Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Monopoli berasal dari ekonomi kapitalis dengan pandangan hidup


liberalnya, banyak ditentang oleh masyarakat. Sebab monopoli ternyata membawa
dampak negative bagi kompetisi pasar yang sehat. Pada pasar monopolis
produsen-produsen lain tidak akan dapat bertahan., bahkan yang lebih buruk
produktifitas dengan sengaja diturunkan demi tujuan politis, yaitu mengatur harga
agar maksimal. Maka dengan sendirinya akan terjadi kelangkaan akan barang
(scarcity) dan dampaknya akan sangat dirasakan oleh masyarakat (konsumen).
Islam dengan sistem ekonominya mencoba untuk mementahkan ideologi
monopolistik yang bertentangan dengan sistem ekonomi kapitalis.
Para pedagang hanya mencari keuntungan semata tampa melihat mana yang
dibolehkan dan mana yang terlarang, para ekonom kita sekarang tidak mengetahui
tentang tata cara berdagang menurut al-qur’an dan hadis penulis ingin melihat
sejauh mana keharaman dalam monopoli, dalam upaya menciptakan persaingan
usaha yang sehat, atas inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut UU No.
5 Tahun 1999). Pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1999 yang konsisten dan
konsekuen diharapkan dapat memupuk budaya bersaing yang jujur dan
sehat sehingga dapat terus menerus mendorong dan meningkatkan daya saing di
antara pelaku usaha.

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang Pengertian Ihtikar/ Monopoli
2. Untuk mengetahui tentang Hadits Tentang Ihtikar / Monopoli
3. Untuk mengetahui tentang Hukum Melaksanakan Praktek Ihtikar /
Monopoli
4. Untuk mengetahui tentang Hikmah di Balik Larangan Ihtikar / Monopoli

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ihtikar / Monopoli dan Ta’sir
1. Ihtikar
Al Ihtikar ‫ الحاتكككار‬berasal dari kata ‫ حاكككر‬-‫حاكككرا‬-‫ يحكككر‬yang berarti aniaya,
sedangkan ‫ الحكككككككر‬berarti ‫( ادخككككككار الطعككككككام‬ menyimpan makanan, dan
kata ‫ الحككككرة‬berarti ‫( الجمكككع و المإسكككاك‬mengumpulkan dan menahan). Ihtikar juga
berarti penimbunan.1 Sedang secara istilah ihktikar berarti membeli barang pada
saat lapang lalu menimbunnya supaya barang tersebut langka di pasaran dan
harganya menjadi naik.2 Jadi, Ihtikar atau penimbunan barang adalah membeli
sesuatu dengan jumlah besar, agar barang tersebut berkurang di pasar sehingga
harganya (barang yang ditimbun tersebut) menjadi naik dan pada waktu harga
menjadi naik baru kemudian dilepas (dijual) ke pasar, sehingga mendapatkan
keuntungan yang berlipat ganda.3
Secara esensi definisi di atas dapat difahami bahwa ikhtikar yaitu:
Membeli barang ketika harga mahal, menyimpan barang tersebut sehingga
kurang persediaannya di pasar. Kurangnya persediaan barang membuat
permintaan naik dan harga juga naik. Penimbun menjual barang yang ditahannya
ketika harga telah melonjak. Penimbunan barang menyebabkan rusaknya
mekanisme pasar.
Ulama berbeda pendapat mengenai jenis barang yang ditimbun, yaitu :
a. Ulama Malikiyah, sebagian ulama Hanabilah, Abu Yusuf dan Ibn
Abidin ( pakar fiqh Hanafi) menyatakan bahwa larangan ihtikar tidak
terbatas pada makanan, pakaian dan hewan, tetapi meliputi seluruh
produk yang diperlukan masyarakat. Menurut mereka, yang
menjadi illat ( motifasi hukum ) dalam larangan melakukanihtikar itu
adalah “ kemudharatan yang menimpa orang banyak”. Oleh sebab itu
kemudharatan yang menimpa orang banyak tidak terbatas pada

1 Kamus Al-Bisyri, hal. 23


2Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Al Islami Wa Adhillatihi, maktabah Syamilah.
3 Chairuman Pasaribu dan Sahrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Islam, (Jakarta : Sinar
Grafika) hal 47

2
makanan, pakaian dan hewan, tetapi mencakup seluruh produk yang
diperlukan orang banyak.
b. Imam Asy Syaukani tidak merinci produk apa saja yang disimpan
sehingga seseorang dapat dikatakan sebagai muhtakir jika barang itu
untuk dijual ketika harga melonjak. Bahkan imam Syaukani tidak
membedakan apakah penimbunan itu terjadi ketika pasar berada dalam
keadaan normal (pasar stabil), ataupun dalam keadaan pasar tidak
stabil.
c. Sebagian ulama Hanabilah dan Imam al Ghazali mengkhususkan
keharaman ihtikar pada jenis produk makanan saja. Alasan mereka
karena yang dilarang dalam nash hanyalah makanan.
d. Ulama Syafiiyyah dan Hanafiyah membatasi ihtikar pada komoditi
yang berupa makanan bagi manusia dan hewan.
Ihtikar menurut Fathi ad Duraini dalam bukunya Al-Fiqhu Al Islami Al-
Muawaran Ma’a Al-Mazahib, tidak saja menyangkut komoditas, tetapi juga
manfaat serta komoditas dan bahkan jasa dari pemberi jasa dengan syarat,
embargo yang dilakukan para pedagang dan pemberi jasa ini dapat membuat
harga pasar tidak stabil, padahal komoditas manfaat atau jasa tersebut sangat
diperlukan oleh masyarakat, negara dan lain-lain.
Ihtikar adalah tindakan menyimpan harta, manfaat, atau jasa, dan enggan
menjual dan memberikannya kepada orang lain yang mengakibatkan melonjaknya
harga pasar secara drastis disebabkan persediaan terbatas atau stok barang hilang
sama sekali dari pasar, sementara masyarakat, negara maupun hewan amat
membutuhkan produk, manfaat, atau jasa tersebut.
Ihtikar tidak saja menyangkut komoditas, tapi juga manfaat suatu
komoditas, dan bahkan jasa dari para pemberi jasa; dengan syarat “embargo” yang
dilakukan para pedagang atau pemberi jasa itu bisa membuat harga pasar tidak
stabil, padahal komoditas, manfaat, dan jasa tersebut dibutuhkan oleh masyarakat,
negara, dan lain-lain.
Umpamanya, pedagang gula pasir dan terigu pada awal bulan Ramadhan
tidak mau menggelar dagangannya, karena mengetahui minggu terakhir bulan

3
Ramadhan masyarakat sangat membutuhkan gula dan terigu untuk menghadapi
lebaran. Dengan menipisnya stok gula pasir dan terigu di pasar, harga jualnya
akan naik. Ketika itu para pedagang menjual gula dan terigunya sehingga mereka
mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda. Demikian juga halnya dengan
barang-barang yang lain terutama keperluan Sembilan bahan pokok.
2. Pengertian Tas'ir
Kata tas'ir berasal dari kata sa'ara-yas'aru-sa'ran, yang artinya
menyalakan. Lalu dibentuk menjadi kata as-si'ru dan jamaknya as'ar yang artinya
harga (sesuatu). Kata as-si'ru ini digunakan di pasar untuk menyebut harga (di
pasar) sebagai penyerupaan terhadap aktivitas penyalaan api, seakan menyalakan
nilai (harga) bagi sesuatu.
Adapun dalam etimologis lainnya kata tas’ir berasal dari kata Saarat asy-
syaya tasîran, artinya menetapkan harga sesuatu yang merupakan titik berhenti
tawar-menawar. Jika dikatakan, Asarû wa saarû, artinya mereka telah bersepakat
atas suatu harga tertentu. Oleh karena itu, tasîr secara bahasa berarti taqdîr as-siri
(penetapan/penentuan harga).
Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani :

‫هو أن يأمإر السلطان أو نوابه أو كل مإن ولى مإن أمإور المسلمين أمإراا أهل السوق‬
‫أل يبيعوا السلع إل بسعر كذا فينمعوا مإن الزيادة عليككه حاككتى ل يغلككوا السأككعار أو‬
‫ أي ينمعككون مإككن الزيككادة أوالنقككص عككن‬،‫النقصان عنه حاككتى ل يضككاربوا غيرهككم‬
‫السعر لمصلحة الناس‬
Artinya: “Tas’ir adalah perintah penguasa atau para wakilnya atau siapa
saja yang mengatur urusan kaum muslimin kepada pelaku pasar
agar mereka tidak menjual barang dagangan mereka kecuali
dengan harga tertentu, dan mereka dilarang menambah atas
harga itu agar mereka tidak melonjakkan harga, atau
mengurangi dari harga itu agar mereka tidak merugikan lainnya.
Artinya, mereka dilarang menambah atau mengurangi dari harga
itu demi kemaslahatan masyakarat.”

4
Menurut Imam Syaukani :

‫هسسو أن يسسأمر السسسلطان أو نسسوابه أو كسسل مسسن ولسسى مسسن أمسسور المسسسلمين‬
‫أمرا أهسل السسسوق أل يسبيعوا أمتعتهسسم إل بسسعر كسسذا فينمسع مسسن‬
‫الزيادة عليه أو النقصان لمصلحة‬
Artinya: “Tas’ir adalah perintah penguasa atau para wakilnya atau siapa
saja yang mengatur urusan kaum muslimin kepada pelaku pasar
agar mereka tidak menjual barang dagangan mereka kecuali
dengan harga tertentu dan dilarang ada tambahan atau
pengurangan dari harga itu karena alasan maslahat.”
Dari berbagai definisi tersebut, sebenarnya maknanya hampir sama.
Kesamaannya ialah definisi-definisi tersebut selalu menyebut tiga unsur yang
sama. Pertama, penguasa sebagai pihak yang mengeluarkan kebijakan. Kedua,
pelaku pasar sebagai pihak yang menjadi sasaran kebijakan. Ketiga, penetapan
harga tertentu sebagai substansi kebijakan.
Dan para ulama merumuskan definisi tas'ir secara syar'i, yaitu: seorang
imam (penguasa), wakilnya atau setiap orang yang mengurusi urusan kaum
Muslim memerintahkan kepada para pelaku pasar agar tidak menjual komoditas
kecuali dengan harga tertentu, mereka dilarang untuk menambah harganya hingga
harga tidak membumbung atau mengurangi harganya hingga tidak memukul
selain mereka. Jadi, mereka dilarang untuk menambah atau mengurangi dari
harga yang dipatok demi kemaslahatan masyarakat. Artinya, negara melakukan
intervensi (campur tangan) atas harga dengan menetapkan harga tertentu atas
suatu komoditas dan setiap orang dilarang untuk menjual lebih atau kurang dari
harga yang ditetapkan itu demi mempertimbangkan kemaslahatan masyarakat.4
B. Hadits Tentang Ihtikar / Monopoli
1. Matan dan Terjemahan hadits
‫ُّ بحسيدثَّبسبنا ببققيسةة‬،‫ي‬
‫ُّ بحسيدثَّبسبنا ةسسلبليبماةن بسسن بسسلببمةب ا لبخببسائققر ي‬،‫ي‬
‫ضقر ا لبعلسسبكقر ي‬‫بحيدثَّبسبنا أبلحبمةد بن الني ل‬
َ:‫ُّ قبسسابل‬،‫ُّ بع سلن ةمبعسساقذ بسسن بجبب سلل‬،‫ُّ بع سلن بخالقسقد بسسن بملع سبدابن‬،‫ُّ بح سيدثَّبسبنا ثَّبس سلوةر بسسن يبقزي سبد‬،‫بسسن ا لبولقي سقد‬
‫َ"إقبذا بس سقمبع‬:‫ُّ بع سقن اللحتقبكسساقر بمسسا ةه سبو؟َ قبسسابل‬،‫ص سيلى اللي سهة بعلبلي سقه بوبس سليبم‬ ‫ق‬
‫ت برةسسسوبل اللي سه ب‬ ‫بس سأبل ة‬

4 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Al Islami Wa Adhillatihi,....

5
‫ق‬ ‫قق ق‬ ‫ق ق ل‬ ‫بقةربخس س ل‬
‫ص الليس سهة‬
‫ُّ إقلن أبلربخس س ب‬،‫س ا لبعلبس سةد ا لةملحتبكس سةر‬ ‫ق‬
‫ُّ بلئس س ب‬،‫ُّ بوإبذا بسس سمبع ببغلَء فبس سقربح بس سه‬،‫ص بس سساءبهة‬
‫ رواه الطبراني‬."‫ُّ بوإقلن أبلغلَبها الليهة فبقربح‬،‫البلسبعابر بحقزبن‬
Artinya : “Diceritakan dari Ahmad bin Nadlor Al-‘Askariy, diceritakan
dari Sulaiman Al-Khobairy, diceritakan dari Baqiyyah bin
Walid, diceritakan dari Tsaur bin Yazid, dari Kholid bin
Ma’dan, dari Mu’adz bin Jabal berkata : Aku bertanya kepada
Rasulullah saw tentang ihtikar, apakah itu ? Rasulullah
bersabda : ketika seseorang (pedagang) mendengar harga
murah ia merasa gelisah, dan ketika ia mendengar harga
mahal, ia merasa senang, seburuk-buruk seorang hamba
adalah orang yang melakukan ihtikar, keika Allah memberikan
harga yang murah ia merasa susah, dan ketika Allah
memberikan harga tinggi, ia merasa senang”. (HR. At-
Thobaroniy)
‫ بعسلن يبلحيبسسى‬- ‫ يبسلعقنى ابلبن بقلَبلل‬- ‫ب بحيدثَّبسبنا ةسلبليبماةن‬ ‫بحيدثَّبسبنا بعلبةد الليقه بلةن بملسلببمةب بلقن قبسلعنب ل‬
‫ث أبين بملعبمسارا قسبسابل قسبسابل برةسسسوةل‬
‫ب يةبحسدد ة‬ ‫ بقابل بكابن بسقعيةد بلسةن ا لةمبسسي ق‬- ‫ بوةهبو ابلةن بسقعيلد‬-
‫ك‬‫ فبققي سبل لقبس سقعيلد فبقإنيس ب‬.« ‫ » بمس سقن الحتببكس سبر فبسةه سبو بخسساقطئئ‬-‫صسسلى الس س عليسسه وسسسلم‬- ‫اللسي سقه‬
5
‫مسلم‬ ‫رواه‬.‫ث بكابن يبلحتبقكةر‬ ‫ث بهبذا ا لبحقدي ب‬ ‫تبلحتبقكةر بقابل بسقعيئد إقين بملعبمارا اليقذىِ بكابن يةبحدد ة‬

Artinya : Diceritakan dari Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab,


diceritakan dari Sulaiman bin Bilal, dari Yahya bin Sa’id
berkata; Sa’id bin Musayyab menceritakan bahwa
sesungguhnya Ma’mar berkata; Rasulullah saw pernah
bersabda : Barang siapa yang melakukan praktek ihtikar
(monopoli) maka dia adalah seseorang yang berdosa.
Kemudian dikatakan kepada Sa’id, maka sesungguhnya kamu
telah melakukan ihtikar, Sa’id berkata; sesungguhnya Ma’mar
yang meriwayatkan hadits ini ia juga melakukan ihtikar. (HR.
Muslim)

‫عن ابن عمررضي ال عنه قال رسسول الس صسلى الس عليسه وسسلم مسن احتكسر الطعسام‬
(‫ )رواه أحمد والحاكم بسند جيد‬.‫أربعين يوما فقد برئ من ال وبرئ ال منه‬
Artinya : Dari Ibnu Umar ra berkata; Rasulullah saw bersabda :
“Barangsiapa yang menimbun makanan selama empat puluh
5Ibnu Al-Mulqin Sirojuddin Abu Hafsh Umar bin Ali bin Ahmad As-Syafii Al-Misry, Al-
Badrul Munir fi Takhriji Ahadits wal Atsar Al-Waqi’ati fi Syarhi Al-Kabir Juz 6 , Riyad, Darul
Hijrah, 2004, hlm.504

6
hari maka dia telah lepas dari Allah dan Allah lepas atasnya.”
(HR. Ahmad dan Hakim dengan sanad yang baik)
2. Penjelasan Hadits
Hadits tersebut dikatakan sebagai hadits dlo’if oleh kalangan ulama’
karena salah satu rowi dalam hadits tersebut yakni Sulaiman Al-Khobairy
dikategorikan sebagai rowi matruk,6 yaitu perawi yang dituduh berdusta atau
perawi yang banyak melakukan kekeliruan, sehingga periwayatannya
bertentangan dengan periwayatan perawi yangtsiqah. Atau perawi yang sering
meriwayatkan hadits-hadits yang tidak dikenal (gharib) dari perawi yang
terkenaltsiqah.
Dalam kitab Musnadu Al-Syamiyiin, At-Thobarony juga mengeluarkan
hadits yang sama dengan hadits diatas, menggunakan jalan yang lebih kuat
dengan menyebutkan riwayat sebagai berikut :
‫سسسككرر ي‬
‫ي‬ ‫ضرر اسلكع س‬‫ كحندثككناَ كعسمنرو سبنن نعسثكماَكن )ح( كوكحندثككناَ أكسحكمند سبنن النن س‬، ‫صيي‬ ‫كحندثككناَ إرسبكرارهيِنم سبنن نمكحنمرد سبرن رعسر ق‬
‫ق اسلرحسم ر‬
‫ كحندثككناَ ثكسونر سبنن يِكرزيِكد كعسن كخاَلررد سبرن كمسعكداكن‬، ‫ كحندثككناَ بكقريِنةن سبنن اسلكورليِرد‬، : ‫ كقاَلك‬، ‫ي‬
‫سلككمةك اسلكخكباَئررر ي‬ ‫ كحندثككناَ ن‬،
‫سلكسيِكماَنن سبنن ك‬

‫لس صسلى الس عليسه وسسلم بعسقن اللحتقبكساقر بمسا ةهسبو قبسابل إقبذا‬
‫ت رسسوبل ا ق‬ ‫ق‬
‫بعسلن ةمبعساذ بلقن بجببسلل قبسابل بسسأبل ة ب ة‬

‫ص الليسهة البلسسبعابر بحسقزبن‬ ‫ق‬ ‫قق ق‬ ‫ق ق ق ل‬ ‫بسقمبع بقةرلخ ل‬


‫س ا لبعلبسةد ا لةملحتبكسةر إقبذا بريخس ب‬
‫ص بساءبهة بوإبذا بسمبع ببغلَء فبقربح به بلئ ب‬
7
‫بوإقبذا أبلغلَ فبقربح‬
Riwayat ini dinilai lebih kuat bila dibandingkan dengan riwayat yang
pertama dengan adanya Amr bin Utsman. Akan tetapi rowi yang bernama Ibrahim
bin Muhammad tidak dapat diketahui dengan pasti.8
Dalam riwayat yang lain disebutkan menggunakan lafadz : ‫كل يِكسحتكركسسر إرنل‬
ِ‫ كخاَرطئ‬lafadz ِ‫ كخاَرطئ‬dalam hadits diatas menurut ahli bahasa memiliki arti seseorang
yang berbuat durhaka dan melakukan perbuatan dosa.

6Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Abu Al-Qosim At-Thobarony, Al-Mu’jam Al-kabir Juz
15, hlm. 5
7 Al-Albany, Muhammad Nashruddin, As-Silsilatu Al-Dho’’ifah Juz 12, hlm. 130
8Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Abu Al-Qosim At-Thobarony, Musnadu Al-Syamiyiin
Juz 1, Beirut, Muassasatu Risalah, 1984, hlm.232

7
Ma’mar bin Abi Ma’mar adalah salah seorang sahabat Nabi yang masuk
Islam lebih dulu dan pernah mengikuti Rasulullah saw hijrah ke Habasyah. Beliau
terlambat Hijrahnya ke Madinah, dan pada akhirnya beliau hijrah dan menetap di
Madinah bersama Nabi. Menurut Abu Isa, hadits ini dikatakan sebagai hadits
hasan dan sohih. Sedangkan menurut imam Albany hadits ini dikatakan hadits
sohih.
Berdasarkan keterangan dalam kitab Badrul Munir, mengutip yang
disampaikan oleh Abu Mas’ud Al-Dimasyqi dari riwayat Ibnu Musayyab
menyebutkan, bahwa yang dilakukan oleh Sa’id adalah melakukan penahanan atas
barang berupa minyak. Sedangkan menurut Tirmidzi, Sa’id bin Musayyab hanya
melakukan penahanan atas beberapa komoditas yakni minyak, biji gandum dan
sejenisnya saja. Sedangkan menurut Abu Daud yang dilakukan Sa’id adalah
melakukan praktek ihtikar atas biji kurma, benang dan rempah-rempah.
Sedangkan menurut Ibnu Abdul Bar beliau menuturkan bahwa Sa’id dan Ma’mar
keduanya melakukan ihtikar atas minyak saja. Dan mereka berdua beranggapan
yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah melakukan penahanan atas
barang-barang yang menjadi kebutuhan pokok saja, bukan komoditas lain seperti
minyak, biji kurma, rempah-rempah serta komoditas lain yang bukan merupakan
kebutuhan pokok.9
Berbeda halnya dengan pendapat Ibnu Badr Al-Mushily dalam kitab AL-
Mughny dengan tegas menolak hadits ini dengan alasan adanya kontradiksi dari
antara apa yang dilakukan oleh rowi dan isi hadits tersebut, sehingga beliau
menganggap apa yang diriwayatkan menjadi tertolak dan hadits ini menurut
pendapat beliau adalah hadits dlo’if. Hanya saja alasan kontradiktif tadi bukanlah
sebuah alasan yang dapat dijadikan landasan sepenuhnya atas penolakan hadits
tersebut, sebab Nabi saw tidak memberikan batasan tertentu atas apa saja yang
dilarang untuk melakukan praktek ihtikar, hanya saja yang menjad pokok
pembahasan dan landasan adalah isi daripada hadits itu sendiri bukan pendapat
seorang rowi. Dalam hal ini Ibnu Abd Al-Bar berpendapat bahwa tidak mungkin

9 Syekh Badruddin Al-‘Ayny Al-Hanafy, ‘Umdatul Qori Syarh Sohih Bukhori Juz 17,
hlm. 436

8
bagi seorang sahabat mulia yang merowikan hadits dari Nabi SAW dan seorang
tabi'in (mulia) yang bernama Said bin Musayyab, setelah mereka meriwayatkan
hadits larangan ihtikar lalu mereka menyelisihinya (ini menunjukkan bahwa yang
dilarang hanyalah bahan makanan saja).
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ishaq bin Rohwayh, Al-Daromy, Abd bin
Humaid dan Abu Ya’la Al-Musshily dalam kitab musnad mereka, serta
diriwayatkan pula oleh imam Baihaqi dalam pembahasan tentang Syu’abil
Imanpada bab ke 77. dan Imam ‘Uqailiy juga meriwayatkan dalam kitab Al-
Dluafa’ serta menilai Ali bin Salim bin Tsauban sebagai seorang rowi yang
memiliki ‘illat.
C. Hukum Melaksanakan Praktek Ihtikar / Monopoli
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama’ tentang hukum
melaksanakan praktek ihtikar :
1. Haram Secara Mutlak.
Hal ini melihat isi kandungan hadits yang berbunyi ‫كمسسسرن اسحتكككسسسكر فكنهسسسكو‬
ِ‫“ كخاَرطئئ‬Barang siapa yang menimbun maka dia telah berbuat dosa” (HR. Muslim).
Sedangkan menurut tinjauan fiqih, keharaman ihtikar berdasarkan atas 3 kriteria
(syarat), yakni :
a. Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga
untuk masa satu tahun penuh. Kita hanya boleh menyimpan barang
untuk keperluan kurang dari satu tahun sebagaimana pernah dilakukan
Rasulullah SAW.
b. Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya
membumbung tinggi dan kebutuhan rakyat sudah mendesak baru
dijual sehingga terpaksa rakyat membelinya dengan harga mahal.
c. Yang ditimbun (dimonopoli) ialah kebutuhan pokok rakyat seperti
pangan, sandang dan lain-lain. Apabila bahan-bahan lainnya ada di
tangan banyak pedagang, tetatpi tidak termasuk bahan pokok
kebutuhan rakyat dan tidak merugikan rakyat. maka itu tidak termasuk
menimbun.10

10 Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfadzi Al-Minhaj Juz 6, hlm. 397

9
Dalam kitab Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Alfadzi Al-Minhaj juga
disebutkan bahwa keharaman ihtikar hanyalah pada barang-barang yang
merupakan kenutuhan pokok saja, tidak semua jenis makanan.
2. Makruh secara mutlak, Dengan alasan bahwa larangan Nabi SAW
berkaitan dengan ihtikar adalah terbatas kepada hukum makruh saja,
lantaran hanya sebagai peringatan bagi umatnya.
3. Haram apabila berupa bahan makanan saja, adapun selain bahan makanan,
maka dibolehkan, dengan alasan hadits riwayat Muslim di atas, dengan
melanjutkan riwayat tersebut yang dhohirnya membolehkan ihtikar selain
bahan makanan. Sebagaimana penjelasan mengenai isi hadits kedua.
4. Haram ihtikar disebagian tempat saja, seperti di kota Makkah dan
Madinah, sedangkan tempat-tempat lainnya, maka dibolehkan ihtikar di
dalamnya, hal ini lantaran Makkah dan Madinah adalah dua kota yang
terbatas lingkupnya, sehingga apabila ada yang melakukan ihtikar salah
satu barang kebutuhan manusia, maka perekonomian mereka akan
terganggu dan mereka akan kesulitan mendapatkan barang yang
dibutuhkan, sedangkan tempat-tempat lain yang luas, apabila ada yang
menimbun barang dagangannya, maka biasanya tidak mempengaruhi
perekonomian manusia, sehingga tidak dilarang ihtikar di dalamnya.
Demikian pula pendapat tentang waktu diharamkannya ihtikar. Ada ulama
yang mengharamkan ihtikar setiap waktu secara mutlak, tanpa membedakan masa
paceklik dengan masa surplus pangan, berdasarkan sifat umum larangan terhadap
monopoli dari hadits yang sudah lalu. Ini adalah pendapat golongan salaf.

D. Hikmah di Balik Larangan Ihtikar / Monopoli


Imam Nawawi menjelaskan hikmah dari larangan ihtikar adalah mencegah
hal-hal yang menyulitkan manusia secara umum, oleh karenanya para ulama
sepakat apabila ada orang memiliki makanan lebih, sedangkan mausia sedang
kelaparan dan tidak ada makanan kecuali yang ada pada orang tadi, maka wajib
bagi orang tersebut menjual atau memberikan dengan cuma-cuma makanannya
kepada manusia supaya manusia tidak kesulitan. Demikian juga apabila ada yang

10
menimbun selain bahan makanan (seperti pakaian musim dingin dan sebagainya)
sehingga manusia kesulitan mendapatkannya, dan membahayakan mereka, maka
hal ini dilarang dalam Islam(6).
Islam mengharamkan orang menimbun dan mencegah harta dari
peredaran. Islam mengancam mereka yang menimbunnya dengan siksa yang
pedih di hari kiamat. Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman dalm surat At Taubah
ayat 34-35:

‫ب أبقليلم يبسلوبم يةلحبمى‬


‫شلرةهلم بقبعبذا ل‬ ‫ضةب بوبل يةسلنقفةقونبسبها قفي بسقبيقل الليقه فبسبب د‬
‫ب بوا لقف ي‬ ‫ق‬ ‫يق‬
‫بوالذيبن يبلكنةزوبن اليذبه ب‬
‫بع بلليسبها قفي بناقر بجبهنيبم فبستةلكبوىِ بقبها قجبباةهةهلم بوةجةنوبةسةهلم بوظةةهوةرةهلم بهبذا بما بكنبسلزتةلم قلبنلسةفقسةكلم فبةذوةقوا بما‬
‫ةكلنتةلم تبلكنقةزوبن‬
Artinya : Orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah maka beritahukanlah
kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang
pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka
jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung, dan
punggung mereka (lalu dikatakan kepada mereka): “Inilah
harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka
rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan
itu”.
Menimbun harta maksudnya membekukannya, menahannya dan
menjauhkannya dari peredaran. Padahal, jika harta itu disertakan dalam usaha-
usaha produktif seperti dalam perencanaan produksi, maka akan tercipta banyak
kesempatan kerja yang baru dan mengurangi pengangguran. Kesempatan-
kesempatan baru bagi pekerjaan ini bisa menambah pendapatan dan daya beli
masyarakat sehingga bisa mendorong meningkatnya produksi, baik itu dengan
membuat rencana-rencana baru maupun dengan memperluas rencana yang telah
ada. Dengan demikian, akan tercipta situasi pertumbuhan dan perkembangan
ekonomi dalam masyarakat.
Penimbunan barang merupakan halangan terbesar dalam pengaturan
persaingan dalam pasar Islam. Dalam tingkat internasional, menimbun barang

11
menjadi penyebab terbesar dari krisis yang dialami oleh manusia sekarang, yang
mana beberapa negara kaya dan maju secara ekonomi memonopoli produksi,
perdagangan, bahan baku kebutuhan pokok. Bahkan, negara-negara tersebut
memonopoli pembelian bahan-bahan baku dari negara yang kurang maju
perekonomiannya dan memonopoli penjulan komoditas industri yang dibutuhkan
oleh negara-negara tadi. Hal itu menimbulkan bahaya besar terhadap keadilan
distribusi kekayaan dan pendapatan dalam tingkat dunia.

BAB III
PENUTUP

12
A. Kesimpulan
1. Ihtikar adalah sebuah tindakan yang dilakukan oleh pedagang untuk
menahan barang dagangnnya dengan tujuan akan dijual kembali ketika
kebutuhan meningkat dan terjadi lonjakan harga.
2. Hadits-hadits tentang larangan ihtikar masih bersifat umum, tidak secara
spesifik menyebutkan ketentuan apa saja barang yang dilarang ditimbun.
3. Bila membandingkan dengan beberapa hadits pendukung lain yang
meskipun masuk sebagai kategori hadits dlo’if kebanyakan ulama’
sependapat bahwa hukum haram praktek ihtikar (monopoli) hanya
berlaku pada makanan saja, meskipun begitu ada juga ulama yang
berpendapat bahwa ihtikar dihukumi haram secara mutlak.
4. Islam sangat mengecam adanya praktek ihtikar karena dapat meresahkan
masyarakat.

B. Saran
Demikianlah makalah yang kami buat, apabila ada kesalahan baik dalam
penulisan ataupun pembahasan serta penjelasan kurang jelas, kami mohon maaf.
Karena kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan.
Kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
kita semua. Kami ucapkan terima kasih atas perhatian dan pastisipasinya

DAFTAR PUSTAKA

13
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Al Islami Wa Adhillatihi, maktabah Syamilah.
Chairuman Pasaribu dan Sahrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Islam, (Jakarta :
Sinar Grafika)
Ibnu Al-Mulqin Sirojuddin Abu Hafsh Umar bin Ali bin Ahmad As-Syafii Al-
Misry, Al-Badrul Munir fi Takhriji Ahadits wal Atsar Al-Waqi’ati fi Syarhi
Al-Kabir Juz 6, Riyad, Darul Hijrah, 2004
Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Abu Al-Qosim At-Thobarony, Al-Mu’jam Al-
kabir Juz 15
Al-Albany, Muhammad Nashruddin, As-Silsilatu Al-Dho’’ifah Juz 12
Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Abu Al-Qosim At-Thobarony, Musnadu Al-
Syamiyiin Juz 1, Beirut, Muassasatu Risalah, 1984
Syekh Badruddin Al-‘Ayny Al-Hanafy, ‘Umdatul Qori Syarh Sohih Bukhori Juz
17
Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfadzi Al-Minhaj Juz 6

14

Anda mungkin juga menyukai