Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

KAIDAH-KAIDAH PENGAMBILAN HUKUM

Disusun untuk memenuh salah satu tugas mata kuliah Ilmu Fikih

Dosen pengampu: Nandang Abdurrohim, M.Ag.

Disusun oleh:
Kelompok 5

Dinda Widyasari (1182060028)


Diva Nurwulandari (1182060029)
Fahmi Atoillah (1182060030)

PRODI PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2020

ii
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala
rahmat dan karunia yang diberikan-Nya sehingga makalah yang berjudul “Kaidah-
Kaidah Pengambilan Hukum” ini dapat diselesaikan. Makalah ini kami buat
sebagai salah satu kewajiban untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Fikih.

Dalam kesempatan ini, kami mengucapkan terimakasih kepada semua


pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya. Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yan bersifat membangun demi kesempurnaan
makalah ini.

Dengan kerendahan hati, kami meminta maaf jika terdapat kesalahan


dalam penulisan atau penguraian makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat
diterima dan dijadikan acuan dalam pembelajaran.

Bandung, 10 Maret 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................................ii
BAB I.............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.........................................................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan..............................................................................................................2
BAB II............................................................................................................................................3
PEMBAHASAN............................................................................................................................3
A. AMAR................................................................................................................................3
1. Pengertian Amar...........................................................................................................3
2. Kaidah-kaidah Amar (Perintah)..................................................................................5
3. Macam – macam Amar (Perintah)..............................................................................7
4. Syarat yang harus ada pada kata Amar (perintah) adalah :.....................................9
B. Nahi....................................................................................................................................9
1. Pengertian Nahi.............................................................................................................9
2. Bentuk-bentuk Nahi (Larangan)................................................................................10
3. Kaidah-Kaidah Nahi...................................................................................................11
4. Macam-macam Nahi (Larangan)...................................................................................11
C. ‘AM..................................................................................................................................13
1. Pengertian ‘Am...........................................................................................................13
2. Macam-Macam Lafadz Umum (‘am)........................................................................13
3. Dalalah Lafadz ‘Am....................................................................................................14
4. KHAS...............................................................................................................................14
1. Pengertian Khas..........................................................................................................14
2. Dalalah Lafadz Khas...................................................................................................15
3. Contoh Ayat ‘Am Dalam Al-Quran...........................................................................15
5. Takhsis.............................................................................................................................16
1. Pengertian Takhsis......................................................................................................16
2. Contoh Ayat Khas Dalam Al-Qur’an........................................................................16
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................19

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Kaidah ushuliyyah adalah kaidah yang berkaitan dengan bahasa. Dan kaidah
ushuliyyah ini juga merupakan kaidah yang sangat penting, karena kaidah
ushuliyyah merupakan media atau alat untuk menggali kandungan makna dan
hukum yang tertuang dalam nash Alquran dan As-Sunnah. Kaidah-kaidah
ushuliyah di sebut juga kaidah Istinbat atau kaidah Lugawiyah.

Memahami redaksi Al-Qur’an dan Al-Hadits bagaikan menyelam ke dalam


samudra yang dalam lagi luas dibutuhkan kunci, metode dan keilmuan khusus
untuk sampai ke sana sehingga kita bisa mengetahui maksud dan tujuan nash Al-
Qur’an dan Al-Hadits baik dari sudut teks maupun dari aspek makna. Diantara
beberapa pembahasan yang berkaitan dengan Ilmu Ushul Fiqih yang didalamnya
terdapat kaidah-kaidah (ushuliyah) yaitu tentang ‘Amr, Dan Nahi, Am, Khas serta
Takhshish, Mutlaq dan Muqoyyad, Murodlif dan Musytarak, Dzahir dan Ta’wil,
Manthuq dan Mafhum, Mujmal dan Mubayyan, dan Nasakh Mansukh.

Ilmu ushul fiqh menyajikan berbagai cara dari berbagai aspeknya untuk
menimba pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Untuk memahami teks-teks dari dua sumber yang berbahasa Arab tersebut, para
ulama telah menyusun semacam sistematik yang akan digunakan dalam praktek
penalaran fiqih. Bahasa Arab menyampaikan suatu pesan dengan berbagai cara dan
dalam beberapa tingkat kejelasannya.

Disebut kaidah istinbat karena kata istinbat bila dihubungkan dengan


hukum, seperti dijelaskan oleh Muhammad bin ‘Ali al-Fayyumi (w.770 H) ahli
Bahasa Arab dan Fikih, berarti upaya menarik hukum dari Alquran dan Sunnah
dengan jalan Ijtihad. Secara garis besar, metode istinbat dapat dibagi kepada tiga
bagian, yaitu segi kebahasaan, segi maqasid (tujuan) syari’ah, dan segi
penyelesaian beberapa dalil yang bertentangan. dari tiga kategori ayat-ayat hukum
itulah terbentuk hukum-hukum, seperti wajib, mandub, haram, makruh dan mubah.

1
Oleh karena itu penulis dalam makalah ini berusaha untuk membahas
kaidah-kaidah dalam pengambilan hukum. Baik itu berupa Amr, Dan Nahi, Am,
Khas serta Takhshish, Mutlaq dan Muqoyyad, Murodlif dan Musytarak, Dzahir dan
Ta’wil, Manthuq dan Mafhum, Mujmal dan Mubayyan, dan Nasakh Mansukh.
Karena dengan mengetahui dan memahami kaidah-kaidah fiqh kita akan
mengetahui benang merah dalam menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi
titik temu dari masalah-masalah fiqh dan lebih arif dalam menerapkan fiqh dalam
waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang
berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah
sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-
problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat. 

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis membuat rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dan macam-macam dari kaidah-kaidah pengambilan hukum
(Isthinbat al-Ahkam)?
2. Apa yang menjadi dasar hukum yang dijadikan dasar dalam pengambilan
kaidah-kaidah pengambilan hukum tersebut
3. Bagaimana contoh pengimplementasian kaidah-kaidah pengambilan hukum
tersebut?
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini disusun dengan tujuan sebagai berikut:
1. Mahasiswa dapat mengetahui, memahami, dan  mengerti mengenai hal-hal
yang berhubungan dengan kaidah fiqhiyyah.
2. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami pengertian dari kaidah - kaidah
tersebut, macam - macamnya
3. Mahasiswa dapat mengimplementasikan kaidah-kaidah tersebut dalam
pengambilan hukum dalam kehidupan sehari-hari.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. AMAR
1. Pengertian Amar
Menurut bahasa arab, Amar artinya perintah, menurut istilah Amar
adalah suatu lafadz yang didalamnya menunjukkan tuntutan untuk
megerjakan suatu perkerjaan dari atasan kepada bawahan. Dari definisi
tersebut dapat dipahami bahwa Amar itu tidak hanya ditunjukkan pada
lafadz-lafadz yang memakai sighat (bentuk kata) Amar saja, tetapi
ditunjukkan pula oleh semua bentuk kata yang didalamnya mengandung arti
perintah. Jadi Amar merupakan suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu
yang sifatnya mewajibkan/mengharuskan.1
‫اَأْل َ ْم ُر طَلَبُ ْالفِ ْع ِل ِمنَ اأْل َ ْعلَى إِلَى اأْل َ ْدنَى‬

“Amar (perintah) dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada yang lebih
rendah”2
Hakikat pengertian amar (perintah) ialah Lafal yang dikehendaki
supaya orang mengerjakan perintah apa yang dimaksudkan. Menurut Ali
Hasbullah menyatakan bahwa amar berarti suatu tuntutan perbuatan dari
pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah
kedudukannya. Dalam hal ini, tidak diharuskan bahwa orang yang
menyuruh lebih tinggi derajatnya dari orang yang disuruh, walaupun
perintah tersebut tidak akan ditaati oleh yang disuruh itu, karena
derajatnya lebih tinggi daripada yang menyuruh. Sebagian ulama
mensyaratkan bahwa orang yang menyuruh harus lebih tinggi derajatnya
daripada orang yang disuruh, yakni dalam hal ini Allah kepada
hambanya.
2. Bentuk – Bentuk Amar (Perintah)
Amar merupakan lafal yang mengandung pengertian perintah.
Sighat Amar berbentuk sebagai berikut:

a. Berbentuk Fi’il Amar / perintah langsung.

1
Muhammad Ma‟sum Zein Zudbah, UshulFiqh (JawaTimur : Darul Hikmah), 2008,52.
2
2 Moh. Rifa‟i, Ushul Fiqih, (Bandung: PT Alma‟arif,1973),21
3
Dan dirikanlah shalat3
....... َ‫ الص َّٰلوة‬b‫َواَقِ ْي ُموا‬
Apabila lafadz yang khusus dalam nash syar‟i datang dalam bentuk
amar atau perintah, maka lafadz itu menunjukkan kewajiban. Artinya
menuntut perbuatan yang diperintah itu secara penetapan dan
kepastian. Allah swt berfirman:
ِ ‫َو ْال ُمطَلَّقَا‬
َ‫ت يَت ََربَّصْ ن‬
“wahai wanita yang ditalak menahan diri (menunggu) …..”.

Firman tersebut menunjukkan kewajiban wanita yang ditalaq untuk


menahan diri atau beriddah selama tiga kali quru‟ (suci). Sebab
menurut pendapat yang rajih (unggul) bahwasannya shighat amar
dan shighat lain yang bermakna sama dengannya ditetapkan untuk
mewajibkan. Sedangkan suatu lafadz ketika di mutlakkan, maka ia
menunjukkan terhadap maknanya yang hakiki yang telah ditetapkan
untuknya. Ia tidak boleh dipalingkan dari maknanya yang hakiki,
kecuali dengan adanya suatu qarinah (hubungan/keterkaitan kata
sebelum dan sesudahnya).
Selanjutnya jika ditemukan suatu qarinah (keterkaitan / hubungan)
yang dapat memalingkan shighat perintah dari makna kewajiban
kepada makna lainnya, maka ia dipahami sesuai dengan apa yang
ditunjuki oleh qarinah itu, seperti ibahah (pembolehan).4

b. Berbentuk Fi’il mudhari’ yang didahului oleh lam Amar.

Misalnya, firman Allah:

ِ ‫ت ْال َعتِي‬
‫ْق‬ ِ ‫ بِ ْالبَ ْي‬b‫ َو ْليَطَّ َّوفُوْ ا‬....
dan hendaklah thawaf sekeliling rumah tua itu (Baitullah)”. “
(QS.Al Haj: 29)
c. Isim Fi’il Amr,
........ ‫َعلَ ْي ُك ْم اَ ْنفُ َس ُك ْم‬
“Jagalah dirimu”. (QS. Al Maidah: 105)
d. Masdar pengganti fi‟il, seperti:

3
Chaerul Uman dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II (Bandung : Pustaka Setia,2001),112.
4
Moh.Zuhri dan Ahmad Qarib, Ilmu Ushul Fiqih, (Semarang: Toha Putra Group,1994),306
4
‫َوبِ ْال َوالِ َدي ِْن اِحْ َسانًا‬
“dan berbuat baiklah kepada Ibu Bapak”. (QS. Al Baqarah: 83)
e. Bentuk lainnya yang semakna, seperti lafal faradla, kutiba dan lain
sebagainya
‫ َعلَ ْي ِه ْم فِ ْٓي اَ ْز َوا ِج ِه ْم‬b‫قَ ْد َعلِ ْمنَا َما فَ َرضْ نَا‬
“sesungguhnya kami telah mengetahui apa yang kami wajibkan
kepada mereka tentang istri istri mereka”.(QS. Al Ahzab: 50).
َ ِ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا ُكت‬
ِّ ‫ب َعلَ ْي ُك ُم ال‬
‫م‬bُ ‫صيَا‬
“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa”.
(QS. Al Baqarah: 183)
‫هّٰللا‬
ِ ‫اِ َّن َ يَأْ ُم ُر ُك ْم اَ ْن تُؤَ ُّدوا ااْل َمٰ ٰن‬
‫ت‬
“sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan
amanah”. (QS. An Nisa‟: 58)
Bentuk amar kadang-kadang keluar dari maknanya yang asli dan
digunakan untuk makna yang bermacam-macam yang dapat kita ketahui dari
susunan kalimatnya.5
2. Kaidah-kaidah Amar (Perintah)
Amr (perintah) memiliki kaidah yaitu ketentuan-ketentuan yang
dipergunakan para mutjahid dalam mengistinbatkan hukum. Ulama ushul
merumuskan kaidah-kaidah amar dalam lima bentuk, yaitu :
ِ ْ‫اَاْل َصْ ُل فِ ْي ْاالَ ْم ِر لِ ْل ُوجُو‬
‫ب َما َد َّل اَل َّدلِ ْي ُل َعلَى ِخاَل فِ ِه‬
Pada dasarnya „amar (perintah) itu menunjukan kepada wajib dan
tidak menunjukan kepada selain wajib kecuali dengan adanya
qarinah (hubungan keterkaitan). Maksud dari kaidah tersebut adalah
bahwa mengerjakan sesuatu pekerjaan yang dituntut oleh suatu
perintah adalah wajib diperbuat.
b. Perintah setelah larangan menunjukan kepada kebolehan. Maksud
dari kaidah ini ialah, apabila ada perbuatan-perbuatan yang semula
dilarang, lalu datang perintah mengerjakan, maka perintah tersebut
bukan perintah wajib tetapi bersifat membolehkan. Seperti Firman
Allah swt:
‫فَا َذا قُضيت الص َّٰلوةُ فَا ْنتَشرُوْ ا فى ااْل َرْ ض وا ْبتَ ُغوْ ا م ْن فَضْ ل هّٰللا‬
ِ ِ ِ َ ِ ِ ِ ِ َِ ِ

5
Chaerul Uman dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II,109.
5
“apabila shalat telah dilaksanakan , maka bertebaranlah kamu di
bumi, carilah karunia allah” ( QS.al-jumu‟ah 62:10).

Dengan demikian perintah bertebaran dimuka bumi, seperti kata ayat


diatas, hukumnya tidak wajib, tapi diperbolehkan.

c. ‫َض ْي اَ ْلفَوْ َر‬


ِ ‫اَأْل َصْ ُل فِ ْي ْاألَ ْم ِر اَل يَ ْقت‬

Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki segera dilaksanakan.


Misalnya tentang haji. Jumhur ulama sepakat bahwa perintah
mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan waktu, maka harus
dikerjakan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan tidak
boleh di luar waktu. Bila dilakukan diluar waktu, tanpa sebab yang
dibenarkan oleh syara‟ maka hukumnya akan berdosa.

ِ ‫اَأْل َصْ ُل فِ ْي ْاألَ ْم ِر اَل يَ ْقت‬


d. ‫ي اَلتَّ ْك َرا َرإِاّل َ َما َد َّل ال َّدلِ ْي ُل َعلَى ِخاَل فِ ِه‬bْ ‫َض‬
Pada dasarnya perintah ini tidak menghendaki pengulangan (berkali-
kali mengerjakan perintah). Misalnya dalam ibadah haji, yaitu satu
kali seumur hidup namun bila perintah itu dimaksudkan
pengulangan, maka harus ada qarinah atau kalimat yang menunjukan
pada pengulangan.

Allah berfirman:

...... ِ ‫َواَتِ ُّموا ْال َح َّج َو ْال ُع ْم َرةَ هّٰلِل‬


“dan Sempurnakan haji dan umrah karena Allah”. (QS. Al Baqarah:
196).

Kewajiban haji dan umrah hanya sekali seumur hidup. Jadi bila
dikerjakan sekali saja sudah cukup.6
e. ‫اَأْل َ ْم ُر بِاال َّشي ِْئ أَ ْم ٌر بِ َو َسائِلِ ِه‬
Kaidah ini menjelaskan bahwa perbuatan yang diperintahkan itu
tidak bisa terwujud tanpa disertai dengan sesuatu perbuatan lain yang
dapat mewujudkan perbuatan yang diperintah itu. Misalnya,
kewajiban melaksanakan sholat, sholat ini tidak sah untuk dikerjakan
tanpa suci (wudhu) terlebih dahulu. Maka para ulama menetapkan

6
Syafi‟i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2001),224.

6
bahwa “ Tiap-tiap perkara yang kewajiban tidak sempurna kecuali
dengannya, maka perkara itu wajb pula”.

3. Macam – macam Amar (Perintah)

Bentuk amar (perintah) itu adakalanya keluar dari makna yang asli
dengan ucapan kerjakanlah dan digunakan untuk makna yang bermacam-
macam. Macam-macam amar adalah sebagai berikut :

a. Wajib. Contoh: َ‫ ٰلوة‬bb‫الص‬


َّ ‫وا‬bb‫ َواَقِ ْي ُم‬Artinya: “Dirikanlah Shalat”. (QS. Al
baqarah: 43)
ْٓ ‫و َّٰاتُوْ هُ ْم ِّم ْن َّما ِل هّٰللا ِ الَّ ِذ‬
b. Nadb (anjuran). ‫ي ٰا ٰتى ُك ْم‬
Artinya: “dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang
dikaruniakan Nya kepadamu”. (QS. An Nur : 33)
c. ٰ ‫قُلْ هَاتُوْ ا بُرْ هَانَ ُك ْم اِ ْن ُك ْنتُ ْم‬
Takdzib (mendustakan). َ‫ص ِدقِ ْين‬
Artinya: “tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang
benar”. (QS. Al Baqarah 111).
d. Irsyad (membimbing atau Menunjukkan). ‫ِّجالِ ُك ۚ ْم‬
َ ‫ن ِم ْن ر‬bِ ‫َوا ْستَ ْش ِه ُدوْ ا َش ِه ْي َد ْي‬
Artinya: “dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang lakilaki
(diantaramu). (QS. Al Baqarah : 282)
e. Ibahah (kebolehan). َ‫ َو ِد ِمن‬b‫ ِط ااْل َ ْس‬bْ‫طُ ااْل َ ْبيَضُ ِمنَ ْالخَ ي‬bْ‫َو ُكلُوْ ا َوا ْش َربُوْ ا َح ٰتّى يَتَبَيَّنَ لَ ُك ُم ْال َخي‬
‫ ْالفَجْ ۖ ِر‬Artinya: “makan dan minumlah hingga jelas bagimu beng putih dan
benang hitam bagimu”. (QS. Al Baqarah : 187)
ِ َ‫اِ ْع َملُوْ ا َما ِش ْئتُ ْم ۙاِنَّهٗ بِ َما تَ ْع َملُوْ نَ ب‬
f. Tahdid (Ancaman). ‫ص ْي ٌر‬
Artinya: “kerjakanlah apa yang kamu kehendaki. Sesungguhnya Dia
maha melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Fusshilat : 40)
g. Inzhar (peringatan). ِ‫ار‬ ِ ‫ا ِ َّن َم‬b َ‫وْ ا ف‬bb‫لْ تَ َمتَّ ُع‬bbُ‫ ق‬Artinya: “Katakanlah,
ِ َّ‫ ْي َر ُك ْم اِلَى الن‬b ‫ص‬
“Bersuka rialah kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu adalah
neraka”. (QS. Ibrahim : 30)
h. Ikram (memuliakan). َ‫ ٰل ٍم ٰا ِمنِ ْين‬bbb‫ا بِ َس‬bbbَ‫ اُ ْد ُخلُوْ ه‬Artinya:“(dikatakan kepada
mereka): masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman”. (QS. Al
Hijr:46)
i. Taskhir (penghinaan). َ‫ ْين‬bِِٕ‫ر َدةً ٰخ ِسٕـ‬b
َ bِ‫وْ ا ق‬bbُ‫ ُكوْ ن‬Artinya: “Jadilah kamu sekalian
kera yang hina”. (QS. Al Baqarah : 65)
j. Ta’jiz (melemahkan). ‫ فَأْتُوْ ا بِسُوْ َر ٍة ِّم ْن ِّم ْثلِ ٖه‬Artinya: “datangkanlah satu surat

7
(saja) yang seumpama ) Al Qur’an ( itu”. (QS. Al Baqarah : 23)
k. Taswiyah (mempersamakan). ‫بِرُوْ ۚا‬bbb‫َص‬
ْ ‫بِر ُْٓوا اَوْ اَل ت‬bbb‫اص‬
ْ َ‫ ف‬Artinya: “maka
bersabar atau tidak”. (QS. At Thur :16 )
ْ ‫ف اَل ت‬b
l. Tamanni (angan-angan). ْ ‫ ْع‬bَ‫َطل‬ ُ ‫ا‬bbَ‫ ي‬, ْ‫وْ ُم ُزل‬bbَ‫ا ن‬bbَ‫لْ ي‬bbُ‫ ُل ط‬b‫ا لَ ْي‬bbَ‫ي‬
ْ bِ‫ ْب ُح ق‬b‫ص‬
Artinya: “wahai sang malam, memanjanglah wahai kantuk
menghilanglah. Wahai waktu subuh berhentilah dahulu, jangan segera
datang.
m. Do’a. ‫ َربِّ ا ْغفِرْ لِ ْي‬Artinya: “Ya Allah ampunilah aku”. (QS. Shad : 35)
n. Ihanah (meremehkan). ‫ر ْي ُم‬bbb َ َّ‫ ُذ ۚ ْق اِن‬Artinya: “Rasakanlah,
ِ ‫ ُز ْال َك‬bbbْ‫ك اَ ْنتَ ْال َع ِزي‬
sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia”.(QS. Ad Dukhan :
49)
o. Imtinan. ‫وْ ا ِم َّما َرزَ قَ ُك ُم‬bbbُ‫ فَ ُكل‬Artinya: “Makanlah apa yang direzekikan
kapadamu”.(QS. An Nahl :114)7
4. Syarat yang harus ada pada kata Amar (perintah) adalah :
a. Harus berupa ucapan perintah (Amar) seperti kata uf‟ul (kerjakanlah).
b. Harus berbentuk kata permintaan.
c. Tidak ada tanda-tanda (Qarinah) yang menunjukkan permintaan itu
bertatus tidak mewajibkan atau mengharuskan.
d. Datangnya permintaan itu harus dari atasan, sebab jika dari bawahan
namanya do‟a.8

Suatu kata perintah (fiil amar) dapat dipandang dari dua sisi yakni:

a. Cara menyatakan perintah dari bentuk kata. Hal ini menunjukkan


tuntunan perbuatan dalam waktu yang tertentu atau waktu
mendatang.

Maksud yang dikandung dalam perintah itu atau perbuatan yang


diminta (ma’addatul amri). Hal ini menunujukkan
macamnya perbuatan yang diminta, seperti berdiri, duduk. Apabila
disatukan kedua sisi tersebut dalam amar, maka maksudnya tidak lebih
dari pada hanya menuntut perbuatan yang disebutnya, dan tidak ada
tanda-tanda yang menunjukkan berulang-ulanya perbuatan itu.
Memenuhi tuntunan suruhan tersebut cukup dengan dikerjakan sekali
7
Moh.Zuhri dan Ahmad Qarib, Ilmu Ushul Fiqih,306.
8
Muhammad Ma‟sum Zein Zudbah, UshulFiqh, 52.
8
saja, karena menurut qaidah “tidak ada kewajiban lebih dari pada
tanggungan yang sebenarnya (sesuai kemampuan seorang hamba)”.9

B. Nahi
1. Pengertian Nahi
Nahi menurut bahasa artinya mencegah, melarang (al-man‟u), sedangkan
Menurut istilah adalah lafadz yang meminta untuk meninggalkan sesuatu
perbuatan kepada orang lain dengan menggunakan ucapan yang sifatnya
mengharuskan, atau lafadz yang menyuruh kita untuk meninggalkan suatu
pekerjaan yang diperintahkan oleh orang yang lebih tinggi dari kita. Akal juga
disebut nuhyah (nahyu), karena dia dapat mencegah orang yang berakal itu
untuk tidak berbuat salah.

‫ك ِمنَ ْاألَ ْعلَى إِلَى ْاالَ ْدنَى‬


ِ ْ‫طَلَبُ التَّر‬

“Memerintah meninggalkan sesuatu dari yang lebih tinggi tingkatannya


kepada orang yang lebih rendah tingkatannya”10

Menurut Abdul Hamid Hakim menyebutkan bahwa nahi adalah perintah


untuk meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan. Jadi Nahi adalah suatu
larangan yang harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni
dari Allah SWT kepada hamba-Nya.11
Adapun maksud nahi yang sebenarnya adalah menunjukkan haram,
ٰ ‫اَل تَأْ ُكلُوا ال ِّر ٰب ٓوا اَضْ َعافًا ُّم‬
seperti dalam firman Allah:ً‫ض َعفَة‬

“dan janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda”. (QS. Ali
Imran: 130)

Karena Lata’kulu berbentuk nahi sedangkan ketentuan nahi adalah


haram, maka makan harta riba hukumnya haram, karena tidak diridlai Allah
swt. Inilah hukum asli dari nahi.

Kecuali apabila ada qarinah yang memengaruhinya, maka nahi tersebut


tidak lagi menunjukkan hukum haram, tetapi menunjukkan hukum
makruh, mubah, dan sebagainya. Sesuai dengan qarinah yang memengaruhinya
9
Chaerul Uman dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II,115.
10
Moh. Rifa‟i, Ushul Fiqih, 42
11
Muhammad Ma‟sum Zein Zudbah, UshulFiqh, 52-53.
9
itu. Ada ulama yang berpendapat bahwa nahi yang masih asli itu menunjukkan
hukum makruh. Namun, pendapat yang lebih kuat, bahwa nahiadalah haram.12
2. Bentuk-bentuk Nahi (Larangan)

Kalimat larangan yang tidak memiliki qarinah menunjukkan hakikat


larangan yang mutlak. Seperti firman Allah:
‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تَ ْق َربُوا الص َّٰلوةَ َواَ ْنتُ ْم س ُٰك ٰرى‬
“hai orang-orang yang beriman, jangan kamu kerjakan shalat dalam
keadaan mabuk”. (QS.An Nisa : 43)

Ungkapan yang menunjukkan kepada nahi (larangan) itu ada beberapa


bentuk diantaranya:

ِ ْ‫اَل تُ ْف ِس ُدوْ ا فِى ااْل َر‬


a. Fi‟il Mudhari‟ yang disertai dengan la nahi, seperti:‫ض‬
“janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”.(QS. Al Baqarah:
11).
b. Lafadz-lafadz yang member pengertian haram atau perintah
meninggalkan sesuatu perbuatan, seperti:‫َواَ َح َّل هّٰللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّر ٰبوا‬
ۗ

“dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al


Baqarah: 275).
3. Kaidah-Kaidah Nahi
a. Pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram, seperti:‫َواَل تَ ْق َربُوا ال ِّز ٰن ٓى‬
“dan janganlah kalian mendekati zina”. (qs. Al isra: 32).
b. Larangan terhadap sesuatu berarti perintah akan kebalikannya, seperti:
ِ‫ك بِاهلل‬bْ ‫اَل تُ ْش ِر‬
“janganlah kamu mempersekutukan allah”.
c. Pada dasarnya larangan yang mutlak menghendaki pengulangan
larangan dalam setiap waktu. Seperti:
‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تَ ْق َربُوا الص َّٰلوةَ َواَ ْنتُ ْم س ُٰك ٰرى‬
“janganlah shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk”. (qs. An nisa‟:43).
4. Macam-macam Nahi (Larangan)
a. Untuk do‟a
ۚ ‫َربَّنَا اَل تُ َؤا ِخ ْذنَٓا اِ ْن نَّ ِس ْينَٓا اَوْ اَ ْخطَأْنَا‬
“hai Tuhan kami, janganlah engkau hukum kami, bila kami lupa atau salah”.

12
Chaerul Uman dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II,118.

10
b. Untuk pelajaran
b‫اَل تَ ْسئَلُوْ ا ع َْن أَ ْشيَا َء إِ ْن تُ ْب َدلَ ُك ْم تَس ُْؤ ُكم‬
“janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan
kepadamu, niscaya menyusahkan kamu”.
c. Putus asa
‫اَل تَ ْعتَ ِذ ُر ْاليَوْ َم‬
“janganlah kamu cari-cari alasan hari ini”
d. Untuk menyenangkan (menghibur)
‫اَل تَحْ زَ ْن إِ َّن هللاَ َم َعنَا‬
“jangan bersedih kamu, bahwa sesungguhnya Allah bersama kita”
5. Syarat-syarat Nahi
a. Menunjukkan haram
Alasannya, apabila ada kata-kata larangan yang tidak disertai qarinah,
akal kita dapat mengerti keharusan yang diminta larangan itu, yang segera
dapat dimengerti menunjukkan pengertian yang sebenarnya. Demikian pula
pemahaman lama salaf.

Qarinah ialah kata-kata yang menyerupai larangan, yang


menyebabkan larangan itu tidak menyebabkan haram.

b. Menunjukan makruh

Alasannya, larangan itu hanya menunjukkan buruknya (tidak


baiknya) perbuatan yang dilarang. Keburukan ini tidak berarti haram atau
larangan menunjukkan rusaknya perbuatan yang dilarang.13
c. Melarang sesuatu mengakibatkan perbuatan yang dilarang hukumnya
menjadi rusak dan tidak sah.
Larangan melakukan suatu perbuatan itu akan mengakibatkan
perbuatan yang dilarang tadi apabila dilakukan hukumnya menjadi tidak sah.

Contoh zina. Sebagian ulama termasuk imam Ghazali dan ar Razi


berpendapat bahwa “nahi itu tidak menyebabkan tidak sahnya suatu
perbuatan yang dilakukan, kecuali hanya dalam soal ibadah saja, tidak
dalam muamalah”. Sebagian ulama Syafi‟iyyah, hanafiah, dan
muktazilah berpendapat bahwa “nahi itu tidak menyebabkan tidak sahnya
perbuatan yang dilarang, tidak pada lughah / bahasanya, tidak pada
syara’, dan tidak pula dalam soal-soal ibadah dan muamalah”.

11
Sementara Imam Syaukani berkata di dalam kitab shulnya Irsyadul Fuhul
bahwa “tiap-tiap nahi yang tidak membedakan antara ibadah dan
muamalah menyebabkan perbuatan yang dilarang itu haram hukumnya,
dan tidak sahnya hukum menurut syara’ berarti batal (tidak sah).13

C. ‘AM
1. Pengertian ‘Am
‘Am secara secara etimologi berarti merata, yang umum. Sedangkan
‘am menurut istilah atau terminologi, ‘Amm ialah suatu lafaz yang
dipergunakan untuk menunjukan suatu makna yang pantas (boleh) dimasukan
pada makna itu dengan mengucapkan sekali ucapan saja.14 Muhammad Adip
Saleh mendefinisikan bahwa ‘Am adalah lafadz yang di ciptakan untuk
pengertian umum, sesuai dengan pengertian tiap lafadz itu sendiri, tanpa
dibatasi dengan jumlah tertentu. Adapun juga pengertian ‘am menurut ulama’
lainnya. Yaitu:
Menurut Jalaludin As Suyuthi, lafadz ‘am adalah lafadz yang mencakup
seluruh satuan -satuan yang pantas baginya dan tidak terbatas dalam jumlah
tertentu.
Menurut Zakiy al-Din Sya’baniy, lafadz ‘am adalah suatu lafadz yang
cakupan maknanya meliputi berbagai satuan menurut makna yang sebenarnya,
tanpa adanya Batasan tertentu.
Menurut ulama’ Hanafiah, ‘am adalah setiap lafadz yang mencakup
banyak hal, baik itu secara lafadz maupun secara makna.

Dari segi pengertian di atas, secara substantial tidak memiliki perbedaan


makna. Artinya, suatu lafadz bias di katakana ‘am apabila kandungan
maknanya tidak memberikan Batasan pada jumlah tertentu.15

2. Macam-Macam Lafadz Umum (‘am)


Lafadz yang bersifat umum terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
a. Umum yang tetap dalam keumumannya (albaqi ‘ala ‘umumihi). Al-
Qadhi Jalaludin Al-Balqini mengatakan, Umum yang seperti ini jarang
di temukan, sebab tidak ada satupun lafadz ‘am (umum) kecuali di
13
Chaerul Uman dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II,124.
14
Nazar Bakry. Fiqh & Ushul Fiqh (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 198.
15
Muhammad Nor Ikhwan. Memahami Bahasa Al-Qur’an. (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h.166-167
12
dalamnya terdapat takhsis(pengkhususan). “Umum yang demikian
banyak terdapat dalam Al- Qur’an. “lalu ia mengajukan beberapat
contoh antara lain, (Qs. An-Nisaa’ : 176). (Qs, Al-Kahfi: 49) dan (Qs
An-Nisaa’ :23). Umum dalam ayat ini tidak mengandung kekhususan.
b. Umum tetapi yang di maksud adalah khusus (al-‘am al-murad bihi al-
khushush). Miasalnya firman Allah. “

َ َّ‫اَلَّ ِذ ْينَ قَا َل لَهُ ُم النَّاسُ اِ َّن الن‬


ْ َ‫اس قَ ْد َج َمعُوْ ا لَ ُك ْم ف‬
‫اخ َشوْ هُ ْم‬
“(yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang ketika ada
orang-orang yang mengatakan kepadanya, orang-orang(Quraisy) telah
mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu”.(Qs Ali Imran :173).

Yang di maksud dengan “(an-nas” yang pertama adalah Nuaim bin


Mas’ud, dan “an-nas” yang kedua adalah abu sufyan. Kedua lafadz
tersebut tidak di maksudkan untuk lafadz umum.

c. Umum yang dikhususkan (al-‘am al-makhshush). Umum seperti ini


banyak di temukan dalam Al-Qur’an. Di antaranya adalah “
‫هّٰلِل‬ ٌ ۢ ‫فِ ْي ِه ٰا ٰي‬
ۗ ‫ت َم ِن ا ْستَطَا َع اِلَ ْي ِه َسبِ ْياًل‬ ِ َّ‫ت َّمقَا ُم اِب ْٰر ِه ْي َم ەۚ َو َم ْن َد َخلَهٗ َكانَ ٰا ِمنًا ۗ َو ِ َعلَى الن‬
ِ ‫اس ِحجُّ ْالبَ ْي‬ ٌ ‫ت بَيِّ ٰن‬

“dan (diantara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan


ibadah haji ke baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakn
perjalanan ke sana”. (Qs Ali Imran :97).16

3. Dalalah Lafadz ‘Am


Telah di jelaskan sebelumnya bahwa lafadz ‘am itu akan tetap dalam
keumumannya selama tidak ada dalil yang dijadikan dasar untuk
mentakhsishkannya. Meskipun demikian sebagian besar ulama berpendapat
bahwa setiap lafadz ‘am, pasti ada dalil yang mentakhsishkannya. Atas dasar
itulah sehingga para ulama membuat suatu kaidah yaitu “tidak ada lafadz ‘am
melainkan selalu ditakhsishkan”.17
4. KHAS
1. Pengertian Khas
Lafadz khas merupakan lawan dari lafadz ‘am. Jika lafadz ‘am memberikan
arti umum, yaitu suatu lafadz yang mencakup berbagai satuan-satuan yang

16
Terjemah Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Syaikh Manna’ Al-Qaththan, oleh H.Aunur Rafiq El-mazni,
Lc. MA, PUSTAKA AL-KAUTSAR, Penerbit Buku Islam Utama, h.276-277
17
Muhammad Nor Ikhwan Memahami Bahasa Al-Qur’an, h. 182
13
banyak, maka lafadz khas adalah suatu lafadz yang menunjukkan makna
khusus. Adapun juga definisi lafadz khas menurut ulama lainnya, antara lain
sebagai berikut.
a. Menurut Manna al-Qaththan, lafadz khas adalah lafadz yang merupakan
kebalikan dari lafadz ‘am, yaitu yang tidak menghabiskan semua apa
yang pantas baginya tanpa ada pembatasan.
b. Menurut Mushtafa Said al-Khin, lafadz khas adalah setiap lafadz yang di
gunakan untuk menunjukkan makna satu atas beberapa satuan yang
diketahui.
c. Menurut Abdul Wahhab Khallaf, lafadz khas adalah lafadz yang
digunakan untuk menunjukkan satu orang tertentu.18
2. Dalalah Lafadz Khas
Menurut jumhur ulama telah bersepakat bahwa lafadz Khas ini dalam
nash syara’ menunjuk kepada dalalah qath’iyah. Artinya setiap lafadz
tersebut tidak ada qarinah yang menunjukkan kepada makna lain, maka
hukumnya tetap qath’i.19
3. Contoh Ayat Khas Dalam Al-Quran

ۖ ‫اح ٍد ِّم ْنهُ َما ِمائَةَ َج ْل َد ٍة‬


ِ ‫اَل َّزانِيَةُ َوال َّزانِ ْي فَاجْ لِ ُدوْ ا ُك َّل َو‬
“perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-
tiap seorang dari keduanya serratus kali dera.” (an-Nur [24]:2)

‫َّارقَةُ فَا ْقطَع ُْٓوا اَ ْي ِديَهُ َما‬ ُ ‫َّار‬


ِ ‫ق َوالس‬ ِ ‫َوالس‬
“Dan laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya.” (al-Ma’idah [5]:38) adalah berlaku umum, berlaku
dan dapat diterapkan bagi setiap orang yang berzina dan mencuri.

ْ ‫َولَ َّما َج ۤا َء‬


َ bَ‫انُوْ ا ٰظلِ ِم ْينَ ۚ ق‬bb‫ا َك‬bbَ‫ت ُر ُسلُنَٓا اِب ْٰر ِه ْي َم بِ ْالبُ ْش ٰر ۙى قَالُ ْٓوا اِنَّا ُم ْهلِ ُك ْٓوا اَ ْه ِل ٰه ِذ ِه ْالقَرْ يَ ِة ۚاِ َّن اَ ْهلَه‬
‫ال‬b
َ‫َت ِمنَ ْال ٰغبِ ِر ْين‬ ْ ‫اِ َّن فِ ْيهَا لُوْ طًا ۗقَالُوْ ا نَحْ نُ اَ ْعلَ ُم بِ َم ْن فِ ْيهَا ۖ لَنُنَ ِّجيَنَّهٗ َواَ ْهلَ ٗ ٓه اِاَّل ا ْم َراَتَهٗ َكان‬

“Dan tatkala utusan Kami (para malaikat) datang kepada Ibrahim


membawa kabar gembira, mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami
akan menghancurkan penduduk negeri (Sodom) ini; sesungguhnya

18
Muhammad Nor Ikhwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an, h. 185
19
Syafi’I Karim. Fiqh-Ushul Fiqh. (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h.166
14
penduduknya adalah orang-orang yang zalim. Berkata Ibrahim:
"Sesungguhnya di kota itu ada Luth". Para malaikat berkata: "Kami
lebih mengetahui siapa yang ada di kota itu. Kami sungguh-sungguh
akan menyelamatkan dia dan pengikut- pengikutnya kecuali isterinya.
Dia adalah termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan).’”
(’Ankabut [29]:31-32).

Segi yang dijadikan dalil ialah bahwa Ibrahim memahami ucapan para
malaikat, ahlu hazihil qaryah (penduduk negeri ini), adalah umum, di mana ia
menyebutkan lut. Para malaikat pun mengakui pemahaman demikian dan
menjawab bahwa mereka akan memperlakukan secara khusus lut dan
keluarganya,dengan mengecualikannya dari golongan yang akan dihancurkan
dan mengecualikan istri lut dari orang-orang yang diselamatkan. Ini semua
menunjukkan makna umum.20

5. Takhsis
1. Pengertian Takhsis
Takhshish adalah mengeluarkan sebagian apa yang di cakup lafadz ‘am.
Sedangkan definisi mukhashshish menurut Manna al-Qaththan adalah dalil
yang menjadi dasar adanya pengeluaran lafadz ‘am. Mukhashish dapat dibagi
menjadi dua macam, yaitu mukhashish muttashil dan mukhashish munfasil.21
a. Mukhashish Muttashil
Yaitu takhsis yang tidak berdiri sendiri, dimana ‘am dan mukhashishnya
tidak dipisah oleh suatu hal. Mukhashshis muttashil ini dibagi menjadi lima
macam, yaitu:
1. Istisna’ (pengecualian)
2. Sifat
3. Syarat
4. Ghayah
5. Badal ba’da min kull (mengganti sebagian dari keseluruhannya)
b. Mukhashish Munfashil

Mukhashish munfashil adalah kebalikan dari Mukhashish muttashil,

20
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an.hlm 313-315.
21
Acep Hermawan. Ulumul Qur’an. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), h. 193
15
di mana antara ‘am dengan Mukhashshish dipisahkan oleh suatu hal,
sehingga antara keduanya tidak di sebutkan dalam satu kalimat.22
2. Contoh Ayat Khas Dalam Al-Qur’an
a. Lafadz tersebut menyebutkan tentang nama seseorang, jenis, golongan,
atau nama sesuatu, seperti contoh :
ࣖ ‫ُح َم ۤا ُء بَ ْينَهُ ْم‬ ۤ ‫هّٰللا‬
ِ َّ‫ُم َح َّم ٌد َّرسُوْ ُل ِ ۗ َوالَّ ِذ ْينَ َم َعهٗ ٓ اَ ِش َّدا ُء َعلَى ْال ُكف‬
َ ‫ار ر‬

“Muhammad itu adalah Rasul Allah dan orang-orang yang bersama


dengan dia adalah orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama
mereka…”(Qs Al Fath, 48:29)

Lafadz Muhammad pada ayat tersebut adalah lafadz khas, karena hanya
menunjukkan satu pengertian, yaitu Nabi Muhammad Saw.
b. Lafadz tersebut menyebutkan jumlah atau bilangan tertentu dalam
satu kalimat. Seperti dalam firman Allah:
‫ت يَتَ َربَّصْ نَ بِا َ ْنفُ ِس ِه َّن ثَ ٰلثَةَ قُر ُۤوْ ۗ ٍء‬
ُ ‫َو ْال ُمطَلَّ ٰق‬
Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru'..
Ayat diatas menjelaskan bahwa iddah seorang wanita yang
ditalak suaminya adalah tiga kali quru’. Lafadz tsalatsah pada ayat
tersebut merupakan lafadz khas, karena menyebutkan tentang jumlah
atau bilangan tertentu.

Lafadz tersebut di batasi dengan suatu sifat tertentu atau diidhafahkan.


Seperti firman Allah Swt.

‫ا فَتَحْ ِر ْي ُر َرقَبَ ٍة ُّم ْؤ ِمنَ ٍة‬bًًٔ‫ا ۚ َو َم ْن قَتَ َل ُم ْؤ ِمنًا َخطَٔـ‬bًًٔ‫َو َما َكانَ لِ ُم ْؤ ِم ٍن اَ ْن يَّ ْقتُ َل ُم ْؤ ِمنًا اِاَّل خَ طَٔـ‬

“dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin karena tersalah,


maka (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman.” (Qs. An Nisa :92).23

22
Terjemah Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Syaikh Manna’ Al-Qaththan, oleh H.Aunur Rafiq El-mazni, Lc.
MA, PUSTAKA AL-KAUTSAR, Penerbit Buku Islam Utama, h.278-279
23
Syafi’i Karim. Fiqh-Ushul Fiqh. (Bandung: Pustaka Setia, 1997),h. 166
16
17
DAFTAR PUSTAKA

Karim, Syafi‟i. 2001. Fiqih-Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka

Setia). Rifa‟i, Moh. 1973. Ushul Fiqih (Bandung:PT Alma‟arif).

Uman, Chaerul dan Achyar Aminudin. 2001. Ushul Fiqih II (Bandung: Pustaka
Setia).

Zein, Ma‟shumdan Satria Efendi. 2008. UshulFiqh (Jakarta:Kencan Perdana Media


Group).

Zudbah, Muhammad Ma‟sum Zein. 2008. Ushul Fiqh (Jawa Timur:Darul


Hikmah).

Zuhri,Moh dan Ahmad Qarib.1994. Ilmu Ushul Fiqih (Semarang:Toha Putra


Group).

Ikhwan, Muhammad Nor. 2002. Memahami Bahasa Al-Qur’an. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

Al-Qaththan, Manna’. Pengantar Studi Ilmu Alquran. Terj. Ainur Rafiq El-mazni.
Pustaka Al Kautsar.

Karim, Syafi’I. 1997. Fiqh-Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia. Hermawan, Acep.
2011. Ulumul Qur’an. Bandung: Remaja Rosdakarya. Al-Qattan. Manna’
Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an.

Bakry, Nazar. 2003. Fiqh & Ushul Fiqh. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

18
19
20

Anda mungkin juga menyukai