejak terutusnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sampai datangnya hari Kiamat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
artinya: Sungguh aku tinggalkan kepada kalian sesuatu, yang jika kalian
berpegang teguh dengannya, maka kalian tidak akan sesat sesudahku, yaitu Kitab
Allah [Shahih diriwayatkan oleh Muslim no. 1218]

Dan di antara mereka ada yang mengharamkannya, karena berpegang


teguh secara mutlak dalam mengikuti (ittiba) kepada selain Rasulullah.
Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyah: “Sesungguhnya pada pendapat yang
mengatakan wajib, terdapat ketaatan kepada selain Nabi dalam setiap perintah dan
larangan. Hal itu menyelisihi ‘ijma. Dan diperbolehkannya terdapat hal yang
sama”.

3. Taklid Khusus

Yaitu mengambil perkataan tertentu dalam persoalan tertentu. Syaikh


Utsaimin menjelaskan perihal taklid khusus ini dengan mencontohkan tentang
dirinya. Beliau bertaklid kepada Imam Ahmad dalam masalah yang dalilnya
tidak jelas baginya. Umpamanya ada suatu permasalahan dan waktunya
sempit, sehingga beliau tidak mungkin meneliti masalah tersebut dengan dalil-
dalilnya, kemudian beliau memutuskan untuk bertaklid kepada Imam Ahmad
dalam masalah ini secara khusus.

21
ANTARA IJTIHAD DAN TAKLID

Sudah kita maklumi, dalam beragama, kita wajib mengikuti apa yang telah
diturunkan Allah kepada RasulNya. Yang semuanya, secara sempurna telah
disampaikan dan dijelaskan Rasulullah kepada kita. Tidak ada sedikitpun yang
tertinggal. Sehingga wajib bagi kita untuk mentaati Allah dan RasulNya, serta
mengembalikan sesuatu yang diperselisihkan kepada keduanya. Dan kita harus
berpaling dari apa yang menyelisihi Kitab Allah dan Sunnah RasulNya, meskipun hal
itu datang dari seorang imam mujtahid.

Dalam perkara agama, terdapat masalah masalah agama yang ditetapkan hukumnya
dengan nash yang qath’i, baik tsubut dan dalalahnya, ada yang ditetapkan dengan
ijma’ ulama; dan ada yang ditetapkan dengan nash yang tidak qath’i dalam tsubut
atau dalalahnya, atau tidak ada nash dalam masalah tersebut, serta para ulama
berbeda-beda pendapatnya.

Pada kelompok masalah pertama dan kelompok masalah kedua, persoalannya mudah.
Semua orang wajib menerima dan mengikutinya, serta tidak boleh menyelisihinya,
baik dia seorang ulama atau seorang awam.

Bagaimana bila tidak ada nash dalam suatu masalah dan para ulama berbeda
pendapat? Apa yang harus dilakukan seseorang? Apakah dia harus berijtihad untuk
mengetahui hukum masalah tersebut, ataukah bertaklid kepada ijtihad orang lain?
Untuk bisa memahami persoalan ini, berikut ini kami angkat penjelasan mengenai
ijtihad dan taklid, sehingga seorang muslim bisa menempatkan dirinya berkaitan
dengan permasalahan hukum yang dihadapinya. Apakah seseorang harus berijtihad
ataukah bertaklid kepada suatu pendapat tertentu? Makalah ini ditulis berdasarkan
kitab Syarhul Ushul Min Ilmil Ushul, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin,
dan Ad Durrat Al Bahiyyah Fi At Taqlid Al Madzabiyyah, Muhammad Syakir Asy
Syarif. Semoga bermafaat.

22
Studi Kasus

Bayi Tabung dalam Pandangan Islam

Masalah bayi tabung (Athfaalul Anaabib) ini menurut pandangan Islam


termasuk masalah kontemporer ijtihadiah, karena tidak terdapat hukumnya secara
spesifik di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah bahkan dalam kajian fiqih klasik
sekalipun. Oleh karena itu, dalam menyelesaikan masalah ini hendak dikaji menurut
Hukum Islam dengan menggunakan metode ijtihad yang lazimnya dipakai oleh para
ahli ijtihad (mujtahidin), agar dapat ditemukan hukumnya yang sesuai dengan prinsip
dan jiwa Al-Qur’an dan As-Sunnah yang merupakan sumber pokok hukum Islam.
Namun, kajian masalah mengenai bayi tabung ini sebaiknya menggunakan
pendekatan multi disipliner oleh para ulama dan cendikiawan muslim dari berbagai
disiplin ilmu yang relevan, agar dapat diperoleh kesimpulan hukum yang benar-benar
proporsional dan mendasar. Misalnya menggunakan ahli kedokteran, peternakan,
biologi, hukum, agama dan etika.

Dua tahun sejak ditemukannya teknologi ini, para ulama di Tanah Air telah
menetapkan fatwa tentang bayi tabung/inseminasi buatan.

 Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwany pada tanggal 13 Juni 1979
menetapkan 4 keputusan terkait masalah bayi tabung, diantaranya :

1. Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami-istri yang sah
hukumnya mubah (boleh), sebab ini termasuk ikhtiar yang berdasarkan kaidah-kaidah
agama. Asal keadaan suami istri yang bersangkutan benar-benar memerlukan cara
inseminasi buatan untuk memperoleh anak, karena dengan cara pembuahan alami,
suami istri tidak berhasil memperoleh anak. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih

‫ُ َ َْ َنت َ ةَاا َ ْح َلا‬ َ ‫و َرضَ ََوَااَرْ َورَا َْ ََ َن‬


‫َِْ ََ ْا‬ ُ ْ ‫اض‬ ُ ْ ‫ِ َا ََ َْ َُْْةَا‬
َ ‫و َرضَ ََ ْو‬

23
“Hajat (kebutuhan yang sangat penting) diperlakukan seperti dalam keadaan
terpaksa. Padahal keadaan darurat/terpaksa itu membolehklan melakukan hal-hal
yang terlarang”.

2. Sedangkan para ulama melarang penggunaan teknologi bayi tabung dari pasangan
suami-istri yang dititipkan di rahim perempuan lain dan itu hukumnya haram, karena
dikemudian hari hal itu akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya
dengan warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai
ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, dan sebaliknya).

3. Bayi Tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia
hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah. Sebab, hal ini akan
menimbulkan masalah yang pelik baik kaitannya dengan penentuan nasab maupun
dalam hal kewarisan.

4. Bayi Tabung yang sperma dan ovumnya tak berasal dari pasangan suami-istri yang
sah hal tersebut juga hukumnya haram. Alasannya, statusnya sama dengan hubungan
kelamin antar lawan jenis diluar pernikahan yang sah alias perzinahan.

 Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait masalah dalam
Forum Munas di Kaliurang, Yogyakarta pada tahun 1981. Ada 3 keputusan
yang ditetapkan ulama NU terkait masalah Bayi Tabung, diantaranya :

1. Apabila mani yang ditabung atau dimasukkan kedalam rahim wanita tersebut
ternyata bukan mani suami-istri yang sah, maka bayi tabung hukumnya haram. Hal
itu didasarkan pada sebuah hadist yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, Rasulullah
SAW bersabda, “Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik dalam pandangan
Allah SWT, dibandingkan dengan perbuatan seorang lelaki yang meletakkan
spermanya (berzina) didalam rahim perempuan yang tidak halal baginya.”

24
2. Apabila sperma yang ditabung tersebut milik suami-istri, tetapi cara
mengeluarkannya tidak muhtaram, maka hukumnya juga haram. Mani Muhtaram
adalah mani yang keluar/dikeluarkan dengan cara yang tidak dilarang oleh
syara’. Terkait mani yang dikeluarkan secara muhtaram, para ulama NU mengutip
dasar hukum dari Kifayatul Akhyar II/113. “Seandainya seorang lelaki berusaha
mengeluarkan spermanya (dengan beronani) dengan tangan istrinya, maka hal
tersebut diperbolehkan, karena istri memang tempat atau wahana yang
diperbolehkan untuk bersenang-senang.”

3. Apabila mani yang ditabung itu mani suami-istri yang sah dan cara
mengeluarkannya termasuk muhtaram, serta dimasukkan ke dalam rahim istri sendiri,
maka hukum bayi tabung menjadi mubah (boleh).

Berikut ini dalil-dalil syar’i yang dapat menjadi landasan hukum untuk
mengharamkan inseminasi buatan dengan donor, ialah sebagai berikut:

Surat Al-Isra ayat 70 :

‫و َكَْت َق َلا‬
ُ َ‫ْاضم‬
َ ُ‫ْد ْوِرَت‬ ْ ‫اض ََ َِ ََُْت َق َل‬
ُ ‫اَحَ ا‬ َ ‫اض َْرَ َن ْر‬
َ ‫اض َم ََ َكَْتقَ َلا ْموا َْرَ ْ ِر‬
َ ‫ااضَْهَ ََال َُرََ َْتااَ ْْواَّطَ َا‬
َ ‫اََ َُحا َكَ َل‬ ‫َل ْن م‬
ْ ‫ور‬

َ ‫َاكَ َهَْتاا َ ََ ْو‬


‫ولاا‬

“Dan sesungguhnya telah Kami meliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di
daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang
telah Kami ciptakan”.

25
Surat At-Tin ayat 4 :

‫َ ْحاا َ َه ْْ م‬
‫َلا‬ َ ‫َتاَ امْواْل َ َم‬
َ َِ ‫َْهَ ََا َاكَ َهَْتا َ ْأ‬

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-


baiknya”.

Kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai
makhluk yang mempunyai kelebihan/keistimewaan sehingga melebihi makhluk-
makhluk Tuhan lainnya. Dan Tuhan sendiri berkenan memuliakan manusia, maka
sudah seharusnya manusia bisa menghormati martabatnya sendiri dan juga
menghormati martabat sesama manusia. Sebaliknya inseminasi buatan dengan donor
itu pada hakikatnya merendahkan harkat manusia (human dignity) sejajar dengan
hewan yang diinseminasi.

26
E. Kesimpulan

Jadi kesimpulan yang dapat kita ambil yaitu pelaksanaan bayi tabung dalam
pandangan Islam hukumnya mubah (boleh), dengan syarat sperma dan ovum
diperoleh dari pasangan suami-istri yang sah kemudian sel hasil pembuahan tersebut
dimasukan kembali kedalam rahim isteri yang sah.

Sebaliknya, ada beberapa hal yang membuat pelaksanaan bayi tabung menjadi haram
yaitu:

 Sperma yang diambil dari pihak laki-laki disemaikan kepada indung telur
pihak wanita yang bukan istrinya kemudian dicangkokkan ke dalam rahim
istrinya.
 Indung telur yang diambil dari pihak wanita disemaikan kepada sperma yang
diambil dari pihak lelaki yang bukan suaminya kemudian dicangkokkan ke
dalam rahim si wanita.
 Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari sepasang
suami istri, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim wanita lain yang bersedia
mengandung persemaian benih mereka tersebut.
 Sperma dan indung telur yang disemaikan berasal dari lelaki dan wanita lain
kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si istri.
 Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari seorang suami
dan istrinya, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya yang lain.
 Sperma yang diambil berasal dari sperma suami yang telah meninggal dunia.

27
BAB III
KESIMPULAN
Ijtihad adalah usaha seorang muslim dengan seluruh kemampuannya untuk
menghasilkan hukum syara’ dengan cara mengambil dalil dari dalil-dalil syar’i.
Para ulama dari golongan SYIAH berpendapat bahwa pernyataan
tentang tertutupnya ijtihad dan adanya pembatasan dalam berfikir pada abad ke empat
adalah kesalahan besar. Padahal tiga abad sebelumnya pintu ijtihad terbuka lebar.
Ijtihad kontemporer sekarang ini menjadi sebuah kebutuhan primerterutama pada era
seperti sekarang ini yang penuh dinamika problematika dan perkembangan zaman
teknologi yang cukup pesat.
Dalam bukunya Yusuf Qordlowi alijtihad al-muasyir bain al-indibath wa-
infiroth dikemukakan bahwa ijtihad bukan hanya jaiz akan tetapi lebih mengarah
pada fardu kiifayah pada setiap muslim.
Beberapa metode ijtihad kontemporer ygang terdapat dalam buku Yusuf
Qordlowi alijtihad al-muasyir bain al-indibath wa-infiroth:

1. Ijtihad selektif ( inthiqaiy ).


2. Ijtihad kreatif ( insyai ).
3. Integrasi antara intiqo’i dan Insya’I yaitu ijtihad integratif antara intiqo’i dan
Insya’i.
4. Ijtihad Ilmi al-Ashri Metode ini ditawarkan oleh Prof. Dr. A. Qodry Azizy
dalam bukunya Reformasi Bermadzhab atau dengan kata lain bisa disebut
Modern Scientific Ijtihad.
5. Ijtihad Jama’i Ijtihad Jama’I

Syarat-syarat mewujudkan ijtihad pada masa kontemporer ini adalah:

1. Syarat-syarat umum yaitu yang mencakup islam, baligh dan berakal.


2. Syarat keahlian, yang mencakup dua bagian di bawah ini:

28
1) Syarat pokok yaitu: mengetahui al qur’an, hadist, bahasa arab, dan ijma’
2) Syarat sampingan yaitu: mengetahui maqashid syari’ah, qawa’id, perbedaan para
ulama, mengetahui kebiasaan yang terjadi disuatu tempat, mengetahui ilmu mantiq,
adilnya seorang mujtahid dan kelakuan baiknya, atau pengakuan manusia terhadap
keahlian sang mujtahid.
Yusuf Qordowi dalam bukunya alijtihad al-muasyir bain al-indibath wa-infiroth
menemukakan dua bidang baru untuk ijtihad, yaitu:

A. Bidang hubungan Keuangan dan Ekonomi.


B. Bidang ilmu Kedokteran dan ilmu Pengetahuan.

29
DAFTAR PUSTAKA

 Al-Qardhawi, Yusuf. Ijtihad Kontemporer Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan.


Surabaya : Risalah Gusti. 2000. Cetakan Kedua.
 Al-Zuhaili, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islami Juz 2. Suriyah : Daarul Fikr. 2001.
Cetakan kedua.
 Sayyid Thantawi. Mohammad, al ijtihad fi al syari’ah, Daar el Nahdloh .
 Syafe’I, Rahmat. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung. Pustaka Setia, 1999. Cetakan Pertama.
 Syaiban, Kasuwi. Metode Ijtihad Ibnu Rusyd. Malang : Kutub Minar. 2005. Cetakan
Pertama.

30

Anda mungkin juga menyukai