Anda di halaman 1dari 12

PENDEKATAN SOSIO HISTORIS

TENTANG KAJIAN FIKIH ISLAM

A. Latar Belakang
Hukum-hukum fiqih tumbuh bersamaaan dengan tumbuhnya agama
Islam karena agama Islam merupakan perpaduan dari aqidah, ahklak, dan
hukum amaliyah. Hukumamaliyah ini pada masa Rasulullah SAW ialah
hukum-hukum yang bersumber dari Al-qur’an, dari Rasulullah SAW
(Hadits) sebagai suatu fatwa atau suatu keputusan guna menindak lanjuti
setiap persengketaan atau suatu jawaban dari pertannyaan yang timbul di
kalangan umat Islam. Kompilasi hukum fiqih pada periode pertama
terbentuk dari hukum-hukum Allah dan Rasulullah yang bersumber dari Al-
qur’an dan As-sunnah. Pada masa sahabat timbul berbagai masalah yang
tidak muncul semasa Rasulullah masih hidup sehingga para sahabat yang
menjadi mujtahid (memenuhi syarat) melakukan ijtihad untuk dapat
meluruskan dan memberi jawaban terhadap berbagai masalah tersebut serta
berfatwa dan menetapkan hukum Syari’at dan menambah hukum yang
berasal dari ijtihad yang mereka lakukan dan berdasarkan pada hukum
pertama sebagai acuan guna menetapkan dan menambah hukum yang baru,
termasuk didalamnya hukum fiqih seperti mu’amalah, as- sakhsyiah dll.
Maksud dan tujuan pembuatan makalah ini, adalah selain sebagai
salah satu tugas penunjang Mata Kuliah Metode Study Islam, penulis juga
memiliki keinginan adanya tukar pendapat dengan beberapa referensi
sehingga semua mahasiswa bisa memiliki kepahaman mengenai judul yang
menjadi topik penulisan kami.

B. Pembahasan
1. Sejarah Pemikiran, Perkembangan Terminologi Fiqih
Fiqih lahir bersamaan dengan lahirnya agama Islam, sebab
agama Islam adalah agama yang berisi kumpulan peraturan yang
mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia

1
2

dengan sesamanya. Karena luasnya aspek yang diatur oleh Islam, para
ahli membagi ajaran Islam ke dalam beberapa bidang seperti akidah,
ibadah dan muamalah. Semua ini di masa Rasulullah diterangkan di
dalam Al-Qur’an dan diperjelas di dalam Sunnahnya. Hukum yang
ditetapkan dalam Al-Qur’an atau Sunnah kadang-kadang dalam bentuk
jawaban dari suatu pertanyaan atau disebabkan terjadinya sesuatu kasus
atau merupakan keputusan yang dikeluarkan Rasulullah ketika
memutuskan sesuatu perkara. Jadi sumber Fiqih dimasa itu hanya dua
adalah Al-Qur’an dan Sunnah (Karim, 2006: 29).
Istilah fiqih itu sendiri sebenarnya muncul setelah masa
Rasulullah seperti yang ditulis Syafi’i Karim (2006: 30-35) bahwa pada
abad kedua dan ketiga hijriah atau di masa paratabi’in, tabi’ut tabi’in,
dan imam mazhab, dimana daerah kekuasaan Islam semakin meluas
bahkan sampai daerah bukan Arab sekalipun, hal inilah yang
menimbulkan banyaknya berbagai kasus yang belum pernah terjadi
sebelumnya di masa Rasulullah.
Karena kasus baru inilah yang memaksa para mukalaf
melakukan ijtihad, dan di masa ini pula dimulai gerakan pembukuan
sunnah, fiqih, dan ilmu pengetahuan lainnya. Dalam mencatat fiqih
disamping mencatat pendapat juga ditambah dengan dalil pendapat baik
Al-Qur’an dan Sunnah atau dari sumber lainnya. Jadi sumber fiqih di
masa itu selain Al-Qur’an dan Sunnah ditambah lagi
dengan ijtihad, qiyas, dll. Kemudian, orang yang berkecimpung dalam
ilmu fiqih dinamakan “fuqaha” dan ilmu pengetahuan mereka
dinamakan “fiqih”.Sesuai dengan perkembangan zaman maka, maka
para ahli fiqih dalam memberikan definisi terhadap fiqih juga berubah,
diantaranya sebagai berikut:
a) Definisi fiqih pada Abad I (pada masa sahabat)
Definisi fiqih di masa ini adalah ilmu pengetahuan yang
tidak mudah diketahui oleh masyarakat umum. Sebab untuk
mengetahui fiqih atau ilmu fiqih hanya dapat diketahui oleh orang
3

yang mempunyai ilmu agama yang mendalam sehingga mereka


dapat membahas dengan meneliti buku-buku besar dalam masalah
fiqih. Mereka inilah yang disebut Liyatafaqqahufiddin yaitu untuk
mereka yang bertafaqquh dalam agama Islam.
Siapa yang dikehendaki Allah, mereka akan memperoleh
pengetahuan (fiqih) secara mendalam, yaitu semasa belum lahirnya
mazhab, tapi fiqih waktu itu dalam tangan sahabat dan tabi’in,
karena orang pada waktu itu belum berpegang kepada suatu
mazhab dari seseorang mujtahid. Sabda Nabi SAW. Yang
berbunyi:

ِ ‫َم ْن يُ ِر ِدهللاُ ِب ِه َخي ًْرا يُفَ ِق ْههُ فِى‬


‫ ( رواه البخارى و مسلم‬.‫الدي ِْن‬
)
“Barang siapa yang dikehendaki Allah akan diberikan kebaikan
dan keutamaan niscaya diberikan kepadanya faham yang
mendalam dalam agama”. (HR. Bukhari dan Muslim)

b) Definisi Fiqih pada Abad II (masa telah lahirnya mazhab-


mazhab)
Di Abad ke-2 telah lahir para pemuka mujtahid yang
mendirikan berbagai mazhab yang terbesar di kalangan umat Islam.
Pengertian fiqih waktu itu diperkecil scopnya, yaitu untuk
membahas suatu cabang ilmu pengetahuan di bidang ilmu agama.
Jadi lafaz fiqih hanya khusus untuk nama dari hukum yang dipetik
dari Kitabullah dan Sunnatur Rasul.Dibawah ini ada beberapa
definisi fiqih yang diutarakan oleh Abu Hanifah seorang ahli
agama dan mujtahid besar dan tertua di akhir masa sahabat dan
juga definisi fiqih dari pengikut Imam Syafi’i.
1) Abu Hanifah menyatakan:
ِ ‫ِع ْل ٌم يُبَ ِي ُن ْال ُحقُ ْو قَ َو ْال َوا ِجبَا‬
‫ت‬
“Ilmu yang menerangkan segala hak dan kewajiban”.
4

Maksud dari definisi di atas fikih adalah suatu pengetahuan


yang menerangkan segala yang diwajibkan, disunahkan,
dimakruhkan dan dibolehkan dalam ajaran Islam.
2) Pengikut Imam Syafi’i mengatakan:
‫ش ْر ِعيَّةَالَّ ِتئ تَت َ َعلَّ ُق ِبأ َ ْف َعا ِل‬ َّ ‫ام ال‬ َ ‫ا َ ْل ِع ْل ُم الَّ ِذ ئ يُ َب ِي ُن ْاْل َ ْح َك‬
ِ ‫ط ِم ْن ا َ ِد لَّتِ َهاالت َّ ْف‬
‫ص ْي ِليَّ ِة‬ ُ َ‫ْال ُم َكلَّ ِفينَ ْال ُم ْست َ ْنب‬
“Ilmu yang menerangkan segala hukum agama yang
berhubungan dengan perbuatan para mukallaf yang digali
(diistinbat) dari dalil-dalil yang jelas (tafshily)”.

Dari definisi-definisi di atas maka dapat ditarik kesimpulan


bahwa pengertian dari fiqih secara bahasa dan istilah adalah
sebagai berikut:
Fiqih secara bahasa berasal dari Bahasa Arab terdiri dari

kata faqiha-yafqahu-fiqhan ( ‫ فِ ْق ًها‬- ُ‫ يَ ْفقَه‬- َ‫ ) فَ ِقه‬yang berarti

“mengerti atau faham” (Karim, 2006: 1). Fiqih secara istilah


adalah ilmu yang mempelajari tentang syari’at atau hukum Islam
dan berbagai macam aturan hidup bagi manusia, baik yang bersifat
individu maupun yang berbentuk masyarakat sosial (Karim, 2006:
18).

2. Kedudukan dan Fungsi Fiqih dalam Islam


Fiqih menempati posisi yang amat penting dalam pemikiran
Islam, sebab fiqih merupakan hasil murni para intelektual muslim,
bukan hasil adopsi apalagi jiplakan dari hukum Romawi seperti yang
dikatakan sebagian Orientalis tetapi sepenuhnya bahwa berakar pada
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Karena sangat penting dan
menonjolnya kedudukan fiqih dalam Islam, maka tidak heran jika ada
yang mengatakan “andaikan saja peradapan Islam bisa diungkapkan
dengan salah satu produknya, maka kita akan mengatakan dan
menamakannya sebagai “peradapan Fiqih” sebagaimana Yunani
identik dengan “peradapan Filsafat” sebab filsafat merupakan hasil
5

pemikiran orang Yunani. Bagi umat Islam, fiqih adalah perwujudan


kehendak Allah terhadap manusia yang berisi tentang perintah dan
larangan, oleh sebab itu banyak peneliti islam yang berkesimpulan
bahwa tidak mungkin memahami Islam dengan baik dan sempurna
tanpa pengetahuan komperhensif tentang fiqih (Amhari, 2014).
Hal ini pun sama dengan apa yang diungkapkan oleh Moh.
Faizin (2014) bahwa Bagi ummat Islam, fiqih merupakan
perwujudan (embodiement) kehendak Allah terhadap manusia yang
berisi perintah dan larangan. Oleh sebab itu, pelaksanaan hukum-
hukum fiqhiyyah dianggap sebagai bentuk ketundukan kepada Allah; ia
adalah manifestasi eksoterik keimanan. Fiqih bukan hanya mengatur
hal-hal yang berhubungan dengan ritual semata, tapi juga seluruh aspek
kehidupan manusia dari mulai hubungan pribadinya dengan dirinya
sendiri, dengan Tuhannya, keluarganya, lingkungan masyarakatnya
serta dengan orang yang diluar agama dan negaranya.
Para ulama’ mendefiniskan fiqih sebagai “pengetahuan tentang
hukum syara‘ praktis beserta dengan dalil-dalilnya yang terperinci
berkenaan dengan perbuatan manusia”. Definisi ini menunjukkan
bahwa yang menjadi objek kajian fiqih adalah perbuatan manusia,
mengenai haram atau halal, wajib atau mubah, dan sebagainya.
Kehadiran hukum seperti ini mutlak diperlukan oleh manusia. Karena ia
dapat menjamin dan melindungi masyarakat dari keonaran dan
kekacauan. Sebab manusia pada dasarnya, kata Ibn Khaldun, adalah
“domenieering being” yang punya ambisi dan kecenderungan untuk
menguasai dan menakhlukkan orang lain serta memaksa mereka tunduk
dan patuh kepadanya. Bila sifat ini tidak dikekang maka ia akan
mencetuskan konflik dan peperangan.
Dalam Islam fiqih mempunyai dwi fungsi, pertama sebagai
hukum positif dan kedua sebagai standar moral. Yang dimaksudkan
sebagai hukum positif disini adalah bahwa fiqih berfungsi seperti
hukum-hukum positif lain dalam mengatur kehidupan manusia. Ia
6

mendapatkan legitimasi dari badan judikatif, yaitu mahkamah. Tapi


perlu ditekankan bahwa tidak semua hukum-hukum fiqih mendapat
justifikasi dan legitimasi mahkamah. Masalah hukum mubah, makruh,
bahkan mengenai hukum wajib dan haram pun tidak bisa sepenuhnya
dibawah jurisdiksi mahkamah. Disini fiqih lebih merupakan etika atau
moral. Jadi, disini fiqih memainkan fungsi double, sebagai hukum
positif dan moral. Aspek inilah yang membedakan secara prinsip
konsep hukum Islam dengan konsep hukum di Barat. Dalam Islam
“etika dan agama menyatu dengan aturan-aturan hukum positif.” “the
ideal code of behaviour which is the Shar‘ah has in fact a much wider
scope and purpose than a simple legal system in the Western sense of
them. Jurisprudence … is also a composite science of law and
morality”. Mungkin atas sebab inilah Robert Brunschvig menyebut
hukum Islam dengan “ethico juridical”. Berbeda dengan di Barat di
mana hukum positif tidak mungkin menyatu dengan hukum moralitas,
meskipun keduanya menyentuh lahan pembahasan yang sama. Bagi
mereka “law that is not humanly enacted and recognized, and whose
observance is not ascertainbale by human faculties, is not law.

3. Pendekatan Sosio Historis Dalam Kajian Fikih Islam


Abuddin Nata (2006: 295-297) dalam bukunya tertulis bahwa
fiqih atau Hukum Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang
paling dikenal oleh masyarakat. Hal ini karena fiqih terkait langsung
dengan kehidupan masyarakat. Dari sejak lahir sampai meninggal dunia
manusia selalu berhubungan dengan fiqih. Karena fiqih terlihat sangat
menyatu dengan misi agama Islam, maka kehadirannya adalah untuk
mengatur kehidupan manusia agar tercipta kehidupan yang tertib dan
teratur.
Berdasarkan pada pengamatan terhadap fungsi dari fiqih, maka
muncullah beberapa serangkaian penelitian terhadap pertumbuhan dan
pengembangan fiqih dimana untuk mengetahui seberapa jauh produk-
7

produk hukum Islam tersebut dapat berubah sesuai dengan tuntutan


zaman. Karena itu untuk mengukur sejauh mana fiqih itu tetap aktual
dan mampu menanggapi perkembangan zaman, maka para ahli
melakukan penelitian, diantaranya berikut ini:
Ali Anwar Yusur (2003: 54) dalam tulisannya berpendapat
bahwa kajian Islam secara normatif agaknya masih banyak terbebani
oleh misi keagamaan yang bersifat memihak dan apologis, sehingga
menyebabkan kadar kritis dan empiris terutama dalam menelaah teks-
teks atau naskah-naskah keislaman produk sejarah terdahulu kurang
begitu ditonjolkan. Apabila kajian Islam tersebut dilihat dari sudut
pandang historis, dimana Islam dalam arti yang dipraktikkan oleh umat
manusia serta tumbuh dan berkembang dalam sejarah kehidupan
manusia, maka Islam dapat dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu,
yaitu ilmu keislaman(Islamic Studies)
Peran Islam dalam disiplin ilmu inilah, sehingga Islam itu
sendiri menempati posisi sebagai salah satu objek kajian keilmuan atau
penelitian ilmiah. Dalam mempelajari suatu disiplin ilmu maka
diperlukan yang namanya suatu metode pendekatan untuk memahami
isi dari objek yang dikaji.
Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (dalam Abuddin Nata
2006: 29-28) bahwa ada berbagai pendekatan, meliputi: pendekatan
teologi normatif, antropologis, sosiologis, psikologis, historis,
kebudayaan, dan pendekatan filosofis. Adapun yang dimaksud dengan
pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat
dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami
agama. Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa
agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas
keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai
dengan kerangka paradigmanya. Karena itu, tidak ada persoalan apakah
penelitian agama itu penelitian ilmu sosial, penelitian legalistik atau
penelitian filosofis.
8

Ali Anwar Yusuf (2003: 55-58) bahwa masing-masing


pendekatan tersebut bertujuan untuk meneliti dan mengkaji masalah-
masalah yang spesifik dari berbagai masalah keislaman. Kemudian
ditentukan metode yang akan digunakan sesuai dengan masalah yang
akan dikajinya.
a) Pendekatan Sosiologis
Studi Islam dengan pendekatan sosiologi, dalam pandangan
Atho’ Mudzhar lebih mendekati kajian sosiologi agama klasik dari
pada sosiologi agama modern, dengan alasan studi Islam dalam
perspektif sosiologis mempelajari hubungan timbal balik antara
agama dan masyarakat (Rasyid Ridlo, 297).
Lebih lanjut, Atho Mudzhar menyatakan bahwa studi Islam
dengan pendekatan sosiologi dapat mengambil, setidaknya lima
tema: Pertama, studi mengenai pengaruh agama terhadap
perubahan masyarakat. Kedua, studi tentang pengaruh struktur dan
perubahan masyarakat terhadap pemahaman ajaran agama atau
konsep keagamaan. Ketiga, studi tentang tingkat pengamalan
beragama masyarakat. Keempat, studi pola sosial masyarakat
Muslim. Kelima, studi tentang gerakan masyarakat yang membawa
paham yang dapat melemahkan atau menunjang kehidupan
beragama.
Dengan mengacu pada distingsi gejala studi Islam secara
umum, maka hukum Islam juga dapat dipandang sebagai gejala
budaya dan sebagai gejala sosial. Filsafat dan aturan hukum Islam
adalah gejala budaya, sedangkan interaksi orang Islam dengan
orang lain merupakan gejala sosial.
Secara lebih elaboratif, Atho’ Mudzhar memerinci hukum
Islam pada tiga segmen, yaitu:
1. Penelitian hukum Islam sebagai doktrin asas. Dalam penelitian
ini, sasaran utamanya adalah dasar-dasar konseptual hukum
Islam seperti masalah sumber hukum, konsep maqâsid al-
9

syarî’ah, qawâ’id al-fiqhiyyah, tharîq al-Istinbâth, manhaj


ijtihâd dan lainnya.
2. Penelitian hukum Islam normatif. Dalam penelitian ini sasaran
utamanya adalah hukum Islam sebagai norma atau aturan, baik
yang masih berbentuk nas maupun yang sudah menjadi produk
pikiran manusia. Aturan dalam bentuk nas meliputi ayat-ayat
dan hadits ahkam. Sedangkan aturan yang sudah dipikirkan
manusia antara lain berbentuk fatwa-fatwa ulama dan bentuk-
bentuk aturan lainnya yang mengikat seperti kompilasi hukum
Islam, perjanjian internasional, surat kontrak, kesaksian dan
sebagainya.
3. Penelitian hukum Islam sebagai gejala sosial. Sasaran
utamanya adalah perilaku hukum masyarakat Muslim dan
masalah interaksi antar sesama manusia, baik sesama Muslim
maupun dengan non Muslim. Ini mencakup masalah-masalah
seperti politik perumusan dan penerapan hukum (siyâsah al-
syarî’ah), perilaku penegak hukum, perilaku pemikir hukum
seperti mujtahid, fuqaha, mufti dan anggota badan legislatif,
masalah-masalah administrasi dan organisasi hukum seperti
pengadilan dengan segala graduasinya dan perhimpunan
penegak serta pemikir hukum seperti perhimpunan hakim
agama, perhimpunan studi peminat hukum Islam, organisasi-
organisasi keagamaan dan lembaga-lembaga penerbitan atau
pendidikan yang menspesialisasikan diri atau mendorong
studi-studi hukum Islam. Dalam jenis penelitian ini juga
tercakup masalah-masalah evaluasi pelaksanaan dan efektivitas
hukum, masalah pengaruh hukum Islam terhadap
perkembangan masyarakat atau pemikiran hukum, sejarah
perkembangan hukum, sejarah pemikiran hukum, sejarah
administrasi hukum serta masalah kesadaran dan sikap hukum
masyarakat.
10

Ketiga bentuk studi hukum Islam tersebut, dapat dilakukan


secara terpisah dan dapat pula dilakukan secara bersama-sama
untuk melihat keterkaitan satu sama lain mengenai masalah hukum
Islam.

b) Pendekatan Historis
Abdullah (dalam Yusuf, 2003: 56) menurut bahasa sejarah
dapat diartikan suatu ceritaatau rekonstruksi atau sebagai kumpulan
gejala empiris di masa lampau. Sedangkan menurut istilah, sejarah
berarti suatu ilmu yang membahas berbagai peristiwa atau gejala
dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang,
dan pelaku dari peristiwa tersebut. Metode ini mengajak seseorang
untuk menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan
mendunia.
Metode historis sangat dibutuhkan dalam memahami Islam,
karena Islam itu sendiri turun dari sesuatu yang konkret dan sangat
berhubungan dengan kondisi sosial masyarakat. Bahkan
Kuntowijoyo telah melakukan studi mendalam terhadap ajaran
Islam dan menyimpulkan bahwa kandungan Al-Qur’an terbagi
menjadi dua bagian: Pertama, berisi konsep-konsep. Kedua, berisi
kisah-kisah sejarah dan perumpamaan
Dengan menggunakan metode sejarah, seseorang diajak
untuk masuk ke dalam situasi yang sebenarnya terhadap terjadinya
peristiwa, contonya dengan mempelajari sejarah turunnya atau
kejadian yang mengiringi Al-Qur’an (Asbab An-Nuzul). Dengan
mengetahui ilmu sebab Asbab An-Nuzul, seseorang akan
mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang
berhubungan dengan hukum tertentu atau tujuan tertentu, sehingga
hal ini dapat memelihara dari kekeliruan dalam kajian Al-Qur’an
atau ajaran-ajaran Islam lainnya.
11

C. Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa
perkembangan fiqih dalam Metode Study Islam mengalami beberapa
periode perkembangan yang diteliti melalui beberapa model penelitian guna
lebih menjelaskan dan memberi kemudahan bagi penganut agama Islam
untuk menjawab beberapa persoalan yang dihadapi umat Rasulullah SAW
sepeninggal beliau, dimana persoalan tersebut tidak muncul ketika semasa
hidup Rasulullah dengan memakai beberapa metode ijtihad yang hal itu
menjadikan Al-qur’an dan As-sunnah sebagai sumber pemikiran dan dasar
dalam membuat keputusan lalu memfatwakannya. Hal ini semakin
menjelaskan pada kita semua bahwa berfikir dan bermusyawarah sangat
bermanfaat untuk terciptanya suatu keselarasan pendapat yang hal itu dapat
menyatukan dan mengurangi perpecahan dalam umat.
12

BIBLIOGRAFI

Anwar, Rosihon, dkk., Pengantar Studi Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2004.
Mudzhar, M. Atho, “Pendekatan Sosiologi dalam Studi Hukum Islam”, dalam M.
Amin Abdullah (editor), Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai
Pendekatan, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.
, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, cet. VI,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Ridla, M. Rasyid, “Sosiologi Hukum Islam (Analisis terhadap Pemikiran M.
Atho’’ Mudzhar)”, dalam Jurnal al-Ihkam, Vol. 7, No. 2, 2012.
Burhanuddin. 2001. Fiqih Ibadah. Bandung: Pustaka Setia.
Faizin, Moh. Memahami Fungsi dan Kegunaan Mempelajari Ilmu
Fiqih. http://mohfaizinitueachiko.blogspot.com, diakses 11 Oktober
2014.
Karim, Syafi’i. 2006. Fiqih Ushul Fiqih. Cetakan IV. Bandung: Pustaka Setia.
Nata, Abuddin. 2006. Metodologi Studi Islam. (Ed) Revisi 10. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Yusuf, Ali Anwar. 2003. Studi Agama Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Z.Amhari, Moch. Kedudukan Fiqih Dalam Pemikiran
Islam. http://pondokmodernar-rosyid.blogspot.com, diakses 11 Oktober
2014.

Anda mungkin juga menyukai