Anda di halaman 1dari 16

KEDUDUKAN PEMILU DALAM SISTEM DEMOKRASI

Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Sistem Pemilu (PIH17) Kelas Ilmu
Hukum HTN-B (ILHAM AKBAR, S.H.I., S.H., M.H)

Oleh:

Kelompok 3

DIAN JANNATI AMELIA


NIM 12020722325
FIRSTY MARZARIANI PUTRI
NIM 12020723620
FIVIEN AMRISYAH
NIM 12020723107

JURUSAN ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2023 M /1444 H
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah kami panjatkan kepada kehadirat


Allah SWT yang telah memberi kita segala nikmat dan hidayah-Nya. Sehingga
penyusun mampu menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam kita haturkan
kepada Nabi kita Rasulullah saw. Dengan ini penulis bersyukur dengan diberikan
rahmat dan hidayah untuk dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Kedudukan Pemilihan Umum dalam Sistem Demokrasi” dengan baik dan tempat
waktu.

Selanjutnya penyusun menyadari sepenuhnya bahwa dalam makalah ini


terdapat kekurangan, walaupun penyusun sudah berusaha semaksimal mungkin
untuk membuat yang terbaik. Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa didunia ini
tidak ada yang sempurna. Begitu dengan segala ketulusan dan kerendahan hati
penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi
penyempurna makalah ini. Penyusun berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat untuk kita semua.

Pekanbaru, 10 Oktober 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................3

A. Latar Belakang .............................................................................................3

B. Rumusan Masalah ........................................................................................4

C. Tujuan Penulisan ..........................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................5

A. Kedudukan Pemilihan Umum dalam Sistem Demokrasi .............................5

B. Sistem Pemilu Demokrasi di Indonesia …………………………………... 6

C. Syarat Pemilihan Umum Demokratis ...........................................................9

BAB III PENUTUP ..............................................................................................13

A. Kesimpulan ................................................................................................13

B. Saran...........................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemilihan umum (Pemilu) merupakan perwujudan sistem demokrasi, di
mana rakyat dapat turut berpartisipasi menentukan sikapnya terhadap
pemerintahan dan negaranya. Melalui pemilihan umum rakyat memilih
wakilnya untuk duduk dalam parlemen, dan dalam struktur
pemerintahanSistem pemilihan umum merupakan sebagian di antara instrumen
kelembagaan penting dalam negara demokrasi.
Menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum
pada Bab I Pasal 1, Pemilihan Umum atau Pemilu adalah sarana kedaulatan
rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan
Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan untuk memilih Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonsia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan demikian pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan asas
‘kedaulatan di tangan rakyat’, sehingga tercipta hubungan kekuasaan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Hal tersebut merupakan inti kehidupan
demokrasi.
Demokrasi berdiri berdasarkan prinsip persamaan, yaitu bahwa setiap
warga negara memiliki kesamaan hak dan kedudukan di dalam pemerintah,
karena itu setiap warga negara sejatinya memiliki kekuasaan yang sama untuk
memerintah. Kekuasaan rakyat inilah yang menjadi sumber legitimasi dan
legilitas kekuasaan negara. Di kebanyakan negara demokrasi, pemilu dianggap
lambang, sekaligfus tolak ukur dari demokarasi.
Hasil pemilu yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan
keterbebasan berpendapat dan kebebasan beserikat, dianggap mencerminkan
dengan agak akurat partisipasi serta partisipasi masyarakat. Dengan adanya
pemilu diharapkan dapat menghasilkan wakil-wakil rakyat yang mampu

3
mengerti mengenai aspirasi dari rakyat terutama dalam proses perumusan
kebijakan publik dengan adanya sistem pergiliran kekuasaan. Pemilu juga
memberikan peluang bagi kekuasaan dalam membentuk Udang-undang tidak
serta merta menjadikan partai politik yang berada di parlemen lupa sehingga
setiap partai politik tidak dapat mempertahankan kekuasaannya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan pemilihan umum dalam sistem demokrasi?
2. Bagaimana syarat pemilihan umum demokratis?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui kedudukan pemilihan umum dalam sistem demokrasi
2. Untuk mengetahui syarat pemilihan umum demokratis

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kedudukan Pemilihan Umum dalam Sistem Demokrasi


Sebuah negara berbentuk republik memiliki sistem pemerintahan yang
tidak pernah lepas dari pengawasan rakyatnya. Demokrasi adalah sebuah
bentuk pemerintahan yang terbentuk karena kemauan rakyat dan bertujuan
untuk memenuhi kepentingan rakyat itu sendiri.
Pemilihan umum diikuti oleh partai-partai politik. Partai-partai politik
mewakili kepentingan spesifik warganegara. Kepentingan-kepentingan seperti
nilai-nilai agama, keadilan, kesejahteraan, nasionalisme, antikorupsi, dan
sejenisnya kerap dibawakan partai politik tatkala mereka berkampanye. Sebab
itu, sistem pemilihan umum yang baik adalah sistem yang mampu
mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang berbeda di tingkat masyarakat,
agar terwakili dalam proses pembuatan kebijakan negara di parlemen.
Dasar penyelenggaraan pemilu yang ideal bagi suatu negara paling tidak
bertumpu pada 3 (tiga) nilai dasar, yaitu: (1) Negara Hukum; (2) Demokrasi;
dan (3) Nasionalisme.
Dasar demokrasi dalam penyelenggaraan pemilu menurunkan beberapa
prinsip yang dapat dipakai dalam menyelenggarakan pemilu, diantaranya
adalah :
1. Penyelenggaraan pemilu didasarkan pada aturan hukum yang demokratis;
2. Lembaga penyelenggara pemilu yang baik, tidak memihak dan
demokratis;
3. Lembaga pengawas atau pemantau penyelenggaraan pemilu yang
memadai;
4. Partisipasi dan pengawasan rakyat (publik) yang baik atas seluruh
rangkaian kegiatan pemilu;
5. Fungsi kontrol media massa yang baik terhadap seluruh proses
penyelenggaraan pemilu;

5
6. Hak memilih dan dipilih dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur dan adil.1
Dalam proses demokrasi pada suatu Negara tentu mengedepankan
kepastian hukum terkait proses penyelenggaraan roda pemerintahan, dimana
roda pemerintahan tidak akan berjalan tanpa adanya pegawai negeri sipil yang
bertugas. Kendati demikian dalam Negara dengan corak pemerintahan
demokrasi seperti Indonesia banyak menimbulkan permasalahan klasik dalam
hal proses pemilihan calon pemimpin sebagai kepala Negara dan kepala
pemerintahan di Indonesia. Proses pemilihan umum yang saat ini diatur di
dalam Undang-undang No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum memberi
ruang yang terbuka dan partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya dalam
mengambil hak politiknya sebagai warga Negara seperti yang tertuang di
dalam konstitusi.2
Pelaksanaan demokrasi voting di Indonesia untuk pertama kalinya terjadi
pada tahun 1955, yaitu pemilihan anggota-anggota Dewan Konstituante.
Adapun yang menjadi dasar hukum dalam pelaksanaan demokrasi pada tahun
1955 ini adalah Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS 1950) bukan
Undang-Undang Dasar 1945.

B. Sistem Pemilu Demokrasi di Indonesia

Berikut dapat dilihat perjalanan sistem demokrasi dan


Pemilu di Indonesia dari zaman Orde Lama, zaman Orde Baru dan zaman
Reformasi, sebagai berikut:

1. Sistem Pemilu Orde Lama


Pasca kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Presiden
Soekarno dan Muhammad Hatta berkeinginan menyelenggarakan Pemilu untuk

1
Martha Maharani, Kedudukan Satuan Polisi Praja dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum, Skripsi
Universitas Jember, h. 21-23.
2
Muhammad Rezky Pahlawan MP, Netralitas Pegawai Negeri Sipil pada Pelaksanaan Pemilihan
Umum, Jurnal Surya Kencana Satu : Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan Volume10 Nomor 2,
2019, h. 218-219.

6
memilih Parlemen dan Konstituante pada awal tahun 1946, Namun, Pemilu
tidak dapat dilaksanakan karena masih rendahnya stabilitas keamanan negara
pasca kemerdekaan, di samping itu juga karena belum adanya perangkat
Undang-undang yang mengatur tentang penyelenggaraan Pemilu. Pemilu baru
dapat dilaksanakan pada tahun 1955 sebagai Pemilu pertama yang bertepatan
pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap. dilaksanakan pada tanggal 15
Desember 1955. Adapun landasan hukum Pemilu pertama adalah Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dengan menerapkan asas langsung, bebas,
jujur, kebersamaan, umum dan rahasia. Pada tahun 1955 dilaksanakan dua kali
Pemilu, yaitu pemilihan Parlemen pada tanggal 29 September 1955 dan
pemilihan Konstituante.

2. Sistem Pemilu Orde Baru

Pada tahun 1966 sistem demokrasi di Indonesia mengalami perubahan


dengan berakhirnya Orde Lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno
dengan demokrasi Terpimpin dan lahirnya Orde Baru di bawah kepemimpinan
Presiden Soeharto dengan demokrasi Pancasila. Pada masa Orde Baru ditandai
dengan penempatan negara sebagai aktor tunggal, sebagaimana telah disahkan
secara tegas dengan seluruh birokrasi dan militernya demi kepentingan
pembangunan dan politik. Di sinilah terjadi pergeseran model demokrasi
diganti dengan sistem feodalisme yang bertujuan untuk meyatukan birokrasi
negara dan militer dalam satu komando serta menyingkirkan partai massa yang
dianggap membahayakan stabilitas kekuasaannya. Begitu juga dengan
pelaksanaan Pemilu masa Orde Baru hanya sebagai simbol yang bertujuan
untuk kemenangan peserta tertentu, bahkan telah keluar dari nilai-nilai
demokratis.

3. Sistem Pemilu Masa Reformasi


Awal mula Reformasi ini ditandai dengan peralihan kekuasaan dari
Presiden Soeharto kepada BJ. Habibi pada tanggal 21 Mei 1998, masa

7
Reformasi menjadi babak baru untuk menghidupkan kembali demokrasi yang
telah lama terdominasi oleh sistem politik central. Pada masa Reformasi
demokrasi mulai bersemi dalam sendi kehidupan berbangsa dan bernegara yang
ditandai dengan perombakan sistem hukum Indonesia, termasuk membentuk
Undang-undang Pemilu, partai politik dan kedudukan Parlemen3

Dalam alam reformasi inilah demokrasi pemilu totalitas dilaksanakan,


hal ini ditandai dengan pemilu paripurna pemilhan langsung calon presiden dan
wakil presiden pertama pada tahun 2004, dan telah berkembang pada pemilihan
langsung gubernur dan wakil gubernur pada pemilu tahun 2009. Dan hari ini
pemilihan langsung telah sampai kepada tingkatan lurah atau desa. Ini menandai
demokrasi di Indonesia telah paripurna.4

Pada zaman modern ini pemilu menempati posisi penting karena terkait
dengan beberapa hal, yaitu:

1. Pemilu menjadi mekanisme terpenting bagi keberlangsungan demokrasi


perwakilan. Ia adalah mekanisme tercanggih yang ditemukan agar rakyat
tetap berkuasa atas dirinya. Perkembangan masyarakat yang pesat, jumlah
yang banyak, persebaran meluas dan aktivitas yang dilakukan semakin
beragam menjadikan kompleksitas persoalan yang dihadapi rakyat
semakin variatif. Kondisi tersebut tidak memungkinkan rakyat untuk
berkumpul dalam satu tempat dan mendiskusikan masalah-masalah yang
mereka hadapi secara serius dan tuntas. Akhirnya muncul demokrasi
perwakilan sebagai keniscayaan dengan pemilu sebagai mekanisme untuk
memilih wakilnya.
2. Pemilu menjadi indikator negara demokrasi. Bahkan, tidak ada satupun
negara yang mengklaim dirinya demokratis tanpa melaksanakan pemilu
sekalipun negara itu pada hakekatnya adalah otoriter. Ketika perspektif

3
Evi Noviawati, “Perkembangan Politik Hukum Pemilihan Umum Di Indonesia”, 7, No. 1 (2019):
76-77, https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/galuhjustisi/article/view/2139
4
Muhammad Hanafi, Kedudukan Musyawarah dan Demokrasi di Indonesia, Jurnal Cita Hukum
Vol. I No. 2, 2013, h. 239-240.

8
Schumpetarian tentang demokrasi, yaitu demokrasi sebagai ‘metode
politik’ mendominasi teorisasi demokrasi maka pemilu menjadi elemen
paling penting dari ukuran negara demokrasi. Bahkan, Prezeworski dan
rekan-rekannya mendefinisikan demokrasi sebagai “sekedar rezim yang
menyelenggarakan pemilihan-pemilihan umum untuk mengisi jabatan-
jabatan pemerintahan” (dengan ketentuan bahwa persaingan yang
sebenarnya mensyaratkan adanya oposisi yang memiliki kesempatan
memenangkan jabatan publik, serta bahwa posisi kepala eksekutif dan
kursi legislatif diisi melalui pemilu).1 Sementara itu, Dahl menyebutkan
dua dari enam ciri lembaga-lembaga politik yang dibutuhkan oleh
demokrasi skala besar adalah berkaitan dengan pemilu, yaitu para pejabat
yang dipilih dan pemilu yang bebas, adil, dan berkala.
3. Pemilu penting dibicarakan juga terkait dengan implikasi-implikasi yang
luas dari pemilu. Dalam gelombang ketiga demokratisasi pemilu menjadi
suatu cara untuk memperlemah dan mengakhiri rezim-rezim otoriter. Pada
fase ini Huntington menyebut pemilu sebagai alat serta tujuan
demokratisasi. Pertanyaan tersebut berangkat dari kenyataan tumbangnya
penguasa-penguasa otoriter akibat dari pemilu yang mereka sponsori
sendiri karena mencoba memperbarui legitimasi melalui pemilu. Penguasa
yakin bahwa pemilu akan memperpanjang masa hidup rezim.5

C. Syarat Pemilu Demokrastis

Pemilu merupakan parameter negara demokratis. Meskipun demikian


pemilu tidak secara otomatis menjadi parameter valid untuk mengukur kualitas
demokrasi sebuah negara. Sebab, pemilu tidak jarang menjadi topeng
kekuasaan otoriter. Pada pemerintahan otoriter, penyelenggaraan pemilu lebih
pada ritual daripada untuk mencapai maksud yang sesungguhnya.

5
Sigit Pamungkas, Perihal Pemilu, (Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan dan
Jurusan Ilmu Pemerintahan, 2009), h. 3-4.

9
Agar pemilu dapat menjadi parameter demokrasi maka pemilu harus
memenuhi sejumlah syarat. Berbagai persyaratan pemilu yang demokratis
penting karena menyangkut hakikat pemilu itu sendiri. Pertama, pemilu yang
demokratis akan memperkuat legitimasi dan kredibilitas pemerintahan hasil
pemilu. Sebaliknya, pemilu yang tidak demokratis akan melemahkan legitimasi
dan kredibilitas pemerintah hasil pemilu. Kedua, konflik akibat ketidakpuasan
hasil pemilu dapat ditekan karena pemilu dapat dipertanggungjawabkan secara
baik kepada publik. Terakhir, dalam beberapa kasus dapat meningkatkan
partisipasi politik karena apatisme yang disebabkan oleh kecurangan dalam
pemilu dapat dinetralisir.

Berkaitan dengan parameter pemilu yang demokratis banyak pendapat


yang telah dikemukakan oleh para ahli, dan pendapat Dahl dalam A Preface to
Democratic Theory adalah salah satu yang sering dirujuk. Dahl menyebutkan
kriteria pemilu yang demokratis yang jika diklasifikasikan meliputi kriteria
sebelum pemilihan, selama pemilihan dan setelah pemilihan.

Meskipun demikian, dengan idealitas kriteria tersebut sangat sulit atau


mustahil dapat ditemukan dalam praktek negara demokrasi. Dengan kata lain
tidak akan ada pemilu yang demokratis karena idealitas dari kriteria tersebut.
Misalnya, semua pemilih memilih adalah sebuah kemustahilan sebab ada
pemilih yang secara riil tidak menggunakan hak pilihnya dengan berbagai
alasan. Kriteria Dahl juga terlalu menitikberatkan pada sisi pemilih dengan
mengabaikan penyelenggara dan proses pemilihan. Kriteria lain yang lebih
rasional tentang pemilu yang demokratis adalah dirumuskan oleh Butler et. al.,
yang menyebutkan 7 (tujuh) kriteria. Kriteria itu meliputi:

1. Semua orang dewasa memiliki hak suara


2. Pemilu secara teratur dalam batas waktu yang ditentukan
3. Semua kursi di legislatif adalah subjek yang dipilih dan dikompetisikan
4. Tidak ada kelompok substansial ditolak kesempatannya untuk membentuk
partai dan mengajukan kandidat.

10
5. Administrator pemilu harus bertindak adil tidak ada pengecualian hukum,
tanpa kekerasan, tanpa intimidasi kepada kandidat untuk memperkenalkan
pandangan atau pemilih untuk mendiskusikannya.
6. Pilihan dilakukan dengan bebas dan rahasia, dihitung dan dilaporkan
secara jujur, dan dikonversi menjadi kursi legislatif sebagaimana
ditentukan oleh peraturan.
7. Hasil pilihan disimpan di kantor dan sisanya disimpan sampai hasil
pemilihan diperoleh.

Kriteria Butler et. al., tersebut lebih rasional dan hampir mencakup
semua dimensi pelaksanaan pemilu. Kriteria Butler et al., mencakup dimensi
regularitas waktu pemilu, penyelenggara pemilu, pemilih dan proses
pemilihan. Meskipun demikian, bukan berarti kriteria Butler tanpa kelemahan.
Ada faktor eksternal yang luput dari kriteria Butler et. al., seperti posisi media
massa, yang akan berpengaruh pada pelaksanaan pemilu yang demokratis.

Dalam jangka panjang, pemilu yang demokratis akan


berkesinambungan apabila ada sejumlah kondisi mendukung. Kondisi itu
terutama berkaitan dengan lingkungan politik yang juga tertata secara
demokratis dan terlembaga. Berkaitan dengan hal tersebut Mackenzie
menyebutkan 5 (lima) kondisi agar pemilu yang demokratis dan terlembaga
dapat berkesinambungan, yaitu:

1. Adanya Pengadilan independen yang menginterpretasikan peraturan


pemilu
2. Adanya lembaga administrasi yang jujur, kompeten, dan non-partisan
untuk menjalankan pemilu
3. Adanya pembangunan sistem kepartaian yang cukup terorganisir untuk
meletakkan pemimpin dan kebijakan di antara kebijakan alternatif yang
dipilih.
4. Penerimaan komunitas politik terhadap aturan main tertentu dari struktur
dan pembatasan dalam mencapai kekuasaan.

11
Bagi negara-negara yang sedang membangun demokrasi kondisi
tersebut perlu diciptakan agar tidak kembali pada situasi dimana pemilu hanya
sekedar menjadi seremonial belaka. Tanpa didukung oleh lingkungan politik
yang demokratis dan terlembaga, arus balik pemilu yang tidak demokratis
hanya tinggal menunggu waktu saja.6

6
Sigit Pamungkas, op.cit., h. 14-18.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam sistem demokrasi, pemilihan umum memiliki kedudukan yang
sangat penting. Pemilihan umum merupakan mekanisme yang digunakan untuk
menentukan wakil-wakil rakyat yang akan mewakili kepentingan masyarakat
dalam lembaga legislatif atau eksekutif. Melalui pemilihan umum, rakyat
memiliki hak suara untuk memilih para pemimpin mereka dan memberikan
mandat kepada mereka untuk mengambil keputusan yang terbaik bagi negara
dan masyarakat.
Pemilihan umum juga merupakan sarana untuk mengekspresikan
kehendak rakyat secara demokratis. Dengan adanya pemilihan umum, rakyat
memiliki kesempatan untuk memilih pemimpin yang dianggap memiliki visi,
kompetensi, dan integritas yang diperlukan untuk memimpin negara. Pemilihan
umum juga memberikan kesempatan bagi calon-calon yang berkualitas untuk
bersaing secara adil dan terbuka dalam mendapatkan dukungan rakyat.
Selain itu, pemilihan umum juga berperan dalam menjaga keseimbangan
kekuasaan dalam sistem demokrasi. Dengan adanya pemilihan umum,
kekuasaan tidak hanya terpusat pada satu individu atau kelompok, tetapi
terdistribusi secara merata kepada para wakil rakyat yang dipilih melalui proses
pemilihan umum. Hal ini penting untuk mencegah adanya penyalahgunaan
kekuasaan dan menjaga prinsip checks and balances dalam sistem politik.
Namun, penting untuk diingat bahwa pemilihan umum bukanlah satu-
satunya elemen dalam sistem demokrasi. Demokrasi juga melibatkan partisipasi
aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, kebebasan berpendapat
dan berekspresi, serta perlindungan hak asasi manusia. Oleh karena itu,
pemilihan umum harus diiringi dengan kebebasan berorganisasi, kebebasan
pers, akses informasi yang transparan, dan perlindungan hak-hak minoritas.

13
B. Saran
Demikianlah makalah ini kami susun, kami ucapkan terima kasih kepada
seluruh pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Kami
menyadari bahwasannya dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak
kesalahan dan kekurangan. Maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca agar makalah ini lebih baik.

14
DAFTAR PUSTAKA

Hanafi, M. (2013). Kedudukan Musyawarah dan Demokrasi di Indonesia. Jurnal


Cita Hukum Vol. I No. 2, 227-246.

Maharani, m. (2014). Kedudukan Satuan Polisi Praja dalam Pelaksanaan Pemilihan


Umum. Skripsi Universitas Jember.

MP, M. R. (2019). Netralitas Pegawai Negeri Sipil pada Pelaksanaan Pemilihan


Umum. Junral Surya Kencana Satu: Diinamika Masalah Hukum dan
Keadilan Volume 10 Nomor 2, 214-227.

Pamungkas, S. (2009). Perihal Pemilu. Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu


Pemerintahan dan Jurusan Ilmu Pemerintahan.

15

Anda mungkin juga menyukai