KESEMPURNAAN SIFATNYA
MAKALAH
disusun oleh :
JURUSAN KIMIA
BANDUNG
2018/2019
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan berkah dan hidayah-
Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
”Bukti-Bukti Wujud Allah, Keesaan Dan Kesempurnaan Sifat-Nya”. Atas semua
dukungan dan materi yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Dr. Bukhari Muslim S,Sos.
M,Ag.
Sedikit mengulas, pada makalah ini akan membahas mengenai Bukti fitrah
tentang wujud Allah, Bukti akal tentang wujud Allah, Bukti inderawi tentang wujud
Allah, dalil akal bukti bahwa allah itu ada, keesaan allah, serta kesempurnaan Allah
dalam segala hal.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makala ini. Untuk itu
kami menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang terlibat dalam
penyusunan makalah ini. Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari bahwa
dalam penyusunan makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami
mengharap pembaca berkenan menyampaikan saran dan kritik demi memperbaiki
kekurangan yang terdapat dalam makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Bagaimana kita dapat mengetahui wujud Allah SWT.? Bila Anda melihat mobil berge-
rak di depan Anda dari jauh, atau menyaksikan pesawat terbang melintas di udara, maka
dengan yakin Anda mengatakan bahwa pasti ada sopir yang menyetir mobil dan ada pilot yang
mengendalikan pesawat meskipun Anda tidak melihat mereka berdua. Karena jika yang men-
gendalikan mobil atau pesawat itu tidak ada, mustahil mobil atau pesawat itu dapat melalui
rutenya dengan selamat.
Bagaimana kaitannya dengan wujud Allah? Jawabnya, kita melihat matahari, bulan,
bintang dan planet bergerak teratur, malam dan siang berganti dengan keteraturan yang amat
detil. Mungkinkah mereka ada dan bergerak sendiri? Tidak diragukan lagi bahwa semuanya
telah diciptakan dan diatur oleh Allah swt. Jika Allah tidak ada – kita memohon ampun kepada-
Nya – mustahil matahari, bulan, bintang-bintang, planet, siang, dan malam menjadi ada dan
bertahan dengan pergerakannya yang amat teratur. Dengan demikian pula tidak akan ada ma-
khluk yang sangat tergantung dengan mereka semua.
Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri
mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu?; Sebenarnya mereka
tidak meyakini (apa yang mereka katakan). (52:35-36).
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Islam adalah agama tauhid yang dibawa oleh
Nabi Adam hingga Nabi Muhammad SAW. Tauhid adalah esensi iman kepada Allah. Tauhid
berarti mengesakan-Nya, baik dalam zat, asma wa shifat, maupun af’al (perbuatan)-Nya. Tau-
hid, yang bermakna mengesakan Tuhan, yaitu Allah SWT saja satu-satunya Tuhan, dalam
kajian ilmu Islam merupakan hal yang mendasar dan fundamental.
Posisi penting tauhid ini adalah karena ia merupakan dasar keyakinan yang utama bagi
seorang muslim atau dalam istilah lain disebut sebagai dasar Aqidah Islamiyah (Keyakinan
Islam). Aqidah inilah yang membedakan seseorang, apakah ia seorang muslim atau seorang
yang kafir. Dikatakan seorang muslim manakala ia mempercayai, meyakini bahwa Tuhan itu
satu, esa (mentauhidkan Tuhan) dan selain muslim, atau sering disebut sebagai kafir apabila
tidak mentauhidkan Tuhan.
Selain sebagai landasan utama, tauhid adalah perkara yang menentukan apakah apakah
suatu amalan itu bernilai ibadah ataukah tidak. Apabila amalan yang dilaksanakan semata-mata
sebagai amalan yang diniatkan hanya untuk Allah SWT saja berarti aspek tauhid menempati
3
posisi utama berarti ia adalah ibadah kepada Allah dalam pengertian yang benar. Akan tetapi,
ketika ibadah tidak diperuntukkan untuk Allah SWT dengan niatan lain maka hal ini dinamakan
sebagai perbuatan syirik (mengadakan sekutu bagi Allah SWT) dan amalan yang dilakukan
tidak termasuk ibadah.
Banyak ayat-ayat wahyu yang diturunkan kepada beliau berisi ajakan atau seruan untuk
mengesakan Tuhan agar manusia kembali kepada fitrah Islam yaitu mengesakan Allah SWT
sebagai satu-satunya Tuhan dengan harapan dengan keimanan yang baik ini maka manusia
akan kembali ke jalan yang lurus. Selain ayat-ayat Al Qur’an yang difirmankan Allah SWT
untuk disampaikan kepada umat. Diantaranya adalah surat yang singkat namun penuh dengan
makna mendalam untuk mengesakan Tuhan yaitu QS. Al Ikhlas: 1–4:
“Katakanlah, Dialah Alloh yang Esa (1), Dialah tempat bergantung (dari segala urusan dan
segala sesuatu) (2). Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan (3). Dan tidak ada
(sesuatu makhluk pun) yang setara dengan Dia (4).”
4
BAB II ISI DAN PEMBAHASAN
2.1. Wujud Allah
Secara bahasa, kata wujud berarti ada. Allah swt. Mustahil bersifat adam (tidak ada).
Dijelaskan dalam Al-qur’an surat As-Sajdah yang berarti “Allah-lah yang menciptakan langit
dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya”.
Oleh karena itu, orang yang beriman, dalam memperhatikan wujud alam semesta ini,
harus senantiasa ingat kepada Allah swt. Yang menjadi penciptanya. Daijelaskan dalam ayat
yang lain, yaitu :
Syarh (Penjelasan):
Dzat disana bukanlah dzat dalam lisan orang indonesia yang mempunyai arti materi
satu benda, akan tetapi Dzat disana adalah Dzat dalam lisan orang arab yang mempunyai arti
“Dirinya sendiri”, “Haqiqat-nya” karena Allah ada tanpa membutuhkan bentuk, tempat dan
tidak membutuhkan makhluqnya, karena semuanya adalah ciptaanya dan Allah berdiri sendiri
tanpa ada yang menciptakan dan tidak membutuhkan pertolongan makhluqnya.
Allah SWT adalah Tuhan yang wajib kita sembah itu pasti ada. Allah SWT, ada tanpa
ada perantara sesuatu dan tanpa ada yang mewujudkan. Firman Allah SWT :
َّ إِنَّنِي أَنَا للاُ الَ إِلَهَ إِالَّ أَنَا فَا ْعبُ ْدنِي َوأَقِ ِم ال
١٤،صالَةَ ِل ِذك ِْري (سورة طه
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah
Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (QS. Thaha: 14)”.
Adanya alam semesta beserta isinya merupakan tanda bahwa Allah SWT ada. Dialah
yang menciptakan jagat raya yang menakjubkan ini. (Zaenuddin Ali, 2015).
Sifat Wujud pengertiannya tetapnya sesuatu dan pasti adanya, sifat wujud ini wajib bagi
Alloh Ta’ala Dzatnya bukan Illat (Pengaruh Luar) maksudnya bahwa selain Alloh (Makhluk)
tidak dapat mempengaruhi adanya Allah. Adapun sifat wujud tanpa Dzat itu terjadi seperti
keberadaan kita yaitu melalui perbuatan Alloh Ta’ala. Adapun bukti adanya Allah yaitu adanya
makhluk ini, jika Allah SWT tidak ada, maka tidak akan ada satu makhlukpun. Allah Ta’ala
5
berfirman, “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah
Aku”. (QS. Thaha : 14) dan firman Alloh Ta’ala, “Tidaklah mereka memikirkan tentang ke-
jadian diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara
keduanya melainkan dengan kebenaran dan waktu yang ditetapkan. Dan sesungguhnya ke-
banyakan diantara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya”. (QS. Ar
Rum :8) (K. Saberanity, 2006).
2.2. Keesaan Allah SWT.
Berbicara konsep, ketuhanan, Islam adalah satu-satunya agama yang menanamkan
kepada penganutnya konsep ketuhanan yang bersifat tauhidi. Artinya, dalam hal keyakinan
(akidah) seorang muslim wajib meyakini bahwa Allah Maha Esa, Esa dalam Zat-Nya, Esa da-
lam sifat-Nya, dan Esa dalam perbuatan-Nya. Dalam Islam, konsep ketuhanan secara jelas dan
tegas dituangkan dalam surat al-Ikhlas, sebuah surat yang ringkas dan sarat akan makna ketau-
hidan. ( M.N.I Muslim, 2016).
Sebagian ahli tafsir menyampaikan suatu riwayat yang menerangkan bahwa surat ini
diturunkan untuk menjawab pertanyaan kaum musyrikin kepada Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam perihal sifat dan nasab Tuhan yang beliau dakwahkan untuk disembah. Untuk
tujuan tersebut, surat ini diturunkan kepada beliau. Dalam surat ini, pada ayat pertama,
disampaikan bahwa Tuhan yang mereka tanyakan itu adalah Allah al-Ahad, yang Maha Esa.
Terkait makna al-Ahad, Ibnu Katsir memaparkan bahwa “Dia-lah al-Wahid al-Ahad, tidak ada
yang setara dengan-Nya, tidak memiliki pembantu, tanpa sekutu, serta tidak ada yang serupa
dan sepadan dengan-Nya [Tafsir Ibn Katsir : 8/527].
Pada ayat berikutnya ditegaskan bahwa Allah adalah ash-Shamad, yaitu Tuhan yang
bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Mengingat Allah senantiasa berada dalam kesibukan
sebagaimana dinyatakan dalam surat ar-Rahmaan ayat 29, adalah tepat jika Allah memiliki
nama ash-Shamad , nama yang memiliki cakupan makna yang sangat luas karena memiliki arti
as-Sayyid, yang dijadikan tujuan atau sandaran, dan tidak ada seorang pun yang berada di atas-
Nya [Jaami’ al-Bayaan fii Takwiil al-Quraan 24/692].
Lebih lanjut pada ayat ketiga Allah berfirman (yang artinya), “Dia tiada beranak dan
tiada pula diperanakkan”. Ayat ini menjelaskan bahwa tidak ada anak yang dilahirkan dari-
Nya. Demikian pula Allah tidaklah lahir dari sesuatu apa pun. Kemudian surat ini diakhiri
dengan firman-Nya (yang artinya), “Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia”
untuk memperkuat karena Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa tentu menuntut penafian
(peniadaan) keberadaan sesuatu yang setara dengan-Nya.
6
2.2.1. Gambaran tentang Tauhid
Meskipun hanya terdiri dari empat ayat, namun kandungan yang terdapat dalam surat
ini teramat padat karena pondasi keimanan kepada Allah dijelaskan secara lugas dan tegas.
Selain tentang keesaan Allah, di dalamnya juga disampaikan kandungan bahwa keesaan Allah
menuntut pengesaan terhadap-Nya atau yang lazim dikenal dengan tauhid. Hal ini merupakan
konten atau muatan dakwah yang senantiasa disampaikan oleh seluruh nabi dan rasul yang
diutus Allah Ta’ala [lihat QS. Al-Anbiya : 25 dan asy-Syura : 23].
Di awal surat pada ayat pertama, secara tegas dinyatakan bahwa Allah Ta’ala adalah al-
Ahad, Yang Mahaesa, tidak berbilang sebagaimana keyakinan kaum musyrikin. Dan karena
keesaan-Nya itulah Allah semata yang patut dan layak dijadikan sesembahan bukan yang lain.
Abu Bakr al-Jazaairi rahimahullah mengatakan, “Rabb-ku adalah Allah, satu-satunya
sesembahan yang berhak ditujukan segala bentuk penghambaan dan peribadatan. Esa dalam
Dzat-Nya, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya. Dengan demikian, tidak ada yang serupa dan
sepadan dengan-Nya dalam hal tersebut karena Dia-lah Sang Pencipta dan Pemilik segala
sesuatu di alam ini. Tidaklah patut sesuatu yang diadakan dan diciptakan memiliki kedudukan
seperti Pencipta-nya. Dan Pencipta mereka adalah Allah, al-Ma’bud, satu-satunya Dzat yang
berhak disembah” [Aisaar at-Tafaasir 5/628]. Oleh karenanya, pada ayat kedua dinyatakan
bahwa Allah adalah ash-Shamad yang berarti Tuhan yang segala sesuatu bergantung kepada-
Nya. Seluruh makhluk di langit dan di bumi memanjatkan permohonan kepada diri-Nya untuk
dikabulkan. Keberadaan berbagai sesembahan selain-Nya yang memiliki ketidaksempurnaan,
kelemahan, dan sifat ketergantungan menunjukkan bahwa mereka semua tidak layak untuk
disembah. Berbagai sesembahan tersebut pada hakikatnya merupakan makhluk yang tidak
memiliki kekuasaan dan kemampuan sebagaimana kekuasaan dan kemampuan yang dimiliki
Allah. Bahkan Allah lah yang Maha Kuasa menciptakan mereka dan menangani berbagai
kebutuhan hamba.
Keesaan Allah juga ditegaskan dalam ayat ketiga dan ayat keempat ketika dinyatakan
bahwa Allah tidak mengangkat seorang anak pun, tidak pula menjadi anak bagi selain-Nya,
dan bahwa tidak ada seorang pun yang sama, sepadan, sebanding, setara dengan-Nya. Tidak
ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Hal tersebut menjadi bukti yang semakin
mendukung bahwa hanya Tuhan yang memiliki sifat tersebut yang layak menjadi tujuan dalam
segenap peribadahan. (T.K.M Tarbiyah, 2011)
2.2.2. Keesaan Allah dan perkara tauhid merupakan pondasi keimanan dan perkara yang men-
dasar dalam Islam. Hal tersebut telah dijelaskan dengan gamblang dan lugas dalam surat al
7
Ikhlash. Siapa pun yang menyelisihi ketentuan yang terdapat dalam surat ini maka ia telah
mengingkari keesaan Allah, sehingga terjatuh dalam kekufuran atau kesyirikan. (D.A
Gazhali, 2015).
8
mereka. Semua itu berangkat dari kebodohan mereka terhadap Allah dan keagungan-Nya.
Tidaklah patut bagi Tuhan memiliki anak laki-laki dan perempuan, tidak pula patut memiliki
istri, tidak pula patut bagi-Nya seorang yang bersekutu dalam mengatur ciptaan-Nya” [Jaami’
al-Bayaan fii Takwil al-Quraan 11/10].
Latar belakang mengapa mereka berkata bahwa diri mereka adalah anak-anak Allah dan
kekasih-kekasihnya dikemukakan oleh Ibnu Katsir rahimahullah, yaitu :
a. Mereka berkata demikian karena berpandangan bahwa mereka adalah orang-orang yang
dekat kepada Allah seperti kedekatan orang tua dengan anaknya,
b. Mereka berkata demikian bahwa mereka adalah pengikut-pengikut anak-anak Allah karena
sebagaimana diketahui bahwa Yahudi berkeyakinan bahwa Uzair adalah anak Allah seperti
keyakinan Nashrani yang berkata Isa adalah anak Allah, atau
c. Mereka berkata demikian karena keliru dalam memahami perkataan “anak” dan kekasih”
yang terdapat dalam kitab-kitab suci mereka.
Apapun yang melatarbelakangi hal tersebut, ayat di atas membantah kedustaan mereka
yang bertujuan untuk membenarkan kesesatan dan kekafiran yang mereka kerjakan. Khusus
terkait kekeliruan Yahudi dan Nasrani dalam memahami kata “anak” yang terdapat dalam kitab
suci mereka, maka Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ketika Allah berfirman kepada hamba-Nya,
Israil, “Engkau adalah anakku dari seorang perawan”, kaum Yahudi telah menafsirkannya
dengan tafsiran yang tidak pada tempatnya sehingga mereka pun menyimpangkannya. Mereka
telah dibantah oleh orang-orang Yahudi yang masuk Islam dan berakal sehat bahwa ungkapan
tersebut digunakan sebagai bentuk penghormatan dan pemuliaan. ( A. Makhtum, 2017).
Hal ini seperti kaum Nashrani yang mengutip perkataan Isa di kitab suci mereka ketika
berkata, “Sesungguhnya aku akan pergi kepada bapakku dan bapak kalian”. Kata “bapak” yang
9
dimaksud memiliki arti Rabb (Tuhan). Sehingga arti perkataan Isa tersebut adalah “…Rabb-ku
dan Rabb kalian”. Telah maklum, bahwa kaum Nashrani tidak mengklaim sebagai anak Tuhan
untuk diri mereka sendiri sebagaimana klaim mereka terhadap Isa ‘alaihissalam bahwa beliau
adalah anak Tuhan [Tafsir Ibn Katsir 3/68-69].
Keesaan Allah SWT, menurut M. Quraish Shihab, mencakup beberapa hal yaitu sebagai beri-
kut:
1. Keesaan Dzat. Hal ini mengandung pengertian bahwa seseorang harus percaya bahwa Al-
lah SWT tidak terdiri dari unsur-unsur atau bagian-bagian. Karena bila Dzat Yang Maha
Kuasaitu terdiri dari dua unsure atau lebih maka ini berarti Dia membutuhkan unsure atau
bagian itu, atau dengan kata lain unsure atau bagian itu merupakan syarat bagi wujud-Nya
dan ini bertentangan dengan sifat Ketuhanan yang tidak membutuhkan suatu apapun.
2. Keesaan Sifat. Hal ini menuntunkan bahwa Allah SWT memiliki sifat yang tidak sama
dalam substansi dan kapasitas-Nya dengan sifat makhluk, walaupun dari segi bahasa kata
yang digunakan menunjuk sifat tersebut sama. Sebagai contoh, kata Rahiim merupakan
sifat bagi Allah, tetapi juga digunakan untuk menunjuk rahmat/kasih sayang makhluk. Na-
mun substansi dan kapasitas rahmat dan kasih sayang Allah berbeda dengan rahmat ma-
khluk-Nya. Allah Maha Esa di dalam sifatnya, sehingga tidak ada yang menyamai substansi
dan kapasitas sifat tersebut.
3. Keesaan dalam perbuatan. Hal mengandung pengertian bahwa segala sesuatu yang berada
di alam raya ini, baik system kerjanya maupun sebab dan wujudnya, kesemuanya adalah
hasil perbuatan Allah semata. Tetapi ini bukan berarti bahwa Allah berlaku sewenang-we-
nang, atau “bekerja” tanpa sistem. Keesaan perbuatan-Nya dikaitkan dengan hukum-
hukum, atau takdir dan sunatullah yang ditetapkan-Nya.
4. Keesaan Beribadah. Hal ini menuntukan kepada makhluk bahwa wajib untuk beribadah
kepada Allah secara tulus. Keesaan beribadah ini sesungguhnya merupakan pewujudan dari
ketiga keesaan di atas. Ketiga keesaan di atas merupakan hal-hal yang harus diketahui dan
diyakini.
10
2.3.1. Wujud ( Ada )
Adanya Allah itu bukan karena ada yang mengadakan atau menciptakan, tetapi Allah
itu ada dengan zat-Nya sendiri. Sifat mustahil-Nya adalah : Adam yang berarti tidak ada.
Untuk itulah kita tidak boleh meragukan atau mempertanyakan keberadaanNya.
Keimanan seseorang akan membuatnya dapat berpikir dengan akal sehat bahwa alam semesta
beserta isinya ada karna Allah yang menciptakannya.“Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah
yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas
Arsy”. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (dicip-
takan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada
perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha suci
Allah, Rabb semesta alam“ … (QS. Al-A’raf :54). (A. A.M Sambas).
Kepercayaan ada dan tidak adanya Allah SWT bergantung pada manusia itu sendiri
yang bisa menggunakan akal sehatnya, sebagai bukti dengan adanya alam beserta isinya. Jika
kita perhatikan, maka dari mana alam semesta itu berasal ?
Dialah yang mengadakan segala sesuatu di alam ini, termasuk diri kita.
Selain melihat alam semesta, kita juga dapat melihat tanda-tanda kekuasaan-Nya, sep-
erti manusia dengan segala perlengkapan hidupnya di dunia ini. Tentu kita bisa berfikir bahwa
semua yang ada pasti ada yang menciptakan, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa ( Allah SWT).
Terkait dengan hal ini Allah SWT berfirman :
“Dan dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian pendengaran, penglihatan dan hati.
Amat sedikitlah kamu bersyukur. Da Dialah yang menciptakan serta mengembangbiakkan
kamu di bumi ini dan kepada-Nyalah kamu akan dihimpun. Dan Dialah yang menghidupkn
dan mematikan dan Dialah yang mengatur pertukaran malam da siang. Maka apakah kamu
tidak berfikir?” … (Q.S.Al Muminun :78-80)
11
Khalik (Maha Pencipta). Oleh karena itu Allah SWT wajib bersifat qidam.Firman Allah SWT
: “Dialah yang Awal dan yang Akhir, yang Zhahir dan yang Bathin; dan Dia Maha
Mengetahui segala sesuatu“ … (QS. Al-Hadid :3).
Adanya Allah itu pasti lebih awal daripada mahluk ciptaan-Nya. Seandainya
keberadaan Allah didahului oleh mahluk-Nya, maka semua ciptaan Allah ini akan hancur
berantakan. Hal ini tentu mustahil bagi Allah karena Allah Maha pencipta, tidak mungkin
ciptaannya lebih dahulu daripada yang menciptakan..
Berbeda dengan semua yang baru (mahluk). Sifat mustahil-Nya adalah : Mumasalatu
lil hawadisi Artinya serupa dengan semua yang baru(mahluk). Sifat ini menunjukkan bahwa
Allah SWT berbeda dengan hasil ciptaan-Nya. Coba kita perhatikan tukang jahit hasil baju
yang dijahit sendiri tidak mungkin sama dengan baju yang dibuat orang lain. Begitu juga
dengan tukang pembuat sepatu tidak mungkin sama dengan sepatu yang dibuatnya, bahkan
robot yang paling canggih dan mirip manusia sekalipun tidak akan sama dengan manusia yang
membuatnya. Firman Allah SWT : “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan
Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat“ … (QS. Asy-Syura :11). Senada dengan
ayat tersebut Allah SWT juga berfirman dalam ayat yang lain yang berbunyi :
“……….Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia(Allah).” … (QS Al Ikhlas :4)
12
Dari dua ayat di atas dapat diambil pelajaran bahwa yang dimaksud dengan tidak setara itu
adalah tentang keagungan, kebesaran, kekuasaan dan ketinggian sifat-Nya. Tidak satupun dari
mahluk-Nya yang menyerupai-Nya..
Qiyamuhu Binafsihi berarti Allah SWT itu berdiri dengan zat sendiri tanpa membutuh-
kan bantuan yang lain. Maksudnya, keberadaan Allah SWT itu ada dengan sendirinya tidak
ada yang mengadakan atau menciptakan .Contohnya,
Allah SWT menciptakan alam semesta ini karena kehendak sendiri tanpa minta pertolongan
siapapun. Sifat mustahil-Nya adalah : Ihtiyaju lighairihi artinya membutuhkan bantuan
yang lain. Berbeda sekali dengan manusia, manusia hidup di dunia ini tidak bisa hidup sendiri-
sendiri. Mereka pasti saling membutuhkan antara satu dan yang lainnya karena mereka mahluk
(yang diciptakan), sedangkan Allah SWT adalah Maha Pencipta. Firman Allah SWT :“Allah
tidak ada Tuhan selain Dia. Yang hidup kekal lagi senantiasa berdiri sendiri.” (QS Ali Im-
ran:2). Sadarlah ternyata kita ini mahluk yang sangat lemah karena tidak mampu hidup tanpa
bantuan orang lain. Akan tetapi, sebagai manusia kita juga harus memiliki sifat mandiri supaa
tidak bergantung pada orang lain.
Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Esa., baik itu Esa zat-Nya, sifat-Nya, maupun
perbuatannya. Esa zat-Nya maksudnya zat Allah SWT itu bukanlah hasil dari penjumlahan dan
perkiraan atau penyatuan satu unsur dengan unsur yang lain mkenjadi satu. Berbeda dengan
mahluk, mahluk diciptakan dari berbagai unsur, seperti wujudnya manusia, ada tulang, daging,
kulit dan seterusnya. Esa sifat-Nya artinya semua sifat-sifat kesempurnaan bagi Allah SWT
tidak sama dengan sifat-sifat pada mahluk-Nya, seperti marah, malas dan sombong. Esa per-
buatan-Nya berarti Allah SWT berbuat sesuatu tidak dicampuri oleh perbuatan mahluk apapun
dan tanpa membutuhkan proses atau tenggang waktu. Allah SWT berbuat karena kehendak-
Nya sendiri tanpa ada yang menyuruh dan melarang. Sifat mustahil-Nya adalah
: Ta’adud Artinya berbilang atau lebih dari satu. Allah SWT mustahil (tidak mungkin) lebih
dari satu. Seandainya lebih dari satu pasti terjadi saling bersaing dalam menentukan segala
sesuatunya, kalau terjadi demikian pasti alam semesta tidak akan terwujud. Perhatikan firman
Allah SWT berikut ini : ”Katakanlah (Muhammad ). Dialah Tuhan Yang Maha Esa . Allah
adalah Tuhan yang bergantung kepada_Nya segala sesuatu . dia tidak beranak dan tidak
diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” … (QS Al Ikhlas :1-4).
13
Meyakini ke-Esa-an Allah SWT merupakan hal yang paling prinsip. Seseorang dianggap mus-
lim atau tidak , bergantung pada pengakuan tentang ke-Esa-an Allah SWT. Hal ini dapat dibuk-
tikan dengan cara bersaksi terhadap Allah SWT, yaiut dengan membaca syahadat tauhid yang
berbunyi : “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah.” (N.A.Jawi, 1297).
Kekuasaan Allah SWT, atas segala sesuatu itu mutlak, tidak ada batasnya dan tidak ada
yang membatasi, baik terhadap zat-Nya sendiri maupun terhadap makhluk-Nya. Berbeda
dengan kekuasaan manusia ada batasnya dan ada yang membatasi. Sifat mustahil-Nya adalah
: ‘Ajzu artinya lemah. Allah SWT tidak mungkin bersifat lemah. Bagi Allah SWT, jika sudah
berkehendak melakukan atau melakukan sesuatu, maka tidak ada satu pun yang dapat
menghalangin-Nya. Dengan demikian, Allah SWT tetap bersifat kudrat (kuasa) dan mustahil
bersifat ‘ajzu (lemah). Firman Allah SWT : “Sesungguhnya ALLAH berkuasa atas segala
sesuatu“ … (QS. Al-Baqarah :20). Sungguh idak patut manusia bersifat sombong dengan
kekuasaan yang kita miliki karena sebesar apapun Allah SWT. Pasti lebih kuasa. Oleh karena
itu, kita sebagai hamba Allah yang hidup di muka bumi harus berkarya, berkreasi, dan berino-
vasi.
14
bersifat sementara. Oleh karena itu, apapun yang kita cita-citakan dengan tujuan mengharap
rida Allah SWT.
15
Allah SWT mendengar setiap suara yang ada di alam semesta ini. Yidak ada suara yang terlepas
dari pendengaran Allah SWT walaupun suara itu lemah dan pelan., seperti suara bisikan hati
dan jiwa manusia. Pendengaran Allah SWT berbeda dengan pendengaran mahluk –Nya karena
tidak terhalang oleh suatu apapun, sedangkan pendengaran mahluk-Nya dibatasi ruang dan
waktu. Sifat mustahil-Nnya adalah : Summun artinya tuli (tidak mendengar). Allah SWT
mustahil bersifat tuli (tidak mendengar) sebab sekiranya Allah SWT tidak mendengar pasti
segala permohonan dan pernyataa syukur hamba-Nya tidak akan diterima-Nya. Selain itu
penghiaan orang kafir, orang musrik, orang munafiq, dan lain sebagainya tidak dihiraukan-
Nya. Oleh karena itu Allah SWT tetap bersifat sama’ mustahil bersifat summun . Sebagaimana
Firman Allah SWT dalam surah Al Maidah berikut.”Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui” … (QS Al Maidah :76). Sebagai seorang muslim seharusnya kita
senantiasa bertingkah laku, bersikap, dan berbicara dengan bahasa yang santun dan mengeluar-
kan ucapan-ucapan yang baik lagi bermanfaat. Karena Allah SWT pasti mendengar segala per-
kataan m,anusia, baik terucap maupun di dalam hati.
”………Dan Allah maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” … (al-Baqarah: 265). Dengan
memahami sifat besar Allah SWT hendaknya kita selalu berhati-hati dalam berbuat. Mungkin
kita bisa berbohong kepada manusia, seperti orang tua, guru, atau teman. Akan tetapi kita tidak
akan bisa berbohong kepada Allah SWT. Oleh karena itu , berbuat baiklah supaya kita tidak
perlu cemas jika kita harus mempertanggung jawabkannya kelak di akhirat.
16
yang dimiliki oleh manusia. Allah SWT berbicara tanpa menggunkan alat bantu yang ber-
bentuk apapun sebab sifat kalam Allah SWT sangat sempurna. Sebagai bukti bahwa adanya
wahyu Allah SWT berupa al qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan kitab-
kitab Allah yang diturunkan kepada para rasul sebelum Nabi Muhammad SAW. Sifat mustahi-
Nya adalah : Bukmun artinya Bisu. Allah SWT mustahil bersifat bisu. Seandainya Allah
SWT bersifat bisu mana mungkin para utusan-Nya bisa mengerti maksud wahyu yang di-
turunkan kepada tersebut, baik dalam bentuk perintah maupun larangan. Padahal kenyataannya
semua itu tidak mungkin terjadi. Firman Allah SWT : ”……. Dan Allah berkata kepada Musa
dengan satu perkataan yang jelas” (QS AnNisa’ :164). Oleh karena itu kita sebagai hamba
Allah SWT hendaknya membiasakan diri mengucapkan kalimat-kalimat tayyibah, artinya kata-
kata yang mulia, seperti ketika kita berbuat salah, maka segeralah membaca istighfar. Apabila
kita menerima nikmat, maka segeralah mengucapkan hamdalah. Selain itu, kita juga harus
membiasakan diri bertutur kata yang lemah lembut dan sopan santun dengan sesama manusia.
17
Keadaan Allah Ta’ala Yang Hidup. Hakikatnya iaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah
Ta’ala, tiada ia maujud dan tiada ia ma’adum , iaitu lain daripada sifat Hayat. Allah adalah
Dzat Yang Hidup. Allah tidak akan pernah mati, tidak akan pernah tidur ataupun lengah.“Dan
bertakwalah kepada Allah yang hidup kekal dan yang tidak mati“
(QS. Al Furqon :58)
18
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini yaitu tanda-tanda kekuasaan Allah
dibutikan dengan adanya tanda-tanda dari kekuasaan Allah seperti salah satu
contohnya adanya alam semesta beserta isinya merupakan tanda bahwa Allah SWT
ada. Dialah yang menciptakan jagat raya yang menakjubkan ini. Kemudian keesaan
Allah sudah ada dalah Al-Quran surat Al-Ikhlas ayat 1-4, bahwa tidak boleh ada
keraguan dalam hati dan fikiran bahwa tidak ada tuhan selain Allah. Karenga Allah
merupakan satu-satunya yang wajib kita sembah. Terakhir sifat-sifat wajib bagi
Allah yang wajib kita imani ada 20 yakni Wujud, Qidam, Baqa, Mukhalafatu lil
hawadits, Qiyamuhu binafsihi, Wahdaniyat, Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sama,
Bashar, Kalam, Qadirun, Muridan, ‘Aliman, Hayyan, Sami’an, Bashiran,
Mutakalliman.
3.2 Saran
Kami selaku penyusun menyadari masih jauh dari sempurna dan tentunya
banyak sekali kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Hal ini disebabkan karena
masih terbatasnya kemampuan kami. Oleh karena itu, kami selaku pembuat
makalah ini sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Kami
juga mengharapkan makalah ini sangat bermanfaat untuk kami khususnya dan
pembaca pada umumnya
19
DAFTAR PUSTAKA
20
Z. Ali, Pendidikan Agama Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 2015.
21
22