Sebagaimana diketahui bahwa diantara syarat-syarat pusaka mempusakai antar orang yang
mewarisi dengan orang yang mewariskan ialah hidupnya si waris di saat kematian si
muwaris, baik mati haqiqy, hukmi mauoun tqdiry.
a. Pusaka mereka.
Jika terjadi suatu malapetaka yang membawa korban bersama antara waris dan
muwaris, mislanya keduanya tenggelam bersama dalam lautan akibat tenggelamnya
kapal yang ditunpangi bersama, atau mati bersama dalam sebuah rumah yang
terbakar, atau mati bersama dalam peperangan, makakeduanya diperselisihkan hak
pusakanya oleh para fuqaha´dalam dua pendapat.
I. Mereka berdua tidak dapat saling mempusakai satu sama lain.
Yang dapat mempusakai adalah para ahli waris mereka yang masih hidup saja.
Kebanyakan para fuqaha’ dam imam-imammadzab, seperti Imam Abu Hanifah,
Imam Malik dan Imam Asy-Syafi’iy berpendepat demikian.
Kitab Undang-Undang Hukum Warisan Mesir tahun 1943. Mengambil oper
pendapat tersebut dan dicantumkan dalam pasal: 3 dalam Undang-Undang hukum
Warisan sebagi berikut:
“apabila kedua orang mati dan tidak diketahui siapakah diantara keduanya
yang mati dukuan, maka tidak ada hak bagi salah seorang dari keduanya
terhadap harta peningglan yang lain, bak kematian keduanya dalam satu
peristiwa yang sama maupun tidak”
a. Atsar yang diriwayatkan oleh Kharijah bin Zaid bin Tsabit dan ayahnya yang
megatakan :
“Abu Bakar ash-Shiddiq r.a telah memerintahkan kepadaku untuk membagikan harta
pusaka para korban perang Yamamah+). Kemudian aku membagikan harta pusaka
kepada keluarga-keluarga si korban yang masih hidup dan aku tidak membagikan
harta pusaka kepada ornag korban itu sendiri satu sama lain. Dan aku dperintah juga
oleh ‘umar r.a untuk membagikan harta pusaka para korban penyakt tha’un ‘anwas
(wabah besar) dimana pada saat itu qobilah pada mati karenanya. Kemidian aku
membagikan pusaka kepada keluarga-keluarga si korban yang masih hidup, dan aku
tidak membagikan harta pusaka kepada para korban itu sendiri satu sama lain, ++).
b. Sebab-sebab untuk meng-hak-i harta pusaka bagi satu pihak dari pihak yang lain
adalah belum diketahui secara yakin. Padahal hak untuk memiliki itu harus dibina di
atas sebab yang meyakinkan tidak dapat digunakan untuk menetapkan adanya hak
memilki, sebab tetapnya hak memiliki tidak dapat terwujud lantaran, syak.
c. Tidak diketahuinya atau tidak adajalan untuk mengetahuinya siapakah diantara
keduanya yang mati duluan dan siapa yang mati terakhir, hendaklah dianggap bahwa
keduanya meninggal berbarengan.
II. Mereka berdua saling dapat pusaka mempunyai satu sama lain terhadap
harta benda yang ada pada mereka, bukan harta benda yang mereka warisi dari
salah satu pihak. Pendapat ini di sponsori oleh ‘Ali nin abi Thalib r.a yang
kemudian diikuti oleh as-Syuraih dan as-Sya’by.
Imam Ahmad bin Hanbal , Iyas, ‘Atha’, al-Ahsan, dan Ibnu Abi Laila sependapat
dengan pendapat Ali bin Abi Thalib r.a dengan syarat selama tidak terjadi daku-
mendaku antara ahli waris mereka masing-masing tentang terakhirnya kematian
muwaris mereka. Tetapi kalau para ahli waris tersebut saling mendaku tentang
kematian muwarisnya tanpa bukti atau dengan bukti, tetapi saling ditolak ole
masing-masing pihak, maka dalam keadaan ini beliau sependapat dengan pendapt
mazda pertama yang bersumber dari Zaid bin Abi Tsabit r.a +).
b. Contoh-contoh penyelesaiannya, menurut mazdab.
1. Seorang suami istrimati berbarengan dengan meningalkan uang masing-
masing Rp. 40.000,- dan meningglakn ahli waris masing-masing seorang anak
laki-laki
Menurut mazdab pertama , Zaid bin Abi Tsabit:
1. Anak laki-laki dari suami menerima Rp. 40.000,- secara ‘Ushubah, dan
2. Anak laki-laki dari isteri mnerima Rp. 40.000,- secara ‘ushubah juga.
Sedang suami tidak dapat mewarisi harta peninggalan si isteri dan istri
juga tidak dapat mewarisi harta peninggalan suami.
2. Dua ornag saudara kakak beradik tenggelam bersama dalam dua buah kapal.
Masing-masing meninggalkna uang Rp. 90.000,- dan meninggalkna ahli waris
dari masing –masing terdiri dari Ibu, Anak Perempuan dan Tuan yang pernah
membebaskan dari perbudakan (maula).
¿
3. Maula : Ubw.**) 6 – 4 =2 : 2X Rp .90.000 ,− 6 =¿ ¿ Rp. 30.000,-
Menurut mazdab kedua: (‘Ali dan Ibnu Mas’ud dalam salah satu riwayat)
Ahli waris : fardh dari a.m. 6 dari peninggalan sjl. Rp. 90.000,-
Sahamnya: penerimaanya:
¿
1. Ibu :1/6 : 1/6 X 6 = 1 : 1X Rp .90.000 ,− 6 =¿ ¿ Rp. 15.000,-
¿
2. anak prp : 1/2 : 1/2X 6 = 3 : 3X Rp .90.000 ,− 6 =¿ ¿ Rp. 45.000,-
¿
3. Adik lk-lk : Ubn,:6 - 4 = 2 : 2X Rp .90.000 ,− 6 =¿ ¿ Rp 30.000,-
Ahli waris : fardh dari a.m. 6 dari peninggalan sjl. Rp. 90.000,-
Sahamnya: penerimaanya:
¿
1. Ibu :1/6 : 1/6 X 6 = 1 : 1X Rp .90.000 ,− 6 =¿ ¿ Rp.
15.000,-
¿
2. anak prp : 1/2 : 1/2X 6 = 3 : 3X Rp .90.000 ,− 6 =¿ ¿ Rp.
45.000,-
¿
3. Kakak lk-lk : Ubn,:6 - 4 = 2 : 2X Rp .90.000 ,− 6 =¿ ¿ Rp
30.000,-
4. Maula : - ‘ashabah sababiyah (wala’) diakhirkan dari pada
‘ashabah nasabiyah
Oleh karena kenyataanya kedua saudara tersebut sudah sama meninggal dunia,
jadi masing-masing saudara tersebut masih mempunyai sisa harta peninggalan
sebanyak Rp. 30.000,- hasil dari saling pusaka mempusakai kedua belah pihak.
Sisa ini kemudian dipusakakan kepad ahli waris mereka masing-masing,
sebagai berikut:
Dengan demikian ketentuan yang terdapat dalam fasal 832 KUHS ini
adalah sesuai dengan pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafi’iy dan Kitab Undang-Undang Hukum Warisan Mesir.