PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Ary, Ketua MK: 29% UU Dibatalkan Karena Tak Berkualitas ,http://news.liputan6.com/read/475147/ketua-mk-
29-uu-dibatalkan-karena-tak-berkualitas, 26-12-2012.
2
Ibid
3
Has, Banyak dibatalkan MK, kualitas legislasi 2012 menurun, http://www.merdeka.com/peristiwa/banyak-
dibatalkan-mk-kualitas-legislasi-2012-menurun.html, 2 Januari 2013
4
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapPUU.
5
Lihat...Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
1
dalam membentuk suatu produk hukum yang tidak lagi perlu ditakutkan akan bertentangan
dengan UUD 1945 ataupun peraturan perundang-undangan dibawahnya asalkan kita
kembalikan lagi kepada Jiwa dan kepribadian , Pandangan Hidup , Perjanjian Luhur,
Sumber dari segala sumber tertib hukum, Cita- cita dan tujuan yang akan dicapai bangsa
Indonesia
Disharmonisasi terjadi selain terkait masalah yang sangat teknis dan politis,
sesungguhnya terjadi karena pembentuk undang-undang yang mengenyampingkan nilai-
nilai asli dan nilai-nilai dasar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Salah satu undang-
undang yang disinyalir bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 adalah undang-
undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing (UUPMA)6.
Berdasarkan uraian diatas, maka dalam makalah ini penulis ingin merumuskan
apakah UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (UUPM) sudah sesuai dengan
idiologi dan sistem ekonomi di Indonesia? bagaimana kajian dari segi politik hukum tentang
undang-undang tersebut.
B. Permasalahan
Apakah UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (UUPM) sudah sesuai dengan
idiologi dan sistem ekonomi di Indonesia, bagaimana dampak positif dan dampak negatif
dari UUPM.
6
Jakarta, Pelita: Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bakti menilai UU
Penanaman Modal Asing (PMA) menjadi salah satu UU yang paling bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
www.pelita.or.id/baca.php?id=60101. Diakses tanggal 22 April 2015
2
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut Daniel S. Lev, yang paling menentukan dalam proses hukum adalah konsepsi
dan struktur kekuasaan politik, yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu merupakan alat politik,
dan bahwa tempat hukum dalam negara, tergantung pada keseimbangan politik, definisi
kekuasaan, evolusi idiologi politik, ekonomi, sosial, dan seterusnya. 7
Walaupun kemudian proses hukum yang dimaksud tersebut di atas tidak diidentikan
dengan maksud pembentukan hukum, namun dalam prateknya seringkali proses dan dinamika
pembentukan hukum mengalami hal yang sama, yakni konsepsi dan struktur kekuasaan
politiklah yang berlaku di tengah masyarakat yang sangat menentukan terbentuknya suatu
produk hukum. Maka untuk memahami hubungan antara politik dan hukum di negara mana pun,
perlu dipelajari latar belakang kebudayaan, ekonomi, kekuatan politik di dalam masyarakat,
keadaan lembaga negara, dan struktur sosialnya, selain institusi hukumnya sendiri.
Pengertian hukum yang memadai seharusnya tidak hanya memandang hukum itu sebagai
suatu perangkat kaidah dan azas-azas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat,
tetapi harus pula mencakup lembaga (institutions) dan proses (process) yang diperlukan untuk
mewujudkan hukum dalam kenyataan.8 Dari kenyataan ini disadari, adanya suatu ruang yang
absah bagi masuknya suatu proses politik melalui wadah institusi politik untuk terbentuknya
suatu produk hukum.9 Sehubungan dengan itu, ada dua kata kunci yang akan diteliti lebih jauh
tentang pengaruh kekuasaan dalam hukum yakni mencakup kata “process” dan
kata“institutions,” dalam mewujudkan suatu peraturan perundang-undangan sebagai produk
politik. Pengaruh itu akan semakin nampak pada produk peraturan perundang-undang oleh suatu
institusi politik yang sangat dipengarhi oleh kekuata-kekuatan politik yang besar dalam institusi
politik.
Miriam Budiarjo10 berpendapat bahwa kekuasaan politik diartikan sebagai kemampuan
untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-
akibatnya, sesuai dengan pemegang kekuasaan. Dalam proses pembentukan peraturan hukum
oleh institusi politik peranan kekuatan politik yang duduk dalam institusi politik itu adalah
sangat menentukan. Institusi politik secara resmi diberikan otoritas untuk membentuk hukum
hanyalah sebuah institusi yang vacum tanpa diisi oleh mereka diberikan kewenangan untuk itu.
7
Daniel S. Lev, Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I, LP3S, Jakarta, 1990,
hal.XII
8
Mieke Komar, at al., Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik dan Negarawan, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70
Tahun Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LLM, Alumni, Bandung, 1999, hal. 91
9
Ibid
10
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. ke 27, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hal.22
3
karena itu institusi politik hanya alat belaka dari kelompok pemegang kekuasaan politik.
Kekuatan- kekuatan politik dapat dilihat dari dua sisi yakni sisi kekuasaan yang dimiliki oleh
kekuatan politik formal (institusi politik) dalam hal ini yang tercermin dalam struktur kekuasaan
lembaga negara, seperti Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan lembaga-lembaga negara
lainnya dan sisi kekuatan politik dari infrastruktur politik adalah seperti: partai politik, tokoh-
tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi
profesi dan lain-lain. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa pembentukan produk
hukum adalah lahir dari pengaruh kekuatan politik melalui proses politik dalam institusi negara
yang diberikan otoritas untuk itu.
Di luar kekuatan-kekuatan politik yang duduk dalam institusi-instusi politik, terdapat
kekuatan-kekuatan lainnya yang memberikan kontribusi dan mempengaruhi produk hukum yang
dilahirkan oleh institusi-institusi politik. Kekuatan tersebut berbagai kelompok kepentingan yang
dijamin dan diakui keberadaan dan perannya menurut ketentuan hukum sebagai negara yang
menganut sistem demokrasi, seperti kalangan pengusaha, tokoh ilmuan, kelompok organisasi
kemasyarakatan, organisasi profesi, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat dan lain-lain.
Bahkan UU. R.I. No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Per-Undang-Undangan,
dalam Bab. X menegaskan adanya partisipasi masyarakat yaitu yang diatur dalam Pasal 53 :
“Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan
atau pembahasan Rancangan Undang Undang dan Rancangan Peraturan Daerah.”
Kenyataan di atas menunjukan bahwa pengaruh masyarakat dalam mempengaruhi
pembentukan hukum, mendapat tempat dan apresiasi yang begitu luas. Apalagi sejak tuntutan
masyarakat dalam mendesakkan reformasi disegala bidang berhasil dimenangkan, dengan
ditandai jatuhnya orde baru di bawah kepemimpinan Suharto yang otoriter, maka era reformasi
telah membawa perubahan besar di segala bidang ditandai dengan lahirnya sejumlah undang-
undang yang memberi apresiasi yang begitu besar dan luas. Dalam kasus ini, mengingatkan kita
kepada apa yang diutarakan oleh pakar filsafat publik Walter Lippmann, bahwa opini massa
telah memperlihatkan diri sebagai seorang master pembuat keputusan yang berbahaya ketika apa
yang dipertaruhkan adalah soal hidup mati.11
Perkembangan praktik pembentukan hukum dan praktik hukum di Indonesia sejak awal
reformasi telah kita ketahui dan rasakan di mana sangat transparan “intervensi
pengaruh” sistem hukum Amerika Serikat melalui organisasi internasional seperti IMF dan
World Bank yang di dominasi oleh para alumni perguruan tinggi terkenal di AS dibandingkan
dengan alumni hukum dari daratan eropa. Sebagai contoh, pembentukan UU Kepailitan, UU
11
Lippman, Walter. Filsafat Publik, Terjemahan dari buku aslinya yang berjudul ” The Public Philosophy, oleh A.
Rahman Zainuddin, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 1999, hal. 23
4
Anti Monopoli dan Persaingan Usaha, UU Penanaman Modal, UU Migas dan UU Kehutanan.
Begitu pula pembentukan lembaga baru diluar lembaga konvensional yang telah ada
sebelumnya, seperti pembentukan pengadilan niaga. Pola pembentukan hukum dan
pelembagaan sebagaimana diuraikan di atas, merupakan wujud nyata dari pengaruh aliran
liberalisme dan kapitalisme sebagai landasan politik hukum era globalisasi.
Pengaturan nasional berupaya agar produk yang dihasilkan dari penanaman modal asing
dapat menembus pasar global juga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu,
kebijakan dari sudut pandang kepentingan negara penerima modal diharapkan dapat membantu
terwujudnya tujuan pembangunan. Namun, persyaratan tersebut oleh perusahaan pemodal asing
dipandang sebagai kebijakan yang mengekang atau membatasi kebebasan perusahaan pemodal
asing untuk menentukan kebijakan penanaman modal asingnya. Sebagai reaksi atas adanya
persyaratan penanaman modal ini, perusahaan penanam modal asing biasanya meminta
kompensasi misalnya berupa insentif penanaman modal, keringanan pajak atau jaminan
perlindungan terhadap penanaman modal yang dituangkan dalam suatu peraturan perundang-
undangan.12
Peraturan perudang-undangan tersebut diharapkan dapat mensejahterakan negara melalui
peluang yang lebih besar bagi penanaman modal asing. Namun, pengaturan nasional ternyata
tidak selamanya memberi kesejahteraan seperti yang diharapkan, tetapi sebaliknya menimbulkan
kerugian khususnya apabila peraturan perundang-undangan tersebut dibuat oleh negara yang
lemah yang tidak memiliki posisi tawar. Dalam prakteknya posisi tawar selalu berada pada
negara maju yang mewakili perusahaan penanam modal asing.13
Hukum nasional dan kebijakan-kebijakan dalam penanaman modal asing langsung
sangat luas dan beragam dari waktu ke waktu, dari satu tempat ke tempat lain. Dalam membuat
peraturan dan kebijakan penanaman modal asing, pembuat kebijakan paling sedikit dalam
kebijakan tersebut harus mencakup tiga permasalahan yaitu: 14
Bagaimana menarik penanaman modal asing langsung tanpa mendatangkan atau
membuat kerusakan terhadap tabungan mata uang asing domestik dan penggunaan kekayaan
alam, bagaimana melindungi hak-hak hukum penanam modal asing dan memberikan
perlindungan yang cukup, sementara pada waktu yamg bersamaan harus mempertahankan
dominasi sebagai negara yang mempunyai kedaulatan / kekuasaan dan meminimalisasi pengaruh
negatifdari penanaman modal asing langsung; dan bagaimana membentuk hukum dan sistem
pajak yang secara bersamaan dapat mendorong tumbuhnya ekonomi dan sisi lain dapat menarik
12
An An Chandrawulan, Hukum Perusahaan Multinasional, Liberalisasi Hukum Perdagangan Internasional dan
Hukum Penanaman Modal, cetakan ke-1, (Bandung: Penerbit PT. Alumni, 2011), hlm. 34
13
Ibid
14
Ibid
5
penanam modal asing serta meningkatkan pendapatan yang cukup sesuai persyaratan
penggunaan keuangan negara.
Saat ini hampir semua negara mempunyai hukum dan pengaturan pengawasan terhadap
penanam modal asing langsung, Bahkan negara-negara yang mempertahankan kebijakan
terbuka terhadap penanaman modal asing langsung pun sekarang mengenakan pembatasan-
pembatasan terhadap mengalirnya dan aktivitas penanam modal asing, khususnya dibidang-
bidang tertentu misalnya jasa keuangan, telekomunikasi dan bidang-bidang yang menyangkut
kepentingan umum.
15
Indonesia (1), Undang-Undang Tentang Penanaman Modal. UU No. 25, LN No. 67 Tahun 2007, TLN No. 4724,
Pasal 8 ayat (1)
16
Indonesia (1), Pasal 8 ayat (3)
9
11) Pembayaran yang dilakukan dalam rangka bantuan teknis, biaya yang harus dibayar
untuk jasa teknik dan manajemen, pembayaran yang dilakukan di bawah kontrak proyek,
dan pembayaran hak atas kekayaan intelektual; dan
12) Hasil penjualan aset yang dialihkan kepada pihak lain.
17
Ibid., Pasal 18.
18
Ibid., Pasal 21.
19
Ibid., Pasal 20.
20
Ibid., Pasal 5 ayat (2) dan (3)
10
Bidang Usaha yang terbuka bagi Penanam Modal diatur dalam Pasal 12 menyatakan
bahwa:
Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal,
kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan
persyaratan.
Bidang usaha yang tertutup bagi penanam modal asing adalah: produksi senjata,
mesiu, alat peledak, dan peralatan perang; dan bidang usaha yang secara eksplisit
dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang. Pemerintah berdasarkan Peraturan
Presiden menetapkan bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing
maupun dalam negeri, dengan berdasarkan kriteria kesehatan, moral, kebudayaan,
lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan nasional, serta kepentingan nasional lainnya.
Kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan
serta daftar bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing
akan diatur dengan Peraturan Presiden.
Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan
kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan,
pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi dan
distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama
dengan badan usaha yang ditunjuk pemerintah.
Bentuk fasilitas yang diberikan kepada penanam modal berdasarkan Pasal 18 ayat
(4) UU No. 25 Tahun 2007 dapat berupa: pajak penghasilan melalui pengurangan
penghasilan neto sampai tingkat tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan
dalam waktu tertentu; pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal
mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam
negeri; pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk
keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu; pembebasan atau
penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang modal atau mesin atau peralatan
untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka
waktu tertentu; penyusutan atau amortisasi yang dipercepat; dan keringanan Pajak Bumi dan
Bangunan, khususnya untuk bidang usaha tertentu, pada wilayah atau daerah atau kawasan
tertentu.
B. Teori-Teori Pendukung
1. Pancasila selaku Asas Hukum Umum bagi perundang-undangan.
a. Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa
11
Mengkaji Pancasila sebagai Pandangan hidup Bangsa, maka memahami apa arti
Bangsa terlebih dahulu. Menurut Ernest Renan, Bangsa adalah soal perasaan, soal
kehendak (tekad) semata-mata untuk tetap hidup bersama yang timbul antara
segolongan besar manusia yang nasibnya sama dalam masa yang lampau, terutama
dalam penderitaan-penderitaan bersama.21 Bung Karno meminjam kata-kata dari Ki
Bagoes Hadikoesoemo dan Moenandar bahwa bangsa adalah manusia yang
menyatu dengan tanah airnya. 22 Pandangan Hidup dapat didefinisikan sebagai
segenap prinsip dasar yang dipegang teguh oleh suatu bangsa guna memecahkan
berbagai persoalan kehidupan yang dihadapinya.23
Pandangan hidup mempunyai arti penting bagi suatu bangsa yang ingin
mewujudkan cita-citanya sebagai bangsa. Karena suatu bangsa tanpa pandangan
hidup akan tersesat, terombang – ambing tidak tahu bagaimana atau dengan apa
menghadapi dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dalam masyarakatnya
sendiri ataupun persoalan-persoalannya sebagai bagian dari masyarakat dunia.
Pandangan hidup adalah suatu panduan, pakem, atau kontrol bagi suatu bangsa
dalam rangka mewujudkan cita-citanya.
Dengan kata lain Pancasila digunakan sebagai petunjuk arah semua kegiatan dan
aktifitas bangsa Indonesia. Semua tingkah laku dan tindak perbuatan setiap
manusia Indonesia harus dijiwai dan memancarkan kelima sila yang ada dalam
Pancasila.
21
Ernest Renan (alih bahasa oleh: Prof.Mr.Sunario), 1994, Bandung, Alumni, hlm. xvii - xviii
22
Tim Penyunting, 1992, Risalah Sidang BPUPKI, PPKI, Sekretariat Negara RI, Jakarta, hlm. 62-63
23
Subandi Al Marsudi, 2001, Pancasila dan UUD 1945 dalam Paradigma Reformasi, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, hlm. 5
24
Lihat... Alinea keempat Pembukaan (Mukadimah) UUD 1945
12
tertib hukum.13 Dengan demikian Pancasila bersifat imperatif, mengikat dan
memaksa. Pancasila mengandung norma-norma hukum yang tidak boleh
dikesampingkan apalagi dilanggar.
Pancasila adalah Jiwa Bangsa, Kepribadian, Perjanjian Luhur, Cita-cita dan
Tujuan, Falsafah dan Ideologi Bangsa Indonesia. Dari aspek hukum tata negara,
Pancasila adalah dasar negara yang mengandung arti sebagai sumber dari segala
sumber hukum. Sedangkan dari aspek sosiologis, fungsi Pancasila adalah
pengatur hidup kemasyarakatan pada umumnya. Dalam pengertian etis dan
filosofis adalah Pancasila berfungsi pengatur tingkah laku pribadi dan cara-cara
dalam mencari kebenaran atau disebut juga sebagai philosophical way of
thinking atau philosophical system.
c. Norma-norma dalam Pancasila sebagai Staatfundamentalnorm
Pembukaan UUD 1945 merupakan Staatfundamentalnorm karena didalamnya
terkandung empat pokok pikiran yang tidak lain adalah Pancasila itu sendiri,
serta pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum maka dapat
disimpulkan bahwa Pembukaan UUD 1945 adalah Filsafat Hukum Indonesia.25
Pancasila adalah norma dasar atau norma tertinggi bagi berlakunya semua
norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan rakyat Indonesia.
Mengikuti teori Hans Nawiasky, Staatfundamentalnorm Indonesia adalah
Pembukaan UUD 1945 karena didalamnya dimuat rumusan Pancasila sebagai
sumber dari segala sumber hukum.
2. Stufentheorie
Menurut Adolf Merkel dan Hans Kelsen, setiap tata kaedah hukum merupakan
suatu susunan daripada kaedah-kaedah tersebut. Dalam Stufentheorie-nya tersebut Hans
Kelsen mengemukakan bahwa, dipuncak ‘stufenbau’ terdapat kaedah dasar dari suatu
tata hukum nasional yang merupakan suatu kaedah fundamental disebut dengan
grundnorm yang bersifat abstrak, umum atau hipotesis.26
Dalam teori ini , dijelaskan bahwa semua norma merupakan satu kesatuan
Piramida, yang dasar keabsahannya ditentukan oleh norma yang paling tinggi
kedudukannya. Norma yang berada diatas merupakan sumber dari semua norma
dibawahnya, norma dibawah tidak boleh bertentangan dengan norma yang berada lebih
tinggi tingkatannya. Theori Hans Kelsen ini selanjutnya dikembangkan oleh Hans
25
Darji Darmodiharjo, Shidarta,2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 230
26
Rosjidi Ranggawidjaja, 1998, Pengantar Ilmu Perundang-undangan di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm.26
13
Nawiasky yang menyatakan bahwa norma-norma hukum dalam negara adalah
berjenjang dimulai dari Grundnorm sebagai yang tertinggi, kemudian Staatgrundgesetz
atau Aturan-aturan Dasar Negara, selanjutnya adalah Formellegesetz atau Undang-
Undang, dan terakhir adalah Verordnungen atau Peraturan Pelaksana di bawa Undang-
Undang.27
Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indosia mengikuti theori
Hans Kelsen dan Hans Nawiasky dari Hukum yang tertinggi hingga yang paling rendah
yang dirumuskan sebagai berikut:28
1. UUD 1945;
2. Ketetapan MPR;
3. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah kabupaten/Kota.
27
Ibid, hlm. 27
28
Lihat ...Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan
14
bangsa merdeka dengan mayoritas bangsa sebagai pelaku dan tulang punggungnya (Arief,
2002).
Sebagaimana termuat dalam Pasal 33 Ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) UUD 1945,
sistem ekonomi Indonesia merupakan demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan, dengan
kata lain dapat disebut sebagai demokrasi ekonomi kerakyatan. menurut Prof. Dr. Laica
Marzuki (1999), “ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan
ekonomi rakyat.
Ekonomi rakyat adalah sebagai kegiatan ekonomi atau usaha yang dilakukan oleh
rakyat kebanyakan (popular) yang dengan secara swadaya mengelola sumber daya ekonomi
apa saja yang dapat diusahakan dan dikuasainya, yang selanjutnya disebut sebagai Usaha
Kecil dan Menengah (UKM) terutama meliputi sektor pertanian, peternakan, kerajinan,
makanan, dsb., yang ditujukan terutama untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan
keluarganya tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya (Marzuki, 1999).
Setiap aturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perekonomian nasional
harus berlandaskan pada jiwa dan semangat Pasal 33 UUD 1945 serta harus sesuai dengan
sistem ekonomi nasional yang dianut UUD 1945, yakni demokrasi ekonomi dengan konsep
ekonomi kerakyatan. Setiap aturan perundang-undangan yang menyimpang dengan konsep,
jiwa dan semangat ini, maka berarti undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD
1945.
Indonesia sebagai Negara yang sedang berkembang membutuhkan banyak modal
untuk mengatasi masalah-masalah pokok dalam upaya mensejahterakan rakyatnya, karena
tingkat pertumbuhan penduduk di Indonesia relatif tinggi, tetapi secara ekonomi relatif
masih terbelakang. Selain itu menurut MP. Todaro (1983) Negara yang sedang berkembang
memiliki ciri-ciri :
1. Taraf hidup yang rendah
2. Produktifitas yang rendah
3. Tingkat pertumbuhan populasi dan beban tanggungan yang tinggi
4. Angka pengangguran yang tinggi
5. Ketergantungan pada ekspor hasil-hasil pertanian
6. Dominasi, dependensi, dan vulnerabilitas dalam hubungan-hubungan internasional.
Untuk keluar dari tingkatan negara yang sedang berkembang, Indonesia harus
mempunyai modal yang besar dan mengundang investor asing untuk menanamkan modalnya
di Indonesia. Pengaturan kebijakan tentang penanaman modal asing secara resmi untuk
pertama kalinya diatur dalam UU No. 78 Tahun 1958, akan tetapi karena pelaksanaan
undang-undang ini banyak mengalami hambatan, undang-undang tersebut dicabut dengan
15
UU NO. 16 Tahun 1958. Sejak zaman orde baru, kebijakan penanaman modal terbuka bagi
para investor asing yang akan menanamkan modalnya di Indonesia. Dengan mensahkan UU
No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing yang kemudian direvisi dengan UU No.
11 Tahun 1970 (UUPMA), selain mengeluarkan peraturan kebijakan tentang penanaman
modal asing, pemerintah juga mengeluarkan peraturan tentang penanaman modal dalam
negeri, yaitu UU No. 6 tahun 1968 jo UU No. 12 Tahun 1970 Tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri, sehingga ada pemisahan pengaturan tentang penanaman modal asing dan
penanaman modal dalam negeri.
Setelah berlaku kurang lebih 40 tahun, kebijakan penanaman modal asing dan
penanaman modal dalam negeri tersebut diganti dengan UU No. 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal (UUPM). Kebijakan baru ini maksudkan untuk memenuhi tantangan dan
kebutuhan untuk mempercepat perkembangan perekonomian nasional melalui konstruksi
pembangunan hukum nasional dibidang penanaman modal yang berdaya saing dan berpihak
kepada kepentingan nasional. Sejak berlakunya UUPM, maka terjadi perubahan secara
signifikan tentang kebijakan penanaman modal di Indonesia.
Undang-Undang Penanaman Modal merupakan salah satu bagian dari paket
perbaikan kebijakan iklim investasi yang dikeluarkan melalui Instruksi Presiden Nomor 3
Tahun 2006 yang salah satu programnya adalah mengubah Undang-Undang Penanaman
Modal yang memuat prinsip-prinsip dasar, antara lain: perluasan definisi modal,
transparansi, perlakuan sama investor domestik dan asing (di luar Negative List), dan
Dispute Settlement. Paket perbaikan kebijakan ini didanai oleh Bank Dunia melalui utang
program yaitu, Development Policy Loan (DPL) III sebesar US$ 600 juta, utang dalam
bentuk technical assistance ini adalah utang jangka pendek yang mulai disepakati sejak bulan
Desember 2006 dan berakhir pada bulan Maret 2007 (Putusan Mahkamah Konstitusi, Nomor
21-22/PUU-V/2007).
Sebagaimana dijelaskan dalam Ketentuan Umum UUPM, modal adalah asset dalam
bentuk uang atau bentuk lain yang dimiliki oleh penanam modal yang memiliki nilai
ekonomis, sedangkan yang dimaksud dengan Penanaman modal adalah segala bentuk
kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal
asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.
Dikaji dari bentuk kebijakannya, maka UUPM secara langsung mengabungkan
kebijakan penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri melalui satu undang-
undang.
UUPM mengundang banyak kritik dari berbagai elemen masyarakat, karena pasal
demi pasal dalam undang-undang tersebut, dianggap lebih berpihak pada penanam modal
16
asing. Hal ini dapat kita cermati melalui pasal-pasal yang dianggap inkontitusional, misalnya
pada penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf d UUPM yang berbunyi, “yang dimaksud dengan
“asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara”adalah asas perlakuan
pelayanan non diskriminasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, baik
antara penanammodal dalam negeri dan penanam modal asing maupun antarapenanam
modal dari satu negara asing dan penanam modal dari negara asing lainnya.”
Pasal 3 ayat (1) huruf d UUPM mengisyaratkan perlakuan yang sama terhadap
penanam modal asing dan penanam modal dalam negeri. Seharusnya penegasan perlakuan
yang sama hanya berlaku untuk penanam modal dalam negeri, agar penanam modal dalam
negeri mendapat prioritas yang utama. Perlakuan yang sama terhadap penanam modal asing
dan penanam modal dalam negeri tentu saja membuka peluang besar bagi para investor asing
untuk memperoleh kesempatan berivestasi disegala bidang. Prinsip persamaan dan tidak
membedakan antara pemodal asing dan pemodal dalam negeri telah melanggar amanat
konstitusi mengenai pengelolaan perekonomian nasional karena mengarah pada liberalisasi
ekonomi.
Pasal 8 Ayat (1) UUPM yang menyatakan bahwa “Penanam modal dapat
mengalihkan aset yang dimilikinya kepada pihak yang diinginkan oleh penanam modal
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”. memberikan keleluasaan bagi
penanam modal untuk melakukan pengalihan aset (capital flight) dengan leluasanya,
sehingga akan memberikan suatu ketidakpastian bagi tenaga kerja, karena sewaktu-waktu
perusahaan dapat melakukan pengalihan aset (capital flight) dengan cara menutup
perusahaan, merelokasi usaha dan penanaman modalnya yang berakibat pada pemutusan
hubungan kerja secara besar-besaran.
Dalam Pasal 12 UUPM disebutkan bahwa “semua bidang usaha terbuka bagi
kegiatan penanaman modal, kecuali terhadap bidang atau jenis usaha yang dinyatakan
tertutup dan terbuka dengan persyaratan.” Keseluruhan Pasal 12 UUPM menganut paham
liberalisasi ekonomi yang tidak sesuai dengan sistem ekonomi Indonesia seperti yang
dimaksud UUD 1945 karena dilandasi pada semangat pemberian pembebasan yang seluas-
luasnya bagi para penanam modal dan mereduksi peran dan kedaulatan negara yang
diamanatkan Pasal 33 UUD 1945.
Ketentuan Pasal 12 ayat (4) UUPM yang mengatur tentang “kriteria dan persyaratan
bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan serta daftar bidang usaha
yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing akan diatur dengan
Peraturan Presiden” memberikan peluang besar kepada presiden untuk menentukan kriteria
17
bidang usaha terbuka sehingga akan berpotensi besar peraturan presiden sarat dengan
kepentingan pribadi dan kelompok-kelompok tertentu, terutama para pemodal asing.
Menyikapi ketentuan Pasal 12 ayat (4) seharusnya bidang-bidang usaha yang terbuka
dengan persyaratan harus disebutkan secara jelas dalam undang-undang tersebut,
sebagaimana dahulu pernah diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1967 Tentang
Penanaman Modal Asing yang secara khusus mengatur tentang Badan Usaha Modal
Asing. Dalam pasal ini disebutkan dengan tegas bidang-bidang usaha yang tertutup secara
penguasaan penuh untuk penanaman modal asing.
Selain itu, ketentuan dalam Pasal 22 Ayat (1) huruf a, b, dan c UUPM, yang
mengatur :
Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 huruf a dapat diberikan dan diperpanjang dimuka sekaligus dan dapat
diperbarui kembali atas permohonan penanam modal, berupa:
a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun
dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam
puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun;
b. Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan
cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun
dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun
c. Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat
diberikan dan diperpanjang di muka sekaligusselama 45 (empat puluh lima) tahun dan
dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun.
Pasal ini memberikan kemudahan pelayanan hak atas tanah lebih lama daripada hak
atas tanah yang diatur dalam UUPA, bahkan lebih lama daripada hak atas tanah yang
diberikan Pemerintah Kolonial Belanda dalam Agrarische Wet (AW) yang hanya
membolehkan jangka waktu penguasaan selama 75 tahun. Sebagai perbandingan HGU dan
HGB yang diberikan dalam UUPA selama 60 tahun untuk HGU dan 50 tahun HGB
sedangkan untuk HGU dalam UU Nomor 25 Tahun 2007 HGU diberikan paling lama 95
tahun dan untuk HGB diberikan paling lama 80 tahun dan Hak Pakai paling lama 70 tahun.
Undang-Undang yang tidak didasarkan pada tanggung jawab negara serta tidak
didasarkan pada kebutuhan rakyat, secara vulgar telah melawan konstitusi. UUPM
merupakan upaya negara untuk berpaling dari kewajiban konstitusionalnya dengan
mengalihkan kewajiban tersebut kepada kuasa modal. Pasal 33 UUD 1945 amandemen ke
empat, terutama pada Ayat (3) menyatakan, Bumi dan air dan kekayaan alam yang
18
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Jadi secara konstitusional, sama sekali tidak beralasan untuk
menjadikan UUPM sebagai instrumen untuk mensejahterakan rakyat bahkan sebaliknya,
UUPM dapat menyebabkan semakin tergantungnya bangsa Indonesia kepada kekuatan
perekonomian asing.
Secara garis besar UUPM menjanjikan perbaikan iklim investasi dengan perbaikan
diberbagai aspek baik yang menyangkut penanam modal asing dan penanam modal dalam
negeri, tenaga kerja, pengembangan UMKM, fasilitas terhadap penanaman modal,
kemudahan perizinan dan pelayanan, reposisi BKPM dan Kawasan Ekonomi Eksklusif
(KEK).
Dengan adanya paket kebijakan ekonomi tersebut diharapkan dapat menyelesaikan
masalah-masalah utama iklim investasi dan prospek usaha di Indonesia. Sehingga baik
investor dalam negeri maupun asing dapat mulai memperhitungkan Indonesia sebagai pilihan
dalam membuka usaha ataupun memperluas usahanya. Kemudahan usaha dan prospek pasar
Indonesia menjadi daya tarik utama bagi investor untuk ekspansi usahanya, dengan harapan
dapat memberikan dampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan dengan terciptanya
lapangan kerja yang luas.
19
BAB III
KESIMPULAN
20
DAFTAR PUSTAKA
UUD 1945
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Tentang Penanaman Modal. UU No. 25 Tahun 2007.
An An Chandrawulan. 2011. Hukum Perusahaan Multinasional, Liberalisasi Hukum
Perdagangan Internasional dan Hukum Penanaman Modal, cetakan ke-1. Bandung:
Penerbit PT. Alumni.
Daniel S. Lev. 1990. Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan. Jakarta:
LP3S.
Darji Darmodiharjo, Shidarta. 2006. Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat
Hukum Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Ernest Renan (alih bahasa oleh: Prof.Mr.Sunario). 1994. Bandung: Alumni.
Jakarta, Pelita: Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bakti
menilai UU Penanaman Modal Asing (PMA) menjadi salah satu UU yang paling
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. www.pelita.or.id/baca.php?id=60101.
Diakses tanggal 22 April 2015
Mieke Komar, at al., Mochtar Kusumaatmadj. 1999. Pendidik dan Negarawan, Kumpulan Karya
Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LLM. Bandung:
Alumni.
Miriam Budiardjo. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Cet. ke 27. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama Lippman, Walter. Filsafat Publik, Terjemahan dari buku aslinya yang berjudul ”
The Public Philosophy, oleh A. Rahman Zainuddin. 1999. Penerbit Yayasan Obor
Indonesia.
Rosjidi Ranggawidjaja. 1998. Pengantar Ilmu Perundang-undangan di Indonesia. Bandung:
Mandar Maju.
Subandi Al Marsudi. 2001. Pancasila dan UUD 1945 dalam Paradigma Reformasi. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada
Tim Penyunting. 1992. Risalah Sidang BPUPKI, PPKI. Sekretariat Negara RI. Jakarta.
http://news.liputan6.com/read/475147/ketua-mk-29-uu-dibatalkan-karena-tak berkualitas, 26-12-
2012.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapPUU.
http://www.merdeka.com/peristiwa/banyak-dibatalkan-mk-kualitas-legislasi-2012
menurun.html, 2 Januari 2013
21