LATAR BELAKANG
PENDAHULUAN
Manusia di juluki sebagai makhluk sosial dimana pasti akan saling membutuhkan dalam
kehidupan sehari hari. Karna tidak mungkin manusia hidup sendiri tampa bantuan orang lain,
Sehingga manusia senantiasa melakukan hubungan terhadap masyarakat dalam ber interaksi setiap
harinya, dan akan menimbulkan akibat hukum dalam hubungan, serta menimbulkan hak dan
kewajiban.
Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap orang pasti mempunyai kepentingan yang tidak sama
antara pihak satu dengan pihak lainnya. Terkadang kepentingan mereka ada yang berbenturan dan
saling bertentangan, yang mana hal tersebut dapat menimbulkan suatu sengketa pada masing-
masing pihak. Sehingga untuk menghindari hal tersebut kita memerlukan sebuah peraturan yang
sekiranya masyarakat bisa tertib dan mematuhi sebuah peraturan sehingga hal tersebut di langgar
makan akan menimbulkn sanksi sesuai dengan peraturan yang ada. Dimana sudah di jelaskan
dalam undang-undang Dasar 1945 bahwasanya Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan
atas hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Dapat diartikan bahwa segala sesuatunya
Kegiatan utang piutang sudah merupakan bagian dari kehidupan masyarakat saat ini.
Selanjutnya dalam kegiatan utang piutang atau pinjam meminjam uang yang terjadi dalam
masyarakat dapat diperhatikan bahwa pada umumnya sering dipersyaratkan adanya jaminan utang
oleh pihak pemberi pinjaman kepada pihak penerima pinjaman. Jaminan utang dapat berupa barang
(benda) sehingga merupakan jaminan kebendaan dan atau berupa janji penanggungan utang
sehingga merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak kebendaan kepada
pemegang jaminan1.
1
M. Bahsan. 2007. Hukum Jaminan dan Hukum Jaminan Kredit Perbankan Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Sedangkan dalam islam Pinjam-meminjam harta atau utang-piutang merupakan salah satu jenis
muamalah yang kerap dijumpai dalam kehidupan bermasyarakat. Islam mengatur perkara utang-
piutang ini dengan rinci, baik itu melalui nas Al-Quran maupun hadis. Berikut ini cuplikan ayat Al-
Seseorang yang berutang biasanya sedang terdesak atau membutuhkan. Karena itu,
memberikan utang atau menyedekahkannya dinilai sebagai perbuatan baik karena menolong orang
yang membutuhkan.
Di sisi lain, utang sendiri termasuk tanggung jawab yang besar. Orang yang berutang wajib
melunasi utang tersebut, sekecil apa pun nilainya. Utang yang tak dilunasi akan tercatat sebagai
"Barangsiapa ruhnya berpisah dari jasad sedangkan ia terbebas dari tiga perkara ini, ia pasti
akan masuk surga. Ketiga hal tersebut adalah terbebas dari sombong, khianat, dan utang," (H.R.
Ibnu Majah).
Seseorang berhutang karna ia merasa lagi kesulitan dalam perekonimian, sehingga seseorang
pun akan melakukan utang piutang untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam kehidupannya.
Adapun dasar hukum utang piutang dalam AL-Quran surah AL-Baqarah (2) ayat 245;
ُۜ ض ٰـ ِعفَهۥُ لَ ٓۥهُ َأضْ َعا ۭفًا َكثِي َر ۭةً ۚ َوٱهَّلل ُ يَ ْقبِضُ َويَب
َْصطُ َوِإلَ ْي ِه تُرْ َجعُون َ َُّمن َذا ٱلَّ ِذى يُ ْق ِرضُ ٱهَّلل َ قَرْ ضًا َح َس ۭنًا فَي
Artinya: “siapakah yang mau memberikan pinjaman kepada Allah, pnjaman yang baik
(menafkahkan hartanya dijalan Allah), maka allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya
dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melampangkan (rezki) dan
Bisa di simpulkan terhadap ayat di atas bahwasanya dianjurkan untuk melakukan hal kebaikan
dan saling menolong dengan memberikan pinjaman terhadap seseorang yang memang
2
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV. Diponegoro, 2005), h. 31
membutuhkan sehingga ALLAH sendiri yang akan menggantinya dengan dilipat gandakan
rejekinya. Apabiala seseorang memberikan bantuan atau pertolongan kepada orang lain maka allah
Utang piutang termasuk salah satu jenis perjanjian yang dimuat dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Perdata). Dimana perjanjian tersebut adalah suatu peristiwa dimana seorang
berjanji kepada seorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji melaksanakan sesuatu
hal3. sementara menurut Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian dinyatakan sah apabila memenuhi syarat-
1 ) Adanya kesepakatan;
Diantara keempat syarat sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata tersebut
poin pertama dan kedua yaitu adanya kesepakatan dan kecakapan untuk membuat perjanjian
merupakan syarat subjektif artinya sepakat mereka yang mengikatkan dirinya ini tidak boleh
mengandung unsur paksaan, kekhilafan, penipuan, ataupun penyalahgunaan keadaan, jika terdapat
Pada dasarnya, hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan dalam suatu perjanjian dapat dibagi tiga
macam, yaitu:
3
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2010,hlm 122.
4
Simanjutak, Hukum Perdata Indonesia, Kencana, Jakarta, 2017, hlm 284.
1. Perjanjian untuk memberikan sesuatu barang/benda (Pasal 1237 KUHPer)
3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu (Pasal 1242 KUHPer) Hal-hal ini disebut dengan
prestasi.
Perjanjian dalam Hukum Islam khususnya Al-Quran sendiri setidaknya ada dua istilah yaitu
kata akad (al-‘aqdu) dan kata ‘ahd (al-‘ahdu), Akad atau al-‘aqdu dalam bahasa Arab berarti ikatan,
atau perjanjian dan kesepakatan. Kata ‘aqdu (atau al’aqd) sendiri mengacu pada terjadinya dua
perjanjian atau lebih, yaitu bila seseorang mengadakan janji kemudian ada orang lain yang
menyetujui janji tersebut, serta menyatakan suatu janji yang berhubungan dengan janji yang
pertama, sehingga terjadilah perikatan dua buah janji dari orang yang mempunyai hubungan antara
yang satu dan yang lain, yang kemudian disebut perikatan (‘aqd) (Mariam Darus Badrulzaman,
2001 : 247)
Bisa disumpulkan bahwa akad di atas mengindikasikan bahwasanya suatu perjanjian harus
dilakukan perjanjian kedua belah pihak yang bertujuan untuk saling mengikatkan diri tentang
perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal yang khusus setelah akad secara efektif mulai
diberlakukan. Adapun mengenai syarat sah nya perjanjian tersebut diantaranya adalah :
Perjanjian hutang piutang dalam masyarakat daerah sering terjadinya dengan cara kesepakatan
kedua belah pihak untuk berjanji akan menepati segala aturan yang ditetapkan dalam perjanjian
yang telah dibuat. Bilamana kedua belah pihak sudah ada kata sepakat, dan disaksikan oleh
5
Rahmat syafe’I, fiqh muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2012), Hlm, 45
sejumlah saksi, maka dianggap perjanjian sudah lahir seketika itu tampa melihat resiko bahwa
dalam perjanjian utang piutang tampa menggunakan surat perjanjian utang piutang di atas materai
Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang
ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur6. Wanprestasi atau tidak
dipenuhinya janji dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja7. Seorang debitur
dikatakan lalai, apabila ia tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat memenuhinya tetapi tidak
seperti yang telah diperjanjikan8. Mengenai pengertian dari wanprestasi, menurut Ahmadi Miru
Pada umumnya dikalangan masyarakat apalagi di pedesaan bukti adanya kesepakatan seperti
akta otentik dalam perjanjian tidak terlalu diperhatikan, yang terpenting bagi para pihak yang
melakukan perjanjian adalah telah adanya itikad baik dan saling percaya satu sama lain tampa
harus melihat resiko yang akan terjadi di kemudian, sehingga masyarakat yang melakukan
perjanjian dengan para belah pihak yang terkait tersebut akan menepati janji sesuai dengan apa
yang diperjanjikan.
Dalam perjanjian hutang piutang masyarakat juga sering menggunakan harta benda seperti
berupa akta tanah. Hal tersebut di buat suatu jaminan yang dilakukan atas dasar kepercayaan dan
sepakat untuk menyerahkan sejumlah harta benda milik debitur. Pemberian jaminan tersebut adalah
dengan maksud sebagai tambahan dalam perjanjian hutang piutang tersebut, dan berguna sebagai
6
Salim HS, 2008, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta, Hlm. 180
7
Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Rajawali Pers, Jakarta, Hlm. 74
8
Subekti, 2007, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Arga Printing, Jakarta, Hlm. 146
bentuk itikad baik dari pihak debitur bahwa ia akan menepati janji atau prestasinya kepada kreditur
Di dalam islam juga sangat anjurkan memberikan jaminan dalam melakukan akad hutang
ِ َّض ُك ْم بَ ْعضًا فَ ْليَُؤ ِّد الَّ ِذي اْؤ تُ ِمنَ َأ َمانَتَهُ َو ْليَت
ق هَّللا َ َربَّهُ ۗ َواَل تَ ْكتُ ُموا ُ ُوضةٌ ۖ فَِإ ْن َأ ِمنَ بَ ْع
َ َان َم ْقب
ٌ َوِإ ْن ُك ْنتُ ْم َعلَ ٰى َسفَ ٍر َولَ ْم ت َِجدُوا َكاتِبًا فَ ِره
ال َّشهَا َدةَ ۚ َو َم ْن يَ ْكتُ ْمهَا فَِإنَّهُ آثِ ٌم قَ ْلبُهُ ۗ َوهَّللا ُ بِ َما تَ ْع َملُونَ َعلِي ٌم
Artinya: ‘’jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh
yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan
Menurut Ulama Hambali dan Syafi’i (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan
pembayaran utang apabila orang yang berhutang tidak bisa membayar hutangnya itu10.
Kegiatan pinjam meminjam uang dengan jaminan kebendaan berupa penguasaan tanah
pertanian banyak sekali dijumpai di wilayah pedesaan, Menguasai atau bahkan memiliki tanah
pertanian sudah merupakan suatu kewajaran dalam kehidupan sehari-hari, hal ini karena
keniscayaan dan kebutuhan memiliki tanah sudah tertanam dalam dan sudah sedemikian mendalam
dalam lintasan sejarah kehidupan manusia. Tanah merupakan sumber penghidupan karena dari
tanah mengalir semangat harga diri, kemakmuran, dan kekuasaan. Oleh karenanya setiap orang
Utang piutang dengan cara memberikan sebuah jaminan akta tanah merupakan suatu hal yang
biasa atau lumrah di kalangan masyarakat terutama di dalam pedesaan, seperti halnya di salah satu
9
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Bandung:
Penerbit Diponegoro, 2000), h. 71.
10
Ruslan Abd Ghofur N, Op.cit, h. 25.
desa pagagan kec, pademawu kab, pamekasan dimana seseorang mempunyai hutang dengan
nominal yang cukup lumayan tinngi sehingga debitur tersebut tidak bisa membayar dalam waktu
yang sudah di sepakati bersama bahkan melebihi waktu tersebut sehingga pada akhirnya secara
Berdasarkan latar belakar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengambil judul
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas maka hal yang menjadi permasalahan dalam
piutang dengan jaminan tanah dalam perspektif KHUPer dan hukum islam?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujua penelitian ini adalah sebagai
berikut :
wanprestasi utang piutang dengan jaminan tanah dalam perspektif KHUPer dan hukum
islam
D. Mamfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah serta tujuan penelitian, Manfaat yang dapat diperoleh dari
1. Mamfaat Teoritis
Dengan adanya ini peneliti berharap dapat memberikan mamfaat memperkaya pengetahuan
ilmu hukum khususnya dalam hukum perdata yang mengenai. Terlebih lagi dapat menambah
wawasan untuk para pembaca tentang hukum terhadap terjadinya wanprestasi perjanjian terhadap
2. Mamfaat praktis
Penelitian ini diharapkan pula nantinya dapat bermamfaat bagi kalangan masyarakat yang akan
melakukan utang piutang untuk tidak melakukan suatu hal yang menimbulkan wanprestasi yang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjuan pustaka
1. Kajian teori
artinya tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan terhadap
Secara umum wanprestasi adalah: “Suatu keadaan dimana seorang debitur pada
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih”..
melakukan suatu yang hal yang merugikan bagi salah satu pihak, sehingga pihak
yang merasa di rugikan bisa menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk
memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu
wanprestasi, sehingga tidak terdapat kata sepakat untuk menentukan istilah mana
11
Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Cet. II, Bandung: Alumni, 1986, hal. 60.
Sehingga dengan adanya macam-macam istilah mengenai wanprestasi ini,
Menurut Harahap (1986), wanprestasi adalah sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak
tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Sehingga menimbulkan
keharusan bagi pihak debitur untuk memberikan atau membayar ganti rugi
(schadevergoeding), atau dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang
Menurut Muhammad (1982), wanprestasi adalah tidak memenuhi kewajiban yang harus
ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan
Menurut Saliman (2004), wanprestasi adalah suatu sikap dimana seseorang tidak
memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang telah ditentukan dalam
Berdasarkan dengan para ahli hukum di atas bisa disimpulkan bahwa wanprestasi
secara sah menurut ketentuan hukum itu tidak dilaksanakan isinya oleh debitur,
12
Harahap, M. Yahya. 1986. Segi-segi Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni.
13
Muhammad, A. Kadir.1982. Hukum Perikatan. Bandung: Bina Cipta.
14
Saliman, Abdul R.2004. Esensi Hukum Bisnis Indonesia. Jakarta: Kencana
yaitu suatu sikap (berbuat atau tidak berbuat) yang tidak diizinkan oleh syarak.
Landasan yang mengatur tentang wanprestasi, dalam Alquran surat al-Maidah ayat 1 yang
berbunyi :
ص ْي ِد َوَأ ْنتُ ْم ُح ُر ٌم ۗ ِإ َّن هَّللا َ يَحْ ُك ُم َما ي ُِري ُد ْ َّا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا َأوْ فُوا بِ ْال ُعقُو ِد ۚ ُأ ِحل
َّ ت لَ ُك ْم بَ ِهي َمةُـ اَأْل ْن َع ِام ِإاَّل َما يُ ْتلَ ٰى َعلَ ْي ُك ْم َغي َْر ُم ِحلِّي ال
(Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang
yang dikehendaki-Nya.
Makna dalam ayat di atas ialah merupakan bahwa dalam melakukan sebuah
aqad atau perjanjian ,harus benar-benar di taati dan di tepati sehingga hal
tersebut tidak akan timbul sebuah masalah dalam melakukan akad, sehingga
kedua belah pihak pun merasa akad tersebut aman dan bebas dalam tanggungan.
Akad yang wajib di tunaikan adalah akad yang ketetapannya terdapat di dalam
ketahui bahsanya wanprestasi dalam hukum islam yaitu ketika di langgar atau
tidak di tepatinya suatu akaq yang mengakibat salah satu pihak di rugikan.
15
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Studi tentang teori akad dalam fikih mauamalat), 332.
Dari pasal 1267 KUHPerdata dapat disimpulkan apabila seorang kreditur yang menderita
kerugian karena debitur wanprestasi, kreditur memiliki alternatif untuk melakukan upaya hukum
atau hak sebagai berikut : a. meminta pelaksanaan perjanjian; atau b. meminta ganti rugi; atau c.
meminta pelaksanaan perjanjiansekaligus meminta ganti rugi; atau d. dalam perjanjian timbal balik,
Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko beralih kepada debitur sejak terjadi
wanprestasi (pasal 1237 ayat 2 KUHPerdata). Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih
dapat dilakukan, atau pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian (pasal 1267 KUHPerdata).
Merujuk penjelasan Pusat Penyuluhan dan Bantuan Hukum Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia, wanprestasi tentu dapat berakibat pada tindakan hukum sesuai aturan yang berlaku.
Dimana masing-masing pihak yang merasa dirugikan berhak menggugat ke Pengadilan untuk
menuntut ganti rugi, berupa penggantian biaya, kerugian dan bunga jika ada. Sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 1243 dan Pasal 1244 KUH Perdata (BW) yang berbunyi sebagai berikut:
Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai
diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu,
atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya
Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. Bila ia tak dapat
membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam
melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat
16
Ridwan Khairandii, Hukum Kontrak………….op.cit, hlm.282
Sementara Pasal 1267 KUHPerdata mengatur mengenai hak-hak kreditur yang merupakan
alternatif upaya hukum untuk mendapatkan hak-haknya kembali. Isi pasal tersebut adalah:
Dalam perjanjian timbal balik dapat dimintakan pembatalan perjanjian sekaligus meminta
ganti rugi.
Di dalam hukum islam juga di atur mengenai kelalaian di mana terdapat pada surah An-
ََوَأوْ فُوا بِ َع ْه ِد هَّللا ِ ِإ َذا عَاهَ ْدتُ ْم َواَل تَ ْنقُضُوا اَأْل ْي َمانَ بَ ْع َد تَوْ ِكي ِدهَا َوقَ ْد َج َع ْلتُ ُم هَّللا َ َعلَ ْي ُك ْم َكفِياًل ۚ ِإ َّن هَّللا َ يَ ْعلَ ُم َما تَ ْف َعلُون
Artinya “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu
Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa
Dari uraian di atas akibat hukum wanprestasi terjadi karna kelalaian debitur sebenarnya
itu sudah menjadi suatu hal yang lumrah dalam utang piutang, entah di sengaja atau
sehingga hal tetap di anggap suatu kelalaian debiutr dan debitur wajib untuk menanggung
b) Pengertian Perjanjian
dua orang mengadakan suatu perjanjian adalah agar keduanya terikat dalam
Perjanjian juga diartikan sebagai sebuah peristiwa dimana kedua belah pihak
juga disebut dengan persetujuan sebab pihak-pihak yang terkait setuju untuk
melakukan sesuatu.
pihak yang mengikatkan dirinya kepada pihak lain. Atau dapat juga dikatan
hukum perjanjian adalah suatu hukum yang terbentuk akibat seseorang yang
berjanji kepada orang lain untuk melakukan sesuatu hal. Dalam hal ini,kedua
belah pihak telah menyetujui untuk melakukan suatu perjanjia tanpa adanya
perikatan “Perjanjian” sebab dalam Buku III itu, diatur juga perihal hubungan
hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suartu persetujuan atau
perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar
hokum (onrechmatige daad) dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan
tetapi, sebagian besar dari buku III ditujukkan pada perikatan–perikatan yang
bidang harta kekayaan atas dasar kata sepakat antara subjek hukum yang satu
dengan yang lain, dan diantara pihak/subjek hukum saling mengikatkan dirinya
sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan subjek hukum yang
17
Subekti. Pokok – pokok Hukum Perdata. PT.Intermasa, Jakarta, 1998, h.122.
lain berkewajiban melaksanakan prestasinya sesuai kesepakatan juga
merupakan bagian dari perikatan, jadi perjanjian adalah merupakan sumber dari
perikatan dan perikatan itu mempunyai cakupan yang lebih luas daripada
perjanjian. Mengenai perikatan itu sendiri diatur dalam buku III KUH Perdata,
undang-undang. Oleh karena itu bahwa perjanjian itu adalah sama artinya
dengan kontrak.
Definisi perjanjian yang telah diuraikan di dalam Pasal 1313 KUH Perdata,
Setiawan rumusan Pasal 1313 KUH Perdata selain tidak lengkap juga sangat
luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja. Sangat
ialah :19
18
Rutten dalam Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian dan Dari
Undang-Undang), Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 46.
19
R Setiawan dalam Johanes dan Lindawaty Sewu, Johanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, 2004, Hukum Bisnis Dalam
Persepsi Manusia Modern, Jakarta : Aditama, hlm. 41
C. Sehingga perumusanya menjadi “perjanjian adalah perbuatan hukum,
dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan
kontrak. Kesepakatan ini dapat terjadi dengan berbagai cara, namun yang paling
terjadinya kesepakatan dapat terjadi secara tertulis dan tidak tertulis, yang
mana kesepakatan yang terjadi secara tidak tertulis tersebut dapat berupa
Secara etimologis perjanjian dalam bahasa Arab diistilahkan dengan akad, iltizam. Dalam bahasa
Indonesia dikenal dengan kontrak, perikatan, perjanjian atau persetujuan. Yang mempunyai arti
suatu perbuatan dimana seseorang atau lebih mengaitkan dirinya terhadap seseorang atau lebih21.
Beberapa istilah perikatan, obligation (latin), obligation (Prancis; Inggris) yang berarti mengikatkan
Akad merupakan kesepakatan dua kehendak untuk menimbulkan akibat-akibat hukum, baik berupa
perikatan (transaksi) yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih, tidak boleh menyimpang dan harus
a. Mengikat (ar-Aabthu), yaitu: mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan
mengikatnya.
Artinya: “sebenarnya siapa yang menepati janji dan bertakwa, Maka Sesungguhnya Allah
Akad juga merupakan tindakan hukum dua pihak karena akad adalah pertemuan ijab yang
mempresentasikan kehendak dari satu pihak dan kabul menyatakan kehendak pihak lain. Tindakan
hukum satu pihak, seperti janji memberi hadiah, wasiat, wakaf atau pelepasan hak, bukanlah akad
karena tindakan-tindakan tersebut tidak merupakan tindakan dua pihak dan karenanya tidak
memerlukan kabul.24
Tujuan dari akad adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum. Lebih jelas lagi tujuan akad adalah
maksud bersama yang dituju dan yang hendak diwujudkan oleh para pihak melalui pembuatan akad
Ada beberapa definisi dan pengertian akad dari beberapa pendapat, sebagai berikut;
1. Menurut Mursyid al-Hairan, akad merupakan pertemuan ijab yang diajukan oleh
salah satu pihak dengan qabul dari pihak lain yang menimbulkan akibat hukum pada
objek akad.25
2. Menurut Prof. Dr. Syamsul Anwar mengatakan, akad adalah pertemuan ijab dan
qabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih ntuk melahirkan suatu akibat
Definisi akad adalah pertemuan ijab dan qabul sebagai pernyataan kehendak dua atau lebih untuk
melahirkan suatau akibat hukum pada objeknya. Kedua definisi di atas memperlihatkan bahwa,
23
Departemen Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahannya, (Bandung: PT Diponogoro, 2014), h. 59
24
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 68
25
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1979), h. 23
26
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari‟ah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 75
akad bahwa, akad merupakan keterkaitan atau pertemuan ijab qobul yang ber akibat timbulnya
akiabt hukum.
Jaminan didefinisikan sebagai sesuatu yang diberikan kepada pemberi pinjaman untuk
menyakinkan bahwa yang menerima pinjaman akan memenuhi kewajibannya dengan sesuatu yang
apa mereka pinjam dari suatu yabg mereka sepakati. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
mengatur secara umum tentang jaminan. Yang mana tepatnya terdapat dalam Pasal 1131
"Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada
maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu."
Dengan demikian menurut pasal di atas, segala harta kekayaan seseorang otomatis akan
menjadi jaminan atas utang yang telah dibuat baik benda yang sudah ada maupun belum ada. Hal
ini memperkuat bahwa seorang kreditur dapat diberikan jaminan berupa harta benda milik debitur
tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok.27 Perjanjian pokok dari jaminan adalah
perjanjian pemberian kredit atau pembiayaan. Perjanjian terbagi menjadi dua jenis, yaitu
Jaminan materill adalah jaminan berupa hak muklat atas suatu benda tertentu, dapat di
pertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya dan dapat di alihkan, sedangkan
jaminan immateriil adalah jamainan yang menimbulkan hubungan lansung pada perorangan
27
28
29
Salim Hs. Op. Cit, Hlm. 24.
Jaminan dalam hukum islam dibagi menjadi dua yaitu kafalah dan rahn. Dimana kafalah tersebut
adalah pihak yang berpiutang menjadikan pihak lain sebagaiaman jaminan, sedangkan rahn yang di
Kafalah atau Al-kafalah menurut bahasa berarti al-Dhaman (jaminan), hamalah (beban), dan
za‟mah (tanggungan). Menurut istilah, kafalah adalah upaya menyatukan tanggung jawab penjamin
kepada orang yang dijamin dalam suatu perjanjian untuk menunaikan hak wajib, baik di waktu itu
jawab dalam suatu hal. Kafalah berarti beban apabila dikaitkan dengan diyat atau denda. Kafalah
adalah tanggungan jika berkaitan dengan harta. Kafalah juga berarti penjaminan jika dikaitkan
dengan jiwa.
Kafalah adalah jaminan pinjaman dan semua pinjaman harus dilunasi pada waktunya menurut
hukum Islam. Kafalah berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan
Artinya ” Penyeru-penyeru itu berseru: ‘Kami kehilangan piala Raja; dan barang siapa yang
dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku
menjamin terhadapnya.
Menurut syariah, kafalah adalah suatu tindak penggabungan tanggungan orang yang
menanggung dengan tanggungan penanggung utama terkait tuntutan yang berhubungan dengan
barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, yang
Para pengikut madzhab Syafi’i mendefinisikan bahwa al-rahn adalah menjadikan nilai jaminan
sebagai ganti utang tatkala tidak bisa melunasinya. Madzhab Hambali mendefinisikan al-rahn
sebagai barang yang dijadikan jaminan utang, dimana harga barang itu sebagai ganti utang ketika
tidak sanggup melunasinya, sedangkan madzhab Maliki mendefinisikan bahwa al-rahn adalah
sesuatu yang bisa dibendakan/diwujudkan menjadi harta yang diambil dari pemiliknya sebagai
Selain pendapat di atas, terdapat beberapa pendapat yang lain. Menurut Imam Ibnu Qudhamah,
pengertian al-rahn adalah sebagai sesuatu benda yang dijadikan kepercayaan dari suatu hutang
untuk dipenuhi harganya, apabila yang berhutang tidak sanggup membayarnya dari orang yang
berpiutang30.
Dari beberapa definisi di atas bisa di simpulkan bahwa aI-rahn mempunyai nilai ekonomis
dalam barang dan benda, serta menahan barang atau benda yang menjadi jaminan, serta
memberikan mamfaat, dalam adanya perjanjian dalam utang piutang, Memberikan manfaat
maksudnya bahwa al-rahn memberikan ketenangan kepada marhunbih (pemilik uang) dan atau
Karena itu al-rahn pada prinsipnya merupakan suatu kegiatan utang piutang yang berfungsi
sosial atau tolong menolong. Konsep tolong menolong tersebut terimplementasi dalam bentuk
pinjam meminjam. Pinjam meminjam tersebut haruslah tertuang dalam sebuah akad, yang
bertujuan agar tidak ada pihak yang dirugikan. Hukum Islam sangat memperhatikan dan menjaga
30
Abdul ghofur anshori, op, cit, h. 88
Oleh sebab itu, kreditur diperbolehkan untuk meminta barang debitur sebagai jaminan utang,
sehingga apabila debitur tidak mampu melunasi hutangnya barang jaminan tersebut dapat dijual
oleh kreditur.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian empiris dan normatif . Merupakan suatu metode
penelitian yang dalam hal ini menggabungkan unsur hukum normatif yang kemudian
didukung dengan penambahan data atau unsur empiris.31 “Dalam metode penelitian
undang) dalam aksinya disetiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu
a. Non Judi Case Study “ialah pendekatan studi kasus hukum yang tanpa ada konflik
b. Judical Case Study “Pendekatan judicial case study ini ialah pendekatan studi kasus
hukum dikarenakan adanya konflik sehingga akan melibatkan campur tangan pengadilan
c. Live Case Study “Pendekatan live case study ini ialah pendekatan pada suatu peristiwa
Penyusunan skripsi ini peneliti menerapkan metode penelitian hukum normatif dan
empiris. Hal ini disebabkan peneliti menggunakan bahan-bahan kepustakaan dan data di
lapangan untuk melakukan wawancara sebagai data untuk menganalisis kasus dalam
B. Jenis Pendekatan
Dalam menjawab permasalahan dan mencapai tujuan dari penelitian ini, peneliti
menggunakan empiris normatif karna Peneliti akan mengkaji rumusan masalah dengan
kaidah yang berlaku kemudian akan memaparkannya secara detail dan memberikan solusi
membutuhkan data dilapangan supaya mampu untuk mengkaji lebih mendalam rumusan
31
32
33
Dalam suatu penelitian terdapat bahan hukum yang memiliki beberapa jenis yang
diperlukan dan mencari sumber dimana data/bahan hukum tersebut dapat digali.
1. Data primer yaitu data yang di peroleh dalam wawancara ataupun observasi dan kitab
2. Data sekunder yaitu data memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,
undangan bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum sepanjang
Dalam penulisan penelitian ini sumber bahan hukum yang di gunakan adalah sebagai
berikut:
1. Bahan hukum primer. Bahan hukum primer yang saya gunakan dalam penelitian ini
2. Bahan hukum sekunder. Bahan ini memberikan penjelasan tentang bahan hukum
primer misalnya berupa rancangan undang-undang (RUU), hasil penelitian, karya ilmiah
3. Bahan Hukum Tersier. Bahan ini memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan sekunder misalnya kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif.34
Untuk memperoleh data yang benar dan dapat dipercaya maka metode pengumpulan
data/bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara studi pustakaan
34
data sekunder. Data sekunder ialah semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan
Analisis bahan hukum merupakan suatu proses atau upaya pengolahan sumber-sumber
hukum yang telah terkumpul menjadi informasi baru sehingga menjadi lebih mudah
Metode yang digunakan untuk menganalisis bahan hukum tersebut adalah analisis yuridis
standar guna menarik suatu kesimpulan terhadap objek tersebut dalam hukum.
disajikan dalam bentuk tulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalahan yang
dirumuskan. Cara pengolahan data dilakukan secara deduktif yaitu menarik kesimpulan
35