Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

HUKUM PEMILIHAN UMUM

PRINSIP PENYELENGGARAAN PEMILU

Dosen Pengampu :
Azmi, MH

OLEH:

NAMA:
IBNU MAULANA
NIM. 302.2019.051
Semester : VI
Kelompok : 05

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM SULTAN MUHAMMAD SYAFIUDDIN
SAMBAS
2022 M/ 1443 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perizinan program studi Hukum Pemilihan
Umum. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan Nabi besar
Muhammad SAW beserta sahabat, keluarga maupun para pengikutnya yang setia
hingga akhir zaman. Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih
banyak terdapat kelemahan dan kekurangan. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini menjadi
lebih baik lagi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Azmi, MH
selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Pemilihan Umum yang telah
mempercayakan dan memberi penulis tugas makalah ini. Semoga makalah ini bisa
bermanfat bagi penulis dan pembaca.

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman :
KATA PENGANTAR....................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Mandiri.................................................................................................
B. Jujur......................................................................................................
C. Adil.......................................................................................................
D. Berkepastian Hukum............................................................................
E. Terbuka.................................................................................................
F. Proposional...........................................................................................
G. Profesional............................................................................................
H. Akuntbel...............................................................................................
I. Efisien...................................................................................................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...........................................................................................
B. Saran.....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemilihan umum merupakan sarana pelaksana azas kedaulatan rakyat
berdasarkan Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota–anggota
PRESIDEN, DPR, DPRD. Pemilihan umum diselenggarakan setiap lima
tahun sekali pada waktu yang bersamaan dan berdasarkan pada Demokrasi
Pancasila. Pemungutan suara diadakan secara Langsung, Umum, Bebas dan
Rahasia.
Pasca orde Baru sistem pemilu Indonesia mengalami berbagai pergeseran.
Sistem pemilu yang dianut di Indonesia saat ini adalah sistem pemilu yang
dilakukan dalam tahapan pemilu legislatif (pileg), pemilu presiden (pilpres)
serta pemilihan kepala daerah provinsi dan kabupaten/kota (pilkada).
Lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
pemerintahan daerah membuktikan bahwa keinginan untuk mewujudkan cita-
cita ini terus berlanjut. Dijalankannya konsep otonomi daerah di indonesia
merupakan perwujudan riil dari pelaksanaan asas desentralisasi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, dapat dirumuskan
permasalahannya sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan mandiri?
2. apa yang dimaksud dengan jujur ?
3. apa yang dimaksud dengan adil ?
4. apa yang dimaksud dengan berkepastian hukum ?
5. apa yang dimaksud dengan terbuka ?
6. apa yang dimaksud dengan proposional ?
7. apa yang dimaksud dengan profesional ?
8.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Mandiri
KPU adalah lembaga penyelenggara pemilu yang dijamin dan dilindungi
UUD 1945, dan karena itu dikategorikan sebagai lembaga negara yang
memiliki apa yang disebut dengan constitutional importance. KPU ditegaskan
bersifat nasional, tetap, dan mandiri (independen) yang derajat
kelembagaannya sama dengan lembagalembaga negara lain yang dibentuk
dengan undang-undang.
Mengapa harus independen? Jawabannya jelas, karena penyelenggara
pemilu itu harus bersifat netral dan tidak memihak. Komisi Pemilihan umum
itu tidak boleh dikendalikan oleh partai politik atau pejabat negara yang
mencerminkan kepentingan partai poltik atau peserta atau calon peserta
pemilihan umum.
Independensi tidak sekedar bermakna “merdeka, bebas, imparsial, atau
tidak memihak” dengan individu, kelompok atau organisasi kepentingan
apapun, atau tidak tergantung atau dipengaruhi. Independensi bermakna pula
sebagai kekuatan/ power, paradigm, etika, dan spirit untuk menjamin suatu
proses dan hasil dari Pemilu merefleksikan kepentingan rakyat, bangsa dan
negara, sekarang dan akan datang.
Independensi yang harus dipelihara dan dipertahankan oleh lembaga yang
diberi independen meliputi tiga hal, yaitu: independensi institusional,
independensi fungsional, dan independensi personal. Independensi
institusional atau struktural adalah bahwa KPU bukan bagian dari institusi
negara yang ada, tidak menjadi subordinat atau tergantung pada lembaga
negara atau lembaga apapun. Independensi fungsional dimaksudkan bahwa
KPU tidak boleh dicampuri atau diperintah dan ditekan oleh pihak manapun
dalam melaksanakan Pemilu, dan independensi fungsional adalah bahwa
seseorang yang menjadi anggota KPU adalah personal yang imparsial, jujur,
memiliki kapasitas dan kapabilitas.
Independensi fungsional dapat ditemukan dalam Pasal 25 UU No. 22
Tahun 2007 yang memberi kewenangan kelembagaan menetapkan rencana,
organisasi dan tata kerja Pemilu, mengendalikan Pemilu, menetapkan peserta
Pemilu, menetapkan daerah pemilihan, menetapkan waktu, menetapkan hasil
Pemilu, dan melaksanakan kewenangan lain yang diatur undang-undang.
Sementara independensi personal tersurat jelas dalam syarat-syarat menjadi
anggota KPU yang diatur dalam Pasal 18, antra lain misalnya: mempunyai
integritas pribadi yang kuat, jujur, dan adil. Mempunyai komitmen dan
dedikasi terhadap suksesnya Pemilu, tegaknya demokrasi dan keadilan; tidak

2
3

menjadi anggota atau pengurus partai politik; dan tidak sedang menduduki
jabatan politik, jabatan struktural dan jabatan fungsional dalam jabatan
negeri.
Memaknai frasa “mandiri” dalam Pasal 22E UUD 1945 dapat dimaknai
bukan partai politik. Pemaknaan demikian terlihat baik dalam perdebatan
penyusunan konstitusi (original intens), penafsiran teleologis, penafsiran
historis/sejarah hukum, prinsipprinsip internasional penyelenggara Pemilu
dan kecenderungan Internasional tentang penyelenggara Pemilu. Bahwa sejak
awal, perdebatan konstitusi mengarahkan agar penyelenggara Pemilu bersifat
mandiri, nonpartisan dan tidak berasal dari partai politik. Perdebatan terlihat
dari pandangan Fraksi PDIP, yang menyebutkan: “pemilihan umum harus
diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umumyang independen dan
anggotanya bukan anggota aktif partai politik peserta Pemilu” . Selengkapnya
usulan F-PDIP sebagai berikut: Ayat (2): “Pemilihan Umum diselenggarakan
oleh sebuah komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, permanen,
mandiri dan anggota-anggotanya mempunyai kemampuan yang baik dan
bukan anggota aktif partai politik peserta pemilihan umum”.

B. Jujur
Dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum; Penyelenggara/ Pelaksana,
Pemerintah dan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum, Pengawas dan
Pemantau Pemilihan Umum, termasuk Pemilih, serta semua pihak yang
terlibat secara tidak langsung, harus bersikap dan bertindak jujur sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Menurut Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Republik Indonesia
no. 7 tahun 2017, Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah
“Sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil
Presiden dan untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
” Pemilu adalah sarana bagi rakyat untuk memilih, menyatakan pendapat
melalui suara, berpartisipasi sebagai bagian penting dari negara sehingga
turut serta dalam menentukan haluan negara. Negara Indonesia menjunjung
tinggi hak-hak warga negara Indonesia. Berdasarkan hak-hak tersebut nasib
bangsa dan Negara ditentukan, salah satunya adalah dengan berpartisipasi
aktif menggunakan hak suara. Dalam PKPU tertulis prinsip dalam Pemilu
adalah mandiri; jujur; adil; kepastian hukum; tertib; terbuka; proporsional;
profesional; akuntabel; efektif; dan efisiensi.
4

Pada saat memasuki masa-masa Pemilu, para elite politik berlomba untuk
mendapatkan simpati masyarakat dengan cara apapun, salah satunya dengan
politik uang. Politik uang memiliki potensi yang bisa merugikan negara,
karena ada kecenderungan jika sudah berhasil memenangkan suara akan ada
upaya untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan sebelumnya. Hal ini
dapat menjurus pada tindakan korupsi. Politik uang sangat merugikan bagi
kemajuan bangsa dalam sistem demokrasi di Indonesia.
Untuk menciptakan pemilu yang bersih sangat dibutuhkan pemahaman
masyarakat akan bahaya politik uang itu, dimana masyarakat memiliki peran
penting dalam menentukan masa depan negaranya. Akan tetapi, masyarakat
juga tidak boleh golput. Sebab, hal itu hanya akan menguntungkan bagi calon
yang tidak kredible. Karena biasanya, perilaku golput dilakukan orang yang
kritis yang memandang tidak ada calon yang kredibel. Padahal golput akan
memberikan peluang orang yang kurang kompeten untuk memenangkan
pertandingan. Gerakan golput sama bahayanya dengan politik uang. Karena
itu, jangan golput dan tolak politik uang.
Sebagai masyarakat yang cerdas kita harus mampu menilai calon yang
terbaik yang sekiranya mampu dan mau mendengarkan aspirasi masyarakat
agar pembangunan yang akan dilakukan sesuai dengan keinginan masyarakat
dan tidak memilih calon yang hanya mementingkan diri sendiri atau
kelompoknya saja sehingga melupakan janji-janji yang sudah diucapkan
dalam masa kampanye. Sebagai pemilik hak pemilih dalam pemilu kita
jangan sampai menyia-nyiakan hak suara hanya untuk iming-iming sementara
yang dalam artian kita harus memberikan suara kita kepada calon yang tepat.
Karena pemimpin adalah cerminan dari rakyatnya.

C. Adil
Apa yang dimaksud dengan keadilan pemilu? Sampai saat ini, keadilan
pemilu baru dipahami sebatas berjalannya proses pemilu sesuai aturan dan
tersedianya mekanisme penyelesaian sengketa dan pelanggaran pemilu sesuai
waktu yang ditentukan.
Dalam kerangka itu, keadilan pemilu mencakup sarana dan mekanisme
serta mengandung tiga elemen, yaitu pencegahan terhadap sengketa pemilu
(prevention of electoral disputes), penyelesaian terhadap sengketa pemilu
(resolution of electoral disputes), dan alternatif penyelesaian sengketa pemilu
di luar mekanisme yang ada (alternative of electoral disputes). Penyelesaian
terhadap sengketa pemilu dapat dibagi ke dalam dua hal, yaitu koreksi
terhadap kecurangan melalui electoral challenges dan hukuman bagi mereka
yang melakukan kecurangan baik secara administatif maupun pidana.
5

Dengan demikian, ukuran adil atau tidaknya pemilu menurut standar yang
dirumuskan IDEA bergantung pada ada atau tidaknya ketersediaan instrumen
hukum pemilu beserta mekanisme penyelesaian masalah hukum pemilu yang
terjadi. Sekalipun definisi keadilan pemilu yang dikemukan IDEA berangkat
dari paradigma adanya jaminan terhadap hak pilih warga negara, namun
batasan yang dikemukan jelas sangat prosedural-formalistik. Keadilan pemilu
yang demikian hanya menjadi makna lain dari “kebenaran” pemilu.
Maknanya, pelaksanaan pemilu sudah berjalan benar sepanjang dilaksanakan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.
Definisi demikian baru sampai pada taraf “keadilan” dalam pengertian
hukum sebagaimana dikemukakan Hans Kelsen. Keadilan dinilai dari aspek
kecocokan tindakan dengan hukum positif terutama kecocokan dengan
undang-undang. Pemilu dianggap adil jika pelaksanaannya sesuai dengan
aturan yang ada. Dalam konteks itu, makna adil hanyalah kata lain dari
“benar”. Sebab, penerapan hukum akan dikatakan “tidak adil” jika sebuah
norma umum diterapkan pada satu kasus tetapi tidak diterapkan pada kasus
sejenis lainnya yang muncul.

D. Berkepastian Hukum
Pemilihan Umum sebagai instrument menuju negara demokrasi harus
dijalankan secara demokratis pula. Untuk mengukur apakah demokratis atau
tidaknya penyelenggaraan pemilu, terdapat standar internasional pemilu
demokratis sebelumnya yang dapat dijadikan acuan yaitu: (1) Penyusunan
kerangka hukum pemilu, (2) system pemilu, (3) penentuan distrik pemilihan
dan definisi batasan unit pemilu, (4) hak memilih dan untuk dipilih, (5) badan
pelaksana pemilu, (6) pendaftaran pemilih dan pemilih terdaftar, (7) akses
kertas suara partai politik dan kandidat, (8) kampanye pemilu demokratis, (9)
akses media dan kebebasan berekspresi, (10) pembiayaan dan pengeluaran
kampanye, (11) pemungutan suara, (12) penghitungan dan tabulasi suara, (13)
peranan wakil partai dan kandidat, (14) pemantauan pemilu, (15) kepatuhan
dan penegakan hokum pemilu.
Tentu saja Standar Internasional tersebut merupakan syarat minimum bagi
kerangka hukum dan kepatuhan serta penegakan hukum yang harus terpenuhi
untuk menjamin pemilu demokratis.
Diantara 15 indikator tersebut kerangka Hukum pemilu menjadi salah satu
indicator yang sangat penting, istilah “kerangka hukum pemilu” mengacu
pada semua Undang-undang dan dokumen hukum yang terkait dengan
pemilu. Dalam rezim negara demokratis dan konstitusional, kerangka hukum
pemilu ini diatur dalam aturan yang cukup beragam, berasal dari norma dasar
seperti konstitusi dan aturan hukum lainnya. Beberapa ketentuan yang
6

mendasari adalah konstitusi, perjanjian internasional, undang-undang pemilu,


yurisprudensi, peraturan kode etik dan peraturan terkait lainnya, kerangka
hukum pemilu ini disusun dengan mempertimbangkan sejarah, kekhasan
sosial, budaya dan aturan hukum yang berlaku dimasing-masing negara.
Kerangka hukum ini harus disusun secara terstruktur dengan melingkupi
beberapa prinsif yakni tidak bermakna ganda dan jelas (clear). ,memudahkan
(straightforward), mudah dipahami (inteligible), dan melingkupi seluruh
unsur system pemilu yang diperlukan untuk memastikan pemilu yang
demokratis (include all electoral components , which are necessaryto unsure
the undertahking of democratic elections)
Dalam konteks penyelenggara pemilu di Indonesia, pengaturan mengenai
pemilu diatur mulai dari konstitusi (undang-undang Dasar), Undang-undang
penyelenggara yang mengatur tiga unsur penyelenggara pemilu terdiri dari
Bawaslu, KPU dan DKPP, serta Undang-undang penyelenggaraan yaitu
Undang-undang pemilu legislatif, Undang-undang pemilu presiden dan wakil
presiden dan Undang-undang pemilihan kepala Daerah, pemilihan Gubernur
dan wakil gubernur, Bupati dan wakil Bupati, Walikota dan wakil Walikota.
Apabila dilihat dari subtansi undang-undangnya masih terdapat beberapa
permasalahan dalam kerangka hukum pemilu, misalnya pengaturan mengenai
definisi kampanye yang belum jelas. Definisi kampanye berdasarkan
pelaksanaan pemilu yang mana selama ini menimbulkan multi tafsir antara
lembaga penyelenggara pemilu dengan pihak kepolisian dan kejaksaan dalam
menegakkan tindak pidana pemilihan. Selain itu pengertian mengenai
pelanggaran administrasi pemilu dan sengketa antar peserta pemilu juga tidak
di jelaskan secara rinci. Hal ini dapat berdampak pada adanya pelanggaran
administrasi, akan tetapi tidak dapat dijatuhkan sanksi dikarenakan tidak
menjelaskan secara rinci mengenai pelanggaraan administrasi tersebut. Oleh
karena itu ikhhwal kepastian hukum adalah salah satu aspek utama dalam
hukum. Kepastian hukum biasanya diartikan sebagai kepatuhan terhadap
peraturan perundang-undangan yang tertulis.
Menurut Prof. Ramlan Surbakti, Phd, setidaknya terdapat dua indikator
proses penyelenggaraan Pemilu yang demokratik: (a) adanya kepastian
hukum dalam pengaturan semua tahapan penyelenggaraan Pemilu
(predictable procedure) tetapi hasil pemungutan dan penghitungan suara tidak
ada yang tahu (unpredictable result), dan (b) semua tahapan penyelenggaraan
pemilihan umum diatur berdasarkan asas-asas pemilihan umum yang
demokratik, seperti langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil dan akuntabel.
Yang dimaksud dengan kepastian hukum dalam pengaturan semua tahapan
penyelenggaraan pemilu adalah undang-undang pemilihan umum (a)
mengatur semua hal yang perlu diatur mengenai tahapan pemilu. (b) berisi
7

pasal-pasal yang isinya konsisten satu sama lain, dan bahkan konsisten
dengan pasal-pasal yang terkandung dalam undang-undang lainnya (c) berisi
pasal-pasal yang artinya dipahami secara tunggal oleh semua pemangku
kepentingan. Dalam rumusan secara negatif, yang dimaksud dengan kepastian
hukum adalah Undang-undang tentang pemilihan Umum tidak mengandung
kekosongan hukum, tidak mengandung pasal-pasal yang bertentangan dengan
satu sama lainnya dan tidak mengandung pasal-pasal yang multi tafsir.
Berbagai Permasalahan tersebut, memerlukan tindakan penyelesaiaan yang
dapat dilakukan oleh otoritas pembentuk Undang-undang (DPR dan
Pemerintah) melalui revisi perundang-undangan, atau melalui tindakan yang
dilakukan oleh penyelenggara Pemilu Bawaslu atau KPU) melalui
pembentukan peraturan tekhnis Penyelenggara Pemilu. Tindakan kedua
dalam bentuk pembentukan peraturan tekhnis penyelnggaraan pemilu oleh
KPU atau Bawaslu lebih mudah dilakukan, meskipun sangat beresiko
tertentu. Tanpa adanya tindakan ini, maka dapat diprediksi penyelenggaraan
pemilu di kemudian hari akan bermasalah. Meskipun setiap produk hukum
yang dikeluarkan oleh penyelenggara pemilu harus terlebih dahulu di
konsultasikan dengan DPR dan Pemerintah sebagaimana diatur dalam
Undang-undang 15 tahun 2011 tentang penyelenggara Pemilu, Pasal 119 ayat
(4) untuk Komisi Pemilihan Umum dan pasal 120 ayat (4) untuk Bawaslu
bahwa setiap peraturan yang di bentuk oleh kedua unsur penyelenggara
tersebut penetapannya setelah berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah,
demikian pula dengan DKPP. Hal tersebut bisa saja menggangu sifat
kemandirin unsur penyelenggara pemilu, tidak jarang sebuah aturan yang
semestinya diatur segera ,karena waktu tahapan berjalan terhambat dengan
molornya pembahasan di DPR dan Pemrintah, meskipun tidak terlalu
mengancam karena DPR adalah lumbung asprasi masyarakat yang bersandar
pada mekanisme konstituional dan berlandaskan pada UUD 1945. Tetapi
paling tidak hal tersebut menjadi pola fikir bersama yang dapat di pahami
oleh semua pihak agar bijak dalam penggunaan pasal tersebut.
Kerangka Hukum pemilu juga harus mencakup mekanisme yang efektif
untuk memastikan berjalannya penegakan hukum pemilu dan penegakan hak-
hak sipil, penegakan hak sipil dimaksud adalah untuk melindungi hak-hak
warga negara untuk memilih dan dipilih, pada prinspnya, kerangka hukum
harus menetapkan bahwa setiap pemilih, kandidat, dan partai politik berhak
mengadu kepada lembaga penyelenggara pemilu atau pengadilan yang
berwenang apabila terdapat dugaan pelanggaran dugaan pelanggaran pemilu
atas hak pilih.

E. Terbuka
8

Dewan Pewakilan Rakyat (DPR) nampaknya sudah mulai ancang-ancang


bakal membahas draf Revisi Undang-Undang (RUU) No. 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum (Pemilu). RUU Pemilu tersebut masuk dalam daftar
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 menempati urutan
tiga. Salah satu poin krusial yang bakal menjadi perdebatan tentang sistem
pemilu yang bakal diberlakukan pada 2024 mendatang.
Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustofa mengatakan sejauh ini memang
belum ada pembahasan draf RUU Pemilu karena masih merampungkan
penyusunan draf kemudian diserahkan ke Badan Legislasi (Baleg). Tapi,
sejumlah isu krusial bakal menjadi pembahasan dalam RUU Pemilu, salah
satunya soal sistem kepemiluan. Dalam perkembangannya terdapat dua
pandangan yakni sistem kepemiluan terbuka atau tertutup.
“Ada dua alternatif yang bakal dibahas yaitu sistem terbuka dan beberapa
fraksi ingin sistem tertutup,” ujar Saan Mustofa dalam diskusi virtual di
Jakarta, Minggu (7/6/2020) kemarin.
Dia mengungkapkan dua partai besar seperti Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) dan Golkar menghendaki sistem pemilu tertutup.
Sementara Fraksi PKB, Nasdem, PKS, Demokrat mendorong agar sistem
pemilu terbuka. Sementara F-PAN dan Gerindra belum menentukan sikap
terkait opsi dua sistem pemilu tersebut.
Namun, Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Gerindra Sodik Mudjahid
mengatakan kecenderungan aspirasi kader partainya mendorong sistem
proporsional terbuka dalam draf RUU Pemilu. Ada tiga alasan Fraksi
Gerindra memililih opsi proporsional terbuka. Pertama, melalui proporsional
terbuka menjadi lebih akomodatif terhadap kader partai yang menjadi tokoh
masyarakat.
Kedua, lebih akomodatif dan menghargai suara para pemilih dalam
pemilu. Ketiga, partai tetap meemiliki kekuasaan dan kekuatan dalam
mengendalikan para calon yang notabene kader partai. Meski demikian, partai
yang dikomandoi Prabowo Subianto itu belum menyampaikan sikap resminya
terhadap opsi sistem kepemiluan dalam draf RUU Pemilu.
Koordinator Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal
Fariz menjelaskan penerapan sistem proporsional terbuka dalam pemilu
sebelumnya berdasarkan perolehan suara terbanyak. Dia mencatat problem
yang terjadi dalam tahapan pemilu masih marak terjadi praktik politik uang.
Meski terdapat kekurangan itu, Donal menyarankan agar mempertahankan
sistem proporsional terbuka. Alasannya, agar tetap dapat meningkatkan
partisipasi politik pemilih. Kemudian menjaga relasi pertanggungjawaban
pemilih dengan calon terpilih atau wakil rakyat, dan menekan oligarki partai
politik.
9

F. Proposional
Sistem pemilihan ini disebut juga sebagai sistem pemilihan multi- member
constituency atau sistem perwakilan berimbang. Pemahaman terhadap sistem
pemilihan prorsional ini adalah sbb. :
“Suatu sistem pemilihan umum di mana kursi yang tersedia di Parlemen
Pusat untuk diperebutkan dalam suatu pemilihan umum, dibagi-bagi kepada
partai/golongan-golongan politik yang turut dalam pemilihan tersebut sesuai
dengan imbangan suara yang diperolehnya dalam pemilihan yang
bersangkutan”.
Dari uaraian tersebut, tampak bahwa langkah pertama yang ditempuh
adalah membagi kursi yang tersedia kepada peserta pemilu yaitu partai politik
dan golongan politik. Kemudian partai politik memegang kendali dalam
menentukan seseorang yang akan duduk dalam lembaga perwakilan.
Penentuan wakil melalui cara yang didominasi oleh kekuatan politik tersebut,
pada gilirannya akan memunculkan hubungan yang kuat antara wakil dengan
partai atau golongan politik yang merupakan induk organisasinya. Dalam
pada itu hubungan dengan rakyat selaku pemilih akan menjadi renggang.
Akan tetapi, dalam sistem ini tidak ada suara yang terbuang dengan percuma.
Secara umum kelebihan dan kelemahan sistem proporsional menurut Moh
Mahfud MD adalah sbb.:
Melihat pada kelebihan dan kelemahan sistem pemilihan umum secara
proporsional tersebut, maka sistem ini memungkinkan untuk diterapkan baik
dalam negara maju maupun negara yang sedang berkembang.

G. Professional
Profesionalisme merupakan kata yang tidak begitu asing dalam telinga
kita. Sering pula kita mengonotasikan profesionalisme dengan istilah yang
hebat, yang luar biasa, dan yang sempurna.
Profesionalisme dalam kamus ilmiah populer berkaitan dengan keahlian
seseorang. Dalam pemahaman lain, profesionalisme adalah kompetensi untuk
melaksanakan tugas dan fungsinya secara baik dan benar dan juga komitmen
dari para anggota dari sebuah profesi untuk meningkatkan kemampuan dari
seorang karyawan. Profesional sendiri mempunyai arti seorang yang terampil,
andal, dan sangat bertanggung jawab dalam menjalankan tugas atau
profesinya. Indikasi seseorang layak dianggap profesional harus memiliki
perbedaan dari bidang pekerjaan yang lainnya. Adapun indikasi sederhana
profesionalisme sebagai berikut: (a) memiliki kemampuan atau keterampilan
dalam menggunakan peralatan yang berhubungan dengan bidang pekerjaan;
(b) memiliki ilmu dan pengalaman dalam menganalisis; (c) bekerja di bawah
10

disiplin kerja; (d) mampu melakukan pendekatan disipliner; (e) mampu


bekerja sama; dan (f) cepat tanggap terhadap masalah.
Untuk menjaga agar kedaulatan rakyat tetap berada pada posisinya,dalam
penyelenggaraan pemilu, UUD 1945 pasca perubahan memperkenalkan
sebuah lembaga profesional khusus menangani penyelengaraan pemilu.
Adapun nama lembaga profesionalisme penyelenggara pemilu tersebut adalah
komisi pemilihan umum (auxiliary state organ) yang bersifat nasional, tetap,
dan mandiri yang kemudian kita kenal dengan sebutan Komisi Pemilihan
Umum (KPU). Keberadaan lembaga penyelenggara pemilihan umum ini
dipertegas sebagaimana ketentuan UUD 1945 Pasal 22 E ayat (5), “Pemilihan
Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat
nasional, tetap, dan mandiri.” Selanjutnya dapat juga dibaca dalam
UndangUndang Nomor 15 Tahun 2011 Pasal 1 angka (6) dan UndangUndang
Nomor 10 Tahun 2012 Pasal 1 angka (6). Adapun untuk penyelenggaraan di
tingkat provinsi diperkenalkan Komisi Pemilihan Umum Provinsi,
selanjutnya disebut KPU Provinsi. Untuk level penyelenggaraan di tingkat
kabupaten diperkenalkan Komisi Pemilihan Umum Kabupate, yang
selanjutnya disingkat KPU Kabupaten.
Manajemen pemilu yang membutuhkan penanganan secara profesional,
akuntabel, dan integritas yang tinggi menjadi tanggung jawab KPU
Kabupaten Rembang untuk mewujudkannya. Selama pelaksanaan pemilu
berlangsung, ada sejumlah permasalahan, di antaranya adalah masalah
sumber daya manusia (SDM). Perhatian terhadap manajemen sumberdaya
manusia (MSDM) penting dilakukan, sebagai antisipasi peningkatan
pelayanan dan kesuksesan dalam penyelenggaraan Pemilu Legislatif 2014 di
lingkungan kerja KPU Kabupaten Rembang. Alasan lainnya adalah semakin
meningkatnya peraturan dan hukum, perubahan karakteristik angkatan kerja
(rekrutmen PPK dan PPS), serta ketidaksesuaian antara pengetahuan,
ketrampilan, dan kemampuan penyelenggara dengan persyaratan kerja yang
ditetapkan.
Sangat memungkinkan permasalahan yang terjadi di KPU Kabupaten
Rembang dalam pelaksanaan Pemilu Legislatif 2014 juga merupakan
permasalahan yang hampir pasti terjadi di semua KPU Kabupaten lainnya.
Adapun faktor pembedanya hanya pada persoalan ekses yang muncul dalam
tanggapan atau komplain dari masyarakat dan peserta pemilu terhadap
persoalan tersebut.
H. Akuntabel
Sebagai suatu proses yang sangat penting dan diselenggarakan oleh
institusi formal maka pelaksanaan pemilu seharusnya dilaksanakan dengan
mengedepankan prinsip - prinsip akuntabilitas yang didalamnya tercakup
11

aspek transparan dan partisipatif. Menurut Miriam Budiardjo akuntabilitas


merupakan pertanggungjawaban pihak yang diberi mandat untuk memerintah
kepada mereka yang memberi mandat itu.4 Dengan demikian akuntabilitas
sebenarnya memiliki makna adanya pertanggungjawaban dengan
menciptakan pengawasan melalui distribusi kekuasaan. Hal tersebut penting
untuk mengurangi penumpukkan kekuasaan pada suatu lembaga tertentu
sekaligus untuk mencipatakan siatuasi saling mengawasi (check and
balances). Kondisi tersebut akan memberikan peluang sangat besar bagi
penyelenggaraan pemilu yang ideal.
Mengingat bahwa pemilu adalah proses perwujudan dari kedaulatan rakyat
terkait pemilihan pejabat pemerintahan maka penyelenggaraan pemilu harus
betul-betul dilaksanakan sesuai dengan amanat undang - undang. Guna
memastikan hal tersebut maka pelaksanaan pemilu seharusnya dilaksanakan
dengan mengedepankan prinsip akuntabilitas.
Prinsip tersebut menuntut dua hal yakni kemampuan menjawab
(answerability) dan konsekuensi (consequences). Bagian pertama
berhubungan dengan tuntutan bagi para aparat pelaksana untuk memberikan
jawaban secara periodik atas berbagai pertanyaan yang terkait dengan
penggunaan wewenang mereka dalam menjalankan tugasnya dan bagaimana
mereka menggunakan wewenang tersebut dikaitkan dengan penggunaan
sumber daya serta hasil yang dicapainya. Dengan demikian seluruh
penyelenggara pemilu harus dapat mempertanggung jawabkan pelaksanaan
wewenanangnya.
Adapun Guy Peter menyebutkan 3 tipe akuntabilitas yaitu : (1)
akuntabilitas keuangan, (2) akuntabilitas administratif, dan (3) akuntabilitas
kebijakan publik.Berdasarkan ketiga hal tersebut maka dapat dikatakan
bahwa prinsip akuntabilitas termasuk dalam pelaksaaan pemilu sangat terkait
dengan aspek-aspek tersebut. Hal tersebut sangat erat kaitannya dengan upaya
akuntabilitas kepada publik.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya maka secara garis besar dapat
disimpulkan bahwa akuntabilitas terkait dengan kewajiban dari institusi serta
para aparat yang bekerja di dalamnya untuk membuat kebijakan maupun
melakukan aksi yang sesuai dengan nilai yang berlaku maupun kebutuhan
masyarakat. `Akuntabilitas publik menuntut adanya pembatasan tugas yang
jelas dan efisien karena terkait dengan wewenanag dan penggunaan anggaran.
Selanjutnya, hal penting yang terkait dalam akuntabilitas adalah aspek
transparansi. Transparansi merupakan prinsip yang menjamin akses atau
kebebasan bagi setiap orang guna memperoleh informasi tentang
penyelenggaraan suatu kegiatan yang dialkukan oleh suatu institusi negara
atau institusi formal lainnya. Informasi yang ada terkait dengan kebijakan,
12

proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai. Dengan


demikian aspektransparansi dalam prinsip akuntabilitas akan sangat terkait
dengan adanya pengawasan atas seluruh proses yang terjadi. Dengan kata lain
transparansi akan memeberikan keterbukaan informasi kepada masyarakat.

I. Efisien
Kritik terhadap demokrasi elektoral di Indonesia terus dilakukan salah
satunya menyangkut biaya demokrasi kita yang dianggap mahal, disisi yang
lain produk proses demokrasi itu justru memprihatinkan, bahkan bisa
dikatakan defisit atau tidak efisien. Fokus utama kritik seperti ini adalah
banyak pejabat publik hasil pemilihan umum yang mahal yang kemudian
menjadi pasien KPK karena kasus korupsi. Sebagian persoalan yang dikritisi
para pengamat adalah sistem pemilu yang digunakan saat ini yang mendorong
maraknya politik uang yang kemudian secara langsung maupun tidak
langsung memicu para politisi yang ingin memenangkan pemilihan umum
terlibat korupsi ketika sudah terpilih.
Para ahli sepakat bahwa membangun sistem pemilu yang efisien sangat
tergantung pada sistem politik dan sistem pemerintahan yang akan dibentuk.
Sistem pemilu tidak bisa berdiri sendiri, sistem pemilu hidup di dalam ruang
yang sangat dipengaruhi oleh sistem politik yang dibangun dan sistem
pemerintahan yang akan dibentuk. Ketiga sistem ini saling berkelindan dan
saling mempengaruhi satu sama lain. Jika suatu bangsa menginginkan
sistem pemilu yang efisien maka pada saat yang sama juga harus
memikirkan konsekuensi terhadap pilihan itu terutama pada sistem politik
dan sistem pemerintahan negara itu.
Di Indonesia, pasca amandemen UUD 1945, penyelenggaraan pemilu
diselenggarakan dua kali yaitu pemilu untuk memilih anggota legislatif dan
pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden dalam waktu yang
berurutan. Kemudian keadaan ini berubah,berdasar Putusan Mahkamah
Konstitusi No.14/PUU-XI/2013 yang merupakan pengujian Pasal 3 ayat (5),
Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang –
Undang No.42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden.
Penyelenggaraan pemilu yang diatur terpisah antara Pemilu Anggota
Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Presiden, berdasar putusan MK
tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Implikasi dari pembatalan
tersebut adalah dilaksanakannya “Pemilihan Umum Nasional Serentak”
atau Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan dan Pemilihan
13

Presidendilakukan secara serentak yang dimulai pada tahun 2019 dan


tahun-tahun selanjutnya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Fokus dalam mewujudkan salah satu misinya, yaitu meningkatkan kualitas
penyelenggaraan pemilihan umum yang bersih, efisien dan efektif. Hal ini
ditandai dengan belum adanya suatu mekanisme sistem kontrol berdasarkan
dari evaluasi kinerja yang sudah ada dari pemilu-pemilu sebelumnya.
Efisiensi dan efektif hanya dapat dilakukan melaui suatu sistem yang terukur
dan berkelanjutan. Sistem itu harus mempunyai KPI agar lebih terkontrol
untuk mencapai perbaikan yang berkesinambungan (continuous
improvement).
Dari data-data pemilu yang dimiliki oleh KPU, baik yang mempunyai
dimensi unit waktu, kuantitas, dan biaya, sebenarnya tidak sulit dalam
mewujudkan misi tersebut. Sayang sekali data untuk Pemilu 1999 tidak
lengkap sehingga tidak dapat dipakai sebagai bahan analisa dengan baik.
Sebaiknya KPU tidak perlu takut mempublikasikan datanya sehingga dapat
dimanfaatkan oleh yang berkepentingan untuk perbaikan KPU ke depannya.
Kebiasaan mengevaluasi kinerja untuk setiap pelaksanaan pemilu akan
memberikan tantangan bagi pelaksanaan pemilu selanjutnya yang lebih
efektif dan efisien, baik dalam hal waktu, biaya, maupun kualitasnya.

B. Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis yakin bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan, sehingga mengharapkan kepada para pembaca untuk
memberikan kritik dan saran yang membangun agar penulis mendapatkan
membelajaran baru. Dan semoga makalah ini dapat menjadi tempat
mendapatkan ilmu pengetahuan baru.

14
DAFTAR PUSTAKA

15

Anda mungkin juga menyukai