Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum merupakan petunjuk mengenai tingkah laku dan juga sebagai
perlengkapan masyarakat untuk menciptakan ketertiban. Hukum dapat
dianggap sebagai perangkat kerja sistem sosial yang melakukan tugasnya
dengan menentukan langkah-langkah yang harus dilakukan dalam mengatur
hubungan antarmanusia.
Keadilan harus selalu dilibatkan dalam hubungan satu manusia dengan
manusia lainnya. Sebagai makhluk sosial, interaksi antarmanusia tidak dapat
dimungkiri lagi. Dalam kehidupan bermasyarakat seseorang dapat menjadi
pemangsa bagi orang lain sehingga masyarakat dengan sistem sosial tertentu
harus memberikan aturan pada para anggotanya yang mengatur tentang
hubungan antarsesama. Menurut Herbert Spencer, setiap orang bebas untuk
menentukan apa yang akan dilakukannya, asal ia tidak melanggar kebebasan
yang sama dari lain orang.
Hukuman adalah sebuah cara untuk menjadikan seorang yang melakukan
pelanggaran berhenti dan tidak lagi mengulanginya. Selain itu juga menjadi
pelajaran kepada orang lain untuk tidak mencoba-coba melakukan
pelanggaran itu. Setiap peradaban pasti memiliki bentuk hukum dan jenis
hukuman tersendiri. Dan masing-masing bisa berjalan sesuai dengan apa yang
telah digariskan.
Salah satu bentuk hukuman yang diperintahkan oleh Allah yang harus
dilaksanakan oleh ummat Islam adalah Hukum qishash. Hukum ini pada
esensinya memberi hak kepada orang yang dirugikan untuk membalas kepada
yang merugikannya dengan kadar yang seimbang atau setara.
Kata qishash dapat berarti pembalasan, pembunuhan dibalas pembunuhan,
melukai dibalas dengan melukai, pemenggalan dibalas pemenggalan.

1
B. Rumusan Masalah

1. Dengan Apakah di tetapkannya Qisas?

2. Kapan Pelaksanaan Qishas?

3. Dengan Alat Apa Qishas itu ?

C. Tujuan
1. Menjelaskan bagaimana ditetapkannya qisas.
2. Menjelaskan kapan pelaksanaan qisas.
3. Mendeskripsikan alat apa qisas itu

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Syarat Ditetapkannya Qishas


1. Jinyat (kejahatan) nya termasuk yang disengaja. Ini merupakan ijm para
Ulama sebagaimana dinyatakan Ibnu Qudmah rahimahullah : Para Ulama
berijm` bahwa qishsh tidak wajib kecuali pada pembunuhan yang disengaja
dan kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara mereka
dalam kewajiban qishsh karena pembunuhan dengan sengaja, apabila
terpenuhi syarat-syaratnya.
2. Korban termasuk orang yang dilindungi darahnya (Ishmat al-Maqtl) dan
bukan orang yang dihalalkan darahnya, seperti orang kafir harbi dan pezina
yang telah menikah. Hal ini karena qishsh disyariatkan untuk menjaga dan
melindungi jiwa.
3. Pembunuh atau pelaku kejahatan seorang yang mukallaf yaitu berakal dan
baligh. Ibnu Qudmah rahimahullah menyatakan: Tidak ada perbedaan
pendapat di antara para Ulama bahwa tidak ada qishsh terhadap anak kecil
dan orang gila. Demikian juga orang yang hilang akal dengan sebab udzur,
seperti tidur dan pingsan.
4. At-takfu (kesetaraan) antara korban dan pembunuhnya ketika terjadi
tindak kejahatan dalam sisi agama, merdeka dan budak. Sehingga tidak
diqishsh seorang Muslim karena membunuh orang kafir; dengan dasar sabda
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam :

Tidaklah dibunuh (qishsh) seorang Muslim dengan sebab membunuh orang
kafir.
5. Tidak ada hubungan keturunan (melahirkan) dengan ketentuan korban yang
dibunuh adalah anak pembunuh atau cucunya, dengan dasar sabda Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam :

3
Orang tua tidak diqishsh dengan sebab (membunuh) anaknya.
Sedangkan anak bila membunuh orang tuanya tetap terkena keumuman
kewajiban qishsh.

B. Pelaksanaan Qishas
Apabila terpenuhi syarat-syarat kewajiban qishsh seluruhnya, maka masih
perlu dipenuhi lagi syarat-syarat pelaksanaannya. Syarat-syarat tersebut
adalah:
1. Semua wali (keluarga) korban yang berhak menuntut qishsh adalah
mukallaf. Apabila yang berhak menuntut qishsh atau sebagiannya adalah
anak kecil atau gila, maka tidak bisa diwakilkan oleh walinya; sebab dalam
qishsh ada tujuan memuaskan dan pembalasan sehingga wajib menunggu
pelaksanaannya dengan memenjarakan pelaku pembunuhan hingga anak kecil
tersebut menjadi baligh atau orang gila tersebut sadar. Hal ini dilakukan
Muwiyah bin Abi Sufynz yang memenjarakan Hudbah bin Khasyram
dalam qishsh hingga anak korban menjadi baligh. Hal ini dilakukan di zaman
para Sahabat dan tidak ada yang mengingkarinya sehingga seakan-akan
menjadi ijm di masa beliau. Apabila anak kecil atau orang gila
membutuhkan nafkah dari para walinya, maka wali orang gila saja yang boleh
memberi pengampunan qishaash dengan meminta diyaat, karena orang gila
tidak jelas kapan sembuhnya berbeda dengan anak kecil.
2. Kesepakatan para wali korban terbunuh dan yang terlibat dalam qishsh
dalam pelaksanaannya. Apabila sebagian mereka walaupun seorang
memaafkan dari qishsh maka gugurlah qishsh tersebut.
3. Dalam pelaksanaannya tidak melampaui batas kepada selain pelaku
pembunuhan, dengan dasar firman Allah Azza wa Jalla :





Dan Barangsiapa dibunuh secara zhalim, Maka Sesungguhnya Kami telah
memberi kekuasaan kepada ahli warisnya. Tetapi janganlah ahli waris itu
melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang
mendapat pertolongan.

4
Apabila qishsh menyebabkan sikap melampaui batas maka dilarang
sebagaimana dijelaskan dalam ayat di atas. Dengan demikian, apabila wanita
hamil akan diqishsh maka tidak bisa sampai diqishsh hingga melahirkan
anaknya, karena membunuh wanita tersebut dalam keadaan hamil akan
menyebabkan kematian pada janinnya. Padahal janin tersebut belum berdosa,
Allah Azza wa Jalla berfirman:

Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.

C. Alat Yang Dipakai Pada Saat Terjadinya Qishas


Imam Syafi'i dan Imam Malik berpendapat bahwa alat yang dipakai untuk
membunuh juga dipakai untuk mengqishash. Mereka berpegang pada hadits
Nabi Muhammad SAW :
.D

.
Bahwasanya seorang Yahudi memukul kepala seorang perempuan dengan
batu. Maka Nabi Muhammad memukul Yahudi itu dengan batu pula. Atau dia
mengatakan antara dua batu.

Para pengikut Imam Malik berselisih pendapat tentang orang yang


membakar orang lain, apakah dia harus dibalas dengan dibakar, meski mereka
pun sepakat dengan Imam Malik dalam hal meniru bentuk cara pembunuhan.
Begitu pula tentang orang yang membunuh orang lain dengan panah.
Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa dengan alat apapun yang
digunakan untuk membunuh, maka qisasnya hanya dengan pedang saja, sabda
Nabi Muhammad SAW :

Tidak ada qisas kecuali dengan menggunakan besi.

5
D. Tempat dilakukannya Qishas

Mayoritas Muslim tentu pernah mendengar sekaligus memahami istilah Qisas.


Qisas adalah prinsip hukum yang mensyaratkan pembalasan setara. Contohnya,
dalam kasus pembunuhan, jika seseorang membunuh korbannya hingga mati
maka si pelaku harus dihukum mati pula.

Qisas diterapkan oleh negara-negara yang memberlakukan syariat Islam. Salah


satunya adalah Arab Saudi. Di Arab Saudi bahkan ada satu tempat khusus yang
memang disediakan untuk pelaksanaan Qisas atau eksekusi mati dengan cara
memenggal kepala.

Adalah Masjid Qisas. Masjid ini terletak di Balad Jeddah, berhadapan langsung
dengan Departemen Luar Negeri Kerajaan Arab Saudi. Lokasinya tepat di antara
Jalan Bagdadiyah, Jalan Syeikh Al Juffali dan Jalan Madinah.

Meski digunakan sebagai tempat Qisas, tempat ini sama sekali tak terkesan
menyeramkan. Tak jauh berbeda dengan masjid kebanyakan, pelataran parkir
masjid ini bahkan kerap digunakan anak-anak sebagai arena bermain.

Dahulu tempat ini bernama Masjid Syeikh Ibrahim Al-Juffali. Konon, nama
tersebut diambil dari nama Syeikh Ibrahim, seorang warga Jeddah kaya raya yang
membangun masjid itu.

Meski secara umum tak menyeramkan, ada satu sudut masjid yang menjadi lokasi
eksekusi mati atau hukuman pancung. Posisinya persis di samping masjid.
Luasnya tak seberapa bahkan terbilang kecil kurang lebih 25 meter persegi dan
berlantai keramik.

Kabarnya, eksekusi mati di tempat tersebut biasanya dilakukan secara terbuka


setelah salat Jumat. Warga sekitar bisa menyaksikan langsung seorang terpidana
dipenggal hingga mati dengan leher terpisah dari tubuh.

6
Begitu kepala terpenggal, lantai di sana akan langsung disiram dan dibersihkan.
Dalam sekejap tempat tersebut kembali bersih seperti tak terjadi apa-apa. Jenazah
langsung dibersihkan dan disalatkan di Masjid Qisas sebelum akhirnya
dimakamkan.

7
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kita sadari bahwa memang hukum pidana (Hukum Fiqh Jinayah) tapi sudah
selayaknya kita sebagai muslim mengikuti ajaran Islam sebagaimana yang telah
diaturnya. Seberapa sulitnya, kita harus menjalani dengan lapang dan ikhlas. Saya
sendiri pun tidak tahu bagaimana caranya yang jelas kita akan belajar bersama-
sama tentang hokum Islam ini. Sekalipun oleh pihak yang dirugikan dimaafkan,
ternyata masih diberi hukuman oleh Allah SWT di akhir nanti entah memang
masih didunia atau diakhirat kelak.

8
DAFTAR PUSTAKA

http://syamsiaaah.blogspot.co.id/2015/07/makalah-fiqh-qishash.htmlProf.

https://almanhaj.or.id/3121-qishash.html

https://news.detik.com/berita/1663544/mengintip-hukum-qisas-di-arab-saudi

https://www.dream.co.id/jejak/inilah-tempat-pelaksanaan-hukum-pancung-di-
arab-saudi-150930d.html

Anda mungkin juga menyukai