Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PEMBUKAAN

A. Layar Belakang Masalah

Bahwasannya ilmu Ushul Fiqih merupakan ilmu yang sangat dibutuhkan seorang
mujtahid didalam menjelaskan nash-nash dan mengelompokan sebuah hukum yang tidak
terdapat nashnya, juga merupakan ilmu yang sangat diperlukan oleh qadh’I didalam
memahami isi undang-undang secara lengkap, disamping pelaksanaan perundang-
undangan secara adil sesuai dengan maksud syar’i.

Dalam hal ini kami akan membahas sumber hukum islam yang ke-2 yaitu As-
Sunnah, ulama Fiqh memandang As-sunnah secara etimologi berarti jalan, tetapi kalau
kata ini dikaitkan dengan Rasulullah SAW, baik dalam kata ataupun pengertiannya, maka
maksudnya adalah suatu sabda atau perbuatan atau taqrir beliau. Dan perbuatan nabi
tersebut terbagi menjadi dua, yang pertama perbuatan yang biasa dan ada penjelasan, dan
kedua perbuatan nabi yang tidak penjelasannya

Sehingga oleh karena itu kami sebagai pemakalah ini mengambil pembahasan ini
untuk membuka pengetahuan.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ta’assy bi Af’alaihi al Mujarradah

Secara bahasa ta’assy bi af’alaihi al mujarradah adalah mengikuti suatu perbuatan


yang mutlak dari nabi, sedangkan menurut istilah adalah suatu perbuatan nabi yang bersifat
manusiawi dan merupakan kebiasaan pada zamannya yang tidak ada penjelasan secara rinci.1

Adapun pendapat ulama-ulama lainnya mengenai pengertian ta’assy bi af’alaihi al


mujarradah ini dapatlah baca terlebih dahulu agar mempermudah kita dalam memegang
pengertian dari ta’assy bi af’alaihi al mujarradah. Yaitu sebagai berikut :

1. Menurut ‘Atho’ bin Kholil mengetakan, ta’assy bi af’alaihi al mujarradah adalah


suatu kateristik beliau dalam menjalani kehidupan sehari-hari sebagai manusia biasa
yang tidak ada perintah didalamnya untuk mengikutinya.2
1
Totok Jumantoro, dkk., Kamus Ilmu Ushul Fiqh, cet. 2, (Jakarta: Amzah, 2009), Hlm. 313
2
‘Atho’ bin Kholil, Terjemahan Tasiril Wushul Ilah Ushul, (Jakarta: Rumah Fiqh Indonesia, 2010), Hlm. 110

1
2. Menurut Imam Haromain mengatakan, ta’assy bi af’alaihi al mujarradah adalah suatu
perbuatan nabi dalam rangka menyesuaikan diri dengan kebiasaan masyarakat pada di
zamannya, seperti halnya memakai sorban, cincin dan tongkat di usianya yang mulai
tua.3

Jadi dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwasannya ta’assy bi af’alaihi
al mujarradah adalah suatu perbuatan ataupun kateristik pada nabi yang bersifat manusiawi
dan juga sebagai menyusaikan diri dengan kebiasaan masyarakat pada di zamannya.

B. Pendapat Ushul Fiqh

Menurut pandangan jumhur ulama dan juga sebagian ulama yang bermazhab syafi’I
berpendapat mengenai masalah ini, hukumnya mubah dikarenakan didalam kitab ar-risalah,
berpendapat “Apabila Rasulullah SAW melarang sesuatu, maka yang dilarang hukumnya
haram. Tidak ada arti lain dari larangan tersebut selain pengharaman, kecuali larangan
tersebut dimaksudkan untuk makna tertentu, dan apabila nabi mendiamkan suatu masalah
maka bersifat Takhyir (memberikan Pilihan).4 Sehingga mengambil hukum mubah
dikarenakan juga hukum segala sesuatu menurut imam syafi’I adalah Mubah ‫أن األصل فى‬

‫) )األشياء اإلباحة‬.

Namun sebagaian lagi ulama yang bermazhab imam syafi’i, mengenai masalah ini
mereka tawakkuf, dikarenakan walaupun imam syafi’I mengatakan seperti itu, namun
dikhawatirkan niat dari orang yang mau melakukannya, jikalau dengan niat untuk mengikuti
adat dikarenakan faktor pada dirinya itu boleh saja namun ketika niatnya ditujukan untuk
suatu ibadah, hal ini yang dilarang dan dianggap sebagai mengada-ada ibadah dan serta
menjadi bid’ah. Hal dikarenakan ini nabi menjalankan perbuatan tersebut dikarenakan hal
manusiawi dan juga tidak ada terdapat bayan at-Tasri’ (memuncul suatu perintah). 5 Sehingga
tidak penjelasan didalamnya.

Namun ada beberapa ulama mengatakan masalah ini bersifat mandub (sunnah)
dikerenakan apibila kita sudah bersyahadat dan mengesekan allah, kita wajiblah mengikuti
yang nabi, karena sebagai ketaatan kita kepeda Allah Swt, hal ini berdasarkan pada surah An-
Nisa’ (4) : 80

3
Imam Haromain, Kunci Memahami Ushul Fiqh (Terjemahan dari Syarah Waroqot), (Surabaya: Mutiara Ilmu,
2006), Hlm. 47
4
Imam Syafi’i, ar-Risalah; terjemahan, (Jakarta, Pustaka Azzam, 2003), Hlm. 404
5
Imam Haromain, Kunci Memahami Ushul Fiqh (Terjemahan dari Syarah Waroqot), Hlm. 48

2
Dan juga surah Ali Imran (3) : 31

Sedangkan ada yang mengatakan masalah hal ini bersifat haram dikarenakan segala
sesuatu yang berkaitan yang dianggap mengenai masalah ibadah adalah haram (‫ان األصل اإلبدت‬
‫رم‬OO‫ )األتح‬.sehingga mengenai masalah ini tidak adanya bayan at-tasyri’ yang menjelaskan
kehalalannnya atau kebolehannya, oleh karena masalah ini perbuatan nabi yang bersifat
duniawi yang tidak penjelasannya apabila dilakukan dianggap bid’ah dan menjadi haram
untuk dilakukan.6

C. Pendapat Mu’tazilah

Menurut pendapat ulama mu’tazilah mengenai masalah ini, mereka mengatakan


perbuatan ini tidak ada hukum dikarenakan didalam perbuatan tersebut tidak ada perintah
maupun larangan sehingga ummat terserah dalam melakukannya. Hal ini dikarenakan
perbuatan tersebut ini tidak ada penjelasan oleh nabi karena perbuatan tersebut sudah biasa
dilakukan orang pada zamannya (bersifat manusia pada normalnya) dan karena itu dianggap
oleh nabi tidak perlu untuk menjelaskannya.7

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Mengenai masalah ta’assy bi af’alaihi al mujarradah ini, ulama berbeda pendapat


mengenai hukum dari perbuatannya, yaitu ada lima pendapat hukum dari perbuatan tersebut,
yaitu mubah, tawakkuf, mandub, haram, dan perbuatan yang tidak hukumnnya. Namun yang
harus digaris bawahi masalah ta’assy bi af’alaihi al mujarradah ini adalah perbuatan nabi
yang bersifat manusiawi sehingga mengenai hukum bisa saja berbeda pendapat karena itu
mutlak dari manusia.

DAFTAR ISI

‘Atho’ bin Kholil, Terjemahan Tasiril Wushul Ilah Ushul, Jakarta: Rumah Fiqh Indonesia,
2010
6
‘Atho’ bin Kholil, Terjemahan Tasiril Wushul Ilah Ushul, Hlm. 49
7
‘Atho’ bin Kholil, Terjemahan Tasiril Wushul Ilah Ushul, Hlm. 51

3
Imam Haromain, Kunci Memahami Ushul Fiqh (Terjemahan dari Syarah Waroqot),
Surabaya: Mutiara Ilmu, 2006
Imam Syafi’i, ar-Risalah; terjemahan, Jakarta, Pustaka Azzam, 2003
Totok Jumantoro, dkk., Kamus Ilmu Ushul Fiqh, cet. 2, Jakarta: Amzah, 2009

Anda mungkin juga menyukai