Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

TAQLID, ITTIBA DAN TALFIQ

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur dalam Mata Kuliah


Ushul Fiqh Lanjutan

Disusun Oleh :
Kelompok 9

Aldhi Ramadan (2210102060)

Dosen Pengampu :
Dr. Arzam, M.Ag

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KERINCI

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

1444 H/ 2023 M
KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, dengan ini penulis panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya yang
telah melimpahkan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas mata kuliah Ushul Fiqh Lanjutan.
Adapun makalah ini telah penulis usahakan semaksimal mungkin dan
tentunya dengan bantuan dari banyak pihak, sehingga dapat memperlancar proses
pembuatan makalah ini. Oleh sebab itu, penulis juga ingin menyampaikan rasa
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
penulis dalam pembuatan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan yang lebih luas
kepada pembaca. Walaupun makalah ini banyak kekurangan. Penyusun
membutuhkan kritik dan saran dari pembaca yang membangun. Terima kasih.

Wassalamu‟alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Sungai Penuh, 13 September 2023


Penulis

Kelompok 9
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................. i


DAFTAR ISI ............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 1
C. Tujuan Masalah .............................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Taqlid ............................................................................................. 2
B. Ittiba ............................................................................. ........................ 4
C. Talfiq.................... ................................................................... .............. 5
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................ 7
B. Saran .................................................................................................. 7
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ushul fiqh adalah pengetahuan mengenai berbagai kaidah dan bahasa yang
menjadi sarana untuk mengambil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan
manusia mengenai dalil-dalilnya yang terinci. Ilmu ushul fiqh dan ilmu fiqhadalah
dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Ilmu ushul fiqh dapat diumpamakanseperti
sebuah pabrik yang mengolah data-data dan menghasilkan sebuah produkyaitu
ilmu fiqh1.

Ushul Fiqh merupakan ilmu hukum islam di bidang amaliyah


praktis; bidang kajian usul fiqh merupakan persoalan yang praktis bukan dalam bid
angtauhid/iktiqad, Ushul Fiqh merupakan prosedur yang terukur bagi fuqaha
dalammenjalankan istinbat hukum. Metode yang digunakan fuqaha merupakan
aplikasi satuan dalil tertentu dalam kasus hukum amaliyah dengan nalar deduktif
dannormati

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja pengertian dari taqlid, ittiba dan talfiq ?
2. Apa saja dasar hukum dari taqlid, ittiba dan talfiq ?
3. Apa saja syarat-syarat taqlid ?
4. Bagaimana konsep dan praktik taqlid, ittiba dan talfiq ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa pengertian dari taklid,ittiba dan talfiq.
2. Untuk mengetahui hukum taqlid, ittiba dan talfiq.
3. Untuk mengetahui syarat-syarat taqlid
4. Untuk mengetahui konsep dan praktik taqlid, ittiba dan talfiq

1
Irwansyah Sapputra, Jurnaqfl Syariah Hukum Islam: Perkembangan Ushul Fiqh,Vol. 1,No.1, maret 2018, hlm.
39
BAB II

PEMBAHASAN

A. Taqlid
1. Pengertian Taqlid

Hakekat taqlid menurut ahli bahasa, diambil dari kata-kata “qiladah”(kalung),


yaitu sesuatu yang digantungkan atau dikalungkan seseorangkepada orang lain.
Contoh penggunaannya dalam bahasa Arab, yaitut “aqlidal-hady”(mengalungi hewan
kurban). Seseorang yang bertaqlid, dengantaqlidnya itu seolah-olah menggantungkan
hukum yang diikutinya dariseorang mujtahid. 2

Taqlid artinya mengikut tanpa alasan, meniru dan menurut tanpa


dalil.Menurut istilah agama yaitu menerima suatu ucapan orang lain
sertamemperpegangi tentang suatu hukum agama dengan tidak mengetahui
keterangan-keterangan dan alasan-alasannya. Orang yang menerima caratersebut
disebut muqallid.3

2. Hukum – Hukum Taqlid

Mengenai hukum taqlid ini terbagi kepada dua macam, yaitu taqlid yang
diperbolehkan dan taqlid yang dilarang atau haram.4

a. Taqlid yang diperbolehkan atau mubah, yaitu taqlid bagi orang-orang


awam yang belum sampai pada tingkatan sanggup mengkaji dalil dari
hukum-hukum syariat. Sebagaimana yang dikatakan Imam Hasan Al-Bana
mengenai taqlid ini, menurut beliau taqlid adalah sesuatu yang mubah dan
diperbolehkan oleh syariat, namun meski demikian, hal itu tidak berlaku
bagi semua manusia. Akan tetapi hanya dibolehkan bagi setiap muslim
yang belum sampai padatingkatan an-nazhr atau tidak memiliki
kemampuan untuk mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat, yaitu bagi
orang awam yang awam sekali dan yang serupa dengan mereka, yang tidak
memiliki keahlian dalam mengkaji dalil-dalil hukum, atau kemampuan
untuk menyimpulkan hukum dari al-Quran dan Sunnah, serta tidak
mengetahui ijma dan qiyas.

b. Taqlid yang dilarang atau haram, yaitu bagi orang-orang yang sudah
mencapai tingakatanan-nazhr atau yang sanggup mengkajihukum-hukum
syariat. Ada beberapa taqlid yang dilarang ini antaralain :

2
Yusuf Al-Qaradhawi, Bagaimana Berinteraksi Dengan Peninggalan Ulama Salaf ,(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2003), hlm. 87.
3
Nazar Bakry,Fiqh dan Ushul Fiqh, cet. 4, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003),hlm. 61.
4
Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin,Ushul Fiqih II , cet. 2, (Bandung: PustakaSetia, 2001), hlm. 155.
1) Taqlid terhadap orang-orang yang tidak kita ketahui apakah merekaahli
atau tidak tentang suatu hal yang kita ikuti tanpa pamrih.
2) Taqlid terhadap seseorang yang telah memperoleh hujjah dan dalil
bahwa pendapat orang yang kita taqlid itu bertentangan dengan ajaran
Islamatau sekurang-kurangnya dengan al-Quran dan Hadis. Namun,
boleh bertaqlid terhadap suatu pendapat,garis-garis hukum tentang soal-
soal dari seorangmujtahid yang betul-betul mengetahui hukum-hukum
Allah dan Rasul.
3) Taqlid buta, yaitu memahami suatu hal dengan cara mutlaq
danmembabi buta tanpa memperhatikan ajaran al-Quran dan Hadis,
sepertimenaqlid orang tua atau masyarakat walaupun ajaran tersebut
bertentangan dengan ajaran al-Quran dan Hadis. Firman Allah SWT
dalam surah Al-Baqarah ayat 170 :
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah
diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya
mengikuti apa yangtelah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang
kami". "(Apakah merekaakan mengikuti juga), walaupun nenek
moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak
mendapat petunjuk?". (Q.S. Al-Baqarah (2) : 170)

3. Syarat – Syarat Taqlid


Tentang syarat-syarat taqlid bisa dilihat dari dua hal, yaitu syaratorang yang
bertaqlid dan syarat-syarat yang ditaqlidi.
Syarat-syarat itu yaknisebagai berikut :
a. Syarat-syarat orang yang bertaqlid.

Syarat orang yang bertaqlid ialah orang awam atau orang biasayang
tidak mengerti cara-cara mencari hukum syara. Ia boleh mengikuti pendapat
orang lain yang lebih mengerti hukum-hukum syara danmengamalkannya.
Type equation here.Adapun orang yang pandai dan sanggup menggalisendiri
hukum-hukum syara maka ia harus berijtihad sendiri kalau baginya masih
cukup. Namun, kalau waktunya sempit dan dikhawatirkanakan ketinggalan
waktu untuk mengerjakannya yang lain (dalam soal-soal ibadah), maka
menurut suatu pendapat ia boleh mengikuti pendapatorang pandai lainnya.

b. Syarat-syarat yang ditaqlid.

Syarat yang ditaqlidi ada kalanya adalah hukum yang berhubungan


dengan syara. Dalam hukum akal tidak boleh bertaqlid pada orang lain,
seperti mengetahui adanya Dzat yang menciptakan alam sertasifat-sifatnya.
Begitu juga hukum akal lainnya, karena jalan menetapkan hukum-hukum
tersebut ialah akal, dan setiap orang mempunyai akal. 5

B. Ittiba
1. Pengertian Ittiba
Ittiba artinya menurut atau mengikut. Menurut istilah agama yaitu
menerima ucapan atau perkataan orang serta mengetahui alasan-
alasannya(dalil), baik dalil itu al-Quran maupun Hadis yang dapat dijadikan
hujjah. Imam Syafii mengemukakan pendapat bahwa ittiba berarti mengikuti
pendapat-pendapat yang datang dari Nabi Muhammad SAW dan para sahabat
atau yang datang dari tabiin yang mendatangkan kebajikan.

Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh ialah menerima atau


mengikuti perkataan orang lain dengan mengetahui sumber atau alasan
perkataan itu. Orang yang melakukan ittiba disebut muttabi yang jamaknya
disebut muttabiun.

Antara taqlid dengan ittiba mempunyai perbedaan, baik dalam


segisikap maupun perilakunya. Dalam taqlid tidak ada unsur kreativitas
kajian,sedangkan dalam ittiba ada unsur kreativitas, yaitu studi dan pengkajian
terhadap dalil yang menjadi dasar dari sebuah pemikiran hukum. 6

2. Dasar Hukum dan Hukum Ittiba


Bagi orang yang mempunyai kesanggupan untuk mengadakan
penelitian terhadap nash-nash dan mengistinbatkan hukum dari
padanyaadalah tidak layak mengikuti pendapat orang lain tanpa
mengemukakan hujjahnya. Sebab banyak didapatkan nash-nash yang
memerintahkan agar kitaittiba, mengikuti pendapat orang lain dengan
menemukan argumentasi-argumentasi dari pendapat orang yang diikuti dan
mencela taqlid bagi orang-orang yang memiliki syarat untuk ijtihad.

3. Tujuan Ittiba
Dengan adanya ittiba diharapkan agar setiap kaum muslimin, sekalipun ia
orang awam, ia dapat mengamalkan ajaran agama Islam dengan penuh keyakinan
pengertian, tanpa diselimuti keraguan sedikitpun. Suatu ibadah atau amal jika
dilakukan dengan penuh keyakinan akan menimbulkan keikhlasan dan
kekhusukan. Keikhlasan dan kekhusukan merupakan syarat sahnya suatu ibadah
atau amal yang dikerjakan.

5
Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin,Ushul Fiqih II ,..., hlm. 156.
6
Dede Rosyada, Metode Kajian Hukum Dewan Hisbah Persis, (Jakarta: Logos, 1999),hlm. 25
C. Talfiq
1. Pengertian Talfiq
Talfiq menurut arti harfiahnya adalah tambal sulam. Ia diumpamakan
seperti tindakan manambal sulam potongan-potongan kain untuk dijadikan
sepotong baju yang utuh, atau seperti kita mengumpulkan beragam hal dari
berbagai tempat dan kemudian disusun untuk dijadikan sesuatu bentuk
yangutuh. Sedangkan talfiq menurut istilah ialah mengambil pendapat dari
seorang mujtahid kemudian mengambil lagi dari seorang mujtahid lain, baik
dalam masalah yang sama maupun dalam masalah yang berbeda. Dengan kata
lain talfiq itu adalah memilih pendapat dari berbagai pendapat yang berbeda
dari kalangan ahli fiqh. 7Atau definisi lainnya yaitu menyelesaikan suatu
masalah(hukum) menurut hukum yang terdiri atas kumpulan (gabungan) dua
mazhab atau lebih. 8

Apabila dihubungkan dengan mazhab-mazhab tertentu, maka


seseorang bisa memakai pendapat sesuatu mazhab dalam sesuatu
persoalan,dan bisa pula memakai mazhab lainnya dalam persoalan yang lain
lagi,dengan syarat tidak ada hubungan antara kedua persoalan tersebut dan
tidak bermaksud mencari-cari yang mudah-mudah saja. Pengambilan dari
berbagai- bagai mazhab dalam berbagai-bagai persoalan sebagaimana telah
dikatakan diatas, adalah boleh. Tetapi mengenai satu persoalan saja, apakah
bagian- bagiannya bisa diambil dari berbagai-bagai mazhab, sehingga
pendapat dalam satu persoalan merupakan gabungan dari berbagai-bagai
mazhab, dan inilahyang disebut dengan talfiq, dalam hal ini ada beberapa
pendapat.9

2. Hukum Talfiq
Fuqaha dan Ahli Ushul mengenai hukum talfiq ini, yakni boleh
atautidaknya seseorang berindah mazhab, baik secara keseluruhan
maupunsebagian mereka terbagi kepada tiga pendapat10.Pendapat tersebut adalah
sebagai berikut :

Pendapat pertama, mengatakan bila seseorang telah memiliki(memilih)


salah satu mazhab, maka ia harus tetap pada mazhab yang telahdipilihnya itu. Ia
tidak dibenarkan pindah kepada mazhab yang lain, baiksecara keseluruhan
maupun sebagian.

Keadaan orang itu sama dengan seorang mujtahid manakala sudahmemilih


salah satu dalil maka ia harus tetap beregang pada dalil itu. Sebabdalil yang
dipiihnya itu adalah dalil yang dipandangnya kuat, sebaliknya dalilyang tidak

7
M Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, cet 4, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002),hlm. 89.
8
Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin,Ushul Fiqih II ,..., hlm. 164
9
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, cet. 7, (Jakarta: PT BulanBintang, 1995), hlm. 177.
10
Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin,Ushul Fiqih II ,.., hlm. 165.
dipilihnya adalah dalil yang dipandangnya lemah. Pertimbanganrasio dalam
kondisi seperti itu menghendaki orang yang bersangkutan untukmengamalkan
dalil yang dipandangnya kuat dan memertahankannya. Atasdasar ini maka talfiq
hukumnya haram. Golongan ini dipelopori oleh sebagiandari ulama Syafiiyah
terutama Imam Al-Quffal Syasyi.

Pendapat kedua, mengatakan bahwa seseorang yang telah memilih salah


satu mazhab boleh berpindah ke mazhab yang lain walaupun untuk mencari
keringanan dengan ketentuan hal itu tidak terjadi dalam satu kasushukum yang
menurut mazhab pertama dan mazhab kedua sama-sama memandang batal (tidak
sah). Atas dasar ini maka talfiq dapat dibenarkan.Pendapat ini dipelopori oleh
Imam Al-Qarafi ulama besar dari Malikiyah.

Pendapat ketiga, berpendirian bahwa seorang yang telah memilihsalah


satu mazhab tidak ada larangan agama terhadap dirinya untuk pindah kemazhab
lain, walaupun di dorong untuk mencari keringanan. Ia dibenarkan mengambil
pendapat dari tiap-tiap mazhab yang dipandangnya mudah dan gampang, dengan
alasan Rasulullah sendiri kalau disuruh memilih antara dua perkara beliau
memilih yang paling mudah selama hal itu tidak membawadosa. Di dalam salah
satu hadisnya juga dikatakan bahwa, beliau senang mempermudah urusan
umatnya, juga ada hadits yang mengatakan bahwa agama itu mudah.

Maka menurut pendapat ini dengan berdasarkan alasan di atas


talfiqhukumnya mubah (boleh). Golongan ini dipelopori oleh Imam Al-Kamal
Humam dari ulama Hanafiah, beliau berkata, “Tidak boleh kita halangi seseorang
mengikuti yang mudah-mudah, karena seseorang boleh mengambil mana saja
yang enteng apabila ia memperoleh jalan untuk itu”

Menurut M. Ali Hasan dari segi kemaslahatannya, talfiqdiperbolehkan


sebagaimana pendapat Al-Kamal Humam di atas, dengan beberapa alasan yaitu :
a. Tidak ada nash yang mewajibkan seseorang harus terikat kepadasalah satu
mazhab.

b. Mewajibkan seseorang terikat kepada salah satu mazhab berarti


akanmempersulit umat. Hal ini bertentangan dengan prinsip hukum
Islamyang menyatakan ada kemudahan dan kemaslahatan.

c. Pendapat yang membenarkan harus bermazhab adalah dari paraulama


mutaakhirin setelah mereka dijangkiti penyakit fanatikmazhab11.

11
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab,..., hlm. 91.

5
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pengertian taqlid, ittiba’ dan talfiq di atas maka dapat di simpulkan
bahwa yang di maksud taqlid adalah menerima perkataan orang lain yg berkata,
sedangkan si penerima tersebut tidak mengetahui alasan perkataannya.

 Ittiba’ adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau


mujtahid, dengan mengetahui alasannya, serta tidak terikat pada salah satu
madzhab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang di anggap
lebih kuat dengan jalan membanding.
 Talfiq adalah mengamalkan suatu hukum yang terdiri dari dua madzhab atau
lebih atau dapat di katakan bahwa talfiq adalah mencampuradukkan hukum
yang di tetapkan oleh suatu madzhab dengan madzhab lain.
 Taqlid adalah mengikuti pendapat seorang mujtahid atau ulama tertentu tanpa
mengetahui sumber dan cara pengambilan pendapat tersebut.

B. Saran
Kita sebagai kaum Muslim sekaligus Mahasiswa sebenarnya sangat penting
bagi kita semua untuk mempelajari ushul fiqh lanjutan selain ini adalah salah satu
mata kuliah yang penting. Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini
masih banyak kesalahan-kesalahan. Oleh karena itu kami mengharapkan pembaca
atau pendengar dapat menyampaikan kritik dan juga sarannya terhadap penulisan
makalah kami ini.

i
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaradhawi, Yusuf. 2003. Bagaimana Berinteraksi Dengan PeninggalanUlama Salaf .


Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Arifin, Miftahul dan Haq, Ahmad Faisal. 1997.Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum
Islam.Surabaya: Citra Media.

Bakry, Nazar. 2003. Fiqh dan Ushul Fiqh, cet. 4. Jakarta: PT RajaGrafindoPersada.

Hanafi, Ahmad. 1995.Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, cet. 7. Jakarta: PTBulan Bintang.

Hasan, M Ali. 2002. Perbandingan Mazhab, cet 4. Jakarta: PT RajaGrafindoPersada.

Koto, Alaiddin. 2011. Ilmu Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PTRajaGrafindo.

Munadi. 2017. Pengantar Ushul Fiqh. Lhokseumawe: Unimal Press.Rosyada,

Dede. 1999. Metode Kajian Hukum Dewan Hisbah Persis. Jakarta:Logos.

Saputra, Irwansyah. 2018. Jurnal Syariah Hukum Islam: Perkembangan Ushul Fiqh. Vol. 1.
No. 1

.Umam, Khairul dan Aminudin, A. Achyar. 2001.Ushul Fiqih II , cet. 2. Bandung:Pustaka


Setia.

Anda mungkin juga menyukai