Anda di halaman 1dari 16

PRANATA POLITIK ISLAM

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi

Tugas mata kuliah Pranata Sosial

Dosen: M.Asro,S.Ag.,M.H.

DISUSUN OLEH

- SAADATUN NASIKHAH 1193010122


- SALMA MUTHMAINAH 1193010124
- SANI SYAMROTUL F 1193101025
- SHAFIRA AZZAHRA 1193010126
- SITI HASNA ZAMILAH 1193010128
- SRI YULIANA 1193010129
- SYIFA NUR RAMDHANI 1193010132
- UTAMA LAKSANA P.M 1193010133
- M IQBAL HAKIM B M 1193010146
- AI NISA 1193010147

JURUSAN HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur selalu Kami panjatkan kehadirat Alloh Subhanahu Wa Ta’ala,
karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya Kami dapat menyelesaikan
Makalah ini dengan baik. Shalawat beserta salam tak lupa kita curah limpahkan
kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, sahabat-sahabatnya, tabiut
tabi’in dan kita selaku umatnya.
Makalah ini ditulis dan disusun dengan baik sebagai salah satu bukti bahwa
Kami telah menyelesaikan tugas Makalah mata kuliah Pancasila dengan judul
“Pranata Politik Islam”. Dalam menyusun makalah ini, kami menyadari bahwa
masih banyak kekurangan yang Kami lakukan karena keterbatasan waktu dan
kemampuan yang dimiliki oleh Kami, maka sekiranya pembaca memaklumi
segala kekurangan serta kekeliruan baik dari segi isi, sistematika Kami serta tata
bahasa yang kurang. Dengan demikian dengan adanya kritik dan saran dapat
membantu Kami dalam rangka menyempurnakan tugas ini.
Alhamdulillah dengan segala kerendahan hati Kami sedangkan kesempurnaan
hanya milik Alloh yang Maha Berkehendak, Kami menyadari dalam penyusunan
laporan ini masih banyak sekali kekurangan. Maka kami sangat terbuka untuk
setiap masukan dan kritikan yang membantu untuk memperbaiki laporan ini.
Laporan makalah ini tidak akan terwujud tanpa ada bantuan dan dukungan
yang telah diberikan oleh berbagai pihak. Untuk itu, dengan kerendahan hati dan
penghargaan yang tulus kami mengucapkan banyak terimakasih kepada:

i
1. Bpk. M.Asro,S.Ag.,M.H. selaku Dosen mata kuliah Pranata Sosial.
2. Teman-teman kelas yang senantiasa mendukung dan memberikan motivasi
tiada henti.
3. Teman kelompok sekaligus rekan selama kerja kelompok orang-orang
sekitar yang telah membantu dalam pelaksanaan kegiata prakerin ini.

Ucapan terima kasih juga Kami sampaikan kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan yang tidak dapat Kami sebutkan satu persatu. Semoga
bantuan, do’a, simpati, dan kerjasama yang telah diberikan mendapat balasan dari
Alloh SWT. Amiin Yaa Robbal ‘Alamin.

Bandung, November

2019

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................... i
DAFTAR ISI............................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................. 1
A. Latar Belakang.......................................................
1
B. Rumusan Masalah.................................................. 4
C. Tujuan ................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN................................................ 5
A. Pengertian Pranata Politik Islam............................. 5
B. Apa saja UU yang mendasari pranata politik islam 5
C. Apa saja masalah dalam politik islam.................... 5
BAB III PENUTUP....................................................... 11
A. Simpulan................................................................ 11
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum Islam atau sering dikenal dengan fiqh adalah hukum yang sangat
dinamis. Sesuai dengan makna fiqh yang berarti pemahaman atas teks dengan
metode ijtihad maka sudah sepatutnya fiqh berkembang dengan cepat seiring
perkembangan peradaban manusia. Sebab teks itu sendiri baik alquran
maupun hadis sudah paripurna dan tidak dimungkinkan adanya penambahan.
Yang mungkin dilakukan hanyalah interpretasi atas teks itu sendiri mengikuti
prinsip dan syarat yang telah disepakati para fuqaha baik dalam bentuk
konsesus ulama (ijma’) maupun fatwa pribadi ahli (ijtihad).
Istilah ilmu politik( science politique) pertama kali digunakan oleh Jean
Bodin di Eropa pada tahun 1576, kemudian Thomas Fitzherbrt dan Jeremi
Bentham pada tahun 1606. Akan tetapi istilah politik yang dimaksud adalah
ilmu negara sebagaimana tertulis dalam kaya-karya sarjana Eropa. Dilihat
dari sistemnya, politik adalah suatu konsep yang menfokuskan pada basis dan
penentuan serta siapa yang akan menjadi sumber otoritas Negara, dan kepada
siapa pemerintahan dipertanggungjawabkan dan bentuk tanggung jawab
seperti apa yang harus buat. Politik secara umum diartikan dengan cara atau
taktik untuk mencapai satu tujuan. Politik secara umum berhubungan dengan
berbagai cara dalam pencapaian tujuan hidup manusia. Sedangkan secara
khusus penekanannya kepada kekuasaan dan pemerintahan.
Dalam literatur Islam, Hukum Politik Islam atau sering disebut dengan
Fiqh Siyasah/Siyasah Syar’iyyah adalah bagian dari fiqh muamalah yang
sangat dinamis dan berkembang secara cepat. Menariknya, banyak yang tidak
sadar bahwa ijma’ pertama yang terjadi dalam sejarah fiqh para sahabat justru
dalam bidang fiqh siyasah bukan fiqh ibadah atau lainnya. Sebelum ilmu fiqh
dan kaedah-kaedah ushul fiqh disusun pada abad kedua hijriyah, para khulafa
al-rasyidin dan sahabat yang lain bukan hanya menyadari pertingnya arti
kepemimpinan dan pemerintahan dalam Islam, tetapi langsung

1
menerapkannya dalam dunia nyata hanya beberapa saat sepeninggalnya
rasulullah saw.
Atas dasar ini, Harun nasution menyatakan bahwa sejarah politik dan
ketatanegaraan merupakan studi yang penting dalam Islam. Karena sejarah
Islam pada hakikatnya adalah sejarah negara yang corak dan bentuknya
berubah menurut perkembangan zaman.1Penulis buku Teori Politik Islam
Dhiyauddin Rais juga menegaskan bahwa penyelenggaraan negara dengan
menjalankan hukum Islam adalah fakta sejarah yang tak terbantahkan karena
itu merupakan.
Esensi agama Islam sepanjang sejarah politiknya. Penerapan syariat Islam
dan penyiapan segala bentuk sistem aturan maupun lembaga yang
mendukungnya adalah bagian dari memelihara agama dan umat serta demi
merealisasikan kemashlahatan umum.2
Oleh karena hukum politik Islam terus berkembang dengan cepat dan
dinamis, maka sangat diperlukan pengetahuan tentang prinsip-prinsip dasar
apa saja yang dirumuskan para ulama dalam bidang siyasah sehingga
perkembangan hukum politik Islam tidak lari dari rel dan norma standar yang
telah disepakati, baik dalam teori maupun penerapannya. Namun sebelum
masuk dalam pembahasan prinsip dasar hukum politik Islam, akan dijelaskan
terlebih dahulu beberapa penjelasan istilah sebagai pengantar.
Dalam term politik Islam, Politik itu identik dengan siyasah, yang secara
kebahasaan artinya mengatur. Kata ini diambil dari akar kata “sasa-
yasusu”,yang berarti mengemudikan, mengendalikan mengatur dan
sebagainya.3Al Qaradhawy dalam bukunya Al Siyasah al Sya’iyyah
menyebutkan dua bentuk makna siyasah menurut ulama, yaitu arti umum dan
arti khusus. Secara umum siyasah berarti pengaturan berbagai urusan manusia
dengan syari’at agama Islam. Secara khusus siyasah bermakna Kebijakan dan
aturan yang dikeluarkan oleh penguasa guna mengatasi suatu mafsadat yang

1
Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan UUD 1945, Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup
Bersama dalam Masyarakat Yang Majemuk, (Jakarta: UI Press), 1995, h. v
2
Muhammad Dhiyauddin Ar Rais, Al Islam wa al Khilafah fi al ‘Asr al Hadis –Naqd Kitab al
Islam wa Ushul al Hukm-, (Kairo: Dar el Turats) cet ke I,Thn. 1972, h. 240
3
Ibnu Mandhur Jamaluddin Muhammad bin Mukrim, Lisaan al Arab, jilid 7, (Kairo: Dar al
Shadir), 2003, h. 300-301

2
timbul atau sebagai solusi bagi suatu keadaan tertentu. 4Sementara Ahmad
Fathi Bahansi mendefinisikan Siyasah Syar’iyyah dengan Pengaturan
kemaslahatan manusia berdasarkan syara’.5
Berikut adalah beberapa definisi siyasah syar’iyyah (hukum politik Islam)
menurut berbagai ahli:6
1. Menurut Ibnu Nujaim, siyasah syariyyah adalah: “Suatu tindakan atau
kebijakan yang dilakukan seorang penguasa demi kemaslahatan yang
dipandangnya baik, meskipun belum ada dalil/argumentasi yang terperinci
yang mengaturnya.”
2. Menurut Ibnu ‘Aqil al Hanbali, siyasah syariyyah adalah: “Suatu tindakan
atau kebijakan yang membawa umat manusia lebih dekat kepada
kemaslahatan dan menjauhkan. mereka dari kerusakan, meskipun tidak ada
hadis yang mengaturnya atau wahyu yang turun (terkait hal itu).”
3. Menurut Abdurrahman Taj, siyasah syariyyah adalah: “Suatu nama bagi
kumpulan aturan dan prilaku dalam mengatur urusan ketatanegaraan Islam
di bidang pemerintahan, perundang-undangan, peradilan, dan semua
kekuasaan eksekutif, administratif, serta aturan hubungan luar negeri yang
terkait dengan bangsa-bangsa lain.”
4. Menurut Abdul wahab Khallaf, siyasah syariyyah adalah: “Suatu ilmu
yang membahas tentang urusan ketatanegaraan Islam dari sisi aturan
perundang-undangan dan sistim yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam,
meskipun tidak ada dalil khusus mengenai hal itu.”
5. Menurut Yusuf Al Qaradhawi, siyasah syariyyah adalah: “Politik yang
bersendikan kaedah-kaedah, aturan dan bimbingan syara’.”
6. Menurut Abdul ‘Al ‘Atwah, siyasah syariyyah adalah: “Kumpulan hukum
dan system dalam mengatur urusan umat Islam dengan
mempertimbangkan kesesuaiannyadengan ruh syari’at, menjalankannya

4
Dr. Akram Kassab, Al Siyasah al Syar’iyyah, Mabadi’ wa Mafahim, Dhawabith wa Mashadir,
Makalah Jurnal
Online International Union for Muslem Scholars (IUMS) dari website
http://iumsonline.org/ar/2/b9/ diakses pada tanggal 28 Desember 2016.
5
Ahmad Fathi Bahansi, Al Siyasah al Jinayah fi al Syari’ah al Islamiyah, (Dar al Arubah), h. 61
6
Lihat: Dr. Akram Kassab, Al Siyasah al Syar’iyyah, Mabadi’ wa Mafahim, Dhawabith wa
Mashadir, Makalah Jurnal Online International Union for Muslem Scholars (IUMS) dari website
http://iumsonline.org/ar/2/b9/ diakses pada tanggal 28 Desember 2016.

3
berdasarkan kaedah-kaedah yang umum, serta merealisasikannya sesuai
dengan tujuan masyarakat.
7. Menurut Sa’ad bin Mathar al ‘Utaibi, siyasah syariyyah adalah: “Setiap
kebijakan apa saja yang ditetapkan oleh para pemimpin (ulil amri), berupa
aturan-aturan serta teknis prosedur pelaksanaan yang terkait dengan
kemaslahatan, meski tidak ada dalil syara’ yang khusus terkait hal itu,
selama tidak bertentangan dengan syari’at.”
Pranata sosial di dalam isalam mengkaji tentang nilai nilai islam khususnya
hukum islam, dalam konteks kehidupan sosial. Kajian buku ini sangat luas
menyangkut tentang dimensi aturan aturan hukum keluarga sampai dengan
persoalan hukkum ketatanegaraan islam (politik).
B. Rumusan Masalah
a. Apa yang di maksud pranata politik islam?
b. Apa saja Undang Undang yang mendasari pranata politik islam?
c. Apa Undang Undang yang mendasari Pranata Politik Islam?
C. Tujuan
a. Memahami makna yang terkandung dari pranata politik islam.
b.  Memahami nilai-nilai yang terkandung dalam pranata politik islam
c. Dapat mengetahui
d. Mengetahui apa UU yang mendasari pranata politik islam

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN PRANATA POLITIK ISLAM


a. Pengertian bahasa
Istilah politik berasal dari kata politics (Inggris) yang bermakna
mengatur, strategi, cara, dan jalan untuk meraih kekuasaan. Dalam Islam,
istilah politik dikenal dengan siyasah syar’iyyah yang kemudian populer
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan politik Islam. Secara
َ َ‫ْم َر ِسي‬Jََْ ‫اس ْال‬
bahasa siyasat berasal dari kata sa-sa ( ً‫ة‬JJJ‫اس‬ َ JJ‫)س‬
َ yang berarti
mengatur, mengurus, memerintah, memimpin, mengarahkan dan
mengendalikan sesuatu.7Definisi ini selaras dengan hadis nabi SAW,
sebagi berikut: :‫عن أب هريرة رض الل عنه عن النب صل الل عليه وسلم قال‬
« ) ‫كنت بنو إسائيل تسوسهم النبياء كما هلك نب خلفه نب‬
، ‫الول‬J‫ول ف‬J‫ ال‬J‫ة‬J‫وا ببيع‬J‫ ) ف‬:‫ال‬J‫ا ؟ ق‬J‫ فما تأمرن‬: ‫الوا‬J‫ ق‬.(‫ثر‬J‫اء تك‬J‫تكون خلف‬J‫ وس‬، ‫وإنه ال نب بعدي‬
‫وأعطوهم حقهم فإن الل سائلهم‬.
“Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Bani Israil itu
dikendalikan oleh para nabi. Ketika Nabi yang satu meninggal, digantikan
dengan Nabi yang lain. Dan sesungguhnya tidak ada nabi setelah ku,
(tetapi) akan ada banyak para khalifah (pemimpin). Mereka (para sahabat)
bertanya: “Apa yang engkau perintahkan untuk kami? Nabi bersabda:
“maka berikanlah bai’at kepada pemimpin yang pertama. Dan hendaklah
(pemimpin) yang bertama memberikan hakhak mereka (orang yang
membai’at), karena sesunguhnya Allah akan meminta
pertanggungjawaban mereka (para pemimpin) terhadap apa yang mereka
pimpinkan/jaga.”
b. Secara Istilah
Secara istilah, kajian tentang politik Islam di dalam khazanah fiqih
sangat beragam dan variatif. Antar satu ulama dengan ulama yang lain

7
278Munawir31 / ‫ ص‬, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2005), hlm.)‫ (ج‬- ‫البحر الرائق‬. Lihat juga
Ahmad Warson Munawir, Kamus Al- ‫عما استعهم‬

5
berbeda-beda di dalam pengunaan terminologi. Sebagai contoh ragam
termologi politik Islam tersebut adalah fiqh as-siyasah, as-siyasah as-
syar’iyyah, fiqh ad-daulah, al-hukumah al-islamiyyah, dan al-ahkam as-
sulthaniyyah. Walaupun istilah yang dipakai tidak sama, tetapi pada
prinsipnya mengacu pada maksud yang sama yaitu politik Islam. Berikut
beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama: ‫ معرفة ك ما‬: ‫السياسة‬
‫يتعلق بفن حكم دولة وإدارة عالقاتها»االرجية‬
“Siyasah adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan ilmu pemerintahan Negara dan pengaturan hubunganhubungan
Negara luar.” ،‫ي‬JJ‫ »الساس‬... «‫ا‬JJ‫ وقانونه‬،‫ة‬JJ‫ وتشمل دراسة نظام الول‬،...‫ علم الولة‬:‫السياسة‬
‫ ونظامها التشيعي‬،‫ونظام الكم فيها‬
“Siyasah adalah ilmu kenegaraan…, yang meliputi pengkajian tentang
1٥ 2‫ ص‬/ 1 ‫ )ج‬- ‫ نبة من العلماء‬- ‫أصول اإليمان ف ضوء الكتاب والسنة‬
Sementara, Abdurrahman Taj menyatakan: “Siyasah Syar’iyah adalah
hukum-hukum yang mengatur kepentingan negara dan mengorganisir
urusan umat yang sejalan dengan jiwa syariat dan sesuai dengan dasar-
dasarnya yang universal untuk merealisasikan tujuan-tujuanya yang
bersifat kemasyarakatan, sekalipun hal itu tidak ditunjukan oleh nash-nash
tafshili yang juz’I dalam al-qur’an dan as-Sunnah”. Agak berbeda dengan
Abdurahman taj, Ahmad Fathi bahansi, memberikan definisi lebih simpel,
yaitu Siyasah syar’iyyah adalah “pengaturan kemaslahatan manusia
berdasarkan syara”.
B. Undang Undang yang mendasari pranata politik islam
UU Perkawinan
Tarik-menarik antara kepentingan politik penguasa dan kepentingan
umat Islam disebabkan dua kepentingan yang berbeda. Di satu pihak
motivasi politik pemerintah yang ada menciptakan legal policy yang
mengedepankan nilai-nilai sekulerisme dengan dalih hukum Islam tidak
relevan dengan kondisi sosial serta pertimbangan pluralisme yang terdapat
di tengah-tengah masyarakat. Akibatnya adalah kebijakan politik hukum
dibentuk dan diarahkan pada pengurangan peran hukum agama. Di lain
pihak, umat Islam mempersepsikan hukum Islam dan lembaga peradilan

6
sebagai bagian dari kewajiban agama (panggilan syar’i) yang mesti dan
wajib kifayah untuk dilaksanakan dan dipertahankan. Kecenderungan
terhadap penciptaan kesatuan hukum (unifikasi hukum) telah
memunculkan perseteruan dan pergumulan antara satu kepentingan politik
(negara) dengan kepentingan umat Islam. Pergumulan kedua kepentingan
tersebut tercermin dalam beberapa pasal di dalam UU Perkawinan, yang
mengakibatkan terjadinya konflik antar-norma hukum (yakni norma
hukum yang dicitakan oleh Negara dengan norma hukum Islam) di dalam
pasal yang sama ataupun di antara pasal yang berbeda. Berikut ini adalah
pasal-pasal di dalam UU Perkawinan yang mengalami konflik hukum.
1. Rumusan Pasal 2 ayat (1) UU No. 1/1974 yang menyatakan
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu” tampaknya netral dan
tanpa masalah, tetapi justru ketentuan ini bertentangan dengan
kehidupan sosial di masyarakat, di antaranya: a. Di dalam masyarakat
Islam sendiri banyak mazhab yang dianut, termasuk dalam hal legalitas
pernikahan menyangkut syarat dan rukunnya, sehingga bisa
menimbulkan aspek legalitas yang berbeda. Namun demikian hal ini
telah diatasi oleh ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia (KHI). b. Perkawinan yang dilaksanakan menurut agama
dan kepercayaan yang tidak termasuk ke dalam 5 agama resmi tidak
bisa dicatatkan oleh negara sehingga menimbulkan diskriminasi. c.
Perkawinan beda agama antara mempelai laki-laki dan perempuan
tidak diatur dalam UU Perkawinan sehingga seharusnya tidak
menimbulkan masalah, akan tetapi selalu ada penolakan pencatatan
perkawinan karena perbedaan agama tersebut. Implikasi lebih jauh dari
ketiga poin di atas tentunya pada perlindungan hukum bagi anak-anak
yang dilahirkan dan juga tentu saja bagi perempuan yang
bersangkutan.
2. Ketentuan lain yang dipandang terjadi konflik adalah masalah usia
pernikahan yang berbeda antara batas seseorang boleh menikah
menurut UU Perkawinan dan ketentuan batas usia seseorang disebut

7
sebagai anak dalam UU Perlindungan Anak. Di dalam UU
Perkawinan, usia seseorang diperbolehkan menikah adalah 21 tahun
sesuai dengan Pasal 6 ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Untuk
melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
(duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua”. Namun
demikian, pasal ini memberi kebolehan bagi orang di bawah usia 21
tahun untuk menikah jika telah mendapat izin dari orangtua, sesuai
dengan Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas)
tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.
Ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan tersebut tidak
sesuai dengan undang-undang lain yang menyebutkan usia kedewasaan
ditetapkan dengan usia 18 tahun. Misalnya, UU No. 23/2002 tentang
Perlindungan Anak Pasal 1 ayat (1) menetapkan batas usia anak-anak
adalah sampai usia 18 (delapan belas) tahun, dan Pasal 26 UU tersebut
mewajibkan orang tua untuk mencegah terjadinya perkawinan usia anak
sampai usia 18 tahun.8 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan juga
menyebutkan di dalam Pasal 131 ayat (2) tentang upaya pemeliharaan
kesehatan anak dilakukan sejak anak dalam kandungan, dilahirkan hingga
usia 18 tahun.9
UU Peradilan Agama
Kekuasaan absolut Pengadilan Agama sebagai pengadilan negara yang
khusus
menangani perkara tertentu di antara orang beragama Islam termaktub
dalam UU
No. 7/1989 Pasal 49, yang perubahannya ada dalam UU No. 3/2006 Pasal
49 dengan
8
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat (1): Anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pasal
26 ayat (1): Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: a. mengasuh, memelihara,
mendidik, dan melindungi anak; b. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan,
bakat,
dan minatnya; dan c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
9
UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 131 ayat (2): Upaya pemeliharaan
kesehatan anak dilakukan sejak anak masih dalam kandungan, dilahirkan, setelah dilahirkan, dan
sampai berusia 18 (delapan belas) tahun.

8
penambahan kewenangan bidang ekonomi Islam, sebagai berikut:10
1. Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. kewarisan, wasiat,
dan
hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. wakaf dan
shadaqah.
2. Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf
a ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang
mengenai perkawinan yang berlaku.
3. Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b
ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan
mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli
waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.
Dalam menentukan kekuasaan absolut Pengadilan Agama pada
dasarnya ada dua parameter yang digunakan, yaitu: Pertama, sengketa
yang menyangkut seorang muslim. Kedua, sengketa yang bermula dari
suatu perbuatan peristiwa hukum yang terjadi berdasarkan hukum Islam.
Kedua parameter ini dihubungkan dengan peran yuridis dan sosiologis
Pengadilan Agama. Sebagai peran yuridis, PA menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Sedangkan yang
menjadi peran sosiologis PA ialah memulihkan kerusakan-kerusakan
sosial yang pernah terjadi dan menjadikannya lagi sebagai satu kesatuan.
11
.
Peradilan Agama sebagai salah satu dari peradilan khusus bagi
masyarakat atau pencari keadilan yang beragama Islam, maka asas
personalitas keislaman merupakan sesuatu yang bersifat mutlak. Tetapi
dalam penerapannya pada tingkat regulasi yuridis formal, asas personalitas

10
9UU No. 3/2006 Pasal 49: Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i.
ekonomi syari’ah.
11
0Ibnu Elmi A.S. Pelu, “Titik Taut Kewenangan Peradilan Agama dan Peradilan Umum
dalam Perundang Undangan di Indonesia”, disertasi S3 Fakultas Hukum Universitas Brawijaya,
Malang, 2010, h. 142-143.

9
keislaman tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena tidak bersifat
imperatif bagi pencari keadilan. Akibatnya ruang lingkup kewenangnan
absolut Peradilan Agama seakan-akan menjadi bersifat relatif, sehingga
bisa menyuebabkan munculnya distorsi antara keadilan substansi dan
keadilan prosedural12
C. Masalah dalam politik islam
Dalam prakteknya, ketegangan yang sering timbul dalam hubungan untern
umat beragama, antar umat beragama dan antara umat beragama dengan
pemerintah, disebabkan antara lain oleh:
1. Sifat dari masing-masing agama yang mengandung dakwah dan misi.
2. Kurangnya pengetahuan para pemeluk agama akan agamanya sendiri
dan agama lain.
3. Para pemeluk agama tidak mampu menahan diri, sehingga kurang
menghormati bahkanmerendahkan agama lain.
4. Kaburnya batas antara sikap memegang teguh keyakinan agama dan
toleransi dalamkehidupan bermasyarakat.
5. Kecurigaan masing -masing akan kejujuran pihak lain , baik intern
umat beragama, antarumat beragama dan antar umat beragama dengan
pemerintah .
6. Kurangnya sling pengertian dalam menghadapi masalah perbedaan
pendapat.

12
Ibid.

10
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Politik merupakan pemikiran yang mengurus kepentingan masyarakat.


Pemikiran tersebut berupa pedoman, keyakinan hokum atau aktivitas dan
informasi. Beberapa prinsip politik islam berisi: mewujudka persatuan dan
kesatuan bermusyawarah, menjalankan amanah dan menetapkan hukum
secara adil atau dapat dikatakan bertanggung jawab, mentaati Allah,
Rasulullah dan Ulill Amr (pemegang kekuasaan) dan menepati janji. Korelasi
pengertian politik islam dengan politik menghalalkan segala cara merupakan
dua hal yang sangat bertentangan. Islam menolak dengan tegas mengenai
politik yang menghalalkan segala cara. Pemerintahan yang otoriter adalah
pemerintahan yang menekan dan memaksakn kehendaknya kepada rakyat.
Setiap pemerintahan harus dapat melindungi, mengayomi masyarakat.
Sedangkan penyimpangan yang terjadi adalah pemerintahan yang tidak
mengabdi pada rakyatnya; menekan rakyatnya. Sehingga pemerintahan yang
terjadi adalah otoriter. Yaitu bentuk pemerintahan yang menyimpang dari
prinsip-prinsip islam. Dalam politik luar negerinya islam menganjurakan dan
menjaga adanya perdamain. Walaupun demikan islam juga memporbolehkan
adanya perang, namun dengan sebab yang sudah jelas karena mengancam
kelangsungan umat muslim itu sendiri. Dan perang inipun telah memiliki
ketentuan-ketentuan hukum yang mengaturnya. Jadi tidak sembarangan
perang dapat dilakukan. Politik islam menuju kemaslahatan dan kesejahteraan
seluruh umat.

11
DAFTAR PUSTAKA

Sukardja, Ahmad. Piagam Madinah dan UUD 1945, Kajian Perbandingan Tentang Dasar
Hidup Bersama dalam Masyarakat Yang Majemuk, (Jakarta: UI Press), 1995.

Ar Rais Muhammad Dhiyauddin, Al Islam wa al Khilafah fi al ‘Asr al Hadis –Naqd Kitab


al Islam wa Ushul al Hukm-, (Kairo: Dar el Turats) cet ke I,Thn. 1972, h. 240

Muhammad Ibnu Mandhur Jamaludin bin Mukrim, Lisaan al Arab, jilid 7, (Kairo: Dar al
Shadir), 2003, h. 300-301

Kassab Akram, Al Siyasah al Syar’iyyah, Mabadi’ wa Mafahim, Dhawabith wa


Mashadir, Makalah Jurnal
Bahansi Ahmad Fathi, Al Siyasah al Jinayah fi al Syari’ah al Islamiyah, (Dar al Arubah),
h. 61
Akram Kassab, Al Siyasah al Syar’iyyah, Mabadi’ wa Mafahim, Dhawabith wa Mashadir,
Makalah Jurnal Online International Union for Muslem Scholars (IUMS) dari
website http://iumsonline.org/ar/2/b9/ diakses pada tanggal 28 Desember 2016.
278Munawir31 / ‫ ص‬, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2005), hlm.)‫ (ج‬- ‫البحر الرائق‬. Lihat juga
Ahmad Warson Munawir, Kamus Al- ‫عما استعهم‬
https://www.academia.edu/9643894/ISLAM_DAN_PRANATA_SOSIAL

Anda mungkin juga menyukai