Anda di halaman 1dari 11

REVIEW JURNAL

Dikumpulkan Untuk Memenhui Tugas Ujian Tengah Seester (UTS)


Mata Kuliah : Perbandingan Hukum Keluarga Islam di Dunia
Dosen : Ahmad Rofi’I, LLM., PHd
Prodi : Hukum Keluarga Islam
Semester/Kelas : II/A

Oleh:
Sohibul Wapa Atoillah
NIM: 21086040013

PROGRAM PASCASARJANA
IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
2022
Judul Konseptualisasi HAM dalam Poligami
Jurnal El-Izdiwaj: Indonesian Journal of Civil and Islamic Family Law
Volume & Vol. 2, No. 2 2021 ISSN-E 2746-0126
Halaman
Tahun 2021
Penulis Mustafid
Reviewer Sohibul Wapa Atoillah
Tanggal 15-04-2022
Latar Belakang Penulisan jurnal ini dilatar belakangi oleh dilema “syariat poligami”.
Satu sisi ia bisa menjadi suatu solusi bagi permasalahan rumah
tangga. Pada sisi lain ia bisa menjadi suatu problematika baru yang
malah akan memporak porandakan dan menghancurkan bangunan
rumah tangga yang ada. Sebagaiamana telah dikatehui bersama,
poligami dalam pandangan masyarakat Indonesia masih menjadi
sesuatu yang tabu. Terlebih pandangan yang terlalu
mendeskreditkan, perllaku poligami sebagai bentuk pelecehan
terhadap perempuan dan melanggar hak asasi manusia.
Oleh karenanya, penulis ini mencoba mengurai poligami dari sisi Hak
Asasi Manusia (HAM) yang terkonsep dan terdeklarasikan dalam
UDRH dan CEDAW.
Metode Penelitian Metode penelitian dalam jurnal ini menggunakan metode
kepuastakaan, library research, yaitu dengan mengumpulkan
informasi melalu imembaca dokumen-dokumen dan teori-teori yang
terkait.
Pembahasan Poligami, sebagaimana uraian penulis, didasarkan pada QS. Al Nisa
ayat 3 yang menjelaskan tentang poligami sampai maksimal empat
orang. Secara universal, praktik poligami diperbolehkan dalam Islam,
namun tidak menegaskan secara rinci mengenai syarat dan
rukunnya. Sebab sejatiya, poligami adalah merupakan pernikahan
juga.
Adapun adil sebagaimana dijelaskan dalam ujung ayat tersebut, dan
yang selalu didengungkan oleh pegiat dan penentang poligami,
bukan merupakan syarat poligami melainkan merupakan sikap yang
harus dilakukan dalam polgami. Seorang suami yang telah
melakukan poligami harus berbuat adil terhadap istri-istrinya.
Pandangan ini, ia kutip dari uraian Ibrahim Hosen dalam bukunya,
Fiqh Perbandingan dalam Permasalahan Nikah, Thalaq, dan Rujuk.
Adil menurutnya berada dalam posisi sebagai tuntutan agama setelah
akad nikah poligami dimulai dan berlaku selama masih berlangsung.
Adil dalam hal ini tidak sama dengan wudu terhadap sholat yang
tanpanya, shalat tidak akan sah.
Konsep dasar dari Hak Asasi Manusia adalah equity, kesetaraan.
Esensi dari konsep ini adalah tidak ada perbandingan antara seorang
dengan orang lain dalam perbedaan suku, ras, jenis kelamin, warna
kulit, agama, dan sebagainya. Kesetaraan merupakan isntrumen
yang esensi dari HAM Internasional sebagaimana terrekam dalam
deklarasi umum HAM dan juga konvensi dihapuskannya segala
bentuk perbuatan yang tidak mencerminkan kesetaraan atau
diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW).
Universal Declaration Of Human Rights (UDRH) merupakan
kumpulan-kumpulan norma yang menjadi standar aspek kehidupan
manusia ketika sendiri maupun dalam kelompok suatu organisassi
maupun sebuah negara. UDRH memberikan kehormatan kepada
HAM tehadap hal-hal yang krusial seperti perdamaian, pembangunan
dan demokrasi.
UDRH menjadi hukum kebiasaan internasional yang akan menilai
gerak gerik dan prilaku sebuah negara. Ketika berbicara mengenai
Ham maka dengan sendirinya akan merujuk kepada UDRH yang
merupakan puncak konseptualisasi manusia sejagad raya,
memberikan dukungan yang tegas tehadap HAM. UDRH memberikan
komitmen kepada seluruh bangsa di dunia bahwa selalu menjunjung
tinggi persamaan tanpa adanya pengecualian, misalnya
perbandingan ras, tipe kelamin, warna kulit bahasa, agama politik
serta lain sebagainya, sebagaimana telah di sebutkan di dalam
piagam PBB.
Sedangkan Convention On The Elimination Of All Forms
Discrimination Againts Women (CEDAW) merupakan tradisi atau
konvensi yang melindungi hak wanita yang paling komprehensif
karena menjadikan wanita dari pokok keprihatinan HAM. CEDAW
terdaapat dalam piagam PBB yang menyatakan penegasan kembali
kepada kepercayaan terhadap HAM yang memberikan harkat dan
martabat manusia dan tidak adanya perbedaan antara pria dan ha.
CEDAW memberikan mengenai persamaan antara laki- laki serta
perempuan serta pula langkah buat mencapainya. CEDAW
membagikan jaminan hak yang sama di mata hukum antara laki- laki
serta perempuan, serta membagikan kejelasan terhadap prilaku yang
mendiskriminasi terhadap perempuan yang berhubungan dengan
kehidupan politik serta publik, pembelajaran, kewarganegaraan,
kesehatan, lapangan kerja dalam perkawinan. Untuk mencapai
kesetaraan wanita dengan pria diperlukan pengakuan penuh di dalam
tradisi bermasyarakat bahwa pria dan wanita itu setara.
Secara eksplisit dan terperinci, dalam CEDAW ataupun UDRH tidak
terdapat pembahasan tentang poligami. Namun, secara umum
persoalan yang ada dalam praktik poligami tergambar jelas dalam
pasal-pasal di dalamnya.
a. Hak sama dalam pernikahan, saat pernikahan dan dalam
keluarga (pasal 16 UDRH dan pasal 16 CEDAW)
b. Hak perempuan dalam kebebasan dari seluruh wujud evaluasi
secara stereotype, serta kendala kekerasan (Pasal 5 CEDAW)
Kelebihan 1. Padat dan ringkas dalam penyajian hasil penelitian.
2. Mengelaborasi titik penting dalam poligami, adil, dalam porsi
pembahasan yang cukup mendalam.
3. Fokus dalam penyajian, tidak menampilkan perdepatan fiqh
yang lumrah dilakukan ketika mengelaborasi persoalan
poligami.
4. Pembahasan poligami dari sisi HAM cukup bagus dan singkat.
Kekurangan 1. Pembahasan poligami dalam konsep HAM dielaborasi cukup
singkat, hanya deskripsi normative.
2. Tidak menampilkan pendapat-pendapat para ahli mengenai
pentingnya HAM dalam poligami.
3. Tidak mengaitkan HAM dari sisi islam itu sendiri.
Kesimpulan 1.
Judul KONSEP MAQᾹṢID AL-SYARI’AH IBN ‘ASYṸR DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PENGEMBANGAN PEMIKIRAN
HUKUM KELUARGA ISLAM KONTEMPORER
Jurnal El-Izdiwaj: Indonesian Journal of Civil and Islamic Family Law
Volume & Vol. 2, No. 2, 2021
Halaman 25 halaman
Tahun 2021
Penulis Maimun dan Ahmad Fauzan
Reviewer Sohibul Wapa Atoillah
Tanggal 14 April 2022
Latar Belakang Penulisan jurnal ini dilatar belakangi oleh perkembangan maqashid
syariah dalam kancah sejarah hokum islam. Teori maqāṣid al-syari'ah
dalam konteks pengembangan pemikiran hukum keluarga Islam
kontemporer dan metodologinya (uṣῡl al-fiqh) melintasi sejarah yang
panjang. Fase sejarah yang dilintasi teori ini memiliki watak dan ciri
khas yang berbeda-beda di tangan penggagas dan pengkonstruknya
masing-masing. Hal ini menunjukkan bahwa teori maqāṣid al-syari'ah
mengalami evolusi dan dinamika sesuai dengan kondisi zaman dan
kebutuhan sosial yang melingkupinya. Fakta sejarah memperlihatkan,
konsep maqāṣid al-syari'ah sudah ada sejak zaman keilmuan Islam
mencapai keemasan, yaitu pada akhir abad III H. melalui karya-karya
para ulama klasik di zamannya. Hal ini terlihat seperti Al-Imām Abû
'Abd Allâh Muhammad bin 'Alî al-Hakîm al-Tirmîżi, yang dikenal
dengan Imām al-Tirmîżî al-Hakîm. Ia, dikenal sebagai Salah seorang
murid al-Juwainî yang mengembangkan pemikiran-pemikiran gurunya
tentang maqâṣîd al-syarî'ah dalam kaitan dengan pembahasan
munāsabah al-maṣlāhîyyah dalam qiyâs, dan di dalam pembahasan
lain, ia menjelaskan dalam konteks al-istiṣlāh. Sampai datang
masanya al-Syatibi yang memberikan warna tersendiri dalam teori
Maqashid al-Syar’iyah lewat al-muagaqat.
Grand theory maqâṣîd al-syarî'ah al-Syāṭibî yang telah dikonstruknya
ternyata tidak berjalan mulus karena kondisi umat Islam yang
mengalami krisis pemikiran hukum akibat jatuhnya kota Granada,
wilayah umat Islam paling akhir di Andalusia, Spanyol.
Kemuadian muncul di era kontemporer, Ibnu ‘Asyur, yang
memberikan modifikasi terhadap diskursus maqashid ini. Ia
menuangkan gagasannya dalam karya monumental, Maqashid al-
Syari’ah al-Islamiyah dan kemudian dijuluki sebagai bapak maqashid
kontemporer.
Tulisan ini hendak mengulas maqâṣîd al-syarî'ah dalam pandangan
Ibnu ‘Asyur, bagaimana konsep, pengaruh, dan cara kerjanya.
Metode Penelitian Metode penelitian dalam jurnal ini menggunakan metode penelusuran
dokumen dan data, libabry research.
Pembahasan Menurut Ibnu ‘Asyur, selama ini, pembahasan Ushul Fiqh masih
berkutat pada persoalan penggalian hokum, istinbat al-ahkam, dan
belum menyentuh pada aspek hikmah dan tujuan syariat (maqashid
al-syar’iyah). Meskipun, jika dirunut dalam sub kajian, maqasshid ada
di dalamnya. Selama ini, kerja ushul fiqh seakan terpisah dengan
maqashid al-syar’iyah, sehingga penggalian hokum dapat selesai
tanpa melibatkan maqashid. Oleh karenanya, Ia berupaya
merekonstruksi system penggalian hokum secara linier antara ushul
fiqh sebagai metodologi, kiadah-kaidah fiqh operasional, dan
maqashid al-syar’iyah sebagai nilai, spirit, dan hikmah atas fiqh
sebagai produk hokum.
Ibnu ‘Asyur memandang bahwa maqashid dalam pembahasan ushul
fiqh masih bersifat dugaan, maznunat. Hal ini tidak sama ketika
menyentuh pokok-pokok agama, ushul al-din, yang bersifat
kepastian, qathie. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa semestinya
ushul fiqh, dan maqashid di dalamnya, bersifat pasti. Kepastian di sini
bisa dihasilkan dari kerja penelitian terhadap suatu persoalan.
Maqashid al-Syar’iah menututnya dapat menjelma menjadi suatu
disiplin ilmu tersendiri. Ia tidak lagi menjadi sub bahasan ushul fiqh
dan menjadi konsepsi nilai yang membungkus ushul fiqh dan fiqh.
Berdasarkan pemikiran maqshid al-syar’iyah Ibnu ‘Asyur, bisa
menjadi pijakan untuk melakukan pembaharuan pada peroslan-
persoalan dalam hokum keluarga kontemporer. Hal ini dapat
dikemukakan beberapa contoh peroslan.
1. Nikah Sirri
Nikah siri adalah nikah yang tidak dicatat dalam adminsitrasi Negara,
dalam hal ini, Kantor Urusan Agama. Pecatatan nikah ini masih
menjadi perdebatan antara sebuah keharusan dan kemubahan. Ia
selama ini dianggap sebagai syarat adminstatif saja, tanpa ada
pengaruhnya sama sekali terhadap keabsahan (sah) pernikahan itu
sendiri. Sehingga, pernikahan model ini masih banyak dilakukan oleh
masyarakat di Indonesia dengan berbagai motif dan alasan.
Substansi dari pencatatan nikah ini adalah menegakan ketertiban
administrasi, keadilan, dan kepastian hokum. Dampak negative dari
pernikahan yang tidak dicatat lebih besar dari pada dampak
positifnya. Maka dari itu, berdasarkan maqashid al-Syar’iay,
pencatatan nikah menjadi suatu kewajiban. Sebab, dalam
implementasinya, ia menegakkan pemeliharaan keturunaan (hifzh
nasl) dan kehormatan (hifz ‘irdh). Oleh karena itu, pencatatan nikah
bisa dimasukan dalam syarat atau rukun pernikahan.
2. Kesetaraan Bagian Waris Laki-laki dan perempuan.
Selama ini, bagian waris laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Hal ini
berdasarkan QS. Al-Nisa ayat 11, li al-zakari mitsl hazz al-unstayayn.
Model pembagian seperti ini melihat konteks bangsa Arab ketika itu,
ketika al-Qur’an menyapa. Ini adalah wujud keadilan yang ditegaskan
dan ditegakan al-Qur’an. Semasa jahiliyah, perempuan mendapatkan
posisi dan porsi yang sangat rendah dalam segala aspek dan dalam
persoalan waris ia tidak mendapatkan hak waris bahkan menjadi
harta warisan yang bisa diwaris. Islam hadir memperbaiki posisi dan
porsi tersebut. 2:1 adalah suatu keadilan ketika itu, sebab system
social ketika itu, laki-laki punya power dan peran superior dalam
pengasilan ekonomi keluarga.
Berbeda dalam konteks kontemporer, peran perempuan hampir sama
dan bahkan melebihi peran laki-laki dalam penghasilan ekonomi
keluarga dan system kekerabatan. Oleh karenanya, wujud keadilan
dalam waris bisa tidak lagi menggunakan porsi 2:1.
Kelebihan Jurnal ini mempuyai bebrapa kelebihan yang bisa reviewer catat.
1. Sistematika penyajian bahasan yang runtut dan
berkesinambungan antara satu paragraph dengan paragraph
lainnya.
2. Pemilihan persoalan yang tepat dan susuai dengan realita
pemikiran masyarakat Indonesia.
3. Setiap istilah dijelaskan makna dan terjemahannya.
Kekurangan Adapun bebrapa kekurangan dalam pandangan reviewer adalah:
1. Transliterasi yang digunakan belum menggunakan pedoman
translierasi terkini. Sebab jika dilihat, jurnal ini terbit di tahun
2021. Artinya, sudah terdpat pedoman transliterasi terupdate.
2. Pada pembahasan bagian waris, tidak secara rinci
menjelaskan kerja maqashid al-‘Syariyah itu sendiri. Alih alih
menjelaskannya, justru mentog pada kerja kaidah ushul fiqh
al-‘adat muhakkamat.
3. Pemilihan satu permasalahan yang sampai saat ini masih
menjadi perilaku kebanyakan masyarakat Indonesia. Misalkan
hanya membhas persoalan bagian waris tapi dijelaskan
secara rinci bagaimana kerja-kerja ushul fiqh, kaidah fiqh, dan
maqashid al-Syar’iyah dalam menghasilkan suatu
pembaharuan hokum.
Kesimpulan Penulisan jurnal ini sangat bagus sekali, pembaca banyak
disuguhkan oleh istilah-istilah dan kaya akan referensi di bidang fiqh,
ushul fiqh, qawaid, dan maqashid al-syariah.

Judul Children Maintenance: The Rights in Islamic Family Law and the
Law of Thailand
Jurnal Mediterranean Journal of Social Sciences: ISSN 2039-2117 (online)
MCSER Publishing, Rome-Italy: ISSN 2039-9340 (print)
Volume & Vol. 6 No. 4 Juli 2015
Halaman 7 halaman
Tahun 2015
Penulis Rohanee Machae, Abdul Basir Mohamad , Mutsalim Khareng
Reviewer Sohibul Wapa Atoillah
Tanggal 18 April 2022
Latar Belakang Jurnal ini membahas persoalan nafkah anak-anak dalam Hukum
Keluarga Islam dan Hukum Positif Thailand. Pembahasan dalam
tulisan ini meliputi ketentuan Hukum Keluarga Islam dan Hukum
Positif Thailand, apakah Hukum Perdata atau Hukum Keluarga Islam
yang telah digunakan di empat distrik di Selatan Thailand yaitu
Patani, Narathiwat, Yala dan Satul.
Isu yang menjadi pokok masalah dalam jurnal ini adalah masalah
nafkah anak dan istri. Berdasarkan data statistik dari Kantor
Pengembangan Sistem Peradilan Anak menunjukkan adanya
peningkatan, karena kasus perceraian juga mengalami peningkatan.
Ini menunjukkan bahwa kasus perceraian adalah penyebab masalah
tanggung jawab perlindungan anak terjadi. Oleh karena itu,
kegagalan untuk mengendalikan kasus perceraian juga akan
meningkatkan klaim nafkah anak. Selain itu juga akan menjadi isu
yang bisa diperdebatkan di jejaring sosial atau media lainnya. Oleh
karena itu, penelitian ini akan membahas masalah tentang nafkah
anak-anak dan bagaimana hukum Thailand membela hak ini.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan library reserach, yaitu dengan
menganalisis karya-karya yang berkaitan dengan masalah nafkah
anak-anak yang dihasilkan oleh akademisi. Untuk tujuan ini,
penelitian mengadopsi metode analisis konten, yang terfokus pada
materi dari media massa seperti jurnal, buku, laporan tertulis dan
materi lainnya. Metode ini dapat digunakan dalam berbagai bidang
termasuk politik, studi sosial, manajemen, pendidikan dan lain-lain.
Sangat cocok dalam menganalisis isu-isu terkini dan penjelasan
keingintahuan sosial yang terkait dengan analisis.
Pembahasan Penelitian dalam jurnal ini fokus pada kasus-kasus gugatan di
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Rendah di empat distrik di
Thailand Selatan (Pengadilan Remaja dan Keluarga Patani, Yala,
Naratiwat dan Satul) untuk mendapatkan informasi tentang klaim
pemeliharaan anak, serta jumlah gugatan yang telah diajukan oleh
Pengadilan atau Majelis Agama Islam. Definisi pemeliharaan anak
dapat dipahami dari kata arab nafaqah,al-Nafaqah yang merupakan
kata benda dari kata al-infaq yang berarti membelanjakan sesuatu
seperti uang. Sedangkan istilah dapat diartikan sebagai pemenuhan
kebutuhan istri dan anak seperti makanan, minuman, pakaian dan
tempat tinggal, dan kebutuhan lain yang relevan. Osborne, JW
mendefinisikan pemeliharaan sebagai "Penyediaan kebutuhan hidup
bagi seseorang" (Osborne, JW 1993).
Pemeliharaan dapat dipahami sebagai pengeluaran untuk seseorang
yang diwajibkan bagi seseorang untuk mendukungnya secara
ekonomi. Oleh karena itu, pemeliharaannya meliputi pendidikan,
pakaian, makanan, minuman, tempat tinggal, kesehatan dan
kebutuhan lainnya. Kata anak diartikan sebagai seseorang yang
belum baligh. Berdasarkan Hukum Thailand, seorang anak adalah
seseorang yang berusia di bawah 20 tahun seperti yang tertulis
dalam Undang-Undang Anak Pasal 19 (Kode Sipil & Komersial, Pasal
19). Akibatnya, definisi anak untuk Thailand dan Malaysia berbeda
karena Malaysia mendefinisikan anak adalah seseorang yang berusia
di bawah 18 tahun (The Malaysian Laws, Act 611, Children Act:
2001). Namun demikian, pengertian anak dalam Hukum Keluarga
Islam Thailand Selatan adalah seseorang yang berusia di bawah 15
tahun untuk anak laki-laki sedangkan orang yang berusia di bawah 9
tahun untuk anak perempuan. Hal ini didasarkan pada definisi
pubertas menurut Imam As-Syafi'I (Undang-Undang Hukum dan
Warisan di Thailand Selatan 1947 Bagian 2).
Hukum Thailand dan Hukum Keluarga Islam Thailand Selatan telah
menjelaskan hak-hak pengasuhan anak. Sejarah Hukum Keluarga
Islam di Thailand dimulai dengan proses penyusunan undang-undang
oleh pemerintah dalam menggabungkan kata 'keluarga' dan 'warisan'
menjadi undang-undang yang komprehensif tentang keluarga dan
warisan dengan mengumpulkan undang-undang yang berkaitan
dengan pendaftaran keluarga pada tahun 1935 dan Hukum Keluarga
dan Warisan Islam yang telah dilaksanakan di empat distrik Thailand
Selatan yaitu Patani, Narathiwat, Yala dan Satul pada tahun 1946.
Namun proses tersebut tidak melibatkan alokasi KUHPerdata dan
Niaga pasal 5 dan 6. Proses pertumbuhan telah melalui tiga bagian;
Bagian pertama, yaitu Bagian Umum menjelaskan tentang
perkembangan Hukum Keluarga dan Warisan dan hubungan antara
Hukum Keluarga dengan hukum-hukum lainnya seperti KUHPerdata
dan Dagang pasal 5 dan 6, UU tentang Pengangkatan Anak dan
Tumbuh Kembang Anak dan Pengadilan Keluarga dengan
menyatakan tata cara banding atas kasus anak dan keluarga pada
tahun 1992.
Kedua, undang-undang yang berkaitan dengan hubungan keluarga
pada tahun 1935 seperti pencatatan perkawinan, pencatatan
perceraian, pengesahan anak, pencatatan pengangkatan anak,
pencatatan pengangkatan pengangkatan anak, perincian kedudukan
keluarga dan istri.
Bagian ketiga, Agama dan Hukum Keluarga dan Warisan,
menjelaskan tentang Hukum Islam yang telah digunakan di empat
distrik Thailand Selatan yaitu Patani, Narathiwat, Yala dan Satul
seperti Hukum Keluarga dan Warisan pada tahun 1946. UU tersebut
diterapkan di empat kabupaten hanya karena kabupaten-kabupaten
tersebut memiliki penduduk muslim terbanyak.
Aturan yang dijelaskan dalam undang-undang itu berbeda dengan
KUHPerdata dan Niaga pasal 5 dan 6 yang telah digunakan di
seluruh Thailand, sedangkan warga setempat menginginkan undang-
undang yang didasarkan pada ajaran Islam, agar mereka dapat
mengamalkan ajaran Islam. kewajiban dalam masyarakat itu.
Berdasarkan hal itu, Pemerintah Thailand sepakat untuk
menerapkan undang-undang tersebut di empat distrik di Thailand
Selatan. Kesepakatan itu diikuti dengan pernyataan bahwa jika
terjadi kasus yang berkaitan dengan keluarga dan warisan,
penggugat dan tergugat harus beragama Islam dan berdomisili di
empat distrik di Thailand Selatan. Penerapan Hukum Keluarga Islam
ini telah menggantikan KUH Perdata dan Niaga pasal 5 dan 6 untuk
memungkinkan umat Islam menjalankan ajaran Islam.
Sejarah perkembangan Hukum Keluarga dan Warisan di Thailand
dapat dibuktikan dengan berkuasanya Thailand antara lain dengan
adanya Sukhothai, Ayuthaya, Kerung Thon Burhi dan Krung Ratana
Kosin. Artinya, Hukum Keluarga dan Warisan sudah ada sejak masa
pemerintahan Pho Khun Ram Kham Henag. Hal ini dapat dibuktikan
dengan ditemukannyaBatu Shila Charekh I. Selain itu, sebagian
besar arkeolog telah mencoba membaca dan mempelajari Hukum
Keluarga yang tertulis di batu itu, tetapi tidak terlalu komprehensif
untuk diterapkan pada orang Thailand pada periode itu. Hal ini juga
karena undang-undang hanya menjelaskan hal-hal yang berkaitan
dengan sistem keluarga seperti hubungan keluarga dan kekuasaan
seorang ayah dibandingkan dengan ibu dan kerabat lainnya. Namun,
tidak ada satu pun yang terkait dengan pernikahan yang tertulis
secara menyeluruh di atas batu itu.
Selanjutnya, pada masa pemerintahan Ayuthaya,Hukum Keluarga
yang tertulis hilang karena hilangnyaAyuthayamemerintah Burma.
Dalam hal ini, Burma membakar semua Hukum Keluarga tertulis
dariAyuthayadan itu menyebabkan hukum gagal dilaksanakan seperti
yang diinginkan BurmaAyuthayauntuk mengikuti aturan mereka.
Pada tahun 1904, Hukum Keluarga telah ada, dan itu disebut
“Kodmaay Phuamia” (hukum antara suami dan istri) yang meliputi
141 bagian. Hukum tersebut diterapkan ketika terjadi kasus
perceraian yang melibatkan Khun Krai Naraidan istrinya (Diredreth.
1897), yang telah diputuskan berdasarkan hokum tersebut.
Hukum tersebut dipengaruhi oleh kitab suci agama Buddha Tritaka
yang diperluas ke Kamboja, Myanmar, Laos dan Thailand. Selain itu,
pada masa pemerintahan Krung Thonburhi,Hukum Keluarga yang
digunakan masih “Kodmaay Phua-mia” (hukum antara suami dan
istri). Sebab, pemerintah tidak sempat merevisi undang-undang
tersebut karena terlalu sibuk menangani perang. Apalagi masa
pemerintahan tidak berlangsung lama karena menghadapi masalah
penobatan raja, sehingga tidak sempat berdiskusi tentang Hukum
Keluarga.
Kembali pada pokok penelitian dalam jurnal ini, Thailand adalah
negara multi agama; Oleh karena itu, sistem hukum adalah tentang
menyeimbangkan perbedaan termasuk pemeliharaan anak. Ada dua
hukum yang diterapkan di Thailand, yaitu Civil and Commercial Code
pasal 5 dan 6, dan Hukum Keluarga Islam di Thailand Selatan.
Hukum Keluarga Islam hanya diperuntukkan bagi umat Islam di
empat distrik di Thailand Selatan yaitu Patani, Narathiwat, Yala dan
Satul meskipun ada beberapa Hukum Perdata yang dapat diterapkan
secara umum kepada umat Islam juga, jika penggugat dan tergugat
bukan dari empat distrik di Thailand Selatan (Hukum Keluarga Islam
Thailand Selatan 1946). Dengan demikian pembahasan akan
difokuskan pada pemeliharaan anak dari KUHPerdata dan Niaga
pasal 5 dan 6.
Berdasarkan KUHPerdata dan Niaga pasal 5 dan 6, pemeliharaan
anak merupakan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya. Hal ini
sejalan dengan prinsip di bawah Hukum Perdata (Bunchaleam,
2011). Hal ini karena, Hukum Perdata Thailand dipengaruhi oleh
Eropa, setelah berkuasanyaKerung Ratana Kosin,meskipun undang-
undang tersebut dipengaruhi oleh India dan Prancis sebelumnya
(Somboon, 1986). Berdasarkan Undang-undang KUHPerdata dan
Niaga Pasal 1564 disebutkan bahwa orang tua harus memberikan
pemeliharaan dan pendidikan kepada anak-anak mereka sejak
mereka masih kecil, sampai mereka mencapai pubertas jika anak-
anak cacat atau tidak memiliki kemampuan untuk menghidupi. sendiri
(KUHP, Bagian 1564)
Selain itu, anak yang berhak memperoleh pemeliharaan dan
pendidikan adalah anak-anak yang berasal dari perkawinan yang sah
dari orang tuanya, berdasarkan undang-undang tersebut. Anak dari
perkawinan yang sah adalah anak yang dilahirkan oleh orang tuanya
yang telah mencatatkan perkawinannya menurut Kitab Undang-
undang Hukum Perdata dan Niaga Pasal 1547. Jika orang tuanya
tidak mendaftarkan perkawinannya, tetapi ingin mempunyai anak
secara sah, mereka bisa mendaftarkannya ke undang-undang nanti.
Ayah juga dapat membuat pengakuan di pengadilan bahwa anak
tersebut adalah anaknya secara sah. Anak-anak dari perkawinan
yang sah berhak menerima pemeliharaan dan pendidikan sejak
mereka masih muda atau ketika mereka berusia di bawah 20 tahun
berdasarkan KUHPerdata dan Niaga, Bagian 1564. (248/2542).
Namun, jika istri tidak mendaftarkan perkawinannya, tetapi ayah telah
membuat pengakuan tentang status hukum anak di pengadilan, dia
dapat menuntut pemeliharaan anak darinya jika dia mengabaikan
tanggung jawab itu. Hal ini terlihat dalam putusan pengadilan perkara
no 2971/2544 yang memerintahkan pihak ayah untuk memberikan
nafkah kepada anak-anak ketika mantan istri mengajukan perkara
tersebut. Selain itu, besaran pemeliharaan harus disesuaikan dengan
kemampuan penyedia dan situasi penerima dengan mengacu pada
Bagian 1598/38. Hal ini dapat dibuktikan dengan putusan Pengadilan
Tinggi untuk perkara nomor 1605/2534 dan 4959/2552 yang
menyatakan bahwa tuntutan nafkah anak harus didasarkan pada
kebutuhan anak dan kemampuan pemberi nafkah.
KUHPerdata dan Niaga pasal 5 dan 6 menyatakan bahwa, jika terjadi
perceraian, suami istri harus membuat kesepakatan tentang siapa
yang harus memberi nafkah anak-anak, baik ayah atau ibu, atau
keduanya. Kesepakatan itu harus dibuat oleh suami dan istri itu
sendiri. Jika salah satu pihak gagal memenuhi perjanjian, pihak lain
dapat mengajukan tuntutan pemeliharaan anak di pengadilan. Hal ini
sejalan dengan putusan Pengadilan Tinggi untuk perkara no
2697/2548
yang menyatakan bahwa setelah perjanjian nafkah anak dibuat dan
suami tidak dapat memenuhi tanggung jawab, pengadilan
memutuskan bahwa suami harus memberikan nafkah kepada anak.
periode yang disepakati. Namun demikian, dalam hal mempunyai
anak lebih dari satu, besarnya nafkah anak ditentukan oleh
pengadilan, berdasarkan kemampuan penyedia perawatan. Pilihan
lainnya adalah pengadilan dapat memutuskan jumlah nafkah bulanan
sampai anak-anak
mencapai pubertas mereka seperti dapat dilihat dalam kasus no
3596/2546.
Apabila suami tidak memberikan nafkah kepada anak-anaknya
setelah dibuatnya perjanjian pada saat mereka mendaftarkan
perceraiannya, maka hal itu akan menjadi hutang. Dengan demikian,
setiap pihak harus membayar utang dalam jangka waktu yang
ditentukan. Akan tetapi, jika hanya istri yang memberikan nafkah
kepada anak-anaknya sampai mereka baligh, maka ia berhak
mengajukan gugatan di pengadilan sejumlah nafkah terhitung sejak
tanggal perceraian atau penetapan pengadilan sampai anak-anak itu
mencapai pubertas. Pemeliharaan yang tertunda dapat diklaim
sejauh lima tahun sebelum kasus diajukan. Pengadilan dapat
membuat perintah berdasarkan Bagian 1522.
Selanjutnya, kedudukan pengasuhan anak dalam Hukum Keluarga
Islam Thailand Selatan yang telah diterapkan di empat distrik
Thailand Selatan yaitu Patani, Yala, Naratiwat dan Satul (Undang-
Undang Hukum Keluarga Islam Thailand Selatan). 1946). Dalam
undang-undang tersebut, masalah pemeliharaan anak dijelaskan
dalam kategori ketiga yaitu menyusui dan pemeliharaan anak. Bagian
terkait untuk undang-undang itu adalah Bagian 184-187. Bagian 184
Hukum
Keluarga Islam Thailand Selatan menyatakan bahwa;
“Dengan mengacu pada undang-undang ini, wali (Usul) berkewajiban
memberikan nafkah kepada ahli waris (furuk), jika wali
(Usul) telah menyediakan pemeliharaan; wali lain yang terkait tidak
wajib memberikannya. Dalam situasi ini, jika ahli waris:
a) adalah anak laki-laki, dan jika dia
i. belum baligh, hingga ia baligh.
ii. telah mencapai pubertasnya, tetapi dia tidak dapat menghidupi
dirinya sendiri, atau cacat
b) perempuan, maka nafkahnya harus diberikan sejak ia masih muda
sampai ia menikah.
Pernyataan-pernyataan di atas menunjukkan bahwa Hukum Keluarga
Islam Thailand Selatan berbeda dengan KUHPerdata dan Niaga
pasal 5 dan 6. Pada bagian di atas disebutkan bahwa jika anak laki-
laki, maka nafkah harus diberikan sejak dia lahir sampai ia mencapai
pubertasnya. Dalam Hukum Keluarga Islam Thailand Selatan, usia
pubertas untuk anak laki-laki adalah pada usia 15 dan 9 tahun untuk
anak perempuan. Perbuatan itu mirip dengan definisi akil balig
menurut kitab-kitab fiqh ditulis oleh Imam Syafi'i. Oleh karena itu,
nafkah bagi seorang gadis dapat berakhir segera setelah ia menikah
dan memiliki suami sebagai walinya. Berbeda dengan Hukum
Perdata Thailand, pemeliharaan anak hanya diberikan sampai anak
tersebut mencapai pubertas yaitu pada usia 20 tahun baik untuk laki-
laki maupun perempuan (KUHP bab 5 dan 6, Pasal 1564).
Kelebihan Selama membaca analisa dalam jurnal ini, reviewer menemukan
beberapa kelebihan
1. Penjelasan istilah yang terkait dalam penelitian jurnal ini
dihadirkan pada permulaan jurnal, sehingga memudahkan
pembaca dalam mengarungi jurnal ini.
2. Pemilihan/ diksi kata yang cukup mudah dipahami apalagi
bagi reviewer yang sedikit penguasaan bahas inggrinya.
Kekurangan Adapun beberapa kekurangan yang ditemukan adalah:
1. Data statistic diambil terakhir tahun 2013, sedangkan
penulisan jurnal ini tahun 2015.
2. Tidak mengulas data angka perceraian yang menjadi salah
satu penyebab adanya masalah nafkah anak.
Kesimpulan Hukum Keluarga Islam di Thailand hanya diterapkan di Thailand
selatan yang merupakan basis muslim.
Terdapat perbedaan batas usia anak dalam Hukum perdata Thailand
dan Hukum Keluarga Islam

Anda mungkin juga menyukai