Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

Ushul Fiqih
Kedudukan Ijtihad Dalam Menetapkan Hukum Islam, Taqlid, Ittibaq, Talfiq
Semester 2 / Fakultas Agama Islam / PAI B13
Dosen Pengampu : Kholid Mashari M.S,i

Disusun Oleh :
1. Amirul Ma’arif : 22106011307
2. Shofi Al Anwari : 22106011310
3. Amirul Mahmud : 22106011308
4. M Mizad Balya : 22106011309

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG

TAHUN AKADEMIK 2023


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL 1
DAFTAR ISI 2
KATA PENGANTAR 3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 4
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan Masalah 4
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad 5
B. Tujuan ijtihad 5
C. Hukum Ijtihad 5
D. Pengertian Taqlid 6
E. Hukum Taqlid 6
F. Pengertian Ittibaq 7
G. Dasar Hukum Ittiba’ 8
H. Tujuan Ittiba’ 8
I. Pengertian Talfiq 9
J. Hukum Talfiq 9

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan 10
B. Saran 10
Daftar Pustaka 11

2
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur ke hadirat Allah Ta’ala yang telah melimpahkan begitu banyak n
ikmat kepada kita sehingga kita dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Ushul fiqih ini
dengan judul ”Kedudukan Ijtihad dalam menetapkan hukum islam, taqlid, ittibaq, talfiq” Shola
wat serta salam semoga tetaplah tercurahkan pada Nabi agung kita Nabi Muhammad SAW, semo
ga kita mendapatkan syafa’at beliau kelak di hari kiamat. Amiin.
Selanjutnya dalam pembuatan makalah ini pasti banyaklah kesalahan dan ketidak sempurna
an dalam penulisan makalah. Oleh karena itu, kami mohon kritik dan sarannya kepada teman-te
man khususnya kepada dosen pengampu untuk membantu proses kesempurnaan makalah ini. Se
hingga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin.

Brabo, 7 Maret 2023

Penulis

3
BAB I

PENDAHULUAN

A Latar Belakang
Islam adalah agama yang sempurna, Agama yang memperhatikan umatnya dari
urusan-urusan yang penting, hingga hal-hal kecil dalam kehidupan. Maka beruntunglah
bagi kaum muslimin, karena kehidupannya sudah diatur sedemikian rupa oleh agama
islam adalah Al Quran dan Sunnah yang menjadi dua sumber pedoman dalam hidup
seorang muslim.
Tapi sebagai salah satu agama terbesar didunia, umat islam juga sering
dihadapkan dengan berbagai permasalahan, terutama yang berkaitan dengan syara atau
ibadah. Oleh karena itu, selain menggunakan Al Quran dan Sunnah, ulama juga
menggunakan ijma dan qiyas sebagai instrumen untuk membantu memecahkan masalah
umat.
Selain itu, Para ulama juga harus melakukan Ijtihad dalam mencari solusi
permasalahan yang dihadapi umat islam. Berbagai perbedaan mahzab yang kita kenal
saat ini merupakan hasil dari Ijtihad. Kita tahu tidak ada yang salah dari mahzab-mahzab
tersebut karena itu semua merupakan hasil terbaik dari para mujtahid untuk menemukan
hukum terbaik.
Dengan adanya Ijtihad, Islam menjadi agama yang luas, dinamis, fleksibel sesuai
dengan dinamika zaman.
B Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah di deskripsikan maka dalam
penelitian ini dapat di rumuskan suatu permasalahan, yaitu:
1. Apa pengertian Ijtihad?
2. Bagaimana kedudukan Ijtihad dalam hukum islam?
3. Apa kedudukan hukum ijtihad dalam menetapkan hukum taqlid, ittibaq, talfiq.
C Tujuan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan penelitiannya yaitu:
1. Untuk mengetahui pengertian dari Ijtihad
2. Untuk mengetahui kedudukan Ijtihad dalam islam
3. Untuk mengetahui hukum taqlid, ittibaq talfiq

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad
Menurut Imam Al-Ghazali ijtihad meupakan upaya maksimal seorang mujtahid
dalam mendapatkan pengetahuan tentang hukum-hukum syara (Sesuatu yang
diperintahkan /diharuskan oleh Allah dan RasulNya untuk dilaksanakan oleh orang
mukallaf (objek hukum) dan apabila dilaksanakan akan mendapat pahala dari Allah,
sebaliknya jika tidak dilaksanakan mendapat dosa).
B. Tujuan Ijtihad
Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan
hidup dalam beribadah kepada Allah disuatu tempat tertentu atau suatu waktu
tertentu.
C. Hukum Ijtihad
Ijtihad sebagai sumber hukum Islam yang ke 3 setelah al Qur'an \dan as-sunah
tentulah sangat penting untuk kita bahas, ijtihad dilakukan oleh ulama ketika ada
suatu permasalahan umat yang belum ada dalam al Qur'an dan as-sunah, orang yang
ber ijtihad dinamakan dengan Mujtahid. Seorang Mujtahid mestilah memiliki hal hal
berikut:
1. Mengetahui al-Qur'an. Al-Qur'an adalah sumber hukum Islam primer sebagai
fondasi dasar hukum Islam.
2. Mengetahui Asbab al-Nuzul.
3. Mengetahui Nasikh dan Mansukh.
4. Mengetahui As-Sunnah.
5. Mengetahui Ilmu Diroyah Hadis.
6. Mengetahui Hadis yang Nasikh dan Mansukh.
7. Mengetahui Asbab Al-Wurud Hadis
8. Mengetahui Bahasa Arab
Dengan demikian tidak sembarang orang bisa menjadi mujtahid. Hukum melakukan
ijtihad bagi orang yang telah memenuhi syarat dan kriteria ijtihad:
a. Fardu ‘ain untuk melakukan ijtihad untuk kasus dirinya sendiri dan ia harus
mengamalkan hasil ijtihadnya sendiri.
b. Fardu ‘ain juga untuk menjawab permasalahan yang belum ada hukumnya.
Dan bila tidak dijawab dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam
melaksanakan hukum tersebut, dan habis waktunya dalam mengetahui
kejadian tersebut.
5
c. Fardu kifayah jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak
dikhawatirkan akan habis waktunya, atau ada lagi mujtahid yang lain yang
telah memenuhi syarat.
d. Dihukumi sunnah, jika berijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik
ditanya ataupun tidak.
e. Hukumnya haram terhadap ijtihad yang telah ditetapkan secara qath'i karena
bertentangan dengan syariat.
D. Pengertian Taqlid
Kata “Taqlid” berasal dari bahasa Arab, yaitu: qallada-yuqallidu-taqliidan.
Artinya bermacam-macam tergantung kepada letak dan pemakaiannya dalam
kalimat. Adakalanya kata “taklid” berarti “menghiasi”, “meniru”, “menyerahkan”,
“mengikuti” dan sebagainya.
Para ulama Usul mendefinisikan taklid: “menerima perkataan (pendapat) orang,
padahal engkau tidak mengetahui darimana sumber atau dasar perkataan (pendapat)
itu”. Para ulama yang lain seperti al-Ghazali, asy-Syaukani, ash-Shan’ani dan ulama
yang lain juga membuat definisi taklid, namun isi dan maksudnya sama dengan
definisi yang dibuat oleh ulama Ushul, sekalipun kalimatnya berbeda. Demikian pula
dengan definisi yang dibuat oleh Muhammad Rasyid Ridla dalam Tafsir al-Manar,
yaitu: “mengikuti pendapat orang-orang yang dianggap terhormat atau orang yang
dipercayai tentang suatu hukum agama Islam tanpa meneliti lebih dahulu benar
salahnya, baik buruknya serta manfaat atau mudlarat dari hukum itu”.
E. Hukum Taqlid
Pada asalnya menurut hukum Islam bertaqlid itu dicela atau dilarang karena ia
hanya mengikuti tanpa mengetahui alasan dan dalilnya, karena hal itu akan membuat
orang yang bertaqlid menjadi fanatic yang berlebihan kepada orang yang
bertaqlidinya. Dalam menghukumi Taqlid menurut para Ulama terdapat tiga macam
hukum: pertama, Taqlid yang diharamkan. kedua, Taqlid yang diwajibkan. ketiga,
Taqlid yang dibolehkan
a. Taqlid yang diharamkan Ulama sepakat haram melakukan taqlid ini. taqlid ini
ada tiga macam:
 Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek
moyang atau orang dahulu kala yang bertentangan dengan Al-Qur’an
Hadits
 Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil
perkataannya.
 Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang
bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.
b. Taqlid yang dibolehkan

6
Adalah Taqlidnya seseorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk
ittiba’ kepada apa yang diturunkan Allah swt. Hanya saja sebagian darinya
tersembunyi bagi orang tersebut sehingga dia taqlid kepada orang yang lebih
berilmu darinya, maka yang seperti ini adalah terpuji dan tidak tercela, dia
mendapar pahala dan tidak berdosa. Taqlid ini sifatnya sementara. Misalnya
taqlid sebagian Mujtahid kepada Mujtahid lain, karena tidak ditemukan dalil
yang kuat untuk pemecahan suatu persoalan. Termasuk taqlidnya orang awam
kepada Ulama.
Ulama mutaakhirin dalam kaitan bertaqlid kepada Imam, membagi kelompok
masyarakat ke dalam sua golongan:
 Golongan awam atau orang yang berpendidikan wajib bertaqlid
kepada salah satu pendapat dari keempat mahzab.
 Golongan yang memenuhi syarat-syarat berijtihad, sehingga tidak
dibenarkan bertaqlid kepada ulama-ulama. Golongan awam harus
mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui sama sekali dasar
pendapat itu (Taqlid dalam pengertian Bahasa)
c. Taqlid yang diwajibkan
Adalah taqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar
hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah Saw. juga apa yang
dikatakan oleh Ibnul Qayyim: Sesungguhnya Allah Swt. Telah
memerintahkan agar bertanya kepada Ahli Dzikr adalah Al-Qur’an dan Al-
Hadis yang Allah Swt. Perintahkan agar para istri Nabi-Nya selalu
mengingatnya.
Inilah Adz-Dzikr yang Allah Swt. Perintahkan agar kita selalu ittiba’
(mengikuti) kepadanya, dan Allah Swt.Perintahkan orang yang tidak
memiliki ilmu agar bertanya kepada ahlinya. Inilah yang wajib atas setiap
orang agar bertanya kepada ahli ilmu tentang Adz-Dzikr yang Allah Swt.
Turunkan kepada Rasul-Nya agar ahli ilmu ini memberitahukan kepadanya.
Kalau dia sudah beritahu tentang Adz-Dzikr ini maka tidak boleh baginya
kecuali ittiba’kepadanya.
F. Pengertian Ittibaq
Ittibaq adalah upaya umat muslim untuk mengikuti atau menuruti semua yang
telah diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan oleh Rasulullah SAW.
Pengertian Ittibaq menurut para ulama:
a. Ibnu katsir
Menurut Ibnu Katsir, ittiba’ adalah mengikuti syariat dan agamanya (Al-
Sunnah) dalam setiap perkataan dan amal perbuatannya, serta dalam berbagai
keadaan yang dialaminya.

7
b. Muhammad Al-Amin Al-syinqithi
Berkaitan dengan ittiba ini, Beliau pernah berkata bahwa “Imam Ahmad
berkata: Al-Ittiba’ berarti seseorang mengikuti ajaran yang bersumber dari
Rasulullah dan para sahabatnya atau yang berasal dari para tabi’in, tetapi
ittiba’ pada yang terakhir bukan sebagai kewajiban mutlak, hanya bersifat
pilihan.
c. Ibn Al-’Abd Al-Barr
Al-Ittiba’ berarti mengikuti hujjah atau dalil Qath’i, yaitu mengikuti
pendapat dari pihak otoritatif yang diwajibkan kepada kita untuk
mengikutinya. Dalam hal ini, Rasulullah adalah pihak paling otoritatif yang
memiliki legalitas untuk diikuti perintahnya.
d. Abd Ar-Rahman Ibn Nashir Al-Sa’di
Ittiba’ adalah mengikuti syariat yang diwahyukan Allah pada Rasul-Nya
karena ia adalah penyampai (Mubaligh) wahyu Allah yang dengannya umat
manusia mampu menggapai jalan hidayah, dan syariat atau wahyu tersebut
merupakan sumber petunjuk dan rahmat dalam seluruh aspek ilmu,
perbuatan, karakter diri, dan dalam seruan dakwahnya, baik dalam aqidah,
ucapan maupun amal perbuatan, maka mengikutinya adalah dengan
mengimplementasikan perintahnya dan meninggal larangannya.
G. Dasar Hukum Ittiba’
Keberadaan ittiba’ ini bukan hanya semata-mata pendapat ulama saja tanpa
adanya alasan agama, melainkan terdapat dasar hukum yang bersumber dari kitab
suci Al-Quran. Nah, berikut adalah beberapa dasar hukum akan pelaksanaan ittiba’
bagi umat muslim yang mana memang perintah dari Allah SWT.
Q.S. Al-A’raf ayat 3

‫ٱَّتِبُعو۟ا َم ٓا ُأنِز َل ِإَلْيُك م ِّم ن َّرِّبُك ْم َو اَل َتَّتِبُعو۟ا ِم ن ُدوِنِهٓۦ َأْو ِلَيٓاَء ۗ َقِلياًل َّم ا َتَذَّك ُروَن‬
Artinya: “Ikuti apa yang dirutunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah
kamu
mengikuti pemimpin-pemimpin selain Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil
pelajaran (daripadanya)”
H. Tujuan Ittiba’
Adanya ittiba’ yang menjadi salah satu hal wajib untuk dijalankan bagi kaum
muslim tentu saja ada alasan. Dengan adanya ittiba’ ini, maka diharapkan supaya
setiap kaum muslim, sekalipun mereka yang masih awam, dapat mengamalkan ajaran
agama Islam dengan penuh rasa yakin tanpa diselimuti keraguan apapun. Tidak
hanya itu saja, suatu ibadah atau amal itu jika dilakukan dengan penuh keyakinan
maka akan menimbulkan keikhlasan dan kekhusyukkan di dalam diri muslim

8
tersebut. Lagipula, keikhlasan dan kekhusyukan memang menjadi syarat sah dari
pelaksanaan ibadah atau amal.Singkatnya, ittiba’ memiliki tujuan sebagai berikut :
- Mendapatkan hidayah.
- Memperoleh keberuntungan dari Allah SWT
- Teguh di atas kebenaran
- Mendapatkan perlindungan dan pertolongan dari Allah SWT.
- Bergabung dengan barisan para nabi.
- Mendapati keluarga yang ikut menapaki jalan ittiba’.
- Terhindar dari rasa sedih dan takut.
- Memperoleh pintu taubat dan ampunan dari Allah SWT.
I. Pengertian Talfiq
yaitu mendatangkan suatu cara (dalam ibadah atau mu’amalah) yang tidak pernah
dinyatakan oleh ulama mujtahid. Maksudnya, bertaklid kepada madzhab-madzhab
serta mengambil (menggabungkan) dua pendapat atau lebih dalam satu masalah,
yang memiliki rukun-rukun dan cabang-cabang, sehingga memunculkan suatu
perkara gabungan (rakitan) yang tidak pernah dinyatakan oleh seorang pun (dari para
imam mujtahid)[2], tidak oleh imam yang dulu dia ikuti madzhabnya maupun imam
‘barunya’. Justru masing-masing imam tersebut menetapkan batilnya penggabungan
dalam ibadah tersebut.
J. Hukum Talfiq
a. Talfiq yang Diperbolehkan
Dalil bagi pendapat yang menyatakan bahwa talfiq itu dilarang, adalah apa
yang dinyatakan oleh ulama ushul sebagai ijma’ yang melarang
memunculkan pendapat ketiga, jika para ulama berbeda pendapat menjadi
dua kelompok mengenai hukum dalam suatu masalah. Jadi, kebanyakan dari
mereka menyatakan tidak boleh memunculkan pendapat ketiga yang dapat
melanggar wilayah kesepakatan.
b. Metode Penetapan Lawannya (Itsbatul ‘Aks).
Dengan anggapan membenarkan dan menerima pendapat yang melarang
talfiq, maka tampaklah dari ketetapan para ulama itu, bahwa tidaklah ada
keharusan berpegang kepada madzhab tertentu dalam seluruh permasalahan,
sebagaimana telah dijelaskan. Dan seseorang yang tidak berpegang kepada
madzhab tertentu, maka dibolehkan melakukan talfiq. Jika tidak demikian,
maka akan mengakibatkan kesimpulan pembatalan peribadahan orang-orang
awam, karena –pada kenyataannya- kita hampir tidak mendapati seorang
yang awam mengerjakan suatu ibadah yang benar-benar sesuai dengan
madzhab tertentu. Adapun persyaratan yang mereka sebutkan tentang
keharusan memperhatikan perbedaan dalam lintas madzhab, bila seseorang
9
bertaqlid kepada satu madzhab atau meninggalkan madzhabnya –yang
terdahulu- dalam suatu masalah, maka hal ini perkara yang menyulitkan, baik
dalam masalah-masalah ibadah maupun mu’amalah. Karena hal itu
bertentangan dengan prinsip kelonggaran dan kemudahan syari’at serta
kecocokakannya dengan seluruh kemaslahatan manusia
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ittiba’ adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid,
dengan mengetahui alasannya, serta tidak terikat pada salah satu madzhab dalam
mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang di anggap lebih kuat dengan jalan
membanding.
Taqlid adalah mengikuti pendapat seorang mujtahid atau ulama tertentu tanpa
mengetahui sumber dan cara pengambilan pendapat tersebut.
Secara Bahasa Talfiq berarti melipat antara yang satu dengan yang lain sedangkan
istilah dapat diartikan mencampuradukkan dua pendapat atau lebih dalam sebuah
permasalahan yang mempunyai hukum, sehingga akan melahirkan pendapat ketiga
yang antara kedua pendapat tadi sama-sama tidak mengakui kebenarannya.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak
kesalahan-kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan pembaca dapat
menyampaikan kritik dan juga sarannya terhadap hasil penulisan makalah kami.

10
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Zikra, Z. (2020). ITTIBA’AL-RASUL PERSPEKTIF AL-QUR’AN


(Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau).
JAYA, U. A. P. Al-IJITIHAD, AL-MUJTAHID, AL-ITTIBA’, FATWA, AT-TAQLID
DAN MASHADIR AL-AHKAM.
Pulungan, E. N. (2020). Fikih: Ushul Fikih.
https://almanhaj.or.id/3105-talfiq-dalam-pandangan-ulama.html
https://www.kumpulanpengertian.com
https://id.m.wikipedia.org
https://bersamadakwah.net
https://dalamislam.com
https://kumparan.com
https://ejournal.iai-tribakti.ac.id,index.php/tribakti/article/download/173/140/

11

Anda mungkin juga menyukai