Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Apabila kita perhatikan kehidupan masyarakat Indonesia yang agraris.

Praktik pemberian imbalan atAs jasa seseorang yang telah menggarap tanah orang

lain masih banyak dilaksanakan pemberian imbalan ada yang cenderung pada

praktek muzaraah dan ada yang cenderung pada praktik mukhabarah. Hal

tersebut banyak dilaksanakan oleh para petani yang tidak memiliki lahan

pertanian hanya sebagai petani penggarap.

Muzaraah dan mukhabarah ada Hadits yang melarang seperti yang

diriwayatkan oleh (H.R Bukhari) dan ada yang membolehkan seperti yang

diriwayatkan oleh (H.R Muslim).

B. Rumusan masalah

1. Apakah pengertian, dasar hukum, rukun dan syarat muzaraah?

2. Apakah pengertian, syarat, dasar hukum mukhabaroh dan bagaimana juga

zakatnya?

1
C. Tujuan

1. Mengetahui pengertian, dasar hukum, rukun dan syarat muzaraah

2. Mengetahui pengertian, syarat, dasar hukum mukhabaroh dan bagaimana juga

zakatnya.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Muzaraah dan Mukharabah

1. Pengertian Muzaraah dan Mukhabarah

Menurut bahasa, al-muzara`ah memiliki dua arti, yang pertama al-

muzara`ah yang berarti tharh al-zur`ah ( melemparkan tanaman ), maksudnya

adalah modal (al-hadzar). Makna yang pertama adalah makna majaz dan makna

yang kedua adalah makna hakiki.1

Muzara`ah dan mukhabarah memiliki makna yang berbeda, pendapat

tersebut dikemukakan oleh al-Rafi`I dan al-Nawawi. Sedangkan menurut al-Qadhi

Abu Thayid, muzara`ah dan mukhabarah merupakan satu pengertian.

1 Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2010) hal.153

2
Menurut istilah, muzara`ah dan mukhabarah didevinisikan oleh para ulama,

seperti yang dikemukakan oleh Abd al-Rahman al-Jaziri, sebagai berikut

1. Menurut Hanafiyah, muzara`ah adalah akad untuk bercocok tanam dengan

sebagian yang keluar dari bumi. Sedangkan muhabarah menurut Syafi`iyah

adalah akad untuk bercocok tanam dengan sebagian apa-apa yang keluar dari

bumi.
Definisi muzara`ah dan mukhabarah menurut ulama Hanafiyah hamper tidak

bisa di bedakan. Muzara`ah menggunakan kalimat, bi ba`d al-kharij min al-

ard, sedangkan dalam mukhabarah dengan kalimat bi ba`d ma yakhruju min

al-ard. Adanya perbedaan redaksi tersebut menunjukan adanya perbedaan.

Namun, belum diketahui perbedaan tersebut berdasarkan pemikiran

Hanafiyah.
2. Menurut Hanabilah, muzara`ah adalah pemilik tanah yang sebenarnya

menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit.


3. Menurut Malikiyah, muzara`ah adalah bersekutu dalam akad.
Lebih lanjut dijelaskan dari pengertian tersebut dinyatakan bahwa muzara`ah

adalah menjadikan harga sewaan tanah dari uang, hewan, atau barang-barang

perdagangan.
4. Menurut dhahir nash al-Syafi`i, berpendapat bahwa mukhabarah adalah

menggarap tanah dengan apa yang dikeluarkan dari tanah tersebut.


Sedangkan muzara`ah adalah seorang pekerja menyewa tanah dengan apa

yang dihasilkan dari tanah tersebut.


5. Syaikh Ibrahim al-Bajuri, berpendapat bahwa mukhabarah adalah seorang

pemilik hanya menyerahkan tanah kepada pekerja dan modal dari pengeola.
Dan muzara`ah adalah seseorang pekerja mengelola tanah dengan sebagian

apa yang dihasilkan darinya dan modal dari pemilik tanah.

3
Setelah diketahui definisi-definisi diatas, dapat dipahami dahwa

mukhabarah dan muzara`ah ada kesamaan dan ada pula perbedaan. Persamaannya

ialah antara mukhabarah dan muzara`ah terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu

pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikelola.

Perbedaannya ialah pada modal, bila modal berasal dari pengelola, disebut

mukhabarah, sedangkan bila modal dikeluarkan dari pemilik tanah maka disebut

muzara`ah.

Mukhabarah termasuk jenis pekerjaan yang telah dilakukan orang-orang

sejak dahulu kala,karena kebutuhan mereka pada keduanya.Terkadang seseorang

mempunyai tanah pertanian,namun ia tidak mampu mengurus dan

memanfaatkannya.Jadi mukhabarah dibolehkan demi kebutuhan kedua belah

pihak.Mukhabarah disyariatkan untuk menghindari adanya pemilikan tanah yang

kurang bisa dimanfaatkan,atau menghindari tanah yang dibiarkan tidak

diproduksikan,karena tidak ada yang mengolahnya.

Dalam praktek mukhabarah terdapat pembagian hasil,maka untuk hal-hal

yang lainnya yang bersifat teknis disesuaikan dengan syirkah,yaitu konsep bekerja

sama dalam upaya menyatukan potensi yang ada pada masing-masing

pihak,dengan tujuan saling bisa menguntungkan.

Dengan adanya praktek mukhabarah sangat menguntungkan kedua belah

pihak baik pihak pemilik sawah atau ladang maupun pihak penggarap

tanah.Pemilik tanah lahannya dapat digarap,sedangkan petani dapat meningkatkan

taraf hidupnya.Seperti tadi dijelaskan sistem bagi hasil dari paroan seperti ini

hampir sama dengan muzaraah,hanya saja bedanya dalam muzaraah si pemilik

4
tanah yang mengeluarkan benih yang akan ditanam. Disini pembagian hasilnya

pun menurut kesepakatan kedua belah pihak secara adil. Kerjasama ini biasanya

dilakukan pada tanaman yang harga benihnya relatif murah seperti

padi,jagung,kacang,dll.

B. Dasar Hukum Mukhabarah dan Muzara`ah

Landasan hukum yang membolehkan kukhabarah dan


muzaraah, dari sabda Nabi saw :


,





:






( )

Dari Thawus ra bahwa ia suka bermukhabarah. Amru berkata :


lalu aku katakan kepadanya :ya Abu Abdurrahman, kalau engkau
tinggalkan mukhabarah ini, nanati mereka mengatakan bahwa
Nabi saw telah melarang mukhabarah. Lantas Thawus berkata :
hai Amr, telah menceritakan kepadaku orang yang sungguh-
sungguh mengetahui akan hal itu, yaitu Ibnu Abbas bahwa Nabi
saw tidak melarang mukhabarah itu, hanya beliau berkata:
seseorang memberi manfaat kepada saudaranya lebih baik
daripada ia mengambil manfaat dari saudaranya itu dengan
upah tertentu. (HR.Muslim)2

2 Abdul Rahman Ghazali dkk hal : 118

5
Jadi, hukum mukhabarah sama seperti muzaraah yaitu mubah atau boleh

dan seseorang dapat melakukannya untuk dapat memberi dan mendapat

manfaatnya dari kerjasama muzaraah dan mukhabarah ini. 3

Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum

mukhabarah dan muzara`ah adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari

dan Muslim dari ibnu Abbas r.a yang artinya sesungguhnya Nabi Saw.

Menyatakan, tidak mengharamkan bermuzara`ah, bahkan beliau menyuruhnya,

supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya, barang

siapa yang memiliki tanah, maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya

kepada saudaranya, jika ia tidak mau, maka boleh ditahan saja tanah itu.

Diriwayatkan oleh Abu dawud dan al-Nasa`i dari Rafi` r.a. dari Nabi Saw.

Beliau bersabda yang artinya yang boleh bercocok tanam hanya tiga macam

orang : laki-laki yang ada tanah, maka dialah yang berhak menanamnya dan laki-

laki yang diserahi manfaat tanah, maka dialah yang menanaminya dan laki-laki

yang menyewa tanah dengan mas atau perak

Menurut al-Syafi`iyah, haram hukumnya melakukan muzara`ah. Ia

beralasan dengan hadis sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim dari Tsabit

Ibn al-Dhahak yang artinya bahwa Rasullullah Saw. Telah melarang

bermuzara`ah dan memerintahkan sewa menyewa saja dan Rasullullah Saw.

Bersabda, ia tidak mengapa.

Diriwayatkan oleh Muslim dari Thawus r.a. yang artinya sesungguhnya

Thawus r.a. bermukhabarah, Umar r.a berkata; dan aku berkata kepadanya; ya

6
Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan mukhabarah ini, nanti mereka

mengatakan bahwa nabi melarangnya. Kemudian Thawus berkata; setelah

menceritakan kepadaku orang yang sungguh-sungguh mengetahui hal itu, yaitu

Ibnu Abbas, bahwa Nabi Saw. Tidak melarang mukhabarah, hanya beliau berkata,

bila seseorang memberi manfaat kepada saudaranya, hal itu lebih baik daripada

mengambil manfaat dari saudaranya dengan yang telah dimaklumi.

Menurut pengarang kitab al-Minhaj, bahwa mukhabarah, yaitu

mengerjakan tanah (menggarap lading atau sawah) dengan mengambil sebagian

dari hasilnya, sedangkan benihnya dari pekerja dan tidak boleh pula

bermuzara`ah, yaitu pengelolaan tanah yang benihnya dari pengolahan tanah.

Pendapat ini beralasan kepada beberapa hadis shahih, antara lain hadis Tsabit Ibn

Dhahak, karena mengingat akibat buruk sering terjadi ketika berbuah.

Demikian dikemukakan dasar hukum muzara`ah dan mukhabarah,

diketahui pula pendapat para ulama, ada yang mengharamkan kedua-duanya,

seperti pengarang al-Minhaj, ada yang mengharamkan muzara`ah saja, seperti al-

syafi`i, dan ada yang menghalalkan kedua-duanya, antara lain al-Nawawi, Ibnu

Munzir dan Khatabi.4

C. Rukun-rukun dan Syarat-syaratnya

Menurut Hanafiyah, rukun muzara`ah ialah akad, yaitu ijab dan Kabul

antara pemilik dan pekerja. Secara rinci, jumlah rukun-rukun muzara`ah menurut

4 Rahmat Syafei hal : 207-208

7
Hanafiyah ada empat, yaitu tanah, perbuatan pekerja, modal, dan alat-alat untuk

menanam

Syarat-syaratnya ialah sebagai berikut.5

a. Syarat yang bertalian dengan `aqidain, yaitu harus berakal.


b.Syarat yang berkaitan dengan tanaman, yaitu di syaratkan adanya penentuan

macam apa saja yang akan ditanam.


c. Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil dari tanaman, yaitu :
1. Bagian masing-masing harus disebutkan jumlahnya ( persentasenya ketika

akad )
2. Hasil adalah milik bersama.
3. Bagian antara Amil dan Malik adalah dari satu jenis barang yang sama,

misalnya dari kapas, bila Malik bagiannya padi kemudian Amil bagiannya

singkong, maka hal ini tidak sah.


4. Bagian kedua belah pihak sudah dapat diketahui.
5. Tidak di syaratkan bagi salah satunya penambahan yang ma`lum
d.Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami, yaitu :
1. Tanah tersebut dapat ditanami,
2. Tanah tersebvut dapat diketahui batas-batasnya
e. Hal yang berkaitan dengan waktu, syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:
1. Waktunya telah ditentukan.
2. Waktu itu memungkinkan untuk menanam tanaman dimaksud, seperti

menanam padi waktunya kurang lebih empat bulan (tergantung tekhnologi

yang dipakainya, termasuk kebiasaan setempat)


3. Waktu tersebut memungkinkan dua belah pihak hidup menurut kebiasaan.
f. Hal yang berkaitan dengan alat-alat muzara`ah, alat-alat tersebut disyaratkan

berupa hewan atau yang lainnya dibebankan kepada pemilik tanah.

Menurut Hanabilah, rukun muzara`ah ada satu, yaitu ijab dan Kabul, boleh

dilakukan dengan lafazh apa saja yang menunjukan adanya ijab dan Kabul dan

bahkan muzara`ah sah dilafazhkan dengan lafazh ijarah.6

5 Abdul Rahmat Ghazali dkk Hal : 115-117

6 Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2010) hal.153

8
D. Berakhirnya Akad muzara`ah

Akad al-muzaraah ini bisa berakhir manakala maksud yang dituju telah

dicapai, yaitu:

1) Jangka waktu yang disepakati pada waktu akad telah berakhir. Akan tetapi

bila waktu habis namun belum layak panen, maka akad muzaraah tidak batal

melainkan tetap dilanjutkan sampai panen dan hasilnya dibagi sesuai dengan

kesepakatan bersama.
2) Meninggalnya salah satu dari kedua orang yang berakad. Menurut ulama

Hanafiyah bila salah satu dari dua unsur tadi wafat maka akad muzaraah ini

dianggap batal, baik sebelum atau sesudah dimulainya proses penanaman.

Namun Syafiiyah memandangnya tidak batal


3) Adakalanya pula berakhir sebelum maksud atau tujuannya dicapai dengan

adanya berbagai halangan atau uzur, seperti sakit, jihad dan sebagainya.

E. Hikmah Mukhabarah dan Muzara`ah

Manusia banyak yang mempunyai binatang ternak seperti kerbau, sapi,

kuda, dan yang lainnya. Dia sanggup untuk berladang dan bertani untuk

mencukupi keperluan hidupnya, tetapi tidak memiliki tanah. Sebaliknya, banyak

diantara manusia mempunyai sawah, tanah, ladang, dan yang lainnya, yang layak

untuk ditanami ( bertani ), tetapi ia tidak memiliki binatang untuk mengelola

sawah dan ladangnya tersebut atau ia sendiri tidak sempat untuk mengerjakannya,

9
sehingga banyak tanah yang dibiarkan dan tidak dapat menghasilkan suatu apa

pun

Muzara`ah dan mukhabarah disyariatkan untuk menghindari adanya

pemilikan hewan ternak yang kurang bisa dimanfaatkan karena tidak ada tanah

untuk diolah dan menghindari tanah yang juga dibiarkan tidak diproduksikan

karena tidak ada yang mengolahnya.

Muzara`ah dan mukhabarah terbapat pembagian hasil. Untuk hal-hal lainnya

yang bersifat teknis disesuaikan dengan syirkah yaitu konsep bekerja sama dalam

upaya menyatukan potensi yang ada pada masing-masing pihak dengan tujuan

bisa saling menguntungkan.

Adapun hikmah yang lainnya,antara lain:

1. Terwujudnya kerjasama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah

dengan petani dan penggarap


2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat
3. Tertanggulanginya kemiskinan
4. Terbukanya lapangan pekerjaan,terutama bagi petani yang memiliki

kemampuan bertani tetapi tidak memiliki tanah garapan.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dapat disimpulkan dari pembahasan diatas mengenai

muzaraah, mukhabarah ialah dimana suatu akad kerja sama

yang dilakukan antara dua orang dalam pengelolaan pertanian

antara pemilik lahan dan si penggarap. Dalam muzaraah pemilik

lahan menyerahkan lahan pada si penggarap untuk ditanami dan

dipelihara dengan imbalan tertentu (nisbah) dari hasil panen

yang benihnya dari pemilik lahan.

Terdapat kesamaan antara muzaraah dan mukhabarah dari

pembagian kerjasama tersebut dan yang membedakannya

adalah pabila modal berasal dari pemilik lahan maka disebut

muzaraah dan pabila modal berasal dari si penggarap itu sendiri

maka disebut mukhabarah. Dan untuk pembagian hasil sesuai

kesepakatan masing-masing yang melakukan kerja sama

tersebut.

Demikian pula hukum muzaraah dan mukhabarah ini

diperbolehkan dikarenakan bentuk kerja sama ini sama-sama

memberi manfaat berupa keuntungan hasil perolehannya dapat

dibagi bersama sesuai kesepakatan diawal.

11
B. Saran

Demikianlah karya tulis yang bertema muzaraah,

mukhabarah dan musaqah ini dapat kami selesaikan sehingga

dapat dikaji materinya dalam diskusi kelas khususnya syariah

semester VI. Semoga karya tulis ini dapat dipahami oleh teman-

teman semua, sehingga karya tulis ini menjadi ilmu yang

bermanfaat untuk kita saat ini dan masa yang akan datang.

Untuk itu, apabila terdapat kekeliruan bacaan atau teks tulisan

pada ini kami selaku penulis mohon maaf.

12
DAFTAR PUSTAKA

Al Fauzan,Saleh. (2005). Fiqh Sehari-hari. Jakarta: Gema Indah

Press

Ghazali,Abdul Rahmat dkk. (2010). Fiqh Muamalah. Jakarta:

Kencana

Dr. Suhendi,H.Hendi. (2010). Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajawali

Pers

Prof.Dr. Syarifudin,amir. (2003). Garis-garis Besar Fiqh. Bogor:

Kencana

Prof.Dr. Syafei,Rachmat. (2001). Fiqh Muamalah. Bandung:

Pustaka Setia

Sholahuddin,H.Muhammad. (2011). Kamus Istilah

Ekonomi,Keuangan,Dan Bisnis Syariah. Jakarta: IKAPI

13

Anda mungkin juga menyukai