Disusun untuk memenuh salah satu tugas mata kuliah Ilmu Fikih
Disusun oleh:
Kelompok 5
ii
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala
rahmat dan karunia yang diberikan-Nya sehingga makalah yang berjudul “Kaidah-
Kaidah Pengambilan Hukum” ini dapat diselesaikan. Makalah ini kami buat
sebagai salah satu kewajiban untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Fikih.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................................ii
BAB I.............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.........................................................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan..............................................................................................................2
BAB II............................................................................................................................................3
PEMBAHASAN............................................................................................................................3
A. AMAR................................................................................................................................3
1. Pengertian Amar...........................................................................................................3
2. Kaidah-kaidah Amar (Perintah)..................................................................................5
3. Macam – macam Amar (Perintah)..............................................................................7
4. Syarat yang harus ada pada kata Amar (perintah) adalah :.....................................9
B. Nahi....................................................................................................................................9
1. Pengertian Nahi.............................................................................................................9
2. Bentuk-bentuk Nahi (Larangan)................................................................................10
3. Kaidah-Kaidah Nahi...................................................................................................11
4. Macam-macam Nahi (Larangan)...................................................................................11
C. ‘AM..................................................................................................................................13
1. Pengertian ‘Am...........................................................................................................13
2. Macam-Macam Lafadz Umum (‘am)........................................................................13
3. Dalalah Lafadz ‘Am....................................................................................................14
4. KHAS...............................................................................................................................14
1. Pengertian Khas..........................................................................................................14
2. Dalalah Lafadz Khas...................................................................................................15
3. Contoh Ayat ‘Am Dalam Al-Quran...........................................................................15
5. Takhsis.............................................................................................................................16
1. Pengertian Takhsis......................................................................................................16
2. Contoh Ayat Khas Dalam Al-Qur’an........................................................................16
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................19
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kaidah ushuliyyah adalah kaidah yang berkaitan dengan bahasa. Dan kaidah
ushuliyyah ini juga merupakan kaidah yang sangat penting, karena kaidah
ushuliyyah merupakan media atau alat untuk menggali kandungan makna dan
hukum yang tertuang dalam nash Alquran dan As-Sunnah. Kaidah-kaidah
ushuliyah di sebut juga kaidah Istinbat atau kaidah Lugawiyah.
Ilmu ushul fiqh menyajikan berbagai cara dari berbagai aspeknya untuk
menimba pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Untuk memahami teks-teks dari dua sumber yang berbahasa Arab tersebut, para
ulama telah menyusun semacam sistematik yang akan digunakan dalam praktek
penalaran fiqih. Bahasa Arab menyampaikan suatu pesan dengan berbagai cara dan
dalam beberapa tingkat kejelasannya.
1
Oleh karena itu penulis dalam makalah ini berusaha untuk membahas
kaidah-kaidah dalam pengambilan hukum. Baik itu berupa Amr, Dan Nahi, Am,
Khas serta Takhshish, Mutlaq dan Muqoyyad, Murodlif dan Musytarak, Dzahir dan
Ta’wil, Manthuq dan Mafhum, Mujmal dan Mubayyan, dan Nasakh Mansukh.
Karena dengan mengetahui dan memahami kaidah-kaidah fiqh kita akan
mengetahui benang merah dalam menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi
titik temu dari masalah-masalah fiqh dan lebih arif dalam menerapkan fiqh dalam
waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang
berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah
sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-
problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis membuat rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dan macam-macam dari kaidah-kaidah pengambilan hukum
(Isthinbat al-Ahkam)?
2. Apa yang menjadi dasar hukum yang dijadikan dasar dalam pengambilan
kaidah-kaidah pengambilan hukum tersebut
3. Bagaimana contoh pengimplementasian kaidah-kaidah pengambilan hukum
tersebut?
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini disusun dengan tujuan sebagai berikut:
1. Mahasiswa dapat mengetahui, memahami, dan mengerti mengenai hal-hal
yang berhubungan dengan kaidah fiqhiyyah.
2. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami pengertian dari kaidah - kaidah
tersebut, macam - macamnya
3. Mahasiswa dapat mengimplementasikan kaidah-kaidah tersebut dalam
pengambilan hukum dalam kehidupan sehari-hari.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. AMAR
1. Pengertian Amar
Menurut bahasa arab, Amar artinya perintah, menurut istilah Amar
adalah suatu lafadz yang didalamnya menunjukkan tuntutan untuk
megerjakan suatu perkerjaan dari atasan kepada bawahan. Dari definisi
tersebut dapat dipahami bahwa Amar itu tidak hanya ditunjukkan pada
lafadz-lafadz yang memakai sighat (bentuk kata) Amar saja, tetapi
ditunjukkan pula oleh semua bentuk kata yang didalamnya mengandung arti
perintah. Jadi Amar merupakan suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu
yang sifatnya mewajibkan/mengharuskan.1
اَأْل َ ْم ُر طَلَبُ ْالفِ ْع ِل ِمنَ اأْل َ ْعلَى إِلَى اأْل َ ْدنَى
“Amar (perintah) dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada yang lebih
rendah”2
Hakikat pengertian amar (perintah) ialah Lafal yang dikehendaki
supaya orang mengerjakan perintah apa yang dimaksudkan. Menurut Ali
Hasbullah menyatakan bahwa amar berarti suatu tuntutan perbuatan dari
pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah
kedudukannya. Dalam hal ini, tidak diharuskan bahwa orang yang
menyuruh lebih tinggi derajatnya dari orang yang disuruh, walaupun
perintah tersebut tidak akan ditaati oleh yang disuruh itu, karena
derajatnya lebih tinggi daripada yang menyuruh. Sebagian ulama
mensyaratkan bahwa orang yang menyuruh harus lebih tinggi derajatnya
daripada orang yang disuruh, yakni dalam hal ini Allah kepada
hambanya.
2. Bentuk – Bentuk Amar (Perintah)
Amar merupakan lafal yang mengandung pengertian perintah.
Sighat Amar berbentuk sebagai berikut:
1
Muhammad Ma‟sum Zein Zudbah, UshulFiqh (JawaTimur : Darul Hikmah), 2008,52.
2
2 Moh. Rifa‟i, Ushul Fiqih, (Bandung: PT Alma‟arif,1973),21
3
Dan dirikanlah shalat3
....... َ الص َّٰلوةbَواَقِ ْي ُموا
Apabila lafadz yang khusus dalam nash syar‟i datang dalam bentuk
amar atau perintah, maka lafadz itu menunjukkan kewajiban. Artinya
menuntut perbuatan yang diperintah itu secara penetapan dan
kepastian. Allah swt berfirman:
ِ َو ْال ُمطَلَّقَا
َت يَت ََربَّصْ ن
“wahai wanita yang ditalak menahan diri (menunggu) …..”.
ِ ت ْال َعتِي
ْق ِ بِ ْالبَ ْيb َو ْليَطَّ َّوفُوْ ا....
dan hendaklah thawaf sekeliling rumah tua itu (Baitullah)”. “
(QS.Al Haj: 29)
c. Isim Fi’il Amr,
........ َعلَ ْي ُك ْم اَ ْنفُ َس ُك ْم
“Jagalah dirimu”. (QS. Al Maidah: 105)
d. Masdar pengganti fi‟il, seperti:
3
Chaerul Uman dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II (Bandung : Pustaka Setia,2001),112.
4
Moh.Zuhri dan Ahmad Qarib, Ilmu Ushul Fiqih, (Semarang: Toha Putra Group,1994),306
4
َوبِ ْال َوالِ َدي ِْن اِحْ َسانًا
“dan berbuat baiklah kepada Ibu Bapak”. (QS. Al Baqarah: 83)
e. Bentuk lainnya yang semakna, seperti lafal faradla, kutiba dan lain
sebagainya
َعلَ ْي ِه ْم فِ ْٓي اَ ْز َوا ِج ِه ْمbقَ ْد َعلِ ْمنَا َما فَ َرضْ نَا
“sesungguhnya kami telah mengetahui apa yang kami wajibkan
kepada mereka tentang istri istri mereka”.(QS. Al Ahzab: 50).
َ ِٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا ُكت
ِّ ب َعلَ ْي ُك ُم ال
مbُ صيَا
“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa”.
(QS. Al Baqarah: 183)
هّٰللا
ِ اِ َّن َ يَأْ ُم ُر ُك ْم اَ ْن تُؤَ ُّدوا ااْل َمٰ ٰن
ت
“sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan
amanah”. (QS. An Nisa‟: 58)
Bentuk amar kadang-kadang keluar dari maknanya yang asli dan
digunakan untuk makna yang bermacam-macam yang dapat kita ketahui dari
susunan kalimatnya.5
2. Kaidah-kaidah Amar (Perintah)
Amr (perintah) memiliki kaidah yaitu ketentuan-ketentuan yang
dipergunakan para mutjahid dalam mengistinbatkan hukum. Ulama ushul
merumuskan kaidah-kaidah amar dalam lima bentuk, yaitu :
ِ ْاَاْل َصْ ُل فِ ْي ْاالَ ْم ِر لِ ْل ُوجُو
ب َما َد َّل اَل َّدلِ ْي ُل َعلَى ِخاَل فِ ِه
Pada dasarnya „amar (perintah) itu menunjukan kepada wajib dan
tidak menunjukan kepada selain wajib kecuali dengan adanya
qarinah (hubungan keterkaitan). Maksud dari kaidah tersebut adalah
bahwa mengerjakan sesuatu pekerjaan yang dituntut oleh suatu
perintah adalah wajib diperbuat.
b. Perintah setelah larangan menunjukan kepada kebolehan. Maksud
dari kaidah ini ialah, apabila ada perbuatan-perbuatan yang semula
dilarang, lalu datang perintah mengerjakan, maka perintah tersebut
bukan perintah wajib tetapi bersifat membolehkan. Seperti Firman
Allah swt:
فَا َذا قُضيت الص َّٰلوةُ فَا ْنتَشرُوْ ا فى ااْل َرْ ض وا ْبتَ ُغوْ ا م ْن فَضْ ل هّٰللا
ِ ِ ِ َ ِ ِ ِ ِ َِ ِ
5
Chaerul Uman dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II,109.
5
“apabila shalat telah dilaksanakan , maka bertebaranlah kamu di
bumi, carilah karunia allah” ( QS.al-jumu‟ah 62:10).
Allah berfirman:
Kewajiban haji dan umrah hanya sekali seumur hidup. Jadi bila
dikerjakan sekali saja sudah cukup.6
e. اَأْل َ ْم ُر بِاال َّشي ِْئ أَ ْم ٌر بِ َو َسائِلِ ِه
Kaidah ini menjelaskan bahwa perbuatan yang diperintahkan itu
tidak bisa terwujud tanpa disertai dengan sesuatu perbuatan lain yang
dapat mewujudkan perbuatan yang diperintah itu. Misalnya,
kewajiban melaksanakan sholat, sholat ini tidak sah untuk dikerjakan
tanpa suci (wudhu) terlebih dahulu. Maka para ulama menetapkan
6
Syafi‟i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2001),224.
6
bahwa “ Tiap-tiap perkara yang kewajiban tidak sempurna kecuali
dengannya, maka perkara itu wajb pula”.
Bentuk amar (perintah) itu adakalanya keluar dari makna yang asli
dengan ucapan kerjakanlah dan digunakan untuk makna yang bermacam-
macam. Macam-macam amar adalah sebagai berikut :
7
(saja) yang seumpama ) Al Qur’an ( itu”. (QS. Al Baqarah : 23)
k. Taswiyah (mempersamakan). بِرُوْ ۚاbbbَص
ْ بِر ُْٓوا اَوْ اَل تbbbاص
ْ َ فArtinya: “maka
bersabar atau tidak”. (QS. At Thur :16 )
ْ ف اَل تb
l. Tamanni (angan-angan). ْ ْعbََطل ُ اbbَ ي, ْوْ ُم ُزلbbَا نbbَلْ يbbُ ُل طbا لَ ْيbbَي
ْ bِ ْب ُح قbص
Artinya: “wahai sang malam, memanjanglah wahai kantuk
menghilanglah. Wahai waktu subuh berhentilah dahulu, jangan segera
datang.
m. Do’a. َربِّ ا ْغفِرْ لِ ْيArtinya: “Ya Allah ampunilah aku”. (QS. Shad : 35)
n. Ihanah (meremehkan). ر ْي ُمbbb َ َّ ُذ ۚ ْق اِنArtinya: “Rasakanlah,
ِ ُز ْال َكbbbْك اَ ْنتَ ْال َع ِزي
sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia”.(QS. Ad Dukhan :
49)
o. Imtinan. وْ ا ِم َّما َرزَ قَ ُك ُمbbbُ فَ ُكلArtinya: “Makanlah apa yang direzekikan
kapadamu”.(QS. An Nahl :114)7
4. Syarat yang harus ada pada kata Amar (perintah) adalah :
a. Harus berupa ucapan perintah (Amar) seperti kata uf‟ul (kerjakanlah).
b. Harus berbentuk kata permintaan.
c. Tidak ada tanda-tanda (Qarinah) yang menunjukkan permintaan itu
bertatus tidak mewajibkan atau mengharuskan.
d. Datangnya permintaan itu harus dari atasan, sebab jika dari bawahan
namanya do‟a.8
Suatu kata perintah (fiil amar) dapat dipandang dari dua sisi yakni:
B. Nahi
1. Pengertian Nahi
Nahi menurut bahasa artinya mencegah, melarang (al-man‟u), sedangkan
Menurut istilah adalah lafadz yang meminta untuk meninggalkan sesuatu
perbuatan kepada orang lain dengan menggunakan ucapan yang sifatnya
mengharuskan, atau lafadz yang menyuruh kita untuk meninggalkan suatu
pekerjaan yang diperintahkan oleh orang yang lebih tinggi dari kita. Akal juga
disebut nuhyah (nahyu), karena dia dapat mencegah orang yang berakal itu
untuk tidak berbuat salah.
“dan janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda”. (QS. Ali
Imran: 130)
12
Chaerul Uman dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II,118.
10
b. Untuk pelajaran
bاَل تَ ْسئَلُوْ ا ع َْن أَ ْشيَا َء إِ ْن تُ ْب َدلَ ُك ْم تَس ُْؤ ُكم
“janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan
kepadamu, niscaya menyusahkan kamu”.
c. Putus asa
اَل تَ ْعتَ ِذ ُر ْاليَوْ َم
“janganlah kamu cari-cari alasan hari ini”
d. Untuk menyenangkan (menghibur)
اَل تَحْ زَ ْن إِ َّن هللاَ َم َعنَا
“jangan bersedih kamu, bahwa sesungguhnya Allah bersama kita”
5. Syarat-syarat Nahi
a. Menunjukkan haram
Alasannya, apabila ada kata-kata larangan yang tidak disertai qarinah,
akal kita dapat mengerti keharusan yang diminta larangan itu, yang segera
dapat dimengerti menunjukkan pengertian yang sebenarnya. Demikian pula
pemahaman lama salaf.
b. Menunjukan makruh
11
Sementara Imam Syaukani berkata di dalam kitab shulnya Irsyadul Fuhul
bahwa “tiap-tiap nahi yang tidak membedakan antara ibadah dan
muamalah menyebabkan perbuatan yang dilarang itu haram hukumnya,
dan tidak sahnya hukum menurut syara’ berarti batal (tidak sah).13
C. ‘AM
1. Pengertian ‘Am
‘Am secara secara etimologi berarti merata, yang umum. Sedangkan
‘am menurut istilah atau terminologi, ‘Amm ialah suatu lafaz yang
dipergunakan untuk menunjukan suatu makna yang pantas (boleh) dimasukan
pada makna itu dengan mengucapkan sekali ucapan saja.14 Muhammad Adip
Saleh mendefinisikan bahwa ‘Am adalah lafadz yang di ciptakan untuk
pengertian umum, sesuai dengan pengertian tiap lafadz itu sendiri, tanpa
dibatasi dengan jumlah tertentu. Adapun juga pengertian ‘am menurut ulama’
lainnya. Yaitu:
Menurut Jalaludin As Suyuthi, lafadz ‘am adalah lafadz yang mencakup
seluruh satuan -satuan yang pantas baginya dan tidak terbatas dalam jumlah
tertentu.
Menurut Zakiy al-Din Sya’baniy, lafadz ‘am adalah suatu lafadz yang
cakupan maknanya meliputi berbagai satuan menurut makna yang sebenarnya,
tanpa adanya Batasan tertentu.
Menurut ulama’ Hanafiah, ‘am adalah setiap lafadz yang mencakup
banyak hal, baik itu secara lafadz maupun secara makna.
16
Terjemah Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Syaikh Manna’ Al-Qaththan, oleh H.Aunur Rafiq El-mazni,
Lc. MA, PUSTAKA AL-KAUTSAR, Penerbit Buku Islam Utama, h.276-277
17
Muhammad Nor Ikhwan Memahami Bahasa Al-Qur’an, h. 182
13
banyak, maka lafadz khas adalah suatu lafadz yang menunjukkan makna
khusus. Adapun juga definisi lafadz khas menurut ulama lainnya, antara lain
sebagai berikut.
a. Menurut Manna al-Qaththan, lafadz khas adalah lafadz yang merupakan
kebalikan dari lafadz ‘am, yaitu yang tidak menghabiskan semua apa
yang pantas baginya tanpa ada pembatasan.
b. Menurut Mushtafa Said al-Khin, lafadz khas adalah setiap lafadz yang di
gunakan untuk menunjukkan makna satu atas beberapa satuan yang
diketahui.
c. Menurut Abdul Wahhab Khallaf, lafadz khas adalah lafadz yang
digunakan untuk menunjukkan satu orang tertentu.18
2. Dalalah Lafadz Khas
Menurut jumhur ulama telah bersepakat bahwa lafadz Khas ini dalam
nash syara’ menunjuk kepada dalalah qath’iyah. Artinya setiap lafadz
tersebut tidak ada qarinah yang menunjukkan kepada makna lain, maka
hukumnya tetap qath’i.19
3. Contoh Ayat Khas Dalam Al-Quran
18
Muhammad Nor Ikhwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an, h. 185
19
Syafi’I Karim. Fiqh-Ushul Fiqh. (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h.166
14
penduduknya adalah orang-orang yang zalim. Berkata Ibrahim:
"Sesungguhnya di kota itu ada Luth". Para malaikat berkata: "Kami
lebih mengetahui siapa yang ada di kota itu. Kami sungguh-sungguh
akan menyelamatkan dia dan pengikut- pengikutnya kecuali isterinya.
Dia adalah termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan).’”
(’Ankabut [29]:31-32).
Segi yang dijadikan dalil ialah bahwa Ibrahim memahami ucapan para
malaikat, ahlu hazihil qaryah (penduduk negeri ini), adalah umum, di mana ia
menyebutkan lut. Para malaikat pun mengakui pemahaman demikian dan
menjawab bahwa mereka akan memperlakukan secara khusus lut dan
keluarganya,dengan mengecualikannya dari golongan yang akan dihancurkan
dan mengecualikan istri lut dari orang-orang yang diselamatkan. Ini semua
menunjukkan makna umum.20
5. Takhsis
1. Pengertian Takhsis
Takhshish adalah mengeluarkan sebagian apa yang di cakup lafadz ‘am.
Sedangkan definisi mukhashshish menurut Manna al-Qaththan adalah dalil
yang menjadi dasar adanya pengeluaran lafadz ‘am. Mukhashish dapat dibagi
menjadi dua macam, yaitu mukhashish muttashil dan mukhashish munfasil.21
a. Mukhashish Muttashil
Yaitu takhsis yang tidak berdiri sendiri, dimana ‘am dan mukhashishnya
tidak dipisah oleh suatu hal. Mukhashshis muttashil ini dibagi menjadi lima
macam, yaitu:
1. Istisna’ (pengecualian)
2. Sifat
3. Syarat
4. Ghayah
5. Badal ba’da min kull (mengganti sebagian dari keseluruhannya)
b. Mukhashish Munfashil
20
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an.hlm 313-315.
21
Acep Hermawan. Ulumul Qur’an. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), h. 193
15
di mana antara ‘am dengan Mukhashshish dipisahkan oleh suatu hal,
sehingga antara keduanya tidak di sebutkan dalam satu kalimat.22
2. Contoh Ayat Khas Dalam Al-Qur’an
a. Lafadz tersebut menyebutkan tentang nama seseorang, jenis, golongan,
atau nama sesuatu, seperti contoh :
ࣖ ُح َم ۤا ُء بَ ْينَهُ ْم ۤ هّٰللا
ِ َُّم َح َّم ٌد َّرسُوْ ُل ِ ۗ َوالَّ ِذ ْينَ َم َعهٗ ٓ اَ ِش َّدا ُء َعلَى ْال ُكف
َ ار ر
Lafadz Muhammad pada ayat tersebut adalah lafadz khas, karena hanya
menunjukkan satu pengertian, yaitu Nabi Muhammad Saw.
b. Lafadz tersebut menyebutkan jumlah atau bilangan tertentu dalam
satu kalimat. Seperti dalam firman Allah:
ت يَتَ َربَّصْ نَ بِا َ ْنفُ ِس ِه َّن ثَ ٰلثَةَ قُر ُۤوْ ۗ ٍء
ُ َو ْال ُمطَلَّ ٰق
Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru'..
Ayat diatas menjelaskan bahwa iddah seorang wanita yang
ditalak suaminya adalah tiga kali quru’. Lafadz tsalatsah pada ayat
tersebut merupakan lafadz khas, karena menyebutkan tentang jumlah
atau bilangan tertentu.
ا فَتَحْ ِر ْي ُر َرقَبَ ٍة ُّم ْؤ ِمنَ ٍةbًًٔا ۚ َو َم ْن قَتَ َل ُم ْؤ ِمنًا َخطَٔـbًًَٔو َما َكانَ لِ ُم ْؤ ِم ٍن اَ ْن يَّ ْقتُ َل ُم ْؤ ِمنًا اِاَّل خَ طَٔـ
22
Terjemah Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Syaikh Manna’ Al-Qaththan, oleh H.Aunur Rafiq El-mazni, Lc.
MA, PUSTAKA AL-KAUTSAR, Penerbit Buku Islam Utama, h.278-279
23
Syafi’i Karim. Fiqh-Ushul Fiqh. (Bandung: Pustaka Setia, 1997),h. 166
16
17
DAFTAR PUSTAKA
Uman, Chaerul dan Achyar Aminudin. 2001. Ushul Fiqih II (Bandung: Pustaka
Setia).
Al-Qaththan, Manna’. Pengantar Studi Ilmu Alquran. Terj. Ainur Rafiq El-mazni.
Pustaka Al Kautsar.
Karim, Syafi’I. 1997. Fiqh-Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia. Hermawan, Acep.
2011. Ulumul Qur’an. Bandung: Remaja Rosdakarya. Al-Qattan. Manna’
Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an.
Bakry, Nazar. 2003. Fiqh & Ushul Fiqh. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
18
19
20