Anda di halaman 1dari 8

A. Pendahuluan.

Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak terlepas dari berbagai macam kebutuhan dan itu
mendorong manusia itu sendiri untuk melakukan kegiatan atau usaha untuk memenuhinya yang
dinamakan kegiatan ekonomi. Namun demikian usaha yang di tempuhnya tidak selamanya
membuahkan hasil sebagiamana yang diharapkan dan tidak jarang yang bersangkutan
memerlukan bantuan dari pihak orang lain yang salah satu diantaranya dalam bentuk piutang.

Adapun maksud dari hutang-piutang sebagai akad terjadinya perjanjian adalah, setiap orang yang
ditetapkan sebagai syarat terjadi peristiwa hukum tersebut, dan disamping itu harus memenuhi isi
dari perjanjian yang disepakati sebagaimana kewajiban dari ikatan hukum antara yang berutang
dan yang berpiutang, hutang piutang dalam hukum Islam merupakan bentuk tolong menolong
yang dianjurkan dalam Islam. Hal ini sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surat al-Maidah
ayat 2 :

‫ووتووعاَووننوواْ وعلَوى اْولببرر و و اْلتتوقووىَ و ولو تووعاَووننوواْ وعلَوى واْبلوثبم وو اْولنعودوواْبن وو اْتتقنوواْ او اْبتن او وشبدويند واْلبعوقاَ ب‬
…: ‫ب}ِاْلماَئدة‬

Artinya : “… dan tolong menolonglah kamu dalam berbuat kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong menolong dalam perbutan dosa dan pelanggaran dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah sangat berat siksanya.”

Dari kutipan firman Allah di atas, dapat dipahami bahwa tolong-menolong merupakan salah satu
perbuatan yang diperintahkan oleh Allah swt. Termasuk di dalamnya adalah, memberikan hutang
baik berupa uang atau barang, dimana orang yang memberikan hutang ingin berbuat kebaikan
dan melakukan amal ibadah. Orang yang memberikan hutang tersebut di sebut kreditur, dan hal
itu harus diselesaikan dengan benar, dalam artian bahwa hutang harus di lunasi atau di bayar.

Di dalam hukum perdata, hutang piutang merupakan salah satu bentuk perjanjian yang kemudian
memberikan akibat hukum kepada kedua belah pihak, dengan artian bahwa hutang harus dilunasi
atau dibayar sesuai dengan perjanjian, setiap pihak mempunyai hak dan kewajiban secara timbal
balik. Pihak yang satu untuk menuntut pihak yang lain disebut kreditur dan pihak yang wajib
untuk memenuhi tuntutan itu disebut debitur dan sesuatu yang dituntut disebut prestasi.

Apabila debitur tidak memenuhi kewajibanya atau terlambat memenuhinya maupun


memenuhinya tetapi tidak seperti yang dijanjikan maka debitur dinyatakan lalai atau
wanprestasi.[1] Dan apabila debitur melakukan wanprestasi dalam jaminannya maka debitur
akan menanggung resiko yang timbul sebagai akibat dari wanprestasi yang dilakukan olehnya,
dan pihak kreditur akan meminta pertanggung jawaban debitur terhadap resiko yang timbul
akibat perbuatanya.
Di dalam hukum Islam, apabila seseorang akan mengadakan jual beli, sewa menyewa dan hutang
piutang atau transaksi bisnis lainnya yang tidak secara tunai, maka hendaklah ditulis.
Sebagimana firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam QS. al-Baqarah ayat 282 :

{٢٨٢: ‫يوأ ويَيوهاَ اْلتبذويون آومننوواْ اْبوذاْ تووداْيوونتنوم ببودويلن باْلوى اْووجلل نموسممىى وفاَوكتنبنوونه…}ِاْلبقرة‬

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang di tentukan maka hendaklah kamu menuliskanya…”

Apabila dalam mengadakan akad jual beli atau hutang piutang sedangkan sudah ditentukan akad
pembayaranya maka hendaklah punya jaminan sebagai kekuatan hukum untuk menjamin dari
pada hutangnya. Di dalam hukum Islam juga di jelaskan melalui makna tersirat dari ayat ini,
bahwa apabila terjadi perjanjian hutang piutang dalam jangka waktu tertentu maka wajiblah janji
itu dipenuhi dan pihak yang berhutang perlu membayar hutang itu menurut perjanjian. Apabila
telah sampai pada waktu yang ditetapkan maka pihak berhutang wajib untuk menyelesaikan
hutangnya, jika ia mengalami kesulitan dalam melunasi hutangnya hendaklah diberi
kelonggarang dan hal ini di jelaskan oleh Allah dalam QS. al-Baqarah ayat 280 :

{٢٨٠: ‫صتدقنوواْ وخويرْر لتنكوم اْبون نكونتنوم تووعلَونمووون }ِاْلبقرة‬


‫وواْبون وكاَون نذوو نعوسورلة فونوبظورةرْ باْلوى ومويوسورلة وواْوون تو و‬

Artinya : “Dan jika ( orang berutang ) itu dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia
kelapangan dan menyedekahkan sebahagian atau semuanya hutang itu lebih baik bagimu jika
kamu mengetaui.”

Dari penjelasan di atas, maka :

1. Dalam hukum Islam ; jika terjadi permasalah dalam pengembalian hutang, maka ia harus
memberikan tangguhan waktu, namun setelah diberi kelonggaran waktu tertentu akantetapi
belum juga dapat membayar, maka kreditur berhak meminta ganti rugi yang telah dialaminya.

2. Dalam hukum acara perdata ; bahwa debitur harus melunasi hutang piutangnya yang telah
dipinjam dari kreditur dan apabila debitur tidak mampu mengembalikan atau melunasi hutang
piutangnya, maka kreditur berhak atas barang yang bergerak ataupun barang yang tidak bergerak
untuk jadi jaminannya sebagai ganti rugi atas hutang-hutangnya. Kreditur berhak untuk menyita
barang-barang yang ada pada debitur dan di dalam penyitaan barang itu juga harus melalui
prosedur hukum karena di dalam hukum perdata telah diatur tentang tatacara penyitaan.

Adapun yang sering kali terjadi di lapangan adalah, adanya penyitaan harta debitur yang
wanprestasi tanpa prosedur hukum atau proses pengadilan, seperti contoh ; “Debitur meminjam
berupa uang kepada kreditur dalam jangaka waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak
dan dalam akad hutang piutang tersebut telah ditulis dalam bentuk nota agar kemudian hari tidak
mengalami kesulitan dalam penyelasaian hutang piutang tersebut, dan sebagai salah satu bukti
telah terjadi perjanjian. Namun setelah tiba waktu yang telah ditentukan debitur tudak dapat
membayar hutang piutangnya, kreditur pun memberikan kelonggaran dalam jangka waktu dan
itu pun telah disepakati oleh kedua belah pihak tetapi debitur tidak membayar hutang piutangnya
pada waktu yang telah disepakati. Karena debitur takut akan ditagih terus-merus oleh kreditur,
disebabkan tidak memenuhi kewajibanya untuk membayar hutang piutangnya dan pada akhirnya
debitur bersama keluarganya kabur menghilang tanpa jejak dengan meninggalkan hutang piutang
dan rumah beserta isinya. Setelah diselidiki tenyata debitur mempunyai banyak hutang dengan
kreditur-kreditur yang lainnya. Tanpa pikir panjang kreditur menyita atau melelang barang-
barang yang ada di dalam rumah debitur, ditakutkan kreditur-kreditur lainnya yang mempunyai
sangkutan mendahuluinya. Dalam penyitaan barang-barang yang wanprestasi ini dilakukan tanpa
sepengetahuan debitur, dan dalam penyitaannya tidak melalui proses atau prosedur hukum baik
secara hukum perdata maupun hukum Islam.”

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka dapat penulis rumuskan masalahnya
yakni ; bagaimanakah pandangan hukum Islam tentang prosedur penyitaan harta debitur yang
wanprestasi ?

B. Pembahasan.

1. Penyitaan Harta Menurut Hukum Islam.

Dalam fiqh Islam, persoalan sita termasuk dalam satu bagian dari pembahasan al-hajru, ia
merupakan grand teori, penjelasannya belum mendetail seperti yang dijelaskan oleh ilmu hukum
umum saat ini. Adapun al-hajru secara bahasa adalah :

‫ لقد حجرت‬.ْ‫ اْللَهم اْرحمنى واْرحم محمداْ ول ترحم معناَ أحدا‬: ‫اْلتضييق واْلمنع ومنه قول اْلرسول صلَى ا علَيه وسلَم لمن قاَل‬
[2] .‫واْسعاَ ياَ أعربي‬

Artinya : “Membatasi dan menghalangi. Arti ini ditunjukkan di antaranya dalam ucapan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. terhadap seorang penduduk kampung yang berdoa :
ya Allah, kasihanilah aku dan kasihanilah Muhammad, dan jangan Engkau kasihi bersama kami
seorangpun. Sesungguhnya engkau telah membatasi rahmat Allah Yang Maha Luas, wahai
orang dusun.”

Sedangkan pengertian al-hajru secara istilah fiqh adalah :

[3] ‫اْلمنع من اْلتصرف فى اْلماَل‬

Artinya : “Mencegah untuk membelanjakan harta.”

Para ulama juga memberikan defenisi al-hajru secara berbeda-beda. Ulama mazhab Hanafi
mendefiniskan al-hajru, adalah “larangan melaksanakan aqad dan bertindak hukum dalam bentuk
perkataan”. Ulama mazhab Maliki menjelaskan, bahwa al-hajru adalah “status hukum yang
diberikan syarak kepada seseorang sehingga ia dilarang melakukan tindakan hukum di luar batas
kemampuannya”. Ulama mazhab Syafi’i dan Hanbali, juga mengemukakan bahwa al-hajru,
“larangan terhadap seseorang melakukan tindakan hukum baik larangan dari syarak maupun
muncul dari hakim”.[4] Dari pengertian-pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa al-
hajru atau sita adalah suatu larangan atau pencegahan terhadap seseorang untuk menggunakan
hartanya karena sebab kesalahan atau kelalaian yang telah dilakukannya terhadap orang lain dari
segi perikatan. Dengan demikian, menjadi tidak ada masalah ketika hal tersebut ditafsirkan
bahwa sebagai bentuk penjegahan adalah menarik hartanya dari sisi orang yang lalai bahkan
menjadikannya sebagai sebuah kebiasaan, karena tujuan dari al-hajru atau sita adalah :

a. Untuk kemaslahatan pemiliknya.

Untuk kemaslahatan diri pemiliknya, seperti al-hajru pada anak kecil, orang gila dan orang
bodoh. Kalau harta ini diserahkan kepada mereka, tidak akan membawa kebaikan, sebab mereka
tidak bisa menggunakan dengan baik, sehingga membawa kerugian. Anak kecil belum bisa
berpikir, orang yang gila tidak bisa berpikir, dan orang yang bodoh tidak akan mampu
menggunakan pikirannya. Maka harta mereka ditahan oleh walinya yang diberikan untuk
memeliharanya. Allah berfirman :

… {٢٨٢ : ‫ضبعيىفاَ أووو ول يووستوبطينع أوون ينبمتل هنوو فوولَينوملَبول وولبيَيهن بباَولوعودبل…}ِاْلبقرة‬
‫ق وسبفيىهاَ أووو و‬
َ‫فوإ بون وكاَون اْلتبذيِ وعلَوويبه اْولوح ي‬

Artinya : “…Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau
dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan
jujur…”

Ayat ini mengajarkan agar mereka diuji apakah sudah bisa diserahkan hartanya atau belum.
Kalau ternyata sudah mampu, maka hartanya diserahkan. Tetapi kalau belum, maka tidak boleh
diserahkan, menunggu sampai bisa.

b. Untuk kemaslahatan orang lain.

Untuk kemaslahatan orang lain, seperti pada muflis (pailit) karena banyak hutang. Mencegah
harta atau menyita harta muflis adalah untuk menjaga kemaslahatan orang-orang yang
menghutanginya. Pemerintah juga bisa menyita atau menahan untuk tidak memberikan hartanya
kepadanya demi kemaslahatan orang yang menghutangi. Dengan demikian, orang yang
menghutangi tidak dirugikan.

2. Tindakan Terhadap Wanprestasi.


Dalam hukum Islam, perlakuan terhadap orang yang berhutang yang tidak dapat membayar
hutangnya dilakukan beberapa tahap hingga boleh dilakukan penyitaan, itupun harus dengan
prosedur yang berlaku :

a. Penangguhan dan Pemutihan Hutang yang Tidak Mampu Bayar.

Di dalam hukum Islam, kreditur dianjurkan untuk memberikan perpanjangan waktu terhadap
pembayaran hutang, kalau perlu dihapus bukukan. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa
ta’ala :

{٢٨٠: ‫صتدقنوواْ وخويرْر لتنكوم اْبون نكونتنوم تووعلَونمووون }ِاْلبقرة‬


‫وواْبون وكاَون نذوو نعوسورلة فونوبظورةرْ باْلوى ومويوسورلة وواْوون تو و‬

Artinya : “Dan jika (orang berhutang) itu dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia
kelapangan dan menyedekahkan sebahagian atau semuanya hutang itu lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui.”

Prof. Dr. M. Quraish Shihab menjelaskan, bahwa “apabila ada seseorang yang berada dalam
situasi sulit, atau akan terjerumus dalam kesulitan bila membayar hutangnya, maka tangguhnkan
penagihan sampai di lapang. Jangan menagihnya jika kamu mengetahui dia sempit, apalagi
memaksanya membayar dengan sesuatu yang amat dia butuhkan”.[5] Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. bersabda :

[6]{‫ضوع وعونهن أوظولَتهن ان بفي بظلَربه }ِرواْه مسلَم‬


‫صتلَى ا وعلَوويبه وووسلَتوم ومون أوونظوور نموعبسىراْ أووو وو و‬
‫وقاَول ورنسوول اب و‬

Artinya : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; Barangsiapa yang menangguhkan


pembayaran hutang orang yang berada dalam kesulitan, atau membebaskannya dari hutangnya,
maka dia akan di lindungi Allah.”

Orang yang menangguhkan itu, pinjamannya dinilai sebagai qard hasan, yaitu pinjaman yang
baik. Setiap detik ia menangguhkan dan menahan diri untuk tidak menagih, setiap saat itu pula
Allah memberinya ganjaran pahala, sehingga berlipat ganda ganjaran pahala itu. Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman :

{١١ : ‫ضاَبعفوهن لوهن وولوهن أووجرْر وكبريرْم}ِاْلحديد‬


‫ضاَ وحوسىناَ فوين و‬ ‫ومون وذاْ اْلتبذيِ ينوقبر ن‬
‫ض او قوور ى‬

Artinya : “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah
akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang
banyak”.

Ia (Allah) melipat gandakan, karena ketika itu, yang meminjamkan mengharap pinjamannya
kembali, tetapi tertunda, dan diterimanya penundaan itu dengan sabar dan lapang dada. Ini
berbeda dengan sedekah, yang sejak semula yang bersangkutan tidak lagi mengharapkannya.
Kelapangan dan dan kesabaran menunggu itulah yang dianugrahi ganjaran pahala setiap saat
oleh Allah sehingga pinjaman itu berlipat ganda. Yang lebih baik dari meminjamkan adalah
menyedekahkan sebahagian atau semua hutang itu.

b. Penyitaan Bagi yang Tidak Mau Bayar dan Pailit (al-Muflis).

Mengenai masalah penyitaan bagi orang yang tidak mau bayar ini dapat dilakukan secara
langsung oleh dirinya sendiri atau melaui pengajuan ke pengadilan, seperti kasus Mu’adz, di
mana Ka’ab bin Malik menceritakan bahwa :

[7]{‫صتلَى ا ن وعلَوويبه وووسلَتوم وحوجور وعولَى نموعاَلذ وماَلوهن وو وباَوعهن بفى ود ويلن وكاَون وعلَوويبه }ِرواْه اْلداْراْلقطنى‬ ‫ب اْوببن وماَلبلك أوتن اْلنتبب ت‬
‫ي و‬ ‫وعون وكوع ب‬

Artinya : “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. pernah menyita harta Mu’adz dan
menjualnya untuk membayar hutangnya”. (HR. ad-Daar al-Quthni)

Dalam penyelesaian kasus pailitnya Mu’adz, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. bertindak
sebagai juru sita di samping sebagai hakim pada waktu itu. Berdasarkan hadits di atas maka
jelaslah bahwa pada dasarnya penyitaan terhadap barang atau benda itu diperbolehkan,
sebagaimana pula yang dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu :

َ‫س فوهنوو أووح ي‬


‫ق بببه بمون وغويبربه }ِرواْه‬ ‫س أووو إبونوساَلن قوود أووفلَو و‬
‫ك وماَلوهن ببوعوينببه بعونود ورنجلل قوود أووفلَو و‬
‫صتلَى اْلتلَهم وعلَوويبه وووسلَتوم ومون أوودور و‬
‫وقاَول ورنسونل اب و‬
[8]{‫مسلَم‬

Artinya : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; Barangsiapa yang mendapatkan


hartanya ditangan orang yang telah pailit, maka ia lebih berhak untuk mengambil harta itu dari
pada diambil oleh orang lain.”

Hadits ini juga menerangkan bahwa diperbolehkan untuk menyita atau menahan barang pihak
yang masih memerlukan barang atau harta tersebut agar hutangnya lunas, sebagaimana
dijelaskan oleh al-Nawawi, bahwa :

[9]…‫حجر اْلمفلَس لحق اْلغرماَء‬

Artinya : “Penyitaan dari orang yang tidak sanggup untuk membayar hutang karena pailit
adalah hak bagi orang-orang yang memberi hutang…”

Hadits ini secara zhahir menunjukkan bahwa setiap orang yang merasa hartanya berada pada diri
orang yang bangkrut maka ia berhak untuk mengambilnya atau menyita kembali hartanya,
namun tetap, bahwa masalah ini harus dikembalikan kepada yang berwenang yakni hakim,
karena untuk mengetahui berapa jumlah hartanya dan membaginya dengan yang lain pula, hanya
dapat dilakukan oleh hakim.
Dari uraian di atas, maka dapatlah dipahami bahwa, penyitaan harta (baik yang dilakukan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap harta Mu’adz) menunjukkan
diperbolehkannya menyita harta setiap orang yang berhutang dan tidak mampu lagi untuk
membayarnya, dan juga hakim boleh menjual hartanya itu untuk membayar semua hutangnya,
baik harta itu cukup atau tidak untuk membayarnya. Demikian menurut riwayat beberpa Imam,
di antaranya Imam Syafi’i, Malik, Abu Yusuf, dll. Mereka membatasi bolehnya menyita itu
dengan “adanya tuntutan dari salah satu pihak kepada hakim untuk diadakannya penyitaan”[10].

Amru bin Said menceritakan dari bapaknya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
bersabda :

‫صتلَى ا وعلَوويبه وووسلَتوم وقاَول لويَي اْولوواْبجبد ينبحيَل بعور و‬


{‫ضهن وونعنقوبوتوهن }ِرواْه اْبوداْود‬ ‫وعون ورنسوبل ا و‬

Artinya : “Dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; Orang-orang yang telah
sanggup untuk membayar kewajibannya tetapi dilalaikannya maka bolehlah (orang merampas)
hartanya dan menghukumnya.” (HR. Abu Daud)

Hal ini menunjukkan tegas dan kerasnya sikap Islam terhadap orang-orang yang mampu tetapi
tidak mau membayar hutangnya. Apalagi jikalau hutang itu adalah hutang yang direkayasa.[11]
Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa prosedur penyitaan adalah :

a. Penangguhan pembayaran.

b. Pelaporan kepada yang berwenang ketika terjadi permasalahan yang berkelanjutan. Pada
zaman Nabi, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menjadi orang yang
berwenang, dan pada masa setelahnya adalah para Qadhi yang berwenang.

c. Penyitaan diperbolehkan dlakukan sendiri dan ketika terjadi permasalahan yang


berkelanjutan maka penyitaan dilakukan setelah ada putusan dari yang berwenang. Surat
perjanjian adalah alat bukti dan alat bukti atas adanya perjanjian.

Adapun penyitaan langsung di luar pengadilan karena transaksi hutang piutang yang
konvensional, maka hukum Islam membolehkan penyitaan secara langsung tersebut selama tidak
terdapat unsur pengharaman di dalamnya, hal ini didasarkan pada ;

1. Kaidah hukum Islam, yakni ( َ‫[) اْلصل فى اْلشياَء اْلباَحة حتى يدل دليل علَى تحريمها‬12] “dasar pada
setiap sesuatu pekerjaan adalah boleh sampai ada dalil yang yang mengaharamkannya”.

2. Hadits Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang


diriwayatkan oleh Imam al-Turmudzi, ( َ‫طاَ وحتروم وحولىل أووو أووحتل وحوراْىما‬
‫[) اْولنموسلَبنموون وعولَى نشنروبطبهوم إبتل وشور ى‬13]
“kaum muslimin bertransaksi sesuai dengan syarat-syaratnya selama tidak dihalalkan yang
haram atau mengharamkan yang halal”.
3. Kaidah hukum Islam, dimana ( ‫[) اْلعاَدة محكمة‬14] kebiasaan adalah bagian dari hukum.

Melalui penjelasan ini maka boleh keduanya (antara kreditur dan debitur) membuat perjanjian
yang tata cara berpiutang, membayang hutang dan akibat hukum jika terjadi wanpretasi yakni
sita menyita. Pendapat dan putusanm ulama fiqh, seperti Syafi’i dll, adalah khusus untuk kasus-
kasus yang tidak ada kesepakatan di antara para pihak yang bertransaksi.

C. Kesimpulan.

Kesimpulannya adalah, bahwa pandangan hukum Islam tentang prosedur penyitaan harta debitur
yang wanprestasi menyangkut masalah perikatan, termasuk di dalamnya masalah penyitaan
barang akibat seseorang tidak dapat melakukan prestasi, menjadi permasalahan mereka sendiri
dan diselesaikan oleh mereka sendiri. Penyitaan secara langsung dibolehkan selama tidak
menyalahi aturan agama, dan tidak terdapat unsur pengharaman di dalamnya.

[1] Wanprestasi adalah “tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang telah ditetapkan
dalam perikatan”. Lihat Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 1963), h. 43

[2] Asy-Syaikh as-Said Sabiq, Fiqh as-Sunah, (Mesir: Daar al-Fikr, 1983), Jilid ke-3, h. 405

[3] Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifayatul Akhyar fi Halli Ghayatil
Ikhtishor, (Semarang: Usaha Keluarga, t.th.), h. 266

[4] Abdul Aziz Dahlan…(et al.)., Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van
Hoeve, 2001), h. 482

[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Jilid 1, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 569

[6] Imam Muslim, Sohih Muslim, Juz II, (Bandung: Dahlan, t.th.), h. 600

[7] Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Nailul Authar Juz V, (Mesir: Syirkah
Maktabah wa Matba’ah Muthafa al-Halaby wa Auladuhu, t.th.), h. 275

[8] Imam Muslim, op. cit., h. 681

[9] Abi Zakaria Yahya bin Syarif An-Nawawi Asy-Syafi’i, Minhaj Ath-Thalibin, (Bandung: Al-
Ma’arif, t.th.), h. 52

Anda mungkin juga menyukai