Secara kelembagaan, advokat belum dikenal di kalangan orang-orang arab pra Islam.
Hanya saja, terdapat praktek yang berlaku saat itu ketika terjadi sengketa antara
mereka yaitu mewakilkan atau menguasakan seorang pembicara atau juru debat
yang disebut ( حجيجاhajij) atau ( حجاجاhijaj) untuk membela kepentingan yang
memberikan kuasa atau perwakilan (al- Muwakkil). Hal tersebut berlanjut hingga
datangnya Islam, advokat belum eksis dan melembaga. Akan tetapi cikal bakal
advokat dalam Islam bisa ditelusuri lewat praktek al- Wakalah yang sudah
berkembang seiring dengan datangnya Islam.
Rasulullah saw sendiri pernah mewakilkan kepada sahabat penyerahan seekor unta
yang menjadi kewajiban beliau kepada seorang, orang tersebut datang menemui
beliau memperkarakan untanya, maka Nabi saw. pun memerintahkan para
sahabatnya mencarikan unta yang seusia dengan unta yang dituntut orang tersebut
untuk diberikan kepadanya, namun mereka tak mendapatkan kecuali unta yang
lebih tua. Nabi saw. pun memerintahkan menyerahkan unta yang lebih tua tersebut
kepadanya, maka ia pun berkata kepada Nabi saw., “engkau telah menunaikan
kewajibanmu kepadaku, maka Allah akan menunaikan pula kewajiban untukmu”.
Demikian di antara praktek al-Wakalah di zaman rasulullah saw yang berdiri di atas
prinsip tolong menolong yang diperintahkan oleh Islam. Al-wakalah inilah yang
menjadi bidzr (cikal bakal) profesi advokat.
Pada era Khulafa al-Rasyidun, praktek al-Wakalah semakin berkembang. Di masa
inilah advokat mulai mengambil bentuknya. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam
disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib pernah meminta ‘Uqail mewakilinya sebagai
pengacara dalam suatu perkara, begitu pula yang dilakukan Abu Bakar, Umar bin
Khaththab dan Uşman bin Affan. Ini berarti, perwakilan melalui seorang advokat
dalam masalah- masalah yang disengketakan sudah diakui dan dipraktekkan di
zamanKhulafa al- Rasyidun.
Barulah di zaman Dinasti Umayyah, profesi advokat benar-benar melembaga. Hal ini
terlihat pada profesi beracara di muka pengadilan Wilayah al-Mazhalim, saat itu yang
selalu melibatkan atau menghadirkan al-Humah dan al-A’wan (para pembela dan
pengacara). Kehadiran para pengacara ini diharapkan dapat meredam kekerasan dan
keangkuhan hati para pejabat pemerintah yang diajukan ke persidangan atas
pelangggaran yang dibuatnya terhadap anggota masyarakat.
Di masa Dinasti Abbasiyah, seiring dengan pesatnya perkembangan fiqh dan kajian
hukum Islam yang ditandai dengan munculnya mazhab-mazhab hukum Islam,
konsep al-Wakalah (perwakilan) khususnya dalam perkara Khushumah (sengketa
perselisihan antar anggota masyarakat) baik perdata maupun pidana mulai
disempurnakan dan dibakukan. Ulama- ulama masa ini sepakat menetapkan
kebolehan menunjuk seorang pengacara dalam pekara-perkara yang
dipersengketakan, baik oleh penggugat (al- mudda’iy) terlebih lagi oleh pihak
tergugat (mudda’a ‘alaih).
Di masa ini, lembaga tahkim (badan arbitrase) mendapat legalisasi dari
pemerintahan Abbasiyah di samping lembaga- lembaga peradilan yang ada. Orang-
orang yang berperkara dibenarkan menyerahkan perkaranya kepada
seorang hakamyang mereka setujui, tentunya atas dasar kerelaan kedua belah pihak
yang berperkara sebelumnya.
Lembaga advokat memasuki babak baru pada era akhir pemerintahan Dinasti
Utsmaniyah. Pada Tahun 1846 M, untuk pertama kalinya didirikan sebuah
universitas di Astanah yang membawahi sebuah akademi hukum yang nantinya
melahirkan advokat. Akademi ini bernama Maktab al-Huquq al-Syhaniy. Pemerintah
Utsmaniyah menyaratkan bahwa seorang advokat adalah yang dinyatakan lulus dan
menyandang ijazah dari akademi tersebut, di samping harus menguasai bahasa
resmi Daulah Utsmaniyah yang sedikit berbeda dengan bahasa Turki.
Sebelumnya, di mesir pada Tahun 1845 M, penguasa mesir menetapkan keputusan
resmi yang mengatur tentang keberadaan seorang advokat di muka pengadilan,
bahwasanya pihak penggugat maupun tergugat tidak boleh diwakili oleh seorang
pengacara kecuali keduanya atau salah satu dari keduanya tidak dapat hadir di
persidangan karena alasan syar’i (alasan yang dapat diterima).
Pada Tahun 1861, penguasa Mesir mengadakan kesepakatan dengan para konsulat
Negara asing untuk membentuk lembaga peradilan yang memperkarakan orang-
orang asing yang menetap di Mesir saat itu. Lembaga ini dinamai Majlis Qawmiyyun
Mish. Di lembaga peradilan ini peran advokatsemakin tampak dengan
dikeluarkannya aturan bahwa pihak tergugat dapat mengajukan wakilnya untuk
beracara di muka persidangan.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Mujamma’ al-Lughah al- Arabiyah, al- Mu’jam al-Wasith, Jil.I (Cet.III; Kairo: Dar al-
Handasiyah, 1985). Abdul Azis Dahlan, et al., Ensiklopedi Hukum Islam, jil 6 (Cet.I;
Jakarta Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996). Departemen Agama RI., Alquran dan
Terjemahnya (Semarang: PT Tanjung Mas Inti, t.th). Ibrahim Najib Muhammad
‘Iwadh, Al-Qadha fi al-Islam Tarikhuhu wa Nizhamuhu (Kairo: Mujamma’ al- Buhuts al-
Islamiyah, 1975). Ahmad bin Abdul Azis al- Mubarak, Nizham al- Qadha fi al- Islam
(Riyadh: Univ. Islam Muhammad Ibn Saud, 1984).
http://www.referensimakalah.com/2012/09/advokat-dalam-sejarah-islam.html
Advokat Dalam Islam
ADVOKAT DALAM ISLAM
Pengertian Advokat
Advokat: orang yang berprofesi memberikan bantuan hukum, baik di dalam maupun di luar
pengadilan berdasarkan undang-undang. Pekerjaannya adalah advokasi.
Jasa hukum yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum,
menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain
untuk kepentingan hukum klien.
Menurut hemat saya, kata advokat merupakan adopsi bahasa dari bahasa inggris, yaitu
“Advice” yang artinya memberikan saran.
Adapun dalam bahasa arab, advokat dikenal dengan istilah “Al-Muhaamie” yang berarti
pelindung, pemelihara, penjaga.
Sehingga dengan demikian, advokat mempunyai tugas-tugas yang beragam, baik melayani
seseorang dalam memecahkan masalahnya, memelihara hak-hak orang yang dirampas
haknya atau hanya sekedar memberikan saran.
Dalil-Dalil Keadvokatan
Nash (al-qur’an dan as-sunnah) dengan profesi advokat ini sangat berkaitan, antara lain
firman Allah Swt:
Al-Qur’an
1. Surat Shaad ayat 26
•
••
26. Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi,
Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka
melupakan hari perhitungan.
Sebenarnya ayat di atas lebih cenderung kepada perilaku hakim yang baik. Namun
demikian, hal ini juga bisa dijadikan dalil untuk advokat. Karena seorang advokat yang baik,
apalagi advokat islam, maka harus dituntut untuk berlaku adil dan tidak mengikuti hawa
nafsu. Hawa nafsu disini bisa ditafsir hermeneutik-kan dengan seorang advokat yang
berlaku curang atau membela yang orang salah lantaran disogok atau boleh jadi advokat
yang cenderung mengikuti hawa nafsu tersebut mempengaruhi pemikiran hakim dengan
menyampaikan argumen-argumen yang tidak sesuai dengan fakta.
2. Al-Isra’ ayat 36
•
36. dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.
Ayat tersebut di atas, menurut hemat saya cukup menginstruksi tajam sebagai pedoman
permainan hukum bagi hakim maupun advokat.
3. An-Nahl ayat 125
•
•
125. serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.
Dengan demikian, seorang secara tidak langsung kode etik seorang advokat juga diatur
dalam ayat ini, karena mengisyaratkan kepada kita semua agar berlaku lemah lembut, dan
mencintai perdamaian.
4. Thaha ayat 33
29. dan Jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku,
30. (yaitu) Harun, saudaraku,
31. teguhkanlah dengan Dia kekuatanku,
32. dan jadikankanlah Dia sekutu dalam urusanku,
33. supaya Kami banyak bertasbih kepada Engkau,
Ayat yang artinya ”dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku” mengisyaratkan pada masa
Nabi Daud dan Harun telah ada yang namanya meminta bantuan, yaitu Nabi Daud meminta
kepada Allah akan bantuan atau meminta-jadikan Nabi Harun sebagai teman dalam
berdakwah.
Jika kita tarik ke masa kini, maka seorang klien yang meminta bantuan atau sekutu kepada
seorang advokat dalam menyelesaikan sengketanya, juga sejalan dengan firman Allah di
atas.
5. An-Nahl ayat 9
•
90. Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
Keadilan sudah merupakan kewajiban seorang advokat islam. Adapun larangan Allah untuk
berbuat keji, kemungkaran dan permusuhan itu menjadi image bagi seorang advokat.
Karena jika seorang advokat berlaku keji dan permusuhan maka wibawanya akan jatuh di
mata masyarakat.
6. خير الصلح و
”Dan perdamaian itu lebih baik”
Ayat di atas, memang menjadi hierarki dalam persidangan di pengadilan. Istilah perdamaian
diaktualisasikan dalam bentuk mediasi.
Al-Hadis
1. “Apabila kepengurusan itu diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah
kehancurannya” (HR. Bukhari)
Hadis di atas mengisyaratkan bagi orang awam yang hendak menyelesaikan perkara agar
bisa mengadukannya kepada advokat. Karena kalau ia tidak melaporkannya, maka boleh
jadi hak-hak dalam suatu sengketa tertentu akan dirampas oleh orang lain.
2. فيها يخونهم وال عليها ائتمنوك تخن وال ائتمنك من إلى األمانة أد
“Laksanakanlah amanah kepada orang yang mempercayai kamu dan janganlah kamu
mengkhianati orang yang mengkhianati kamu dan juga jangan mengkhianati mereka.”
Hadis di atas mengisyaratkan kepada para advokat yang sedang melayani klien-nya agar
bisa bersikap amanah jika ia disuruh untuk mewakilinya.
Wallahu_a’lamu bish-shawab
http://nahdhayatullah.blogspot.co.id/2011/03/advokat-dalam-islam.html
Home » Hikmah , Islami , Tunjuk Ajar » Hukum Berprofesi Sebagai Pengacara [Advokat] dan Kode
Etiknya Menurut Ulama Pandangan Ulama Islam
Sesungguhnya syariat Islam adalah syariat yang sempurnadan paripurna yang membahas segala
hal yang dibutuhkan oleh hamba.
Di antara sekian bukti akan hal itu adalah konsep Islam yang sangat jelas tentang pengadilan. Dan di
antara sekian bahasan dalam pengadilan adalah “pengacara”. [Baca juga Kisah: Pengacara pintar
dan Hakim Cerdas]
Nah, apakah masalah pengacara dibahas dalam Islam? Adakah penjelasannya dalam kitab-kitab
para ulama?! Bagaimana kriteria pengacara dalam Islam?! Inilah yang akan menjadi topik bahasan
kita kali ini. Semoga Allah memberikan pemahaman kepada kita semua.[1]
Definisi Pengacara
Dalam bahasa Arab, pengacara biasa juga disebut sebagai Al-Muhami (yang berarti: pembela).
Adapun menurut KBBI, pengacara (advokat) adalah ahli hukum yang berwenang sebagai penasihat
atau pembela perkara dalam pengadilan.[2].
Adanya pengacara dalam persidangan adalah perkara yang dibolehkan, berdasarkan dalil-dalil yang
banyak dari Alquran, hadits, ijma’, dan akal.
1. Dalil Alquran
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu
mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu
menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. (QS.
an-Nisa’ [4]: 105)
Dalam ayat ini terdapat larangan menjadi pengacara secara batil, Artinya, jikalau beracara untuk
dalam rangka menegakkan kebenaran maka dibolehkan, bahkan sangat diajurkan dan dianggap
sebagai profesi mulia.
Syaikh as-Sa’di (1376 H) berkata, “Pemahaman ayat ini menunjukkan bolehnya berprofesi sebagai
pengacara bagi seorang yang tidak dikenal dengan kezaliman.” [3]
2. Dalil Hadits
Dari Fathimah binti Qois radhiallahu ‘anha bahwasanya Abu ’Amr menceraikannya tiga cerai dari
kejauhan dirinya, dia mengutus wakilnya untuk membawakan gandum kepada Fathimah, tetapi
Fathimah malah marah kepadanya. Lalu wakil tersebut mengatakan, “Demi Allah, kamu itu tidak
memiliki hak lagi.” Setelah itu Fathimah melapor kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu
bersabda, “Tidak ada kewajiban baginya untuk menafkahimu lagi.” (HR. Muslim: 1480)
Hadits ini menunjukkan bolehnya perwakilan dalam persengketaan (pengacara), karena Fathimah
melaporkan perkara wakil suaminya tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun Nabi
tidak mengingkarinya, berarti beliau menyetujui adanya wakil dalam persengketaan.[4]
3. Dalil Ijma’
Secara global, tidak ada perselisihan di kalangan ulama tentang bolehnya mewakilkan dalam
persengketaan baik dalam harta, pernikahan, dan sejenisnya.[5] Bahkan, secara khusus sebagian
ulama telah menukil adanya ijma’ dalam masalah ini. As-Sarakhsi (490 H) berkata, “Perwakilan dalam
pengadilan sudah ada semenjak masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari ini tanpa adanya
pengingkaran dari siapa pun.” [6] As-Sumnani (499 H) menjelaskan tentang pengacara, “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah mewakilkan, demikian juga para imam yang adil dari
kalangan sahabat dan tabi’in. Hal ini juga diamalkan oleh manusia di semua negara.” [7]
4. Dalil Akal
Seorang kadang-kadang membutuhkan wakil dalam persidangan, entah karena dia tidak suka
perdebatan atau tidak memiliki keahlian dalam berdebat—baik membela atau membantah—maka
sangat sesuai jika syariat membolehkannya.[8]
Bolehkah Berprofesi Sebagai Pengacara?
Berprofesi sebagai pengacara hukumnya boleh apabila untuk membela kebenaran dan menolong
orang yang terzalimi, baik dengan mengambil gaji atau tidak. Dalilnya adalah firman Allah:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-
pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. at-Taubah
[9]: 60)
Dalam ayat ini terdapat dalil bolehnya pemerintah mewakilkan seorang untuk mengambil zakat dan
membagikannya kepada yang berhak dengan adanya imbalan bagi amil zakat tersebut.[9] Kalau amil
zakat berhak mendapatkan imbalan atas pekerjaannya, maka demikian juga pengacara berhak
mendapatkan imbalan atas pekerjaannya.
Lajnah Da’imah (komite fatwa) Arab Saudi pernah ditanya tentang hukum profesi sebagai pengacara,
maka mereka menjawab, “Apabila dia berprofesi sebagai pengacara bertujuan untuk membela
kebenaran, menumpas kebatilan dalam pandangan syariat, mengembalikan hak kepada pemiliknya,
dan menolong orang yang terzalimi, maka hal itu disyariatkan, karena termasuk tolong-menolong
dalam kebaikan. Adapun apabila tujuannya bukan demikian maka tidak boleh karena termasuk
tolong-menolong dalam dosa. Allah berfirman,
“Dan bagaimanakah mereka mengangkatmu menjadi hakim mereka, padahal mereka mempunyai
Taurat yang di dalamnya (ada) hukum Allah, kemudian mereka berpaling sesudah itu (dari
putusanmu)? Dan mereka sungguh-sungguh bukan orang yang beriman.” (QS. al-Ma’idah [5]: 43)[10]
Bahkan, sebenarnya kalau kita membuka sejarah Islam, profesi pengacara sudah ada sejak dahulu
sekalipun tidak mesti dalam setiap persidangan. Bukti akan hal itu banyak sekali, di antaranya apa
yang dikatakan oleh as-Sumnani (499 H), “Bab tentang pengacara dan kewajiban mereka.” [11] Bab
ini menunjukkan bahwa profesi pengacara sudah ada sejak dahulu. Bahkan, dalam kitab biografi, ada
sebagian orang yang dikenal sebagai pengacara, seperti Abu Marwa Utsman bin Ali bin Ibrahim (346
H), beliau dikenal sebagai pengacara yang profesional.[12]
Seorang pengacara sejati harus memiliki ilmu tentang hukum-hukum syar’i seputar muamalah baik
yang berkaitan tentang pernikahan, kriminal, pengadilan, dan sebagainya. Sebab, bila tidak demikian
maka dia akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki.
Ibnu Abdi Dam (642 H) menjelaskan faktor tentang tujuan dia menulis kitab tentang adab-adab
seorang hakim, “Tujuan inti dari memaparkan masalah ini agar mudah diketahui oleh para pengacara
yang merupakan wakil dari hakim dalam menyelesaikan persengketaan hukum.” [13]
Seorang pengacara harus memiliki sifat amanat, menjaga rahasia, dan adil, karena dia mengemban
kepentingan kaum muslimin yang telah memberikan kepercayaan mereka kepada para
pengacara.[14]
Seorang pengacara harus pria sebab dia akan sering berurusan dengan banyak lelaki baik hakim,
saksi, terdakwa, dan sebagainya, dan sering tinggal di kantor pengacara dan kantor persidangan,
padahal semua itu bertentangan dengan tugas seorang wanita yang sejatinya tetap tinggal di rumah,
menunaikan tugas rumah, merawat anak-anak, dan tugas-tugas mulia lainnya. Cukuplah profesi ini
ditangani oleh kaum pria saja[15]. Sebab itu, dalam undang-undang sebagian negara non-Islam pun
ada larangan pengacara dari kaum wanita.[16]
Para ulama menyebutkan, ada beberapa hal yang dapat menghalangi seorang pengacara untuk lulus
menjadi pengacara ideal, di antaranya:
َت ٱل ُمؤ ِمنِينَ يُؤذُونَ َوٱلَّذِين َ َ ُّم ِبينا َو ِإثما بُهت َ ٰـنا ٱحت َ َملُوا فَقَ ِد ٱكت
ِ سبُوا َما ِبغَي ِر َوٱل ُمؤ ِمنَ ٰـ
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang
mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.”
(QS. al-Ahzab [33]: 58)
Oleh karena itu, apabila pengacara memiliki permusuhan pribadi dengan lawannya maka tidak boleh
ia menjadi pengacara (pada kasus tersebut) karena dia akan berusaha untuk menyakitinya dan
meluapkan dendamnya kepada orang tersebut kecuali bila dia (musuhnya) ridha.[17]
2. Suka Berbelit-belit
Apabila ada seorang pengacara yang dikenal berbelit-belit sehingga mengutarakan hal-hal yang tidak
ada kenyataannya dengan tujuan untuk memperpanjang masalah dan menyakiti lawan, maka dia
tidak boleh diangkat sebagai pengacara.[18]
Apabila ada indikasi kuat bahwa hakim akan pilih kasih kepadanya baik karena hubungan kerabat
atau hubungan kawan dekat dan sebagainya maka tidak boleh sebagai pengacara dalam kasus
tersebut. Oleh karenanya, Syaikh Muhammad bin Ibrahim alu Syaikh berpendapat bahwa hendaknya
hakim tidak menjadi hakim dalam kasus yang pengacaranya adalah anaknya sendiri.[19]
Masalah ini diperselisihkan oleh ulama, namun pendapat terkuat adalah tidak boleh karena hal itu
kontra, bagaimana dia menjadi penggugat dan dalam waktu yang sama dia menjadi pembela?! Ini
adalah madzhab Hanafiyyah dan pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’iyyah.[20]
Kewajiban Pengacara
1. Melaksanakan Tugas
Kewajiban pengacara adalah melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya dan tidak
melampuinya, karena dia adalah wakil dari seorang yang telah mewakilkannya.[21]
6. Menjaga Rahasia
Apabila ada hal-hal yang seharusnya dirahasiakan maka tidak boleh pengacara membongkarnya,
apalagi hal-hal yang berkaitan dengan pribadi rumah tangga atau menyebabkan kerusakan di
masyarakat.[27]
Demikianlah penjelasan secara singkat tentang pengacara dalam Islam. Semoga bermanfaat bagi
kita semua, khususnya bagi para pengacara dan calon pengacara yang ingin sukses dunia dan
akhirat.
***
Dikutip dari tulisan: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi pada Artikel
www.PengusahaMuslim.com
http://www.putramelayu.web.id/2017/10/hukum-berprofesi-sebagai-pengacara.html