Dosen Pengampu:
Dra. Azizah, M.A.
Disusun oleh:
Kelompok 1
M. Zhilal Haq 11180440000002
Nurfadhilah Novianti 11180440000034
Anggit Nilam Cahya 11180440000051
Tasya Nabilah Herman 11180440000071
Fitriati Salamah 11180440000073
1
KATA PENGANTAR
Dengan Menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
kami panjatkan puji Syukur atas limpahan rahmat dan karunianya kepada pemakalah
sehingga tugas makalah “Hukum Nikah” dapat terselesaikan. Shalawat serta salam
atas junjungan Nabi besar Muhammad SAW, sebagai uswatun khasanah, sosok
teladan yang baik bagi manusia untuk meraih kesuksesan dunia dan akhirat.
Makalah ini telah saya susun dengan proses analisis dan diskusi yang
maksimal dan juga mendapatkan bantuan dari berbagai pihak serta beberapa sumber
terpercaya sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu saya
mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak
kekurangan, baik dalam segi kalimat, tata bahasa serta isi dari makalah. Oleh karena
itu, dengan tangan terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari para pembaca
agar dapat memperbaiki makalah ini sehingga mendekati kata sempurna.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar isi ii
BAB I PENDAHULUAN 3
A. Latar Belakang 3
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan 4
BAB II PEMBAHASAN 5
C. Al-Adillah (Dalil-Dalil) 6
Kesimpulan 14
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pernikahan merupakan sesuatu yang amat sakral dalam pandangan Islam.
Pernikahan juga merupakan salah satu sunnah Rasul yang harus di jalani dalam
mengarungi sebuah bahtera kehidupan serta menjadi suatu dasar yang penting
dalam memelihara kemashlahatan umum. Kalau tidak ada pernikahan, maka
manusia akan memperturutkan hawa nafsunya, yang pada gilirannya dapat
menimbulkan bencana dalam masyarakat. Pada dasarnya, dua orang (laki-laki
dan perempuan) melangsungkan pernikahan dan membangun rumah tangga
dengan tujuan untuk memperoleh kebahagian atau dikenal dengan istilah
membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahmah.
Ketika seseorang akan melakukan pernikahan, banyak hal yang harus
diperhatikan untuk menjadikan pernikahan tersebut benar-benar sah, begitu
pun nantinya ketika menjalani kehidupan selanjutnya. Kedua pasangan harus
sangat berhati-hati agar pernikahan yang dijalani justru tak menjadi bumerang
bagi keduanya, agar selalu menjaga tali pernikahannya.
Pernikahan mempunyai adab-adab tertentu dan tidak bisa dilakukan secara
asal-asalan. Pernikahan harus dilaksanakan berdasarkan syariat islam. Oleh
karena itu, kita sebagai umat Islam harus mengetahui hukumnya menikah
sehingga pernikahan kita kelak dapat dianggap sah dan dinilai ibadah oleh
Alloh Swt.
B. Rumusan masalah
4
C. Tujuan
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum (At-Tashawwur )
Al-Quran juga menggunakan kata zawwaja dari kata zauwj yang berarti
“pasangan” untuk makna diatas. Ini karena perikahan menjadikan seorang
memiliki pasangan. Kata tersebut dalam berbagai bentuk dan maknanya terulang
tidak kurang dari 80 kali.
1
Wahbah Al Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Sunt. Arif Muhajir (Depok: Gema
Insani, 2007), jilid 9, h.20. Lihat juga Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2012), h.7
6
ۡ َو ِمن ُك ِّل َش ۡي ٍء َخلَ ۡقنَا
٤٩ َزَو َج ۡي ِن لَ َعلَّ ُكمۡ تَ َذ َّكرُون
َونii ِهمۡ َو ِم َّما اَل يَ ۡعلَ ُمi ت ٱَأۡل ۡرضُ َو ِم ۡن َأنفُ ِس
ُ ِا ِم َّما تُ ۢنبiiَق ٱَأۡل ۡز ٰ َو َج ُكلَّه
َ i َ ۡب ٰ َحنَ ٱلَّ ِذي خَ لi ُس
٣٦
36. Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan
semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka
maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (Q,S Ya Sin [36]: 36). 2
Atau bisa juga diartikan bahwa nikah adalah sebuah akad yang telah
ditetapkan oleh syariat yang berfungsi untuk memberikan hak kepemilikan bagi
lelaki untuk bersenang-senang dengan perempuan, dan menghalalkan seorang
perempuan bersenang-senang dengan lelaki.
Para ulama Hanafiah mendefinisikan bahwa nikah adalah sebuah akad yang
memberikan hak kepemilikan untuk bersenang-senang secara sengaja. Artinya,
kehalalan seorang lelaki bersenang-senang dengan seorang perempuan yang tidak
dilarang untuk dinikahi secara syariat, dengan kesengajaan. Dengan adanya kata
“perempuan” maka tidak termasuk didalamnya laki-laki dan banci musykil.
Demikian juga, dengan kalimat “yang tidak dilarang untuk dinikahi secara
syariat” maka tidak termasuk didalamnya perempuan pagan, mahram, jin
perempuan, dan manusia air.
َد َٗة َو َر َزقَ ُكم ِّمنiiَل لَ ُكم ِّم ۡن َأ ۡز ٰ َو ِج ُكم بَنِينَ َو َحفii
َ ا َو َج َعiiٗ ُكمۡ َأ ۡز ٰ َوجiiل لَ ُكم ِّم ۡن َأنفُ ِسii
َ َوٱهَّلل ُ َج َع
٧٢ َت ٱهَّلل ِ هُمۡ يَ ۡكفُرُون ِ ت َأفَبِ ۡٱل ٰبَ ِط ِل ي ُۡؤ ِمنُونَ َوبِنِ ۡع َم
ِ ۚ َٱلطَّيِّ ٰب
2
M. Quraisy Shihab, Wawasan Al Quran, (Bandung: Mizan, 2004) h. 253
7
72. Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan
menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan
memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman
kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah? (An-Nahl [16]: 72).
3. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-
budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya. (An-Nisa [04]: 3).
Yaitu wanita dari kalangan manusia. Oleh karenanya tidak halal menikahi
dari jenis yang lain tanpa dalil. Juga karena jin dapat berubah-ubah dengan
berbagai macam bentuk. Kadang lelaki jin dapat berubah-ubah dengan berbagai
macam bentuk. Kadang lelaki jin berubah bentuk menjadi perempuan. Dan
dengan kata “sengaja” maka tidak termasuk didalamnya kehalalan bersenang-
senang dengan cara membeli budak untuk perseliran. Para ulama yang lain
menggunakan kalimat “bi thariqi ashaalah” (dengan cara original) sebagaii ganti
dari kata “sengaja”. Sebagian ulama Hanafiah juga mendefinisikan bahwa nikah
adalah akad yang dilakukan untuk memberikan hak milik segala manfaat dari
kemaluan.
Menurut para ahli ilmu ushul fiqh dan bahasa, kata nikah digunakan secara
haqiqoh (arti sebenarnya) untuk arti hubungan intim, dan secara majaz (kiasan)
untuk arti akad. Sekiranya kata nikah tertera didalam Al-Quran dan sunnah tanpa
adanya indikasi lain maka yang dimaksud adalah hubungan intim, sebagaimana
dalam firman Allah:
٢٢
8
22. Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu,
terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji
dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). (Q.S An-Nisa [04]:
22).
Oleh karena itu, perempuan yang dizinahi oleh seorang ayah diharamkan
dinikahi oleh seorang anak. Maksudnya semua keturunannya. Pengharaman atas
semua keturunan ini telah ditetapkan oleh teks Al-Quran. Adapun pengharaman
perempuan yang dinikahi dengan akad yang benar atas semua keturunan
merupakan ijma’ para ulama. Seandainya dia berkata kepada istrinya “Jika aku
menikahimu maka kamu aku ceraikan.” Syarat dalam kalimat tersebut berkaitan
dengan hubungan intim. Demikian juga jika ia menalaq ba’in istrinya tersebut
sebelum berhubungan intim, kemudian ia menikahinya lagi, maka si istri secara
otomatis terceraikan setelah terjadi hubungan intim, bukan sekedar terjadinya
akad nikah. Adapun nikah dengan perempuan asing maka yang dimaksud dengan
kata “nikah” tersebut adalah akad nikah, karena berhubungan intim dengannya
diharamkan secara syariat. Dengan demikian maka nikah disitu bukanlah hakikat,
melainkan majaz.
Kata “nikah” didalam bahsa Arab, menurut para ahli fiqih, dari para senior
empat madzhab merupakan kata yang digunakan secara haqiqah (sebenarnya)
dalam mengungkapkan makna akad, sedangkan digunakan secara majaz (kiasan)
ketika mengungkapkan makna hubungan intim. Karena itu sudah masyhur
didalam Al-Quran dan hadits. Az-Zamakhsyari dari kalangan ulama madzhab
Hanafi berkata, “Didalam Al-Quran tidak ada kata nikah yang berarti hubungan
intim, kecuali firman Allah SWT :
9
Maksudnya adalah akad nikah. Sedangkan makna hubungan intim diambil dari
hadits diatas.3
3
Wahbah Zuhaili, Op. Cit., h. 20-21. Lihat pula Abdurrahman Al-Jazary, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah,
(Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2003), h.7-10.
4
Mahkamah Agung, Undang-undang Pokok Perkawinan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 01
5
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Kairo: Dar El-Hadith, 2009), jilid 2, h.5. Lihat pula Abdul Rahman Ghozali, Op. Cit.,
h.10-11.
10
B. Pendapat Fuqaha (Ra’yul Fuqaha)
a. Pendapat Ulama tentang Pengertian Nikah
1. Bahasa
Secara bahasa, kata an-nikah ( ) النكاحpunya beberapa makna. Di antara
makna kata tersebut secara etimologis atau secara bahasa adalah :6
Hubungan kelamin atau al-wath'u ( ) الوطءyang artinya hubungan seksual.
Akad, atau al-‘aqdu ( ) ال َعقد, maksudnya sebuah akad, atau bisa juga
bermakna ikatan atau kesepakatan.
Adanya dua kemungkinan arti ini karena kata an-nikah yang terdapat
dalam Al-Qur’an mengandung 2 arti tersebut. Kata an-nikah yang berarti
hubungan kelamin merujuk pada QS. Al-Baqarah ayat 230. Adapun
pengertian nikah dengan arti akad (perjanjian yang kokoh) merujuk pada Qs.
An-Nisa ayat 22. Definisi lain menurut bahasa arti lafazh an-nikah adalah
berkumpul atau menindas.7
Dan para ulama berbeda pendapat tentang makna yang manakah yang
merupakan makna asli dari an-nikah dan mana yang makna kiasan? Apakah
makna asli nikah itu hubungan seksual dan makna kiasannya akad ikatan dan
kesepakatan? Ataukah sebaliknya, makna aslinya adalah ikatan atau akad,
sedangkan hubungan seksual justru makna kiasannya? Dalam hal ini, para
ulama terpecah menjadi tiga pendapat :8
Pendapat pertama : mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa makna
asli dari nikah itu adalah hubungan seksual ( وطءii) ال, sedangkan akad
adalah makna kiasan.
ِ ِ ِ
ُفَِإ ْن طَلَّ َق َها فَالَ حَت ُّل لَهُ م ْن َب ْع ُد َحىَّت َتْنك َح َز ْو ًجا َغْيَره
Maka jika suami mentalaknya (sesudah talak dua kali) maka
perempuan itu tidak boleh lagi dinikahinya hingga perempuan itu kawin
dengan laki-laki lain. QS. Al-Baqarah: 230
6
Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan (8) : Nikah, (Jakarta Selatan : DU Publishing, 2011), hlm. 23
7
Moh. Ali wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Tangerang Selatan : YASMI, 2018), hlm. 29
8
Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan (8) : Nikah,... hlm. 24
11
Pendapat kedua : mazhab Al-Malikiyah dan Asy- Syafi'iyah berpendapat
sebaliknya, makna asli nikah itu adalah akad ( ) العقد, sedangkan kalau
dimaknai sebagai hubungan seksual, itu merupakan makna kiasan saja.
ِ والَ َتْن ِكحوا ما نَ َكح ءاباُؤ ُكم ِمن الن
َ َِّساء ِإالَّ َما قَ ْد َسل
ف َ َ ْ َ َ َ َ ُْ َ
Janganlah kamu menikahi perempuan yang telah pernah dinikahi oleh
ayahmu kecuali apa yang sudah berlalu. QS. Al-Nisa: 22.
2. Istilah
Sedangkan secara istilah fiqih, para ulama dari masing-masing 4
mazhab, memberikan definisi yang berbeda di antara mereka. Dalam arti
terminologis, dalam kitab-kitab terdapat beberapa rumusan yang saling
melengkapi. Perbedaan perumusan tersebut disebabkan oleh perbedaan
dalam titik pandangan.10
Mazhab al-Hanafiyah11
9
Abdurrohman al-Jaziri. al-Fiqh ‘ala al-Madzahibi al-Arba’ah, Jilid 4, Darul Kutub Al-Ilmiyah, (Beirut –
Lebanon : Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2003), hlm. 7
10
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta : Kencana 2009), hlm. 37.
11
Abdurrohman al-Jaziri. al-Fiqh ‘ala al-Madzahibi al-Arba’ah, hlm. 8.
12
Disebutkannya kata menikmati kesenangan sebagai pasal (differentium)
pertama mengandung arti yang sama dengan ungkapan membolehkan
hubungan kelamin dalam definisi golongan Syafi’iyyah tersebut, karena
sebelum terjadinya akad nikah maka seorang laki-laki tidak dapat menikmati
kesenangan dengan seorang perempuan.
Mazhab Malikiyah13
ِ َِع ْق ٌد لِ ِح ِل تَ َمتُّ ِع بِا ُ ْنثَى َغي ِْر َمحْ َر ٍم َو َمحُوْ ِسيَّ ٍة َوَأ َّم ٍة ِكتَا بِيَّ ٍة ب
ص ْي َغ ٍة
Sebuah akad yang menghalalkan hubungan seksual dengan wanita yang
bukan mahram, bukan majusi, bukan budak ahli kitab dengan shighah"
Mazhab Syafi’iyah14
ْ
ِ اح َأ ِو التَّ ْز ِوي
ْج ِ اح ِة ْال َوط ِء بِلَ ْف ِظ ْاِإل ْن َك َ ََع ْق ٌد يَت
َ َض َّمنُ ِإب
12
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia,...hlm. 39.
13
Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan (8) : Nikah,... hlm. 25
14
Moh. Ali wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia,... hlm. 30.
15
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia,...hlm. 37.
13
1. Penggunaan lafaz akad, untuk menjelaskan bahwa perkawinan itu
adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh orang-orang atau pihak-pihak
yang terlibat dalam perkawinan.
2. Penggunaan ungkapan yang mengandung maksud membolehkan
hubungan kelamin, karena pada dasarnya hubungan laki-laki dan
perempuan itu adalah terlarang, kecuali ada hal-hal yang
membolehkannya secara hukum syara’. Diantara hal yang
membolehkan hubungan kelamin itu adalah adanya akad nikah di antara
keduanya.
3. Menggunakan kata, yang berarti menggunakan lafaz na-ka-ha atau za-
wa-ja mengandung maksud bahwa akad yang membolehkan hubungan
kelamin natara laki-laki dan perempuan itu mesti dengan menggunakan
kata na-ka-ha atau za-wa-ja, oleh karena dalam awal Islam di samping
akad nikah itu ada lagi usaha yang membolehkan hubungan antara laki-
laki dengan perempuan itu, yaitu pemilikan seorang laki-laki atas
seorang perempuan atau disebut juga “perbudakan”.16
Mazhab Hanabilah17
Al MALIKIYAH :18
1. Wajib, yakni bagi orang yang punya hasrat untuk menikah, dan
takut dirinya akan terjeremus ke dalam perzinaan, selain itu ia
belum mampu menahan dirinya daripada hal-hal haram dengan
berpuasa. Juga tidak mampu membeli budak perempuan yang dapat
mencukupinya. Maka dalam kondisi seperti ini, puasa wajib.
16
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia,...hlm. 38.
17
Ahmad Atabik dan Khoridatul Mudhiiah, Pernikahan dan Hikmahnya Perspektif Hukum Islam,
YUDISIA, Vol. 5, No. 2, Desember 2014, hlm. 288.
18
Abdur Rahman al-Jaziri, al=Fiqh ala Mazahib al-Arba’ah, IV.(Kairo : Dar al-Quds 2014) hlm 8.
14
2. Haram, bagi orang yang tidak takut terhadap zina ditambah ia tidak
mampu untuk menafkahi perempuan dengan pekerjaan halal, atau ia
tidak mampu dalam mwnggauli isterinya (memiliki penyakit).
Namun, jika perempuan tersebut udah tahu tentang
ketidakmampuannya untuk menggauli wanita, dan ia rela, maka
boleh. Begitupun ketika ia juga sudah tahu lelaki tersebut tak punya
pekerjan yang halal (akan tetapi berbeda halnya ketika pekerjaan
lelakinya haram.
3. Sunnah, ketika orang tersebut tidak memiliki keinginan untuk
menikah tetapi ingin punya keturunan, dengan syarat ia mampu
untuk memenuhi kewajibannya untuk mencari pekejaan halal dan
mampu menggauli, dan jika keduanya tidak terpenuhi maka nikah
menjadi haram.
4. Makruh, jika nikahnya dilambatkan untuk mengerjakan yang
sunnah. (tidak menikah karena ingin melakukan yang sunnah seperti
puasa). Akan tetapi kondisinya jika ia ingin menikah, tetapi ia tidak
takut zina, maka disunnahkan untuk nikah.
Dan perempuan dalam hal diatas sama seperti laki-laki, jika tidak
punya keinginan untuk menikah, maka pernikahan mejadi sunnah. Jika ia
tidak memiliki keinginan, tetapi ia tidak mampu memenuhi hak suami
maka menjadi makruh atau haram. Adapun jika sudah ada keinginan,
tetapi ia tidak takut zina, dan mampu menafkahi dirinya, dan sudah
mandiri, maka pernikahan sunnah baginya. Mau ia berkeinginan punya
anak atau tidak. Tetapi jika ia takut zina, atau ia sama sekali tidak punya
pendapatan terhadap diri sendiri, dan menutup aurat sangat tergantung
pada ‘nikahnya’ maka nikah wajib baginya.
AL HANAFIYAH : 19
15
budak perempuan. 4) ketika ia mampu membeli mahar dan
menafkahi dengan pekerjaan yang halal. Menurutnya nikah menjadi
wajib bukan fardhu (hanafiyah membedakan wajib {sesuatu yang
dihukumi harus tapi dalilnya dzanni} dengan fardhu {sesuatu yang
dihukumi harus tapi dalilnya Qath’i}.
2. Sunnah muakkad ketika seseorang memliki keinginan, tetapi dalam
kadar biasa-biasa saja. Maka jika ia meninggalkan nikkah dalam
keadaan ini, maka ia berdosa tetapi dalam kadar kecil (lebih kecil
daripada meninggalkan wajib).
3. Haram, jika ia yakin akan terjerumus pada pekerjaan yang haram
dan mendzalimi manusia. Karena nikah dijadikan syariat untuk
maslahat melindungi nafsu dan mendapat pahala, maka jika
menikah ia malah mendzalimi dan terjerumus pada yang haram
maka hilang lah kemaslahatannya.
4. Makruh tahrim (makruh yang menuju haram), jika ia takut akan
mendzalimi dan bermaksiat.
5. Mubah (boleh), jika ia sudah ingin menikah tetapi ia sama sekali
tidak takut dalam perzinaan, dan tidak yakin terjerumus dalam zina
akan tetapi ia menikah karena tututan syahwat saja. Adapun jika ia
berniat mencegah nafsunya daripada zina dan ia berniat untuk
memiliki keturunan, maka menjadi sunnah atau mubah tergantung
pada niat.
AS-SYAFIIYYAH : 20
20
Ibid, hlm. 10.
16
mampu atas nafkah dan mahar, maka ia diharamkan untuk menikah.
Akan tetapi jika ia mampu untuk memberikan mahar pernikahan,
dan ia tidak memiliki penyakit untuk menggauli isterinya, maka
harus dipertimbangkan. Jika ia seorang yang ahli ibadah, maka lebih
baik untuk tidak menikah, agar pernikahan tidak memutus ibadah
yang sudah ia lakukan sejak lama (sudah menjadi rutinitasnya).
Kalau dia bukan ahli ibadah, maka nikah saja (karena dikhawatirkan
sewaktu-waktu syahwatnya mendorong pada keharaman apabila ia
tidak menikah).
4. Adapun jika ia memiliki keinginan untuk nikah, dan ia mampu
untuk mahar maka sunnah
AL-HANABILAH 21
1. Wajib, bagi orang yang takut zina dan menduga akan terjeremus
pada perbuatan tersebut. Dan kondisi ini baik ia mampu memberi
nafkah atau tidak. Maka kapanpun ia mampu menikah agar menjaga
nafsunya maka ia wajib mnikah. Dan ia wajib untuk menempuh
pekerjaan yang halal.
2. Haram di daerah peperangan (daerah musuh), kecuali keadaan
darurat. Sekalipun ia tawanan, maka ia tidak boleh menikah
dalamkeadaan apapun.
3. Dan menjadi sunnah ketika ia memiliki keinginan untuk nikah, dan
ia takut terjerumus zina. menikah dalam keadaan yang seperti ini
lebih baik dibanding mengerjakan salat-salat sunnah. Karena dalam
nikah itu menjaga nafsu, serta mendapatkan anak yang mana umat
menjadi banyak, karena keluarga sejatinya adalah salah satu struktur
sosial yang dapat membangun masyarakat.
4. Dan menjadi mubah bagi seseorang yang tidak memiliki keinginan
untuk nikah seperti orang yang sudah tua dan tidak memiliki
syahwat. Dengan syarat pernikahannya tidak membahayakan
21
Ibid, hlm. 11.
17
pasangannya, dengan syarat tidak merusak akhlaknya, jika tidak
maka hukumnya haram karena faktor tersebut.
َ َّ نُوا َك َر هُبَا نِيَّ ِة النiتَزَ َّوجُوا فَِأنّى ُم َكا ثِ ٌر بِ ُك ُم ااْل ُ َم َم َواَل تَ ُكوْ نُوا
صا َرى
“kawinlah kalian. Karena aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian
pada umat-umat lain. Dan janganlah kalian seperti pendeta-pendeta
Nasrani.”
ْس ِمنَّي
َ فَلَيiالنِّ َكا ُح ِم ْن ُسنَّتِى فَ َم ْن لَ ْم يَ ْع َملْ بِ ُسنَّتِى
“Menikah itu bagian dari sunnahku, maka siapa yang tidak beramal dengan
sunnahku, bukankah ia dari golonganku.” (HR. Ibnu Majah)
ْ َعلَى ع ُْث َمانَ ب ِْن َم: َر َّد رسُوْ ُل هلّلا ِ رصلعم: ص
وْ اَ ِذiiَظعُوْ ٍن التَّبَتَّ َل َول ٍ ال َس َع ُد بْنُ اَبِى َوقَا
َ ََوق
َ َنَ لَه اَل ْخت
ص ْينَا
18
“Rasulullah saw menolak Utsman bin Madz’un untuk membujang “andaika
dia dibolehkan membujang, tentu kami (para sahabat) akan berkebiri saja”
(HR. Bukhari)
22
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta : Kencana 2009), Hlm. 37.
23
Ibid, hlm. 37.
19
3. Menggunakan kata, yang berarti menggunakan lafaz na-ka-ha
atau za-wa-ja mengandung maksud bahwa akad yang
membolehkan hubungan kelamin natara laki-laki dan perempuan
itu mesti dengan menggunakan kata na-ka-ha atau za-wa-ja, oleh
karena dalam awal Islam di samping akad nikah itu ada lagi usaha
yang membolehkan hubungan antara laki-laki dengan perempuan
itu, yaitu pemilikan seorang laki-laki atas seorang perempuan atau
disebut juga “perbudakan”.24
24
Ibid, hlm. 38.
25
Ibid, hlm. 38.
26
Ibid, hlm. 39.
20
Adapun mengenai jenis atau sifat pernikahan syar’i dari segi diminta
dikerjakan atau tidak, maka menurut para ahli fiqih bergantung pada
keadaan masing-masing orang.27
5. Munaqasyah
6. Pendapat yang Terpilih (ra’yul mukhtar)
Dalam hal menetapkan hukum asal suatu perkawinan terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat
bahwa hukum perkawinan itu adalah sunnah. Dasar hukum dari pendapat
jumhur ulama ini adalah begitu banyaknya suruhan Allah dalam Al-
Qur’an dan suruhan Nabi dalam sunnahnya untuk melangsungkan
perkawinan. Namun suruhan dalam Al-Qur’an dan sunnah tersebut tidak
mengandung arti wajib. Tidak wajibnya perkawinan itu karena tidak
ditemukan dalam ayat Al-Qur’an atau sunnah Nabi yang secara tegas
memberikan ancaman kepada orang yang menolak perkawinan.
Meskipun ada sabda Nabi yang mengatakan:”siapa yang tidak mengikuti
sunnahku tidak termasuk dalam kelompokku” namun yang demikian
tidak kuat untuk menetapkan hukum wajib.28
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, kami dapat menyimpulkan bahwa:
1. Apa
2. Apa
3. Apa
4. Apa
5. Apa
27
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Terj. Jilid.9 (Darul Fikir), hlm. 41.
28
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta : Kencana 2009), Hlm. 44-45.
21
DAFTAR PUSTAKA
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap
(Jakarta : Rajawali Press, 2009), 342.
M.Abdul Ghoffar E.M, Fikih Wanita Edisi Lengkap (Jakarta : Al-Kautsar, 2008),
446.
Samsul Arifin dan Wismar Ain Marzuki, “Ihdad bagi Perempuan Dalam
Kompilasi Hukum Islam (sebuah analisis gender),” Lex Jurnalica 12:3 (Desember
2015), 215.
22