Anda di halaman 1dari 22

Akta Pengakuan Hutang Terhadap Barang Jaminan Benda Tidak

Bergerak

OLEH:

RESKY NURUL ISNAENI

B22212044

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
KOTA MAKASSAR
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Buku III KUH Perdata menganut azas “kebebasan berkontrak”


dalam hal membuat perjanjian, artinya bahwa orang leluasa untuk
membuat perjanjian apa saja, asal tidak melanggar ketentuan Undang-
undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Azas ini dapat disimpulkan
dari Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa : “segala
perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai Undang-undang
bagi mereka yang membuatnya” Suatu perikatan adalah hubungan
hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang
satu berhak menuntut sesuatu hak dari pihak lain, dan pihak lain
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu”. Pihak yang berhak
menuntut sesuatu dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedang pihak
yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si
berutang.1

Perikatan ialah hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan


2
dimana di satu pihak ada hak dan di lain pihak ada kewajiban"

Dari definisi Subekti dan J, Satrio di atas, perikatan tersebut


mengandung 2 segi yakni segi aktif (hak) dan segi pasif (kewajiban)
dalam lapangan hukum kekayaan. Dalam segi pasif (kewajiban)
terdapat dua unsur, yaitu Schuld dan Haftung. Schuld (bahasa Jerman)
menurut arti yang sebenarnya adalah suatu hutang.

1
R. Subekti, 1996, Hukum Perjanjian, PT.Intermasa, Jakarta 1996, Hukum Perjanjian,
PT.Intermasa, Jakarta,hlm.29

2
J. Satrio, 1993, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung,hlm.1

1
Di dalam hukum perdata diatur mengenai perikatan sebagaimana
yang dirumuskan Pasal 1233 KUH Perdata sebagai berikut :
"Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan baik karena
undang-undang"

Dari rumusan Pasal 1233 KUH Perdata di atas dapat diketahui


bahwa perjanjian dan undang-undang merupakan sumber perikatan.
Ketentuan ini lebih lanjut diperjelas dalam Pasal 1352 KUH Perdata
sebagai berikut : "Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-
undang, timbul dari undang- undang saja atau dari undang-undang
sebagai akibat perbuatan orang"

Salah satu jenis perikatan yang dilahirkan dari perjanjian adalah


pinjam peminjam sebagaimana yang ditentukan Pasal 1754 KUH
Perdata sebagai berikut : Perjanjian pinjam meminjam adalah
persetujuan dengan mana pihak kesatu "memberikan" kepada pihak
lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabiskan karena
pemakaian, dengan syarat pihak yang belakangan ini akan
mengembalikan jumlah yang sama dari macam dan keadaan yang
sama pula.

Pengertian Pinjam meminjam adalah suatu persetujuan dengan


mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu
jumlah tertentu barang- barang yang menghabiskan karena pemakaian,
dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan
sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula. 3

Dari bunyi ketentuan Pasal 1754 dan pendapat R. Subekti tersebut


diatas nampak ada perbedaan antara pinjam pakai dengan pinjam
meminjam. Dalam pinjam pakai barang yang dipinjam tidak habis
karena pemakaian, sedangkan dalam pinjam meminjam, barang yang

3
R. Subekti, 1992, Aneka Perjanjian, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung,hlm.125

2
dipakai itu habis karena pemakaian. Dalam pinjam pakai pihak yang
meminjamkan tetap menjadi pemilik atas barang yang dipijamkan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1741 KUH Perdata lain dengan
pinjam meminjam, maka dalam perjanjian pinjam meminjam barang
yang dipinjam menjadi miliknya orang yang meminjamkan. Baik dalam
pinjam pakai maupun dalam pinjam meminjam orang yang meminjam
mempunyai kewajiban untuk mengembalikan benda/ barang yang
dipinjam itu.

Dalam perjanjian pinjam meminjam, si peminjam diberikan


kebebasan untuk menghabiskan barang apa yang dipinjam, maka
sudah selayaknya ia sebagai pemilik dari barang yang itu dan juga
memiliki resiko atas barang tersebut dalam halnya pinjam uang,
kemerosotan nilai uang. Dalam perjanjian pinjam meminjam uang,
dalam ketentuan Pasal 1765 KUH Perdata diperbolehkan
memperjanjikan bunga. Dan halnya apabila dalam perjanjian pinjam
meminjam uang tanpa bunga, pembayaran bunga yang tidak telah
diperjanjikan tidak ada kewajiban si debitur/berhutang untuk membayar
bunga.

Dalam masyarakat banyak terjadi pinjam meminjam barang yang


para pihak sudah menentukan batas waktu pelunasan hutang, namun
ternyata debitur/si berutang tidak dapat membayar hutang
sebagaimana yang diperjanjikan dengan bermacam-macam alasan,
yang antara lain dagangannya tidak laku, perubahan nilai uang rupiah
tidak menentu. Keadaan debitur yang tidak dapat melunasi hutangnya
bukan karena faktor overmacht, maka debitur dapat dinyatakan
wanprestasi.

Setiap perikatan selalu ada suatu prestasi yang harus terpenuhi


yang merupakan hakekat dari perikatan itu sendiri. Prestasi menurut

3
Pasal 1234 KUH Perdata ada tiga yaitu memberikan sesuatu, untuk
berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.

Wanprestasi menurut J.Satrio berupa :debitur sama sekali tidak


berprestasi, debitur keliru berprestasi; debitur terlambat berprestasi.4
Perjanjian Pemberian Kuasa (lastgeving) telah dikenal sejak abad
pertengahan, yang dalam hukum Romawi disebut mandatum. Manus
berarti tangan dan datum memiliki pengertian memberikan tangan.
Pada mulanya mandatum dilakukan karena pertemanan, dan dilakukan
secara cuma-cuma. baru kemudian dapat diberikan suatu honorarium
yang bersifat bukan pembayaran tapi lebih bersifat penghargaan atas
pekerjaan yang telah dilaksanakan oleh si penerima mandatum.

Kuasa merupakan kewenangan mewakili untuk melakukan


tindakan hukum demi kepentingan dan atas nama pemberi kuasa
dalam bentuk tindakan hukum sepihak. Dalam arti bahwa kewajiban
untuk melaksanakan prestasi hanya terdapat pada satu pihak saja,
yaitu penerima kuasa Pemberian kuasa dalam hukum positif Indonesia
diatur di dalam Buku III Bab XVI mulai dari Pasal 1792 sampai dengan
Pasal 1819 KUHPerdata. Pemberian kuasa pada masa sekarang ini
sangatlah diperlukan, mengingat dinamika dan mobilitas anggota
masyarakat yang terus berkembang. Tidak dapat dibayangkan suatu
masyarakat tanpa lembaga perwakilan yang terwujud dalam segala
segi kehidupan dibidang hukum.

Pemberian kuasa untuk menjual merupakan salah satu bentuk akta


kuasa yang sering dijumpai di masyarakat. Pembuatan akta kuasa jual
dalam bentuk akta notaris merupakan suatu hal yang tidak asing dalam
praktek notaris sehari-hari. Pemberian kuasa yang diberikan dan
ditanda tangani oleh debitor kepada kreditor pada tanggal yang

4
J. Satrio,1993,Op.Cit,hlm.122

4
bersamaan dengan tanggal penandatanganan akta pengakuan utang,
masih dilakukan di dalam praktek. Tindakan hukum semacam ini
bertentangan dengan asas yang bersifat ”bertentangan dengan
kepentingan umum (van openbare orde) karena penjualan benda
jaminan harus dilakukan secara suka rela atau di muka umum melalui
lelang. Sehingga pemberian kuasa jual semacam ini adalah batal demi
hukum.

Legalisasi merupakan pengesahan akta di bawah tangan yang


diperuntukan untuk akta di bawah tangan yang belum ditanda tangani
dan penanda tanganan surat tersebut dilakukan di hadapan notaris
setelah isi surat tersebut dijelaskan kepada para pihak yang melakukan
perjanjian.

Mengenai tata cara legalisasi, telah dijelaskan dalam ketentuan


Pasal 1874 a KUH perdata yakni:

a. Penanda tangan akta dikenal atau diperkenalkan kepada


notaris. Pada akta di bawah tangan yang dilegalisasi mesti
tercantum penjelasan notaris bahwa para pihak yang
menandatangani akta dikenal atau diperkenalkan kepadanya.
Kelalaian mencantumkan pernyataan itu mengakibatkan
legalisasi tidak sah.
b. Isi akta telah dijelaskan kepada penanda tangan. Sebelum para
pihak menandatangani, notaris terlebih dahulu membacakan isi
akta, dan tindakan itu mesti ditegaskan dalam akta bahwa isinya
telah dijelaskan kepada para penanda tangan.
c. Penandatangan dilakukan di hadapan notaris atau pejabat yang
bersangkutan. Penandatangan para pihak atas akta di bawah
tangan dilakukan di hadapan notaris atau pejabat tersebut. Hal

5
itu mesti dijelaskan dalam akta dan jika tidak, menyebabkan
legalisasi cacat formil.5

B. Perumusan masalah

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dirumuskan


permasalahan sebagai berikut.

1. Bagaimana pelaksanaan dan kedudukan akta kuasa menjual yang


berdasarkan akta pengakuan hutang terhadap barang jaminan
benda tidak bergerak?
2. Bagaimana problematika hukum pelaksanaan dan kedudukan akta
kuasa menjual yang berdasarkan akta pengakuan hutang terhadap
barang jaminan benda tidak bergerak?

5
M. Yahya Harahap, 2008, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 598

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Perjanjian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah

“persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau

lebih,
masing- masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut
dalam persetujuan itu.6
Kamus Hukum menjelaskan bahwa perjanjian adalah
“persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun
lisan, masing masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang
telah dibuat bersama.” Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, “Suatu
persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
7
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”
Para sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat
bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan tersebut
tidak lengkap dan terlalu luas. Tidak lengkap karena hanya mengenai
perjanjian sepihak saja dan dikatakan\ terlalu luas karena dapat
mencakup hal-hal yang mengenai janji kawin, yaitu perbuatan di dalam
lapangan hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga, tetapi,
bersifat istimewa karena diatur dalam ketentuan-ketentuan tersendiri
sehingga Buku III KUH Perdata secara langsung tidak berlaku
terhadapnya. Juga mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan
di dalam perbuatan melawan hukum ini tidak ada unsur persetujuan.

6
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikthasar Indonesi Edisi Ketiga,
Jakarta : Balai Pustaka. 2005. h. 458

7
Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2007, h. 363

7
Dari pengertian-pengertian di atas dapat dilihat beberapa unsur-
unsur yang tercantum dalam kontrak, yaitu
1. Adanya hubungan hukum. Hubungan hukum merupakan hubungan
yang menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum yaitu timbulnya
hak dan kewajiban.
2. Adanya subjek hukum. Subjek hukum yaitu pendukung hak dan
kewajiban. Subyek dalam hukum perjanjian termasuk subyek
hukum yang diatur dalam KUH Perdata, Sebagaimana diketahui
bahwa Hukum Perdata mengkualifikasikan subjek hukum terdiri
dari dua bagian yaitu manusia dan badan hukum. Sehingga yang
membentuk perjanjian menurut Hukum Perdata bukan hanya
manusia secara individual ataupun kolektif, tetapi juga badan
hukum atau rechtperson, misalnya Yayasan, Koperasi dan
Perseroan Terbatas.
3. Adanya prestasi. Prestasi menurut Pasal 1234 KUH Perdata terdiri
atas untuk memberi sesuatu, untuk berbuat sesuatu, dan untuk
tidak berbuat sesuatu. Di bidang harta kekayaan. Pada umumnya
kesepakatan yang telah dicapai antara dua atau lebih pelaku bisnis
dituangkan dalam suatu bentuk tertulis dan kemudian ditanda
tangani oleh para pihak. Dokumen tersebut disebut sebagai
“Kontrak Bisnis” atau “Kontrak Dagang”

2. Pengertian Tentang Pemberian Hak Tanggungan


Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 pada Pasal 1 ayat (1)
telah dirumuskan yang di maksud dengan pengertian Hak Tanggungan
atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang
selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang

8
tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Lebih singkatnya yang
dimaksud dengan Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah
untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan
diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. 8
Perumusan pengertian Hak Tanggungan di atas, Hak Tanggungan
dimaksud hanya Hak Tanggungan yang dibebani dengan hak atas
tanah atau dengan kata lain UUHT hanya mengatur lembaga hak
jaminan atas tanah atas hak atas tanah belaka, sedangkan lembaga
hak jaminan atas benda-benda lain selain hak atas tanah tidak
termasuk dalam luas ruanglingkup pengertian Hak Tanggungan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Hak Tanggungan.
Lembaga-lembaga hak jaminan di luar Hak Tanggungan tersebut akan
dibiarkan berkembang sendiri-sendiri sesuai dengan perkembangan
kebutuhan hukum dalam masyarakat. Hal ini menggambarkan adanya
gejala kurangnya keinginan untuk menciptakan kesatuan hukum
jaminan nasional. Kalau gejala ini terus dibiarkan, tidak mustahil akan
dapat menumbuhkan pranata hukum dan hukum-hukum yang liar,
yang tidak jelas arah dan tujuan perkembangannya. 9
Ada beberapa unsur pokok dari Hak Tanggungan yang termuat di
dalam definisi tersebut.
1. Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang.
2. Obyek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA.
3. Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah)
saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah itu.
4. Utang yang dijaminkan harus suatu utang tertentu.

8
Rachmadi Usman, 1999. Pasal-Pasal Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah, Cetakan
II, Jakarta: Djambatan, Hal.69
9
M. Khoidin, 2017. Hukum Jaminan ( Hak-Hak Jaminan Tanggungan dan Eksekusi Hak
Tanggungan ), Surabaya: Laksbang Yustisia Surabaya, Hal.6-7

9
5. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu
terhadap kreditor-kreditor lain.10
Proses Pembebanan Hak tanggungan dilakukan melalui 2 tahap
kegiatan, yaitu :
1. Tahap pemberian Hak Tanggungan, dengan dibuatnya APHT oleh
PPAT,yang didahului dengan perjanjian utang-piutang yang
dijamin.
2. Tahap pendaftaran oleh kantor Pertanahan, yang merupakan saat
lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan.
Ketentuan dalam Pasal 10 (1) UUHT yang menyatakan :
“Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk
memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang
tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak
terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau
perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.”
Dari ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT tersebut dapat
diketahui, bahwa pemberian Hak Tanggungan harus diperjanjikan
terlebih dahulu dan janji itu dipersyaratkan harus dituangkan di dalam
dan merupakan bagian yang tidak terpisah dari perjanjian utang
piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan
utang tersebut. Ini berarti setiap janji untuk memberikan hak
Tanggungan terlebih dahulu dituangkan dalam utang piutang.
Untuk memenuhi asas spesialitas dari Hak Tanggungan, baik itu
mengenai subjek, objek maupun utang yang dijamin, maka menurut
ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) UUHT, didalam Akta Pemberian
Hak Tanggungan wajib dicantumkan hal-hal di bawah ini :
1. Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan;
2. Domisili pihak-pihak pemegang dan pemberi Hak Tanggungan;

Sutan Remy Sjahdeini, 1999. Hak Tanggungan : Asas-asas, Ketentuan-Ketentuan


10

Pokok dan Masalah-masalah yang dihadapi oleh Perbankan, Surabaya : Airlangga


Universitas Press, Hal.8

10
3. Penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin,
yang meliputi juga nama dan identitas debitor yang bersangkutan;
4. Nilai tanggungan;
5. Uraian yang jelas mengenai objek hak tanggungan;

3. Tinjauan Tentang Perjanjian Hutang Piutang


Menurut Pasal 1313 menyebutkan bahwa “Perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
kepada satu orang atau lebih lainnya”. Perjanjian dalam arti sempit
adalah suatu persetujuan dengan mana dua pihak atau lebih saling
mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal yang bersifat

kebendaan dibidang harta kekayaan. Sedangkan menurut pendapat


Subekti, menyatakan bahwa “Suatu Perjanjian adalah suatu peristiwa
dimana seseorang berjanji kepada seseorang yang lain atau dimana
dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal tertentu”
Pengertian utang piutang sama dengan perjanjian pinjam
meminjam, telah diatur dan ditentukan dalam Bab Ketiga Belas Buku
Ketiga KUHPerdata, dalam Pasal 1754 KUHPerdata yang secara jelas
menyebutkan bahwa, “Perjanjian Pinjam-meminjam adalah perjanjian
dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain
suatu jumlah terntentu barang-barang yang menghabis karena
pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan
mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang
sama pula”
Perjanjian utang piutang uang termasuk kedalam jenis perjanjian
pinjam-meminjam, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1754
KUHPerdata menyebutkan, “Pinjam-meminjam adalah perjanjian
dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain

11
suatu jumlah terntentu barang-barang yang menghabis karena
pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan
mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang
sama pula”
Perjanjian utang-piutang sebagai sebuah perjanjian menimbulkan
hak dan kewajiban kepada kreditur dan debitur yang bertimbal balik.
Inti dari perjanjian utang-piutang adalah kreditur memberikan pinjaman
uang kepada debitur, dan debitur wajib mengembalikannya dalam
waktu yang telah ditentukan disertai dengan bunganya. Pada
umumnya, pengembalian utang dilakukan dengan cara mengangsur
setiap bulan.
Resiko-resiko yang umumnya merugikan kreditur tersebut perlu
diperhatikan secara seksama oleh pihak kreditur, sehingga dalam
proses pemberian kredit diperlukan keyakinan kreditur atas
kemampuan dan kesanggupan dari debitur untuk membayar
hutangnya sampai dengan lunas.

12
BAB III

PEMBAHASAN

1. Kedudukan Akta Kuasa Menjual Berdasarkan Akta Pengakuan


Hutang Terhadap Barang Jaminan Benda Tidak Bergerak

Dewasa ini tidak dapat dibayangkan suatu masyarakat tanpa


lembaga perwakilan yang terwujud pada segala segi kehidupan di
bidang hukum. Menjadi suatu kenyataan bahwa karena jarak, sakit,
tidak berada di tempat, kesibukan, kecakapan dapat menjadi alasan
tidak dapat dilakukannya sendiri suatu perbuatan hukum oleh yang
berkepentingan. Di dalam segala bidang hukum, "melalui perantara"
dalam arti perbuatan hukum seseorang diwakili oleh orang lain
menyebabkan tetap dapat dilakukannya perbuatan hukum oleh orang
yang diwakili tersebut. Hal mewakili sekarang dianggap sudah lumrah
dilakukan. Apabila kita cermati Pasal 1315 KUHPerdata, pada
umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau
meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri",
Suatu asas nemo alteri stipulari potest yang berarti tak dapatlah
seseorang menjanjikan sesuatu untuk kepentingan orang lain.

13
1. Berkaitan dengan hal tersebut di dalam praktek dapat kita lihat:
Seorang anak di bawah umur di dalam melakukan hak dan
kewajibannya diwakili oleh orang tua/wali;
2. Perhimpunan dalam melakukan tindakan hukumnya diwakili
oleh pengurusnya;
3. Seseorang yang tidak berada di tempat dan pada suatu saat
tetangganya telah melakukan tindakan hukum tertentu tanpa
adanya persetujuan atau perintah apapun demi kepentingan
tetangga yang berhalangan untuk melakukannya sendiri;
4. Orang yang berperkara di pengadilan memberikan kuasa
kepada seorang pengacara untuk mewakili di dalam membela
kepentingannya.

Peristiwa-peristiwa tersebut memperlihatkan suatu gejala yang


sama, yaitu bahwa seorang di dalam melakukan tindakan hukumnya telah
digantikan/diwakili oleh orang lain, namun tindakan hukum wakil orang lain
tersebut akan mengikat orang yang diwakil- inya. Perwakilan dalam arti
yang luas adalah suatu tindakan hukum, yang akibat hukumnya menjadi
tanggung jawab bukan oleh yang bertindak tetapi oleh pihak yang
diwakilinya atau dengan lain perkataan dari suatu tindakan hukum timbul
akibat hukum untuk orang lain.

Perwakilan tidak diatur secara khusus di dalam KUHPerdata atau


perundang-undangan lainnya. Doktrin membagi sumber perwakilan pada
undang-undang, perjanjian dan organik. Perwakilan karena undang-
undang terjadi di luar kehendak pihak- pihak yang berkaitan, misalnya
ayah yang mewakili anaknya yang di bawah umur sedangkan perwakilan
karena perjanjian terjadi atas kehendak dan kesepakatan para pihak
terkait, misalnya perjanjian pemberian kuasa. Perwakilan organik, yaitu
perwakilan yang wewenangnya bersumberkan pada anggaran dasar
organ, misalnya direksi PT yang mewakili perseroan terbatas

14
Dalam prakteknya Notaris akan membuatkan suatu kuasa menjual
yang dibuat dengan itikad baik dari para pihak dan tidak terkait dengan
suatu perbuatan hukum utang piutang.

Akta Kuasa Menjual dapat dipergunakan dalam melakukan


peralihan hak atas tanah (jual beli) apabila dibuat dengan suatu Akta
Otentik yang dibuat dihadapan Notaris. Kuasa dapat diberikan dan
diterima dalam bentuk suatu akta otentik, dalam suatu tulisan di bawah
tangan, bahkan dalam sepucuk surat ataupun lisan. Penerimaan suatu
kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari
pelaksanaan kuasa itu oleh si kuasa sebagaimana diatur dalam Pasal
1793 KUHPerdata.

Oleh undang-undang dapat ditentukan bentuk kuasa untuk


melakukan tindakan hukum tertentu, seperti pada kuasa untuk
penerimaan suatu hibah harus dilakukan dalam bentuk akta otentik (Pasal
1683 ayat (1) KUHPerdata). Di dalam kuasa untuk menghibahkan dan
menerima hibah disebutkan dengan jelas dan tegas kepada siapa obyek
hibah akan diberikan, mengingat unsur dari suatu pengibahan adalah
adanya pemberi hibah, penerima hibah dan obyek hibah. Seorang ahli
waris yang menolak suatu warisan harus dilakukan dengan tegas dengan
suatu pernyataan yang dibuat di kepaniteraan pengadilan negeri, yang
dalam daerah hukumnya telah terbuka warisan itu (Pasal 1057
KUHPerdata). Oleh undang-undang pun tidak ditentukan bentuk kuasa
untuk melakukan penolakan tersebut, namun mengingat akibat hukum
dari penolakan warisan yaitu ahliwaris dianggap tidak pernah telah
menjadi wans (Pasal 1058 KUHPerdata), maka adalah lebih baik untuk
membuat kuasa penolakan warisan dalam bentuk akta otentik atau
setidak-tidaknya kuasa di bawah tangan yang disahkan tanda tangan
pemberi kuasa.

15
Pada umumnya untuk suatu perjanjian yang digolongkan pada
perjanjian formil, di mana oleh undang-undang diharuskan dibuat dalam
bentuk tertentu, yaitu dalam akta otentik, maka kuasanya pun sebaiknya
dibuat pula dalam bentuk otentik.

Adanya perintah undang-undang untuk membuat akta kuasa/akta


pemberian kuasa dalam bentuk otentik, seperti kuasa untuk menerima
hibah tersebut di atas atau Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan,
dalam hal tersebut fungsi dari akta kuasa tersebut bukan semata-mata
sebagai alat bukti, tetapi bentuk akta otentik tersebut merupakan syarat
mutlak (bestaansvoorwaarde) untuk adanya tindakan hukum tersebut

Akta Kuasa Menjual menurut penulis harus merupakan suatu kuasa


khusus, dimana dalam akta kuasa tersebut tidak memuat suatu perbuatan
hukum lain atau dengan kata lain hanya satu kepentingan tertentu atau
lebih yang harus dilakukan oleh penerima kuasa hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 1795 KUHPerdata, sehingga akta kuasa menjual tidak
dapat dibuat dalam bentuk kuasa umum atau luas yang merupakan kuasa
yang dirumuskan dalam kata-kata umum dan hanya meliputi tindakan
pengurusan. Untuk melakukan tindakan pemilikan diperlukan kuasa
dengan kata-kata tegas atau dalam bentuk kuasa khusus dan hanya
dapat dilakukan oleh mereka yang berwenang untuk melakukannya.

Kuasa atau volmacht merupakan kewenangan mewakili untuk


melakukan tindakan hukum demi kepentingan dan atas nama pemberi
kuasa dalam bentuk tindakan hukum sepihak. Beberapa ahli hukum
mempunyai pendapat yang berbeda mengenai dasar hukum kuasa,
apakah karena kekuasaan atau kewenangan. Di antaranya Van Nierop
berpendapat bahwa kuasa adalah kekuasaan (macht) dan bukan
kewenangan (bevoegdheid) untuk mewakili. K.H. Jauw di dalam
disertasinya mengatakan bahwa kuasa timbul karena machtiging dalam

16
arti suatu pernyataan dari pemberi kuasa yang memberi kekua- saan,
kewenangan atau hak untuk mewakilinya terhadap pihak ketiga.

K.H. Jauw membedakan antara volmacht yang merupakan suatu


peristiwa hukum (rechtstoestand) dan machtiging yang merupakan
tindakan hukum (rechtshandeling). Eggens berpendapat bahwa kuasa
adalah kewenangan ter- masuk di dalamnya hak untuk mewakili pemberi
kuasa. Van Schendel mendasarkan pada kewenangan karena per-
tanggungjawaban kepada pemberi kuasa hanya dapat dilakukan apabila
ia memang berwenang untuk melakukan- nya.11

2. Problematika Hukum Pelaksanaan Dan Kedudukan Akta Kuasa


menjual Berdasarkan Akta Pengakuan Hutang Terhadap Barang
Jaminan Benda Tidak Bergerak

Perlindungan hukum bagi pemberi kuasa merupakan hal yang


sangat penting dalam pemberian suatu kuasa menjual mengingat
penerima kuasa melakukan suatu perbuatan hukum untuk kepentingan
pemberi kuasa. Berdasarkan hasil penelitian penulis berpendapat
bahwa pembuatan akta kuas menjual dalam suatu akta otentik dapat
memberikan suatu perlindungan hukum bagi para pihak, mengingat
dalam hal ini Notaris selaku pejabat umum yang berwenang membuat
akta otentik dapat memberikan saran-saran hukum sehingga kuasa
menjual yang dibuat dapat memberikan perlindungan hukum yang
berimbang bagi para pihak.

Kuasa bertalian dengan adanya asas nemo plus iuris ad alium


transferre potest quam ipse haberet, yang berarti bahwa seseorang
tidak dapat mengalihkan hak kepada orang lain lebih daripada hak yang
11
Herlien Budiono, Perwakilan, Kuasa dan Pemberian Kuasa, Majalah Renvoi, Nomor 6.42.IV,
3 November 2006, Hal. 68.

17
dimiliknya, sehingga pemberi kuasa tidak dapat memberikan kuasa
lebih daripada hak atau kewenanangan yang dimiliknya. Perlu
diperhatikan akan ketentuan umum bahwa suatu kuasa bersifat privatif
yang berarti, bahwa dengan adanya kuasa tidak berarti pemberi kuasa
sendiri tidak dapat melakukan perbuatan hukum yang telah
dikuasakannya. Suatu kuasa bukan suatu peralihan hak.

Pemberian kuasa atau lastgeving adalah suatu persetujuan, dengan


mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang
menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.
Pada umumnya suatu pemberian kuasa merupakan perjanjian sepihak
dalam arti bahwa kewajiban untuk melaksanakan prestasi hanya
terdapat pada satu pihak saja, yaitu pada penerima kuasa. Dengan
demikian unsur-unsur dari perjanjian demikian pula syarat sahnya suatu
perjanjian (Pasa1320 KUHPerdata) harus dipenuhi, yaitu:

1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;


2. cakap untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu hal tertentu;
4. suatu sebab yang halal

Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subjektif, karena


kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian. Sedangkan kedua
syarat terakhir disebutkan syarat objektif, karena mengenai objek dari
perjanjian.

Menurut yurisprudensi yang ditafsirkan dengan kausa adalah isi atau


maksud dari perjanjian. Melalui syarat kausa, di dalam praktek maka ia
merupakan upaya untuk menempatkan perjanjian di bawah
pengawasan Hakim. Hakim dapat menguji apakah tujuan dari perjanjian
itu dapat dilaksanakan dan apakah isi perjanjian tidak bertentangan

18
dengan undang- undang ketertiban umum dan kesusilaan (Pasal 1335
sampai dengan Pasal 1337 KUHPerdata).

Pembentuk undang-undang mempunyai pandangan bahwa


perjanjian-perjanjian mungkin juga diadakan tanpa sebab atau dibuat
karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang. Yang dimaksud
dengan sebab terlarang ialah sebab yang dilarang undang-undang atau
berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum (Pasal 1337
KUHPerdata). Perjanjian yang dibuat dengan sebab yang demikian
tidak mempunyai kekuatan (Pasal 1335 KUHPerdata). Perjanjian yang
cacat subjektif dapat dibatalkan dan yang cacat objektif batal demi
hukum.

Fungsi dari akta kuasa menjual merupakan alat bukti otentik untuk
adanya tindakan hukum tersebut. Oleh karena itu tatacara/prosedur
dari pembuatan akta otentik sesuai dengan Undang- Undang Republik
Indonesia Nomor 30 tahun 2004 jo Undang Undang Nomor 2 tahun
2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN) harus dipenuhi, karena akan
berakibat aktanya bukan hanya mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta di bawah tangan, tetapi akta tersebut menjadi batal demi
hukum.

Sanksi terhadap dilanggarnya ketentuan mengenai tatacara atau


prosedur tertentu di dalam pembuatan akta otentik dicantumkan di
dalam ketentuan Pasal 84 Undang Undang Jabatan Notaris. Pemberian
kuasa yang diberikan dan ditandatangani oleh debitor atau pemilik
jaminan kepada kreditor pada tanggal yang bersamaan dengan tanggal
penandatanganan akta pengakuan utang atau perjanjian kredit untuk
menjual barang, jaminan secara di bawah tangan, menurut Herlin
Budiono bertentangan dengan asas yang bersifat bertentangan dengan
kepentingan umum (van openbaare orde) karena penjualan benda
jaminan apabila tidak dilakukan secara sukarela haruslah dilaksanakan

19
di muka umum secara lelang menurut kebiasaan setempat, sehingga
pemberian kuasa jual semacam ini adalah batal demi hukum.

BAB IV

PENUTUP
Kesimpulan
berdasarkan ketentuan Undang undang Nomor 4 tahun 1996
tentang hak tanggungan adalah bertentangan dengan pasal 6 dan pasal
20 ayat 2 dan 3 bahwa atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak
Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan
dibawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga
tertinggi yang menguntungkan semua pihak.
Sehingga dengan tidak dipenuhinya syarat tersebut maka eksekusi
yang dilaksanakan seharusnya batal demi hukum, sebagaimana
tercantum pada pasal 20 ayat 4 undang undang hak tanggungan tersebut.
Hal ini menunjukkan tidak adanya perlindungan hukum bagi pemberi
kuasa/ penjamin dan debitur, karena tidak ada perhitungan selisih nilai
transaksi tanah dengan nilai hutang denda dan bunga serta perhitungan
cicilan pembayaran yang telah dilakukan oleh debitur kepada kreditur. Hal

20
ini karena kreditur menganggap nilai obyek jaminan yang telah dijual
dianggap sama dengan nilai transaksi atas tanah ditambah dengan jumlah
hutang denda dan bunga.

Saran
1. Perlunya sosialisasi kepada notaris untuk tidak menggunakan kuasa
Jual dalam suatu Perjanjian Utang Piutang akan tetapi dengan
memberikan nasehat dan penyuluhan hukum bagi masyarakat untuk
melaksanakan Undang-undang Hak tanggungan yaitu dengan
Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dan atau Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan.
2. Memberlakukan sanksi yang tegas kepada notaris yang tetap
mempergunakan kuasa Jual yang berhubungan dengan perjanjian
hutang piutang.
3. Putusan hakim tidak hanya mengandung unsur Kepastian Hukum,
akan tetapi juga harus memenuhi unsur manfaat dan unsur keadilan,
namun unsur keadilan adalah hal harus diutamakan bagi masyarakat
yang mencari keadilan.

21

Anda mungkin juga menyukai