Anda di halaman 1dari 7

KITAB “GHIYATH AL-UMAM FI ILTIYATH AL-ZULAM”

(AL JUWAINI/ 419-478 H)

Mata kuliah:

Studi Naskah dan Masail Fiqh Siyasah

Dosen pengampu:

Azmil Umur, M.A

Disusun oleh :

Kelompok 3

Dyta Verdina Rozi (200105078)

Siti Aisyah Nadilla (200105068)

PRODI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR RANIRY BANDA ACEH

2023
1. Biografi Imam Al-Juwaini

Al-Juwaini adalah salah seorang ulama terkemuka pada jamannya yang


hingga saat ini menjadi salah satu sumber inspirasi di dunia keilmuan Islam. Buku-
buku hasil pemikirannya hampir-hampir mencakup semua disiplin keilmuan,
seperti teologi dan politik. Nama lengkapnya adalah Abd al-Malik ibn ‘Abdullah
ibn Yusūf ibn Muhammad ibn Abdullah ibn Hayawiyyah Al-Juwaini al-Naysaburi.
Ia juga dikenal dengan sebutan Imam Haramain Abu Ma’ali karena sejak
kedatangannya ke Hijaz ia diangkat menjadi Imam dua tanah suci, yakni Mekkah
dan Madinah.
Ia dilahirkan pada 18 Muharram, 419 H/1028 M, tetapi tidak ada
kesepakatan dikalangan ulama tentang tempat lahirnya. Namun sebagian ahli
sejarah tidak mempermasalahkan bahwa nama al- Juwaini tidak berarti ia hidup dan
meninggal di Juwain. Ada dua tempat yang disinyalir sebagai tempat lahir ulama
besar ini, yang pertama Busthaniqān, sebuah desa di pinggiran Naisabur, dan yang
kedua adalah Juwain.
Fawqiyyah berpendapat bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa
al- Juwaini lahir di kota Juwain. Bukti yang lebih kuat adalah bahwa ia lahir di
sekitar Naisabur karena bapaknya telah lama menetap di Naisabur waktu ia lahir.
Kemungkinan nama al-Juwaini diberikan kepadanya karena bapaknya juga
dipanggil dengan sebutan al-Juwaini. Hal ini dapat dilihat ketika ia menyebut
dirinya sendiri sebagai “putra Al- Juwaini.”
Al-Juwaini wafat pada tahun 478H/1085M di kota Naisabur. Ringkas kisah
kehidupannya, Al-Juwaini dibesarkan dari lingkungan keluarga dengan bernuansa
islami. Ayahnya adalah seorang ulama muslim pada masanya dan ibundanya
seorang khadam sholehah dan berhati lembut dibeli oleh ayahnya dengan uang yang
halal. Bertempat tinggal di Juwain, berlokasi di Bustam berdekatan dengan Jajaram
dan Baihaq. Suatu ketika Ayah Al Juwaini meninggal Dunia pada tahun 438H. Al
Juwaini dipasrahkan mengajar untuk menggantikan Ayahnya di majelis tersebut.
Kurang lebih berumur 20 tahunan.
Walaupun sudah menjadi guru ia haus akan wawasan pengetahuan.
Meskipun, sempat berhenti dikarenakan ingin terus belajar dan mendalami ilmu
lainya seperti; ilmu fiqih, teologi, ilmu hadis, ilmu Al-Qur’an, ilmu kalam, filsafat,
tasawuf dan masih banyak lagi.
Kadar intelektual Al-Juwaini terkadang membahas permasalahan teologis
yang meresap hingga mendasar, sehingga menimbulkan permasalahan dari
berbagai pihak tertentu. Seperti; kegunaan akal pikiran manusia, Tuhan Sebagai
wujudnya dan lain-lain. Beliau tenar menganut ajaran sunni. Namun secara spesifik
dari anggapan-anggapan yang dilontarkan kebanyakan paham ajaran ahlusunnah
wal jamaah atau bermazhab asy’ariyah. Tetapi ada beberapa ulama berpendapat
paham ajaran mu’tazilah.
Hal yang menonjol dalam pembahasan perilaku manusia dengan paham
aliran jabariyah dan qadariyah, sebab inilah menjadi perdebatan para jauhari dalam
teologisnya.

2. Riwayat Pendidikan Al-Juwaini

Imam Haramain menghabiskan sepuluh tahun untuk mengembara


mengelilingi provinsi Khurasan di negara Iran, ibu kota Baghdad di negara Iraq,
hingga dataran Hijaz. Pada awalnya, Imam Haramain berguru kepada ayahnya,
yaitu Syekh Abdullah bin Yusuf al-Juwaini. Sejak kecil Imam Haramain telah
menunjukkan bakat kecerdasannya dalam ilmu fiqih. Hingga pada tahun 439 H
ayahnya wafat. Semenjak itu, Imam Haramain menggantikan ayahnya mengajar di
kota Naisabur. Saat itu, Imam Haramain menginjak umur 20 tahun. Kemudian
Imam Haramain melanjutkan pendidikan di Madrasah al-Baihaqi di kota Naisabur
dibawah bimbingan Abu Qasim Abdul Jabbar bin Ali bin Muhammad yang
masyhur dengan julukan Al-Iskafi al-Isfiraini (w. 452 H). Dari Syekh al-Iskafi
inilah Imam Haramain mendapatkan kematangan dalam ilmu aqidah dan ilmu
ushul fiqh. Selain itu, Imam Haramain juga berguru kepada Muhammad bin Ali
bin Muhammad al-Muqri' atau yang dikenal juga dengan Abu Abdullah al-Khubazi
(w. 449 H), seorang ulama Al-Qur'an terbesar di kota Naisabur pada zamannya.
Dari Syekh al-Khubazi inilah Imam Haramain mempelajari ilmu Al-Qur'an.
Dilanjutkan dengan berguru kepada Ahmad bin Abdullah bin Ahmad bin Muhran
atau yang lebih dikenal dengan al-Hafidz Abu Nu'aim al-Ashbihani (w. 430 H),
seorang ulama pakar Hadits terbesar di zamannya yang konon selama 14 tahun
tidak ada ulama ahli hadits yang mampu menandingi beliau baik di barat maupun
di timur. Imam Haramain mendapatkan banyak ijazah riwayat Hadits dari al-
Hafidz Abu Nu'aim. Selain berguru kepada ulama-ulama besar tersebut Imam
Haramain juga berguru kepada Abu Hissan Muhammad bin Ahmad al-Muzakki,
Abu Sa'id Abdurrahman bin Hamdan an-Nashrawi, Abu Abdullah Muhammad bin
Ibrahim bin Yahya al-Muzakki, Abu Abdurrahman Muhammad bin Abdul Aziz
an-Nili, Abu Sa'id Abdurrahman bin Hasan bin Aliyyak, dan Abu Hasan Ali bin
Fadhal bin Ali al-Mujasyi'.

3. Latar Belakang Penulisan Kitab Ghiyats al Umam fi Titats ad Dhulam


Ghiyath berarti pertolongan atau bantuan, berasal dari kata kerja a-gha-tha
yang berarti membantu atau menolong. Sebagaimana dinamakan sholat istigāṡah
yang maksudnya adalah sholat untuk meminta pertolongan. Al-umam merupakan
bentuk jama’ dari kata ummah yang berarti umat. Dalam penggunaannya banyak
digunakan sebagai pengganti sekelompok orang,1 dan tidak terikat dengan suatu
zaman serta tempat. Kemudian kata “fī”, merupakan kata yang biasa digunakan
ketika akan menunjukkan suatu tempat atau waktu. Hal ini dalam pembahasan
Bahasa Arab biasa disebut dengan istilah zarf. Sedangkan di sini digunakan
sebagai penunjuk waktu, yang diartikan: “pada keadaan”. 2 Iltiyath merupakan
susunan perubahan ketiga dalam Bahasa Arab, atau biasa disebut dengan masdar.

1
Admin, “Terjemahan dan Arti kata ‫ األمم‬Dalam bahasa indonesia, Kamus istilah bahasa Indonesia
bahasa Arab Halaman,” diakses 28-februari-2023, https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/‫األمم‬.
2
Mazin Al-Khairu & Muhammad Ar-Rasyidi, “Ta’yiin ta’alluqiz zarfi wal jari wal majruri wa
atsaruhu fi tahdidi bu’rin nashshil qur’an,” Majallatu abhatsi kulliyyatit tarbiyati asasiyyah 15, no.
2 (2019).
Kata ini berasal dari kata kerja ta-law-wa-tha yang berarti berlumuran.3 Sedangkan
kata zulam merupakan bentuk jamak dari kata tunggal z}ulmah memiliki arti
kegelapan.4

Kitab Ghiyats al-Umam fi at-Tiyats adz-Dzulam atau dikenal dengan kitab al-
Ghiyatsi. Kitab ini menjelaskan tentang ilmu politik Islam baik dari segi takaran
maupun timbangannya dalam syari’at.
Kita "Ghiyats al-Umam fi at-Tiyats adz-Dzulam" ditulis oleh Al-Juwaini pada
abad ke-11 Masehi. Pada masa itu, dunia Islam sedang mengalami perkembangan
dan perubahan yang signifikan. Kekhalifahan Abbasiyah yang telah berkuasa
selama lebih dari 400 tahun mulai mengalami kemunduran dan kelemahan dalam
pemerintahan.

Sementara itu, di bidang ilmu pengetahuan dan keagamaan, terjadi


perkembangan yang pesat. Karya-karya para ulama seperti Al-Farabi, Ibnu Sina,
dan Al-Ghazali banyak membantu dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
keagamaan pada masa itu.

Al-Juwaini sendiri merupakan seorang ulama besar pada masanya dan


memiliki pengaruh yang besar di dunia Islam. Ia merupakan salah satu tokoh yang
memperjuangkan keberadaan ilmu fiqh dan mengembangkannya dalam berbagai
karya tulisnya.

Buku "Ghiyats al-Umam fi at-Tiyats adz-Dzulam" sendiri merupakan salah


satu karya Al-Juwaini yang menjadi rujukan penting dalam ilmu fiqh. Buku ini

3
Admin, “Terjemahan dan Arti kata ‫ تلوث‬Dalam bahasa indonesia, Kamus istilah bahasa Indonesia
bahasa Arab Halaman,” \ diakses 28-februari-2023, https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/‫تلوث‬.
4
Admin, “Terjemahan dan Arti kata ‫ ظلم‬Dalam bahasa indonesia, Kamus istilah bahasa Indonesia
bahasa Arab Halaman,” diakses 28-februari-2023, https://www.almaany.com/id/dict/ar-
id/‫?ظلم‬/c=Umum
membahas tentang hukum-hukum dalam Islam, baik yang berkaitan dengan ibadah
maupun muamalah.

Dalam konteks sejarah pada masanya, buku ini menjadi penting karena
membantu memperkuat dan mengembangkan ilmu fiqh sebagai salah satu cabang
penting dalam ilmu pengetahuan dan keagamaan Islam. Buku ini juga menjadi
sumber rujukan bagi para ulama dan ahli fiqh pada masa selanjutnya.

Tujuan dari penulisan buku ini adalah untuk memberikan kaum muslimin
petunjuk tentang syariat dalam keadaan apapun. Terutama jika mereka tidak dapat
membedakan antara yang benar dan salah dikarenakan tercampurnya antara
keduanya.5
Buku ini memiliki keutamaan yang lebih dibanding dengan buku-buku
semisalnya. Hal ini karena didalamnya terdapat beberapa hal yang dapat menjadi
bukti keutamaannya. Diantaranya.6
1. Al-Juwayni tidak menukil permasalah-permasalahan dalam buku Giyatsi dari
pendahulunya. Maka, kita dapati sebagian besar permasalahan ini tidak belum ada
pada karya-karya ulama sebelumnya.
2. Menggunakan bahasa diskusi yang banyak menggunakan akal.
3. Menggunakan Sastra Bahasa Arab yang tinggi, yang menjadi bukti akan
kedalaman ilmu al-Juwayni.
4. Menyebutkan pendapat yang berselihan dengannya, kemudian menyanggahnya.
Maka pendapatnya menjadi pendapat yang sangat kuat.
Adapun pengaruh pemikiran al-Juwayni dapat dilihat pada karya para ulama
sepeninggalnya. Karya al-Juwayni yang paling terkenal dalam bidang fikih, yakni
kitab Nihayat al-Matlas, telah banyak digunakan sebagai rujukan utama terutama
dalam mazhab Syafi’i. Menurut Imam al-Nawawi, kitab tersebut adalah salah satu
dari empat kitab rujukan utama fiqh Syafi’i. Kitab Nihayat al-Matlas , telah menjadi

5
al-Khatb, “Qawa’id fi al-Siyasah al-Shar’iyyah ‘ind al-Imam al-Jumayny min Khilal Kitabih
Ghiyath al-Umam fi al-Tiyath al-Zulam.
6
“Ibid”
dasar dari kitab-kitab fikih yang ditulis oleh ulama-ulama besar setelah al-Juwayni,
di antaranya adalah Abu Hamid al-Ghazali, al-Shatibi, al-Amidi dan al-Subki.
Begitu pula dengan kitab ushulnya al-Burhan, yang menurut al-Subki kitab tersebut
menjadi “guru” yang mengajarkan prinsip-prinsip pengembangan ilmu fiqh.7

Tanggapan Anggota Terhadap Al Juwaini


Rahmat alam yuda : pendapat saya terhadap Al Juwaini yaitu beliau sangat
masyhur dalam kalangan pesantren Indonesia terdapat kitab
al-Burhân fî Ushûl al-Fiqh dan al-Waraqât. Kitab al-Burhân
fî Ushûl al-Fiqh diakui sebagai kitab ushul fiqh pertama yang
disusun komprehensif dari kalangan mutakallimin setelah al-
Risâlah li al-Syâfi’i. Al Juwaini juga saya komperensif dalam
memaparkan maqasid dimana maqasid tersebut dihasilkan
dari jalan istiqra’ (berpikir induktif) terhadap nash. Hukum
yang dihasilkan bersifat ta’abbudî dan tidak bisa diubah.
Contoh misalnya shalat 5 waktu dan puasa. Beberapa
kalangan menamainya dengan perkara ‘azîmah – yaitu
perkara yang sudah tidak bisa diganggu gugat.

7
Zakiy al-Din Sha’ban, Ushul Fiqh , (Cairo: al-Maktabah al-Tijariyyah bi Misro, 1938), 16.

Anda mungkin juga menyukai