Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Gugatan atau permohonan uji materi atas Undang-undang terhadap Undang-Undang


Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan Peraturan Daerah terhadap
Undang-undang atau Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi adalah kasus-kasus
yang paling marak diajukan ke Mahkamah Konstitusi RI (MK).Praktek empiris yang terjadi
adalah banyak Peranturan Perundang-Undangan, baik dalam bentuk Undang-undang
maupun Peraturan Daerah yang di gugat ke Mahkamah Konstitusi karena bertentangan
dengan Konstitusi.
Ketua MK periode 2008-2011 Mahfud MD mengatakan, sebanyak 29 persen produk
undang-undang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi selama 2012.1 Pembatalan ini dinilai
sebagai buruknya kualitas undang-undang yang diproduksi. 2 Bahkan pada Januari 2013
dinyatakan bahwa, tahun 2012, permohonan pengujian UU yang dikabulkan meningkat
menjadi 31 persen dari tahun sebelumnya (2011) yang mencapai 22,3 persen, dengan selisih
kenaikan pembatalan UU sebanyak 8,7 persen. 3 Pengajuan permohonan uji materi atas
undang-undang sepanjang 2003 sampai dengan 2014 (tahun berjalan) sebanyak 946 kasus,
dan 141 dari 946 kasus tersebut dikabulkan gugatannya oleh MK.4 Dengan dikabulkannya
gugatan tersebut maka materi muatan atau pasal atau bahkan keseluruhan Undang-undang
yang diajukan uji materi tersebut dibatalkan.
Gugatan uji materiil atas Undang-Undang maupun Peraturan Daerah ini adalah
indikator ketidakpuasan atau bahkan kekecewaan rakyat atas produk-produk legislasi yang
dihasilkan pemerintah dan parlemen. Suatu produk perundang-undangan seyogyanya harus
berpedoman kepada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu; kejelasan
tujuan; kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; kesesuaian antara jenis, hierarki,
dan materi muatan; dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan
rumusan; dan keterbukaan.5Sehingga dapat efektif berlaku dimasyarakat sekaligus sebagai
bentuk pemenuhan hak konstitusi masyarakat.
Terlepas dari segala hal terkait teknis pembentukan maupun asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan di Indonesia, pada dasarnya tidak perlu terlalu metodis

1
Ary, Ketua MK: 29% UU Dibatalkan Karena Tak Berkualitas ,http://news.liputan6.com/read/475147/ketua-mk-
29-uu-dibatalkan-karena-tak-berkualitas, 26-12-2012.
2
Ibid
3
Has, Banyak dibatalkan MK, kualitas legislasi 2012 menurun, http://www.merdeka.com/peristiwa/banyak-
dibatalkan-mk-kualitas-legislasi-2012-menurun.html, 2 Januari 2013
4
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapPUU.
5
Lihat...Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
1
dalam membentuk suatu produk hukum yang tidak lagi perlu ditakutkan akan bertentangan
dengan UUD 1945 ataupun peraturan perundang-undangan dibawahnya asalkan kita
kembalikan lagi kepada Jiwa dan kepribadian , Pandangan Hidup , Perjanjian Luhur,
Sumber dari segala sumber tertib hukum, Cita- cita dan tujuan yang akan dicapai bangsa
Indonesia
Disharmonisasi terjadi selain terkait masalah yang sangat teknis dan politis,
sesungguhnya terjadi karena pembentuk undang-undang yang mengenyampingkan nilai-
nilai asli dan nilai-nilai dasar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Salah satu undang-
undang yang disinyalir bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 adalah undang-
undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing (UUPMA)6.
Berdasarkan uraian diatas, maka dalam makalah ini penulis ingin merumuskan
apakah UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (UUPM) sudah sesuai dengan
idiologi dan sistem ekonomi di Indonesia? bagaimana kajian dari segi politik hukum tentang
undang-undang tersebut.
B. Permasalahan

Apakah UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (UUPM) sudah sesuai dengan
idiologi dan sistem ekonomi di Indonesia, bagaimana dampak positif dan dampak negatif
dari UUPM.

6
Jakarta, Pelita: Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bakti menilai UU
Penanaman Modal Asing (PMA) menjadi salah satu UU yang paling bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
www.pelita.or.id/baca.php?id=60101. Diakses tanggal 22 April 2015

2
BAB II
PEMBAHASAN

Menurut Daniel S. Lev, yang paling menentukan dalam proses hukum adalah konsepsi
dan struktur kekuasaan politik, yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu merupakan alat politik,
dan bahwa tempat hukum dalam negara, tergantung pada keseimbangan politik, definisi
kekuasaan, evolusi idiologi politik, ekonomi, sosial, dan seterusnya. 7
Walaupun kemudian proses hukum yang dimaksud tersebut di atas tidak diidentikan
dengan maksud pembentukan hukum, namun dalam prateknya seringkali proses dan dinamika
pembentukan hukum mengalami hal yang sama, yakni konsepsi dan struktur kekuasaan
politiklah yang berlaku di tengah masyarakat yang sangat menentukan terbentuknya suatu
produk hukum. Maka untuk memahami hubungan antara politik dan hukum di negara mana pun,
perlu dipelajari latar belakang kebudayaan, ekonomi, kekuatan politik di dalam masyarakat,
keadaan lembaga negara, dan struktur sosialnya, selain institusi hukumnya sendiri.
Pengertian hukum yang memadai seharusnya tidak hanya memandang hukum itu sebagai
suatu perangkat kaidah dan azas-azas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat,
tetapi harus pula mencakup lembaga (institutions) dan proses (process) yang diperlukan untuk
mewujudkan hukum dalam kenyataan.8 Dari kenyataan ini disadari, adanya suatu ruang yang
absah bagi masuknya suatu proses politik melalui wadah institusi politik untuk terbentuknya
suatu produk hukum.9 Sehubungan dengan itu, ada dua kata kunci yang akan diteliti lebih jauh
tentang pengaruh kekuasaan dalam hukum yakni mencakup kata “process” dan
kata“institutions,” dalam mewujudkan suatu peraturan perundang-undangan sebagai produk
politik. Pengaruh itu akan semakin nampak pada produk peraturan perundang-undang oleh suatu
institusi politik yang sangat dipengarhi oleh kekuata-kekuatan politik yang besar dalam institusi
politik.
Miriam Budiarjo10 berpendapat bahwa kekuasaan politik diartikan sebagai kemampuan
untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-
akibatnya, sesuai dengan pemegang kekuasaan. Dalam proses pembentukan peraturan hukum
oleh institusi politik peranan kekuatan politik yang duduk dalam institusi politik itu adalah
sangat menentukan. Institusi politik secara resmi diberikan otoritas untuk membentuk hukum
hanyalah sebuah institusi yang vacum tanpa diisi oleh mereka diberikan kewenangan untuk itu.
7
Daniel S. Lev, Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I, LP3S, Jakarta, 1990,
hal.XII
8
Mieke Komar, at al., Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik dan Negarawan, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70
Tahun Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LLM, Alumni, Bandung, 1999, hal. 91
9
Ibid
10
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. ke 27, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hal.22
3
karena itu institusi politik hanya alat belaka dari kelompok pemegang kekuasaan politik.
Kekuatan- kekuatan politik dapat dilihat dari dua sisi yakni sisi kekuasaan yang dimiliki oleh
kekuatan politik formal (institusi politik) dalam hal ini yang tercermin dalam struktur kekuasaan
lembaga negara, seperti Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan lembaga-lembaga negara
lainnya dan sisi kekuatan politik dari infrastruktur politik adalah seperti: partai politik, tokoh-
tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi
profesi dan lain-lain. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa pembentukan produk
hukum adalah lahir dari pengaruh kekuatan politik melalui proses politik dalam institusi negara
yang diberikan otoritas untuk itu.
Di luar kekuatan-kekuatan politik yang duduk dalam institusi-instusi politik, terdapat
kekuatan-kekuatan lainnya yang memberikan kontribusi dan mempengaruhi produk hukum yang
dilahirkan oleh institusi-institusi politik. Kekuatan tersebut berbagai kelompok kepentingan yang
dijamin dan diakui keberadaan dan perannya menurut ketentuan hukum sebagai negara yang
menganut sistem demokrasi, seperti kalangan pengusaha, tokoh ilmuan, kelompok organisasi
kemasyarakatan, organisasi profesi, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat dan lain-lain.
Bahkan UU. R.I. No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Per-Undang-Undangan,
dalam Bab. X menegaskan adanya partisipasi masyarakat yaitu yang diatur dalam Pasal 53 :
“Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan
atau pembahasan Rancangan Undang Undang dan Rancangan Peraturan Daerah.”
Kenyataan di atas menunjukan bahwa pengaruh masyarakat dalam mempengaruhi
pembentukan hukum, mendapat tempat dan apresiasi yang begitu luas. Apalagi sejak tuntutan
masyarakat dalam mendesakkan reformasi disegala bidang berhasil dimenangkan, dengan
ditandai jatuhnya orde baru di bawah kepemimpinan Suharto yang otoriter, maka era reformasi
telah membawa perubahan besar di segala bidang ditandai dengan lahirnya sejumlah undang-
undang yang memberi apresiasi yang begitu besar dan luas. Dalam kasus ini, mengingatkan kita
kepada apa yang diutarakan oleh pakar filsafat publik Walter Lippmann, bahwa opini massa
telah memperlihatkan diri sebagai seorang master pembuat keputusan yang berbahaya ketika apa
yang dipertaruhkan adalah soal hidup mati.11
Perkembangan praktik pembentukan hukum dan praktik hukum di Indonesia sejak awal
reformasi telah kita ketahui dan rasakan di mana sangat transparan “intervensi
pengaruh” sistem hukum Amerika Serikat melalui organisasi internasional seperti IMF dan
World Bank yang di dominasi oleh para alumni perguruan tinggi terkenal di AS dibandingkan
dengan alumni hukum dari daratan eropa. Sebagai contoh, pembentukan UU Kepailitan, UU

11
Lippman, Walter. Filsafat Publik, Terjemahan dari buku aslinya yang berjudul ” The Public Philosophy, oleh A.
Rahman Zainuddin, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 1999, hal. 23
4
Anti Monopoli dan Persaingan Usaha, UU Penanaman Modal, UU Migas dan UU Kehutanan.
Begitu pula pembentukan lembaga baru diluar lembaga konvensional yang telah ada
sebelumnya, seperti pembentukan pengadilan niaga. Pola pembentukan hukum dan
pelembagaan sebagaimana diuraikan di atas, merupakan wujud nyata dari pengaruh aliran
liberalisme dan kapitalisme sebagai landasan politik hukum era globalisasi.
Pengaturan nasional berupaya agar produk yang dihasilkan dari penanaman modal asing
dapat menembus pasar global juga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu,
kebijakan dari sudut pandang kepentingan negara penerima modal diharapkan dapat membantu
terwujudnya tujuan pembangunan. Namun, persyaratan tersebut oleh perusahaan pemodal asing
dipandang sebagai kebijakan yang mengekang atau membatasi kebebasan perusahaan pemodal
asing untuk menentukan kebijakan penanaman modal asingnya. Sebagai reaksi atas adanya
persyaratan penanaman modal ini, perusahaan penanam modal asing biasanya meminta
kompensasi misalnya berupa insentif penanaman modal, keringanan pajak atau jaminan
perlindungan terhadap penanaman modal yang dituangkan dalam suatu peraturan perundang-
undangan.12
Peraturan perudang-undangan tersebut diharapkan dapat mensejahterakan negara melalui
peluang yang lebih besar bagi penanaman modal asing. Namun, pengaturan nasional ternyata
tidak selamanya memberi kesejahteraan seperti yang diharapkan, tetapi sebaliknya menimbulkan
kerugian khususnya apabila peraturan perundang-undangan tersebut dibuat oleh negara yang
lemah yang tidak memiliki posisi tawar. Dalam prakteknya posisi tawar selalu berada pada
negara maju yang mewakili perusahaan penanam modal asing.13
Hukum nasional dan kebijakan-kebijakan dalam penanaman modal asing langsung
sangat luas dan beragam dari waktu ke waktu, dari satu tempat ke tempat lain. Dalam membuat
peraturan dan kebijakan penanaman modal asing, pembuat kebijakan paling sedikit dalam
kebijakan tersebut harus mencakup tiga permasalahan yaitu: 14
Bagaimana menarik penanaman modal asing langsung tanpa mendatangkan atau
membuat kerusakan terhadap tabungan mata uang asing domestik dan penggunaan kekayaan
alam, bagaimana melindungi hak-hak hukum penanam modal asing dan memberikan
perlindungan yang cukup, sementara pada waktu yamg bersamaan harus mempertahankan
dominasi sebagai negara yang mempunyai kedaulatan / kekuasaan dan meminimalisasi pengaruh
negatifdari penanaman modal asing langsung; dan bagaimana membentuk hukum dan sistem
pajak yang secara bersamaan dapat mendorong tumbuhnya ekonomi dan sisi lain dapat menarik

12
An An Chandrawulan, Hukum Perusahaan Multinasional, Liberalisasi Hukum Perdagangan Internasional dan
Hukum Penanaman Modal, cetakan ke-1, (Bandung: Penerbit PT. Alumni, 2011), hlm. 34
13
Ibid
14
Ibid
5
penanam modal asing serta meningkatkan pendapatan yang cukup sesuai persyaratan
penggunaan keuangan negara.
Saat ini hampir semua negara mempunyai hukum dan pengaturan pengawasan terhadap
penanam modal asing langsung, Bahkan negara-negara yang mempertahankan kebijakan
terbuka terhadap penanaman modal asing langsung pun sekarang mengenakan pembatasan-
pembatasan terhadap mengalirnya dan aktivitas penanam modal asing, khususnya dibidang-
bidang tertentu misalnya jasa keuangan, telekomunikasi dan bidang-bidang yang menyangkut
kepentingan umum.

A. Kajian Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007


1. Perlakuan Sama terhadap Penanam Modal
Pemerintah memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan
penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional (Pasal 4 ayat 2
UU No. 25 Tahun 2007). Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua
penanam modal yang berasal dari negara manapun yang melakukan kegiatan penanaman
modal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 6 ayat
1). Namun demikian, perlakuan ini tidak berlaku bagi penanam modal dari suatu negara
yang memperoleh hak istimewa berdasarkan perjanjian dengan Indonesia. (Pasal 6 ayat 2).
Dalam hukum perdagangan internasional, prinsip ini menuntut tidak adanya
perlakuan khusus terhadap barang buatan dalam negeri dan larangan adanya perlakuan
diskriminatif berdasarkan asal negara. Barang buatan dalam negeri dan barang asal impor
diperlakukan sama, demikian pula bahwa perlakuan terhadap semua Negara anggota WTO
harus sama tanpa ada negara tertentu yang diperlakukan khusus.
Namun dalam Pasal 6 ayat (2) UU Penanaman Modal merupakan Pasal yang
menerapkan perlakuan diskriminatif, dengan adanya perlakuan khusus kepada negara-
negara tertentu berdasarkan perjanjian dengan Indonesia. Sasaran dari perlakuan khusus ini
adalah negara-negara yang terikat perjanjian penanaman modal secara bilateral, regional
maupun multilateral dengan Indonesia.
2. Pembatasan Bidang Usaha
UU No. 25 Tahun 2007 tidak membuka seluruh bidang usaha bagi kegiatan
penanaman modal asing. Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang tersebut menetapkan bahwa
bidang usaha yang terkait langsung dengan keamanan negara seperti produksi senjata,
mesiu, alat peledak, dan peralatan perang dan bidang usaha yang secara eksplisit dalam
undang-undang dinyatakan tertutup, tidak dibenarkan bagi penanaman modal asing. Dalam
ayat (3) selanjutnya menetapkan bidang usaha yang tetutup bagi penanaman modal asing
6
berdasarkan alasan kesehatan, moral, kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan dan
keamanan nasional, serta kepentingan nasional lainnya.
Lebih lanjut dalam Pasal 12 ayat (5) ditegaskan bahwa pemerintah dapat
menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan kriteria
kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan pengembangan
usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi,
peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerjasama dengan
badan usaha yang ditunjuk pemerintah. Pembatasan bidang usaha yang demikian tidak
dilarang dalam kesepakatan di bidang perdagangan.
Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal,
kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan
persyaratan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 76 Tahun 2007 dan No. 77 Tahun 2007,
maka terdapat 25 bidang-bidang usaha yang tertutup untuk penanam modal termasuk
penanaman modal asing, 43 bidang-bidang usaha yang dicadangkan untuk mikro, kecil,
menengah dan koperasi, 36 bidang usaha yang harus bermitra, 120 bidang usaha yang diatur
besarnya nilai modal asing, 19 bidang usaha yang diatur lokasinya, 25 bidang usaha yang
harus memiliki izin khusus, 48 bidang usaha yang modal dalam negeri 100% dan 22 bidang
usaha yang diatur pemilik modal dan lokasinya.
3. Pembatasan Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Pasal 10 UU No. 25 Tahun 2007 mewajibkan perusahaan penanaman modal dalam
memenuhi kebutuhan tenaga kerja untuk mengutamakan tenaga kerja Warga Negara
Indonesia. Perusahaan penanaman modal berhak menggunakan tenaga ahli warga Negara
asing untuk jabatan dan keahlian tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Perusahaan penanaman modal yang mempekerjakan tenaga kerja asing
diwajibkan menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih teknologi kepada tenaga kerja
warga Negara Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pada prinsipnya penggunaan tenaga kerja asing dibatasi pada bidang-bidang
pekerjaan atau jabatan yang belum dapat diisi oleh tenaga kerja Warga Negara Indonesia.
Pembatasan ini sepintas bertentangan dengan GATS yang mengatur tentang free personal
movement yang tidak membatasi penggunaan tenaga kerja asing kedalam kegiatan
penanaman modal.
Meskipun ketentuan pembatasan penggunaan tenaga kerja asing tidak bertentangan
dengan GATS, peraturan nasional negara-negara anggota (domestic regulations) dibenarkan
untuk menetapkan syarat-syarat penggunaan tenaga kerja asing dengan memperhatikan
specific of commitment dari negara anggota yang bersangkutan.
7
4. Persyaratan Pemberian Fasilitas Penanaman Modal
UU Penanaman Modal mengatur tentang Fasilitas Penanaman Modal pada Bab X
mulai dari Pasal 18 sampai dengan Pasal 24. Secara umum tidak ada ketentuan perdagangan
internasional yang melarang pemberlakuan insentif penanaman modal berupa fasilitas
penanaman modal. Masalah bisa muncul jika pemberian insentif investasi dikaitkan dengan
performance requirement yang bertentangan dengan TRIMs Agreement. Menarik untuk
diperhatikan dalam Pasal 18 UU PM ini terdapat dua kemungkinan keberatan penanam
modal, khususnya penanam modal asing. Pertama, fasilitas penanam modal tidak diberikan
kepada semua penanam modal, akan tetapi hanya kepada penanaman modal yang memenuhi
persyaratan tertentu. Bisa saja ketentuan demikian diartikan sebagai ketentuan yang
diskriminatif. Kedua, Pasal 18 ayat (3) huruf (j) mengkaitkan fasilitas penanaman modal
dengan penggunaan produksi dalam negeri.
Persyaratan untuk memperoleh fasilitas penanaman modal sebagaimana diatur dalam
Pasal 18 ayat (3) huruf (a) sampai dengan (i) tidak bertentangan dengan ketentuan
perdagangan internasional, karena tidak ada ketentuan secara imperatif melarang
persyaratan tersebut. Pemberian fasilitas yang dibatasi pada penanaman modal yang
memenuhi syarat tertentu semestinya dipandang sebagai konsistensi pemerintah terhadap
pandangan yang mengakui bahwa penerapan kebijakan penanaman modal tunduk pada
kedaulatan politik Indonesia yang pelaksanaannnya disesuaikan dengan kebutuhan
pembangunan ekonomi. Dalam pemaknaan yang demikian, syarat-syarat tersebut adalah
bentuk dari kebutuhan pembangunan ekonomi Indonesia pada sektor industri.
Pasal 18 ayat (3) huruf (j) yang mengakibatkan fasilitas penanaman modal dengan
penggunaan produksi dalam negeri kemungkinan akan mendapat perhatian penanam modal
asing. Fasilitas penanaman modal yang demikian dapat berdampak pada perdagangan
internasional, karena pemberian fasilitas tersebut didasarkan pada syarat yang dapat
berakibat adanya perbedaan perlakuan antara barang buatan dalam negeri dengan barang
impor. Dalam hal ini perlakuan khusus diberikan kepada barang buatan dalam negeri dalam
bentuk fasilitas penanaman modal, fasilitas mana tidak diberikan kepada penanam modal
yang menggunakan barang impor. Mengingat pasal Pasal ini tidak mensyaratkan adanya
kewajiban menggunakan barang buatan dalam negeri dalam jumlah, nilai atau persentase
tertentu seperti yang dilarang dalam TRIMs Agreement. Tindakan ini merupakan tindakan
sukarela tetapi diberikan insentif penanaman modal. Pasal 18 ayat (3) huruf (j) ini
berlindung pada argumentasi tidak adanya kewajiban menggunakan barang buatan dalam
negeri.
5. Persyaratan Penanaman Modal
8
Pasal 12 ayat (4) UU Penanaman Modal memberikan kewenangan kepada
pemerintah untuk menetapkan syarat-syarat penanaman modal pada bidang usaha yang
terbuka bagi penanaman modal. Selanjutnya pada ayat (5) ditetapkan kriteria kepentingan
nasional yang harus diperhatikan dalam menetapkan persyaratan penanaman modal, yakni
perlindungan sumber daya alam, perlindungan pengembangan usaha mikro, kecil, menengah
dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi,
partisipasi modal dalam negeri, serta kerjasama dengan badan usaha yang ditunjuk
pemerintah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat (4) mengenai Penyelesaian Sengketa dalam
bidang Penanaman Modal, bahwa: “Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal
antara Pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa
tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak”.
Perlakuan terhadap penanaman modal selain perlakuan yang sama dan tidak akan
dinasionalisasi pemerintah juga membolehkan penanam modal untuk mengalihkan aset yang
dimilikinya kepada pihak yang diinginkan oleh penanam modal sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan. 15 Penamam modal juga diberi hak unttuk melakukan transfer dan
repatriasi dalam valuta asing antara lain terhadap:16
1) Modal;
2) Keuntungan, bunga bank, deviden, dan pendapatan lain;
3) Dana yang diperlukan untuk pembelian bahan baku dan penolong, barang setengah jadi,
atau barang jadi atau penggantian barang modal dalam rangka melindungi kelangsungan
hidup penanaman modal;
4) Tambahan dana yang diperlukan bagi pembiayaan penanaman modal;
5) Dana untuk pembayaran kembali pinjaman;
6) Royalti atau biaya yang harus dibayar;
7) Pendapatan dari perseorangan warga negara asing yang bekerja dalam perusahaan
penanaman modal;
8) Hasil penjualan atau likuidasi penanaman modal;
9) Kompensasi atas kerugian;
10) Kompensasi atas pengambilalihan;

15
Indonesia (1), Undang-Undang Tentang Penanaman Modal. UU No. 25, LN No. 67 Tahun 2007, TLN No. 4724,
Pasal 8 ayat (1)
16
Indonesia (1), Pasal 8 ayat (3)
9
11) Pembayaran yang dilakukan dalam rangka bantuan teknis, biaya yang harus dibayar
untuk jasa teknik dan manajemen, pembayaran yang dilakukan di bawah kontrak proyek,
dan pembayaran hak atas kekayaan intelektual; dan
12) Hasil penjualan aset yang dialihkan kepada pihak lain.

Penanaman modal asing yang menanamkan modalnya baik yang melakukan


perluasan usaha maupun yang melakukan penanaman modal baru di Indonesia akan
mendapat fasilitas-fasilitas dari pemerintah dengan syarat sekurang-kurangnya memenuhi
salah satu kriteria berikut ini:

1) Menyerap banyak tenaga kerja;


2) Termasuk skala prioritas tinggi;
3) Termasuk pembangunan infrastruktur;
4) Melakukan alih teknologi;
5) Melakukan industri pionir;
6) Berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan, atau daerah lain yang
dianggap perlu;
7) Menjaga kelestarian lingkungan hidup;
8) Melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi;
9) Bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah atau koperasi; atau
10) Industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang diproduksi di
dalam negeri.17

Selain keringanan dan pembebasan perpajakan, penanaman modal asing juga


diberikan kemudahan pelayanan dan perijinan untuk memperoleh hak atas tanah, fasilitas
pelayanan keimigrasian dan fasilitas perijinan impor.18Semua fasilitas ini tidak berlaku bagi
penanaman modal asing yang tidak berbentuk perseroan terbatas.19
Bentuk badan usaha bagi penanaman modal asing yang akan menanamkan modalnya
di Indonesia harus berbentuk badan hukum perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia
dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia. Penanam modal asing yang
melakukan penanaman modal dalam bentuk perseoran terbatas dilakukan dengan
mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas, membeli saham dan
melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.20

17
Ibid., Pasal 18.
18
Ibid., Pasal 21.
19
Ibid., Pasal 20.
20
Ibid., Pasal 5 ayat (2) dan (3)
10
Bidang Usaha yang terbuka bagi Penanam Modal diatur dalam Pasal 12 menyatakan
bahwa:
Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal,
kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan
persyaratan.
Bidang usaha yang tertutup bagi penanam modal asing adalah: produksi senjata,
mesiu, alat peledak, dan peralatan perang; dan bidang usaha yang secara eksplisit
dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang. Pemerintah berdasarkan Peraturan
Presiden menetapkan bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing
maupun dalam negeri, dengan berdasarkan kriteria kesehatan, moral, kebudayaan,
lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan nasional, serta kepentingan nasional lainnya.
Kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan
serta daftar bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing
akan diatur dengan Peraturan Presiden.
Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan
kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan,
pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi dan
distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama
dengan badan usaha yang ditunjuk pemerintah.
Bentuk fasilitas yang diberikan kepada penanam modal berdasarkan Pasal 18 ayat
(4) UU No. 25 Tahun 2007 dapat berupa: pajak penghasilan melalui pengurangan
penghasilan neto sampai tingkat tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan
dalam waktu tertentu; pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal
mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam
negeri; pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk
keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu; pembebasan atau
penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang modal atau mesin atau peralatan
untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka
waktu tertentu; penyusutan atau amortisasi yang dipercepat; dan keringanan Pajak Bumi dan
Bangunan, khususnya untuk bidang usaha tertentu, pada wilayah atau daerah atau kawasan
tertentu.
B. Teori-Teori Pendukung
1. Pancasila selaku Asas Hukum Umum bagi perundang-undangan.
a. Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa

11
Mengkaji Pancasila sebagai Pandangan hidup Bangsa, maka memahami apa arti
Bangsa terlebih dahulu. Menurut Ernest Renan, Bangsa adalah soal perasaan, soal
kehendak (tekad) semata-mata untuk tetap hidup bersama yang timbul antara
segolongan besar manusia yang nasibnya sama dalam masa yang lampau, terutama
dalam penderitaan-penderitaan bersama.21 Bung Karno meminjam kata-kata dari Ki
Bagoes Hadikoesoemo dan Moenandar bahwa bangsa adalah manusia yang
menyatu dengan tanah airnya. 22 Pandangan Hidup dapat didefinisikan sebagai
segenap prinsip dasar yang dipegang teguh oleh suatu bangsa guna memecahkan
berbagai persoalan kehidupan yang dihadapinya.23
Pandangan hidup mempunyai arti penting bagi suatu bangsa yang ingin
mewujudkan cita-citanya sebagai bangsa. Karena suatu bangsa tanpa pandangan
hidup akan tersesat, terombang – ambing tidak tahu bagaimana atau dengan apa
menghadapi dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dalam masyarakatnya
sendiri ataupun persoalan-persoalannya sebagai bagian dari masyarakat dunia.
Pandangan hidup adalah suatu panduan, pakem, atau kontrol bagi suatu bangsa
dalam rangka mewujudkan cita-citanya.
Dengan kata lain Pancasila digunakan sebagai petunjuk arah semua kegiatan dan
aktifitas bangsa Indonesia. Semua tingkah laku dan tindak perbuatan setiap
manusia Indonesia harus dijiwai dan memancarkan kelima sila yang ada dalam
Pancasila.

b. Pancasila sebagai Dasar Negara RI


Pancasila dalam pengertian ini sering pula disebut sebagai dasar Falsafah
Negara, Philosofische Gronslag dari Negara, Ideologi Negara, Staatsidee.
Pancasila dijadikan dasar pengaturan pemerintahan/ penyelenggaraan negara.
Sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat,
yang menyatakan bahwa susunan negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat
berdasar kepada kelima sila Pancasila.24
Fungsi pokok Pancasila adalah sebagai Dasar Negara, hal ini tertuang dalam
Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 jo Tap.MPR No.V/MPR/1973 dan
Tap.MPR NO IX/MPR/1978. Pada hakikatnya fungsi pokok pancasila sebagai
dasar negara adalah sebgai sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari

21
Ernest Renan (alih bahasa oleh: Prof.Mr.Sunario), 1994, Bandung, Alumni, hlm. xvii - xviii
22
Tim Penyunting, 1992, Risalah Sidang BPUPKI, PPKI, Sekretariat Negara RI, Jakarta, hlm. 62-63
23
Subandi Al Marsudi, 2001, Pancasila dan UUD 1945 dalam Paradigma Reformasi, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, hlm. 5
24
Lihat... Alinea keempat Pembukaan (Mukadimah) UUD 1945
12
tertib hukum.13 Dengan demikian Pancasila bersifat imperatif, mengikat dan
memaksa. Pancasila mengandung norma-norma hukum yang tidak boleh
dikesampingkan apalagi dilanggar.
Pancasila adalah Jiwa Bangsa, Kepribadian, Perjanjian Luhur, Cita-cita dan
Tujuan, Falsafah dan Ideologi Bangsa Indonesia. Dari aspek hukum tata negara,
Pancasila adalah dasar negara yang mengandung arti sebagai sumber dari segala
sumber hukum. Sedangkan dari aspek sosiologis, fungsi Pancasila adalah
pengatur hidup kemasyarakatan pada umumnya. Dalam pengertian etis dan
filosofis adalah Pancasila berfungsi pengatur tingkah laku pribadi dan cara-cara
dalam mencari kebenaran atau disebut juga sebagai philosophical way of
thinking atau philosophical system.
c. Norma-norma dalam Pancasila sebagai Staatfundamentalnorm
Pembukaan UUD 1945 merupakan Staatfundamentalnorm karena didalamnya
terkandung empat pokok pikiran yang tidak lain adalah Pancasila itu sendiri,
serta pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum maka dapat
disimpulkan bahwa Pembukaan UUD 1945 adalah Filsafat Hukum Indonesia.25
Pancasila adalah norma dasar atau norma tertinggi bagi berlakunya semua
norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan rakyat Indonesia.
Mengikuti teori Hans Nawiasky, Staatfundamentalnorm Indonesia adalah
Pembukaan UUD 1945 karena didalamnya dimuat rumusan Pancasila sebagai
sumber dari segala sumber hukum.
2. Stufentheorie
Menurut Adolf Merkel dan Hans Kelsen, setiap tata kaedah hukum merupakan
suatu susunan daripada kaedah-kaedah tersebut. Dalam Stufentheorie-nya tersebut Hans
Kelsen mengemukakan bahwa, dipuncak ‘stufenbau’ terdapat kaedah dasar dari suatu
tata hukum nasional yang merupakan suatu kaedah fundamental disebut dengan
grundnorm yang bersifat abstrak, umum atau hipotesis.26
Dalam teori ini , dijelaskan bahwa semua norma merupakan satu kesatuan
Piramida, yang dasar keabsahannya ditentukan oleh norma yang paling tinggi
kedudukannya. Norma yang berada diatas merupakan sumber dari semua norma
dibawahnya, norma dibawah tidak boleh bertentangan dengan norma yang berada lebih
tinggi tingkatannya. Theori Hans Kelsen ini selanjutnya dikembangkan oleh Hans

25
Darji Darmodiharjo, Shidarta,2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 230
26
Rosjidi Ranggawidjaja, 1998, Pengantar Ilmu Perundang-undangan di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm.26
13
Nawiasky yang menyatakan bahwa norma-norma hukum dalam negara adalah
berjenjang dimulai dari Grundnorm sebagai yang tertinggi, kemudian Staatgrundgesetz
atau Aturan-aturan Dasar Negara, selanjutnya adalah Formellegesetz atau Undang-
Undang, dan terakhir adalah Verordnungen atau Peraturan Pelaksana di bawa Undang-
Undang.27
Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indosia mengikuti theori
Hans Kelsen dan Hans Nawiasky dari Hukum yang tertinggi hingga yang paling rendah
yang dirumuskan sebagai berikut:28
1. UUD 1945;
2. Ketetapan MPR;
3. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah kabupaten/Kota.

C. Analisis Kajian Tentang UU No. 25 Tahun 2007 (UUPM)

Indonesia mempunyai falsafah hidup/ideologi pancasila, yang sekaligus menjadi


Grundnorm/kaedah dasar bagi sistem hukum Indonesia. lazimnya sistem hukum dan sistem
ekonomi berhubungan erat dengan ideologi yang dianut suatu Negara (Salim, 2005).
Penjabaran kelima sila dalam Pancasila termaktub dalam pembukaan UUD 1945, dan
dituangkan dalam pasal-pasal dan batang tubuh UUD 1945, sehingga semua peraturan
perundang-undangan di Republik Indonesia (termasuk dalam bidang ekonomi) tidak boleh
bertentangan dengan UUD 1945 dan pancasila.
Selain menegaskan asas ekonomi nasional, UUD 1945 juga menyiratkan nilai
nasionalisme ekonomi. Rumusan nasionalisme ekonomi secara deduktif telah diformulasikan
dalam Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945. Pasal 33 UUD 1945 memuat ketentuan
mengenai semangat kebersamaan, semangat kekeluargaan, wadah usaha, dan sumber-sumber
ekonomi yang harus digunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Rumusan nasionalisme ekonomi Indonesia menghendaki secara mutlak suatu
restrukturisasi ekonomi Indonesia dari struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi

27
Ibid, hlm. 27
28
Lihat ...Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan
14
bangsa merdeka dengan mayoritas bangsa sebagai pelaku dan tulang punggungnya (Arief,
2002).
Sebagaimana termuat dalam Pasal 33 Ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) UUD 1945,
sistem ekonomi Indonesia merupakan demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan, dengan
kata lain dapat disebut sebagai demokrasi ekonomi kerakyatan. menurut Prof. Dr. Laica
Marzuki (1999), “ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan
ekonomi rakyat.
Ekonomi rakyat adalah sebagai kegiatan ekonomi atau usaha yang dilakukan oleh
rakyat kebanyakan (popular) yang dengan secara swadaya mengelola sumber daya ekonomi
apa saja yang dapat diusahakan dan dikuasainya, yang selanjutnya disebut sebagai Usaha
Kecil dan Menengah (UKM) terutama meliputi sektor pertanian, peternakan, kerajinan,
makanan, dsb., yang ditujukan terutama untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan
keluarganya tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya (Marzuki, 1999).
Setiap aturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perekonomian nasional
harus berlandaskan pada jiwa dan semangat Pasal 33 UUD 1945 serta harus sesuai dengan
sistem ekonomi nasional yang dianut UUD 1945, yakni demokrasi ekonomi dengan konsep
ekonomi kerakyatan. Setiap aturan perundang-undangan yang menyimpang dengan konsep,
jiwa dan semangat ini, maka berarti undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD
1945.
Indonesia sebagai Negara yang sedang berkembang membutuhkan banyak modal
untuk mengatasi masalah-masalah pokok dalam upaya mensejahterakan rakyatnya, karena
tingkat pertumbuhan penduduk di Indonesia relatif tinggi, tetapi secara ekonomi relatif
masih terbelakang. Selain itu menurut MP. Todaro (1983) Negara yang sedang berkembang
memiliki ciri-ciri :
1. Taraf hidup yang rendah
2. Produktifitas yang rendah
3. Tingkat pertumbuhan populasi dan beban tanggungan yang tinggi
4. Angka pengangguran yang tinggi
5. Ketergantungan pada ekspor hasil-hasil pertanian
6. Dominasi, dependensi, dan vulnerabilitas dalam hubungan-hubungan internasional.
Untuk keluar dari tingkatan negara yang sedang berkembang, Indonesia harus
mempunyai modal yang besar dan mengundang investor asing untuk menanamkan modalnya
di Indonesia. Pengaturan kebijakan tentang penanaman modal asing secara resmi untuk
pertama kalinya diatur dalam UU No. 78 Tahun 1958, akan tetapi karena pelaksanaan
undang-undang ini banyak mengalami hambatan, undang-undang tersebut dicabut dengan
15
UU NO. 16 Tahun 1958. Sejak zaman orde baru, kebijakan penanaman modal terbuka bagi
para investor asing yang akan menanamkan modalnya di Indonesia. Dengan mensahkan UU
No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing yang kemudian direvisi dengan UU No.
11 Tahun 1970 (UUPMA), selain mengeluarkan peraturan kebijakan tentang penanaman
modal asing, pemerintah juga mengeluarkan peraturan tentang penanaman modal dalam
negeri, yaitu UU No. 6 tahun 1968 jo UU No. 12 Tahun 1970 Tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri, sehingga ada pemisahan pengaturan tentang penanaman modal asing dan
penanaman modal dalam negeri.
Setelah berlaku kurang lebih 40 tahun, kebijakan penanaman modal asing dan
penanaman modal dalam negeri tersebut diganti dengan UU No. 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal (UUPM). Kebijakan baru ini maksudkan untuk memenuhi tantangan dan
kebutuhan untuk mempercepat perkembangan perekonomian nasional melalui konstruksi
pembangunan hukum nasional dibidang penanaman modal yang berdaya saing dan berpihak
kepada kepentingan nasional. Sejak berlakunya UUPM, maka terjadi perubahan secara
signifikan tentang kebijakan penanaman modal di Indonesia.
Undang-Undang Penanaman Modal merupakan salah satu bagian dari paket
perbaikan kebijakan iklim investasi yang dikeluarkan melalui Instruksi Presiden Nomor 3
Tahun 2006 yang salah satu programnya adalah mengubah Undang-Undang Penanaman
Modal yang memuat prinsip-prinsip dasar, antara lain: perluasan definisi modal,
transparansi, perlakuan sama investor domestik dan asing (di luar Negative List), dan
Dispute Settlement. Paket perbaikan kebijakan ini didanai oleh Bank Dunia melalui utang
program yaitu, Development Policy Loan (DPL) III sebesar US$ 600 juta, utang dalam
bentuk technical assistance ini adalah utang jangka pendek yang mulai disepakati sejak bulan
Desember 2006 dan berakhir pada bulan Maret 2007 (Putusan Mahkamah Konstitusi, Nomor
21-22/PUU-V/2007).
Sebagaimana dijelaskan dalam Ketentuan Umum UUPM, modal adalah asset dalam
bentuk uang atau bentuk lain yang dimiliki oleh penanam modal yang memiliki nilai
ekonomis, sedangkan yang dimaksud dengan Penanaman modal adalah segala bentuk
kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal
asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.
Dikaji dari bentuk kebijakannya, maka UUPM secara langsung mengabungkan
kebijakan penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri melalui satu undang-
undang.
UUPM mengundang banyak kritik dari berbagai elemen masyarakat, karena pasal
demi pasal dalam undang-undang tersebut, dianggap lebih berpihak pada penanam modal
16
asing. Hal ini dapat kita cermati melalui pasal-pasal yang dianggap inkontitusional, misalnya
pada penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf d UUPM yang berbunyi, “yang dimaksud dengan
“asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara”adalah asas perlakuan
pelayanan non diskriminasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, baik
antara penanammodal dalam negeri dan penanam modal asing maupun antarapenanam
modal dari satu negara asing dan penanam modal dari negara asing lainnya.”
Pasal 3 ayat (1) huruf d UUPM mengisyaratkan perlakuan yang sama terhadap
penanam modal asing dan penanam modal dalam negeri. Seharusnya penegasan perlakuan
yang sama hanya berlaku untuk penanam modal dalam negeri, agar penanam modal dalam
negeri mendapat prioritas yang utama. Perlakuan yang sama terhadap penanam modal asing
dan penanam modal dalam negeri tentu saja membuka peluang besar bagi para investor asing
untuk memperoleh kesempatan berivestasi disegala bidang. Prinsip persamaan dan tidak
membedakan antara pemodal asing dan pemodal dalam negeri telah melanggar amanat
konstitusi mengenai pengelolaan perekonomian nasional karena mengarah pada liberalisasi
ekonomi.
Pasal 8 Ayat (1) UUPM yang menyatakan bahwa “Penanam modal dapat
mengalihkan aset yang dimilikinya kepada pihak yang diinginkan oleh penanam modal
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”. memberikan keleluasaan bagi
penanam modal untuk melakukan pengalihan aset (capital flight) dengan leluasanya,
sehingga akan memberikan suatu ketidakpastian bagi tenaga kerja, karena sewaktu-waktu
perusahaan dapat melakukan pengalihan aset (capital flight) dengan cara menutup
perusahaan, merelokasi usaha dan penanaman modalnya yang berakibat pada pemutusan
hubungan kerja secara besar-besaran.
Dalam Pasal 12 UUPM disebutkan bahwa “semua bidang usaha terbuka bagi
kegiatan penanaman modal, kecuali terhadap bidang atau jenis usaha yang dinyatakan
tertutup dan terbuka dengan persyaratan.” Keseluruhan Pasal 12 UUPM menganut paham
liberalisasi ekonomi yang tidak sesuai dengan sistem ekonomi Indonesia seperti yang
dimaksud UUD 1945 karena dilandasi pada semangat pemberian pembebasan yang seluas-
luasnya bagi para penanam modal dan mereduksi peran dan kedaulatan negara yang
diamanatkan Pasal 33 UUD 1945.
Ketentuan Pasal 12 ayat (4) UUPM yang mengatur tentang “kriteria dan persyaratan
bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan serta daftar bidang usaha
yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing akan diatur dengan
Peraturan Presiden” memberikan peluang besar kepada presiden untuk menentukan kriteria

17
bidang usaha terbuka sehingga akan berpotensi besar peraturan presiden sarat dengan
kepentingan pribadi dan kelompok-kelompok tertentu, terutama para pemodal asing.
Menyikapi ketentuan Pasal 12 ayat (4) seharusnya bidang-bidang usaha yang terbuka
dengan persyaratan harus disebutkan secara jelas dalam undang-undang tersebut,
sebagaimana dahulu pernah diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1967 Tentang
Penanaman Modal Asing yang secara khusus mengatur tentang Badan Usaha Modal
Asing. Dalam pasal ini disebutkan dengan tegas bidang-bidang usaha yang tertutup secara
penguasaan penuh untuk penanaman modal asing.
Selain itu, ketentuan dalam Pasal 22 Ayat (1) huruf a, b, dan c UUPM, yang
mengatur :
Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 huruf a dapat diberikan dan diperpanjang dimuka sekaligus dan dapat
diperbarui kembali atas permohonan penanam modal, berupa:
a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun
dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam
puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun;
b. Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan
cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun
dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun
c. Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat
diberikan dan diperpanjang di muka sekaligusselama 45 (empat puluh lima) tahun dan
dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun.

Pasal ini memberikan kemudahan pelayanan hak atas tanah lebih lama daripada hak
atas tanah yang diatur dalam UUPA, bahkan lebih lama daripada hak atas tanah yang
diberikan Pemerintah Kolonial Belanda dalam Agrarische Wet (AW) yang hanya
membolehkan jangka waktu penguasaan selama 75 tahun. Sebagai perbandingan HGU dan
HGB yang diberikan dalam UUPA selama 60 tahun untuk HGU dan 50 tahun HGB
sedangkan untuk HGU dalam UU Nomor 25 Tahun 2007 HGU diberikan paling lama 95
tahun dan untuk HGB diberikan paling lama 80 tahun dan Hak Pakai paling lama 70 tahun.
Undang-Undang yang tidak didasarkan pada tanggung jawab negara serta tidak
didasarkan pada kebutuhan rakyat, secara vulgar telah melawan konstitusi. UUPM
merupakan upaya negara untuk berpaling dari kewajiban konstitusionalnya dengan
mengalihkan kewajiban tersebut kepada kuasa modal. Pasal 33 UUD 1945 amandemen ke
empat, terutama pada Ayat (3) menyatakan, Bumi dan air dan kekayaan alam yang

18
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Jadi secara konstitusional, sama sekali tidak beralasan untuk
menjadikan UUPM sebagai instrumen untuk mensejahterakan rakyat bahkan sebaliknya,
UUPM dapat menyebabkan semakin tergantungnya bangsa Indonesia kepada kekuatan
perekonomian asing.
Secara garis besar UUPM menjanjikan perbaikan iklim investasi dengan perbaikan
diberbagai aspek baik yang menyangkut penanam modal asing dan penanam modal dalam
negeri, tenaga kerja, pengembangan UMKM, fasilitas terhadap penanaman modal,
kemudahan perizinan dan pelayanan, reposisi BKPM dan Kawasan Ekonomi Eksklusif
(KEK).
Dengan adanya paket kebijakan ekonomi tersebut diharapkan dapat menyelesaikan
masalah-masalah utama iklim investasi dan prospek usaha di Indonesia. Sehingga baik
investor dalam negeri maupun asing dapat mulai memperhitungkan Indonesia sebagai pilihan
dalam membuka usaha ataupun memperluas usahanya. Kemudahan usaha dan prospek pasar
Indonesia menjadi daya tarik utama bagi investor untuk ekspansi usahanya, dengan harapan
dapat memberikan dampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan dengan terciptanya
lapangan kerja yang luas.

19
BAB III
KESIMPULAN

Prinsip-prinsip liberalisasi perdagangan internasional dan penanaman modal asing dalam


UU No. 25 Tahun 2007, telah bertentangan dengan prinsip demokrasi ekonomi Pasal 33 UUD
1945, karena demokrasi ekonomi menghendaki terpenuhinya hak-hak dasar setiap individu tanpa
kecuali, sedangkan ketentuan-ketentuan liberalisasi yang dilandasi oleh pemikiran kapitalisme
membatasi hak-hak dasar tersebut dan hanya mereka yang mampu bersaing dapat menikmati
keuntungan dari ketentuan perdagangan internasional.
Dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan atau peraturan-peraturan, pemerintah
Indonesia harus lebih mengutamakan kepentingan masyarakat atau pengusaha dalam negeri
khususnya dan kepentingan pembangunan nasional pada umumnya, sebagaimana tujuan negara
mencapai masyarakat sejahtera sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945.
UUPM tidak sesuai dengan idiologi bangsa Indonesia, UUPM ini juga tidak menganut
sistem demokrasi ekonomi dengan paham ekonomi kerakyatan namun menganut sistem neo-
liberal yang lebih mengutamakan kepentingan pemodal asing dan dalam negeri, memberi
kebebasan dan kemudahan pada para pemodal asing dan dalam negeri untuk menguasai berbagai
sektor penting di Indonesia.
Dampak positif dari UUPM adalah peluang masuknya investor asing lebih besar, serta
adanya perbaikan iklim investasi di Indonesia. Sedangkan dampak negatif dari UUPM adalah
penanam modal asing lebih diutamakan, sehingga undang-undang ini semakin memperkuat
pelembagaan neo-kolonialisme di Indonesia.

20
DAFTAR PUSTAKA

UUD 1945
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Tentang Penanaman Modal. UU No. 25 Tahun 2007.
An An Chandrawulan. 2011. Hukum Perusahaan Multinasional, Liberalisasi Hukum
Perdagangan Internasional dan Hukum Penanaman Modal, cetakan ke-1. Bandung:
Penerbit PT. Alumni.
Daniel S. Lev. 1990. Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan. Jakarta:
LP3S.
Darji Darmodiharjo, Shidarta. 2006. Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat
Hukum Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Ernest Renan (alih bahasa oleh: Prof.Mr.Sunario). 1994. Bandung: Alumni.
Jakarta, Pelita: Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bakti
menilai UU Penanaman Modal Asing (PMA) menjadi salah satu UU yang paling
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. www.pelita.or.id/baca.php?id=60101.
Diakses tanggal 22 April 2015

Mieke Komar, at al., Mochtar Kusumaatmadj. 1999. Pendidik dan Negarawan, Kumpulan Karya
Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LLM. Bandung:
Alumni.
Miriam Budiardjo. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Cet. ke 27. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama Lippman, Walter. Filsafat Publik, Terjemahan dari buku aslinya yang berjudul ”
The Public Philosophy, oleh A. Rahman Zainuddin. 1999. Penerbit Yayasan Obor
Indonesia.
Rosjidi Ranggawidjaja. 1998. Pengantar Ilmu Perundang-undangan di Indonesia. Bandung:
Mandar Maju.
Subandi Al Marsudi. 2001. Pancasila dan UUD 1945 dalam Paradigma Reformasi. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada
Tim Penyunting. 1992. Risalah Sidang BPUPKI, PPKI. Sekretariat Negara RI. Jakarta.
http://news.liputan6.com/read/475147/ketua-mk-29-uu-dibatalkan-karena-tak berkualitas, 26-12-
2012.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapPUU.
http://www.merdeka.com/peristiwa/banyak-dibatalkan-mk-kualitas-legislasi-2012
menurun.html, 2 Januari 2013

21

Anda mungkin juga menyukai