Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

“PERAN WALISONGO DALAM PERADABAN ISLAM INDONESIA”

Akhmad Rifa’i 2008010198

DOSEN PENGAMPU:
Agung Nugroho, M.Si, M.Pd.I

FAKULTAS HUKUM
UNIVERITAS ISLAM KALIMANTAN MUHAMMAD ARSYAD
AL BANJARI BANJARMASIN
BANJARMASIN

2021
KATA PENGANTAR

Segala panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena berkat -Nyalah
maka makalah yang berjudul “Peran Walisongo Dalam Peradaban Islam Indonesia” ini
dapat diselesaikan. Makalah ini dibuat untuk menyelesaikan tugas yang diberikan.
Makalah ini jauh dari kesempurnaan oleh karena itu mengharapkan kritik dan
saran dari para rekan rekan-rekan mahasiswa dan dosen pembimbing demi proses
kesempurnaan. Terlepas dari kekurangan-kekurangan makalah ini, saya berharap
semoga makalah ini bermanfaat bagi semua terutama pembaca dan menjadikan amal
shaleh bagi saya.
Amiin, Ya Robbal Alamin.

Penyusun

DAFTAR ISI
Kata Pengantar…………………………………………………………………… Ii
Daftar Isi ………………………………………………………………………… iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………………………………………………... 1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………………….. 2
C. Tujuan ………….………………………………………………………... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Sejarah Walisongo ………….…………………………... 3
B. Peranan Walisongo dalam Penyebaran Islam di Indonesia……….……... 6
C. Metode Pendidikan Islam Masa Walisong………………………………. 7
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………………………... 12
B. Saran ……………………………………………………………………. 12
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………… 13

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kata “wali” berasal dari bahasa Arab yang artinya pembela, teman dekat, dan
pemimpin. Dalam pemakaiannya wali biasanya diartikan sebagai orang yang dekat
dengan Allah SWT. Adapun kata “songo” berasal dari bahasa Jawa yang artinya
sembilan. Maka, Walisongo secara umum diartikan sebagai sembilan wali yang
dianggap telah dekat dengan Allah SWT dan terus-menerus beribadah kepadaNya
serta memiliki kemampuan-kemampuan diluar kebiasaan manusia.
Dalam perkembangan keberagamaan di tengah perkembangan ilmu pengetahuan
ini berbeda dengan keberagamaan zaman penyebaran agama Islam di Nusantara
sebelum kedatangan Walisongo. Pada zaman sebelum kedatangan Walisongo, masih
menggunakan sistem dakwah dengan pola mengajak komunitas masyarakat dari
berbagai kepercayaan untuk menngikuti ajaran Islam. Pola dakwah seperti sebelum
kedatangan Walisongo ini berlangsung kurang mendapatkan respon masyarakat.
Kondisi masyarakat sebelum Walisongo masih kuat mengikuti tradisi ajaran agama
nenek moyang, sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh ajaran atau kepercayaan
yang lain. Berbeda dengan pola dakwah sebelum Walisongo, pada zaman
Walisongo lebih menekankan pada pola mengenalkan budaya baru di tengah
institusi kuasa kerajaan, yaitu budaya agama Islam yang berintegrasi dengan budaya
lokal atau nilai-nilai kearifan lokal.
Secara spesifik, pola dakwah Walisongo didasarkan pada pola pengelolaan dan
pengembangan budaya masyarakat. Dalam pengembangan kebudayaan ini, bisa
dilakukan dengan memasukkan nilai-nilai universal, kearifan lokal, dan ajaran Islam
rahmatan lil’alamiin. Berbagai pola kegiatan dakwah mewarnai kehidupan umat
sebagai upaya untuk mengiringi perkembangan kehidupan masyarakat. Mengingat
kegiatan dakwah bertujuan untuk membentuk dan meningkatkan karakter
kepribadian yang baik, yang berakhlakul karimah dan dapat membentuk
keseimbangan unsur jiwa sebagai manusia yang berdimensi fisik, psikis, sosial, dan
spiritual.
Para sembilan Wali itu ialah Maulana Malik Ibrahim adalah yang tertua. Sunan
Ampel adalah anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana
Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan
Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus
murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid
Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali
Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dituliskan rumusan masalahnya
sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian dan sejarah mengenai Walisongo?
2. Peranan Walisongo dalam Penyebaran Islam di Indonesia?
3. Bagaimana metode pendidikan Islam masa walisongo?

C. Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk mengetahui cakupan mengenai
sejarah islam dalam pada masa para wali khususnya walisongo.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Sejarah Walisongo


1. Pengertian Walisongo
Walisongo secara sederhana artinya sembilan orang yang telah mencapai
tingkat “Wali”, suatu derajat tingkat tinggi yang mampu mengawal babahan
hawa sanga (mengawal sembilan lubang dalam diri manusia), sehingga memiliki
peringkat wali. Para wali tidak hidup secara bersamaan. Namun satu sama lain
memiliki keterkaitan yang sangat erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam
hubungan guru-murid.
Menurut Soekomono, pakar purbakala dan sejarah kebudayaan dari
UGM, Walisongo (9 orang waliyullah) adalah penyiar penting agama agama
Islam di Jawa. Mereka dengan sengaja menyebarkan dan mengajarkan pokok-
pokok ajaran Islam di tanah Jawa. Pendapat lain yang mengatakan bahwa
Walisongo adalah sebuah majelis dakwah yang pertama kali didirikan oleh
Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah).
Saat itu, majelis dakwah Walisongo beranggotakan Maulana Malik Ibrahim
sendiri, Maulana Ishaq (Sunan Wali Lanang), Maulana Ahmad Jumadil Kubro
(Sunan Kubrawi); Maulana Muhammad Al-Maghrabi (Sunan Maghribi);
Maulana Malik Isra'il (dari Champa), Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana
Hasanuddin, Maulana 'Aliyuddin, dan Syekh Subakir.
Walisongo sangat berperan penting dalam penyebaran Islam di Indonesia
khususnya di Jawa. Cara penyebaran Islam yang dilakukan oleh para walisongo
sangat menarik. Mereka mampu menggunan metode-metode yang memudahkan
ajaran Islam diterima oleh berbagai golongan maayarakat.
2. Sejarah Walisongo
Penyebaran Islam ke nusantara tidak merata,di awali di ujung pulau
Sumatera, kemudian menyebar ke wilayah melayu serantau dan Pulau Jawa. Hal
ini karena wilayah nusantara terdiri banyak pulau. Mereka (para walisongo)
tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di
tiga wilayah penting. Yakni Surabaya- Gresik-Lamongan di Jawa Timur,
Demak- Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka
adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya.
Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru, mulai dari kesehatan,
bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga
pemerintahan. Mereka mendapat gelar susuhunan (sunan), yaitu sebagai
penasehat dan pembantu Raja. Para Wali melakukan dakwahnya dengan sangat
tekun, mereka mampu memahami kondisi masyarakat Jawa pada saat itu
Walisongo, sebenarnya merupakan sebutan untuk sembilan (songo,
dalam bahasa Jawa) wali (sunan, kekasih Allah, waliyullah) yang masing-
masing memiliki wilayah dakwah yang berbeda di sepanjang tanah Pantura
Jawa. Namun kesembilan wali tersebut dipandang memiliki kesamaan karakter
dalam berdakwah dan memiliki silsilah keturunan serta keilmuan yang sama,
sehingga melahirkan sebuah kesepakatan menyebut kesembilan wali dimaksud
dengan sebutan Walisongo. Kesembilan Wali yang dimaksud adalah: Syekh
Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan
Kalijaga, Sunan Drajat, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Djati.
Walisongo dinilai sebagai sosok para ulama sufi yang sekaligus psikolog
karena mampu membaca fenomena masyarakat yang ketika itu telah menganut
kepercayaan Hindu dan Kejawen. Tetapi, Walisongo adalah pribadi-pribadi yang
terbentuk melalui dasar-dasar nilai Islam sufistik yang memiliki kearifan dalam
bersikap serta memiliki keimanan yang kokoh, sehingga secara pribadi, para
wali mudah menyesuaikan diri dalam lingkungan sosial budaya yang berbeda.
Sementara secara sosial, para wali tersebut mudah diterima masyarakat
sekalipun memberikan pandangan keagamaan yang berbeda. Bahkan pada
akhirnya Walisongo mewarnai berbagai perangkat kehidupan dalam bidang
sosial, budaya, pendidikan (pesantren), bahkan pemerintahan, hingga akhirnya
Islam benar-benar menjadi agama mayoritas di Tanah Jawa.
Sementara masyarakat Jawa yang pada masa Walisongo sebelumnya
telah menganut kepercayaan Jawa dan sebagian agama Hindu, yang tentunya
juga memiliki kondisi sosialbudaya sesuai agama dan kepercayaannya itu. Di
tengah kondisi masyarakat yang telah memiliki karakter dan latar belakang
sosial budaya, psikologis, dan kondisi politik pemerintahannya, menjadikan
pertimbangan Walisongo untuk menentukan strategi dan metode dakwah yang
fleksibel dan mampu membangun citra positif sehingga masyarakat tidak
menolak secara frontal atas kehadiran Walisongo yang menawarkan Islam.
Dakwah tidak hanya dilakukan secara lisan, tetapi juga dalam segala
keadaan, misalnya melalui akulturasi budaya yang menghasilkan kesenian
wayang yang ceritanya bernuansa Islam, tembang-tembang Jawa (Lir Ilir,
Cublak-cublak Suweng), tradisi tahlilan, mitoni, slametan (bancakan).
Walisongo tidak frontal menolak dan meniadakan tradisi masyarakat yang
dianggap tidak sesuai dengan Islam sekalipun dalam bentuk pemujaan terhadap
roh leluhur, karena tindakan penolakan langsung justru akan menjauhkan
masyarakat. Di sinilah sikap arif untuk menerima realitas kondisi psikologis dan
sosial masyarakat sebagai sebuah bentuk kesadaran bahwa setiap individu atau
suatu komunitas memiliki karakter yang tidak lepas dari proses pembentukan
lingkungannya. Kalaupun ada kehendak kita atau para da’i untuk menunjukkan
jalan yang benar sesuai petunjuk Allah Jalla Jalaluhu, maka harus menggunakan
cara-cara penuh lemah lembut, menunjukkan rasa kasih sayang sebagai
perwujudan penghormatan dan penghargaan terhadap apa yang telah ada dalam
diri mereka (masyarakat sebagai mad’u).
Pada abad 15 para saudagar muslim telah mencapai kemajuan pesat
dalam usaha bisnis dan dakwah hingga mereka memiliki jaringan di kota-kota
bisnis di sepanjang pantai Utara. Komunitas ini dipelopori oleh Walisongo yang
membangun masjid pertama di tanah Jawa, Masjid Demak yang menjadi pusat
agama yang mempunyai peran besar dalam menuntaskan Islamisasi di seluruh
Jawa. Walisongo berasal dari keturunan syeikh ahmad bin isa muhajir dari
hadramaut. Beliau dikenal sebagai tempat pelarian bagi para keturunan nabi dari
arab saudi dan daerah arab lain yang tidak menganut syiah. Penyebaran agama
Islam di Jawa terjadi pada waktu kerajaan Majapahit runtuh disusul dengan
berdirinya kerajaan Demak. Era tersebut merupakan masa peralihan kehidupan
agama, politik, dan seni budaya. Di kalangan penganut agama Islam tingkat atas
ada sekelompok tokoh pemuka agama dengan sebutan Wali. Zaman itu pun
dikenal sebagai zaman “kewalen”. Para wali itu dalam tradisi Jawa dikenal
sebagai “Walisanga”, yang merupakan lanjutan konsep pantheon dewa Hindhu
yang jumlahnya juga Sembilan orang.
B. Peranan Walisongo dalam Penyebaran Islam di Indonesia

Dari gambaran singkat tentang perjalanan hidup dan perjuangan walisongo


dalam menyebarkan agama Islam di daerah Jawa, khususnya dan di wilayah
nusantara pada umumnya, maka peran mereka dapat dibentuk seperti Bidang
Pendidikan, Bidang Politik dan yang paling terkenal adalah Bidang Dakwah.
1. Bidang pendidikan
Peran walisongo di bidang pendidikan terlihat dari aktivitas mereka
dalam mendirikan pesantren, sebagaimana yang dilakukan oleh Sunan Ampel,
Sunan Giri, dan Sunan Bonang. Sunan Ampel mendirikan pesantren di Ampel
Denta yang dekat dengan Surabaya yang sekaligus menjadi pusat penyebaran
Islam yang pertama di Pulau Jawa. Di tempat inilah, ia mendidik pemuda-
pemudi Islam sebagai kader, untuk kemudian disebarkan ke berbagai tempat di
seluruh Pulau Jawa. Muridnya antara lain Raden Paku (Sunan Giri), Raden
Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Raden Kosim Syarifuddin (Sunan Drajat),
Raden Patah (yang kemudian menjadi sultan pertama dari Kerajaan Islam
Demak), Maulana Ishak, dan banyak lagi mubalig yang mempunyai andil besar
dalam islamisasi Pulau Jawa. Sedangkan Sunan Giri mendirikan pesantren di
daerah Giri. Santrinya banyak berasal dari golongan masyarakat ekonomi lemah.
Ia mengirim juru dakwah terdidik keberbagai daerah di luar Pulau Jawa seperti
Madura, Bawean, Kangean, Ternate dan Tidore. Sunan Bonang memusatkan
kegiatan pendidikan dan dakwahnya melalui pesantren yang didirikan di daerah
Tuban. Sunan Bonang memberikan pendidikan Islam secara mendalam kepada
Raden Fatah, putera raja Majapahit, yang kemudian menjadi sultan pertama
Demak. Catatan-catatan pendidikan tersebut kini dikenal dengan Suluk Sunan
Bonang.
2. Bidang Politik
Pada masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di
Jawa, Walisongo mempunyai peranan yang sangat besar. Di antara mereka
menjadi penasehat Raja, bahkan ada yang menjadi raja, yaitu Sunan Gunung
Jati. Sunan Ampel sangat berpengaruh dikalangan istana Majapahit. Istrinya
berasal dari kalangan istana dan Raden Patah (putra raja Majapahit) adalah
murid beliau. Dekatnya Sunan Ampel dengan kalangan istana membuat
penyebaran Islam di daerah Jawa tidak mendapat hambatan, bahkan mendapat
restu dari penguasa kerajaan. Sunan Giri fungsinya sering dihubungkan dengan
pemberi restu dalam penobatan raja. Setiap kali muncul masalah penting yang
harus diputuskan, wali yang lain selalu menantikan keputusan dan
pertimbangannya. Sunan Kalijaga juga menjadi penasehat kesultanan Demak
Bintoro.
3. Bidang Dakwah
Sudah jelas sepertinya, peran Walisongo cukup dominan adalah di
bidang dakwah, baik dakwah melalui lisan. Sebagai mubalig, Walisongo
berkeliling dari satu daerah ke daerah lain dalam menyebarkan agama Islam.
Sunan Muria dalam upaya dakwahnya selalu mengunjungi desa-desa terpencil.
Salah satu karya yang bersejarah dari walisongo adalah mendirikan mesjid
Demak. Hampir semua walisongo terlibat di dalamnya. Adapun sarana yang
dipergunakan dalam dakwah berupa pesantren-pesantren yang dipimpin
olehpara Walisongo dan melalui media kesenian, seperti wayang. Mereka
memanfaatkan pertunjukan-pertunjukan tradisional sebagai media dakwah
Islam, dengan membungkuskan nafas Islam ke dalamnya. Syair dari lagu
gamelan ciptaan para wali tersebut berisi pesan tauhid, sikap menyembah Allah
dan tidak menyekutukannya atau menyembah yang lain.

C. Metode Pendidikan Islam Masa Walisongo

Dahulu di Indonesia mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Budha, dan


terdapat berbagai kerajaan Hindu dan Budha, sehingga budaya dan tradisi lokal saat
itu kental diwarnai kedua agama tersebut. Budaya dan tradisi lokal itu oleh
walisongo tidak dianggap “musuh agama” yang harus dibasmi. Bahkan budaya dan
tradisi lokal itu mereka jadikan “teman akrab” dan media dakwah agama, selama tak
ada larangan dalam nash syariat. Secara rinci, metode yang dilakukan walisongo
adalah:
1. Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang
mendakwahkan Islam di Jawa, dianggap sebagai ayah dari walisongo. Aktivitas
pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka
warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain
itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati
masyarakat secara gratis.
Di Gresik, beliau juga memberikan pengarahan agar tingkat kehidupan
rakyat gresik semakin meningkat. Beliau memiliki gagasan mengalirkan air dari
gunung untuk mengairi sawah dan ladang. Ia mengajarkan cara-cara baru
bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan
masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim
berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan
perang saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama di Leran,
Gresik, pada tahun 1419.
2. Sunan Ampel (Raden Rahmad)
Sunan Ampel adalah anak dari Maulana Malik Ibrahim yang tertua, ia
membangun mengembangkan pondok pesantren di daerah Ampel Denta yang
berawa-rawa. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan
Abad 15 M, pesantren tersebut menjadi sentral pendidikan yang sangat
berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para
santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian
disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi, namun pada para
santrinya, beliau hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan
pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo
Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni
seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum-minuman keras, tidak mencuri, tidak
menggunakan narkotika, dan tidak berzina”.
3. Sunan bonang (Raden Maulana Makhdum Ibrahim)
Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta.
Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang
memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia
menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat
juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber air
di tempat-tempat gersang. Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat ‘cinta’.
Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta
sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah
SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui
media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-
membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.
Sunan Bonang menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan
estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator
gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang.
Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada
kehidupan transedental (alam malakut). Tembang “Tombo Ati” adalah salah satu
karya Sunan Bonang. Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang
yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon
dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam.
4. Sunan Drajat (Raden Qasim)
Belau menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan
kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam. Beliau
mendirikan pesantren yang bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran,
Lamongan. Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara
langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Tembang macapat Pangkur
disebutkan sebagai ciptaannya. Ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya
adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta, beri makan pada yang lapar,
beri pakaian pada yang telanjang”. Gamelan Singomengkok adalah salah satu
peninggalannya yang terdapat di Musium daerah Sunan Drajat, Lamongan.
5. Sunan Kudus (Ja’far Shadiq)
Beliau memiliki keahlian khusus dalam bidang agama, terutama dalam
ilmu fikih, tauhid, hadits, tafsir serta logika. Karena itulah di antara walisongo
hanya ia yang mendapat julukan wali al-‘ilm (wali yang luas ilmunya), dank
arena keluasan ilmunya ia didatangi oleh banyak penuntut ilmu dari berbagai
daerah di Nusantara. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan gurunya Sunan
Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan
lebih halus.
Cara-cara berdakwah Sunan Kudus adalah sebagai berikut:
a) Membiarkan adat istiadat lama yang sulit diubah
b) Menghindarkan konfrontasi secara langsung dalam menyiarkan agama
islam
c) Tut Wuri Handayani
d) Bagian adat istiadat yang tidak sesuai dengan mudah diubah langsung
diubah
e) Merangkul masyarakat Hindu seperti larangan menyembelih sapi karena
dalam agama Hindu sapi adalah binatang suci dan keramat
f) Merangkul masyarakat Budha. Selain masjid, Sunan Kudus juga
mendirikan padasan tempat wudlu dengan pancuran yang berjumlah
delapan, diatas pancuran diberi arca kepala Kebo Gumarang diatasnya
hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha.
g) Selamatan Mitoni, biasanya sebelum acara selamatan diadakan
membacakan sejarah Nab
6. Sunan Giri (Ainul Yaqi Atau Raden Paku)
Beliau mendirikan pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti,
Selatan Gresik. Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan
dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Dalam
keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih.
Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta
karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir
dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending
Asmaradana dan Pucung yang bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran
Islam.
7. Sunan Kalijaga (Raden Mas Syahid)
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus
sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Ia memilih kesenian dan kebudayaan sebagai
sarana untuk berdakwah penyebaran Islam, antara lain dengan wayang, sastra
dan berbagai kesenian lainnya. Pendekatan jalur kesenian dilakukan oleh para
penyebar Islam seperti Walisongo untuk menarik perhatian di kalangan mereka,
sehingga dengan tanpa terasa mereka telah tertarik pada ajaran-ajaran Islam
sekalipun, karena pada awalnya mereka tertarik dikarenakan media kesenian itu.
Misalnya, Sunan Kalijaga adalah tokoh seniman wayang. Ia itdak pernah
meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat.
Sebagian wayang masih dipetik dari cerita Mahabarata dan Ramayana, tetapi di
dalam cerita itu disispkan ajaran agama dan nama-nama pahlawan Islam.
Beliau sangat toleran pada budaya lokal, ia berpendapat bahwa
masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus
didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga
berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama
hilang. Sunan Kalijaga jugalah yang menciptakan Baju takwa, perayaan
sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja.
Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid.
8. Sunan Muria (Raden Umar Said)
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga.
Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah
sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam.
Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan
bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya. Sunan Muria
dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun
rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh
semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana
hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah
lagu Sinom dan Kinanti.
9. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Sunan Gunung Jati sebelum meletakkan dasar agama Islam dan bagi
perdagangan orang Islam, terlebih dahulu telah menunaikan rukun ke-5 naik haji
ke Mekkah sebelum tiba di Kerajaan Sultan Demak. sebagai haji yang shaleh
dan sebagai mufasir yang mengenal percaturan dunia ia mendapat sambutan
hangat di kerajaan itu. Kemudian setelahitu pindah ke Banten, dan ia berhasil
menggaantikan bupati Pasundan di situ, dan mengambil alih pemerintahan atas
kota pelabuhan tersebut. Dengan awal langkah inilah ia memenfaatkan tahtanya
untuk menyebarkan agama Islam, terutama mengislamkan Jawa Barat.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Walisongo secara sederhana artinya sembilan orang yang telah mencapai tingkat
“Wali”, suatu derajat tingkat tinggi yang mampu mengawal babahan hawa sanga
(mengawal sembilan lubang dalam diri manusia), sehingga memiliki peringkat
wali. Walisongo, sebenarnya merupakan sebutan untuk sembilan (songo, dalam
bahasa Jawa) wali (sunan, kekasih Allah, waliyullah) yang masing-masing
memiliki wilayah dakwah yang berbeda di sepanjang tanah Pantura Jawa.
Namun kesembilan wali tersebut dipandang memiliki kesamaan karakter dalam
berdakwah dan memiliki silsilah keturunan serta keilmuan yang sama, sehingga
melahirkan sebuah kesepakatan menyebut kesembilan wali dimaksud dengan
sebutan Walisongo.
2. Peran walisongo dalam penyebaran islam di Indonesia dapat dibentuk seperti
Bidang Pendidikan, Bidang Politik dan Bidang Dakwah.
3. Walisongo. Kesembilan Wali yang dimaksud adalah: Syekh Maulana Malik
Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan
Drajat, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Djati.

4. Saran
Setelah membaca makalah diatas maka kita berharap dapat meneladani mengambil
manfaat bagi kami, khususnya para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Tanah Jawa,


Yogyakarta: GRAHA Pustaka, 2009

Hadi M. Miftahkul dan Nurul Abidin, Peran Walisongo Dalam Dalam Masuknya Islam
di Indonesia, Jawa Timur: Universitas Yudharta Pasuruan, 2017

Masjaya dkk, Peran Walisongo Dalam Peradaban Islam Di Indonesia, Makkasar:


Universitas Muhammadiyah Makassar, 2014

Mukhlis Paeni, Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,


2009

Namiroh Afifah & Rahma Nisa, Studi Islam Asia & Tenggara Wali Songo Penyebar
Islam, Riau: Universitas Islam Negeri Suska Riau, 2020

Rachmad Abdullah, Walisongo Gelora Dakwah dan Jihad di Tanah Jawa (1404 –
1482), Surakarta: Al-Wafi, 2015

Saifullah Mohd Sawi, Sejarah dan Tamadun Islam di Asia Tenggara, Malaysia:
Karisma, 2009.

Syalafiyah Nurul & Budi Harianto, Walisongo: Strategi Dakwah Islam di Nusantara,
Jawa Timur: IAI Pangeran Diponegoro Nganjuk, 2020

Tajuddin Yuliyatun, Walisongo Dalam Strategi Komunikasi Dakwah, Jawa Tengah:


STAIN Kudus, 2014

Wahyu Ilahi & Harjani Hefni, Pengantar Sejarah Dakwah, Cet I, Jakarta: Kencana,
2007.

Anda mungkin juga menyukai