Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH USHUL FIQIH

Tema: Kedudukan istishab, Bara’ah ashliyah, Dan Syar’u man qoblana


Dosen Pengampu: Dr.KH.Agus Salim M,pd,I

Di susun oleh:
Alifni Fitrotal Wahidah : 20862081038
Mishbahul Mu’min : 20862081039
Fikri Firmansyah : 20862081039

PROGRAM SARJANA (S 1)
PRODI : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
UNIVERSITAS RADEN RAHMAT (UNIRA)
KAB.MALANG

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Alloh SWT yang telah banyak
memberikan beribu-ribu nikmat kepada kita ummmatnya. Rahmat beserta salam semoga
tetap tercurahkan kepada junjungan kita, pemimpin akhir zaman yang sangat di panuti oleh
pengikutnya yakni Nabi Muhammad SAW. “Kedudukan istishab, Bara’ah ashliyah, Dan
Syar’u man qoblana” ini sengaja di bahas sangat penting untuk kita ingin lebih mendalami
dan supaya kita juga dapat mempraktekan/membiasan ber akhlakul karimah.
Selanjutnya, kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
memberikan pengarahan-pengarahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan tepat waktu. Tidak lupa juga kepada bapak dosen dan teman-teman yang lain untuk
memberikan motivasi kepada kami agar makalah ini lebih baik lagi.
Dengan demikian, semoga makalah ini bermannfaat khususnya bagi kami dan teman-
teman semua yang telah membaca makalah ini.
Assalamu’alaikum Wr.Wb

Malang 9 Maret 2021

Kelompok

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................1


KATA PENGANTAR ......................................................................................2
DAFTAR ISI ..................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................4
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................5
A. ISHTISHAB
B. BARA’AH ASHLIYAH
A. SYAR’U
C. MA QABLANA
BAB III PENUTUP ............................................................................................ 9
A. Kesimpulan
B. Daftar Pustaka

3
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ulama fiqh terdahulu membingkai sejumlah hukum yang telah dipertimbangkan atas dasar
kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat pada zamannya. Beberapa dari hukum-hukum
itu diganti oleh ulama fiqh belakangan, ketika mereka menemukan bahwa kebiasaan yang mereka
dasarkan atasnya tidak ada lagi.

Sumber dan dalil hukum Islam dikelompokkan menjadi dua yaitu yang disepakati dan yang
masih dipeselisihkan  oleh  para ulama yaitu salah satunya adalah Istishhab, Bara’ah Ashiyah,
dan Syar’u man qablana. Nabi Muhammad SAW adalah nabiyullah yang terjaga dari dosa baik
sebelum  beliau diutus menjadi rosul ataupun belum. Nabi Muhammad membawa pesan Allah yang
mengenai dua hal, yaitu tentang apa-apa yang harus diimani (diyakini) dan apa-apa yang harus
diamalkan. Beliau juga terpelihara dari sifat jahiliyah yang menjadi budaya dalam keseharian kaum
arab. Fakta ini menimbulkan berbagai macam pertanyaan yang  berkecamuk dalam  diri kaum muslim
saat ini. Bila beliau adalah insan yang taat beribadah, hamba Allah yang mulia maka siapakah yang ia
teladani dalam hal ini? Siapakah atau syari’at apa yang menjadi  pedoman
dalam  keseharian  beliau  sebelum  beliau  diutus menjadi  Rasulullah SAW?  Lantas  apakah syariat-
syariat tersebut harus kita jalankan? Padahal kita umat muslim telah memiliki syariat sendiri yang
disebarkan oleh ajaran Rasulullah SAW yaitu syariat Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian istishab ?
2. Apakah kedudukan ishtishab ?
3. Apakah pengertian bara’ah ashliyah ?
4. Apakah Ruang lingkup bara’ah ashliyah ?
5. Apakah pengertian syar’u man qablana ?
6. Apakah kedudukan syar’u man qablana ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui istishab dan kedudukan istishab
2. Untuk mengetahui bara’ah ashliyah dan ruang lingkupnya.
3. Untuk mengetahui syar’u man qablana dan kedudukannya.

II

4
PEMBAHASAN

A. Pengertian istishab
Pengertian istishab secara harfiah adalah mengakui adanya hubungan perkawinan.
sedangkan menurut ulama Ushul adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya
sampai terdapat dalil-dalil yang menunjukkan perubahan keadaan, atau menjalinkan hukum
yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaannya sampai terdapat
dalil yang menunjukkan perubahan nya. 1
Oleh sebab itu apabila seorang mujtahid ditanya tentang hukum kontrak atau suatu
pengelolaan yang tidak ditemukan nash-nya dalam Alquran dan as-sunnah juga tidak
ditemukan dalil syara yang mengitlakkan hukumnya, maka hukumnya adalah boleh
berdasarkan kaidah:

‫األصل فى األشياءاالباحة‬.
Artinya: “Pangkal sesuatu itu adalah kebolehan.”

Yaitu suatu keadaan, pada saat Allah SWT. Menciptakan segala sesuatu yang ada di
bumi secara keseluruhan. Maka selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas perubahan
dari kebolehannya, keadaan segala sesuatu itu dihukumi dengan sifat asalnya.

B. Kehujjahan Istishab

Istishab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali bagi para mujtahid untuk
mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapinya. Ulama Ushul berkata, “sesungguhnya
istishab adalah akhir tempat beredarnya fatwa”. Yaitu mengetahui sesuatu menurut hukum
yang telah ditetapkan baginya selama tidak terdapat dalil yang mengubahnya. Ini adalah teori
dalam pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasaan dan tradisi si manusia dalam mengelola
berbagai ketetapan untuk mereka.
Seorang manu1sia yang hidup tetap dihukumi atas hidupnya dan pengelolaan atas
kehidupan ini diberikan kepadanya sampai terdapat dalil yang menunjukkan adanya keputusan
tentang kematiannya. Setiap orang yang mengetahui wujud sesuatu, maka dihukumi wujudnya
sampai terdapat dalil yang meniadakan nya, dan barangsiapa mengetahui ketiadaannya
sesuatu, maka dihukumi dengan ketiadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukkan
keberadaannya.
Hukum telah berjalan menurut keadaan ini. Jadi suatu kepemilikan misalnya, tetap
menjadi milik siapa saja berdasarkan sebab beberapa kepemilikan. Maka kepemilikan itu
dianggap ada sampai ada ketetapan yang menghilangkan kepemilikan tersebut.

C. Pengertian Bara’ah Ashliyah

1
H.rahmat syafi’i, ilmu ushul fiqih, hal 125 2018

5
Bara’ah secara etimologi berasal dari kata bur’, bara’ atau bari’ yang berarti bebas dari
sesuatu yang tidak disukai. Dalam fiqh berarti bebasnya seseorang dari suatu tanggungan atau ikatan
hukum karena belum ada dalil yang menunjukkan adanya tanggungan atau ikatan itu. 2

Secara umum, al-bara’ah artinya adalah bebasnya dari hukuman. Sedangkan al-ashliyyah
artinya adalah asalnya. Jadi, al-Bara’ah al-Ashliyyah berarti seseorang itu pada asalnya adalah
terbebas dari serangan selama tidak ada hukum yang mengatur larangan tersebut.
 “Istishab hukum asal tentang tidak adanya hukum”. Maksudnya adalah apabila sudah tidak ada
hukum dimana yang telah lalu, maka hal itu menyebabkan kita menyangka terus menerus bahwa hal
itu tidak ada hukumnya. Maka wajib bagi kita berpegang pada tidak ada hukum sesudah kita teliti yang
menghilangkan keadaan itu. Karenanya, suatu perbuatan yang belum diketahui ada hukumnya dalam
syara’, maka perbuatan itu terlepas dari hukum haram, makruh, wajib, atau sunnah.   

D. Ruang Lingkup Bara’ah Ashliyah


Pembahasan Bara’ah al-Ashliyyah mencakup lapangan ibadah dan lapangan mu’amalah,
karena bara’ah dijadikan sebagai hukum dasar Islam, baik dalam hubungan manusia dengan benda
ataupun dengan sesamanya.

Dalam mu’amalah yang menyangkut hubungan manusia dengan benda, yang menjadi hukum
dasar adalah ketidakbolehan dalam hal mu’amalah antara manusia dengan sesamanya (terutama
dalam hubungan seksual). Ketidakbolehan di sini merupakan bara’ah, yaitu bahwa manusia dilarang
melakukan hubungan seksual sebelum ada sebab yang memperbolehkannya. Prinsip ini tertuang
dalam kaidah:
“Hukum asal tentang seks adalah haram”.
Kaidah ini dilandasi oleh ayat: 3 
ُ ‫َوالَّذ ِۡي َن هُمۡ لِفُر ُۡو ِج ِهمۡ ٰحف‬
5 ‫ِظ ۡو ۙ َن‬
ْ ‫ِااَّل َع ٰ ٓلى اَ ْز َوا ِج ِه ْم اَ ْو َما َم َل َك‬
6 ‫ت اَ ْي َما ُن ُه ْم َف ِا َّن ُه ْم َغ ْي ُر َملُ ْو ِمي ۚ َْن‬
ٰۤ ُ
7 ۚ ‫ك ُه ُم ْال ٰع ُد ْو َن‬
َ ‫ٕى‬3ِِٕ ‫ول‬ ‫َف َم ِن ا ْب َت ٰغى َو َر ۤا َء ٰذل َِك َفا‬
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang
mereka miliki; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di
balik itu Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas”.  (QS. Al-Mu’minuun/23: 5-7)
Berdasarkan kaidah ini, as-Suyuthi melihat bahwa semua perbuatan yang berhubungan dengan
seks adalah haram, kecuali ada sebab yang memperbolehkannya, misalnya karena akad nikah atau
karena hubungan perbudakan. Karena itu, seorang pria tidak diperbolehkan menikahi wanita yang
masih diragukan nasabnya, karena dikhawatirkan wanita itu masih termasuk mahram b 2agi pria
tersebut.

22
H.rahmat syafi’i, ilmu ushul fiqih, hal 119 2018
3
Q.s Al-mukminuun:5-7

6
Golongan yang banyak menerapkan Bara’ah al-Ashliyyah sebagai hukum dalam menghadapi
permasalahan yang ada adalah golongan Zhahiriyah dan Syi’ah Imamiya .

E. Pengertian Syar’u Man Qablana


Secara etimologis syar’un man qablana adalah hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah
SWT, bagi umat-umat sebelum  kita. Secara istilah ialah syari ‘at yang diturunkan Allah kepada
umat sebelum  ummat Nabi Muhammad SAW, yaitu ajaran agama sebelum  datangnya ajaran
agama  Islam  melalui  perantara  nabi Muhammad  SAW,  seperti  ajaran agama  Nabi Musa,
Isa, Ibrahim, dan lain-lain.4
Jika Alquran atau sunnah yang shahih mengisahkan suatu hukum yang telah disyariatkan
pada umat yang dahulu melalui para rasul, Kemudian nash tersebut diwajibkan kepada kita
sebagaimana diwajibkan kepada mereka, maka tidak diragukan lagi bahwa syariat tersebut
ditunjukkan juga kepada kita. Dengan kata lain, wajib untuk diikuti, seperti firman Allah SWT
dalam surat Al Baqarah: 183.5

‫ياايهاالدين امنواكتب عليكم الصيام كما كتب على الدين من قبلكم‬....

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan pada kamu semua berpuasa
sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu.” (QS Al Baqarah: 183)

Sebaliknya, bila dikisahkan suatu syariat yang telah ditetapkan kepada orang-orang
terdahulu, namun hukum tersebut telah dihapus untuk kita, para ulama sepakat bahwa hukum
tersebut tidak di syariatkan kepada kita, seperti syariat nabi Musa bahwa seseorang yang telah
berbuat dosa tidak akan diampuni dosanya, kecuali dengan membunuh dirinya. Dan jika ada
najis yan3g menempel pada tubuh, tidak akan suci kecuali dengan memotong anggota badan
tersebut, dan lain sebagainya.

F. Kedudukan Syar’u Man Qablana


Pada prinsipnya, syariat yang diperuntukkan Allah bagi umat terdahulu mempunyai asas
yang sama dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad. Hal ini terlihat dalam firman Allah surat Al-
Syura ayat 13 :

‫ص ْي َنا ِب ٖ ٓه‬
َّ ‫ْك َو َما َو‬ ْٓ ‫صى ِبهٖ ُن ْوحً ا َّوالَّذ‬
َ ‫ِي اَ ْو َح ْي َنٓا ِا َلي‬ ّ ٰ ‫ْن َما َو‬ ِ ‫َش َر َع َل ُك ْم م َِّن ال ِّدي‬
‫ِاب ْٰر ِه ْي َم َوم ُْو ٰسى َوعِ ي ٰ ْٓسى اَنْ اَ ِق ْيمُوا ال ِّدي َْن َواَل َت َت َفرَّ قُ ْوا ِف ْي ۗ ِه َكب َُر َع َلى ْال ُم ْش ِر ِكي َْن َما‬
ۗ ‫ِي ِا َل ْي ِه َمنْ ُّي ِني‬
ُ‫ْب‬ ْٓ ‫َت ْدع ُْو ُه ْم ِا َل ْي ۗ ِه هّٰللَا ُ َيجْ َت ِب ْٓي ِا َل ْي ِه َمنْ َّي َش ۤا ُء َو َي ْهد‬

34
H.rahmat syafi’i, ilmu ushul fiqih, hal 143 2018
5
Q.S Al-baqoroh:183
6
Q.S Q Al-Syura: 13

7
“Dia (Allah) telah mensyari’atkan kepadamu agama yang telah diwasiatkannya kepada Nuh dan apa
yang telah kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan jannganlah kamu
berpecah-pecah belah didalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama
yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang dikehendaki kepada agama Tauhid dan
memberikan petunjuk kepada (agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya).”
Diantara asas yang sama itu adalah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang
akhirat, tentang janji, dan ancaman Allah. Sedangkan rinciannya ada yang sama dan ada juga yang
berbeda sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman masing-masing.
Oleh karena itu terdapat penghapusan terhadap sebagian hukum umat-umat yang sebelum
kita (umat Islam) dengan datangnya syari‟at Islamiyah dan sebagian lagi hukum-hukum umat yang
terdahulu tetap berlaku, seperti qishash.

8
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ishtishab menurut ulama Ushul adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan
sebelumnya sampai terdapat dalil-dalil yang menunjukkan perubahan keadaan, atau
menjalinkan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut
keadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukkan perubahan nya.
Bara’ah secara etimologi berasal dari kata bur’, bara’ atau bari’ yang berarti bebas dari
sesuatu yang tidak disukai. Dalam fiqh berarti bebasnya seseorang dari suatu tanggungan
atau ikatan hukum karena belum ada dalil yang menunjukkan adanya tanggungan atau ikatan
itu.
Secara etimologis syar’un man qablana adalah hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah
SWT, bagi umat-umat sebelum  kita. Secara istilah ialah syari ‘at yang diturunkan Allah kepada
umat sebelum  ummat Nabi Muhammad SAW, yaitu ajaran agama sebelum  datangnya ajaran
agama  Islam  melalui  perantara  nabi Muhammad  SAW,  seperti  ajaran agama  Nabi Musa,
Isa, Ibrahim, dan lain-lain.

9
DAFTAR PUSTAKA

H.rahmat syafi’i, ilmu ushul fiqih, 2018.


Q.s Al-mukminuun:5-7.
Q.S Al-baqoroh:183
Q.S Q Al-Syura:13

10

Anda mungkin juga menyukai