PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Banyak Ulama’ yang mendefinisikan ijtihad dengan pendapatnya masing-
masing mulai dari Syafi’i, Syaukani, Ibnu al Qayyim al Jauzi sampai kepada
Qordlowi dan Toha Jabir al 'Alwani, hemat penulis akan mengambil definisinya
Sayyid Tontowi yang amat ringkas tapi padat yaitu: Ijtihad adalah usaha seorang
muslim dengan seluruh kemampuannya untuk menghasilkan hukum syara’ dengan
cara mengambil dalil dari dalil-dalil syar’i. Ijtihad kontemporer merupakan
keharusan bagi umat islam karena mengingat dewasa ini banyak muncul
permasalahan yang belum tercaver dalam kitab –kitab klasik.
1
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian IJTIHAD
Orang yang mampu berijtihad memungkinkannya untuk mengetahui yang haq dengan
sendirinya, namun demikian ia harus memiliki ilmu yang luas dan mengkaji nash-
nash syari’at, dasar-dasar syari’at dan pendapat-pendapat para ahlul ilmi agar tidak
menyelisihi itu semua
2
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya ituakan diminta pertanggunganjawabnya..” [Al-Isra : 36]
"Dan kalau mereka menyerahkan kepada rasul dan ulil amri tentulah orang-orang
yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka
(rasul dan ulil amri)."1[2]
Dan firman Allah: “wa amruhum syurâ bainahum”. lafadz "syura" dalam ayat
tersebut mengandung arti membahas segala masalah yang terjadi, yang cocok dengan
dalil-dalil syari’ baik masalah tersebut termaktub dalam nash ataupun tidak. Hal
tersebut tidak terjadi kecuali dalam ijtihad.
Adapun sandaran ijtihad dari hadist adalah ucapan Nabi: “Apabila seseorang
berijtihad dan dia benar maka baginya dua pahala, dan apabila dia salah maka
baginya satu pahala.” Pengakuan Nabi terhadap sahabat Amru ibn al ’Ash tatkala
datang membawa salah satu tawanan dalam keadaan junub dan udara pada waktu itu
sangat dingin dia tidak mandi junub tetapi hanya bertanya, kemudian dia berkata
kepada nabi dengan maksud menyangkal kepada orang yang mengadukannya,
3
“Apakah kamu tidak tahu Allah berfirman janganlah kamu membunuh dirimu sendiri,
sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu.” Kemudian Nabi tersenyum dan
mengakui ijtihadnya Amru ibn al ’Ash. Begitu juga pengakuannya Nabi terhadap
sahabat Muadz bin Jabal tatkala diutus ke yaman Muadz berani berijtihad apabila
hukum tidak didapatkannya di dalam al-Quran dan Hadist.
A. Fardu ‘ain, apabila ada permasalahan yang menima dirinya dan harus
mengamalkan hasil dari ijtihadnya serta tidak boleh taqlid kepada orang lain
dan apabila di tanyakaan tentang suatu permasalahan yang belum ada
hukumnya. Karena jika tidak segera dijawab, dikhawatirkan akan terjadi
kesalahan dalam melaksanakan hukum tersebut.
4
B. Fardu kifayah, jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak
dikhawatirkan akan habis waktunya atau tidak ada orang lain selain dirinya
yang sama-sama memennuhi syarat sebagai seorang mujtahid.
C. Sunnah, apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yng baru baik ditanyakan
atau tidak.
D. Haram, apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang sudah ditetapkan
secara QOTH’I,sehingga hasil ijtihadnya tidak sesuai dengan dalil syara’3[4].
5
4. SYARAT-SYARAT BERIJTIHAD
6
kandungan dalil, padahal ada dalil lain yang mengkhususkannya atau terpaku
pada kemutlakan dalil, sementara terdapat dalil lain yang mentaqyidkannya.
6. METODE-METODE IJTIHAD
Terdapat berbaagai metode atau macam-macam yang digunakandalam ijtihad,
yaitu:
A. Ijtihad selektif ( inthiqaiy ) yaitu memilih salah satu pendapat yang dinukil
dari fikih klasik yang begitu luas untuk fatwa atau sebagai penguat terhadap
pendapat-pendapat yang lain,ini bukan berarti taklid buta, sebab taklid buta
bukan tergolong dalam kategori ijtihad. Namun yang dimaksud bagaimana
mempertimbangkan antara pendapat-pendapat yang ada, kemudian merujuk
kepada dalil, baik nash maupun hasil ijtihad, sehingga diambil sebuah hukum
yang paling kuat dalilnya sesuai dengan pentarjihan sebuah hukum. Antara
lain: pendapat harus sesuai dengan zaman dan manusia, lebih akrab pada
syariat, mengutamakan pemakain maksud-maksud disyariatkan sebuah
hukum, kepentingan umum serta menjauhi timbulnya kerusakan. Dalam hal
ijtihad seperti ini boleh saja seorang mujtahid keluar dari mazhab empat untuk
memilih pendapat-pendapat yang dilontarkan para sahabat para, tabiin atau
para ulama salaf, sangat disayangkan sekali kalau ada ungkapan bahwa orang-
7
orang seperti Umar, Aisyah, Ibnu mas’ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Zaid Bin
Tsabit, Ibnu al Musayyab Ibnu Jubair, Thowus, ‘Atho, Hasan, Ibnu Sirin atau
ulama thabiin yang lain bukan dikatakan sebagi pendapat ulama yang layak di
ikuti, bisa diambil contoh boleh saja dalam masalah rodlo memakai
ungkapannya Layst bin Sa’d dan ulama dzohiriah termasuk didalamnya Ibnu
Hazm. Begitu juga di ungkapkan oleh Syeh Abdullah bin Zaid al mahmud,
boleh saja melempar jumrah sebelum tergesernya matahari, ungkapan ini
adalah pendapatnya Atho’ dan Thowus.
B. Ijtihad kreatif ( insyai ) mengambil hukum baru dalam permasalahan yang
tidak di gagas oleh ulama terdahulu, baik masalah itu lama ataupun baru,
Dalam ijtihad seperti ini biasanya yang menjadi kendala bagi para mujtahid
adalah terjadinya ikhtilaf dengan ulama-ulama yang lain, padahal ijtihad
adalah bukan sebuah kejahatan, ikhtilaf adalah simbol kelenturan syariat islam
dan suburnya sumber. Imam syafii pernah berkata: “Pendapat saya benar
namun bisa mengandung kesalahan, pendapat selain saya salah namun bisa
mengandung kebenaran”. Jadi tak ada alasan untuk berhenti berijtihad hanya
takut berbeda pendapat dengan para mujtahid yang lain, karena suatu perkara
yang dipertentangkan oleh para ulama terdahulu dalam dua ungkapan, boleh
saja seorang mujtahid menelorkan ungkapan yang ketiga ataupun yang
kempat.
C. Integrasi antara intiqo’i dan Insya’I yaitu ijtihad integratif antara intiqo’i dan
Insya’i yaitu memilih berbagai pendapat para ulama’ terdahulu yang
dipandang lebih relevan dan kuat, kemudian dalam pendapat tersebut
ditambahkan unsur-unsur ijtihad baru .
D. Ijtihad Ilmi al-Ashri Metode ini ditawarkan oleh Prof. Dr. A. Qodry Azizy
dalam bukunya Reformasi Bermadzhab atau dengan kata lain bisa disebut
Modern Scientific Ijtihad. Ada 11 langkah yang ditawarkan beliau dalam
model ini :
8
1) Lebih mementingkan atau mendahulukan sumber primer (primary source) dalam
sistem bermadzhab atau dalam menentukan rujukan.
2) Berani mengkaji pemikiran ulama atau hasil keputusan hukum islam oleh organisasi
keagamaan secara critical study sebagai sejarah pemikiran.
3) Semua hasil karya ulama masa lalu diposisikan sebagai pengetahuan (knowledge).
4) Mempunyai sikap terbuka terhadap dunia luar dan bersedia mengantisipasi hal-hal
yang akan terjadi.
5) Hendaknya meningkatkan daya tanggap (responsif) dan cepat terhadap permasalahan
yang muncul.
6) Mengusulkan penafsiran yang aktif dan progresif.
7) Ajaran al-ahkam al-khamsah agar dapat dijadikan sebagai konsep atau ajaran etika.
8) Menjadikan ilmu fiqh sebagian dari ilmu hukum secara umum.
9) Berbicara mengenai fiqh tidak dapat dilupakan harus pula berorientasi pada kajian
induktif dan empirik, disamping deduktif.
10) Menjadikan mashlahah sebagai landasan penting dalam mewujudkan hukum islam.
11) Menjadikan nash sebagai kontrol terhadap hal-hal yang akan dihasilkan dalam
ijtihad.
E. Ijtihad Jama’I, adalah setiap Ijtiihad yang dilakukan oleh para mujtahid untuk
menyatukan pendapat-pendapatnya dalam suatu problematika . Yang
dilakukan dengan mengumpulkan para mujtahid dengan para ilmuan lintas
sektoral dalam satu forum musyawarah untuk membahas fenomena aktual
yang terjadi. Salah satu cara efektif untuk melaksanakan ijtihad di era
9
sekarang dimana sulitnya mencari orang yang mampu mengumpulkan
segudang persyaratan ijtihad adalah melakukan Ijtihad Jama’I (Ijtihad
Kolektif). Dalam aplikasinya, ijtihad jama’I meliputi dua hal. Pertama, ijtihad
dalam upaya memecahkan status hukum permasalahan baru yang belum
disinggung oleh al-Qur’an, al-Sunnah, dan pembahasan ulama terdahulu.
Kedua, ijtihad untuk memilih pendapat yang paling sesuai dengan cita
kemashlahatan kemanusiaan universal sebagai spirit ajaran islam . Tidak bisa
kita pungkiri bahwa ijtihad model ini sangat berkaitan sekali dengan
musyawarah. Musyawarah adalah sarana yang mulia untuk mencapai titik
temu atas perbedaan pendapat, untuk mempertemukan beraneka ragam
faedah, untuk memadukan ideologi, untuk menarik kesimpulan dari beberapa
pendapat, dan untuk mempersatukan tujuan. Ada tiga hal yang mendorong
untuk melakukan ijtihad jama’I atau ijtihad kolektif tersebut yang memang
sangat berpengaruh, yaitu :
10
8.MENYIKAPI IJTIHAD SEORANG ULAMA
11
9. BEBERAPA PENYIMPANGAN IJTIHAD
Banyak kemungkinan yang menjadi penyebab terjadinya penyimpangan-
penyimpangan dalam ber-ijtihad, ijtihad dilakukan oleh mujtahid yang bukan
ahlinya, berijtihad demi kepentingan individual dan kepentingan kelompok serta
berijtihad berdasarkan hawa nafsu dan lain-lain Terlepas dari penyebab individual
atau kelompok, factor-faktor urgen yang menjadi penyebab kesalahan dalam
berijtihad, seperti yang telah diketengahkan oleh Dr. Yusuf Al-Qordhowi dalam
bukunya al-ijtihad fi al-syari’ah al-islamiyyah dan juga dalam bukunya Drs.H.
Rohadi Abdul fatah, M.Ag. yang berjudul Analisis fatwa keagama, antara lain
sebagai berikut:
12
B. salah memahami Nash atau menyimpang dari konteksnya Kesalahan
ijtihad kontemporer terkadang tidak disebabkan oleh ketidak pahaman
akan Nash atau mengabaikannya, tetapi dapat di sebabkan oleh kesalahan
dan keliru dalam menginterpretasikan nash tersebut , diantara kesalahan
tersebut adalah: kesalah pahaman terhadap Nash atau kesalahan
mentakwil kan seperti menganggap khusus kalimat yang umum
menganggap muqqayyad kata yang mutlak atau sebaliknya dipisahkan
dari konteks kalimat sebelumnya atau terpisahkan dari apa yang
menguatkan dalil ijma’ yang menyakinkan dan belum belum pernah
dilanggar oleh salah seorang ulama’ sepanjang zaman.
C. Kontra terhadap ijma’ yang telah dikukuhkan Yang di maksud disini
adalah ijma’ yang telah di yakini, yang telah menjadi ketetapan fiqih dan
ijma’ itu telah diterapkan oleh semua ummat islam. Disamping itu telah
disepakati oleh semua mazhab pakar fiqih dari kalangan ummat islam
sepanjang masa.
D. Qiyas tidak pada tempatnya. Seperti meng-qiyaskan nash qath’iy dengan
nash zhanniy dalam hal diperbolehkannya ijtihad dalam nash tersebut atau
mengqiyaskan perkara-perkara yang sifatnya ta’abbudi murni dengan
perkara adapt dan mu’amalat didalam hal memandang hukum dan
maksud-maksudnya serta dalam hal mengambil kesimpulan illat-illat-nya
dengan akal, yang mana illat tersebut menjadi sebab adanya hukum.
E. Kealpaan terhadap realita zaman Zaman terus berkembang dari detik
sampai menuju ke-milenium dan hal ini menjadikan zaman prasejarah
menuju zaman sekarang ini yang di sebut zaman modern.seorang mujtahid
tidak dibenarkan lengah dari realita zaman baik budaya, pendidikan,
teknologi, dan lain-lain Manusia terbawa hanyut dalam arus realita yang
ada dan sikap mereka yang menyerahkan total kepada aliran modern,
sekalipun aliran-aliran tersebut suatu hal yang asing bagi kaum muslimin
13
bahkan bertentangan dengan Islam. Mereka berusaha untuk membenarkan
(melegitimasi) realita tersebut dengan memberikan sandaran hukum yang
diambilnya dari Islam dengan cara penyelewengan dan paksaan.
F. Berlebih-lebihan dalam menganggab maslhahat walaupun
mengesampingkan Nash. Agama islam adalah agama yang memegang
konsep rahmatan lil alamin, dapat di ambil kesimpulan bersama bahwa
syariat islam mengandung segala sesuatu untuk kebaikan bagi manusia,
kemaslahatan dalam kehidupan dunia dan akhirat, mencakup setiap hal
yang mencakup kejahatan dan kerusakan yang membahayakan manusia,
baik secara individu maupun kolektiv Sebagai contoh maslahat
memperbolehkan riba memindahkan sholat jum’at pada hari ahad4[7].
14
10. BOLEHKAH BERIJTIHAD DALAM SATU BAB ATAU SATU
MASALAH SAJA?
Hadits ini secara tegas menjelaskan, jika seorang mujtahid salah dalam
ijtihadnya, maka dia mendapatkan satu pahala, karena telah optimal dan
bersungguhsungguh untuk mengetahui kebenaran, akan tetapi belum
mandapatkan taufik sampai kepada kebenaran, maka dia mendapatkan pahala
bersusah payah.
15
Sedangkan pahala dalam menepati kebenaran, maka dia tidak
mendapatkannya, lantaran hasil ijtihadnya belum bersesuaian dengan kebenaran.
Adapun apabila dia berijtihad dan hasil ijtihadnya benar, maka dia mendapatkan
dua pahala. Pahala yang pertama, karena bersusah payah dalam ijtihad dan
mencari dalil. Sedangkan pahala kedua, karena mencocoki kebenaran, yang
berarti menampakkan kebenaran.
16
2. Pengertian Taklid
Pengertian Para ulama hampir sepakat dalam mendefisikan taklid.
Yaitu, menerima perkataan orang lain tanpa hujah. Berdasarkan
pengertian ini, orang yang mengambil perkataan orang tanpa dasar hujjah,
maka dia muqallid. Sedangkan orang yang mengambil perkataan orang
lain dengan dasar hujjah, maka bukan muqallid.
Kemudian hujjah itu berbeda-beda antara satu orang dengan
lainnya. Bagi seorang mujtahid atau orang yang belum sampai tingkatan
ijtihad, tetapi dia bisa memahami dalil dan mentarjih dengan cara yang
benar, maka hujjah baginya adalah dalil khusus; dan dia tidak boleh
menerima perkataan orang, kecuali dengan dalil khusus yang
membenarkannya. Adapun bagi orang yang awam tidak bisa memahami
makna-makna nash (dalil), maka hujjah baginya adalah dalil umum, yaitu
kembali kepada ahlul ilmi yang menguasai Al Kitab dan Sunnah.
Hanya saja, ada sebagian ulama yang mendefinisikan taklid
dengan pengertian lain. Yaitu, menerima perkataan orang dan kamu tidak
mengetahui dari mana orang itu mengatakannya (mengambilnya). Jadi,
orang yang mengambil perkataan orang lain tanpa mengetahui dalil
khusus yang membenarkannya, disebut muqallid, meskipun dia
mengambilnya berdasarkan hujjah dalil umum.
Kalau yang dimaksudkan oleh pengertian yang kedua itu adalah taklid
yang tercela, maka pengertian ini tidak benar, sebab tanpa mengetahui dalil
khusus yang menunjukkan perkataan tersebut tidaklah tercela. Tetapi jika yang
dimaksudkan taklid itu ada dua macam, yaitu tersebut. Jika dia benar dalam
ijtihadnya, maka dia mendapatkan dua pahala. Dan jika dia salah dalam
ijtihadnya, maka dia mendapatkan satu pahala, dan kesalahannya diampuni.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya : Apabila seorang
hakim menghukumi lalu berijtihad dan benar, maka dia mendapatkan dua pahala,
17
dan apabila dia menghukumi lalu berijtihad dan salah, taklid yang tercela
sebagaimana pada pengertian yang pertama, dan tidak tercela sebagaimana pada
pengertian yang kedua, maka pengertian tersebut dapat diterima.
18
KAPAN SESEORANG BERTAKLID?
Taklid bisa dilakukan oleh seseorang karena adanya salah satu di antara dua
keadaan.
Pertama. Orang awam yang tidak bisa mengetahui hukum dengan dirinya sendiri.
Maka dia wajib bertaklid dengan bertanya kepada ulama. Karena Allah berfirman,
artinya: Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu
tiada mengetahui
[Al Anbiya‘:7]
Orang awam seperti ini dianjurkan untuk memilih orang yang lebih utama
keilmuannya dan kewara’annya. Kalau menurutnya ada dua orang yang sama
dalam keilmuan dan kewara’annya, maka dia boleh memilih di antara keduanya.
19
tidak mungkin merujuk kitab-kitab, dalil-dalil ataupun menelaah perkataan-
perkataan ulama, maka dia boleh bertaklid.
MACAM-MACAM TAKLID
1. Taklid Umum.
20
azimahnya, serta tidak melihat kepada madzhab-madzhab lain atau kepada
perkataan Nabi.
Tentang taklid ini, para ulama berbeda pendapat. Di antara para ulama ada
yang mewajibkannya, karena pintu ijtihad telah ditutup untuk mutaakhirin. Ini
adalah pendapat yang sangat batil, karena mengharuskan makna-makna Kitab dan
Sunnah telah terkunci rapat. Padahal Al Qur‘an dan Sunnah merupakan petunjuk
dan penjelasan bagi manusia sejak terutusnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sampai datangnya hari Kiamat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
artinya: Sungguh aku tinggalkan kepada kalian sesuatu, yang jika kalian
berpegang teguh dengannya, maka kalian tidak akan sesat sesudahku, yaitu Kitab
Allah [Shahih diriwayatkan oleh Muslim no. 1218]
3. Taklid Khusus
21
ANTARA IJTIHAD DAN TAKLID
Sudah kita maklumi, dalam beragama, kita wajib mengikuti apa yang telah
diturunkan Allah kepada RasulNya. Yang semuanya, secara sempurna telah
disampaikan dan dijelaskan Rasulullah kepada kita. Tidak ada sedikitpun yang
tertinggal. Sehingga wajib bagi kita untuk mentaati Allah dan RasulNya, serta
mengembalikan sesuatu yang diperselisihkan kepada keduanya. Dan kita harus
berpaling dari apa yang menyelisihi Kitab Allah dan Sunnah RasulNya, meskipun hal
itu datang dari seorang imam mujtahid.
Dalam perkara agama, terdapat masalah masalah agama yang ditetapkan hukumnya
dengan nash yang qath’i, baik tsubut dan dalalahnya, ada yang ditetapkan dengan
ijma’ ulama; dan ada yang ditetapkan dengan nash yang tidak qath’i dalam tsubut
atau dalalahnya, atau tidak ada nash dalam masalah tersebut, serta para ulama
berbeda-beda pendapatnya.
Pada kelompok masalah pertama dan kelompok masalah kedua, persoalannya mudah.
Semua orang wajib menerima dan mengikutinya, serta tidak boleh menyelisihinya,
baik dia seorang ulama atau seorang awam.
Bagaimana bila tidak ada nash dalam suatu masalah dan para ulama berbeda
pendapat? Apa yang harus dilakukan seseorang? Apakah dia harus berijtihad untuk
mengetahui hukum masalah tersebut, ataukah bertaklid kepada ijtihad orang lain?
Untuk bisa memahami persoalan ini, berikut ini kami angkat penjelasan mengenai
ijtihad dan taklid, sehingga seorang muslim bisa menempatkan dirinya berkaitan
dengan permasalahan hukum yang dihadapinya. Apakah seseorang harus berijtihad
ataukah bertaklid kepada suatu pendapat tertentu? Makalah ini ditulis berdasarkan
kitab Syarhul Ushul Min Ilmil Ushul, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin,
dan Ad Durrat Al Bahiyyah Fi At Taqlid Al Madzabiyyah, Muhammad Syakir Asy
Syarif. Semoga bermafaat.
22
Studi Kasus
Dua tahun sejak ditemukannya teknologi ini, para ulama di Tanah Air telah
menetapkan fatwa tentang bayi tabung/inseminasi buatan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwany pada tanggal 13 Juni 1979
menetapkan 4 keputusan terkait masalah bayi tabung, diantaranya :
1. Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami-istri yang sah
hukumnya mubah (boleh), sebab ini termasuk ikhtiar yang berdasarkan kaidah-kaidah
agama. Asal keadaan suami istri yang bersangkutan benar-benar memerlukan cara
inseminasi buatan untuk memperoleh anak, karena dengan cara pembuahan alami,
suami istri tidak berhasil memperoleh anak. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih
23
“Hajat (kebutuhan yang sangat penting) diperlakukan seperti dalam keadaan
terpaksa. Padahal keadaan darurat/terpaksa itu membolehklan melakukan hal-hal
yang terlarang”.
2. Sedangkan para ulama melarang penggunaan teknologi bayi tabung dari pasangan
suami-istri yang dititipkan di rahim perempuan lain dan itu hukumnya haram, karena
dikemudian hari hal itu akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya
dengan warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai
ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, dan sebaliknya).
3. Bayi Tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia
hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah. Sebab, hal ini akan
menimbulkan masalah yang pelik baik kaitannya dengan penentuan nasab maupun
dalam hal kewarisan.
4. Bayi Tabung yang sperma dan ovumnya tak berasal dari pasangan suami-istri yang
sah hal tersebut juga hukumnya haram. Alasannya, statusnya sama dengan hubungan
kelamin antar lawan jenis diluar pernikahan yang sah alias perzinahan.
Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait masalah dalam
Forum Munas di Kaliurang, Yogyakarta pada tahun 1981. Ada 3 keputusan
yang ditetapkan ulama NU terkait masalah Bayi Tabung, diantaranya :
1. Apabila mani yang ditabung atau dimasukkan kedalam rahim wanita tersebut
ternyata bukan mani suami-istri yang sah, maka bayi tabung hukumnya haram. Hal
itu didasarkan pada sebuah hadist yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, Rasulullah
SAW bersabda, “Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik dalam pandangan
Allah SWT, dibandingkan dengan perbuatan seorang lelaki yang meletakkan
spermanya (berzina) didalam rahim perempuan yang tidak halal baginya.”
24
2. Apabila sperma yang ditabung tersebut milik suami-istri, tetapi cara
mengeluarkannya tidak muhtaram, maka hukumnya juga haram. Mani Muhtaram
adalah mani yang keluar/dikeluarkan dengan cara yang tidak dilarang oleh
syara’. Terkait mani yang dikeluarkan secara muhtaram, para ulama NU mengutip
dasar hukum dari Kifayatul Akhyar II/113. “Seandainya seorang lelaki berusaha
mengeluarkan spermanya (dengan beronani) dengan tangan istrinya, maka hal
tersebut diperbolehkan, karena istri memang tempat atau wahana yang
diperbolehkan untuk bersenang-senang.”
3. Apabila mani yang ditabung itu mani suami-istri yang sah dan cara
mengeluarkannya termasuk muhtaram, serta dimasukkan ke dalam rahim istri sendiri,
maka hukum bayi tabung menjadi mubah (boleh).
Berikut ini dalil-dalil syar’i yang dapat menjadi landasan hukum untuk
mengharamkan inseminasi buatan dengan donor, ialah sebagai berikut:
و َكَْت َق َلا
ُ َْاضم
َ ُْد ْوِرَت ْ اض ََ َِ ََُْت َق َل
ُ اَحَ ا َ اض َْرَ َن ْر
َ اض َم ََ َكَْتقَ َلا ْموا َْرَ ْ ِر
َ ااضَْهَ ََال َُرََ َْتااَ ْْواَّطَ َا
َ اََ َُحا َكَ َل َل ْن م
ْ ور
“Dan sesungguhnya telah Kami meliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di
daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang
telah Kami ciptakan”.
25
Surat At-Tin ayat 4 :
َ ْحاا َ َه ْْ م
َلا َ َتاَ امْواْل َ َم
َ َِ َْهَ ََا َاكَ َهَْتا َ ْأ
Kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai
makhluk yang mempunyai kelebihan/keistimewaan sehingga melebihi makhluk-
makhluk Tuhan lainnya. Dan Tuhan sendiri berkenan memuliakan manusia, maka
sudah seharusnya manusia bisa menghormati martabatnya sendiri dan juga
menghormati martabat sesama manusia. Sebaliknya inseminasi buatan dengan donor
itu pada hakikatnya merendahkan harkat manusia (human dignity) sejajar dengan
hewan yang diinseminasi.
26
E. Kesimpulan
Jadi kesimpulan yang dapat kita ambil yaitu pelaksanaan bayi tabung dalam
pandangan Islam hukumnya mubah (boleh), dengan syarat sperma dan ovum
diperoleh dari pasangan suami-istri yang sah kemudian sel hasil pembuahan tersebut
dimasukan kembali kedalam rahim isteri yang sah.
Sebaliknya, ada beberapa hal yang membuat pelaksanaan bayi tabung menjadi haram
yaitu:
Sperma yang diambil dari pihak laki-laki disemaikan kepada indung telur
pihak wanita yang bukan istrinya kemudian dicangkokkan ke dalam rahim
istrinya.
Indung telur yang diambil dari pihak wanita disemaikan kepada sperma yang
diambil dari pihak lelaki yang bukan suaminya kemudian dicangkokkan ke
dalam rahim si wanita.
Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari sepasang
suami istri, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim wanita lain yang bersedia
mengandung persemaian benih mereka tersebut.
Sperma dan indung telur yang disemaikan berasal dari lelaki dan wanita lain
kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si istri.
Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari seorang suami
dan istrinya, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya yang lain.
Sperma yang diambil berasal dari sperma suami yang telah meninggal dunia.
27
BAB III
KESIMPULAN
Ijtihad adalah usaha seorang muslim dengan seluruh kemampuannya untuk
menghasilkan hukum syara’ dengan cara mengambil dalil dari dalil-dalil syar’i.
Para ulama dari golongan SYIAH berpendapat bahwa pernyataan
tentang tertutupnya ijtihad dan adanya pembatasan dalam berfikir pada abad ke empat
adalah kesalahan besar. Padahal tiga abad sebelumnya pintu ijtihad terbuka lebar.
Ijtihad kontemporer sekarang ini menjadi sebuah kebutuhan primerterutama pada era
seperti sekarang ini yang penuh dinamika problematika dan perkembangan zaman
teknologi yang cukup pesat.
Dalam bukunya Yusuf Qordlowi alijtihad al-muasyir bain al-indibath wa-
infiroth dikemukakan bahwa ijtihad bukan hanya jaiz akan tetapi lebih mengarah
pada fardu kiifayah pada setiap muslim.
Beberapa metode ijtihad kontemporer ygang terdapat dalam buku Yusuf
Qordlowi alijtihad al-muasyir bain al-indibath wa-infiroth:
28
1) Syarat pokok yaitu: mengetahui al qur’an, hadist, bahasa arab, dan ijma’
2) Syarat sampingan yaitu: mengetahui maqashid syari’ah, qawa’id, perbedaan para
ulama, mengetahui kebiasaan yang terjadi disuatu tempat, mengetahui ilmu mantiq,
adilnya seorang mujtahid dan kelakuan baiknya, atau pengakuan manusia terhadap
keahlian sang mujtahid.
Yusuf Qordowi dalam bukunya alijtihad al-muasyir bain al-indibath wa-infiroth
menemukakan dua bidang baru untuk ijtihad, yaitu:
29
DAFTAR PUSTAKA
30