Anda di halaman 1dari 17

MAHKUM ALAIH

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh I
Dosen pengampu: Dra. Siti Muhtamiroh, M. S. I.

DISUSUN OLEH:

Ahmad Hikam (33010220054)


Milla Khumayla Quintana (33010220057)
Siti Nursanti (33010220062)

HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SALATIGA
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT., atas segala rahmat dan
karunia Nya, makalah yang berjudul Pembahasan Tentang Mahkum Alaih ini
dapat diselesaikan. Shalawat serta salam tak lupa kami panjatkan kepada
junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW., beserta para keluarga, sahabat dan
para umatnya.

Pembuatan makalah ini disusun untuk menambah pengetahuan mahasiswa


dan mahasiswi dalam menerima mata kuliah Ushul Fiqh dan bagaimana cara
mempelajari materi lebih dalam. Penulis telah berupaya menyajikan makalah
dengan sebaik-baiknya, meskipun tidak komperhensif.

Di samping itu, apabila dalam makalah ini terdapat kesalahan dan


kekurangan, baik dalam pengetikan maupun isinya, maka penulis dengan senang
hati menerima saran dan kritik dari para pembaca guna penyempurnaan penulisan
makalah berikutnya. Semoga apa yang disajikan dalam makalah ini dapat
bermanfaat dan menambah wawasan bagi para pembaca. Amin Ya Robbal
‘Alamin.

Salatiga, 01 Maret 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................. i

DAFTAR ISI............................................................................................................................ ii

BAB I ........................................................................................................................................ 1

PEMDAHULUAN....................................................................................................................1

A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 1
C. Tujuan Masalah ..................................................................................................... 1

BAB II ....................................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN ...................................................................................................................... 2

A. Pengertian Mahkum Alaih ..................................................................................... 2


B. Pengertian Taklif dan Syarat-Syarat Taktif ........................................................ 3
C. Pengertian Ahliyyah ............................................................................................... 5
D. Macam-Macam Ahliyyah ...................................................................................... 6
1. Ahliyyah Al-Wujub (Kecakapan Hukum) ............................................... 6
2. Ahliyyah al-Ada’ (Kecakapan Bertindak Hukum) ................................. 8
E. Halangan Yang Menghalangi Ahliyyah ............................................................... 8
1. Al ‘Awaridh Al-Samawiyyah .....................................................................9
2. Al ‘Awaridh Al-Muktasabah ..................................................................... 9

BAB III ................................................................................................................................... 10

PENUTUP.............................................................................................................................. 10

A. Kesimpulan .......................................................................................................... 10
B. Saran ..................................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Allah SWT. Mewajibkan kepada hambanya untuk mengabdi dan selalu taat,
menjalankan segala perintah dan menjauhi larangannya. Syariat yang Allah wajibkan
kepada hambanya adalah segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rasulullah.
Kewajiban itu tidak bisa ditawar-tawar meskipun terasa pahit ataupun berat. Namun
untuk memahami apa yang telah diwajibkan manusia, syaratnya adalah apabila sudah
menjadi muakllaf agar tidak menjadi hamba yang ingkar kepada Allah SWT.
Tokoh pemegang peranan penting dalam kehidupan yaitu manusia, sehingga
apapum yang diperbuat kan dipertanggungjawabannya. Dapat dilihat dalam adanya
peristiwa membayar hutang, akad jual beli, menunaikan ibadah haji. Manusia yang
menjakankan peristiwa ini (mahkum alaih) ditetapkan sah apabila syarat yang ada telah
terpenuhi. Seseorang yang memiliki kecakapan dalam hukum dikatakan sebagai
mukallaf. Sebagaimana dalam makalah ini penulis akan memaparkan pembahasan
tentang mahkum alaih. Hal itu karena ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, maka
dapat menjadikan manusia sebagai mukallaf atau seorang yang sudah dikatakan cakap
dikenai hukum, sehingga apa yang dilakukan dan diucapkan sudah sah, sempurna.
Layak atau ahliyyah secara hukum

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan mahkum alaih?
2. Apa yang dimaksud taklif dan syarat-syarat taklif?
3. Apa pengertian ahliyyah?
4. Apa saja macam-macam ahliyyah?
5. Apa saja halangan ahliyyah?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian mahkum alaih.
2. Untuk mengetahui pengertian taklif dan syarat-syarat taklif.
3. Untuk mengetahui pengertian dari ahliyyah.
4. Untuk mengetahui macam-macam ahliyyah.
5. Untuk mengetahui halangan ahliyyah.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Mahkum Alaih


Yang dimaksud mahkum ‘alaihi ialah mukallaf yang menjadi objek tuntutan
hukum syara’. Maka disyaratkan bagi seorang mukallaf yang dikenai hukum tersebut:
1. Seorang mukallaf mampu memahami dalil taklif.
2. Seorang mukallaf itu dapat menanggung beban atau ahliyah terhadap taklif
perkara yang dituntutkan padanya.

Orang yang menetapkan hukum disebut hakim, lalu yang dijadikan objek
hukum syara’ itu adalah mukallaf atau mahkum ‘alaih dan perbuatan mukallaf yang
berhubungan dengan hukum disebut mahkum fih.1

Secara etimologi mahkum ‘alaihi berarti subjek hukum, yaitu seseorang yang
dikenai khitab atau seseorang yang dibebani hukum (mukallaf). Pengertian secara
istilah adalah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat dan segala tingkah
lakunya diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah itu.2

Dengan kata lain, mukallaf adalah orang yang dianggap mampu bertindak
secara hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah SWT. Maupun dengn
larangannya. Semua Tindakan hukum yang dilakukan mukallaf akan dimintai
pertanggung jawabannya, baik di dunia maupun di akhirat. Jelasnya, pengertian dari
mahkum ‘alaih secara istilah adalah orang yang dianggap telah mampu bertindak
hukum layak mendapatkan beban hukum (taklif), baik yang berhubungan perintah
Allah maupun larangan-Nya.3

B. Pengertian Taklif dan Syarat-Syarat Taklif


1. Pengertian Taklif
Seorang manusia belum dikenakan taklif (pembebanan hukum) sebelum ia
cakap untuk bertindak hukum. Untuk itu, para ulama ushul fiqh, mengemukakan bahwa

1
Dr.Hj.Darmawati H.,S.Ag.,M.H.I., Ushul Fiqh, Jakarta: Prenadamedia Group, 2019, hal 123
2
Dr. Ali Sodiqin, Fiqh dan Ushul Fiqh, Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di Indonesia,
Yogyakarta: Penerbit Beranda Publishing, 2012, hal 140
3
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami,Juz 1,cat.ke-16, Damaskus: Dar al-Fikr, 2009 M/1430
H, hal 159

2
dasar pembebanan hukum tersebut adalah akal dan pemahaman. Maksudnya, seseorang
baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif
yang ditunjukan kepadanya. Dengan demikian, orang yang tidak atau belum berakal,
seperti orang gila dan anak kecil tidak dikenai taklif. Karena mereka tidak atau belum
berakal, maka mereka dianggap tidak bisa memahami taklif dari syara. Termasuk ke
dalam hal ini adalah orang yang dalam keadaan tidur, mabuk, dan lupa. Orang sedang
tidur, mabuk, dan lupa, tidak dikenai taklif karena ia dalam keadaan tidak sadar (hilang
akal). Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah Saw:

‫ص تح تحَ عنا نجَ تحَ َى يَ َفَيق‬ ‫ث ع ن تح تسَ َي عنال‬


: ‫رَف ا َلقل َن‬
‫َب َ َل َم َل َم َو‬ ‫النََا َء َ َقظ و‬ ‫َم ح ث ع‬
‫ن‬ ‫و‬ َ ‫ي‬ َ ‫َم‬
‫َ ى‬ ‫ى‬
“Diangkatkan pembebanan hukum dari tiga (jenis orang): orang tidur sampai ia
bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh.”

(H.R. al-Bukhari, Abu Daud, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, Ibn Majah dan al- Daruquthni
dari ‘Aisyah dan ‘Ali ibn Abi Thalib)

Dalam hadist lain dikatakan:

‫عنا َاول سَاي ن ما تسَ َكَرهَ َاولَ َم‬ ََ ‫ر َف َع‬


‫َلخ َن’ ط و ا‬ ‫م‬
‫َا‬ ‫َتي‬

“Umatku tidak dibebani hukum apabila mereka terlupa, tersalah, dan dalam keadaan
terpaksa. (H.R. Ibn Majah dan al-Thabrani). 4”

2. Syarat-syarat Taklif
Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa perbuatan seseorang baru
bisa dikenai taklif apabila orang tersebut telah memenuhi dua syarat, yaitu: 5
1. Orang itu telah mampu memahami khithab Syari (tuntutan syara) yang
terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah, baik secara langsung maupun
melalui orang lain. Karena seseorang yang melakukan suatu pekerjaan, disuruh
atau dilarang, tergantung pada pemahamannya terhadap suruhan dan dilarang
yang menjadi khithab Syari. Dengan demikian orang yang tidak mempunyai
kemampuan untuk memahami khithab Syari tidak mungkin untuk
melaksanakan suatu taklif.

3
4
Drs. H. Nasrun Haroen, M. A., Ushul Fiqh, Ciputat: Logos Publishing House, 1996, hal 305
5
Ibn al-Hajib, Mukhtashar…, hal. 46; al-Amidi, al-ihkam, hal. 137; al-syaukani, hal.11; dan al-
Sarakhsi, Jilid II, hal. 340

4
Kemampuan untuk memahami taklif tersebut hanya bisa dicapai melalui
akal manusia, karena akal yang bisa mengetahui taklif itu harus dilaksanakan
atau ditinggalkan. Akan tetapi, karena akal adalah sesuatu yang abstrak dan
sulit diukur, serta berbeda antara seseorang dengan lainnya, maka syara
menentukan seseorang telah berakal atau belum. Indikasi konkret itu adalah
balighnya seseorang. Penentu seseorang telah baligh itu ditandai dengan
keluarnya haid pertama kali bagi wanita dan keluarnya mani bagi pria melalui
mimpi yang pertama kali.
Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat Al-Nur, 24: 59:
‫ذ‬ ‫ت‬ ِ ِ ‫أ ِأ‬
‫تأذن ٱ من ق أبلِ ِهأم‬ ‫ِما‬ ِ ‫لِأ‬ ‫ِإ اذبل ٱ ِل ط م‬
‫و‬ ‫ن‬ ِ ‫ذ‬ ‫أ‬ ِ‫ل‬
‫لن‬
ِ‫ِ ي‬ ‫ٱس ك‬ ‫ِ ِِ ِ ٱ ك ف ل ي‬ ‫و‬
ِ ِ ‫ل‬ ‫ف‬
‫ا‬ ‫ِس م‬ ‫من غ‬

“Apabila anakmu sampai umur baligh, maka hendaklah mereka minta izin,
seperti orang-orang yang sebelum mereka minta izin…”
Implikasi dari syarat pertama ini adalah, anak kecil, orang gila, orang
lupa, orang terpaksa,orang tidur, dan orang tersalah, tidak dikenakan taklif,
karena dalam keadaan atau status mereka masing-masing tidak atau belum
mampu memahami dalil syara.
Dalam syarat pertama ini, muncul pertanyaan, bukankah dalam
beberapa hal, anak kecil dan orang gila dikenakan kewajiban-kewajiban, seperti
membayar zakat dari hartanya? Untuk menghindari kesalahpahaman dalam hal
ini, Imam al-Ghazali, al-Amidi dan Imam al-Syaukani menjelaskan bahwa anak
kecil dan orang gila memang dikenakan kewajiban membayar zakat, baik zakat
mal maupun zakat fitrah, nafkah diri mereka dan ganti rugi akibat perbuatan
mereka merusak atau menghilangkan harta orang lain. Untuk memenuhi
keperluan itu dikeluarkan dari harta mereka sendiri. Akan tetapi, kewajiban itu
tidak berkaitan dengan perbuatan anak kecil dan orang gila tersebut, tetapi
terkait dengan harta. Karenanya menurut ketiga tokoh ushul fiqh itu, dalam
kasus tersebut yang bertindak membayarkan kewajiban zakat pada harta
mereka, mengambilkan nafkah untuk diri mereka sendiri dan ganti rugi yang
disebabkan kelalaian mereka, adalah wali mereka masing-masing. Seluruh
pengeluaran itu diambilkan wali dari harta mereka. Dengan demikian, seluruh
kewajiban berkaitan dengan harta anak kecil dan orang gila tersebut, bukan

5
dengan diri mereka.

6
2. Seseorang harus cakap bertindak hukum, yang dalam ushul fiqh disebut dengan
ahliyyah. Artinya, apabila seseorang belum atau tidak cakap bertindak hukum,
maka seluruh perbuatan yang ia lakukan belum atau tidak bisa
dipertanggungjawabkan. Oleh sebab itu, anak kecil yang belum baligh, belum
cakap bertindak hukum dan tidak dikenakan tuntutan syara. Orang gila juga
tidak dibebani hukum karena kecakapan bertindak hukumnya hilang. Demikian
juga orang pailit dan orang yang berada di bawah pengampuan, dalam masalah
harta, dianggap tidak cakap bertindak hukum, karena kecakapan bertindak
hukum mereka dalam masalah harta dianggap hilang.

C. Pengertian Ahliyyah
Secara harfiyah, ahliyyah berarti kecakapan menangani suatu urusan. Misalnya
seseorang dikatakan ahli untuk menduduki suatu jabatan atau posisi berarti ia
mempunyai kemampuan pribadi untuk itu. Adapun pengertian ahliyyah secara
terminologi, menurut para ahli ushul fiqh antara lain sebagai berikut: 6

‫صفة يقد رها الشا رع فى الشخس تجعله محال صا لحا لحا لخطا تشريعي‬

Artinya: “ suatu sifat yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syar’i
untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’ “.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa ahliyyah adalah sifat yang
menunjukkan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh
tindakannya dapat dinilai oleh syara’. Orang yang telah mempunyai sifat tersebut
dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat
manerima hak dari orang lain. Dengan demikian, jual belinya, hibahnya dan lain-lain
dianggap sah. Ia juga telah mampu untuk menerima tanggung jawab, seperti nikah,
nafkah dan saksi.
Kemampuan untuk bertindak hukum tidak datang kepada seseorang secara
sekaligus, tetapi melaui tahapan-tahapan tertentu sesuai dengan perkembangan jasmani
dan akalnya.7 Tidak heran kalua Sebagian ulama ushul fiqh berpendapat bahwa dasar
pembebanan hukum bagi seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman. Sesuatu yang
timbul dari dirinya sendiri maupun dari luar dirinya, menyebabkan keadaan tertentu
tidak dapat melaksanakan perbuatan hukum.

6
Nasrun Haroen, op. cit., hal. 308
7
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm. 340

7
Dengan demikian, ,maka kita dapat mengetahui bahwa yang bisa dibebani
pertanggung jawaban pinda hanya manusia yang berakal sehat, dewasa dan atas
kemauan sendiri. Kalau tidak demikian, maka tidak ada pertanggung jawaban padanya,
karena orang yang tidak berakal pikiran sehat bukanlah orang yang yang mengetahui
dan bukanlah orang yang menpunyai pilihan.
D. Macam-macam Ahliyyah
1. Ahliyyah Al-Wujub (Kecakapan Hukum)
Ahliyyah al-wujub adalah sifat dan kecakapan seseorang untuk menerima hak-
hak yang menjadi haknya tetapi belum mampu untuk dibebani seluruh kewajiban.
Kecakapan ini berlaku bagi setiap manusia dilihat dari segi ia adalah manusia, semenjak
dilahirkan sampai menghembuskan nafas terakhir dalam segala sifat, kondisi, dan
keadaanya.8 Misalnya, seseorang berhak menerima hibbah. Tetapi jika ada orang yang
merusak harta bendanya maka dia berhak menerima ganti rugi juga dianggap mampu
menerima harta waris dari keluarganya. Tetapi, belum dibebani kewajiban syara’
seperti shalat, puasa, haji, dan lain-lain. Walaupun melakukan amalan-amalan tersebut
tapi statusnya hanya sekedar pendidikan bukan kewajiban.
Ukuran yang digunakan dalam menentukan ahliyyah al-wujub adalah sifat
kemanusiaanya yang tidak dibatasi oleh umur. Sebab dengan keadaan bahwa ia adalah
manusia, baik laki-laki maupun perempuan, berupa janin, anak-anak, mumayyiz,
baligh, pandai atau bodoh, berakal atau gila, sehat maupun sakit sudah disebut dengan
ahliyyah al-wujub. Sebab itu juga tidak ada manusia yang tidak mamiliki ahliyyah al-
wujub, karena wujub adalah sifat kemanusiaannya yang tidak dibatasi umur, baligh,
kecerdasan, dan lain-lain. Sifat kemanusiaan dimiliki manusia sejak dilahirkan sampai
hilang jika seseorang tersebut meninggal dunia. Berdasarkan ahliyyah wujub, anak
yang baru lahir berhak menerima warisan dan wasiat, tetapi karena anak tersebut
dianggap belum mampu menunaikan kewajibannya, maka hartanya tidak dikelola
sendiri dan harus dikelola oleh wali atau washi (orang yang diberi wasiat memelihara
hartanya).
Ahliyyah al-wujub dibagi menjadi 2, yaitu:

a) Ahliyyah al-Wujub al-Naqishah (kecakapan hukum secara lemah)

8
Muhammad Mustofa az-Zuhaili, al-Wajiz fi Ushul al-Islami, ( Damaskus: Daar al-Khair, 2006), hlm. 492

8
Yaitu kecakapan seorang manusia untuk menerima hak tetapi tidak
menerima kewajiban, atau kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tetapi
pantas penerima hak. Sifat lemah kecakapan al wujub naqish dikarenakan
hanya ada satu diantara dua kecakapan yang harus ada pada diri manusia.9
Contoh kecakapan menerima hak, tapi tidak untuk menerima kewajiban
yaitu bayi dalam kandungan ibunya (janin). Terdapat 4 hak yang harus
diterimanya tetapi belum dapat menjadi miliknya sebelum bayi lahir, yaitu:
a.) hak keturunan dari ayahnya; b.) hak warisan dan pewarisan; c.) wasiat
yang ditujukan kepadanya; dan d.) harta wakaf yang ditujukan kepadanya.
Realisasi hak itu terjadi setelah bayi lahir dalam keadaan hidup. Sedangkan
ketika bayi masih dalam kandungan tidak dibebani apa-apa, karena secara
jelas ia belum bernama manusia. 10
Contoh kecakapan untuk dikenai kewajiban tapi tidak cakap menrima
hak adalah orang meninggal tapi masih meninggalkan hutang. Hak hanyalah
untuk manusia yang hidup, sehingga jika seseorang sudah meninggal maka
dia tidak akan mendapatkan hak apa-apa lagi. Misal lagi seperti sholat, itu
merupakan kewajiban pribadi yang masih tertinggal tetapi sudah menjadi
gugur karena shalat tidak dapat digantikan oleh orang lain.
b) Ahliyyah al-Wujub al-Kamilah ( kecakapan hukum secara sempurna)
Yaitu kecakapan seseorang untuk dikenai kewajiban dan menerima hak.
Kecakapan ini dimiliki sejak seseorang dilahirkan, sejak usia anak-anak,
mumayyiz, samapi sudah usia baligh (dewasa), dalam keadaan dan kondisi
bagaimanapun.Contoh: Seorang anak yang baru lahir berhak menerima
warisan dari orang tuanya dan juga dikenai kewajiban membayar zakat
fitrah yang dilaksanakan oleh orang tuanya. Juga pada orang yang sakaratul
maut ( di ujung kematian), ia masih berhak menerima warisan dari orang
tua juga dibebani kewajiban zakat atas hartanya yang telah memenuhi syarat
untuk dizakatkan.

2. Ahliyyah Al-Ada’ ( Kecakapan Bertindak Hukum)

9
Muhammad Mustofa az-Zuhaili, al-Wajiz Fi Ushul al-Islami, hlm. 493
10
Moh. Bahrudin, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandar Lamoung: CV. Anugrah Utama Rahaja, 2019), hlm. 121

9
Ahliyyah al-ada’ adalah kepantasan seseorang untuk dimintai
pertanggungjawaban secara hukum. Pada semua perbuatannya, yang baik atau buruk,
dalam bidang ibadah atau muamalah, semua perbuatanya menimbulkan akibat hukum,
baik yang menguntungkan ataupun merugikan.11 Kecakapan untuk berbuat hukum
dibatasi oleh syarat-syarat tertentu. Yang menjadi tolak ukur dalam menentukan
ahliyyah al-ada’ adalah seseorang yang baligh, berakal, dan cerdas, maka ia dinyatakan
cakap untuk melaksanakan hukum (mukallaf).12
Kecakapan berbuat hukum (ahliyyah al-ada’ terdiri dari tiga keadaan, yaitu:
a) Adim al-Ahliyyah (tidak memiliki kecakapan sama sekali)
Yaitu manusia semenjak lahir sampai umur tamyiz sekitar umur 7 tahun
dan orang gila dalam usia berapapun. Masing-masing keduanya karena
keadaanya, jika si anak belum cukup berakal sedangkan orang gila tidak
mempunyai akal.
b) Al-Ada’ Naqishah ( kecakapan hukum tetapi tidak sempurna)
Yaitu orang yang telah mencapai umur tamyiz (kira-kira 7 tahun) sampai
batas dewasa. Dikatakan lemah atau belum sempurna dalam melakukan
kecakapan hukum karena akalnya masih lemah atau belum sempurna.
c) Al-Ada’ Kamilah ( kecakapan hukum secara sempurna)
Yaitu seseorang yang telah mencapai usia dewasa, orang yang telah akil
baligh. Seseorang dikatakan cakap hukum secara sempurna apabila ia terlah
mencapai usia dewasa dari segi usia dan tidak ditemukan cacat atau kurang
dari segi akalnya barulah seseorang tersebut dapat disebut sebagai
mukallaf.
E. Halangan Ahliyyah
Faktor-faktor penghalang dalam bertindak cakap secara hukum disebut dengan
istilah ‘awaridh al-ahliyyah atau penghalang taklif. Faktor penghalang tersebut dibagi
menjadi 2 bagian, yaitu:

1. Al-‘Awaridh al-Samawiyyah

Yaitu halangan kecakapan bertindak secara hukum yang timbul dari luar diri
seseorang yang bukan dari kehendak perbuatannya. Yang termasuk penghalang al-

11
Abdul Karim ibn Ali ibn Muhammad an-Namlah, as-Syamil, fi Hudud wa Ta’rifat Mushthalahat Ilm
Ushul Fiqh, (Riyad: Maktabah ar-Rusyd, 2009), hlm. 209
12
Rochmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 339

10
samawiyyah yaitu: a.) al-junn (gila), b.) al-‘atah (dungu/idiot), c.) an-nisyan ( lupa), d.)
an-naum (tidur), e.) al-ighma (pingsan), f.) al-maradh (sakit), g.) haid dan nifas, h.) al-
maut (mati).13 Jadi, faktor penghalang tersebut ada dengan sendirinya, bukan akibat
dari perbuatan manusia. Manusia tidak dapat menghindari atau mencegahnya karena
bukan kemauan dari diri manusia sendiri.

2. Al-‘Awaridh al-Muktasabah

Yaitu halangan bertindak cakap secara hukum yang timbul dari diri seseorang,
baik karena akibat perbuatannya, ataupun karena adanya kehendak dalam diri sendiri
sehingga membuatnya terhalang. Yang termasuk penghalang tersebut, yaitu: a.) as-sakr
(mabuk), b.) al-haz ( bergurai/main-main), c.) as-saffah (bodoh), d.) as-safar
(perjalanan), e.) al-khatha (kekeliruan), f.) al-ikrah (paksaan). 14

13
Syaikh Muhammad al-Khudahari Biek, Ushul Fiqih, Ter, Fai zel Mutaqien, (Jakarta: Pustaka
Amani, 2007), hlm. 190
14
Syaikh Muhammad al-Khudahari Biek, Ushul Fiqih, hlm. 198

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara etimologi mahkum ‘alaihi berarti subjek hukum, yaitu seseorang yang
dikenai khitab atau seseorang yang dibebani hukum (mukallaf). Pengertian secara
istilah adalah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat dan segala tingkah
lakunya diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah itu. Sedangkan taklif adalah orang
yang dibebankan atau sudah layak mendapatkan beban hukum. Para ulama ushul fiqh
sepakat menyatakan bahwa perbuatan seseorang baru bisa dikenai taklif apabila orang
tersebut: 1.) Orang itu telah mampu memahami khithab Syari (tuntutan syara) yang
terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang
lain, 2.) Seseorang harus cakap bertindak hukum, yang dalam ushul fiqh disebut dengan
ahliyyah. Artinya, apabila seseorang belum atau tidak cakap bertindak hukum, maka
seluruh perbuatan yang ia lakukan belum atau tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Ahliyyah adalah sifat yang menunjukkan bahwa seseorang telah sempurna
jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’. Orang
yang telah mempunyai sifat tersebut dianggap telah sah melakukan suatu tindakan
hukum, Ahliyyah dibagi menjadi 2, yaitu ahliyyah al-wujub (kecakapan hukum) dan
ahliyyah al-ada’ (kecakapan bertindak hukum). Ahliyyah al-wujub dibagi menjadi 2,
yaitu ahliyyah al-Wujub al-Naqishah (kecakapan hukum secara lemah) dan Ahliyyah
al-Wujub al-Kamilah ( kecakapan hukum secara sempurna). Sedangkan Ahliyyah al-
Ada’ dibagi menjadi, yaitu: Adim al-Ahliyyah (tidak memiliki kecakapan sama sekali)
Yaitu manusia semenjak lahir sampai umur tamyiz sekitar umur 7 tahun dan
orang gila dalam usia berapapun. Masing-masing keduanya karena keadaanya, jika si
anak belum cukup berakal sedangkan orang gila tidak mempunyai akal.
a) Al-Ada’ Naqishah ( kecakapan hukum tetapi tidak sempurna)
Yaitu orang yang telah mencapai umur tamyiz (kira-kira 7 tahun) sampai batas
dewasa. Dikatakan lemah atau belum sempurna dalam melakukan kecakapan
hukum karena akalnya masih lemah atau belum sempurna.
b) Al-Ada’ Kamilah ( kecakapan hukum secara sempurna) Yaitu seseorang
yang telah mencapai usia dewasa, orang yang telah akil baligh. Seseorang
dikatakan cakap hukum secara sempurna apabila ia terlah mencapai usia dewasa

12
dari segi usia dan tidak ditemukan cacat atau kurang dari segi akalnya barulah
seseorang tersebut dapat disebut sebagai mukallaf.
Terdapat aktor-faktor penghalang dalam bertindak cakap secara hukum disebut
dengan istilah ‘awaridh al-ahliyyah atau penghalang taklif. Faktor penghalang tersebut
dibagi menjadi 2 bagian, yaitu: Yang pertama Al-‘Awaridh al-Samawiyyah, yaitu
halangan kecakapan bertindak secara hukum yang timbul dari luar diri seseorang yang
bukan dari kehendak perbuatannya. Sedangkan yang kedua Al-‘Awaridh al-
Muktasabah, yaitu halangan bertindak cakap secara hukum yang timbul dari diri
seseorang, baik karena akibat perbuatannya, ataupun karena adanya kehendak dalam
diri sendiri sehingga membuatnya terhalang.

B. Saran
Dengan adanya makalah ini kami sebagai penyusun berharap agar pembaca
makalah ini dapat mengetahui dan memahami tentang pengertian mahkum alaih,
pengertian taklif dan syarat-syarat taklif pengertian ahliyyah, macam-macam ahliyyah,
dan apapun yang menghalangi ahliyyah. Kami selaku penyusun makalah menyadari
bahwa makalah yang kami buat masih banyak sekali kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Kami berharap dan dengan senang hati apabila para pembaca dapat
memberikan kritik dan saran yang membangun guna untuk memperbaiki makalah kami
ini agar dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi dan terntunya agar lebih mudah
untuk digunakan dalam bahan belajar selanjutnya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Mukhtar, Yahya, 1986. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami. Bandung: PT.

Alma’arif.

Haroen, Nasrun, 1996. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Logos Publishing House.

Syarifuddin, Amir, 1997. Ushul Fiqh Jilid 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Moh, Bahrudin, 2019. Ilmu Ushul Fiqh. Bandar Lampung: CV. Anugrah Raharja.

Mafaid, Ahmad, 2020. Kecakapam Menerima Hak dan Melakukan Perbuatan Hukum dalam

Tinjauan Ushul Fiqh. Vol. 1, No. 1, E-ISSN: 2722-225X.

Taskiyah, Nihayatut, 2021. Cakupan Makna Mahkum Alaih pada Mukallaf dan Badan

Hukum dalam Anatomi Hukum Islam. Vol. 2, No.2. hlm. 287-296.

14

Anda mungkin juga menyukai