Anda di halaman 1dari 24

BAB I.

LATAR BELAKANG

PENDAHULUAN

Manusia di juluki sebagai makhluk sosial dimana pasti akan saling membutuhkan dalam

kehidupan sehari hari. Karna tidak mungkin manusia hidup sendiri tampa bantuan orang lain,

Sehingga manusia senantiasa melakukan hubungan terhadap masyarakat dalam ber interaksi setiap

harinya, dan akan menimbulkan akibat hukum dalam hubungan, serta menimbulkan hak dan

kewajiban.

Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap orang pasti mempunyai kepentingan yang tidak sama

antara pihak satu dengan pihak lainnya. Terkadang kepentingan mereka ada yang berbenturan dan

saling bertentangan, yang mana hal tersebut dapat menimbulkan suatu sengketa pada masing-

masing pihak. Sehingga untuk menghindari hal tersebut kita memerlukan sebuah peraturan yang

sekiranya masyarakat bisa tertib dan mematuhi sebuah peraturan sehingga hal tersebut di langgar

makan akan menimbulkn sanksi sesuai dengan peraturan yang ada. Dimana sudah di jelaskan

dalam undang-undang Dasar 1945 bahwasanya Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan

atas hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Dapat diartikan bahwa segala sesuatunya

harus berdasarkan atas hukum.

Kegiatan utang piutang sudah merupakan bagian dari kehidupan masyarakat saat ini.

Selanjutnya dalam kegiatan utang piutang atau pinjam meminjam uang yang terjadi dalam

masyarakat dapat diperhatikan bahwa pada umumnya sering dipersyaratkan adanya jaminan utang

oleh pihak pemberi pinjaman kepada pihak penerima pinjaman. Jaminan utang dapat berupa barang

(benda) sehingga merupakan jaminan kebendaan dan atau berupa janji penanggungan utang

sehingga merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak kebendaan kepada

pemegang jaminan1.

1
M. Bahsan. 2007. Hukum Jaminan dan Hukum Jaminan Kredit Perbankan Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Sedangkan dalam islam Pinjam-meminjam harta atau utang-piutang merupakan salah satu jenis

muamalah yang kerap dijumpai dalam kehidupan bermasyarakat. Islam mengatur perkara utang-

piutang ini dengan rinci, baik itu melalui nas Al-Quran maupun hadis. Berikut ini cuplikan ayat Al-

Quran tentang utang-piutang, kewajiban transaksi, serta dosa tak melunasinya.

Seseorang yang berutang biasanya sedang terdesak atau membutuhkan. Karena itu,

memberikan utang atau menyedekahkannya dinilai sebagai perbuatan baik karena menolong orang

yang membutuhkan.

Di sisi lain, utang sendiri termasuk tanggung jawab yang besar. Orang yang berutang wajib

melunasi utang tersebut, sekecil apa pun nilainya. Utang yang tak dilunasi akan tercatat sebagai

dosa dan menjadi penghalang masuk surga.

Hal itu tergambar dalam sabda Nabi Muhammad SAW:

"Barangsiapa ruhnya berpisah dari jasad sedangkan ia terbebas dari tiga perkara ini, ia pasti

akan masuk surga. Ketiga hal tersebut adalah terbebas dari sombong, khianat, dan utang," (H.R.

Ibnu Majah).

Seseorang berhutang karna ia merasa lagi kesulitan dalam perekonimian, sehingga seseorang

pun akan melakukan utang piutang untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam kehidupannya.

Adapun dasar hukum utang piutang dalam AL-Quran surah AL-Baqarah (2) ayat 245;

ُۜ ‫ض ٰـ ِعفَهۥُ لَ ٓۥهُ َأضْ َعا ۭفًا َكثِي َر ۭةً ۚ َوٱهَّلل ُ يَ ْقبِضُ َويَب‬
َ‫ْصطُ َوِإلَ ْي ِه تُرْ َجعُون‬ َ ُ‫َّمن َذا ٱلَّ ِذى يُ ْق ِرضُ ٱهَّلل َ قَرْ ضًا َح َس ۭنًا فَي‬

Artinya: “siapakah yang mau memberikan pinjaman kepada Allah, pnjaman yang baik

(menafkahkan hartanya dijalan Allah), maka allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya

dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melampangkan (rezki) dan

kepadanyalah kamu dikembalikan. (Q.S. Al-Baqarah: 245)2

Bisa di simpulkan terhadap ayat di atas bahwasanya dianjurkan untuk melakukan hal kebaikan

dan saling menolong dengan memberikan pinjaman terhadap seseorang yang memang

2
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV. Diponegoro, 2005), h. 31
membutuhkan sehingga ALLAH sendiri yang akan menggantinya dengan dilipat gandakan

rejekinya. Apabiala seseorang memberikan bantuan atau pertolongan kepada orang lain maka allah

akan memberikan pertolongan kepadanya di dunia dan di akhirat.

Utang piutang termasuk salah satu jenis perjanjian yang dimuat dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata (KUH Perdata). Dimana perjanjian tersebut adalah suatu peristiwa dimana seorang

berjanji kepada seorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji melaksanakan sesuatu

hal3. sementara menurut Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana

satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian dinyatakan sah apabila memenuhi syarat-

syarat sebagai berikut:

1 ) Adanya kesepakatan;

2) Kecakapan untuk membuat perjajian;

3) Adanya suatu hal tertentu;

4) Adanya causa yang halal4.

Diantara keempat syarat sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata tersebut

poin pertama dan kedua yaitu adanya kesepakatan dan kecakapan untuk membuat perjanjian

merupakan syarat subjektif artinya sepakat mereka yang mengikatkan dirinya ini tidak boleh

mengandung unsur paksaan, kekhilafan, penipuan, ataupun penyalahgunaan keadaan, jika terdapat

unsur-unsur seperti yang disebutkan maka perjanjian dinyatakan tidak berlaku.

Pada dasarnya, hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan dalam suatu perjanjian dapat dibagi tiga

macam, yaitu:

3
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2010,hlm 122.
4
Simanjutak, Hukum Perdata Indonesia, Kencana, Jakarta, 2017, hlm 284.
1. Perjanjian untuk memberikan sesuatu barang/benda (Pasal 1237 KUHPer)

2. Perjanjian untuk berbuat sesuatu (Pasal 1241 KUHPer)

3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu (Pasal 1242 KUHPer) Hal-hal ini disebut dengan

prestasi.

Perjanjian dalam Hukum Islam khususnya Al-Quran sendiri setidaknya ada dua istilah yaitu

kata akad (al-‘aqdu) dan kata ‘ahd (al-‘ahdu), Akad atau al-‘aqdu dalam bahasa Arab berarti ikatan,

atau perjanjian dan kesepakatan. Kata ‘aqdu (atau al’aqd) sendiri mengacu pada terjadinya dua

perjanjian atau lebih, yaitu bila seseorang mengadakan janji kemudian ada orang lain yang

menyetujui janji tersebut, serta menyatakan suatu janji yang berhubungan dengan janji yang

pertama, sehingga terjadilah perikatan dua buah janji dari orang yang mempunyai hubungan antara

yang satu dan yang lain, yang kemudian disebut perikatan (‘aqd) (Mariam Darus Badrulzaman,

2001 : 247)

Bisa disumpulkan bahwa akad di atas mengindikasikan bahwasanya suatu perjanjian harus

dilakukan perjanjian kedua belah pihak yang bertujuan untuk saling mengikatkan diri tentang

perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal yang khusus setelah akad secara efektif mulai

diberlakukan. Adapun mengenai syarat sah nya perjanjian tersebut diantaranya adalah :

1) Aqidaian adalah orang yang berakal.

2) Ma’qud alaih adalah benda-benda yang memiliki nilai.

3) Maudhu al-aqd adalah tujuan pokok mengadakan akad.

4) Shigat adalah peryataan dari kedua belah pihak.5

Perjanjian hutang piutang dalam masyarakat daerah sering terjadinya dengan cara kesepakatan

kedua belah pihak untuk berjanji akan menepati segala aturan yang ditetapkan dalam perjanjian

yang telah dibuat. Bilamana kedua belah pihak sudah ada kata sepakat, dan disaksikan oleh

5
Rahmat syafe’I, fiqh muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2012), Hlm, 45
sejumlah saksi, maka dianggap perjanjian sudah lahir seketika itu tampa melihat resiko bahwa

dalam perjanjian utang piutang tampa menggunakan surat perjanjian utang piutang di atas materai

kerap akan terjadinya wanprestasi.

Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang

ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur6. Wanprestasi atau tidak

dipenuhinya janji dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja7. Seorang debitur

dikatakan lalai, apabila ia tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat memenuhinya tetapi tidak

seperti yang telah diperjanjikan8. Mengenai pengertian dari wanprestasi, menurut Ahmadi Miru

wanprestasi itu dapat berupa perbuatan:

1. Sama sekali tidak memenuhi prestasi.

2. Prestasi yang dilakukan tidak sempurna.

3. Terlambat memenuhi prestasi.

4. Melakukan apa yang dalam perjanjian dilarang untuk dilakukan.

Pada umumnya dikalangan masyarakat apalagi di pedesaan bukti adanya kesepakatan seperti

akta otentik dalam perjanjian tidak terlalu diperhatikan, yang terpenting bagi para pihak yang

melakukan perjanjian adalah telah adanya itikad baik dan saling percaya satu sama lain tampa

harus melihat resiko yang akan terjadi di kemudian, sehingga masyarakat yang melakukan

perjanjian dengan para belah pihak yang terkait tersebut akan menepati janji sesuai dengan apa

yang diperjanjikan.

Dalam perjanjian hutang piutang masyarakat juga sering menggunakan harta benda seperti

berupa akta tanah. Hal tersebut di buat suatu jaminan yang dilakukan atas dasar kepercayaan dan

sepakat untuk menyerahkan sejumlah harta benda milik debitur. Pemberian jaminan tersebut adalah

dengan maksud sebagai tambahan dalam perjanjian hutang piutang tersebut, dan berguna sebagai

6
Salim HS, 2008, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta, Hlm. 180
7
Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Rajawali Pers, Jakarta, Hlm. 74
8
Subekti, 2007, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Arga Printing, Jakarta, Hlm. 146
bentuk itikad baik dari pihak debitur bahwa ia akan menepati janji atau prestasinya kepada kreditur

sehingga memperkuat kedudukan kreditur tersebut.

Di dalam islam juga sangat anjurkan memberikan jaminan dalam melakukan akad hutang

piutang sebagaimana di anjurkan dalam Q.S AL-Baqarah; 2839

ِ َّ‫ض ُك ْم بَ ْعضًا فَ ْليَُؤ ِّد الَّ ِذي اْؤ تُ ِمنَ َأ َمانَتَهُ َو ْليَت‬
‫ق هَّللا َ َربَّهُ ۗ َواَل تَ ْكتُ ُموا‬ ُ ‫ُوضةٌ ۖ فَِإ ْن َأ ِمنَ بَ ْع‬
َ ‫َان َم ْقب‬
ٌ ‫َوِإ ْن ُك ْنتُ ْم َعلَ ٰى َسفَ ٍر َولَ ْم ت َِجدُوا َكاتِبًا فَ ِره‬

‫ال َّشهَا َدةَ ۚ َو َم ْن يَ ْكتُ ْمهَا فَِإنَّهُ آثِ ٌم قَ ْلبُهُ ۗ َوهَّللا ُ بِ َما تَ ْع َملُونَ َعلِي ٌم‬

Artinya: ‘’jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu

tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh

yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka

hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa

kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan

barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa

hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan’’.

Menurut Ulama Hambali dan Syafi’i (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan

pembayaran utang apabila orang yang berhutang tidak bisa membayar hutangnya itu10.

Kegiatan pinjam meminjam uang dengan jaminan kebendaan berupa penguasaan tanah

pertanian banyak sekali dijumpai di wilayah pedesaan, Menguasai atau bahkan memiliki tanah

pertanian sudah merupakan suatu kewajaran dalam kehidupan sehari-hari, hal ini karena

keniscayaan dan kebutuhan memiliki tanah sudah tertanam dalam dan sudah sedemikian mendalam

dalam lintasan sejarah kehidupan manusia. Tanah merupakan sumber penghidupan karena dari

tanah mengalir semangat harga diri, kemakmuran, dan kekuasaan. Oleh karenanya setiap orang

berjuang untuk memiliki tanah dan mempertahankannya (Nurhasan Ismail, 2012:34).

Utang piutang dengan cara memberikan sebuah jaminan akta tanah merupakan suatu hal yang

biasa atau lumrah di kalangan masyarakat terutama di dalam pedesaan, seperti halnya di salah satu

9
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Bandung:
Penerbit Diponegoro, 2000), h. 71.
10
Ruslan Abd Ghofur N, Op.cit, h. 25.
desa pagagan kec, pademawu kab, pamekasan dimana seseorang mempunyai hutang dengan

nominal yang cukup lumayan tinngi sehingga debitur tersebut tidak bisa membayar dalam waktu

yang sudah di sepakati bersama bahkan melebihi waktu tersebut sehingga pada akhirnya secara

terpaksa debitur memberikan sebuah akta tanah terhadap kreditur .

Berdasarkan latar belakar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengambil judul

skiripsi “TINJUAN HUKUM TERHADAP TERJADINYA WANPRESTASI PERJANJIAN

UTANG PIUTANG DENGAN JAMINAN TANAH DALAM PERSPEKTIF KUHPerdata

DAN HUKUM ISLAM”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas maka hal yang menjadi permasalahan dalam

penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana akibat hukum yg timbul terjadinya wanprestasi utang

piutang dengan jaminan tanah dalam perspektif KHUPer dan hukum islam?

2. Bagaimana keabsahan hukum Islam dan KUHPer terhadap utang

piutang dengan jaminan tanah?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujua penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Untuk mengetahui akibat hukum yg timbul terjadinya

wanprestasi utang piutang dengan jaminan tanah dalam perspektif KHUPer dan hukum

islam

2. Untuk mengetahui keabsahan hukum Islam dan KUHPer

terhadap utang piutang dengan jaminan tanah

D. Mamfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah serta tujuan penelitian, Manfaat yang dapat diperoleh dari

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mamfaat Teoritis

Dengan adanya ini peneliti berharap dapat memberikan mamfaat memperkaya pengetahuan

ilmu hukum khususnya dalam hukum perdata yang mengenai. Terlebih lagi dapat menambah

wawasan untuk para pembaca tentang hukum terhadap terjadinya wanprestasi perjanjian terhadap

utang piutang dengan jaminan tanah.

2. Mamfaat praktis

Penelitian ini diharapkan pula nantinya dapat bermamfaat bagi kalangan masyarakat yang akan

melakukan utang piutang untuk tidak melakukan suatu hal yang menimbulkan wanprestasi yang

mana akan merugikan sebelah pihak.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjuan pustaka

1. Kajian teori

a) Pengertian dari wanprestasi

Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yaitu "wanprestatie" yang

artinya tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan terhadap

pihak-pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan yang dilahirkan

dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena undang-undang.

Wanprestasi adalah: “Pelaksanaan perjanjian yang tidak tepat waktunya atau

dilakukan tidak menurut selayaknya atau tidak dilaksanakan sama sekali.”11

Secara umum wanprestasi adalah: “Suatu keadaan dimana seorang debitur pada

tahap sebelum perjanjian, pembentukan perjanjian maupun pelaksanaannya.

Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan: “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan

mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau

lebih”..

Sehingga Wanprestasi disini memberikan akibat hukum terhadap pihak yang

melakukan suatu yang hal yang merugikan bagi salah satu pihak, sehingga pihak

yang merasa di rugikan bisa menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk

memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu

pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut.

Dengan demikian pengertian wanprestasi belum mendapat kesamaan dalam

berpendapat, masih terdapat bermacam-macam istilah yang dipakai untuk

wanprestasi, sehingga tidak terdapat kata sepakat untuk menentukan istilah mana

yang hendak dipergunakan.

11
Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Cet. II, Bandung: Alumni, 1986, hal. 60.
Sehingga dengan adanya macam-macam istilah mengenai wanprestasi ini,

telah menimbulkan kesimpang siuran dengan maksud aslinya yaitu“wanprestasi”

dan memberi pendapat tentang pengertian mengenai wanprestasi tersebut.

Menurut Harahap (1986), wanprestasi adalah sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak

tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Sehingga menimbulkan

keharusan bagi pihak debitur untuk memberikan atau membayar ganti rugi

(schadevergoeding), atau dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang

lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian.12

Menurut Muhammad (1982), wanprestasi adalah tidak memenuhi kewajiban yang harus

ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan

yang timbul karena Undang-undang.13

Menurut Saliman (2004), wanprestasi adalah suatu sikap dimana seseorang tidak

memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang telah ditentukan dalam

perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur14

Berdasarkan dengan para ahli hukum di atas bisa disimpulkan bahwa wanprestasi

tersebut adalah suatu iangkarnya perjanjian yang telah di sepakati bersama.

 Wanprestasi menurut hukum islam

Wanprestasi menurut ekonomi Islam, bilamana akad yang sudah tercipta

secara sah menurut ketentuan hukum itu tidak dilaksanakan isinya oleh debitur,

atau dilaksanakan tetapi tidak sebagaimana mestinya (ada kealpaan), maka

terjadilah kesalahan dipihak debitur. Kesalahan dalam fikih di sebut at-ta’addi

12
Harahap, M. Yahya. 1986. Segi-segi Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni.

13
Muhammad, A. Kadir.1982. Hukum Perikatan. Bandung: Bina Cipta.

14
Saliman, Abdul R.2004. Esensi Hukum Bisnis Indonesia. Jakarta: Kencana
yaitu suatu sikap (berbuat atau tidak berbuat) yang tidak diizinkan oleh syarak.

Artinya suatu sikap yang bertentangan dengan hak dan kewajiban.15

Landasan yang mengatur tentang wanprestasi, dalam Alquran surat al-Maidah ayat 1 yang

berbunyi :

‫ص ْي ِد َوَأ ْنتُ ْم ُح ُر ٌم ۗ ِإ َّن هَّللا َ يَحْ ُك ُم َما ي ُِري ُد‬ ْ َّ‫ا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا َأوْ فُوا بِ ْال ُعقُو ِد ۚ ُأ ِحل‬
َّ ‫ت لَ ُك ْم بَ ِهي َمةُـ اَأْل ْن َع ِام ِإاَّل َما يُ ْتلَ ٰى َعلَ ْي ُك ْم َغي َْر ُم ِحلِّي ال‬

Artinya” Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.

Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu.

(Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang

mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut

yang dikehendaki-Nya.

Makna dalam ayat di atas ialah merupakan bahwa dalam melakukan sebuah

aqad atau perjanjian ,harus benar-benar di taati dan di tepati sehingga hal

tersebut tidak akan timbul sebuah masalah dalam melakukan akad, sehingga

kedua belah pihak pun merasa akad tersebut aman dan bebas dalam tanggungan.

Akad yang wajib di tunaikan adalah akad yang ketetapannya terdapat di dalam

AL-Quran dan sunnah. Sehingga jika bertengtangan keduanya maka akad

tersebut tidak wajib di tunaikan.

Dari penjelasan di atas mengenai wanprestasi dalam hukum islam bisa di

ketahui bahsanya wanprestasi dalam hukum islam yaitu ketika di langgar atau

tidak di tepatinya suatu akaq yang mengakibat salah satu pihak di rugikan.

 Akibat hukum Wanprestasi

15
 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Studi tentang teori akad dalam fikih mauamalat), 332.
Dari pasal 1267 KUHPerdata dapat disimpulkan apabila seorang kreditur yang menderita

kerugian karena debitur wanprestasi, kreditur memiliki alternatif untuk melakukan upaya hukum

atau hak sebagai berikut : a. meminta pelaksanaan perjanjian; atau b. meminta ganti rugi; atau c.

meminta pelaksanaan perjanjiansekaligus meminta ganti rugi; atau d. dalam perjanjian timbal balik,

dapat diminta pembatalan perjanjian sekaligus meminta ganti rugi16.

Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko beralih kepada debitur sejak terjadi

wanprestasi (pasal 1237 ayat 2 KUHPerdata). Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih

dapat dilakukan, atau pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian (pasal 1267 KUHPerdata).

Merujuk penjelasan Pusat Penyuluhan dan Bantuan Hukum Kementerian Hukum dan Hak

Asasi Manusia, wanprestasi tentu dapat berakibat pada tindakan hukum sesuai aturan yang berlaku.

Dimana masing-masing pihak yang merasa dirugikan berhak menggugat ke Pengadilan untuk

menuntut ganti rugi, berupa penggantian biaya, kerugian dan bunga jika ada. Sebagaimana

dinyatakan dalam Pasal 1243 dan Pasal 1244 KUH Perdata (BW) yang berbunyi sebagai berikut:

 Pasal 1243 menyatakan:

Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai

diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu,

atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya

dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.

 Pasal 1244 menyatakan:

Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. Bila ia tak dapat

membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam

melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat

dipertanggungkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.

16
Ridwan Khairandii, Hukum Kontrak………….op.cit, hlm.282
Sementara Pasal 1267 KUHPerdata mengatur mengenai hak-hak kreditur yang merupakan

alternatif upaya hukum untuk mendapatkan hak-haknya kembali. Isi pasal tersebut adalah:

 Meminta pelaksanaan perjanjian, atau

 Meminta ganti rugi, atau

 Meminta pelaksanaan perjanjian sekaligus meminta ganti rugi, atau

 Dalam perjanjian timbal balik dapat dimintakan pembatalan perjanjian sekaligus meminta

ganti rugi.

Di dalam hukum islam juga di atur mengenai kelalaian di mana terdapat pada surah An-

Nahl ayat 91:

َ‫َوَأوْ فُوا بِ َع ْه ِد هَّللا ِ ِإ َذا عَاهَ ْدتُ ْم َواَل تَ ْنقُضُوا اَأْل ْي َمانَ بَ ْع َد تَوْ ِكي ِدهَا َوقَ ْد َج َع ْلتُ ُم هَّللا َ َعلَ ْي ُك ْم َكفِياًل ۚ ِإ َّن هَّللا َ يَ ْعلَ ُم َما تَ ْف َعلُون‬

Artinya “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu

membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan

Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa

yang kamu perbuat.”

Dari uraian di atas akibat hukum wanprestasi terjadi karna kelalaian debitur sebenarnya

itu sudah menjadi suatu hal yang lumrah dalam utang piutang, entah di sengaja atau

memang tidak bisa menepatinya karena memang terkendala dalam perekonomiannya,

sehingga hal tetap di anggap suatu kelalaian debiutr dan debitur wajib untuk menanggung

konsikuensinya atas kerugian kreditur.

b) Pengertian Perjanjian

Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan. Perikatan hasil perjanjian

memanglah diinginkan pihak yang terkait dalam perjanjian, sedangkan perikatan


hasil dari undang-undang diciptakan uu di luar kehendak pihak terkait. Tujuan

dua orang mengadakan suatu perjanjian adalah agar keduanya terikat dalam

suatu hukum perjanjian.

Perjanjian juga diartikan sebagai sebuah peristiwa dimana kedua belah pihak

sepakat untuk melakukan perjanian dengan melaksanakan suatu hal. Perjanjian

juga disebut dengan persetujuan sebab pihak-pihak yang terkait setuju untuk

melakukan sesuatu.

Hukum perjanjian merupakan hukum yang terbentuk akibat adanya suatu

pihak yang mengikatkan dirinya kepada pihak lain. Atau dapat juga dikatan

hukum perjanjian adalah suatu hukum yang terbentuk akibat seseorang yang

berjanji kepada orang lain untuk melakukan sesuatu hal. Dalam hal ini,kedua

belah pihak telah menyetujui untuk melakukan suatu perjanjia tanpa adanya

paksaan maupun keputusan yang hanya bersifat satu pihak.

Perkataan “Perikatan” (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari

perikatan “Perjanjian” sebab dalam Buku III itu, diatur juga perihal hubungan

hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suartu persetujuan atau

perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar

hokum (onrechmatige daad) dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan

kepentiungan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarneming)

tetapi, sebagian besar dari buku III ditujukkan pada perikatan–perikatan yang

timbul dari persetujuan atau perjanjian. Jadi berisikan hokum Perjanjian.17

Menurut pendapat Handri Raharjo perjanjian adalah hubungan hukum dalam

bidang harta kekayaan atas dasar kata sepakat antara subjek hukum yang satu

dengan yang lain, dan diantara pihak/subjek hukum saling mengikatkan dirinya

sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan subjek hukum yang

17
Subekti. Pokok – pokok Hukum Perdata. PT.Intermasa, Jakarta, 1998, h.122.
lain berkewajiban melaksanakan prestasinya sesuai kesepakatan juga

menghasilkan akibat hukum.

Sedangkan menurut t Rutten, perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata

tersebut terlalu luas dan mengandung beberapa kelemahan18 . Perjanjian adalah

merupakan bagian dari perikatan, jadi perjanjian adalah merupakan sumber dari

perikatan dan perikatan itu mempunyai cakupan yang lebih luas daripada

perjanjian. Mengenai perikatan itu sendiri diatur dalam buku III KUH Perdata,

sebagaimana diketahui bahwa suatu perikatan bersumber dari perjanjian dan

undang-undang. Oleh karena itu bahwa perjanjian itu adalah sama artinya

dengan kontrak.

Definisi perjanjian yang telah diuraikan di dalam Pasal 1313 KUH Perdata,

terdapat beberapa kelemahan dan kekurangan menurut para sarjana. Menurut

Setiawan rumusan Pasal 1313 KUH Perdata selain tidak lengkap juga sangat

luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja. Sangat

luas karena dengan digunakanya perkataan “perbuatan” tercakup juga

perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan itu

menurut Setiawan perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai definisi tersebut

ialah :19

A. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang

bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum

B. Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal

1313 KUH Perdata

18
Rutten dalam Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian dan Dari
Undang-Undang), Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 46.
19
R Setiawan dalam Johanes dan Lindawaty Sewu, Johanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, 2004, Hukum Bisnis Dalam
Persepsi Manusia Modern, Jakarta : Aditama, hlm. 41
C. Sehingga perumusanya menjadi “perjanjian adalah perbuatan hukum,

dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan

dirinya terhadap satu orang atau lebih.

Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu

kontrak. Kesepakatan ini dapat terjadi dengan berbagai cara, namun yang paling

penting adalah adanya penawaran dan penerimaan atas penawaran tersebut,

namun secara garis besar

terjadinya kesepakatan dapat terjadi secara tertulis dan tidak tertulis, yang

mana kesepakatan yang terjadi secara tidak tertulis tersebut dapat berupa

kesepakatan lisan, simbol-simbol tertentu, atau diam-diam.20

 Perjanjian Menurut Hukum Islam

Secara etimologis perjanjian dalam bahasa Arab diistilahkan dengan akad, iltizam. Dalam bahasa

Indonesia dikenal dengan kontrak, perikatan, perjanjian atau persetujuan. Yang mempunyai arti

suatu perbuatan dimana seseorang atau lebih mengaitkan dirinya terhadap seseorang atau lebih21.

Beberapa istilah perikatan, obligation (latin), obligation (Prancis; Inggris) yang berarti mengikatkan

diri atau ikatan hukum.

Akad merupakan kesepakatan dua kehendak untuk menimbulkan akibat-akibat hukum, baik berupa

menimbulkan kewajiban, memindahkannya, mengalihkan, maupun menghentikannya. Semua

perikatan (transaksi) yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih, tidak boleh menyimpang dan harus

sejalan dengan kehendak syariat.

Secara etimologi (bahasa), akad mempunyai beberapa arti, antara lain:22

a. Mengikat (ar-Aabthu), yaitu: mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan

yang lain sehingga bersambung dikemudian menjadi sebagai sepotong benda.


20
Amirah, Ahmadi Miru, Perlindungan Hukum Rahasia Dagang Dalam Perjanjian Kerjasama, Jurnal Pasca Unhas,hlm.4.
21
Ridwan Khairandi, Hukum Kontrak Indonesia dalam Prespektif Perbandingan (Yogyakarta: UII Press, 2014), 2-3.
22
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), h.13
b. Sambungan (Aqdatun), yaitu: sambungan yang menjadi memegang kedua ujung itu dan

mengikatnya.

c. Janji (Al-Ahdu) sebagaimana dijelaskan kedalam Alquran:

َ‫بَلَ ٰى َم ْن َأوْ فَ ٰى بِ َع ْه ِد ِه َواتَّقَ ٰى فَِإ َّن هَّللا َ يُ ِحبُّ ْال ُمتَّقِين‬

Artinya: “sebenarnya siapa yang menepati janji dan bertakwa, Maka Sesungguhnya Allah

menyukai orang-orang yang bertakwa”. (Q.S.Ali-Imran 3:76)23

Akad juga merupakan tindakan hukum dua pihak karena akad adalah pertemuan ijab yang

mempresentasikan kehendak dari satu pihak dan kabul menyatakan kehendak pihak lain. Tindakan

hukum satu pihak, seperti janji memberi hadiah, wasiat, wakaf atau pelepasan hak, bukanlah akad

karena tindakan-tindakan tersebut tidak merupakan tindakan dua pihak dan karenanya tidak

memerlukan kabul.24

Tujuan dari akad adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum. Lebih jelas lagi tujuan akad adalah

maksud bersama yang dituju dan yang hendak diwujudkan oleh para pihak melalui pembuatan akad

Ada beberapa definisi dan pengertian akad dari beberapa pendapat, sebagai berikut;

1. Menurut Mursyid al-Hairan, akad merupakan pertemuan ijab yang diajukan oleh

salah satu pihak dengan qabul dari pihak lain yang menimbulkan akibat hukum pada

objek akad.25

2. Menurut Prof. Dr. Syamsul Anwar mengatakan, akad adalah pertemuan ijab dan

qabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih ntuk melahirkan suatu akibat

hokum pada objeknya.26

Definisi akad adalah pertemuan ijab dan qabul sebagai pernyataan kehendak dua atau lebih untuk

melahirkan suatau akibat hukum pada objeknya. Kedua definisi di atas memperlihatkan bahwa,

23
Departemen Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahannya, (Bandung: PT Diponogoro, 2014), h. 59
24
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 68
25
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1979), h. 23
26
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari‟ah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 75
akad bahwa, akad merupakan keterkaitan atau pertemuan ijab qobul yang ber akibat timbulnya

akiabt hukum.

3. Jaminan dalam kuhper

Jaminan didefinisikan sebagai sesuatu yang diberikan kepada pemberi pinjaman untuk

menyakinkan bahwa yang menerima pinjaman akan memenuhi kewajibannya dengan sesuatu yang

apa mereka pinjam dari suatu yabg mereka sepakati. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

mengatur secara umum tentang jaminan. Yang mana tepatnya terdapat dalam Pasal 1131

KUHPerdata yang berbunyi

 "Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada

maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu." 

Dengan demikian menurut pasal di atas, segala harta kekayaan seseorang otomatis akan

menjadi jaminan atas utang yang telah dibuat baik benda yang sudah ada maupun belum ada. Hal

ini memperkuat bahwa seorang kreditur dapat diberikan jaminan berupa harta benda milik debitur

walaupun tanpa secara khusus pernah diperjanjikan sebelumnya.

jaminan merupakan perjanjian yang bersifat accesoir yaitu perjanjian yang bersifat

tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok.27 Perjanjian pokok dari jaminan adalah

perjanjian pemberian kredit atau pembiayaan. Perjanjian terbagi menjadi dua jenis, yaitu

Jaminan Materiil (Kebendaan) dan Jaminan Immateriil (Perorangan).28

Jaminan materill adalah jaminan berupa hak muklat atas suatu benda tertentu, dapat di

pertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya dan dapat di alihkan, sedangkan

jaminan immateriil adalah jamainan yang menimbulkan hubungan lansung pada perorangan

tertentu, hanya dapat di pertahankan terhadap debitur umumnya.29

 Jaminan menurut hukum islam

27

28

29
Salim Hs. Op. Cit, Hlm. 24.
Jaminan dalam hukum islam dibagi menjadi dua yaitu kafalah dan rahn. Dimana kafalah tersebut

adalah pihak yang berpiutang menjadikan pihak lain sebagaiaman jaminan, sedangkan rahn yang di

jadikan sebagai jaminan utang adalah harta benda.

Kafalah atau Al-kafalah menurut bahasa berarti al-Dhaman (jaminan), hamalah (beban), dan

za‟mah (tanggungan). Menurut istilah, kafalah adalah upaya menyatukan tanggung jawab penjamin

kepada orang yang dijamin dalam suatu perjanjian untuk menunaikan hak wajib, baik di waktu itu

atau yang akan datang.

Menurut etimologinya, kafalah berarti al dhamma yang artinya menggabungkan tanggung

jawab dalam suatu hal. Kafalah berarti beban apabila dikaitkan dengan diyat atau denda. Kafalah

adalah tanggungan jika berkaitan dengan harta. Kafalah juga berarti penjaminan jika dikaitkan

dengan jiwa.

Kafalah adalah jaminan pinjaman dan semua pinjaman harus dilunasi pada waktunya menurut

hukum Islam. Kafalah berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan

berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.

Dimana Firman Allah dalam QS. Yusuf [12]: 72

‫ك َولِ َم ْن َج ۤا َء بِ ٖه ِح ْم ُل بَ ِعي ٍْر َّواَن َ۠ا بِ ٖه زَ ِع ْي ٌم‬


ِ ِ‫قَالُوْ ا نَ ْفقِ ُد ص َُوا َع ْال َمل‬

Artinya ” Penyeru-penyeru itu berseru: ‘Kami kehilangan piala Raja; dan barang siapa yang

dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku

menjamin terhadapnya.

Menurut syariah, kafalah adalah suatu tindak penggabungan tanggungan orang yang

menanggung dengan tanggungan penanggung utama terkait tuntutan yang berhubungan dengan

jiwa, hutang, barang, atau pekerjaan.


Sedangkan Menurut Sayyid As-Sabiq, al-rahn menurut syara’ memiliki arti menjadikan suatu

barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, yang

memungkinkan untuk mengambil seluruh/ sebagian hutang dari barang tersebut.

Para pengikut madzhab Syafi’i mendefinisikan bahwa al-rahn adalah menjadikan nilai jaminan

sebagai ganti utang tatkala tidak bisa melunasinya. Madzhab Hambali mendefinisikan al-rahn

sebagai barang yang dijadikan jaminan utang, dimana harga barang itu sebagai ganti utang ketika

tidak sanggup melunasinya, sedangkan madzhab Maliki mendefinisikan bahwa al-rahn adalah

sesuatu yang bisa dibendakan/diwujudkan menjadi harta yang diambil dari pemiliknya sebagai

jaminan untuk utang yang harus dibayar.

Selain pendapat di atas, terdapat beberapa pendapat yang lain. Menurut Imam Ibnu Qudhamah,

pengertian al-rahn adalah sebagai sesuatu benda yang dijadikan kepercayaan dari suatu hutang

untuk dipenuhi harganya, apabila yang berhutang tidak sanggup membayarnya dari orang yang

berpiutang30.

Dari beberapa definisi di atas bisa di simpulkan bahwa aI-rahn mempunyai nilai ekonomis

dalam barang dan benda, serta menahan barang atau benda yang menjadi jaminan, serta

memberikan mamfaat, dalam adanya perjanjian dalam utang piutang, Memberikan manfaat

maksudnya bahwa al-rahn memberikan ketenangan kepada marhunbih (pemilik uang) dan atau

jaminan keamanan uang yang dipinjamkan.

Karena itu al-rahn pada prinsipnya merupakan suatu kegiatan utang piutang yang berfungsi

sosial atau tolong menolong. Konsep tolong menolong tersebut terimplementasi dalam bentuk

pinjam meminjam. Pinjam meminjam tersebut haruslah tertuang dalam sebuah akad, yang

bertujuan agar tidak ada pihak yang dirugikan. Hukum Islam sangat memperhatikan dan menjaga

kepentingan kreditur jangan sampai ia dirugikan.

30
Abdul ghofur anshori, op, cit, h. 88
Oleh sebab itu, kreditur diperbolehkan untuk meminta barang debitur sebagai jaminan utang,

sehingga apabila debitur tidak mampu melunasi hutangnya barang jaminan tersebut dapat dijual

oleh kreditur.

BAB III

METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian empiris dan normatif . Merupakan suatu metode

penelitian yang dalam hal ini menggabungkan unsur hukum normatif yang kemudian

didukung dengan penambahan data atau unsur empiris.31 “Dalam metode penelitian

normatif-empiris ini juga mengenai implementasi ketentuan hukum normatif (undang-

undang) dalam aksinya disetiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu

masyarakat”. 32 Dalam penelitian hukum normatif-empiris terdapat tiga kategori, yaitu:33

a. Non Judi Case Study “ialah pendekatan studi kasus hukum yang tanpa ada konflik

sehingga tidak ada akan campur tangan dengan pengadilan”.

b. Judical Case Study “Pendekatan judicial case study ini ialah pendekatan studi kasus

hukum dikarenakan adanya konflik sehingga akan melibatkan campur tangan pengadilan

untuk dapat memberikan keputusan penyelesaian”.

c. Live Case Study “Pendekatan live case study ini ialah pendekatan pada suatu peristiwa

hukum yang pada prosesnya masih berlangsung ataupun belum berakhir”.

Penyusunan skripsi ini peneliti menerapkan metode penelitian hukum normatif dan

empiris. Hal ini disebabkan peneliti menggunakan bahan-bahan kepustakaan dan data di

lapangan untuk melakukan wawancara sebagai data untuk menganalisis kasus dalam

penyusunan skripsi ini.

B. Jenis Pendekatan

Dalam menjawab permasalahan dan mencapai tujuan dari penelitian ini, peneliti

menggunakan empiris normatif karna Peneliti akan mengkaji rumusan masalah dengan

kaidah yang berlaku kemudian akan memaparkannya secara detail dan memberikan solusi

terhadap penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian normatif tersebut, penulis

membutuhkan data dilapangan supaya mampu untuk mengkaji lebih mendalam rumusan

permasalahan penelitian ini.

C. jenis bahan hukum

31

32

33
Dalam suatu penelitian terdapat bahan hukum yang memiliki beberapa jenis yang

diperlukan dan mencari sumber dimana data/bahan hukum tersebut dapat digali.

Jenis bahan hukum antara lain adalah sebagai berikut:

Untuk penelitian hukum normatif empiris, jenis bahan hukumnya

1. Data primer yaitu data yang di peroleh dalam wawancara ataupun observasi dan kitab

undang-undang yang mengatur tentang wanprestasi.

2. Data sekunder yaitu data memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,

seperti buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian,peraturan per undang-

undangan bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum sepanjang

relevan dengan objek penelitian ini.

D. Sumber bahan hukum

Dalam penulisan penelitian ini sumber bahan hukum yang di gunakan adalah sebagai

berikut:

1. Bahan hukum primer. Bahan hukum primer yang saya gunakan dalam penelitian ini

yaitu KUHPer (kitab Undang-Undang Hukum Perdata)

2. Bahan hukum sekunder. Bahan ini memberikan penjelasan tentang bahan hukum

primer misalnya berupa rancangan undang-undang (RUU), hasil penelitian, karya ilmiah

dari kalangan hukum dan lainlain.

3. Bahan Hukum Tersier. Bahan ini memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap

bahan hukum primer dan sekunder misalnya kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif.34

E. Metode pengumpulan bahan hukum

Untuk memperoleh data yang benar dan dapat dipercaya maka metode pengumpulan

data/bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara studi pustakaan

terhadap bahan-bahan hukum. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan

34
data sekunder. Data sekunder ialah semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan

dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus

hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.35

F. Analisis bahan hukum

Analisis bahan hukum merupakan suatu proses atau upaya pengolahan sumber-sumber

hukum yang telah terkumpul menjadi informasi baru sehingga menjadi lebih mudah

dipahami dan dimengerti, serta berguna terutama untuk memecahkan masalah-masalah,

yang berkaitan dengan penelitian.

Metode yang digunakan untuk menganalisis bahan hukum tersebut adalah analisis yuridis

yang melakukan serangkaian perilaku mengamati, mendeskripsikan, dan/atau

merekonstruksi kembali suatu objek dengan menggunakan parameter hukum sebagai

standar guna menarik suatu kesimpulan terhadap objek tersebut dalam hukum.

Adapun sumber bahan hukum/bahan penelitian, studi kepustakaan, peraturan perundang-

undangan, dan artikel-artikel dideskripsikan dan dihubungkan sedemikian rupa sehingga

disajikan dalam bentuk tulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalahan yang

dirumuskan. Cara pengolahan data dilakukan secara deduktif yaitu menarik kesimpulan

yang bersifat umum terhadap permasalahan spesifik yang dihadapi.

35

Anda mungkin juga menyukai