Anda di halaman 1dari 15

CORAK dan MODEL TASAWUF INDONESIA

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
‘‘Akhlak Tasawuf’’

Dosen Pengampu :
Imroatul Munfaridah, S. HI., M. HI.

Disusun oleh:

1. Arij Amaliyah (101190193)


2. Bondan satria Ajie (101190197)
3. Ervina Zena K. (1011901201)

HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PONOROGO
2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada ALLAH Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan limpahan rahmat-Nyalah maka kita dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu, serta kami ucapkan terimakasih kepada ibu Imroatul Munfaridah, S. HI, M. HI.
selaku pembimbing kami. Berikut ini kami mempersembahkan makalah yang berjudul
“corak dan model tasawuf Indonesia” yang dapat memberikan manfaat yang besar bagi
kita untuk mempelajari lebih lanjut materi akhlak tasawuf. Melalui kata pengantar ini
kami lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bilamana isi makalah ini
ada kekurangan dan ada tulisan yang kami buat kurang tepat atau menyinggung
pembaca.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar dalam
penyusunan makalah ini. Oleh karena itu kami berharap adanya kritik dan saran bagi
para pembaca yang bersifat membangun untuk kemajuan makalah yang kami buat agar
mencapai kesempurnaan.
Dengan ini kami mempersembahkan dengan penuh rasa terimakasih dan semoga
Allah SWT. memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................iii
BAB I PEMBAHASAN...................................................................................................1
A. SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF di INDONESIA.....................................1
B. TOKOH TASAWUF di INDONESIA..........................................................................2
1. Hamzah Al-Fansuri....................................................................................................2
2. Syekh Yusuf Al-Makasari...........................................................................................4
3. Syekh Abdur Rauf As-Sinkili.....................................................................................6
4. Syekh Siti Jenar..........................................................................................................8
5. HAMKA....................................................................................................................10
BAB II PENUTUP.........................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................13

iii
BAB I

PEMBAHASAN

A. SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF di INDONESIA

Tasawuf mulai masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam


ke Indonesia dan tasawuf mengalami banyak perkembangan itu ditandai dengan
banyaknya berkembang ajaran tasawuf dan tarikat yang muncul dikalangan
masyarakat saat ini yang dibawah oleh para ulama Indonesia yang menuntut
ilmu di Mekkah dan Madina kemudian berkembang. Perlu kita ketahui bahwa
sebelum Islam datang, dianut, berkembang dan saat ini mendominasi
(mayoritas) bahwa telah berkembang berbagai faham tentang konsep Tuhan
seperti Animisme, Dinamisme, Budhaisme, Hinduisme. Para mubalig
menyebarkan Islam dengan pendekatan tasawuf.
Sejak berdirinya kerajaan Pasai, kawasan Pasai menjadi titik sentral
penyiaran agama islam ke berbagai daerah di Sumatra dan pesisir utara Pulau
Jawa. Orang-orang Minangkabau yang gemar merantau, menyebarkan agama
islam ke berbagai daerah bagian tengah dan selatan, Kalimantan, Sulawesi, dan
daerah lainnya. Perkembangan islam di Jawa selanjutnya digerakkan oleh Wali
Sanga atau wali Sembilan. Sebutan itu sudah cukup menunjukkan bahwa mereka
adalah penghayat tasawuf yang sudah sampai pada derajat “wali”1.
Disamping literatur-literatur sufisme yang berorientasi tasawuf akhlak
dan tasawuf amali, di kalangan tertentu juga ditemukan tasawuf falsafi.
Pengaruh tasawuf falsafi sangat kuat dan luas penganutnya di kalangan tarekat,
sedangkan tokoh yang paling popular adalah Syekh siti Jenar. Kehidupan
sufisme berangsur-angsur bergeser dari garis lurus yang diletakkan para sufi
terdahulu sehingga warna kejawen lebih tampil ke depan daripada sufismenya.
Sekalipun demikian, sufisme adalah semacam “sebuah pohon” yang berakar
kuat dan dalam pada islam, seirama dengan semangat gerakan pembaruan dalam
islam, dunia sufisme juga mengalami gagasan pembaruan2.
1
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010) hal. 338
2
Ibid, 339

1
B. TOKOH TASAWUF di INDONESIA
1. Hamzah Al-Fansuri
a. Riwayat hidup Hamzah AI-Fansuri
Nama Hamzah Al-Fansuri di Nusantara bagi kalangan ulama dan
sarjana penyelidik keislaman tidak asing lagi. Hampir semua penulis
sejarah Islam mencatat bahwa Syekh Hamzah Al-Fansuri dan muridnya
Syekh Syamsuddin As-Sumatrani termasuk tokoh sufi yang sepaham
dengan Al-Hallaj. Paham hulul, ijtihad, mahabbah, dan lainlain adalah
seirama dengan Al-Hallaj. Syekh Hamzah Fansuri diakui sebagai salah
seorang pujangga Islam yang sangat populer pada zamannya sehingga
namanya menghiasi lembaran-lembaran sejarah kesusastraan Melayu dan
Indonesia. Namanya tercatat sebagai seorang kaliber besar dalam
perkembangan Islam di Nusantara dari abadnya hingga kc abad kini.
Dalam buku-buku sejarah mengenai Aceh. namanya selalu diuraikan
dengan panjang lebar.3
Berdasarkan kata “Fansur” yang mencmpcl pada namanya,
sebagian peneliti beranggapan bahwa ia berasal dari Fansur, sebutan
urang Arab terhadap Barus yang sekarang merupakan kota kccil di pantai
barat Sumatra' Utara yang terletak di antara Sibolga dan Singkel.
Orang banyak menyanggah Al-Fansuri karena paham wihdatul
Wujud, hulul, ittihad-nya sehingga mengecapnya sebagai seorang yang
Zindiq, sesat, kafir, dan sebagainya. Ada orang yang menyangkanya
Sebagai pengikut ajaran Syi’ah. Ada juga yang memercayai bahwa ia
bermadzhab Syafl’i di bidang fiqh. Dalam tasawuf, ia mengikuti Tarekat
Qadiriyah yang dibangsakan kepada Syekh Abdul Qadir Jailani." 4

b. Ajaran tasawuf Hamzah AI-Fansuri


Pemikiran-pemikiran Al-Fansuri tentang tasawuf banyak
dipengaruhi Ibnu Arabi dalam paham Wahdat Al-Wujud-nya. Sebagai
seorang sufi, ia mengajarkan bahwa Tuhan lebih dekat daripada leher
manusia sendiri dan Tuhan tidak bertempat, sekalipun sering dikatakan
bahwa Dia ada di mana-mana. Ketika menjelaskan ayat “fainama tuwallu
3
Ibid, 340
4
Ibid, 341

2
fa tsumma wajhu'llah” ia katakan bahwa kemungkinan untuk
memandang wajah Allah SWT di mana-mana merupakan uniomistica.
Para sufi menafsirkan “wajah Allah SWT.” sebagai sifat-sifat Tuhan,
sepefti Pengasih, Penyayang, Jalal, dan Jamal.5
Hamzah Al-Fansuri menolak ajaran pranayama dalam agama
Hindu yang membayangkan Tuhan berada di bagian tertentu dari tubuh,
seperti ubun-ubun yang dipandang sebagai jiwa dan dijadikan titik
konsentrasi dalam usaha mencapai persatuan.
Di antara ajaran tasawuf Al-Fansuri yang lain berkaitan dengan
hakikat wujud dan penciptaan. Menurutnya, wujud itu hanyalah satu
walaupun kelihatan banyak. Dari wujud yang satu ini, ada yang
merupakan kulit (mazhhar; kenyataan lahir) dan ada yang berupa isi
(kenyataan batin). Semua benda yang ada sebenarnya merupakan
manifestasi dari yang haqiqi yang disebut AI-Haqq Ta'ala. Ia
menggambarkan wujud Tuhan bagaikan lautan dalam yang tidak
bergerak, sedangkan alam semesta merupakan gelombang lautan wujud
Tuhan. Pengaliran dari Dzat yang mutlak ini diumpamakan gerak ombak
yang menimbulkan uap, asap, awan kemudian menjadi dunia gejala.
Itulah yang disebut ta’ayyun dari Dzat yang Ia ta'ayyun. Itu pulalah yang
disebut tanazul. Kemudian, segala sesuatu kembali lagi kepada Tuhan
(taraqqi) yang digambarkan bagaikan uap, asap, awan, lalu hujan, sungai,
dan kembali ke lautan. 6

2. Syekh Yusuf Al-Makasari


a. Riwayat hidup Syekh Yusuf Al-Makasari
Syekh Yusuf Al-Makasari adalah seorang tokoh sufi agung yang
berasal dari Sulawesi. Ia dilahirkan pada tanggal 8 Syawal 1036 H atau
bersamaan dengan 3 Juli 1629 M, yang berarti belum berapa lama setelah
kedatangan tiga orang penyebar Islam ke Sulawesi, (yaitu Datuk Ri
Bandang dan kawan-kawannya dari Minangkabau). Dalam salah satu
karangannya, ia menulis ujung namanya dengan bahasa Arab “Al-

5
Ibid, 342
6
Ibid, 343

3
Malkasari”, yaitu nama kota di Sulawesi Selatan (Ujung Pandang).
Naluri fitrah pribadi Syekh Yusuf sejak kecil telah menampakkan bahwa
ia cinta akan pengetahuan keislaman. Dalam tempo relatif singkat, ia
tamat mempelajari Al-Quran 30 juz. Setelah benar-benar lancar tentang
Al-Quran dan mungkin termasuk seorang penghafal, ia melanjutkan
untuk mempelajari pengetahuanpengetahuan lain, seperti ilmu nahwu,
ilmu sharaf, ilmu bayan, ilmu mini, ilmu badi', ilmu balaghah, dan ilmu
mantiq. Ia pun belajar ilmu fiqh, ilmu ushuluddin, dan ilmu tasawuf.
Ilmu yang terakhir ini tampaknya lebih serasi pada pribadinya.7
b. Ajaran tasawuf Syekh Yusuf Al-Makasari
Berbeda dengan kecenderungan sufisme pada masa-masa awal
yang mengelakkan kehidupan duniawi, Syekh Yusuf mengungkapkan
paradigma suflstiknya bertolak dari asumsi dasar bahwa ajaran Islam
meliputi dua aspek, yaitu aspek lahir (syariat) dan aspek batin (hakikat).
Syariat dan hakikat harus dipandang dan diamalkan sebagai Suatu
kesatuan.8
Meskipun berpegang teguh pada transedensi Tuhan, ia meyakini
bahwa Tuhan melingkupi segala sesuatu dan selalu dekat dengan sesuatu.
Mengenai hal ini, Syekh Yusuf mengembangkan istilah alihathah
(peliputan) dan al-ma'iyyah (kesertaan). Kedua istilah itu menjelaskan
bahwa Tuhan turun (tanazul), sementara manusia naik (taraqi), suatu
proses spiritual yang membawa keduanya semakin dekat. Syekh Yusuf
menggarisbawahi bahwa proses ini tidak akan mengambil bentuk
kesatuan wujud antara manusia dan Tuhan. Sebab, al-ihathah dan al-
mai'yyah Tuhan terhadap hamba-Nya adalah secara ilmu. Menurutnya,
fana' adalah hamba yang tidak memiliki kesadaran tentang dirinya,
merasa tidak ada, hanya ia menyadari sebagai yang mewujudkan, yang
diwujudkan, dan perwujudan. Pandangannya tentang Tuhan di atas
secara umum mirip dengan Wahdat Al-Wujud dalam filsafat mistik Ibnu
Arabi.
Syekh Yusuf berbicara pula tentang insan kamil dan proses
penyucian jiwa. Ia mengatakan bahwa seorang hamba akan tetap hamba
7
Ibid, 349
8
Ibid, 351

4
walaupun telah naik derajatnya, dan Tuhan akan tetap Tuhan walaupun
turun pada diri hamba. Dalam proses penyucian jiwa, ia menempuh cara
yang moderat. Menurutnya, kehidupan dunia bukanlah untuk
ditinggalkan dan hawa nafsu harus dimatikan. Sebaliknya, hidup
diarahkan untuk menuju Tuhan. Gejolak hawa nafsu harus dikendalikan
melalui tertib hidup dan disiplin diri atas dasar orientasi ketuhanan yang
senantiasa melindungi manusia. Berkenaan dengan cara-cara menuju
Tuhan, ia membaginya ke dalam tiga tingkatan. Pertama, tingkatan
akhyar (orang-orang terbaik), yaitu dengan memperbanyak shalat, puasa,
membaca Al-Quran, naik haji, dan berjihad di jalan Allah SWT. Kedua,
cara mujahadat asy-syaqa’ (orang-orang yang berjuang melawan
kesulitan), yaitu latihan batin yang keras untuk melepaskan perilaku
buruk dan menyucikan pikiran dan batin dengan lebih memperbanyak
amalan batin dan melipatgandakan amalan-amalan lahir. Ketiga, cara ahl
adz-dzikr, yaitu jalan bagi orang yang telah kasyaf untuk berhubungan
dengan Tuhan, yaitu orang-orang yang mencintai Tuhan, baik lahir
maupun batin. Mereka sangat menjaga keseimbangan kedua aspek
ketaatan itu. 9

3. Syekh Abdur Rauf As-Sinkili


a. Riwayat hidup Abdur Rauf As-Sinkili
Abdur Rauf As-Sinkili adalah seorang ulama dan mufti besar
kerajaan Aceh pada abad ke-17 (1606-1637 M). Nama lengkapnya
adalah Syekh Abdur Rauf bin ‘Ali Al-Fansuri. Sejarah mencatat bahwa ia
merupakan murid dari dua ulama sufi yang menetap di Mekah dan
Madinah. Ia sempat menerima ba'iat Tarekat Syathiriyah di samping
ilmu-ilmu sufi yang lain, termasuk sekte dan bidang ruang lingkup ilmu
pengetahuan yang ada hubungan dengannya.
Menurut Hasyimi, sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, ayah
As-Sinkili berasal dari Persia yang datang ke Samudra Pasai pada akhir
abad ke-13, kemudian menetap di Fansur, Barus, sebuah kota pelabuhan

9
Ibid, 352

5
tua di pantai barat Sumatra.Pendidikannya dimulai dari ayahnya di
Simpang Kanan (Sinkil). Kepada ayahnya, ia belajar ilmuilmu agama,
sejarah, bahasa Arab, mantiq, filsafat, sastra Arab atau Melayu, dan
bahasa Persia.33 Pendidikannya kemudian dilanjutkan ke Samudra Pasai
dan belajar di Dayah Tinggi pada Syekh Sam Ad-Din As-Sumatrani.
Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan ke Arabia.
Berkenaan dengan perjalanan rohaninya, As-Sinkili telah
memakai khirqah, yaitu sebagai pertanda telah lulus dalam pengujian
secara suluk. Ia telah diberi selendang berwarna putih oleh gurunya
sebagai pertanda pula bahwa ia telah dilantik sebagai Khalifah Mursyid
dalam orde Tarekat Syathariyah. Ini berarti pula bahwa ia boleh
membai'at orang lain. Telah diakui bahwa ia mempunyai silsilah yang
bersambung dari gurunya hingga kepada Nabi Muhammad SAW.10

b. Ajaran tasawuf Abdur Rauf As-Sinkili


Sebelum As-Sinkili membawa ajaran tasawufnya, di Aceh telah
berkembang ajaran tasawuf falsafi, yaitu tasawuf Wujudiyyah yang
kemudian dikenal dengan nama Wahdat Al-WuiEd. Ajaran tasawuf
Wujudiyyah ini dianggapnya sebagai ajaran sesat dan penganutnya
dianggap sudah murtad. Terjadilah proses penghukuman bagi mereka.
Tindakan Ar-Raniri dinilai As-Sinkili sebagai perbuatan yang terlalu
emosional. As-Sinkili menanggapi persoalan aliran Wujudiyyah dengan
penuh kebijaksanaan.
As-Sinkili berusaha merekonsiliasi antara tasawuf dan syariat.
Ajaran tasawufnya sama dengan Syamsuddin dan Nuruddin, yaitu
menganut paham satu-satunya wujud hakiki, yaitu Allah SWT.,
sedangkan alam ciptaan-Nya bukanlah merupakan wujud hakiki,
melainkan bayangan dari yang hakiki. Menurutnya, jelaslah bahwa Allah
SWT. berbeda dengan alam. Walaupun demikian, antara bayangan (alam)

10
Ibid, 347

6
dan yang memancarkan bayangan (Allah) tentu terdapat keserupaan.
Sifat-sifat manusia adalah bayangan-bayangan Allah SWT., seperti yang
hidup, yang tahu, dan yang melihat. Pada hakikatv nya, setiap perbuatan
adalah perbuatan Allah SWT.
Zikir, dalam pandangan As-Sinkili merupakan usaha untuk
melepaskan diri dari sifat lalai dan lupa. Dengannya, hati selalu
mengingat Allah SWT. Tujuan zikir adalah mencapai fana' (tidak ada
wujud selain wujud Allah SWT.), berarti wujud yang berzikir bersatu
dengan wujud-Nya sehingga yang mengucapkan zikir adalah Dia. 11
Ajaran tasawuf As-Sinkili yang lain bertalian dengan martabat
perwujudan Tuhan. Menurutnya, ada tiga martabat perwujudan Tuban.
Pertama, martabat ahadiyyah atau la ta'ayyun, yaitu alam pada Waktu itu
masih merupakan hakikat gaib yang masih berada di dalam ilmu Tuhan.
Kedua, martabat wahdah atau ta'ayyun awwal, yaitu sudah tercipta
haqiqat Muhammadiyah yang potensial bagi terciptanya alam. Ketiga,
martabat wahdiyah atau ta'ayyun tsani, yang disebut juga dengan ‘ayan
tsabitah, dan dari sinilah, alam tercipta. Menurutnya, ucapan “Aku
Engkau, Kami Engkau, dan Engkau Ia” hanya benar pada tingkat wahdah
atau ta'ayyzm awwal karena unsur Tuhan dan unsur manusia pada tingkat
itu belum dapat dibedakan. Tingkatan itulah yang dimaksud Ibnu Arabi
dalam syair-syaimya. Akan tetapi, pada tingkatan wahidiyyah atau
ta'ayyun tsani, alam sudah memiliki sifat sendiri, tetapi Tuhan adalah
cermin bagi insan kamil dan sebaliknya. Akan tetapi, Ia bukan pula yang
lainnya. Bagi As-Sinkili, jalan untuk mengesakan Tuhan adalah dengan
zikir la ilaha illa'llah sampai tercipta fana'12.

4. Syekh Siti Jenar


a. Riwayat Hidup Syekh Siti Jenar
Sebagaimana yang berkembang di masyarakat, Syekh Siti Jenar
memiliki banyak nama antara lain akibat dialihbahasakan ke dalam
berbagai tingkatan dalam bahasa Jawa. Sebagian menyebut Syekh Siti

11
Ibid, 347
12
Ibid, 349

7
Jenar dengan Sitibrit atau Siti Abrit. Sebagian yang lain sering
memanggil denga Siti Rekta, Lemah Bang atau Lemah Abang.13
Nama Syekh Siti Jenar menunjuk seorang pria yang dikenal
sebagai salah seorang wali yang sayangnya dianggap menyimpang dari
kebijakan umum para wali yang dikenal sebagai Wali Songo dan berjasa
besar dalam penyebaran agama Islam di Jawa.
Nama Siti Jenar menjadi penting bukan hanya karena banyak
ketekaitannya dengan sejarah perkembangan Islam di Indonesia dan
dinamika politik kerajaan Demak. Posisi Syekh Siti Jenar yang lebih
dekat elite keturunan terakhir Majapahit yang tidak bersedia tundukpada
kekuasaan Raden Fatah.Syekh Siti Jenar jufga menentang pemberian
dukungan Wali Songo kepada Raden Fatah dengan mengembangkan
ajaran luar mainstream ajaran Wali Songo tersebut. Sikap dan ajarannya
inilah yang antara lain menyebabkan kewalian Syekh Siti Jenar tidak
diakui oleh Demak dan Wali Songo.14
Karena itu, ajaran Syekh Siti Jenar bukan hanya dianggap
menyimpang dan sesat, ia bahkan dianggap telah murtad serta telah
merusakkesucian agama Islam. Kemurtadannya itu menyebabkan Syekh
Siti Jenar dan pengikutnnya harus menghadapi hukuman matiyang
dijatuhkan kerajaan dan disetujui oleh para wali yang bertindak sebagai
dewan keagamaan kerajaan Demak.15
b. Ajaran Syekh siti Jenar
Pemikiran dan praktik hidup Sufi sering terperangkap dalam
posisi oposisional. Bahkan pemikiran dan praktek hidup Sufi ini tidak
jarang muncul sebagai reaksi terhadap sistematisasi dan struktur
organisasi kekuasaan yang gagal keragaman dalam masyarakat. Apalagi
jika peralihan kekuasaan itu didahului oleh ketrampasan sebagian
anggota masyarakat terutama dari mereka yang selama ini menikmati
berbagai fasilitas ekonomi dan politik.
Dalam hubungan itulah perlu dikaji pemikiran dan terutama
ajaran Syekh Siti Jenar. Topik bahasan yang menjadikan suatu ajaran
sebagai objek pokok, menunjukkan dimensi praksis yang menyangkut
13
Abdul Munir Mulkha, Syekh Siti Jenar, (Yogyakarta: JEJAK, 2008) hal. 46
14
Ibid, 47
15
Ibid, 48

8
perilaku empiris. Demikian pula jika kita bermaksud melakukan kajian
terhadap ajaran Syekh Siti Jenar. Apalagi jika ajaran itu telah
menimbulkan kontroversi.
Sistematisasi hubungan antara ajaran dan pemikiran tersebut
menunjukkan perlunya kajian kefilsafatan bagi upaya memahami ajaran
Syekh Siti Jenar. Apalagi jika ajaran Syekh Siti Jenar itu menyangkut
satu bidang yang banyak berhubungan dengan teori kefilsafatan seperti
tasawuf.16
Ajaran Syekh Siti Jenar, karena itu juga meliputi pandangan di
bidang metafisis ketuhanan, roh dan jiwa manusia serta sebagaimana
manusia memperoleh ilmu. Pemikiran Syekh Siti Jenar juga meliputi
pandangan mengenai kebenaran ilmu dan kebaikan tindakan.
Kontroversi pandangannya mengenai kesatuan manusia-Tuhan yang
lebih populer dalam konsep wahdatul wujud juga bersumber dari
pemikiran mengenai ketuhanan, alam semesta, manusia dan kebenaran
serta kebaikan tersebut.
Bagi penganut ajaran Syekh Siti Jenar, kehidupan duniawi adalah
kematian dan sebaliknya kehidupan sesudah ajal adalah kehidupan abadi.
Anggapan semacam ini juga tumbuh dalam kesadaran penganut Islam
yang menyatakan bahwa kematian hidup duniawi sebagai sebuah
perjalanan pulang ke alam baka (abadi). Lebih dari itu penganut ajaran
Syekh Siti Jenar juga menganggap bahwa ritual formal, seperti umumnya
dilakukan penganut Islam, sebagai sebuah kepalsuan17.

5. HAMKA
a. Riwayat hidup HAMKA
HAMKA adalah nama pena, yang bahkan kemudian lebih
popular ketimbang nama kepanjangannya, yakni Haji Abdul Malik
Karim Amrullah. HAMKA belajar agama pada Diniyah School dan
Sumatera Thawalib di Padang Panjang dan di Parabek. Selama belajar di
Thawalib, HAMKA sering tidak hadir karena merasa jenuh. Ia lebih suka
di perpustakaan umum milik gurunya, Zainuddin Labay el Yunusy.

16
Ibid, 38
17
Ibid, 42

9
HAMKA terkesan dengan informasi bahwa islam di Jawa lebih
maju daripada Minangkabau, terutama dalam hal pergerakan dan
organisasinya. Pada 1922, HAMKA dibawa ayahnya ke Parabek untuk
belajar pada Syekh Ibrahim Musa. 18
Pada 1923, HAMKA berupaya untuk bertolak lagi ke Jawa, tetapi
ketika sampai di Bengkulu, HAMKA terkena wabah cacar. Setahun
setelah sembuh dari cacar, HAMKA pun berangkat ke pulau jawa yakni
Yogyakarta. Di Yogyakarta HAMKA menetap dirumah pamannya, ja’far
Abdullah. Ia mendapat kesempatan mengikuti berbagai diskusi dan
pelatihan pergerakan Islam Muhammadiyah dan Sarekat Islam.
Setelah setahun di Jawa, Juli 1925 HAMKA kembali ke Padang
panjang. Dalam perantauan pertamanya ke Jawa HAMKA mengaku
memiliki semangat baru dalam mempelajari islam. HAMKA melihat
perbedaan misi pembaruan islm di Minangkabau dan di Jwa. Jika di
Minangkabau ditujukan pada pemurnian ajaran islam dari praktik yang
dianggap salah, seperti tarekat, taklid, dan khurafat, di Jawa lebih
berorientasi kepada usaha memerangi keterbelakangan, kebodohan, dan
kemiskinan19.
b. Ajaran HAMKA
HAMKA tidak meletakkan tasawuf sebagai sesuatu yang awing-
awang, sehingga ia tidak bisa menyentuh kehidupan manusia modern.
HAMKA ingin mempopulerkan tasawuf untuk konsumsi manusia
modern yang bergumul dalam aktivitas sehari-hari, untuk semua profesi.
Bahwa tasawuf itu bisa didekati tanpa harus terlibat dalam praktik ritual
kebatinan yang aneh-aneh. Dalam kaitan inilah “ilmu tasawuf yang
diper-modern” penting untuk mendekatkan pembaca, kaum muslim,
bahwa islam pun menyajikan suatu khasanah tasawuf yang praktis dan
mencerahkan.
Pilihan HAMKA untuk mempopulerkan tasawuf dengan
pendekatan modern. Tasawuf, diposisikan oleh HAMKA sebagai sesuatu
yang tidak dibesar-besarkan secara mistis dan dalam konteks mengejar
kesaktian, pun kekebalan. Tasawuf juga berguna bagi orang-orang
18
Alfan alfian, HAMKA dan bahagia, (Bekasi: Penjuru Ilmu, 2014), hal. 24
19
Ibid, 26

10
modern, orang-orang yang terbuka dan ada di zaman yang terus berubah.
Karena itulah, terbersit hal-hal bahwa "'yang tradisional" ialah yang
memandang tasawuf secara statis dan seolah-olah ia tidak bisa didekati
dengan pendekatan yang lain. HAMKA menawarkan suatu tasawuf
positif, yang cocok dengan kecenderungan modernitas, satu hal yang oleh
masyarakat awam tradisional kerap tak bisa dipahami dan direspons
secara tepat. Pandangan HAMKA ini relevan dengan kebutuhan spiritual
orang modern. Yang tinggal di kota-kota modern canggih gemerlapan,
pun yang hidup di kota-kota sedang, kota-kota kecil, bahkan desa-desa
yang semakin modern dan terhubung20.

BAB II
PENUTUP

Kesimpulan
Tasawuf mulai masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke
Indonesia dan tasawuf mengalami banyak perkembangan itu ditandai dengan banyaknya
berkembang ajaran tasawuf dan tarikat yang muncul dikalangan masyarakat. Perlu kita
ketahui bahwa sebelum Islam datang, dianut, berkembang dan saat ini mendominasi
(mayoritas) bahwa telah berkembang berbagai faham tentang konsep Tuhan. Kehidupan
sufisme berangsur-angsur bergeser dari garis lurus yang diletakkan para sufi terdahulu
sehingga warna kejawen lebih tampil ke depan daripada sufismenya. Beberapa tokoh
ahli tasawuf di Indonesia antara lain: Hamzah Fansuri, Syekh Yusuf Al-Makasari, Abdur
Rauf As-Sinkili, Syekh Siti Jenar, dan HAMKA.

20
Ibid, 81

11
DAFTAR PUSTAKA

Alfian, Alfan. 2014. HAMKA dan bahagia. Bekasi: Penjuru Ilmu


Mulkhan, Abdul Munir. 2008. Syekh Siti Jenar. Yogyakarta: JEJAK
Anwar, Rosihon. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka Setia

12

Anda mungkin juga menyukai