Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

HUKUM PERDATA ISLAM


“ASAL – USUL ANAK”

Dosen Pengampu :
Hatoli, S.,Sy, M.H

OLEH:

BAGUS SETIAWAN HADI WIJAYA


NIM 302.2019.036
SEMESTER : 2B

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM SULTAN MUHAMMAD SYAFIUDDIN
SAMBAS
2020 M/ 1441 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata Islam program studi Hukum Tata
Negara. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan Nabi besar
Muhammad SAW beserta sahabat, keluarga maupun para pengikutnya yang setia
hingga akhir zaman. Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih
banyak terdapat kelemahan dan kekurangan. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini menjadi
lebih baik lagi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Hatoli,
S.Sy., MH selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Perdata Islam yang telah
mempercayakan dan memberi penulis tugas makalah ini. Semoga makalah ini bisa
bermanfat bagi penulis dan pembaca.

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman :
KATA PENGANTAR....................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pemeliharaan Anak (Hadhanah)...........................................................2
1. Pengertian Pemeliharaan Anak ( Hadhanah)..................................2
2. Pemegang Hak Hadhanah Adalah Kedua Orang Tua ....................2
3. Pemeliharaan Anak Setelah Perceraian..........................................2
4. Pemeliharaan Harta Anak...............................................................3
5. Persoalan Bayi Tabung...................................................................3
6. Anak Hasil Teknologi Cloning.......................................................3
B. Perwalian Anak.....................................................................................3
C. Harta Kekayaan Dalam Perkawinan.....................................................5
1. Harta bawaan.................................................................................6
2. Harta Pribadi Atau Harta Perolehan..............................................6
3. Harta Bersama................................................................................7
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...........................................................................................9
B. Saran.....................................................................................................9
DAFATAR PUSTAKA...................................................................................10

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Asal usul anak merupakan dasar untuk menunjukan adanya
hubungan kemahraman (nasab) dengan ayahnyanya (orang tua
kandungnya). Pada dasarnya anak menjadi tanggung jawab kedua orang
tuanya.
Dalam hukum islam pemeliharaan anak meliputi banyak hal seperti
dalam masalahekonomi, pendidikan, dan segala sesuatu yang menjadi
kebutuhan anak.
Dalam konsep Islam tanggung jawab ekonomi ada di
pundak suami sebagai kepala rumah tangga. Mempunyai anak yang soleh
dan solehah adalah dambaan setiap orangtua. Namun, ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan terkait dengan hal tersebut. Orang tua harus
memperhatikan hak dan kewajiban anak mulai lahir hingga dewasa.
Hukum Perdata dan Hukum Islam berjalan beriringan tergantung
kita meemandang dari segi kepentingan ataupun dari segi permasalahan.
Karna Hukum Perdata masuk dalam hukum nasional yang sifatnya
tertulis. Berangkat dari perbedaan itu dan tema kami tentang Asal Usul
Anak dan Hadonah, kami akan mencoba untuk mengkaji ke duanya.

B. Rumusan Masalah
Setelah mengetahui latar belakang di atas, dapat di tarik rumusan
masalah yang perlu diketahuiu, yaitu :
1. Apa itu Pemeliharaan Anak (Hadhanah)?
2. Bagaimana cara kerja Perwakilan Anak ?
3. Bagaimana Kewajiban Ahli Waris?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pemeliharaan Anak (Hadhanah)


1. Pengertian Pemeliharaan Anak ( Hadhanah)
Pemeliharaan anak (hadhanah) adalah kegiatan mengasuh,
melihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu
mandiri. Hadhanah berasal dan kata hidhan atau hidhanu yang artinya
lambung. Hukum hadhanah adalah wajib.
2. Pemegang Hak Hadhanah Adalah Kedua Orang Tua 
Mengasuh anak maksudnya mendidik dan memelihara anak itu,
mengurus makanan, minuman, pakaiannya serta kebersihannya.
Mengurus anak adalah hak ibu apalagi ketika anak tersebut belum
mumayiz. Hak mengsuh diutamakan pada kaum wanitadan dari
keluarga ibu, karena wanita lebih mampu dari laki-laki untuk
mengurus anak serta lebih banyak kasih sayangnya.
Syarat – syarat bolehnya seseorang menjadi pengasuh;
a. Pengasuh itu sudah dewasa.
b. Pengasuh itu waras.
c. Pengsuh itu sehat.
d. Pengasuh harus memiliki sifat jujur1
Laki-laki sebagai pengasuh :
Kalau tidak ada wanita yang mahrom yang berhak
mengasuh seorang anak, maka hak mengasuh anak pindah kepada
kaum keluarganya yang laki-laki.
3. Pemeliharaan Anak Setelah Perceraian
a. Anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun
dipelihara ibunya.

1 ABDULLAH,Abdul Gani, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam tata hukum


Indonesia, Jakarta;Gema Insani Press,1994

2
3

b. Anak yang sudah mumayyiz, kepadanya diserahkan pilihan untuk


dipelihara ayah atau ibunya.
c. Biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayahnya.
4. Pemeliharaan Harta Anak
a. Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta
anaknya yang belum dewasa atau di bawah pengampuan, dan tidak
boleh memindahkan atau menggadaikannya, kecuali mendesak
demi kemaslahatan anak.
b. Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh
kesalahan dan kelalaiannya.
Ditentukan dalam KHI; bahwa ukuran anak dikatakan mampu
mandiri (dewasa) adalah apabila sudah berumur 21 tahun atau telah
kawin.2
5. Persoalan Bayi Tabung
Anak hasil pembuahan lewat teknik bayi tabung dianggap sebagai
anak sah apabila bayi tersebut merupakan pembuahan dari sel ovum
dan sperma pasangan suami isteri yang terikat dalam perkawinan yang
sah.
6. Anak Hasil Teknologi Cloning
Penerapan teknologi kloning dalam pembentukan individu baru,
sampai saat ini masih menimbulkan perdebatan. Sebagian besar ulama
mengatakan haram karena akan mengancam kemanusiaan,
meruntuhkan institusi perkawinan atau lembaga keluarga.

B. Perwalian Anak
Dengan terjadinya perceraian maka menurut hukum perlu
ditentukan siapa yang berhak menjadi wali bagi anak mereka. Hal ini
didasarkan pada ketentuan bahwa bubarnya perkawinan (dalam hal ini

2 Undang-Undang R.I no.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam,
Surabaya;Kesindo Utama, 2010
4

perceraian), maka hilanglah kekuasaan orang tua terhadap anak-anak dan


kekuasaan tersebut diganti dengan suatu perwalian.
Setelah putusan perceraian dijatuhkan oleh Hakim, maka si
Hakim harus memanggil bekas suami-istri dan semua keluarga sedarah
dan semenda dari anak-anak yang belum dewasa untuk didengar tentang
pengangkatan wali bagi mereka.
Kemudian Hakim akan menentukan untuk tiap anak siapa di antara
suami atau istri yang menjadi wali masing-masing anak. Keputusan
mengenai perwalian ini dapat diubah karena hal-hal baru yang timbul
setelah keputusan perceraian mempunyai kekuatan hukum yang tetap
(yaitu ketika dibukukannya dalam register Catatan Sipil).3
Menurut Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan
disebutkan bahwa apabila putus perkawinan karena perceraian mempunyai
akibat hukum terhadap anak, maka baik Bapak atau Ibu tetap berkewajiban
memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan
kepentingan anak, bilamana terjadi perselisihan mengenai penguasaan
anak-anak, Pengadilan memberikan keputusannya (pasal 41).
Yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak adalah bapak; bilamana bapak
kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut maka Pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
Khusus mengenai perwalian anak, pengadilan biasanya
memberikan hak perwalian dan pemeliharaan anak dibawah umur kepada
ibu. Dasarnya, Kompilasi Hukum Islam pasal 105 yang mengatakan anak
yang belum berusia 12 tahun adalah hak ibunya. Dan didukung dengan
yurisprudensi Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa anak dibawah
asuhan ibunya. Jika anak sudah bisa memilih, ia dipersilahkan memilih
diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. Dalam
pada itu, biaya pemeliharaan di tanggung oleh ayahnya.

3 Ir. Hasan M.T, Anak Saleh,Bandung;CV Cipta Dea Pustaka,2009


5

C. Harta Kekayaan Dalam Perkawinan


Dalam kehidupan suatu keluarga atau rumah tangga selain masalah
hak dan kewajiban sebagai suami istri, terdapat juga masalah harta benda
yang merupakan pokok penyebab timbulnya berbagai perselisihan atau
ketegangan dalam hidup suatu perkawinan, sehingga dapat menyebabkan
hilangnya kerukunan antara suami dengan istri dalam kehidupan suatu
keluarga. Oleh karena itu, maka tumbuhlah asumsi masyarakat yaitu
kebutuhan suatu peraturan yang mengatur mengenai harta benda dalam
suatu perkawinan.
Suatu keluarga diperlukan harta kekayaan untuk memenuhi
kebutuhan demi kelangsungan hidup dalam perkawinan tersebut. Dalam
perkawinan, memang selayaknya suami yang memberikan nafkah bagi
kehidupan rumah tangga, dalam arti harta kekayaan dalam perkawinan
ditentukan oleh kondisi dan tanggungjawab suami. Namun di zaman
modern ini, wanita hampir sama berkesempatan dalam pergaulan sosial,
wanita juga sering berperan dalam kehidupan ekonomi rumah tangga. Hal
ini tentunya membawa pengaruh bagi harta kekayaan suatu perkawinan,
baik selama perkawinan berlangsung maupun jika terjadi perceraian.4
Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan menjelaskan
mengenai harta kekayaan dalam perkawinan, pengertian harta bersama,
harta bersama menurut peraturan perundang-undangan, dan harta bersama
menurut hukum islam.
Harta kekayaan adalah benda milik seseorang yang mempunyai
nilai ekonomi. Pada dasarnya menurut hukum islam harta suami isteri itu
terpisah, jadi masing-masing mempunyai hak untuk menggunakan atau
membelanjakan hartanya dengan sepenuhnya, tanpa diganggu oleh pihak
lain. Dalam hukum perkawinan di Indonesia, terdapat macam-macam
harta yaitu sebagai berikut.
1. Harta bawaan

4 Nasih Ulwan, Abdullah, Mencintai dan Mendidik Anak Secara Islami, Yogyakarta;
Darul Hikmah, 2009.
6

Harta masing-masing suami isteri yang telah dimilikinya


sebelum kawin, baik diperolehnya karena mendapat warisan
atau usaha-usaha lainnya, disebut harta bawaan, harta bawaan
dikuasai masing-masing pemiliknya yaitu suami atau isteri.
Artinya, seorang isteri atau suami berhak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya masing-
masing.
Apabila suami isteri menentukan hal lain seperti yang
dituangkan dalam perjanjian perkawinan, maka penguasaan
harta bawaan dilakukan sesuai dengan isi perjanjian tersebut.
Demikian pula apabila terjadi perceraian, harta bawaan
dikuasai dan dibawa oleh masing-masing pemiliknya, kecuali
apabila telah ditentukan dalam perjanjian perkawinan.
Hal tersebut di atas terdapat pada Pasal 35 ayat 2 UU No.1
tahun 1974 dikatakan bahwa harta bawaan dari masing-masing
suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing
sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan hal
lain. Dan terdapat pula pada Pasal 36 ayat 2 UU No.1 tahun
1974 yaitu “Mengenai harta bawaan masing-masing, suami
isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan
hukum mengeni harta bendanya.5 
2. Harta Pribadi Atau Harta Perolehan
Harta pribadi adalah harta masing-masing suami isteri yang
dimilikinya setelah mereka berada dalam hubungan
perkawinan. Harta ini diperoleh bukan dari usaha mereka baik
seorang atau bersama-sama, tetapi merupakan hibah, wasiat,
atau warisan masing-masing.

5 Nasih Ulwan, Abdullah, Mencintai dan Mendidik Anak Secara Islami, Yogyakarta;
Darul Hikmah, 2009.
7

Pada dasarnya, penguasaan harta perolehan ini sama seperti


harta bawaan, yakni suami atau isteri berhak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum mengenai harta perolehannya
masing-masing dan jika ada kesepakatan lain yang dibuat
dalam perjanjian perkawinan, maka penguasaan harta
perolehan dilakukan sesuai dengan isi perjanjian. Demikian
juga apabila terjadi perceraian.
3. Harta Bersama
Menurut Drs. Abdul Manan, S.H., S.IP., M.Hum., bahwa
“harta bersama adalah harta yang diperoleh selama ikatan
perkawinan berlangsung dan tanpa mempersoalkan terdaftar
atas nama siapa.”
Mengenai harta bersama suami isteri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak. Menurut UU No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, harta bersama diatur dalam :
a. Pasal 35 ayat 1 : “Harta benda yang diperoleh
selama perkawinan menjadi harta bersama.
b. Pasal 36 ayat 1 : “Mengenai harta bersama, suami
atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua
belah pihak.”6
Apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta
benda diatur menurut hukumnya masing-masing. Seperti yang
ditulis dalam pasal 37 UU no.1 tahun 1974 tentang
Perkawinan. Sedangkan dalam pasal 128-129 KUH Perdata,
dinyatakan bahwa apabila putusnya tali perkawinan antara
suami isteri, maka harta bersama itu dibagi dua antara suami
isteri tanpa memperhatikan dari pihak mana barang-barang
kekayaan itu sebelumnya diperoleh. Perjanjian perkawinan
dibenarkan oleh peraturan Perundang-undangan sepanjang

6 Ahmad Rofiq. Hukum islam Di Indonesia, Manejemen PT Raja Granfindo Persada Jakarta 2000
8

tidak menyalahi tata susila dan ketentuan umum yang berlaku


dalam kehidupan masyarakat. 7

7 Ahmad Rofiq. Hukum islam Di Indonesia, Manejemen PT Raja Granfindo Persada Jakarta 2000
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Menurut uraian diatas dapat saya simpulkan bahawa seorang anak
yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang
sah. Hasil pembuahan suami-isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan
oleh isteri tersebu. Dalam uraian diatas juga disimpulkan bahwa anak yang
dilahirkan diluar perkawinan tidak hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya saja tetapi juga mempunyai hubungan
perdata dengan ayahnya dan keluarga ayahnya, bila dapat dibuktikan siapa
ayahnya.
Pemeliharaan anak (hadhanah) adalah kegiatan mengasuh,
melihara dan mendidik anak dari ia masih berada dalam kandungan ibunya
hingga dewasa atau mampu mandiri.

B. Saran
Setelah memahami makalah ini, penyusun menyarankan agar para
pembaca yang ingin mendalami masalah Asal Usul Anak dan Hadonah,
disarankan membaca sumber-sumber lain yang lebih komplit, tidak hanya
sebatas membaca makalah ini saja. Kemudian mengaplikasikannya dalam
kehidupan kita sehari-hari.

9
DAFTAR PUSTAKA

ABDULLAH,Abdul Gani, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam tata


hukum Indonesia, Jakarta;Gema Insani Press,1994

Undang-Undang R.I no.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi


Hukum Islam, Surabaya;Kesindo Utama, 2010

Ir. Hasan M.T, Anak Saleh,Bandung;CV Cipta Dea Pustaka,2009

Nasih Ulwan, Abdullah, Mencintai dan Mendidik Anak Secara Islami,


Yogyakarta; Darul Hikmah, 2009.

Ahmad Rofiq. Hukum islam Di Indonesia, Manejemen PT Raja Granfindo


Persada Jakarta 2000

10

Anda mungkin juga menyukai