Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH AKAD MUAMALAH KLASIK

HAJR

Dosen Pengampu : Shofiyulloh M.H.I.

Disusun Oleh :

1. Alifa Jabal Rahma (2017201193)

2. Amelia Magfiroh (2017201202)

3. Dwi Septianingsih (2017201206)

4. Farrah Rizki Amalia (2017201213)

5. Shyntia Ramadhani (2017201230)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO

TAHUN AJARAN 2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT atas berkat dan karunia-Nya, sehingga makalah ini
dapat diselesaikan. Tidak lupa shalawat serta salam marilah senantiasa kita tujukan kepada Nabi
besar Muhammad SAW sebagai contoh yang paling baik di kehidupan.

Makalah yang berjudul “HAJR” ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akad
Muamalah Klasik. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada bapak Shofiyulloh M.H.I.
selaku dosen mata kuliah Akad Muamalah Klasik yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua
pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan keterbatasan baik
dari segi penulisan maupun isi di dalamnya. Untuk itu kami sangat mengharapkan saran dan
kritik yang dapat membangun dari berbagai pihak. Terutama dari pak dosen yang bersangkutan,
demi pembelajaran untuk pembuatan makalah-makalah selanjutnya agar lebih baik lagi.

Purwokerto, 20 April 2021

Penyusun

2
DAFTAR PUSTAKA

HALAMAN JUDUL………………………………………….……………………..……………1

KATA PENGANTAR……………………………………………….…………….……………..2

DAFTAR ISI………………………………………………………….…………..……....…...….3

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………….…….…….…….….......4

A. Latar Belakang……………………………………………………...…….…………...….....4

B. Rumusan Masalah……………………………………………………………...............…...5

C. Tujuan Penulisan…………………………………………………………………..…..……5

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………….…...…6

A. Pengertian Hajr……………………………………………………………………..........…6

B. Dasar Hukum Hajr……………………………..,…………………….…………….…...….8

C. Orang-orang yang Terkena Hajr………………………………………………….…….....9

D. Solusi ketika Orang Terkena Hajr…………………………….………………………….10

BAB III PENUTUP…………………………………………………..……………………........12

Kesimpulan………………………………………………………….…………………….…..12

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………...…………………..….13

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam agama Islam banyak ajaran-ajaran yang bisa kita peroleh dan banyak pelajaran berharga di
dalamnya. Salah satunya mengenai akad muamalah dimana akad muamalah merupakan
hubungan ekonomi yang didasarkan pada ajaran-ajaran Islam, yang sumber utamanya yaitu Al-
ur‟an dan Hadits. Selain itu akad muamalah juga terjadi pada masa lampau, lebih dikenal dengan
akad muamalah klasik, dimana pembahasannya memuat kegiatan-kegiatan ekonomi menurut
ajaran Islam, sehingga mampu menjadi alat pedoman bagi umat manusia khususnya umat muslim
sendiri.

Salah satu bidang akad muamalah klasik adalah hajr, setiap dari kita mempunyai harta atau hal-
hal berharga lainnya, oleh karena itu kita menjaganya dengan sebaik mungkin, tidak untuk
berfoya-foya melainkan hanya digunakan untuk kepentingan-kepentingan yang perlu, selain itu
harta tersebut jug bisa kita wariskan kepada anak cucu kita di masa yang akan datang dan
mengeluarkan sebagiannya untuk orang-orang yang membutuhkan di lingkungan sekitar..
Namun, penggunaan harta-harta tersebut pula harus dilakukan sesuai syariat dan pelaku dari
kegiatan ekonomi tersebut.

Pelaku ekonomi harus mengetahui terlebih dahulu apa yang akan dilakukan dengan harta yang di
milikinya dengan pikiran yang benar atau berakal. Jika tidak, maka akan dihukumi hajr, hajr
sendiri memiliki arti pengampunan atau pembebasan, dimana pemilik suatu harta di bebaskan
dari urusan hartanya akibat dari beberapa alasan yang dapat dijatuhi orang tersebut sebagai orang
yang terkena hajr, oleh karena itu hajr sangat penting untuk diperhatikan, dan memilki hubungan
yang erat dengan ajaran Islam, karena sesungguhnya agama Islam selalu mempertimbangkan
setiap permasalahan, salah satunya mengeni hajr dalam bidang akad muamalah klasik.

4
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari hajr ?

2. Apa saja dasar hukum adanya hajr ?

3. Siapa saja orang-orang yang terkena hajr ?

4. Bagaimana solusi ketika orang terkena hajr ?

C. Tujuan Penulisan

1. Dapat memahami pengertian hajr

2. Dapat memahami dasar hukum dalam hajr

3. Dapat mengerti dan memahami orang-orang yang terkena hajr

4. Dapat memahami solusi ketika seseorang terkena hajr.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hajr

Dalam konsep fiqh, al-hajr secara etimologi berarti larangan, penyempitan pembatasan,
mempersempit. Al-hajr (pembekuan) adalah melarang dan mempersempit. Akal dijuluki Al-
Hajru karena pemilik harta membekukan diri dari melakukan hal-hal yang buruk Misalnya kata
hajara „alaihi hajran, artinya seseorang dilarang melakukan tindakan hukum. Dalam al-Qur‟an,
kata al-hajr juga digunakan dalam arti akal, karena dapat menghambat seseorang melakukan
perbuatan yang berakibat buruk.

Secara terminologi, beberapa definisi al-hijr dikemukakan oleh ulama fiqh, akan tetapi definisi
al-hajr secara subtansinya adalah sama. Adapun pengertian yang diberikan para ulama adalah
sebagai berikut :

1. Menurut mazhab Hanafi terdapat dua definisi tentang al-hajr. Definisi yang pertama
mengartikan al-hajr dengan larangan bagi seseorang untuk melaksanakan aqad dan bertindak
secara hukum terhadap hartanya. Jadi jika seseorang yang berstatus di bawah pengampuan
melaksanakan tindakan hukum dalam bentuk perkataan yang barakibat kepada hartanya, seperti
jual beli atau hibah, maka tindakannya yang berakibat itu tidak dapat dilaksanakan serta segala
akibat akad tersebut tidak berlaku, karena akadnya sendiri tidak sah. Sementara definisi yang
kedua al-hajr diartikan dengan larangan khusus yang berkitan dengan pribadi tertentu dalam
tindakan hukum tertentu pula. Dengan demikian, jika orang yang dalam pengampuan melakukan
suatu tindakan hukum yang bersifat ucapan atau pernyataan, transaksi yang dilakukan tidak sah
kecuali bila mendapatkan izin dari walinya. Apabila orang yang dalam status pengampuan
melakukan suatu tindakan yang merugikan harta benda, maka kerugian itu harus diganti dengan
hartanya, jika mempunyai harta maka menjadi tanggung jawab wali yang mengampunya. Tetapi,
hukuman yang bersifat fisik tidak boleh dikenakan kepada orang-orang yang berada dalam
pengampuan itu.
6
2. Mazhab Maliki mengartikan al-hajr sebagai status hukum yang diberikan syara‟ kepada
seseorang, sehingga dia dilarang melakukan tindakan hukum di luar batas kemampuannya atau
melakuakn suatu tindakan peminahan hak milik. Mereka berpendapat bahwa penentuan
seseorang di bawah pangampunan didasarkan kepada ketentuan syara‟. Menurut mereka orang
yang dilarang melakuakn tindakan hukum di luar batas kemampuannya dalah anak kecil, orang
gila, orang dungu, dan lain sebagainya. Mereka semua dilarang melakukan tindakan hukum
seperti jual beli atau melakukan perbuatan pemindahan hak miliknya. Jika mereka melakukan
suatu tindakan hukum, maka akibat tindakan hukum tersebut tidak berlaku denagn sendirinya,
sebagiamana yang berlaku bagi orang yang tidak dalam dalam pengampuan, namun akibat
hukum tindakan mereka harus mendapatkan izin dari wali pengampuannnya.

3. Mazdab Syafi‟i dan Hambali mendefinisikan al-hajr dengan larangan melakukan hukum
terhadap seseorang, baik larangan tindakan hukum dari hakim, seperti larangan bagi seseorang
pedagang untuk menjual barangnya.

4. Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa al-hajr di dalam bahasa berarti membatasi dan menghalangi.
Sedangkan makna al-hajr di dalam syara‟ adalah membatasi manusia dalam mempergunakan
hartanya.

5. Idris Ahmad dalam buku fiqh syafi‟iyah sebagaimana telah dikutip Dr. Hendi Suhendi, al-hajr
secara istilah adalah orang-orang yang terhalang mengendalikan harta bendanya disebabkan oleh
beberapa hal yang terdapat pada dirinya, yang memerlukan pengawasan.

Dari definisi yang telah dikemukakan oleh beberapa ulama di atas, baik ulama mazhab
maupun ulama kontemporer dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan al-hajr adalah
cegahan bagi seseorang untuk mengelola hartanya disebabkan adanya hal-hal tertentu yang
mengharuskan adanya pencegahan.

Al-hajr terbagi menjadi dua bagian, pertama : penghalang untuk menjaga hak orang lain,
seperti penghalang terhadap orang yang bangkrut dari penggunaan hartanya demi menjaga hak
orang-orang yang berpiutang, kedua : penghalang untuk menjaga jiwa seperti penghalangan
terhadap anak kecil (di bawah umur), orang safah (bodoh) dan orang yang mempunyai akal yang
lemah demi kemaslahatan mereka sendiri.

7
Allah SWT mensyariatkan pengampuan terhadap anak kecil, orang gila, orang yang
belum sempurna akalnya dalam rangka menjaga harta mereka dari orang-orang yang suka
menguasai orang lain dengan cara batil, dan menjaga mereka dari memiliki harta sendiri jika
belum pandai membelanjakan harta.

B. Dasar Hukum Hajr

Dasar hukum al-hajr dalam kehidupan umat beragama Islam merupakan sesuatu tindakan tidak
pernah terlepas dari pada peraturan hukum yang berlaku berdasarkan al-Qur‟an, dan hadist.
Adapun dasar hukum transaksi orang-orang di bawah pengampuan menurut hukum Islam
terdapat pada Qs An-Nisa :5 yang artinya :

“Janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta mereka (
yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka
belanja dan pakaian (dari hasil harta mereka itu), dan ucapkan kepada mereka kata kata yang
baik”.

Ayat di atas, mengandung pengertian bahwa sesuatu yang memiliki hak dan kewajiban tidak
dapat dipisahkan oleh unsur kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum (ahliyatul ada‟),
namun dewasa ini yang memiliki hak dan kewajiban bukan terdiri dari manusia saja, tetapi dapat
dimiliki oleh badan hukum tertentu.Manusia pada umumnya memiliki hak sejak dilahirkan dan
berakhir hingga meninggal dunia, yang menjadi persoalan adalah kapankah seseorang itu
memiliki kecakapan untuk melakukan tindakan hukum (ahliyatul ada‟) sebab itu dalam hukum
Islam tidak semua dapat melaksanakan sendiri hak dan kewajiban, yaitu diistilahkan dengan
orang-orang di bawah pengampuan. Ahliyahtul ada‟ adalah sifat kecakapan bertindak hukum
seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh
perbuatannya, baik yang positif maupun negatif. Bila mengerjakan perintah syara‟, maka
mendapat pahala dan jika melaksanakan perbuatan yang dilarang maka berdosa.

Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa yang menjadi ukuran dalam menentukan seseorang
telah memiliki ahliyatul ada‟ ialah baligh, berakal, dan cerdas.30 Dalam ayat selanjutnya Allah
SWT berfirman:

‫وابتلىااليتىمى حتى ارابلغىا الىكاح فان ءاوستم مىهم سشذا فادفعىا اليهم امىلهم‬
Artinya: “Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka mencapai cukup umur untuk menikah.
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka
serahkan kepada mereka harta-hartanya..” (Qs. An-Nisa:6)

8
Ayat tersebut menjelaskan bahwa menyerahkan harta tersebut janganlah tergesa-gesa, ujilah
terlebih dahulu anak itu dengan memperhatikan akhlaknya, apakah telah mempunyai pikiran
yang cerdas dan dapat berbelanja dengan baik.

Dari ketentuan hukum ayat di tersebut, dapat disimpulkan bahwa di dalam ketentuan hukum
Islam terdapat ada golongan yang tidak cakap bertindak hukum yaitu mereka yang diistilahkan
dengan As-suf‟ah.

Ayat yang juga dijadikan dasar hukum al-hajr oleh para ulama fiqh adalah, firman Allah SWT
dalam surat al-Baqarah, 2:282 yang artinya “ Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya
atau lemah (keadaannya) atau dia tidak mampu mengdiktekan, maka hendaklah walinya
mendiktekan dengan jujur..”

Dari ayat di atas, maka seorang yang boros dianggap tidak cakap untuk melakukan tindakan
hukum. Namun ketetapan tentang keadaan tersebut haruslah ditentukan berdasarkan keputusan
hakim yang menanganinya. Hal ini diqiyaskan kepada mereka yang tidak memiliki akal yang
sehat karena dapat merugikan orang lain terutama keluarganya. Sedangkan di ayat yang lain
ditegaskan mengenai tata cara bermuamalah, orang yang tidak sehat akalnya dianggap tidak
cakap melakukan tindakan hukum, walaupun untuk kepentingan dirinya sendiri, dengan demikian
semua urusan diserahkan kepada walinya.

Disamping ayat-ayat di atas, juga disebutkan dalam hadis Rasulullah SAW yang berkaitan
dengan al-hajr yang memiliki arti " Dari Ka‟ab bin Malik: Sesungguhnya Nabi SAW telah
menahan harta Mu‟az dan beliau jual harta itu untuk membayar hutangnya” (HR. Daru-Quthni).

Dalam suatu riwayat juga dijelaskan bahwa, Usman bin Affan pernah di dalam pengampuan
Rasulullah, karena sikap mubazir yang dilakukan oleh Usman. Demikianlah ayat-ayat dan hadits
di atas yang ulama fiqh jadikan sebagai landasan hukum untuk menetapkan status seorang berada
di bawah pengampuan (al-hajr).

C. Orang-orang yang terkena hajr

Adapun orang-orang yang terkena hajr ialah sebagai berikut:

a). Anak kecil, yakni anak kecil yang belum baligh. Ia tidak diperbolehkan mengelola hartanya
sendiri kecuali atas izin kedua orang tuanya, atau orang yang diwasiatinya jika ia anak yatim, di
mana hajr diberlakukan kepadanya hingga ia mencapai usia baligh. Tetapi jika ia terlihat boros,
maka pemberlakuan hajr diteruskan hingga ia berlaku hemat. Jika ia seorang anak yatim yang
diwasiatkan kepada seseorang (untuk menyusuinya), maka hajr diberlakukan kepadanya hingga
ia bersikap dewasa setelah ia mencapai usia baligh. Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa
ayat 6 yang artinya :

9
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin, kemudian jika menurut
pendapat kalian mereku telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada
mereka harta-hartanya.”

b). Safih (maksudnya, orang bodoh yang belum bisa mengatur harta), yaitu orang yang
menghambur-hamburkan hartanya, menggunakannya untuk menuruti kehendak hawa nafsunya
atau cara pengelolaannya tidak baik, karena sedikitnya pengetahuan tentang kemaslahatan
dirinya. Orang yang demikian dikenakan hajr atas permintaan ahli warisnya, kemudian ia
dilarang melakukan tindakan terhadap hartanya, dilarang menghibahkannya atau melakukan
transaksi jual beli hingga ia dewasa atau berakal sehat (cakap dalam bertindak atau di dalam
mengelola hartanya). Jika ia masih melakukan tindakan terhadap hartanya setelah diberlakukan
hajr kepadanya, maka tindakannya dihukumi tidak sah dan tidak boleh dilaksanakan. Adapun jika
tindakannya dilakukan sebelum diberlakukan hajr kepadanya, maka tindakannya itu dihukumi
sah dan boleh dilaksanakan.

c). Orang gila, yakni orang yang akalnya tidak sempurna atau tidak sehat sehingga
pengetahuannya lemah. Orang yang demikian terkena pemberlakuan ketentuan hajr, dan seluruh
tindakarmya dalam pengelolaan hartanya dihukumi tidak sah sarnpai akalnya sehat, berdasarkan
sabda Rasulullah SAW,

“Pena (pencatat amal) diangkat dari tiga orang, yaitu dari orang gila hingga normal (akalnya
sehat), dari orang tidur hingga terjaga (bangun), dan dari anak kecil hingga baligh.”
[Diriwayatkan oleh Ahmad, no, 1330 dan Abu Dawud, no. 4399. Hadits ini digolongkan sebagai
hadits shahih]

d). Orang sakit, yakni orang yang menderita penyakit; di mana penderitanya pada umumnya
meninggal dunia karenanya. Ahli warisnya berhak memberlakukan hajr kepadanya sehingga ia
dilarangmelakukan tindakan melebihi kebutuhannya dalam masalah makanan, minuman, pakaian,
rumah dan obat-obatan hingga sembuh atau meninggal dunia.

D. Solusi ketika orang terkena hajr

Apabila seseorang dinyatakan dibawah pengampuan wali atau hakim, tidaklah berarti hak
asasinya dibatasi dan pelecehan terhadap kehormatan dirinya sebagai manusia. Tetapi
pengampuan itu diberlakukan syara‟ untuk menunjukan, bahwa syara‟ itu benar-benar
memperdulikan orang-orang seperti itu, terutama soal mu‟amalah, syara‟ menginginkan agar
tidak ada pihak yang dirugikan atau merugikan orang lain.

Dengan demikian, apabila ada anak kecil, orang gila, dungu dan pemboros, distatuskan di bawah
pengampuan, maka hal itu semata-mata untuk menjaga kemaslahatan diri orang yang

10
bersangkutan, agar segala kegiatan mu‟amalah yang mereka lakukan tidak sampai ditipu oleh
orang lain.

Demikian juga halnya orang yang jatuh pailit dan orang yang sakit berat, tidak dibenarkan
bertindak secara hukum yang bersifat pemindahan hak milik, agar orang lain tidak dirugikan
yang masih berhak atas hartanya. Khusus bagi orang yang sakit keras dikhawatirkan, bahwa
pemindahan hak kepada orang lain akan merugikan ahli waris, sedangkan masa depan anak
cucunya harus di perhatikan sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nisa‟ yang berbunyi
sebagai berikut :

‫وليخش الزيه لىتشكىامه خلفهم رسية ضعافا خافىاعليهم فليتقىهللاا وليقىلىا قىالسذيذا‬

Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)
mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar.”(An-Nisa‟. QS. 4:9).

11
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1. Dalam konsep fiqh, al-hajr secara etimologi berarti larangan, penyempitan pembatasan,
mempersempit. Kemudian jika dilihatbdefinisi hajr dari madzhab maupun ulama kntemporer
dapat dipahami bahwa yang dimaksud hajr adalah cegahan bagi seseorang untuk mengelola
hartanya disebabkan adanya hal-hal tertentu yang mengharuskan adanya pencegahan.

2. Dasar hukum hajr dalam kehidupan umat beragama Islam terdapat pada Al-Qur‟an dan hadist.
Salah satunya terdapat pada Q.S An-Nisa : 6, yang artinya:‫ا‬

“Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka mencapai cukup umur untuk menikah. Kemudian
jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkan kepada
mereka harta-hartanya..”

Ayat tersebut menjelaskan bahwa menyerahkan harta tersebut janganlah tergesa-gesa, ujilah
terlebih dahulu anak itu dengan memperhatikan akhlaknya, apakah telah mempunyai pikiran
yang cerdas dan dapat berbelanja dengan baik.

3. Orang-orang yang terkena hajr, antara lain : anak kecil, safih (orang bodoh yang belum bisa
mengatur harta), orang gila, dan orang yang sakit.

4. Solusi ketika orang terkena hajr, apabila seseorang dinyatakan dibawah pengampuan wali atau
hakim, tidaklah berarti hak asasinya dibatasi dan pelecehan terhadap kehormatan dirinya sebagai
manusia. Tetapi pengampuan itu diberlakukan syara‟ untuk menunjukan, bahwa syara‟ itu benar-
benar memperdulikan orang-orang seperti itu, terutama soal mu‟amalah, syara‟ menginginkan
agar tidak ada pihak yang dirugikan atau merugikan orang lain. tidak dibenarkan bertindak secara
hukum yang bersifat pemindahan hak milik, agar orang lain tidak dirugikan yang masih berhak
atas hartanya.

12
DAFTAR PUSTAKA

Nabila, Fitri. 2019. Legalitas Transaksi Bagi Orang Yang Mengalami Retardasi Mental. Fakultas
Syari‟ah da Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Syarqawie, Fithriana. 2014. Fikih Muamalah. Banjarmasin: IAIN ANTASARI PRESS.

Sudiarti, Sri. 2018. Fiqh Muamalah Kontemporer. Sumatera Utara : FEBI UIN-SU Press

https://umma.id/article/share/id/6/222666

13

Anda mungkin juga menyukai