Anda di halaman 1dari 14

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk
masyarakat.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak
sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih
kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala
saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk
masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Bandung, Oktober 2017

Penyusun

i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................................................................................................ i
Daftar Isi........................................................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................................................. 1
C. Tujuan................................................................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Demokrasi.......................................................................................................................................... 2
1. Pengertian Demokrasi.................................................................................................................. 2
2. Gagasan Pendidikan Demokrasi.................................................................................................. 2
3. Tujuan Pendidikan Demokrasi..................................................................................................... 3
4. Macam-Macam Demokrasi.......................................................................................................... 3
5. Perkembangan Demokrasi di Indonesia................................................................................... 3-4
6. Demokrasi Sebagai Implementasi Sila Keempat..................................................................... 4-5
7. Islam dan Demokrasi................................................................................................................... 5
8. Pelaksanaan Demokrasi Yang Ideal............................................................................................ 5
B. Musyawarah....................................................................................................................................... 6
1. Pemberdayaan Masyarakat....................................................................................................... 7-9
2. Pemberdayaan Badan Legislatif.................................................................................................. 9
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...................................................................................................................................... 10
Daftar Pustaka.............................................................................................................................................. 11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.3 Latar Belakang


Demokrasi merupakan sebuah sistem yang paling banyak dianut pada masa ini. Saat ini, banyak sekali
Negara yang menganut sistem demokrasi sebagai sistem pemerintahannya. Demokrasi sendiri berarti
sistem yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi sering diartikan sebagai
penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan persamaan
sistem. Dalam tradisi negara-negara barat, demokrasi didasarkan pada penekanan bahwa rakyat
seharusnya menjadi pemerintah bagi dirinya sendiri dan wakil rakyat menjadi pengendali yang
bertanggung jawab terhadap tugasnya. Oleh karenanya, rakyat tidak mungkin mengambil keputusan
karena jumlah yang terlalu besar. Maka dibentuklah Dewan Perwakilan Rakyat. Pemerintah dipilih secara
langsung oleh rakyat dan berfungsi sebagai penyalur aspirasi dan membuat kebijakan untuk kepentingan
rakyat demi kesejahteraan rakyat.
Sistem demokrasi pun dipercaya sebagai sebuah sistem pemerintahan di Indonesia. Indonesia memiliki
badan legislatif yang anggotanya merupakan wakil rakyat. Rakyat juga berwenang memilih presiden dan
wakil presiden. Namun kenyataannya, Indonesia masih dalam masa “belajar” berdemokrasi, masih dalam
masa sosialisasi tentang demokrasi yang sebenarnya. Masih banyak rakyat yang tidak mengerti hakikat
dari berdemokrasi, dan masih banyak pula yang salah mengaplikasikan bentuk dari demokrasi tersebut.
Dalam Islam, demokrasi telah diajarkan Rasulullah SAW. Yaitu dengan musyawarah. Contohnya,
pada saat perang badar, beliau mendengarkan saran sahabatnya mengenai lokasi perang walaupun itu
bukan pilihan yang diajukan olehnya. Rasulullah pun mulai sering melakukan musyawarah dengan
sahabat-sahabatnya untuk memutuskan sesuatu. Namun yang terjadi saat ini, banyak orang yang
menganggap bahwa sistem demokrasi diadaptasi dari negara-negara barat, sehingga sistem demokrasi
dianggap tidak sesuai dengan kaidah-kaidah Islam. Musyawarah dalam Islam dianggap sebagai suatu cara
untuk menemui kata mufakat secara adil dan kekeluargaan. Sedangkan sistem demokrasi negara barat
dianggap memiliki tujuan yang bersifat duniawi dan materialistis. Maka dari itu, kita perlu memahami
hakikat demokrasi, musyawarah dan pelaksanaan demokrasi yang ideal yang sesuai dengan kaidah-kaidah
Islam serta sesuai dengan cita-cita bangsa dalam Pancasila.

1.3 Rumusan Masalah


1. Apa makna dari demokrasi dan bagaimana perkembangannya?
2. Apa makna dari musyawarah dalam Islam?
3. Bagaimana pandangan Islam terhadap demokrasi?
4. Bagaimana peran badan legislatif dan masyarakat dalam pelaksanaan musyawarah?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
2. Untuk memberikan pemahaman mengenai makna demokrasi dan perkembangannya
3. Untuk memberikan penjelasan mengenai pandangan Islam terhadap demokrasi
4. Untuk mengetahui peran badan legislatif dan masyarakat dalam pelaksanaan musyawarah

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Demokrasi
1. Pengertian Demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri atas dua kata, yaitu demos, yang berarti
rakyat, dan cratein, yang berarti pemerintah. Maka dilihat dari arti katanya, istilah demokrasi mengandung
arti pemerintahan rakyat, yang kemudian lebih dikenal dengan pengertian pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat (government from the people, by the people, and for people).
Batasan demokrasi menurut pengertian secara harafiah diatas menimbulkan kontradiksi dalam
pemahamannya, karena dalam pengertian demikian berarti yang berjumlah lebih banyak memerintah yang
jumlahnya lebih sedikit, sedangkan dalam kenyataannya adalah sebaliknya, yaitu yang berjumlah lebih
sedikit memerintah, yang berjumlah lebih banyak diperintah. Mengenai pengertian demokrasi ini Jean
Jacques Rousseau mengemukakan: “Kalau dipegang arti kata seperti diartikan umum, maka demokrasi
yang sungguh-sungguh tidak pernah ada dan tidak ada. Adalah berlawanan dengan kodrat alam, bahwa
yang berjumlah terbesar memerintah, sedangkan yang paling sedikit harus diperintah”.
Berhubungan dengan hal itu, maka demokrasi dapat diberikan pengertian sebagi suatu sistem
pemerintahan yang mengikutsertakan rakyat. Dari hal tersebut sesungguhnya pengertian demokrasi itu
mengalami perkembangan sejalan dengan paham dan asas yang dianut oleh suatu Negara dalam
kehidupan bernegara.
Negara-negara yang ada didunia kini mendasarkan diri atas paham dan asas demokrasi, meskipun
paham dan asas yang dianutnya tersebut didalam pelaksanaannya tidak sama atau berbeda, sehingga kita
mengenal adanya berbagai sebutan yang dikaitkan dengan paham demokrasi, seperti: social democracy,
liberal democracy, people democracy, guided democracy, dan sebagainya.
Pelaksanaan demokrasi yang tidak sama antara Negara yang satu dengan lainnya dapat dilihat
dalam berbagai konstitusi Negara, dimana dikenal adanya macam-macam bentuk dan sistem
ketatanegaraan seperti: Negara kesatuan dan Negara federal, Negara republik dan Negara kerajaan,
dengan sistem yang dianutnya sepert: sistem satu kamar dan dua kamar, sistem pemerintahan parlementer
dan pemerintahan presidensil, sistem diktatorial dan sistem campuran, dan sebagainya.
Norma-norma yang menjadi pandangan hidup demokrasi:
1) Pentingnya kesadaran akan pluralisme
2) Musyawarah
3) Pertimbangan moral
4) Pemufakatan yang jujur dan sehat
5) Pemenuhan segi-segi ekonomi
6) Kerjasama antar warga masyarakat dan sikap mempercayai itikad baik masing-masing
7) Pandangan hidup demokratis harus dijadikan unsur yang menyatu dengan sistem pendidikan.
2. Gagasan Pendidikan Demokrasi
Pendidikan demokrasi menurut beberapa ahli sebagaimana berikut:
a. Dalam kamus New book of Knowledge volum 4 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan
demokrasi adalah demokrasi yang memberikan kesempatan pendidikan yang sama kepada semua orang,
tanpa membedakan suku, kepercayaan, warna dan status social.
b. Vebrianto
Pendidikan demokrasi adalah pendidikan yang memberikan kesempatan yang lama kepada setiap anak
(pesert didik) mencapai tingkat pendidikan sekolah yang setinggi-tingginya sesuai dengan
kemampuannya.
c. Sugarda Purbakatwaja
Pendidikan demokrasi adalah pengajaran pendidikan yang semua anggota masyarakat mendapatkan
pengajaran dan pendidikan secara adil.
d. M. Muchyidin Dimjati dan M. Roqib
Pendidikan demokrasi adalah pendidikan yang berprinsip dasar rasa cinta dan kasih sayang terhadap
semua.
e. Fuad Ichsan
Pendidikan demokrasi secara luas mengandung tiga hal, yaitu:
1. Rasa hormat terhadap harkat sesame manusia
2. Setiap manusia memililiki perubahan ke arah pikiran yang sehat
3. Rela berbakti pada kepentingan/ kesejahteraan Bersama

2
3. Tujuan Pendidikan Demokrasi
Tujuan pendidikan demokrasi adalah untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan
berpikir demokratis, selain itu agar warga negara mengerti, menghargai kesempatan dan tanggung jawab
sebagai warga negara yang demokratis. Demikian, pendidikan demokrasi demokrasi bukan hanya sekedar
memberikan pengetahuan dan praktek demokrasi, tetapi juga menghasilkan masyarakat dan warga negara
yang berpendirian teguh, mandiri, memiliki sikap selalu ingin tahu, dan berpandangan jauh kedepan.
4. Macam-Macam Demokrasi
Secara umum demokrasi yang dipakai dalam suatu negara sangat banyak macamnya. Jadi saya
akan menyampaikan berdasarkan kategori tertentu dalam pembagian demokrasi ini.
a. Berdasarkan penyaluran kehendak rakyat :
1) Demokrasi Langsung (Direct Democracy)
adalah demokrasi yang secara langsung melibatkan rakyat dalam pengambilan keputusan
suatu negara. Pada demokrasi langsung, rakyat berpartisipasi dalam pemilihan umum dan
menyampaikan kehendaknya secara langsung.
2) Demokrasi Tidak Langsung (Indirect Democracy)
adalah demokrasi yang melibatkan seluruh rakyat dalam pengambilan suatu keputusan
negara secara tidak langsung, artinya rakyat mengirimkan wakil yang telah dipercaya untuk
menyampaikan kehendak mereka. Jadi disini wakil rakyat yang terlibat secara langsung
menjadi perantara seluruh rakyat.

b. Berdasarkan Fokus Perhatiannya:

1) Demokrasi Formal adalah demokrasi yang fokus perhatiannya pada bidang politik tanpa
mengurangi kesenjangan ekonomi.
2) Demokrasi Material adalah demokrasi yang fokus perhatiannya pada bidang ekonomi tanpa
mengurangi kesenjangan politik.
3) Demokrasi Gabungan adalah demokrasi yang fokus perhatiannya sama besar terhadap
bidang politik dan ekonomi, indonesia menganut sistem demokrasi gabungan ini.

c. Berdasarkan Prinsip Ideologi

1) Demokrasi Liberal, yaitu demokrasi yang didasarkan atas hak individu suatu warga negara,
artinya individu memiliki dominasi dalam demokrasi ini. Pemerintah tidak banyak ikut
campur dalam kehidupan bermasyarakat, yang artinya kekuasaan pemerintah terbatas.
Demokrasi Liberal disebut juga demokrasi konstitusi yang kekuasaanya hanya dibatasi oleh
konstitusi.
2) Demokrasi Komunis, yaitu demokrasi yang didasarkan atas hak pemerintah dalam suatu
negara, artinya pemerintah memiliki dominasi dalam demokrasi ini. Demokrasi komunis
dapat dikatakan kebalikan dari demokrasi liberal. Kekuasaan tertinggi dipegang oleh
penguasa tertinggi, kekuasaan pemerintah tidak terbatas. Kekuasaan pemerintah tidak
dibatasi dan bersifat totaliter, sehingga hak individu tidak berpengaruh terhadap kehendak
pemerintah.
3) Demokrasi Pancasila, demokrasi inilah yang dianut indonesia, yaitu demokrasi berdasar
kepada pancasila.

5. Perkembangan Demokrasi di Indonesia

Perkembangan demokrasi di Indonedia mengalami pasang-surut dari masa kemerdekaan sampai


sekarang ini. Dalam perjalanan bangsa dan Negara Indonesia, masalah pokok yang dihadapi ialah
bagaimana demokrasi mewujudkan mereka dalam sisi kehidupan berbangsa dan bernegara. Perkembangan
demokrasi di Indonesia dilihat dari segi waktu dibagi dalam empat periode:
a. Demokrasi Parlementer (1945-1959)
Sistem parlementer yang mulai berlaku setelah kemerdekaan kemudian diperkuat dalam UUD
1945 dan 1950, ternyata tidak cocok di Indonesia. Persatuan yang digalang selama menghadapi musuh
bersama tidak dapat dibina menjadi kekuatan konstruktif setelah kemerdekaan tercapai. Karena
lemahnya benih-benih demokrasi sistem ini. UUD 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer
dimana badan eksekutif terdiri dari presiden sebagai kepala negara konstitusional dan beserta menteri-
menterinya yang mempunyai tanggung jawab politik. Karena fragmentasi partai politik usia kabinet pada
masa ini jarang dapat bertahan cukup lama. Koalisi yang dibangun dengan sangat gampang pecah.
3
Hal inilah yang mendorong Ir. Soekarno sebagi presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli yang
menentukan berlakuknya kembali UUD 1945. Dengan demikian masa demokrasi ini berakhir.
b. Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Ciri-ciri demokrasi ini adalah dominasi dari presiden, terbatasnya partai politik, berkembangnya
pengaruh komunis dan meluasnya peran ABRI sebagai unsure social politik. Banyak sekali penyimpangan
yang terjadi pada masa pemerintahan ini, diantaranya pengangkatan Ir. Soekarno sebagai presiden seumur
hidup, yang tidak sesuai dengan UUD 1945. Selain itu presiden juga membubarkan Dewan Perwakilan
Rakyat hasil Pemilihan Umum, padahal dalam penjelasan UUD 1945 secara eksplisit ditentukan bahwa
presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian.[7]
c. Demokrasi Pancasila (1965-1998)
Landasan formal demokrasi ini yaitu Pancasila, UUD 1945 serta ketetapan MPRS. Dalam usaha
meluruskan penyelewengan terhadap UUD pada masa demokrasi terpimpin, Tap MPRS No. III/1963
mengenai penetapan masa jabatan seumur hidup Ir. Soekarno telah dibatalkan.[8]
Beberapa perumusan tentang demokrasi Pancasila sebagai berikut :
1) Demokrasi dalam bidang politik pada hakikatnya adalah menegakkan kembali asas-asas Negara hukum
dan kepastian hukum.
2) Demokrasi dalam bidang ekonomi pada hakikatnya adalah kehidupan yang layak bagi semua warga
Negara.
3) Demokrasi dalam bidang hukum pada hakikatnya bahwa pengakuan dan perlindungan HAM, peradilan
yang tidak memihak.
Dengan demikian secara umum dapat dijelaskan bahwa watak demokrasi Pancasila tidak berbeda
dengan demokrasi pada umumnya. Karena demokrasi Pancasila memandang kedaulatan rakyat sebagai
inti dari sistem demokrasi. Namun demikian “demokrasi Pancasila” dalam rezim Orde Baru hanya sebagai
retorika dan gagasan belum sampai pada tataran praktis atau penerapan. Karena dalam praktiknya rezim
ini sangat tidak memberikan ruang bagi kehidupan berdemokrasi.[9]
d. Demokrasi Orde Reformasi (1998-Sekarang)
Runtuhnya rezim otoriter orde baru telah membawa harapan baru bagi tumbuhnya demokrasi di
Indonesia. Bergulirnya reformasi yang mengiringi runtuhnya keruntuhan rezim tersebut menandakan
tahap awal bagi transisi demokrasi di Indonesia. Transisi demokrasi merupakan fase krusial yang kritis,
karena dalam fase ini akan ditentukan akan kearah mana demokrasi yang akan dibangun. Sukses atau
gagalnya suatu transisi sangat tergantuung pada empat faktor kunci, yaitu :
- Komposisi elite politik
- Desain institusi politik
- Kultur politik atau perubahan sikap terhadap politik.
- Masyarakat madani (Civil Society)
6. Demokrasi sebagai Implementasi Sila Keempat : Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / Perwakilan
Sila keempat ini mempunyai makna bahwa kekuasaan ada di tangan rakyat, dan dalam
melaksanakan kekuasaannya, rakyat menjalankan sistem perwakilan (rakyat memilih wakil-wakilnya
mealui pemilihan umum) dan keputusan-keputusan yang diambil dilakukan dengan jalan musyawarah
yang dikendalikan dengan pikiran yang sehat, jernih, logis, serta penuh tanggung jawab baik kepada
Tuhan maupun rakyat yang diwakilinya. Butir-butir implementasi sila keempat adalah sebagai berikut:
1. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat. Butir ini menghendaki masyarakat harus mengawal
wakil rakyat yang dipilih lewat pemilu, agar setiap keputusan wakil rakyat mengutamakan kepentingan
negara dan masyarakat.
2. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain. Butir ini menghendaki setiap warga negara untuk tidak
memaksakan kehendak kepada orang lain, menghormati setiap perbedaan, dan dengan akal sehat
melakukan kompromi demi kebaikan masyarakat dan negara.
3. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. Butir ini
menghendaki adanya musyawarah yaitu pembahasan secara bersama-sama atas suatu penyelesaian
masalah.
4. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan. Butir ini menghendaki agar
pengambilan keputusan secara bersama-sama didasarkan semangat kekeluargaan yaitu hubungan
kekerabatan yang sangat erat dan mendasar di masyarakat.
5. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
Butir ini menghendaki, setiap keputusan yang diambil dalam musyawarah untuk diterima dan
dilaksanakan dengan baik
6. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur. Butir ini
menghendaki prinsip musyawarah dalam memecahkan masalah bukan menang dan kalah,
4
serta kepentingan golongan, tetapi dengan menggunakan akal sehat, tidak mabuk dan anarki, sesuai
dengan hati nurani.
7. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha
Esa, menjunjung tinggi harkat martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
7. Islam dan Demokrasi
Perdebatan tentang hubungan antara Islam dan demokrasi sebagaimana diakui oleh Mun’im A.
Sirry memang masih menjadi perdebatan yang belum terselesaikan. Berdasarkan pemetaan yang
dikembangkan oleh Jhon L. Esposito dan James P. Piscatory (Syukron Kamil : 2002) secara umum dapat
dikelompokkan dalam tiga kelompok pemikiran.
Pertama, Islam dan demokrasi adalah dua sistem politik yang berbeda. Islam dipandang sebagai
sistem politik alternatif terhadap demokrasi. Demokrasi sebagai sistem barat tidak tepat untuk dijadikan
acuan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sementara Islam sebagai agama kaffah yang tidak hanya
mengatur aspek teologi (aqidah) dan ibadah, melainkan mengatur segala aspek kehidupan umat manusia.
Ini diungkapkan oleh elit kerajaan Arab Saudi dan elit politik Iran pada masa awal revolusi Iran, Syekh
FadhAllah Nuri, Sayyid Qutb, Thabathabi, Al-Sya’rawi dan Ali Benhadj.
Kedua, kelompok yang menyatakan bahwa Islam dan Demokrasi merupakan konsep yang sejalan
setelah diadakan penyesuaian penafsiran terhadap konsep demokrasi itu sendiri. Diantara tokoh dari
kelompok ini adalah al-Maududi, Abdul Fattah Morou, dan Taufiq Asy-Syawi.
Ketiga, Islam adalah sistem nilai yang membenarkan dan mendukung sistem demokrasi . Pandangan
ini yang paling dominan yang ada di Indonesia, karena demokrasi sudah menjadi bagian integral sistem
pemerintahan Indonesia dan Negara-negara Islam lainnya. Diantara tokoh-tokohnya yaitu, Fahmi
Huwaidi, al-Aqqad, M Husain Haekal, Robert N. Bellah. Di Indonesia diwakili oleh Nurcholis Majid (Cak
Nur), Amien Rais, Munawir Syadzali, A. Syafi’i Ma’arif dan Abdurrahman Zahid.
Penerimaan Negara-negara Islam terahadap demokrasi bukan bararti demokrasi dapat berkembang
dengan cepat secara otomatis. Ada beberapa alas an teoritis yang dapat menjelaskan tentang lambatnya
pertumbuhan dan perkembangan demokrasi di dunia Islam :
1) Pemahaman doktrinal menghambat praktek demokrasi. Hal ini disebabkan oleh kebanyakan kaum
muslim yang cenderung memahami demokrasi sebagai sesuatu yang bertentangan dengan Islam.
2) Persoalan kultur. Sebenarnya demokrasi telah dicoba di Negara-negara Islan sejak paruh pertama abad
dua puluh tetapi gagal. Tampaknya ia akan sukses pada masa-masa mendatang, karena warisan kultural
masyarakat muslim sudah terbiasa dengan otokrasi dan ketaatan pasif. Persoalan kultur ditengarai sebagai
yang paling bertanggung jawab mengapa sulit membangun demokrasi di Negara Islam. Sebab, secara
doktrinal, pada dasarnya hamper tidak dijumpai hambatan teologis dikalangan tokoh-tokoh partai, ormas,
atau gerakan Islam. Bahkan ada kecenderungan untuk merambah tugas baru yaitu merekonsiliasi
perbedaan antara teori politik modern dengan doktrin Islam.
3) Lambannya pertumbuuhan demokrasi di dunia Islam tak ada hubungannya dengan teologi maupun
kultur, melainkan lebih terkait dengan sifat alamiah demokrasi itu sendiri. Untuk membangun demokrasi
dibutuhkan kesungguhan, kesabaran, dan diatas segalanya adalah waktu. Jhon Esposito dan O. Voll adalah
tokoh yang tetap optimis terhadap masa depan demokrasi di dunia Islam. Terlepas dari itu semua, tak
dapat diragukan lagi, pengalaman empirik demokrasi dalam sejarah Islam memang terbatas.
8. Pelaksanaan Demokrasi yang Ideal
Menurut Dahl (1958:10) berkaitan dengan problem pluralisme demokrasi,proses demokrasi yang ideal
hendaknya memenuhi 5 kriteria:
1) Persamaan hak pilih : Dalam mebuat keputusan kolektif yang mengikat, hak istimewa dari setiap warga
Negara seharusnya diperhatikan secara berimbang dalam menentukan keputusan terakhir.
2) Partisipasi efektif : Dalam seluurh proses pembuatan keputusan secara kolektif, termasuk tahap
penentuan agenda kerja, setiap warga Negara harus mempunyai kesempatan yang sama dan memadai
untuk menyatakan hak-hak istimewanya dalam rangka mewujudkan kesimpulan terakhir.
3) Pembenaran kebenaran : Dalam waktu yang dimungkinkan, karena keperluan untuk suatu keputusan,
setiap warga Negara harus mempunyai peluang yang sama dan memadai untuk melakukan penilaian logis
demi mencapai hasil yang paling diinginkan.
4) Kontrol Terakhir terhadap agenda : Masyarakat harus mempunyai kekuasaan eksklusif untuk
menentukan soal-soal mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses-proses yang memenuhi
ketiga criteria yang disebut pertama. Dengan cara lain, tidak memisahkan masyarakat dari hak kontrolnya
terhadap agenda dan dapat mendelegasikan wewenang kekuasaan kepada orang-orang lain yang mungkin
dapat membuat keputusan-keputusan lewat proses non demokrasi.
5) Pencakupan : Masyarakat harus meliputi semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum, kecuali
pendatang sementara.

5
B. Musyawarah
Kata musyawarah terambil dari kata (‫ ) شور‬syawara yang pada mulanya bermakna “mengeluarkan
madu dari sarang lebah”. Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat
diambil / di keluarkan dari yang lain ( termasuk pendapat). Orang yang bermusyawarah bagaikan orang
yang minum madu. (Quraish Shihab : 2001)
Dari makna dasarnya ini diketahui bahwa lingkaran musyawarah yang terdiri dari peserta dan
pendapat yang akan disampaikan adalah lingkaran yang bernuansa kebaikan. Peserta musyawarah adalah
bagaikan lebah yang bekerja sangat disiplin, solid dalam bekerja sama dan hanya makan dari hal- hal yang
baik saja ( disimbolkan dengan kembang), serta tidak melakukan gangguan apalagi merusak dimanapun
ia hinggap dengan catatan ia tidak diganggu. Bahkan sengatannya pun bisa menjadi obat. Sedangkan isi
atau pendapat musyawarah itu bagaikan madu yang dihasilkan oleh lebah. Madu bukan hanya manis tapi
juga menjadi obat dan karenanya menjadi sumber kesehatan dan kekuatan. Itulah hakekat dan semangat
sebenarnya dari musyawarah. Karenanya kata tersebut tidak digunakan kecuali untuk hal- hal yang baik-
baik saja.
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya
kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekeliling. Karena itu
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan maksudnya : urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi,
kemasyarakatan dan lain-lainnya.kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakal-lah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepadaNya (Q.S. Ali Imran :
159)
Perintah bermusyawarah pada ayat diatas turun setelah peristiwa menyedihkan pada perang uhud.
Ketika itu menjelang pertempuran, Nabi mengumpulkan sahabat-sahabatnya untuk memusyawarahkan
bagaimana sikap menghadapi musuh yang sedang dalam perjalanan dari Mekah ke Madinah. Nabi
cenderung bertahan di kota Madinah, dan tidak keluar menghadapi musuh yang datang dari mekah.
Sahabat-sahabat beliau, terutama kamu muda yang penuh semangat mendesak agar kaum muslim,
dibawah pimpinan Nabi Muhammad SAW keluar menghadapi musuh.
Pendapat mereka itu mendapat dukungan mayoritas, sehingga Nabi menyetujuinya. Tetapi,
peperangan berakhir dengan gugurnya para sahabat yang jumlahnya tidak kurang dari tujuh puluh orang.
Konteks turunnya ayat ini, serta kondisi psikologis yang dialami Nabi dan sahabat beliau amat perlu
digaris bawahi untuk melihat bagaimana pandangan Al-Quran tentang musyawarah.
Ayat ini seakan-akan berpesan kepada Nabi, bahwa musyawarah harus tetap dipertahankan dan
dilanjutkan. Walaupun terbukti pendapat yang mereka putuskan keliru. Kesalahan mayoritas lebih dapat
ditoleransi dan dapat menjadi tanggung jawab bersama, dibandingkan dengan kesalahan seseorang
meskipun diakui kejituan pendapatnya sekalipun.
Dari ayat tersebut dapat diambil empat sikap ideal ketika dan setelah melakukan musyawarah:
1. Sikap lemah lembut. Seseorang yang melakukan musyawarah, apalagi pemimpin harus
menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala.
2. Memberi maaf dan membuka lembaran baru. Sikap ini harus dimiliki peserta musyawarah, sebab
tidak akan berjalan baik, kalau peserta masih diliputi kekeruhan hati apalagi dendam.
3. Memiliki hubungan yang harmonis dengan Tuhan yang dalam ayat itu dijelaskan dengan
permohonan ampunan kepada- Nya. Itulah sebabnya yang harus mengiringi musyawarah adalah
permohonan maghfiroh dan ampunan Ilahi.
4. Setelah selesai semuanya harus diserahkan kepada Allah, bertawakkal.
Kita sering mendengar mengenai Syura jika berbicara tentang musyawarah. Syura, sebenarnya
adalah suatu forum, dimana setiap orang mempunyai kemungkinan untuk terlibat dalam urun rembuk,
tukar pikiran, membentuk pendapat, dan memcahkan suatu persoalan bersama.
Musyawarah adalah pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan bersama dengan
maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah. Bermusyawarah artinya berunding atau
berembug. Sedangkan permusyawaratan berarti berunding. Sehingga jelaslah bahwa permusyawaratan
dalam sila keempat Pancasila merupakan perundingan dalam rangka pembahasan bersama dengan
maksud untuk mencapai keputusan terhadap suatu masalah yang menyangkut orang banyak.
Orang –orang yang bisa dan layak bermusyawarah sebagaimana yang terisrat dalam Q.S Asy –
Syura : 38, bahwa setiap persoalan yang dipecahkan secara kolektif kolegial akan memberikan manfaat
dan kemashlahatan yang luas. Bahkan Islam sebagai rahmatan lil alamin tidak membatasi keterlibatan
non Islam dalam menyumbangkan sarannya untuk memcahkan masalah. Karena musyawarah dalam
Islam bersifat inklusif.
Dengan demikian, esensi musyawarah adalah pemberian kesempatan kepada anggota
masyarakat yang memiliki kemamapuan dan hak untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan
yang mengikat, baik dalam bentuk aturan-aturan hukum atau kebijaksanaan politik.
6
1. Pemberdayaan Masyarakat
a. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat
Para ilmuwan sosial dalam memberikan pengertian pemberdayaan mempunyai
rumusan yang berbeda-beda dalam berbagai konteks dan bidang kajian, hal tersebut
dikarenakan belum ada definisi yang tegas mengenai konsep pemberdayaan. Oleh karena itu,
agar dapat memahami secara mendalam tentang pengertian pemberdayaan maka perlu
mengkaji beberapa pendapat para ilmuwan yang memiliki komitmen terhadap pemberdayaan
masyarakat.
Pertama akan kita pahami pengertian tentang pemberdayaan. Menurut Sulistiyani
(2004 : 77) secara etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar “daya” yang berarti
kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan dapat
dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya atau proses pemberian daya
(kekuatan/kemampuan) kepada pihak yang belum berdaya. Kedua pengertian tentang
masyarakat, menurut Soetomo (2011 : 25) masyarakat adalah sekumpulan orang yang saling
berinteraksi secara kontinyu, sehingga terdapat relasi sosial yang terpola, terorganisasi.
Dari kedua definisi tersebut bila digabungkan dapat dipahami makna pemberdayaan
masyarakat. Namun sebelum kita tarik kesimpulan, terlebih dahulu kita pahami makna
pemberdayaan masyarakat menurut para ahli. Menurut Moh. Ali Aziz, dkk (2005 : 136) :
“Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses di mana masyarakat, khususnya mereka
yang kurang memiliki akses ke sumber daya pembangunan, didorong untuk meningkatkan
kemandiriannya di dalam mengembangkan perikehidupan mereka. Pemberdayaan masyarakat
juga merupakan proses siklus terus-menerus, proses partisipatif di mana anggota masyarakat
bekerja sama dalam kelompok formal maupun informal untuk berbagi pengetahuan dan
pengalaman serta berusaha mencapai tujuan bersama. Jadi, pemberdayaan masyarakat lebih
merupakan suatu proses”.
Selanjutnya pemaknaan pemberdayaan masyarakat menurut Madekhan Ali (2007 : 86)
yang mendefinisikan pemberdayaan masyarakat sebagai berikut ini: “Pemberdayaan
masyarakat sebagai sebuah bentuk partisipasi untuk membebaskan diri mereka sendiri dari
ketergantungan mental maupun fisik. Partisipasi masyarakat menjadi satu elemen pokok dalam
strategi pemberdayaan dan pembangunan masyarakat, dengan alasan; pertama, partisipasi
masyarakat merupakan satu perangkat ampuh untuk memobilisasi sumber daya lokal,
mengorganisir serta membuka tenaga, kearifan, dan kreativitas masyarakat.Kedua, partisipasi
masyarakat juga membantu upaya identifikasi dini terhadap kebutuhan masyarakat”.
Mengacu pada pengertian dan teori para ahli di atas, dalam penelitian ini
pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya membangkitkan kesadaran akan potensi yang
dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya sehingga masyarakat dapat mencapai
kemandirian. Kemudian dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah upaya
untuk meningkatkan daya atau kekuatan pada masyarakat dengan cara memberi dorongan,
peluang, kesempatan, dan perlindungan dengan tidak mengatur dan mengendalikan kegiatan
masyarakat yang diberdayakan untuk mengembangkan potensinya sehingga masyarakat
tersebut dapat meningkatkan kemampuan dan mengaktualisasikan diri atau berpartisipasi
melalui berbagai aktivitas.
b.Tujuan Pemberdayaan Masyarakat
Tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat menurut Sulistiyani (2004 :
80) adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut
meliputi kemandirian berfikir, bertindak, dan mengendalikan apa yang mereka lakukan
tersebut. Untuk mencapai kemandirian masyarakat diperlukan sebuah proses. Melalui proses
belajar maka secara bertahap masyarakat akan memperoleh kemampuan atau daya dari waktu
ke waktu.
Berikut tujuan pemberdayaan menurut Tjokowinoto dalam Christie S (2005: 16) yang
dirumuskan dalam 3 (tiga) bidang yaitu ekonomi, politik, dan sosial budaya; “Kegiatan
pemberdayaan harus dilaksanakan secara menyeluruh mencakup segala aspek kehidupan
masyarakat untuk membebaskan kelompok masyarakat dari dominasi kekuasan yang meliputi
bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya. Konsep pemberdayaan dibidang ekonomi adalah
usaha menjadikan ekonomi yang kuat, besar, mandiri, dan berdaya saing tinggi dalam
mekanisme pasar yang besar dimana terdapat proses penguatan golongan ekonomi lemah.
Sedang pemberdayaan dibidang politik merupakan upaya penguatan rakyat kecil dalam proses
pengambilan keputuan yang menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya atau

7
kehidupan mereka sendiri. Konsep pemberdayaan masyarakat di bidang sosial budaya
merupakan upaya penguatan rakyat kecil melalui peningkatan, penguatan, dan penegakan nilai-
nilai, gagasan, dan norma-norma, serta mendorong terwujudnya organisasi sosial yang mampu
memberi kontrol terhadap perlakuan-perlakuan politik dan ekonomi yang jauh dari moralitas”.
Dari paparan tersebut dapat kita simpulkan bahwa tujuan pemberdayaan adalah
memampukan dan memandirikan masyarakat terutama dari kemiskinan, keterbelakangan,
kesenjangan, dan ketidakberdayaan. Kemiskinan dapat dilihat dari indikator pemenuhan
kebutuhan dasar yang belum mencukupi/layak. Kebutuhan dasar itu, mencakup pangan,
pakaian, papan, kesehatan, pendidikan, dan transportasi. Sedangkan keterbelakangan, misalnya
produktivitas yang rendah, sumberdaya manusia yang lemah, kesempatan pengambilan
keputusan yang terbatas.
Kemudian ketidakberdayaan adalah melemahnya kapital sosial yang ada di masyarakat
(gotong royong, kepedulian, musyawarah, dan kswadayaan) yang pada gilirannya dapat
mendorong pergeseran perilaku masyarakat yang semakin jauh dari semangat kemandirian,
kebersamaan, dan kepedulian untuk mengatasi persoalannya secara bersama.
c. Strategi dan Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat
Berdasar pendapat Sunyoto Usman (2003 : 40-47 ) ada beberapa strategi yang dapat
menjadi pertimbangan untuk dipilih dan kemudian diterapkan dalam pemberdayaan
masyarakat, yaitu menciptakan iklim, memperkuat daya, dan melindungi. Dalam upaya
memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu; pertama, menciptakan suasana
atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Disini titik
tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia memiliki potensi atau daya yang
dapat dikembangkan. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat
(empowering), upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan, dan derajat
kesehatan, serta akses ke dalam sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, lapangan
kerja, dan pasar. Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses
pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah.
Berbicara tentang pendekatan, bila dilihat dari proses dan mekanisme perumusan
program pembangunan masyarakat, pendekatan pemberdayaan cenderung mengutamakan alur
dari bawah ke atas atau lebih dikenal pendekatan bottom-up. Pendekatan ini merupakan upaya
melibatkan semua pihak sejak awal, sehingga setiap keputusan yang diambil dalam
perencanaan adalah keputusan mereka bersama, dan mendorong keterlibatan dan komitmen
sepenuhnya untuk melaksanakannya.
Partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan dalam rangka perencanaan dan penentuan
kebijakan, atau dalam pengambilan keputusan. Model pendekatan dari bawah mencoba
melibatkan masyarakat dalam setiap tahap pembangunan. Pendekatan yang dilakukan tidak
berangkat dari luar melainkan dari dalam. Seperangkat masalah dan kebutuhan dirumuskan
bersama, sejumlah nilai dan sistem dipahami bersama. Model bottom memulai dengan situasi
dan kondisi serta potensi lokal. Dengan kata lain model kedua ini menampatkan manusia
sebagai subyek. Pendekatan “bottom up” lebih memungkinkan penggalian dana masyarakat
untuk pembiayaan pembangunan. Hal ini disebabkan karena masyarakat lebih merasa
“memiliki”, dan merasa turut bertanggung jawab terhadap keberhasilan pembangunan, yang
nota bene memang untuk kepentingan mereka sendiri. Betapa pun pendekatan bottom-up
memberikan kesan lebih manusiawi dan memberikan harapan yang lebih baik, namun tidak
lepas dari kekurangannya, model ini membutuhkan waktu yang lama dan belum menemukan
bentuknya yang mapan.
d.Prinsip-prinsip Pemberdayaan Masyarakat
Untuk melakukan pemberdayaan masyarakat secara umum dapat diwujudkan dengan
menerapkan prinsip-prinsip dasar pendampingan masyarakat, sebagai berikut:
1) Belajar Dari Masyarakat
Prinsip yang paling mendasar adalah prinsip bahwa untuk melakukan pemberdayaan
masyarakat adalah dari, oleh, dan untuk masyarakat. Ini berarti, dibangun pada pengakuan
serta kepercayaan akan nilai dan relevansi pengetahuan tradisional masyarakat serta
kemampuan masyarakat untuk memecahkan masalah-masalahnya sendiri.
2) Pendamping sebagai Fasilitator
Masyarakat sebagai Pelaku Konsekuensi dari prinsip pertama adalah perlunya
pendamping menyadari perannya sebagai fasilitator dan bukannya sebagai pelaku atau
guru. Untuk itu perlu sikap rendah hati serta ketersediaan untuk belajar dari masyarakat dan
menempatkan warga masyarakat sebagai narasumber utama dalam memahami keadaan

8
masyarakat itu. Bahkan dalam penerapannya masyarakat dibiarkan mendominasi kegiatan.
Kalaupun pada awalnya peran pendamping lebih besar, harus diusahakan agar secara
bertahap peran itu bisa berkurang dengan mengalihkan prakarsa kegiatan-kegiatan pada
warga masyarakat itu sendiri.
3) Saling Belajar
Saling Berbagi Pengalaman Salah satu prinsip dasar pendampingan untuk
pemberdayaan masyarakat adalah pengakuan akan pengalaman dan pengetahuan
tradisional masyarakat. Hal ini bukanlah berarti bahwa masyarakat selamanya benar dan
harus dibiarkan tidak berubah.
2. Pemberdayaan Badan Legislatif
Sistem perwakilan akan lebih sulit dibandingkan dengan sistem langsung, selama
badan legislatif berkualitas. Badan legislatif menduduki posisi sentral, karena anggota badan
legislatif merupakan politisi yang mendapat mandat dari rakyat pemilih untuk mewakili
kepentingan mereka, bukan sekedar sebagai pengesah dan pendukung kebijakan pemerintah.
Persoaalan lain yang menyangkut pemberdayaan legislatif adalah peningkatan
profesionalisme anggota legislatif. Rekruitmen anggota legislatif sering tidak memperhatikan latar
belakang pendidikan dan pengalaman professional anggota, sehingga siapapun yang diusulkan
partai dapat menjadi anggota DPR tanpa melalui tahapan evaluasi terhadap calon secara maksimal.
Kondisi inilah yang sering membuat anggota DPR kurang tanggap terhadap tuntutan dan harapan
masyarakat banyak. Hanya segelintir anggota DPR yang memiliki kemampuan dan keberanian
untuk menyuarakan penderitaan rakyat. Selebihnya, mereka kurang berusaha menyentuh aspirasi
yang selalu tumbuh dari masyarakat.
Pemberdayaan badan legislatif dapat dilakukan dengan menjadikan lembaga legislatif
yang kritis terhadap implementasi kebijakan pemerintah. Di samping itu, badan legislatif juga
perlu mempertimbangkan upaya untuk terus meningkatkan profesionalisasi anggota badan
legislatif dengan mempertimbangkan pendidikan, latar belakang prifesional, serta usia calon
anggota legislatif dalam proses pencalonan (recruitment) anggota legislatif. Di Jerman, misalnya,
rekruitmen anggota legislatif sejak dekade akhir abad ke-20 mulai meningkatkan persyaratan: usia
diatas 40 tahun, berpendidikan tinggi dengan latar belakang profesional yang jelas, dan memiliki
pengalaman dan keahlian yang berhubngan dengan politik. (Chamim, 2003:134-135)
Menurut Dahlan, (2000:1058-1059) bahwa ada tiga syarat mutlak yang harus dimiliki
oleh setiap wakil rakyat, yakni: (1) sifat adil terhadap siapa saja dan senantiasa memelihara
wibawaan nama baik; (2) pengetahuan yang memadahi tentang seluk-beluk Negara
(ketatanegaran) sehingga mampu menentukan pilihan dengan membedakan siapa yang paling
berhak untuk diangkat menjadi imam (kepala Negara) dengan berbagai ketentuan; dan (3)
wawasan luas dan kebijaksanaan sehingga mampu menilai berbagai alternatif serta memilih yang
terbaik untuk umat sesuai dengan kemaslahatannya dan menjauhkan yang dapat
membahayakannya. Di samping itu, ia juga harus senantiasa memperhatikan tradisi yang sudah
mapan di masyarakat.
Ketika Undang-Undang Guru dan Dosen sudah diundangkan dan diberlakukan, bahwa
guru Sekolah Dasar, bahkan guru Taman Kanak-Kanak saja minimal harus berpendidikan S1
(yang sesuai), maka tidak mustahil dan sudah saatnya apabila anggota legislatif yang merupakan
dewan terhormat, ini masih cukup berpendidikan SMP atau yang sederajat. Dan yang lebih
menyakitkan lagi ijazahnya hanya SMP yang disinyalir ada yang aspal. Memang, kualitas tidak
identik dengan jenjang pendidikan.
Karakter seorang anggota legislatif hendaknya memiliki empat dasar sifat utama, yakni
(1) tabligh, artinya menyampaikan; (2) siddiq, artinya benar apa yang diucapkan, tidak berbohong
apalagi membohongi; (3) amanah, menyampaikan apa yang harus disampaikan, tidak korup, dll;
(4) fathonah, artinya cerdas, baik cerdas dalam intelektual, spiritual, emosional maupun sosial.
Apabila badan legislatif beranggotakan individu-individu yang berkualitas, kami yakin
apa yang ditakutkan terjadinya politik uang dalam pemilihan presiden maupun pilgub dan pilbup
tidak akan terjadi.

9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Demi mewujudnya demokrasi yang sesuai dengan cita-cita bangsa dalam Pancasila, maka kita harus
menjalani norma-norma yang menjadi pandangan hidup demokrasi:
1) Pentingnya kesadaran akan pluralisme
2) Musyawarah
3) Pertimbangan moral
4) Pemufakatan yang jujur dan sehat
5) Pemenuhan segi-segi ekonomi
6) Kerjasama antar warga masyarakat dan sikap mempercayai itikad baik masing-masing
7) Pandangan hidup demokratis harus dijadikan unsur yang menyatu dengan sistem pendidikan.
Pada akhirnya demokrasi yang sesungguhnya, dalam pelaksanaannya haruslah merujuk pada
permusyawratan (musyawarah). Dimana esensi musyawarah adalah pemberian kesempatan kepada
anggota masyarakat yang memiliki kemmapuan dan hak untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan
yang mengikat, baik dalam bentuk aturan-aturan hukum atau kebijaksanaan politik.
Dengan hal tersebut, maka perwujudan dan pelaksanaan demokrasi di Indonesia dapat menuju cita-
cita bangsa yang sesungguhnya. Dan idealisme terhadap demokrasi diharapkan dapat dijiwai oleh setiap
warga Negara sehingga tidak lagi memunculkan praktik-praktik demokrasi jual beli yang masih terus
berlanjut hingga saat ini.

10
DAFTAR PUSTAKA
Saepuloh, Aep dan Tarsono, Modul Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi Islam, Bandung,
Batik Press, 2012.
Al Marsudi, Subandi, Pancasila dan UUD 45: Dalam Paradigma Reformasi , Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2012.
Sulaiman, Asep, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bandung: Asman Press, 2012.
Abdul Qaadir Haamid, Tijani. 2001. Pemikiran Politik dalam Islam; Terjemahan oleh Abdul Hayyie al-
Kattani dkk dari Ushulul Fikris-Siyaasi fil-Qur’aanil-Makki. Jakarta: Gema Insani Pers
http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi
http://klinikmahathir.blogspot.com/2007/05/demokrasi-gaya-malaysia-lebih-diyakini.html
http://lkii.icminorthamerica.org/bahan/LKII/Musyawarah.pdf
Muhammad Al-Maqdisiy, Abu. 2008. Demokrasi Sejalan dengan Islam?. Jakarta: Ar Rahmah Media.

11
MAKALAH PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN
“ISLAM, MUSYAWARAH, DAN DEMOKRASI”
Dosen Pengampu: Elan Karlana, Ir.,Mp

Oleh: Kelompok 7
Nurul Aeni (1177040055)
Sandi Sandrian (1177040069)
Sofi Luthfiah Al Hazna (1177040074)
Zhafarina Adzra (1177040091)
Kelas: Kimia-IB

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2017

Anda mungkin juga menyukai