Anda di halaman 1dari 86

SKRIPSI

TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN ROYA PARTIAL HAK


TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN
1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN
(Studi Kasus Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Makassar)

Oleh:

NAMA : RESKY NURUL ISNAINI

STAMBUK : 04020170559

Diajukan Sebagai Tugas Akhir Dalam Rangka Penyelesaian Studi

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2021

i
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Yang bertanda tangan di bawah ini menerangkang bahwa:

Nama : RESKY NURUL ISNAENI


NIM : 04020170559
Bagian : HUKUM PERDATA
Dasar Penetapan : SK Nomor : 0044/H.05/FH-UMI/I/2021
Judul Skripsi : TINJAUAN YURIDIS DALAM PELAKSANAAN
ROYA PARTIAL HAK TANGGUNGAN MENURUT
UNDANG-UNDANG NO. 4 TAHUN 1996 TENTANG
HAK TANGGUNGAN

Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam Ujian Skiripsi

Disetujui Oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Dachran S.Busthami, S.H.,M.H Dr. Dwi Handayani, S.H.,M.Hum

Mengetahui,

Ketua Bagian Hukum Perdata

Dr. Andi Risma, S.H., M.H.

ii
PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI

Diterangkan bahwa skripsi mahasiswa :

Nama Mahasiswa : Resky Nurul Isnaini

NIM : 040 2017 0559

Bagian : Hukum Keperdataan

Judul Skripsi : Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Roya Partial

Hak Tanggungan Menurut Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak

Tanggungan (Studi Kasus di Kantor Badan

Pertanahan Nasional Kota Makassar)

Memenuhi syarat untuk diajukan dalam ujian skripsi sebagai ujian akhir

program studi.

Dikeluarkan di : Makassar

Pada Tanggal :

Prof. Dr. H. La Ode Husen. S.H.,

NIPs. 1048601

iii
PENGESAHAN SKRIPSI

TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN ROYA PARTIAL HAK


TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN
1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN (STUDI KASUS DI KANTOR
BADAN PERTANAHAN NASIONAL KOTA MAKASSAR)

Disusun dan diajukan oleh:

Resky Nurul Isnaini

04020170559

Telah dipertahankan dihadapan Panitia Ujian Skripsi pada Program Studi

Sarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia

Pada, Jumat 17 September 2021

dan dinyatakan diterima

Makassar, 20 September 2021

Panitia Ujian

Ketua, Anggota,

Dr. Dachran S.Busthami, S.H.,M.H Dr. Dwi Handayani, S.H.,M.Hum

Dekan

Prof. Dr.H.Laode Husen,SH.,MH

iv
KATA PENGANTAR
‫ِبسْ مِاللَّ ِهالرَّ حْ َمنِالرَّ حِيم‬

Tiada kata yang paling indah selain puji dan syukur penulis panjatkan

kepada Allah SWT, atas berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis

dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul: “Tinjauan Yuridis

dalam Pelaksanaan Roya Partial Hak Tanggungan Menurut Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak tanggungan (studi kasus di

kantor bpn kota makassar)”. Shalawat serta salam tak lupa penulis

haturkan kepada suri tauladan kita, uswatunhasanah kita yakni, baginda

Rasulullah SAW yang telah membawa kita dari lembah kegelapan menjadi

lembah yang terang benderang seperti saat ini. Semoga Shalawat serta

salam juga tercurahkan kepada para sahabatnya, keluarganya dan kepada

kita umat akhir zaman.

Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis menyampaikan rasa

terima kasih diiringi doa kepada Allah SWT, kepada sosok yang selalu

mendukung dan mendoakan penulis tanpa mengenal waktu, Papa tercinta

H. Agussalim Husain, S.E dan Mama tercinta Hj. Salma Rahman, yang

selalu menjadi panutan dan motivasi penulis agar lebih semangat dalam

mengapai cita-cita. Semoga Allah SWT terus menjaga dan memberkahi

mereka dengan penuh kasih.

Selanjutnya penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada

orang-orang yang membantu penulis secara langsung maupun tidak

v
langsung selama pembuatan skripsi ini, dengan segala kerendahan hati

penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Basri Modding, SE.,M.SI, Rektor Universitas Muslim

Indonesia yang memimpin Perguruan Tinggi tempat penulis

menjalankan studi;

2. Bapak Prof. Dr. H. Laode Husen, SH.,MH. selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Muslim;

3. Ibu Dr. Andi Risma, S.H., M.H. selaku Kepala Bagian Hukum Perdata

fakultas hukum universitas muslim indonesia, yang telah memberikan

izin , kesempatan, dan fasilitas kepada penulis selama mengikuti

pendidikan program sarjana;

4. Bapak Dr. Dachran S. Busthami, S.H., M.H dan Ibu Dr. Dwi

Handayani, S.H., M.Hum. selaku ketua dan anggota pembimbing yang

memberi bimbingan, dengan penuh keseriusan, kecermatan dan

kebijakan dalam memberi petunjuk-petunjuk perihal prinsip;

5. Bapak Dr. Sahban, SH.,MH dan Bapak Abdul aziz, SH.,MH selaku

dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan dan arahan

dalam penyempurnaan skripsi ini;

6. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen serta Asisten Dosen Fakultas Hukum

Universitas Muslim Indonesia Makassar yang telah membekali ilmu

yang bermanfaat bagi penulis;

vi
7. Seluruh Karyawan/Karyawati Fakultas Hukum Universitas Muslim

Indonesia Makassar yang telah membantu di bidang akademik dan

kemahasiswaan;

8. Saudara tercinta Mufliha chaerati, Ikhwanul Arham, Ayu Ningtyas

Fadlirah, S.H, Reski Fadliansyah, dan Riska Fadhlyana S.E. yang

selalu memberi semangat kepada penulis;

9. Seluruh Keluarga besar penulis yang selalu memberikan dukungan

serta doa yang berlimpah tanpa mengenal kata lelah;

10. Teman teman sekaligus penyemangat penulis Imam, S.H, dan

Muhammad Aditya Ardin, S.H. yang telah memberikan bantuan selama

proses skripsi ini dibuat;

11. Sahabat seperjuangan saya NAREK Adzra Fauziah Rauf, Andi

Fadhilah Athirah A, S.H, Annisa Muthia, A. Nur Aisyah, S.H, ST.

Khadijah Yusuf S.H, Indira Ramadhani, Ranti, ST. Hamdana, Putri

Ayesha, Feni Kodriani;

12. Sahabat seperjuangan saya Alya Malik dan Haryanti Nurfadhilah;

13. Teman-teman KKPH (Kuliah Kerja Profesi Hukum) di kantor badan

pertahanan nasional kota makassar Icha, Chaca, Mayang, Aufa,

Wawan, Taufiq, Ami, Eky, Abeng, Gadis, Fitrah, Yusril, Dila, Zhafira dan

Fatyah;

14. Pihak lain yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu yang

telah terlibat dan membantu sehingga skripsi ini dapat disusun dengan

baik dan benar;

vii
Penulis menyadari bahwa Skripsi ini kurang sempurna, hal ini

disebabkan karena keterbatasan kemampuan yang ada pada penulis. Oleh

karena itu, kritik, saran dan koreksi untuk perbaikan dan

penyempurnaannya sangat penulis harapkan. Namun penulis berharap

semoga dengan hadirnya skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan

ilmu dan teknologi. Semoga Allah SWT, senantiasa memberkati dan

merahmati segala aktivitas keseharian sebagai suatu ibadah disis-Nya.

Makassar, 15 September 2021

Resky Nurul Isnaini

viii
ABSTRAK

Resky Nurul Isnaini. 04020170559: “Tinjauan Yuridis Dalam


Pelaksanaan Roya Partial Hak Tanggungan Menurut Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan (Studi kasus di Kantor
BPN Kota Makassar). Di bawah bimbingan Bapak (Dr. Dachran S.
Busthami, S.H., M.H) sebagai Ketua Pembimbing dan Ibu (Dr. Dwi
Handayani, S.H., M.Hum. sebagai Anggota Pembimbing.
Tujuan penelitian skripsi ini adalah untuk mengetahui dan
menganalisis bagaimana pelaksanaan roya partial hak tanggungan di
kantor badan pertanahan nasional kota makassar dan apa saja kendala
yang mempengaruhi kelancaran pelaksanaan roya partial hak tanggungan
di kantor badan pertanahan nasional kota makassar. Metode penelitian
dengan tipe penelitian hukum empiris, yakni penelitian yang lebih
berorientasi pada kajian fenomena dimana semua data-data dan
wawancara yang diperoleh berdasarkan penelitian di Kantor Badan
Pertanahan Nasional Kota Makassar.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : (1) Pelaksanaan Roya
Partial di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Makassar dapat
berjalan dengan baik dan lancar. Pencoretan hak tanggungan dilakukan
atas permohonan kreditur dan debitur. Pencoretan ini dibuat oleh kreditur,
Surat permohonan Roya Partial yang diberikan debitur atau Notaris PPAT
dimana Hak Tanggungan tersebut dilaksanakan. (2) Kendala-kendala
yang dihadapi pelaksanaan Roya Partial di Kantor Badan Pertanahan
Nasional Kota Makassar, dimana secara empiris ketentuan normatif yang
termuat dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan ini
sangat sulit untuk dilakukan dan selain itu tidak tercantum bagian-bagian
yang mana dari sertipikat induk yang dipecah setelah terikat hak
tanggungan yang dapat dilakukan Roya Partial

ix
Kata kunci : Pelaksanaan Roya Partial, Hak Tanggungan, Kendala-
kendala

DAFTAR ISI

SAMPUL..............................................Kesalahan! Bookmark tidak ditentukan.i

PERSETUJUAN PEMBIMBING....................................................................ii
PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSi…...
………………………………............iii
PENGESAHAN SKRIPSI……………………………………………...….......iv

KATA PENGANTAR.....................................................................................iii

ABSTRAK....................................................................................................ixx

BAB I PENDAHULUAN................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah.............................................................1


B. Rumusan Masalah......................................................................9
C. Tujuan Penelitian........................................................................9
D. Manfaat Penelitian....................................................................10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................11

A. Hukum Jaminan Pada Umumnya.............................................11


B. Pengertian Hak Tanggungan....................................................13
C. Asas-Asas dan Ciri-ciri Hak Tanggungan................................15
D. Obyek Hak Tanggungan...........................................................19
E. Subyek Hak Tanggungan.........................................................21
F. Proses Pembebanan Hak Tanggungan....................................22
G. Peralihanan Hak Tanggungan.................................................27
H. Hapusnya Hak Tanggungan.....................................................29
I. Hak Tanggungan Atas Tanah....................................................33
J. Pencoretan Hak Tanggungan / Roya........................................35

x
K. Roya Partial..............................................................................38
BAB III METODE PENELITIAN...................................................................43

A. Jenis Penelitian.........................................................................43
B. Jenis dan Sumber Data............................................................43
C. Teknik Pengumpulan Data.......................................................44
D. Analisis Data.............................................................................46
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.................................47

A. Pelaksanaan Roya Partial Hak Tanggungan di Kantor Badan


Pertanahan Nasional Kota Makassar...........................................49
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Roya Partial
Hak Tanggungan di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota
Makassar.......................................................................................61
BAB V PENUTUP......................................................................................70

A. KESIMPULAN...........................................................................70
B. SARAN......................................................................................69
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................72

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia merupakan negara hukum yang bersumber

Pancasila, maka segala sesuatu harus berdasarkan pada hukum,

Indonesia pada hakikatnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang

begitu besar meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang

terkandung didalamnya sebagai Rahmat Tuhan Yang Maha Esa yang

diberikan kepada Bangsa Indonesia. Sehubungan dengan itu Pemerintah

telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disingkat dengan

UUPA). Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria merupakan landasan

utama bagi pengaturan masalah agraria di Indonesia yang di dalamnya

diatur masalah hak-hak atas tanah, hak atas air dan ruang angkasa.

Menjadi kewajiban dan tanggungjawab bagi setiap warga negara

Indonesia untuk memanfaatkan dan mengelolah kekayaan alam tersebut

secara optimal. Untuk memberikan kepastian hukum bagi pengelolaan

sumber daya agraria atau sumber daya alam dalam pengelolaannya

khususnya yang meliputi bumi. Salah satu cara untuk meningkatkan taraf

hidup adalah dengan mengembangkan perekonomian dan perdagangan,

yaitu diperlukannya dana tersedia yang cukup besar, dimana persediaan

dana tersebut di peroleh dari kegiatan perkreditan, yang salah satunya

dialokasikan melalui perbankan. Kebutuhan akan dana atau umumnya

1
dalam dunia perbankan Indonesia sering disebut kredit, terkadang

dikaitkan dengan adanya jaminan demi pengamanan pemberi dana/kredit

itu sendiri. Jaminan adalah hal yang penting dalam membuat dan

melaksanakan perjanjian kredit/perjanjian pinjam meminjam uang. Serta

melindungi kepentingan para pihak khususnya kreditor (yang

meminjamkan).

Setiap Warga Negara Indonesia dapat memiliki hak-hak atas tanah

tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku, UUPA menetapkan beberapa hak atas tanah yang dapat

digunakan sebagai jaminan hutang dengan pembebanan Hak

Tanggungan. Ketentuan mengenai Hak Tanggungan diatur sendiri dengan

Undang-Undang sebagaimana terdapat dalam Pasal 51 UUPA. Sebagai

tindak lanjut dari Pasal 51 UUPA maka pada tanggal 9 April 1996

Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang

Hak Tanggungan Atas Tanah Berserta Benda- Benda yang Berkaitan

Dengan Tanah (selanjutnya disingkat UUHT). UUHT merupakan suatu

jawaban dari adanya unifikasi dalam lembaga jaminan yang ada di

Indonesia, karena undang-undang ini telah disesuaikan dengan

perkembangan keadaan dan mengatur berbagai hal baru yang berkenaan

dengan lembaga Hak Tanggungan.

Keberadaan Undang-Undang Hak Tanggungan ini merupakan

undang-undang yang penting bagi sistem hukum perdata khususnya

hukum jaminan, yaitu dalam rangka memberikan kepastian dalam bidang

2
pengikatan jaminan atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah

sebagai agunan kredit, Yang mana pemegang Hak Tanggungan berhak

untuk menjual obyek yang dijadikan jaminan melalui pelelangan umum

menurut peraturan hukum yang berlaku dan mengambil pelunasan

tersebut meskipun obyek Hak Tanggungan sudah dipindahkan haknya

kepada pihak lain, kreditor pemegang Hak Tanggungan masih tetap

berhak untuk menjual melalui pelelangan umum apabila debitur cidera

janji.

Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan perjanjian tertulis

yang dituangkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Sesuai dengan

ketentuan dalam Pasal 10 ayat 2 UUHT. Akta Pemberian Hak

Tanggungan ini merupakan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

yang berisikan pemberian Hak Tanggungan kepada kreditor tertentu

sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya. Pemberian Hak

Tanggungan oleh debitur (pemberi Hak Tanggungan) kepada kreditor

(pemegang Hak Tanggungan) wajib didaftarkan pada kantor pertanahan

yang mana hal ini ditetapkan dalam Pasal 13 UUHT, Kemudian didalam

Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3) dijelaskan bagaimana caranya pendaftaran

Hak Tanggungan itu dilakukan. Bagi pemberi Hak Tanggungan yang telah

melunasi kewajibannya kepada pemegang Hak Tanggungan, maka

dilakukan pencoretan/hapusnya Hak Tanggungan/Roya atas obyek Hak

Tanggungan yang dibebankan. Hak Tanggungan akan mengalami suatu

3
proses berakhir, yang sama dengan hak-hak atas tanah yang lainnya.

Ketentuan hapusnya Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 18 UUHT.

Roya Hak Tanggungan yang dimaksud diatas dapat dijelaskan

bahwa; Roya adalah pencoretan Hak Tanggungan pada Buku Hak Atas

Tanah dan sertifikatnya. Apabila Hak Tanggungan hapus, maka Kantor

Pertanahan melakukan Roya (pencoretan) catatan Hak Tanggungan pada

Buku Tanah Hak Atas Tanah dan sertipikatnya. Sertifikat Hak

Tanggungan yang bersangkutan ditarik dan bersama-sama dengan Buku

Tanah Hak Tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor

Pertanahan. Apabila Sertifikat Hak Tanggungan karena suatu sebab tidak

dikembalikan kepada Kantor.

Dalam Undang-Undang Hak Tanggungan dikenal dua macam Roya

yaitu:

1. Roya Keseluruhan

Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh

seluruh dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan

untuk pelunasan piutangnya jika obyek Hak Tanggungan

dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan/dicabut haknya

untuk kepentingan umum.

2. Roya Partial

Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh

sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan

untuk pelunasan piutangnya jika obyek Hak Tanggungan

4
dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan/dicabut haknya

untuk kepentingan umum.

Mengenai hak tanggungan juga disebutkan dalam Al-Quran surah


1
Al-Baqarah ayat 283 yang berbunyi :

Terjemahannya: “Jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak

memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan

yang dipegang. Akan tetapi jika Sebagian kamu mempercayai Sebagian

yang lain, maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah tuhannya; dan

janganlah kamu menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang

menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa

hatinya; dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah SWT memerintahkan kepada orang

yang melakukan transaksi kepada orang lain, dan pada saat itu tidak ada

juru tulis sehingga ia harus memberikan barang sebagai jaminan (gadai)

kepada orang yang memberikan utang supaya ia merasa tenang

melepaskan hutangnya.

Pelaksanaan dari Roya dalam Hak Tanggungan sangat

berpengaruh dari proses pemberian Hak Tanggungan itu sendiri.

Maksudnya Roya yang dilakukan dalam penghapusan catatan sebuah


1
Al-Quran dan terjemahannya, Departemen Agama Republik Indonesia

5
Hak Tanggungan ditentukan pada saat proses pemberian Hak

Tanggungan itu sendiri apakah dapat dilakukan secara partial atau harus

dilakukan secara keseluruhan. Seperti yang telah di uraikan di atas bahwa

dalam Hak Tanggungan terdapat dua cara pelaksanaan Roya yaitu yang

dilaksanakan secara keseluruhan dalam arti tidak dapat dibagi-bagi

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUHT dan pelaksanaan

Roya yang dilakukan secara partial sebagaimana yang diatur dalam Pasal

2 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan.

Apabila obyek yang dijamin lebih dari satu, maka sebelum

pelunasan dalam perjanjian tertulis harus dicantumkan dalam APHT

bahwa adanya pelunasan sebagian obyek Hak Tanggungan. Bagi orang

awam yang belum mengerti betul tentang hal ini akan terjadi kerugian

apabila tidak diperjanjikan terlebih dahulu. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1)

Undang-Undang Hak Tanggungan bahwa Hak Tanggungan mempunyai

sifat yang tidak dapat dibagi-bagi, sebaliknya untuk kepentingan pemberi

Hak Tanggungan (debitur) dapat diperjanjikan dan disebutkan dalam Akta

Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan bahwa pelunasan hutang

yang dijaminkan dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya

sama dengan nilai masing-masing satuan yang merupakan bagian dari

obyek Hak Tanggungan tersebut. Bagian yang bersangkutan akan

terbebas dari Hak Tanggungan yang semula membebaninya dan Hak

Tanggungan tersebut selanjutnya hanya membebani sisa obyeknya untuk

menjamin sisa hutang yang belum dilunasinya, pengecualian ini disebut

6
“Roya Partial”. Meskipun Undang-Undang Hak Tanggungan sedikit

menyulitkan dalam pelaksanaan Roya Partial, namun dalam

kenyataannya yang ada masih banyak pemberi Hak Tanggungan yang

membebankan beberapa obyek Hak Tanggungan dalam satu Hak

Tanggungan tanpa disertai perjanjian untuk menghapus sebagian Hak

Tanggungan, apabila debitor telah melunasi sebagian hutangnya. Kondisi

tersebut menjadi dilematis manakala debitur telah melunasi sebagian

hutang-hutangnya kepada kreditor.

Secara normatif Hak Tanggungan masih tetap membebani seluruh

obyek Hak Tanggungan, namun dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/

Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 124 ayat (1) dan (2), yang menyatakan

bahwa :

1. Pendaftaran hapusnya Hak Tanggungan atas sebagian obyek Hak

Tanggungan dapat dilakukan berdasarkan pelunasan sebagian

utang yang dijamin, dengan ketentuan bahwa;

1) Obyek Hak Tanggungan terdiri dari beberapa hak, dan

2) Kemungkinan hapusnya sebagian Hak Tanggungan karena

pelunasan sebagian utang tersebut diperjanjikan di dalam Akta

Pemberian Hak Tanggungan.

2. Pendaftaran hapusnya Hak Tanggungan atas sebagian obyek Hak

Tanggungan juga dapat dilakukan walaupun tidak memenuhi

7
ketentuan ayat (1) berdasarkan pelepasan Hak Tanggungan atas

sebagian obyek Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan

yang dituangkan dalam akta autentik atau surat pernyataan di

bawah tangan dengan mencantumkan secara jelas bagian dari

obyek Hak Tanggungan yang dibebaskan dari beban Hak

Tanggungan. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, Hak

Tanggungan dapat hapus sebagian terhadap obyek Hak

Tanggungan karena adanya pelunasan sebagian utang dari pemberi

Hak Tanggungan, meskipun tidak diperjanjikan sebelumnya secara

jelas bagian dari obyek Hak Tanggungan yang dibebaskan dari

beban Hak Tanggungan tersebut, baik dengan akta autentik

maupun di bawah tangan. Dalam ketentuan tersebut Peraturan

Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor

3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,

Pasal 124 ayat (1) dan (2) memberikan kemudahan dalam

pelaksanaan pencoretan Hak Tanggungan untuk sebagian obyek

Hak Tanggungan/Roya Partial.

Berkaitan dengan Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4

Tahun 1996, Pasal 2 ayat (1), Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak

dapat dibagi-bagi, di mana kredit yang diberikan oleh kreditor kepada

debitur, walaupun telah dilunasi sebagian dari utang debitur, tidak berarti

terbebasnya sebagian obyek Hak Tanggungan dari beban Hak

8
Tanggungan atas jaminan yang diberikan oleh debitor kepada kreditor,

melainkan Hak Tanggungan itu tetap membebani seluruh obyek Hak

Tanggungan untuk sisa utang yang belum terlunasi.

Berdasarkan ketentuan tersebut, Hak Tanggungan dapat hapus

sebagian terhadap obyek Hak Tanggungan karena adanya pelunasan

sebagian utang dari pemberi Hak Tanggungan, meskipun tidak

diperjanjikan sebelumnya secara jelas bagian dari obyek Hak Tanggungan

yang dibebaskan dari beban Hak Tanggungan tersebut, baik dengan akta

autentik maupun di bawah tangan. Dari uraian di atas penulis ingin

meneliti antara lain dalam rumusan masalah.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut di atas muncul permasalahan yang

akan diteliti adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pelaksanaan Roya Partial Hak Tanggungan di Kantor

Badan Pertanahan Nasional Kota Makassar?

2. Faktor-faktor apa yang menjadi kendala pelaksanaan Roya Partial

Hak Tanggungan di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota

Makassar?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada pokok permasalahan seperti yang telah disebutkan

di atas maka tujuan penelitian ini yaitu:

9
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan Roya Partial Hak

Tanggungan di Kantor Badan Pertanahan Nasional di Kota

Makassar

2. Untuk mengetahui dan menganalisis apa saja faktor-faktor

kendala pelaksanaan Roya Partial Hak Tanggungan di Kantor

Badan Pertanahan Kota Makassar

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka manfaat penelitian ini

adalah:

1. Dari segi praktis, bagi pembaca dan masyarakat luas hasil

penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dalam

rangka sumbangan pemikiran agar lebih bisa dipakai sebagai

sumber informasi dalam rangka memahami segala sesuatu yang

berkenaan dengan hak tanggungan dan penerbitan Buku Tanah

serta Sertifikat Hak Tanggungan sebagai bukti lahirnya Hak

Tanggungan serta penghapusan Hak Tanggungan secara Roya

Partial.

2. Dari segi teoritis, untuk mengetahui pelaksanaan teori hukum yang

diperoleh dari peraturan yang ada dengan praktek pelaksanaannya

sehingga penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan

pemikiran dan memberi manfaat teoritis.

10
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum Jaminan Pada Umumnya

a) Pengertian Hukum Jaminan

Istilah jaminan telah lazim digunakan dalam bidang ilmu hukum dan

telah digunakan dalam beberapa peraturan perundang- undangan tentang

lembaga jaminan daripada istilah agunan. Oleh karena itu, istilah yang

digunakan bukan hukum agunan, lembaga agunan, agunan kebendaan,

agunan perseorangan, atau hak agunan melainkan hukum jaminan,

lembaga jaminan, jaminan kebendaan, jaminan perseorangan, hak

jaminan. Istilah jaminan ini melingkupi jaminan kebendaan dan jaminan

perseorangan.2

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun peraturan

perundang-undangan lain yang menjadi sumber hukum jaminan tidak

memberikan perumusan pengertian istilah jaminan. Dalam Keputusan

Seminar Hukum Jaminan, yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan

Hukum Nasional bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Gajah

Mada dari tanggal 9 sampai dengan 11 Oktober 1978 di Yogyakarta,

2
Salim HS, 2004. Perkembangan Hukum jaminan di Indonesia. Jakarta: Rajawali press,
Hal.23

11
mengartikan yang dinamakan “Jaminan” adalah menjamin dipenuhinya

kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu

perikatan hukum. Sementara itu Mariam Darus merumuskan jaminan

sebagai suatu tanggungan yang diberikan oleh seorang debitur dan/atau

pihak ketiga kepada kreditor untuk menjamin kewajibannya dalam suatu

perikatan.3 Hal yang sama dikemukakan oleh Hartono Hadisaputro, dalam

buku Rachmadi Usman4 yang menyatakan jaminan adalah sesuatu yang

diberikan debitur kepada kreditor untuk menimbulkan keyakinan bahwa

debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang

timbul dari suatu perikatan.5

Dapat disimpulkan bahwa Jaminan itu suatu tanggungan yang dapat

dinilai dengan uang, yaitu berupa kebendaan tertentu yang diserahkan

debitur kepada kreditor sebagai akibat dari suatu hubungan perjanjian

utang piutang atau perjanjian lain. Kebendaan tertentu diserahkan debitur

kepada kreditor dimaksudkan sebagai tanggungan atas pinjaman atau

fasilitas kredit yang diberikan kreditor kepada debitor sampai debitur

melunasi pinjamannya tersebut. Apabila debitur wanprestasi, kebendaan

tertentu tersebut akan dinilai dengan uang, selanjutnya akan

dipergunakan untuk pelunasan seluruh atau sebagian dari pinjaman atau

utang debitur kepada kreditornya. Dengan kata lain jaminan di sini

3
Mariam Darus Badrulzaman, 2000. Permasalahan Hukum Hak Jaminan Hukum Bisnis.
Bandung: Citra Aditya Bakti. Hal.12
4
Rachmadi Usman. 2008. Hukum Jaminan Keperdataan, Jakarta: Sinar Grafika, Hal.69
5
Hartono Hadisaputra. 1984. Seri Hukum Perdata, Pokok-pokok Hukum Perdata dan
Hukum Jaminan, Yogyakarta: Liberty. Hal.50

12
berfungsi sebagai sarana atau menjamin pemenuhan pinjaman atau utang

debitur seandainya wanprestasi sebelum sampai jatuh tempo pinjaman

atau utang berakhir.

b) Sumber Hukum Jaminan

Kententuan yang secara khusus atau yang berkaitan dengan

jaminan, dapat ditemukan dalam :

1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang

termuat dalam Buku II KUH Perdata,

2. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUH Dagang),

3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria,

4. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

Atas Tanah Berserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan

Tanah.

5. Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia.

B. Pengertian Hak Tanggungan

Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 pada Pasal 1 ayat (1)

telah dirumuskan yang di maksud dengan pengertian Hak Tanggungan

atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang

selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang

dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-

13
undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu

kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang

memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu

terhadap kreditor-kreditor lain. Lebih singkatnya yang dimaksud dengan

Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang

tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor

tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. 6

Perumusan pengertian Hak Tanggungan di atas, Hak Tanggungan

dimaksud hanya Hak Tanggungan yang dibebani dengan hak atas tanah

atau dengan kata lain UUHT hanya mengatur lembaga hak jaminan atas

tanah atas hak atas tanah belaka, sedangkan lembaga hak jaminan atas

benda-benda lain selain hak atas tanah tidak termasuk dalam luas

ruanglingkup pengertian Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Hak Tanggungan. Lembaga-lembaga hak jaminan di luar

Hak Tanggungan tersebut akan dibiarkan berkembang sendiri-sendiri

sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Hal

ini menggambarkan adanya gejala kurangnya keinginan untuk

menciptakan kesatuan hukum jaminan nasional. Kalau gejala ini terus

dibiarkan, tidak mustahil akan dapat menumbuhkan pranata hukum dan

6
Rachmadi Usman, 1999. Pasal-Pasal Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah, Cetakan
II, Jakarta: Djambatan, Hal.69

14
hukum-hukum yang liar, yang tidak jelas arah dan tujuan

perkembangannya.7

Ada beberapa unsur pokok dari Hak Tanggungan yang termuat di

dalam definisi tersebut.

1. Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang.

2. Obyek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA.

3. Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah)

saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang

merupakan satu kesatuan dengan tanah itu.

4. Utang yang dijaminkan harus suatu utang tertentu.

5. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu

terhadap kreditor-kreditor lain.8

C. Asas-Asas dan Ciri-ciri Hak Tanggungan

Dapat dikemukakan bahwa Hak Tanggungan sebagai lembaga hak

jaminan atas tanah yang kuat harus mengandung ciri-ciri :

1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada

pemegangnya (droit de preference). Hal ini ditegaskan dalam Pasal

1 angka 1 dan Pasal 20 ayat (1).

2. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun

obyek itu berada (droit de siute). Ditegaskan dalam Pasal 7.

7
M. Khoidin, 2017. Hukum Jaminan ( Hak-Hak Jaminan Tanggungan dan Eksekusi Hak
Tanggungan ), Surabaya: Laksbang Yustisia Surabaya, Hal.6-7
8
Sutan Remy Sjahdeini, 1999. Hak Tanggungan : Asas-asas, Ketentuan-Ketentuan
Pokok dan Masalah-masalah yang dihadapi oleh Perbankan, Surabaya : Airlangga
Universitas Press, Hal.8

15
3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas, sehingga dapat mengikat

pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak yang

berkepentingan.

4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.

Sesuai dengan sifat accesoir dari Hak Tanggungan, pemberiannya

haruslah merupakan ikutan dari perjanjian pokok yaitu perjanjian yang

menimbulkan hubungan hukum utang-piutang yang dijamin pelunasannya.

Perjanjian yang menimbulkan hubungan utang-piutang ini dapat dibuat

dengan akta di bawah tangan atau harus dibuat dengan akta autentik,

tergantung pada ketentuan hukum yang mengatur materi perjanjian

tersebut.

Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan accesoir pada suatu

piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian utang-piutang

atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh

adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Adapun Asas-asas dari Hak

Tanggungan meliputi :

1. Asas Publisitas

Asas publisitas ini dapat diketahui dari Pasal 13 ayat (1) yang

menyatakan bahwa pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan

pada Kantor Pertanahan. Oleh karena itu dengan didaftarkannya Hak

Tanggungan merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan

tersebut dan mengikatnya Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga

2. Asas Spesialitas

16
Asas spesialitas dapat diketahui dari penjelasan Pasal 11 ayat (1)

yang menyatakan bahwa ketentuan ini menetapkan isi yang sifatya

wajib untuk sahnya Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) Tidak

dicantumkannya secara lengkap hal-hal yang disebut pada ayat ini

dalam APHT mengakibatkan akta yang bersangkutan batal demi

hukum. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi asas spesialitas

dari Hak Tanggungan, baik mengenai subyek, obyek maupun utang

yang dijamin.

3. Asas Tidak Dapat Dibagi-bagi

Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, demikian

ditentukan dalam pasal 2 UUHT. Artinya, bahwa Hak Tanggungan

membebani secara utuh obyek Hak Tanggungan dan setiap bagian

daripadanya. Telah dilunasinya sebagian dari utang yang dijamin tidak

berarti terbebasnya sebagian obyek Hak Tanggungan dari beban Hak

Tanggungan, melainkan Hak Tanggungan tetap membebani seluruh

obyek Hak Tanggunan untuk sisa utang yang belum dilunasi

(penjelasan Pasal 2 ayat 1 UUHT).

Berdasarkan sifatnya yang demikian itu, dengan demikian maka

Roya Partial terhadap hak tanggungan menjadi tidak mungkin dilakukan.

Menurut Pasal 2 ayat (1) jo ayat (2) UUHT, sifat tidak dapat dibagi-

baginya Hak Tanggungan dapat disimpangi oleh para pihak apabila para

pihak menginginkan hal yang demikian itu dengan memperjanjikannya

dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan.

17
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UUHT, pada

dasarnya tidak dimungkinkan Roya Partial terhadap bagian obyek Hak

Tanggungan yang telah dilunasi. Namun ketentuan bahwa Hak

Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi dapat disimpangi, sepanjang

mengenai hal itu diperjanjikan secara tegas oleh para pihak dalam Akta

Pemberian Hak Tanggungan. Selain diperjanjikan atau disepakati para

pihak secara tegas, yang selanjutnya dituangkan dalam APHT yang

bersangkutan, penyimpangan dari asas Hak Tanggungan tidak dapat

dibagi-bagi hanya dapat dilakukan bila memenuhi persyaratan

sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) beserta

Penjelasannya UUHT yaitu :

1. Hak Tanggungan itu dibebankan pada beberapa hak atas tanah

yang terdiri atas beberapa bagian yang masing-masing merupakan

suatu kesatuan yang berdiri sendiri dan dapat nilai secara

tersendiri;

2. Pelunasan utang yang dijamin dilakukan dengan cara angsuran

yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah

yang merupakan bagian obyek Hak Tanggungan.

3. Adanya pembebasan sebagian persil jamin dari Hak Tanggungan

dengan dilakukannya pembayaran angsurannya;

4. Setelah itu Hak Tanggungan itu hanya membebani sisa obyek Hak

Tanggungan untuk menjamin pelunasan sisa utang yang belum

dilunasi.

18
Pengecualian dari asas tidak dapat dibagi-bagi ini terdapat pada

ayat 2 yang menyatakan bahwa apabila Hak Tanggungan dibebankan

pada beberapa hak atas tanah, yang dapat diperjanjikan dalam APHT

yang bersangkutan, bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukan

dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing

hak atas tanah yang merupakan bagian dari obyek Hak Tanggungan,

yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut, sehingga kemudian

Hak Tanggungan itu hanya membebani sisa obyek Hak Tanggungan

untuk menjamin sisa utang yang belum dilunasi. Dalam penjelasan ayat ini

dikatakan bahwa ketentuan ini merupakan pengecualian dari asas tidak

dapat dibagi-bagi, untuk menampung kebutuhan perkembangan dunia

perkreditan antara lain untuk mengakomodasi keperluan pendanaan

pembangunan kompleks perumahan yang semula menggunakan kredit

untuk pembangunan seluruh kompleks dan kemudian akan dijual kepada

pemakai satu persatu, sedangkan untuk membayarnya pemakai akhir ini

juga menggunakan kredit dengan jaminan rumah yang bersangkutan.

Sesuai dengan ketentuan dalam ayat (2) ini, apabila Hak

Tanggungan itu dibebankan pada beberapa hak atas tanah yang terdiri

dari beberapa bagian yang masing-masing merupakan suatu kesatuan

yang berdiri sendiri dan dapat dinilai tersendiri, asas tidak dapat dibagi-

bagi ini dapat disimpangi asal hal itu diperjanjikan secara tegas dalam

APHT yang bersangkutan.

19
D. Obyek Hak Tanggungan

Untuk dapat dibebani hak jaminan atas tanah, obyek Hak

Tanggungan yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan tertentu,

yaitu:

1. Hak atas tanah yang hendak dijaminkan dengan utang harus

bernilai ekonomis, bahwa hak atas tanah yang dimaksud dapat

dinilai dengan uang, sebab utang yang dijamin berupa uang.

2. Haruslah hak atas tanah yang menurut peraturan perundang-

undangan termaksuk hak atas tanah wajib didaftarkan dalam daftar

umum sebagai pemenuhan asas publisitas, sehingga setiap orang

dapat mengetahuinya.

3. Menurut sifatnya, hak-hak atas tanah tersebut dapat

dipindahtangankan, sehingga apabila diperlukan dapat segera

direalisasi untuk membayar utang yang dijamin pelunasannya.

4. Hak atas tanah tersebut ditunjuk atau ditentukan oleh undang-

undang,

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Hak Tanggungan, dapat

diketahui objek hak tanggungan sebagai berikut. Hak-hak atas tanah yang

ditunjuk oleh Undang-Undang Pokok Agraria sebagaimana dirinci Pasal 4

ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan yaitu;

1. Hak Milik;

2. Hak Guna Usaha;

3. Hak Guna Bangunan;

20
a) Hak-hak atas tanah yang kemudian ditunjuk sendiri oleh Undang-

Undang Hak Tanggungan sebagaimana dalam Pasal 4 ayat (2) dan

ayat (3) Undang-Undang Hak Tanggungan, yaitu:

1) Hak Pakai Atas Tanah Negara (HPATN), yang menurut

ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya

dapat dipindahtangankan

2) Hak Pakai Atas Tanah Milik (HPATM), yang akan diatur lebih

lanjut dengan peraturan pemerintah.

b) Hak atas tanah yang sebelumnya ditunjuk dalam Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 1985, yang kemudian dipertegaskan dalam

ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Hak Tanggungan, yaitu ;

1) Rumah Susun yang didirikan di atas tanah Hak milik, Hak Guna

Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah

Negara;

2) Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bangunannya

didirikan di atas Tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah Negara.

Dengan dimungkinkan atau dijadikan hak pakai atas tanah Negara

dan hak pakai atas tanah milik menjadi objek Hak Tanggungan

sebagaimana ditunjuk dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UUHT, berarti

telah terjadi perubahan prinsip dasar dalam pengaturan hak-hak atas

tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria.

21
E. Subyek Hak Tanggungan

1. Pemberi Hak Tanggungan Ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) UUHT

menyatakan :

“Pemberian Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan


hukum yang menpunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum
terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan.”

Dari bunyi ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) UUHT diatas, dapat

diketahui siapa yanenjadi pemberi Hak Tanggungan dan mengenai

persyaratannya sebagai pemberi Hak Tanggungan. Sebagai pemberi Hak

Tanggungan tersebut, bias orang perseorangan atau badan hukum dan

pemberinya pun tidak harus debitor sendiri, bias saja orang lain atau

bersama-sama dengan debitor, di mana bersedia menjamin pelunasan

utang debitor.

1. Penerimaan dan Pemegangan Hak Tanggungan

Pada dasarnya siapa saja dapat menjadi penerima pemegang Hak

Tanggungan, baik orang perseorangan maupun badan hukum, yang

berkedudukkan sebagai pihak yang berpiutang. Ketentuan dalam pasal 9

UUHT menyatakan: “Pemegang Hak Tanggungan adalah orang

perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang

berpiutang”.

Dengan demikian yang bertindak sebagai penerima dan pemegang

Hak Tanggungan itu tertentu kreditornya, yaitu pihak yang berkedudukan

sebagai pihak yang berpiutang. Penerima dan pemegang Hak

22
Tanggungan tidak terbatas harus badan hukum, bisa juga orang

perseorangan baik orang asing juga maupun badan hukum asing.

Setelah dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan, Kreditor

berkedudukan sebagai penerima Hak Tanggungan. Setelah dilakukan

pembukuan Hak Tanggungan yang bersangkutan dalam Buku Tanah Hak

Tanggungan, penerima Hak Tanggungan menjadi pemegang Hak

Tanggungan.9

F. Proses Pembebanan Hak Tanggungan

Proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui dua

tahap kegiatan, yaitu tahap pemberian Hak Tanggungan, yang dilakukan

di hadapan pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan kedua, tahap

Pendaftaran Hak Tanggungan, yang dilakukan di Kantor Pertanahan.

Tahap pemberian Hak Tanggungan diawali atau didahului dengan janji

untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang

tertentu. Janji untuk memberikan Hak Tanggungan tersebut dituangkan di

dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang

piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan

utang tersebut.

Proses Pembebanan Hak tanggungan dilakukan melalui 2 tahap

kegiatan, yaitu :

9
Boedi Harsono, 2008. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Jakarta;
Djembatan.

23
1. Tahap pemberian Hak Tanggungan, dengan dibuatnya APHT oleh

PPAT,yang didahului dengan perjanjian utang-piutang yang

dijamin.

2. Tahap pendaftaran oleh kantor Pertanahan, yang merupakan saat

lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan.

Ketentuan dalam Pasal 10 (1) UUHT yang menyatakan :


“Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan
Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang
dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari
perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang
menimbulkan utang tersebut.”

Dari ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT tersebut dapat

diketahui, bahwa pemberian Hak Tanggungan harus diperjanjikan terlebih

dahulu dan janji itu dipersyaratkan harus dituangkan di dalam dan

merupakan bagian yang tidak terpisah dari perjanjian utang piutang yang

bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.

Ini berarti setiap janji untuk memberikan hak Tanggungan terlebih dahulu

dituangkan dalam utang piutang.

Untuk memenuhi asas spesialitas dari Hak Tanggungan, baik itu

mengenai subjek, objek maupun utang yang dijamin, maka menurut

ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) UUHT, didalam Akta Pemberian Hak

Tanggungan wajib dicantumkan hal-hal di bawah ini :

1. Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan;

2. Domisili pihak-pihak pemegang dan pemberi Hak Tanggungan;

3. Penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin,

yang meliputi juga nama dan identitas debitor yang bersangkutan;

24
4. Nilai tanggungan;

5. Uraian yang jelas mengenai objek hak tanggungan;

Penjelasan atas Pasal 11 ayat (1) UUHT menegaskan, bahwa

ketentuan mengenai isi Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut,

sifatnya wajib untuk sahnya Akta Pemberian Hak Tanggungan. Jika tidak

dicantumkannya secara lengkap hal-hal yang bersifat wajib dalam APHT,

mengakibatkan APHT-nya batal demi hukum.

Dengan demikian pemuatan janji-janji yang disebutkan dalam Pasal

11 ayat (2) UUHT bersifat fakultatif, bukan suatu keharusan, karena tidak

menentukan sah atau tidak sahnya Akta Pemberian Hak Tanggungan

yang bersangkutan. Namun bila janji-janji disebutkan dalam Pasal 11 ayat

(2) UUHT tersebut sudah dimuat dalam APHT, kemudian didaftarkan pada

Kantor Pertanahan, maka janji-janji tersebut mempunyai kekuatan

mengikat tidak hanya kepada para pihak, melainkan juga terhadap pihak

ketiga.

Ketentuan dalam Pasal 11 ayat 2 UUHT menyebutkan Janji- janji

yang dapat dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan, yaitu :

1. Janji yang membatasi kewenangan memberi Hak Tanggungan

untuk menyewakan obyek Hak Tanggungan dan/atau

menentukan/mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima

uang sewa dimuka, kecuali dengan persetujuan tertulis dari

pemegang Hak Tanggungan.

25
2. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan

untuk mengubah bentuk/atau susunan obyek Hak Tanggungan,

kecuali dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak

Tanggungan.

3. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak

Tanggungan untuk mengelola obyek Hak Tanggungan berdasarkan

penetapan Ketua Pengadilan Negeri, apabila debitor wanprestasi.

4. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak

Tanggungan untuk menyelamatkan obyek Hak Tanggungan, jika

hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi/untuk mencegah

menjadi hapusnya/dibatalkannya hak yang menjadi obyek Hak

Tanggungan karena tidak dipenuhi/dilanggarnya ketentuan undang-

undang.

5. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak

untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan jika

debitor wanprestasi.

6. Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama

bahwa obyek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak

Tanggungan. Janji ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan

pemegang Hak Tanggungan kedua dan seterusnya. Dengan

adanya janji ini, tanpa persetujuan pembersihan dari pemegang

Hak Tanggungan kedua dan seterusnya, Hak Tanggungan kedua

dan seterusnya tetap membebani obyek Hak Tanggungan,

26
walaupun obyek itu sudah dieksekusi untuk pelunasan piutang

pemegang Hak Tanggungan pertama.

7. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan

haknya atas obyek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis dari

pemegang Hak Tanggungan.

8. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh

seluruh/sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak

Tanggungan untuk pelunasan piutangnya jika obyek Hak

Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak

Tanggungan/dicabut haknya untuk kepentingan umum.

9. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh

seluruh/sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak

Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika obyek Hak

Tanggungan diasuransikan.

10. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan obyek

Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan. Janji ini

penting untuk dapat memperoleh harga yang tinggi dalam

penjualan obyek Hak Tanggungan.

11. Janji bahwa sertifikat hak atas tanah yang dibebani Hak

tanggungan diserahkan kepada pemegang hak tanggungan. 10

Kemudian ketentuan dalam Pasal 12 UUHT memuat janji yang dilarang

dicantumkan dalam APHT, yaitu : “Janji yang memberikan kewenangan

10
Try Widiyono, 2009. Agunan Kredit dalam Financial Engineering, Jakarta: Ghalia
Indonesia, Hal.176

27
kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak

Tanggungan apabila debitor cidera janji, batal demi hukum”.

Ketentuan ini diadakan dalam rangka melindungi kepentingan

debitor dan pemberi Hak Tanggungan lainnya, terutama jika nilai obyek

Hak Tanggungan melebihi besarnya utang yang dijamin. Pemegang Hak

Tanggungan dilarang untuk secara serta merta menjadi pemilik obyek Hak

Tanggungan karena debitor cidera janji. Walaupun demikian tidaklah

dilarang bagi pemegang Hak Tanggungan untuk menjadi pembeli obyek

Hak Tanggungan asalkan melalui prosedur yang diatur dalam Pasal 20

yaitu eksekusi Hak Tanggungan.

G. Peralihanan Hak Tanggungan

Hak Tanggungan beralih apabila piutang yang dijamin dengan Hak

Tanggungan itu beralih kepada pihak ketiga. Peralihan piutang itu dapat

terjadi karena cessie, subrogasi, pewarisan, atau sebab-sebab lain.

Demikian ditentukan dalam Pasal 16 UUHT. Dengan kata lain, Hak

Tanggungan itu ikut beralih karena hukum kepada kreditor yang baru

apabila piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan itu beralih kepada

kreditor yang baru itu. Cessie adalah perbuatan hukum mengalihkan

piutang oleh kreditor pemegang Hak Tanggungan kepada pihak lain.

Subrogasi adalah penggantian kreditor oleh pihak ketiga yang melunasi

utang debitor.

Dalam rangka memenuhi asas publisitas, beralihnya Hak

Tanggungan karena hukum tersebut, wajib didaftarkan oleh kreditor yang

28
baru kepada Kantor Pertanahan. Kewajiban ini ditentukan dalam Pasal 16

ayat (2) UUHT yang menetapkan, bahwa beralihnya Hak Tanggungan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan oleh kreditor yang

baru kepada kantor pertanahan.

Pendaftaran peralihan Hak Tanggungan dilakukan dengan

mencatatnya pada buku tanah serta sertifikat Hak Tanggungan yang

bersangkutan dan pada buku tanah serta sertifikat hak yang dibebani

berdasarkan surat tanda bukti beralihnya piutang yang dijamin karena

cessie, subrogasi, pewarisan atau penggabungan serta peleburan

perseroan.

Permohonan pendaftaran peralihan Hak Tanggungan tersebut

diajukan oleh kreditor baru sebagai pemegang Hak tanggungan yang baru

dengan menyampaikan dokumen sebagai berikut:

1. Sertifikat Hak Tanggungan;

2. Surat tanda bukti beralihanya piutang yang dijamin dengan Hak

Tanggungan berupa:

a) Akta cessie atau akta autentik yang menyatakan adanya cessie

tersebut;

b) Akta subrogasi atau akta autentik yang menyatakan adanya

subrogasi tersebut;

c) Bukti pewarisan; atau

d) Bukti penggabungan / peleburan perseroan atau koperasi.

29
3. Identitas pemohon dan/atau surat kuasa tertulis apabila

permohonan pendaftaran tersebut diajukan oleh pihak lain.

Pendaftaran beralihnya Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor

Pertanahan dengan mencatatnya pada buku-tanah Hak Tanggungan dan

buku-tanah hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan serta

menyalin catatan tersebut pada sertifikat-sertifikat Hak Tanggungan dan

sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan (Pasal 16 ayat (3) UUHT).

Tanggal pencatatan pada buku tanah sebagaimana dimaksud di atas

adalah tanggal hari ketujuh setelah diterimanya secara lengkap surat-

surat yang diperlukan bagi pendaftaran beralihnya Hak Tanggungan. 11

H. Hapusnya Hak Tanggungan

Sebab-sebab yang menghapuskan Hak Tanggungan ditentukan

dalam pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan. Menurut Pasal

18 ayat (1) yaitu:

1. Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut;

a) Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan.

b) Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak

Tanggungan.

c) Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan

peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri.

d) Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.

11
Adrian Sutedi, 2007. Pengalihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta: Sinar
Grafika, Hal.34

30
2. Hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskannya oleh

pemegangnya dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis

mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang

Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan.

3. Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan

berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena

permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak

Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu

dibersihkan dari beban Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam

Pasal 19.

4. Hapusnya Hak Tanggungan karena hak atas tanah yang dibebani

Hak Tanggungan tidak menyebabkan hapusnya utang yang

dijamin.12

Adapun mengenai masalah pembersihan obyek Hak Tanggungan

dari beban Hak Tanggungan disebutkan dalam Pasal 19 UUHT yang

meyatakan sebagai berikut;

1) Pembelian obyek Hak Tanggungan, baik dalam suatu pelelangan

umum atas perintah Ketua Pengadilan Negeri maupun dalam jual

beli sukarela, dapat meminta kepada pemegang Hak Tanggungan

agar benda yang dibelinya itu dibersihkan dari segala Hak

Tanggungan yang melebihi harga pembelian. Ketentuan ini

diadakan dalam rangka melindungi pembelian obyek Hak

Tanggungan, agar benda yang dibelinya terbebas dari Hak


12
Sutan Remy Sjahdeni, 1996. Hak Tanggungan Atas Tanah, Bandung, Hal.155

31
Tanggungan yang semula membebaninya, jika harga pembelian

tidak mencukupi untuk melunasi utang yang dijamin.

2) Pembersihan obyek Hak Tanggungan dari beban Hak Tanggungan

dilakukan dengan pernyataan tertulis dari pemegang Hak

Tanggungan yang berisi dilepaskannya Hak Tanggungan yang

membebani obyek Hak Tanggungan yang melebihi harga

pembelian.

3) Apabila obyek Hak Tanggungan dibebani lebih dari satu Hak

Tanggungan dan tidak terdapat kesepakatan di antara para

pemegang Hak Tanggungan tersebut mengenai pembersihan obyek

Hak Tanggungan dari beban yang melebihi harga pembeliannya

tersebut, pembeli benda dapat megajukan permohonan kepada

Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak

obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan untuk menetapkan

pembersihan pembagian hasil penjualan lelang diantara para

kreditor dan peringkat mereka menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Para pemegang Hak Tanggungan yang

tidak mencapai kesepakatan perlu berusaha sebaik-baiknya untuk

mencapai kesepakatan mengenai pembersihan obyek Hak

Tanggungan sebelum masalahnya diajukan pembeli kepada Ketua

Pengadilan Negeri. Apabila diperlukan dapat minta jasa penengah

yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

32
4) Permohonan pembersihan obyek Hak Tanggungan dari Hak

Tanggungan yang membebaninya sebagaimana dimaksud dalam

ayat (3) tidak dapat dilakukan oleh pembeli benda tersebut, apabila

pembelian demikian itu dilakukan dengan jual beli sukarela dan

dalam APHT yang bersangkutan para pihak telah dengan tegas

memperjanjikan bahwa obyek Hak Tanggungan tidak akan

dibersihkan dari beban Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f.

Dengan demikian jika Hak Tanggungan hapus karena hukum,

apabila karena pelunasan atau sebab-sebab lain, piutang yang dijaminnya

menjadi hapus. Dalam hal ini pencatatan hapusnya Hak Tanggungan

yang bersangkutan cukup didasarkan pada pernyataan tertulis dari

kreditor, bahwa piutang yang dijaminnya hapus. Pada buku tanah Hak

Tanggungan yang bersangkutan dibubuhkan catatan mengenai hapusnya

hak tersebut, sedangkan sertipikatnya ditiadakan. Pencatatan yang

serupa disebut pencoretan atau lebih dikenal sebagai “Roya”. Dilakukan

juga pada buku tanah dan sertipikat hak atas tanah yang semula dijadikan

jaminan. Sertipikat hak atas tanah yang sudah dibubuhi catatan tersebut,

diserahkan kembali kepada pemegang haknya.

I. Hak Tanggungan Atas Tanah

Istilah Hak Tanggungan yang berasal dari Hukum Adat tersebut,

melalui Undang-Undang Pokok Agraria ditingkat menjadi istilah lembaga

hak jaminan dalam sistem hukum nasional kita dan Hak Tanggungan

33
sebagai lembaga hak jaminan bagi tanah tersebut diharapkan menjadi

pengganti hipotek dari KUHPerdata. Dengan kata lain, lembaga hipotik

dan credietverband akan dijadikan satu atau dileburkan menjadi hak

tanggungan.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan dasar

Pokok-pokok Agraria menentukan bahwa hak milik, hak guna usaha, dan

hak guna bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak

Tanggungan. Menurut Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

pembebanan jaminan hutang dengan Hak Tanggungan akan diatur

dengan Undang-Undang. Setelah berlakunya Undang-Undang Pokok

Agraria, maka disediakan suatu lembaga hak jaminan yang kuat yang

dapat dibebankan pada hak atas tanah, yaitu Hak Tanggungan sebagai

pengganti lembaga hipotik dan creditverband, namun demikian selama

lebih dari tiga puluh tahun sejak berlakunya Undang-Undang Pokok

Agraria lembaga Hak Tanggungan belum dapat berfungsi sebagaimana

mestinya.

Dikarenakan belum ada Undang-Undang yang secara khusus

mengaturnya sebagaimana yang dikehendaki dalam Pasal 51 Undang-

Undang Pokok Agraria menjelaskan bahwa Hak Tanggungan yang dapat

dibebankan pada hak milik, hak guna-usaha dan hak guna-bangunan

tersebut dalam Pasal 25, 33 dan 39 diatur dengan Undang-undang.

Sehingga menurut Pasal 57 UUPA ketentuan mengenai hipotik dalam

buku Kedua Kitab Undang- Undang Hukum Perdata Indonesia dan

34
creditverband dalam Staatsblad 1908 nomor 542 sebagai yang telah

diubah dengan Staatsblad 1937 nomor 190 tetap berlaku.

Namun pada tanggal 9 April 1996 lahir Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan sehingga dengan berlakunya

Undang-Undang tersebut maka ketentuan mengenai hipotik dan

creditverband dinyatakan tidak berlaku lagi sebagaimana ditegaskan

dalam Pasal 29 UUHT. Dengan begitu dapat dipahami bahwa lembaga

hak jaminan atas tanah yang berlaku saat ini adalah Hak Tanggungan

yang menggantikan lembaga hipotik dan creditverband yang dianggap

sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan Bangsa

Indonesia.

Lembaga Hak Tanggungan yang diatur oleh Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta

Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah yang biasa dikenal dengan

“Undang-Undang Hak Tanggungan” untuk selanjutnya disebut UUHT.

Oleh karena itu, ketentuan Hypotheek dan Credietverband tersebut jelas

tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi dalam bidang

perkreditan dan hak jaminan sebagai akibat dari kemajuan pembangunan

ekonomi. Akibatnya, ialah timbulnya perbedaan pandangan dan

penafsiran mengenai berbagai masalah dalam pelaksanaan hukum

jaminan atas tanah.

Secara tersirat dikehendaki agar Undang-Undang Hak Tanggungan

yang baru ditetapkan tersebut, harus mampu memacu perkembangan dan

35
pembangunan ekonomi nasional. Selain itu, juga UUHT ini harus mampu

menjabarkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960 sekaligus menyesuaikannya dengan perkembangan

kebutuhan masyarakat masa kini dan menjawab tantangan ekonomi

global yang melanda Negara kita. Bahwa UUHT juga harus mampu

mengantisispasi perkembangan hukum jaminan modern yang tumbuh dan

berkembang dengan pesat dalam bidang perkreditan.

J. Pencoretan Hak Tanggungan / Roya

Setelah Hak Tanggungan hapus, maka dilakukan pencoretan

catatan atau roya hak tanggungan. Pencoretan catatan atau roya hak

tanggungan ini dilakukan demi ketertiban administrasi dan tidak

mempunyai pengaruh hukum terhadap hak tanggungan yang

bersangkutan yang sudah hapus. Sehubungan dengan itu sekaligus

dalam UUHT ditetapkan prosedur dan jadwal yang jelas mengenai

pelaksanaan pencoretan dan kepada Kantor Pertanahan diberi waktu 7

(tujuh) hari kerja setelah diterimanya permohonan untuk melaksanakan

pencoretan hak tanggungan itu.

Menurut Pasal 22 Undang-undang hak tanggungan setelah hak

tanggungan hapus, Kantor Pertanahan mencoret catatan hak tanggungan

tersebut pada buku tanah hak atas tanah dan sertifikatnya. Sedangkan

sertifikat hak tanggungan yang bersangkutan ditarik dan bersama-sama

buku tanah hak tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor

Pertanahan. Jika Sertifikat sebagaimana dimaksud diatas karena sesuatu

36
sebab tidak dikembalikan kepada Kantor Pertanahan, hal tersebut dicatat

pada buku tanah hak tanggungan.

Pencoretan Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan atas

dasar :

1. Permohonan yang diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan

melampirkan :

a. Sertipikat hak tanggungan yang telah diberi catatan oleh

kreditor bahwa hak tanggungan hapus karena piutang yang

dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan itu sudah lunas,

atau

b. Pernyataan tertulis dari kreditor bahwa hak tangungan telah

hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan hak

tanggungan itu telah lunas, atau

c. Pernyataan tertulis dari kreditor bahwa kreditor telah

melepaskan hak tanggungan yang bersangkutan;

2. Perintah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat

hak tanggungan yang bersangkutan didaftar dengan melampirkan

salinan penetapan atau putusan Pengadilan Negeri yang

besangkutan yang memerintahkan pencoretan hak tanggungan,

berhubung kreditor tidak bersedia memberikan pernyataan

sebagaimana dimaksud diatas, atau permohonan perintah

pencoretan timbul dari sengketa yang sedang diperiksa oleh

pengadilan negeri lain

37
Atas dasar itu kepala pertanahan melakukan pencoretan catatan

Hak Tanggungan menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan

perundang-undangan yang berlaku dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja

terhitung sejak diterimanya permohonan pencoretan hak tanggungan

tersebut. Pada buku tanah hak tanggungan yang bersangkutan

dibubuhkan catatan mengenai hapusnya hak tersebut, sedang

sertifikatnya ditiadakan. Pencatatan serupa dilakukan juga pada buku

tanah dan sertifikat hak atas tanah yang semula dijadikan jaminan.

Sertifikat hak atas tanah yang sudah dibubuhi catatan tersebut,

diserahkan kembali kepada pemegang haknya.

Seandainya sertifikat Hak Tanggungan karena sesuatu sebab tidak

dilampirkan bersamaan dengan surat roya atau tidak dikembalikan kepada

Kantor Pertanahan, maka pencoretan Hak Tanggungan tetap dilakukan

dan hal itu harus dicatat pada buku tanah Hak Tanggungan tetap

dilakukan dan hal itu harus dicatat pada buku tanah Hak Tanggungan

yang bersangkutan. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 22 ayat (3) UUHT.

Ketentuan dalam Pasal 22 ayat (3) UUHT ini merupakan ketentuan

yang sangat praktis. Dengan adanya surat roya dari kreditor yang

bersangkutan, kecuali roya partial sudah nyata, bahwa utang, untuk mana

diberikan jaminan, sudah tidak ada lagi atau paling tidak, ternyata bahwa

kreditor sudah tidak memerlukan jaminan Hak Tanggungan itu lagi.

Diwaktu yang sudah, penyelesaiannya dilakukan dengan prosedur yang

tidak praktis. Kalau sertipikat hipotek hilang, jalan keluarnya dengan

38
membuat akta consent roya didepan Notaris atau pihak kreditor, dengan

membawa Surat Keterangan Kehilangan dari Kepolisian dating

menghadap kepada dan membuat pernyataan tertulis di hadapan Kepala

Kantor.

Dalam peristiwa ini yang mengherankan bahwa consent roya yang

adalah pernyataan persetujuan untuk meroya, yang biasanya dipakai

untuk mengganti surat roya yang hilang, dipakai untuk mengganti sertifikat

hipotek yang hilang, padahal yang hilang di sini bukan surat royannya,

tetapi sertifikat hipoteknya.13

K. Roya Partial

Tujuan diadakannya Roya (pencoretan) pada buku tanah/sertipikat

tanah yang bersangkutan adalah agar dapat diketahui oleh umum bahwa

tanah-tanah tersebut telah bebas kembali dan tidak dibebani oleh Hak

Tanggungan serta di seimbangkan kembali keadaan hukum. Jika

pemberian hak, peralihan hak, pembebanan hak harus didaftarkan, maka

demikian pula penghapusan pembebanan juga harus dicatat agar dapat

diketahui oleh umum demi kepastian hukum dan kepastian hak. Setelah

berlakunya UUHT maka ketentuan hipotik dan creditverband menjadi tidak

berlaku lagi sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada

hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Pasal

2 ayat (1) UUHT menyatakan :

13
J. Satrio, 1998. Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Jilid II,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Hal.298

39
“Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika
diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2)“.

Ketentuan tersebut ternyata menyulitkan bagi debitor dalam

pelaksanaan Roya Partial Hak Tanggungan. Guna mengatasi kesulitan

tersebut maka dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Hak

Tanggungan menyatakan bahwa :

“Apabila Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah,


dapat diperjajikan dalam APHT yang bersangkutan, bahwa pelunasan
utang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya
sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian
dari obyek Hak Tanggungan, yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan
tersebut, sehingga kemudian Hak Tanggungan itu hanya membebani sisa
obyek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa utang yang belum dilunasi“.

Penghapusan (Roya) Hak Tanggungan sebagian inilah yang

disebut dengan Roya Partial. Kausula Roya Partial harus dimuat dalam

APHT yang bersangkutan, lembaga Roya Partial ini juga memungkinkan

bidang-bidang tanah yang merupakan bagian-bagian dari obyek Hak

Tanggungan menjadi terbebas dari angsuran sebesar yang diperjanjikan.

Bidang-bidang tanah tersebut kemungkinannya dapat dijual lagi atau

dijadikan jaminan bagi perolehan kredit baru dengan syarat-syarat yang

lebih menguntungkan dengan memberikan Hak Tanggungan baru

peringkat yang pertama. Namun dalam prakteknya Roya Partial belum

bisa dilaksanakan sepenuhnya. Hal tersebut disebabkan dalam Pasal 2

ayat (2) mensyaratkan adanya perjanjian Roya Partial terlebih dahulu.

Disatu sisi Peraturan Menteri Agraria nomor 3 Tahun 1997 membantu

memudahkan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUHT.

40
Pasal 22 ayat (9) Undang-Undang Hak Tanggungan memberikan

pegangan kepada para pihak yang mengenai pelaksanaan Roya Partial,

sebagai yang dimungkinkan oleh Pasal 2 ayat (2) UUHT, Pasal 2 ayat (2)

tersebut memberikan kesempatan untuk menyimpangi prinsip : “Hak

Tanggungan tidak dapat di bagi-bagi”, dengan jalan memberikan

kesempatan kepada para pihak, untuk memperjanjikan roya atas sebagian

daripada beberapa persil yang dijaminkan seiring dengan pembayaran

sebagian dari utang debitor, yang besarnya sudah disepakati bersama,

sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) tersebut di atas.

Mengenai kemungkinan Roya Partial diatur lebih lanjut dalam Pasal

22 ayat (9) Undang-Undang Hak Tanggungan yang mengatakan :

“Apabila pelunasan utang dilakukan dengan cara angsuran


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), hapusnya Hak
Tanggungan pada bagian objek Hak Tanggungan yang bersangkutan
dicatat pada buku tanah dan sertifikat Hak Tanggungan serta pada buku
tanah dan sertifikat hak atas tanah yang telah bebas Hak Tanggungan
yang semula membebaninya”.

Pada surat permohonan roya yang diberikan oleh kreditor, disebutkan

dengan jelas hak atas tanah yang mana, yang dengan itu dimohon

royanya. Permohonan itu dilengkapi dengan sertifikat hak atas tanah yang

hendak diroya dan sertifikat Hak Tanggungan yang bersangkutan.

Untuk sertifikat hak atas tanahnya, proses roya dilakukan seperti

tersebut di atas. Yang berbeda adalah pada segi sertifikat Hak

Tanggungannya, karena dalam peristiwa roya partial sertifikatnya Hak

Tanggungannya tidak ditarik kembali oleh Kantor Pertanahan, tetapi

hanya diberikan catatan, persil mana, yang merupakan sebagian dari

41
persil-persil jaminan (atau bagian mana dari sertifikat induk), yang

dikeluarkan dari jaminan (dicoret), sedang persil-persil yang lain (atau sisa

sertifikat induk) tetap terikat sebagian jaminan utuk sisa utang. Sertifikat

Hak Tanggungan selanjutnya dikembalikan kepada kreditor.

Pendaftaran hapusnya Hak Tanggungan atas Sebagian objek Hak

Tanggungan dapat dilakukan berdasarkan pelunasan utang yang dijamin,

dengan ketentuan bahwa objek Hak Tanggungan terdiri dari beberapa hak

dan kemungkinan hapusnya sebagian Hak Tanggungan karena pelunasan

sebagian utang tersebut diperjanjikan di dalam APHT. Demikian pula

pendaftaran hapus Hak Tanggungan atas sebagian obyek Hak

Tanggungan dapat dilakukan walaupun tidak memenuhi ketentuan

sebagaimana tersebut di atas berdasarkan pelepasan Hak Tanggungan

atas sebagian objek Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan

yang dituangkan dalam akta autentik atau surat pernyataan di bawah

tangan dengan mencatumkan secara jelas bagian dari objek Hak

tanggungan yang dibebaskan dari hak tanggungan itu.

Pendaftaran hapusnya Hak Tanggungan atas sebagian obyek Hak

Tanggungan yang merupakan suatu hak yang sudah terdaftar tersendiri

dilakukan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud di atas. Sedangkan

pendaftaran hapusnya Hak Tanggungan atas sebagian dari obyek Hak

Tanggungan yang tidak merupakan suatu hak atas tanah yang terdaftar

tersendiri karena merupakan bagian dari hak atas tanah yang lebih besar

42
dilakukan setelah pemecahan atau pemecahan bidang tanah yang

bersangkutan.14

14
Kashadi, 2000. Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia, Semarang, Hal.64

43
BAB III

METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian maka

jenis/tipe penelitian ini adalah penelitian hukum empiris. Menurut Hilman

Hadikusuma dengan metode pendekatan yang digunakan adalah metode

pendekatan empiris, yaitu suatu pendekatan yang dilakukan untuk

menganalisis tentang sejauh manakah suatu peraturan/perundang-

undangan atau hukum yang sedang berlaku secara efektif. Kenyataan-

kenyataan yang terjadi dalam praktek pelaksanaan Roya Partial ini akan

dilihat dari sudut yuridis mengenai lembaga hubungan hukum, hambatan-

hambatan yang terjadi dan cara penyelesaian. 15 Adapun demikian

penelitian terhadap identifikasi hukum yang dimaksud untuk mengetahui

hukum yang tidak tertulis berdasarkan hukum yang berlaku dalam

masyarakat.16 Dalam proposal penelitian ini penulis mengambil studi

kasus dengan melakukan penelitian di Kantor Badan Pertanahan

Nasional Kota Makassar.

B. Jenis dan Sumber Data

Untuk menunjang penulisan skripsi ini, digunakan sumber- sumber

data yaitu:

a. Data Primer

15
Hilman hadikusuma, 1995. Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum,
Bandung: Mandar Maju, Hal.61
16
H. Zainuddin Ali, 2011. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, Hal.30

44
Data Primer adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber asli.

Sumber asli disini diartikan sebagai sumber pertama darimana data

tersebut diperoleh. Sumber data primer dalam kegiatan penelitian ini

diperoleh secara langsung di lapangan yang dalam hal ini diperoleh

melalui wawancara yaitu cara memperoleh informasi dengan sertanya

langsung pada pihak-pihak yang diwawancarai terutama orang-orang

yang bersangkutan, mengetahui dan terkait dengan pelaksanaan Roya

Partial.

b. Data Kepustakaan

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data

Kepustakaan, yaitu data yang bersumber dari Peraturan Perundang-

undangan, literatur-literatur, buku-buku, Kamus Ensiklopedia serta

jurnal yang terkait dengan judul skripsi ini.

C. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang obyektif maka penulis mengumpulkan

data dengan metode sebagai berikut :

1) Wawancara

Wawancara adalah merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar

informasi dan ide melalui Tanya jawab, sehingga dapat dikontruksikan

makna dalam suatu topic tertentu. Metode pengumpulan data ini

dilakukan dengan mengajukan pertanyaan atau tanya jawab secara

langsung. Tanya jawab ini diajukan ke bagian Sub Seksi Peralihan Hak

45
Pembebanan & PPAT di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota

Makassar.

2) Dokumentasi

Metode ini digunakan untuk melihat keadaan yang ada pada Kantor

Badan Pertanahan Nasional Kota Makassar. Pada metode ini dilakukan

survey mengenai data–data Roya Partial Hak Tanggungan pada

khususnya yang berupa catatan, transkip, buku agenda dan dokumen-

dokumen dari obyek yang diteliti.

3) Observasi

Observasi adalah pengamatan secara langsung Meliputi kegiatan

pemuatan perhatian terhadap suatu obyek dengan menggunakan

seluruh alat indera. Penulis melakukan kegiatan observasi langsung ke

lapangan dengan mengamati dan melakukan pencatatan terhadap

pelaksanaan Roya Partial Hak Tanggungan. Kegiatan ini dilakukan di

Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Makassar. Hal-hal yang

diamati adalah:

1. Berkas atau dokumen yang diserahkan pemohon kepada Kantor

Badan Pertanahan Nasional Kota Makassar sebagai persyaratan

Roya Partial Hak Tanggungan.

2. Pengolahan dokumen yang dilakukan oleh pegawai Kantor

Badan Pertanahan Nasional Kota Makassar.

3. Penerbitan dan penyerahan sertifikat kepada pemohon.

46
D. Analisis Data

Untuk mendapatkan suatu hasil penulisan yang baik, maka

pengolahan data yang digunakan penulis adalah diskriptif analisis yaitu

suatu prosedur pemecahan masalah yang diteliti dengan menggambarkan

atau menuliskan keadaan subyek atau obyek yang diteliti pada saat

sekarang ini berdasarkan data-data yang ada. Maka analisis data yang

dipergunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap data primer dan

sekunder. Dimana dalam menganalisis/pengolahan data terlebih dahulu

diadakan pengorganisasian terhadap data primer yang diperoleh melalui

wawancara yang dilakukan penulis. Data yang terkumpul itulah yang

selanjutnya dibahas, disusun, dan ditafsirkan serta dikaji permasalahan

sehingga diperoleh suatu kesimpulan sebagai upaya pemecahan masalah

47
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penghapusan Hak Tanggungan Roya Partial. Untuk dapat

melakukan Roya Partial, maka klausula roya Partial harus dimuat dalam

Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan. Klausula Roya

Partial tersebut biasanya banyak dijumpai dalam praktek Perbankan, yaitu

sebelum dilakukan ikatan jaminan, telah disepakati oleh Kreditor dan

Debitor bahwa terhadap obyek Hak Tanggungan yang akan dibebani Hak

Tanggungan dapat ditentukan besarnya nilai jaminan terhadap masing-

masing obyek Hak Tanggungan tersebut.

Manfaat dari adanya Roya Partial yaitu bahwa terhadap bidang-

bidang tanah yang merupakan obyek Hak Tanggungan yang telah

dibebaskan oleh Debitor, maka bidang-bidang tanah itu kemudian dapat

dijual atau dijadikan jaminan bagi perolehan kredit baru dengan syarat-

syarat yang lebih menguntungkan dengan memberikan Hak Tanggungan

baru peringkat pertama.17

Berdasarkan wawancara dengan Pejabat Rosiana Natalia Tulenan,

S.Kom., M.H. Bagian Peralihan Hak, Pembebanan Hak, dan PPAT

dijelaskan bahwa persyaratan yang harus dipenuhi Debitur sebelum

mengajukan permohonan Roya Partial Hak Tanggungan menurut

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor

1 Tahun 2010 Tentang Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan 18.


17
Boedi harsono. 1999. Hukum Agraria Indonesia Jilid I. Jakarta: Djambatan, Hal.411
18
Wawancara, Rosiana Natalia Tulenan, S.Kom., M.H., Pejabat, Kantor BPN Kota
Makassar Bagian Peralihan Hak, Pembebanan Hak, dan PPAT pada Kantor BPN Kota

48
Dari wawancara dengan Staff Kantor Notaris Muh. Asyurah, S.H.,

M.Kn. Dijelaskan bahwa setelah Debitur melunasi hutangnya pada

Kreditur, kemudian kreditur membuat surat permohonan roya kepada

Kantor Pertanahan dimana Hak Tanggungan tersebut didaftarkan isinya

menyatakan karena hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan sudah

dilunasi, maka Hak Tanggungan hapus dan atas dasar itu mohon untuk

Roya Hak tanggungan pada sertipikat hak atas tanah milik Debitur. Dalam

surat permohonan Roya tersebut dilampirkan asli sertipikat hak atas tanah

dan asli sertipikat Hak Tanggungan dan dalam sertipikat hak atas tanah

diberi catatan oleh kreditur, surat permohonan roya itu diberikan kepada

debitur atau Notaris PPAT dimana Hak Tanggungan tersebut

dilaksanakan. Oleh Notaris dibuatkan Kembali surat permohonan ke

kantor pertanahan, setelah itu Debitur atau Notaris menyerahkan surat

permohonan Roya tersebut ke Kantor Pertanahan untuk dilakukan

percoretan catatan beban Hak Tanggungan pada sertipikat hak atas tanah

Debitur. Kemudian Kantor Pertanahan melakukan Roya atau pencoretan

catatn Hak Tanggungan pada seritipikat hak atas tanah dan buku tanah

debitur, dengan demikian Hak Tanggungan tersebut hapus. 19

Dasar Hukum Hapusnya Hak Tanggungan Roya Partial adalah

sebagai berikut:

a. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-

Pokok Agraria (UUPA);

Makassar, 6 agustus 2021


19
Wawancara, Staff Kantor Notaris PPAT Muh. Asyurah, Kota Makassar, 8 agustus 2021

49
b. Pasal 22 juncto 18 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996;

c. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah;

d. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan

Peraturan Pemerinntah Nomor 24 Tahun 1997;

e. Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2002 Tentang Tarif Atas

Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan

Pertanahan Nasional;

f. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 600-1900

tanggal 31 bulan Juli Tahun 2003.

A. Pelaksanaan Roya Partial Hak Tanggungan di Kantor Badan

Pertanahan Nasional Kota Makassar.

1. Ketentuan Yang Mengatur Mengenai Roya Partial Hak

Tanggungan

Keberadaan roya tidak dapat dipisahkan dengan hak tanggungan,

hal tersebut disebabkan oleh karena hak tanggungan yang merupakan

hak kebendaan yaitu suatu hak yang dapat dituntut oleh pemegangnya

dari pihak ketiga yang menguasai atau memiliki objek hak tanggungan itu

apabila objek hak tanggungan itu kemudian dialihkan oleh pemberian hak

tanggungan semula.20 Mengingat Hak Tanggungan yang merupakan hak

kebendaan itu maka terhadap hapusnya Hak Tanggungan harus pula


20
Sutan Remy Sjahdeini, 1999. Hak Tanggungan Asas-Asas. Ketentuan-Ketentuan
Pokok Dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-
Undang Hak Tanggungan), Bandung: Penerbit Alumni. Hal.148

50
disertai dengan penghapusan pencatatannya dalam buku tanah hak atas

tanah yang menjadi objek hak tanggungan.

Tujuan diadakannya Roya/pencoretan pada buku tanah/sertipikat

hak atas tanah yang bersangkutan adalah agar dapat diketahui oleh

umum bahwa tanah-tanah tersebut telah bebas kembali dan tidak

dibebani oleh Hak Tanggungan serta di seimbangkan kembali keadaan

hukum. Jika pemberian hak, peralihan hak, pembebanan hak harus

didaftarkan, maka demikian pula penghapusan pembebanan juga hasrus

dicatat agar dapat diketahui oleh umum demi kepastian hukum dan

kepastian hak. Dalam ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Hak

Tanggungan dinyatakan bahwa:

“Hak tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali


jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)
sebagaimana dimaksud pada Ayat (2)”

Ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan telah

memberikan kemudaha bagi pelaksanaan Roya partial Hak Tanggungan,

namu dalam pelaksanaannya roya partil tersebut menimbulkan

pertentangan antar peraturan yang mengatur mengenai roya partial hak

tanggungan. Hal tersebut disebabkan dalam Pasal 2 Ayat (2)

mensyaratkan adanya perjanjian roya partial terlebih dahulu. Disatu sisi

peraturan Menteri Agraria Nomor 3 Tahun 1997 membantu kesulitan yang

diakibatkan dalam ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Hak

Tanggungan namun disisi lain ketentuan dalam Peraturan Menteri Agraria

Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 124 Ayat (2) justru menyimpang dari

51
ketentuan diatasnya yaitu Undang-Undang Hak Tanggungan, hal tersebut

bertentangan dengan asas yang berlaku dalam ilmu yakni ketentuan yang

lebih rendah tidak boleh bertentang dengan ketentuan yang berada

diatasnya . (lex priori derogate lex superior).

Ketentuan dalam Undang-Undang Hak tanggungan yang

memberikan perlindungan baik terhadap Kreditur maupun Debitur, antara

lain :

a. Dalam ketentuan Pasal 12 UUHT terdapat adanya larangan

terhadap kreditur untuk memiliki obyek Hak Tanggungan apabila

kreditur cidera janji. Janji yang memberikan kewenangan kepada

Pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki obyek Hak Tanggungan

tersebut apabila Debitur cidera janji adalah batal demi hukum.

b. Dalam ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUHT, atas kesepakatan

Pemberi dan Pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak

Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan

demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang

menguntungkan semua pihak, dalam hal ini adalah pihak Kreditur

dan Debitur. Penjualan di bawah tangan ini tentunya harus

memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana diatur dalam pasal

20ayat (3) UUHT, tidak dipenuhinya persyaratan yang ditentukan

tersebut,jual-beli di bawah tangan menjadi batal demi hukum.

c. Dalam ketentuan Pasal 14 ayat (4) UUHT, memungkinkan untuk

diperjanjikan setelah Hak Tanggungan didaftar pada Kantor

52
Pertanahan, sertipikat hak atas tanah maupun sertipikat Hak

Tanggungan dapat diambil, diterima dan disimpan oleh Kreditur

untuk mempermudah Kreditur di dalam melaksanakan hak-haknya

sebagai Pemegang Hak Tanggungan.

2. Syarat-syarat Roya Partial Hak Tanggungan

Roya Partial dapat dilakukan apabila dalam APHT, yang didalamnya

terdapat beberapa objek Hak Tanggungan yang dijaminkan, dicantumkan

perjanjian Roya (pencoretan) untuk sebagian (partial) objek Hak

Tanggungan yang telah dilunasi pembayaran hutangnya. Pencantuman

perjanjian inilah sebenaranya yang menjadi dasar berlakunya Roya Partial

dalam sertipikat Hak Tanggungan oleh Kantor Pertanahan. Karena

apabila tidak diperjanjikan maka yang akan berlaku adalah ketentuan


21
pelaksanaan Roya secara keseluruhan. Sebagaimana diatur dalam

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan, yang menyebutkan;

“Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali


jika diperjanjikan dalam akta pemberian Hak Tanggungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
Dengan demikian untuk dapat melaksanakan Roya Partial terhadap

sebuah Hak Tanggungan maka dalam APHT harus diperjanjikan bahwa

pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran

yang besarnya sama dengan nilai masing-masing Hak Atas Tanah yang

merupakan bagian dari objek Hak Tanggungan, yang akan dibebaskan

dari Hak Tanggungan tersebut, sehingga kemudian Hak Tanggungan itu

21
Wawancara, Rosiana Natalia Tulenan, S.Kom., M.H., Pejabat, Kantor BPN Kota
Makassar Bagian Peralihan Hak, Pembebanan Hak, dan PPAT pada Kantor BPN Kota
Makassar, 6 agustus 2021

53
hanya membebani sisa objek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa

utang yang belum dilunasi. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka

Roya Partial dapat dilakukan dan didaftarkan berdasarkan pelunasannya

sebagian objek yang dijamin, dengan ketentuan bahwa;

1. Objek Hak Tanggungan terdiri atas beberapa Hak Atas Tanah;

2. Kemungkinan hapusnya sebagian Hak Tanggungan karena

pelunasan sebagian utang tersebut diperjanjikan dalam APHT.

Namun dalam praktek lembaga Roya Partial ini banyak dipakai pada

pembebanan Hak Tanggungan dalam perjanjian kontruksi antara

pengembang dengan pihak bank dengan jaminan objek Hak Tanggungan.

Pengembang yang akan membangun suatu komplek perumahan tentunya

memerlukan dukungan dana yang cukup besar, tidak semua pengembang

yang akan melaksanakan proyek pembangunan memili dana yang cukup

guna menyelesaikan proyek tersebut. Selain itu pada saat pembebanan

Hak Tanggungan pada perjanjian kontruksi, pihak pengembang

memberikan agunan berupa lahan kosong untuk dibebani Hak

Tanggungan, oleh karena itu dalam APHT tidak dimasukan perjanjian

Roya Partial, karena objek Hak Tanggungan tersebut masih merupakan

sertipikat induk yang belum dilakukan pemecahan sehinggan belum dapat

dipastikan baik ukuran luas dan nilai masing-masing bidang tanah yang

kelak akan dibangun unit-unit rumah oleh pengembang. Keadaan ini akan

menyulitkan pihak pengembang yang telah melunasi sebagian utangnya. 22

22
Ibid.

54
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional

menyadari bahwa dalam prakteknya sulit untuk memenuhi kententuan

Pasal 2 ayat (2) tersebut, oleh karena itu dalam salah satu ketentuan

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, pada

Pasal 124 ayat (2) diatur bahwa;

“Pendaftaran hapusnya hak tanggungan atas sebagian objek hak


tanggungan juga dapat dilakukan walaupun tidak memenuhi ketentuan
ayat (1) berdasarkan pelepasan hak tanggungan atas sebagian objek hak
tanggungan oleh pemegang hak tanggungan yang dituangkan dalam akta
otentik atau surat pernyataan dibawah tangan dengan mencamtumkan
secara jelas bagian dari objek hak tanggungan yang dibebaskan dari hak
tanggungan”

Dengan adanya ketentuan tersebut di atas, maka dimungkinkan

oleh Kantor Pertanahan untuk melakukan Roya Partial meskipun tidak

terdapat perjanjian sebelumnya dalam APHT untuk bisa melakukan Roya

Partial. Dengan demikian terdapat kemudahan dalam pelaksanaan Roya

Partial.23 Namun dalam perkembangan selanjutnya muncul surat Edaran

Deputi Bidang Pengukuran Tanah Nomor: 600-494-D.IV tanggal 8 februari

2000, pada point (5) yang menyatakan: 24

“Pendaftaran hapusnya hak tanggungan atas sebagian objek hak


tanggungan hanya dapat dilakukan apabila objek hak tanggungan terdiri
dari beberapa hak tanggungan atas tanah dan atau beberapa hak atas
satuan rumah susun dimana kemungkinan hapusnya sebagian objek hak
tanggungan tersebut telah diperjanjikan terlebih dahulu dalam Akta
Pemberiak Hak Tanggungan (Pasal 2 UU No. 4 Tahun 1996).”

23
Ibid.
24
Ibid.

55
Ketentuan tersebut tentu saja membingungkan masyarakat dan

menyulitkan Kantor Pertanahan dalam melaksanakan tugas-tugasnya.

Adanya surat edaran deputi bidang pengukuran dan pendaftaran tanah

tersebut akan menyulitkan bagi debitor yang telah melunasi sebagian

hutang-hutangnya untuk meminta pencoretan sebagian objek Hak

Tanggungan. Kondisi ini dapat merugikan kedudukan hukum debitor

karena tidak adanya kepastian hukum. Kemudahan yang diberikan oleh

Pasal 124 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan

Pelaksanaan Peraturan Pemerintan Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah, menjadi tidak berarti dengan adanya surat edaran

deputi bidang pengukuran dan pendaftran tanah yang memerintahkan

kembali kepada ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. 25

Akibat adanya Surat Edaran Deputi Bidang Pengukuran dan

Pendaftaran Tanah Nomor: 600-494-D.IV tanggal 8 februari 2000, maka:

1. Untuk pemecahan sertipikat induk dalam kredit konstruksi yang telah

dibebani hak tanggungan namun tidak diperjanjikan dalam APHT

mengenai klausula Roya Partial maka tidak dapat dilakukan Roya

Partial;

2. Akibat tidak diaturnya klausula Roya Partial dalam APHT, terhadap

pemecahan sertipikat induk akan mengakibatkan gugurnya hak

tanggungan yang membebani bidang tanah tersebut;

25
Ibid.

56
3. Roya Partial dapat dilakukan dalam didaftarkan berdasarkan

pelunasannya sebagian objek yang dijamin, dengan ketentuan bahwa;

a. Objek Hak Tanggungan terdiri atas beberapa ha katas tanah;

b. Kemungkinan hapusnya sebagian Hak Tanggungan karena

pelunasan sebagian utang tersebut diperjanjikan dalam APHT

Saat ini setelah terbitnya Peraturan Kepala Badan Pertanahan

Nasional Republik Indonesia (Perkaban) Nomor 8 Tahun 2012 Tentang

Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang

Pendaftaran Tanah tanggal 27 Desember 2012, maka sejak tanggal 1

april 2013 format akta pejabat pembuat akta tanah (PPAT) termasuk

APHT telah memuat klausula-klausula Roya Partial sebagaimana dalam

Pasal 2 APHT26 yaitu:

“Hak Tanggungan tersebut di atas diberikan oleh Pihak Pertama

dan diterima oleh Pihak Kedua dengan janji-janji yang disepakati oleh

kedua belah pihak sebagaimana diuraikan di bawah ini:

- Debitor dapat melakukan pelunasan utang yang dijamin dengan hak

tanggungan di atas, dengan cara angsuran yang besarnya sama

dengan nilai masing-masing ha katas tanah yang merupakan bagian

dari objek hak tanggungan yang akan disebut di bawah ini, dan yang

akan dibebaskan dari hak tanggungan tersebut, sehingga kemudian

26
Ibid.

57
hak tanggungan itu hanya membebani sisa objek hak tanggungan

untuk menjamin sisa hutang yang belum dilunasi;

- Dalam hal objek hak tanggungan kemudian dipecah sehingga hak

tanggungan membani beberapa hak atas tanah, debitor dapat

melakukan pelunasan utang yang dijamin dengan hak tanggungan

dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-

masing hak atas tanah tersebut, yang akan dibebaskan dari hak

tanggungan, sehingga kemudian hak tanggungan itu hanya

membebani sisa objek hak tanggungan untuk menjamin sisa

hutangnya yang belum dilunasi. Nilai masing-masing hak atas tanah

tersebut akan ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pihak

pertama dan pihak kedua.

Dengan adanya ketentuan tersebut Roya Partial dapat dilakukan

walaupun sertipikat induk yang dibebani hak tanggungan dipecah-pecah

menjadi beberapa sertipikat, dan hak tanggungan masih membebani

sertipikat hasil pemecahan tersebut, kecuali apabila debitur melunasi

sebagian hutangnya sehinggah hak tanggungan hanya membebani

sebagian dari sertipikat hak atas tanah yang masing terikat menjasi objek

hak tanggungan.

Roya partial yang pernah dilakukan oleh Kantor Badan Pertanahan

Nasional Kota Makassar sejak tahun 2015 sampai dengan 2021 terdapat

72 kali roya partial. Salah satu roya partial terhadap hak tanggungan

adalah terhadap objek hak tanggungan sertipikat hak milik nomor 201 dan

58
209 yang dibebani hak tanggungan dengan nomor sertipikat hak

tanggungan nomor 09670/2016, dimana pada tahun 2017 dilakukan roya

partial terhadap sertipikat nomor 209, sehingga tersisa sertipikat nomor

201 yang masih terbebani hak tanggungan nomor 09670/2016. Roya

partial lainnya adalah terhadap objek hak tanggungan sertipikat hak milik

nomor 1197, 1192, 1196 dan 1206 yang dibebani hak tanggungan dengan

nomor sertipikat hak tanggungan nomor 06576/2016 yang pada

Desember 2018 dilakukan roya partial terhadap sertipikat nomor 1192 dan

1206 sehingga hanya sertipikat nomor 1196 dan 1197 yang masih

terbebani hak tanggungan nomor 06576/2016. 27

3. Tata cara Roya Partial Hak Tanggungan di Kantor Badan

Pertanahan Makassar.

Permohonan Roya Partial diajukan kepada Kantor pertanahan

kabupaten/kota. Roya dilakukan demi ketertiban administrasi. Dalam

undang-undang Hak Tanggungan ditetapkan bahwa prosedur dan jadwal

yang jelas mengenai pelaksanan pencoretan dan kepala kantor

pertanahan hanya diberi waktu tujuh hari kerja setelah diterimanya

permohonan untuk melaksanakan pencoretan hak tanggungan itu.

Pencoretan pendaftran hak tanggungan adalah suatu perbuatan perdata

yang mengikuti hapusnya hak tanggungan. Dalam rumusan Pasal 22 ayat

(1) Undang-Undang Hak Tanggungan secara jelas dikatakan:

“Setelah hak tanggungan hapus sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 18, kantor pertanahan mencoret catatan hak tanggungan tersebut
pada buku-buku hak atas tanah dan sertipikatnya”
27
Ibid.

59
Sesuai ketentuan dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan dan

Pengaturan Pertanahan, Persyaratan untuk melakukan Pendaftaran Roya

adalah :

a. Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani

pemohon atau kuasanya di atas materai cukup.

b. Surat Kuasa apabila dikuasakan.

c. Fotocopy identitas pemohon (KTP, KK) dan kuasa apabila

dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas

loket.

d. Fotocopy Akta Pendirian dan Pengesahan Badan Hukum yang

telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket, bagi badan

hukum.

e. Sertipikat tanah dan Sertipikat Hak Tanggungan dan/atau

konsen roya jika sertipikat Hak Tanggungan hilang.

f. Surat Roya/Keterangan Lunas/Pelunasan Hutang dari Kreditur.

g. Fotocopy KTP pemberi HT (debitur), penerima HT (Kreditur)

dan/atau kuasanya yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh

petugas loket.

Apabila hak tanggungan hapus, maka kantor pertanahan melakukan

roya (pencoretan) catatan hak tanggungan pada buku tanah hak atas

tanah dan sertipikatnya. Sertipikat hak tanggungan dinyatakan tidak

60
berlaku oleh Kantor Pertanahan. 28 Apabila sertipikat karena sesuatu sebab

tidak dikembalikan kepada kantor pertanahan, hal tersebut dicatat pada

buku tanah hak tanggungan. Prosedur pencoretan adalah permohonan

pencoretan dilakukan oleh pihak yang berkepentingan dengan

melampirkan hal-hal sebagai berikut:

1. Sertipikat hak tanggungan yang telah diberi catatan oleh kreditur

bahwa hak tanggungan hapus karena piutangnya lunas;

2. Pernyataan tertulis dari kreditur bahwa hak tanggungan telah hapus

karena piutang yang dijamin dengan hak tanggungan telah lunas

atau kreditur melepaskan hak tanggungan yang bersangkutan.

3. Apabila kreditur tidak bersedia memberikan pernyataan,

sebagaimana dikemukakan diatas maka pihak yang

berkepentingan dapat mengajukan permohonan perintah

pencoretan kepada ketua pengadilan negeri yang daerah

hukumnya meliputi tempat hak tanggungan yang bersangkutan

didaftar, tetapi apabila permohonan perintah pencoretan timbul dari

sengketa yang sedang diperiksa oleh pengadilan negeri lain,

permohonan tersebut harus diajukan kepada ketua pengadilan

negeri yang memeriksa perkara yang bersangkutan

Permohonan pencoretan catatan hak tanggungan berdasarkan

penetapan pengadilan negeri tersebut ditunjukan kepada kepala kantor

pertanahan dengan melampirkan Salinan penetapan atau putusan

pengadilan negeri yang bersangkutan. Setelah menerima permohonan


28
Ibid.

61
tersebut, maka kepala kantor pertanahan melakukan pencoretan menurut

tata cara yang ditetapkan peraturan perundang-undang yang berlaku 7

hari kerja. Dalam roya partial, sertipikat hak tanggungan tidak ditarik

Kembali oleh kantor pertanahan, tetapi hanya diberikan catatan, persil

mana yang dicoret dan persil-persil lain tetap terikat sebagai jaminan sisa

hutang. Dalam hal sertipikat hak tanggungan hilang, penghapus hak

tanggungan harus terlebih dahulu membuat akta konsen roya dengan akta

notaris.29

B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Roya Partial Hak

Tanggungan di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Makassar

Faktor-faktor kendala yang dihadapi oleh Kantor Badan Pertanahan

Nasional Kota Makassar dalam pelaksanaan Roya Partial ini terkait

dengan adanya ketentuan peraturan yang saling bertentangan satu sama

lain. Disamping itu juga penetapan peraturan-peraturan tersebut yang

tidak sesuai dengan kondisi dilapangan, dimana secara empiris ketentuan

normatif yang termuat dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Hak

Tanggungan sangat sulit untuk dilakukan, mengingat banyak terjadi akta

pemberian hak tanggungan (APHT) tidak memuat perjanjian roya partial

(pencoretan sebagian) obyek hak tanggungan terhadap pelunasan

sebagian hutang-hutang yang dijamin dengan hak tanggungan. Selain itu

tidak tercantum bagian-bagian mana dari sertipikat induk yang dipecah

setelah terikat hak tanggungan yang dapat dilakukan roya partial.

29
Ibid.

62
Untuk mengatasi kesulitan tersebut Menteri Negara Agraria/Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah yang salah satu pasalnya mengatur tentang

pelepasan hak tanggungan atas sebagian obyek hak tanggungan.

Sayangnya dalam perkembangan selanjutnya muncul surat edaran deputi

pendaftaran tanah yang menyatakan untuk kembali tetap berpegang

kepada Pasal 2 Undang-Undang Hak Tanggungan. Ketentuan tersebut

tentu saja membingungkan masyarakat dan menyulitkan kantor

pertanahan dalam pelaksanaan tugas-tugasnya. Adanya surat edaran

deputi pendaftran tanah akan menyulitkan bagi debitur yang telah

melunasi sebagian hutang-hutangnya untuk meminta pencoretan

sebagian obyek hak tanggungan. Kondisi ini dapat merugikan kedudukan

hukum debitur karena tidak adanya kepastian hukum. Kemudian yang

diberikan dalam ketentuan Pasal 124 Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997

Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997 Tentang Pendaftaran Tanah menjadi tidak berarti dengan adanya

surat edaran deputi pendaftaran tanah yang memerintahkan untuk

kembali kepada ketentuan Undang-Undang Hak Tanggungan. 30

Adapun beberapa kendala lain dalam pelaksanaan Roya partial di

kantor badan pertanahan nasional kota makassar yang antara lain

sebagai berikut :
30
Ibid.

63
1. Jangka waktu Roya melebihi 7 (tujuh) hari sejak tanggal permohonan

Dalam Pasal 22 ayat 8 Undang-Undang Hak Tanggunan disebutkan

bahwa Kantor Badan Pertanahan Nasional pencoretan beban Hak

Tanggungan menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan

perundang-perundangn yang berlaku dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja

terhitung sejak diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud pada

ayat 4 dan ayat 7.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 22 ayat 8 Undang-Undang Hak

Tanggungan ini maka jangka waktu pelaksanaan roya seharusnya tidak

melebihi jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak tanggal permohonan roya

diterima secara lengkap. Tetapi dalam pelaksanaan roya hak tanggungan

tersebut mencapai 21 (dua puluh satu) hari sejak permohonan roya

diterima secara lengkap. Kalau ditelusuri terdapat beberapa faktor yang

menyebabkan jangka waktu roya melebihi 7 (tujuh) hari sejak tanggal

permohonan diterima secara lengkap.

Pertama, dalam praktek hambatan untuk pelaksanaan roya juga

disebabkan karena petugas yang menanganinya atau Kepala Kantor

Pertanahan tidak berada di tempat atau dinas ke luar kota. Kedua, dalam

beberapa kasus ditemukan pula adanya hambatan dalam penyelesaian

roya melebihi 7 (tujuh) hari sejak berkas diterima secara lengkap adalah

buku tanah sedang menjadi barang bukti di pengadilan baik pengadilan

dalam rangka penyelesaian perkara Perdata, Tata Usaha Negara ataupun

Pidana. Keterlambatan dalam pelaksanaan roya ini cukup merugikan

64
pemilik tanah karena tidak dapat dilakukan perbuatan hukum berupa

peralihan hak dan pembebanan hak atas tanah tersebut. Kenyataan ini

misalnya dalam hal sertipikat hak atas tanah itu direncanakan akan

kembali menjadi jaminan kredit untuk mendapatkan fasilitas kredit

tertentu. Selain itu keadaan itu juga akan merugikan pemilik tanah dalam

hal rencana penjualan hak atas tanah tersebut kepada pihak lain. 31

2. Kelengkapan Persyaratan Roya Tidak Dipenuhi.

Dalam praktek adakalanya permohonan roya hak tanggungan

dilakukan oleh Notaris/PPAT untuk kepentingan debitur. Berkaitan dengan

permohonan ini tidak jarang ditemukan adanya permohonan yang

dikembalikan untuk diperbaiki atau dilengakapi atau ditolak atas dasar

ketentuan hukum yang berlaku.32 Beberapa keadaaan yang sering muncul

adalah:

a. Roya tanpa melampirkan pengantar kreditor.

b. Roya tanpa melampirkan sertipikat hak tanggungan/konsen/laporan

c. Roya tanpa pendaftaran perubahan nama yang sudah terjadi.

d. Roya tanpa pendaftaran cessie yang sudah terjadi.

e. Roya tanpa pendaftaran perobahan nama dan cessie yang sudah

terjadi.

31
Ibid.
32
Ibid.

65
Banyak hambatan yang ditemui dalam praktek untuk pelaksanaan

roya hak tanggungan ini. Hambatan-hambatan yang dijumpai terutama

berkas untuk kelengkapan roya yang belum diterima. 33

Banyak hal yang mengakibat surat roya Hak Tanggungan dari

kreditor tidak dilengkapi oleh pemohon, antara lain :

a. Pemohon tidak memintakan surat roya dari bank selaku kreditor

sementara pelunasan kredit sudah berlangsung lama.

b. Surat roya Hak Tanggungan yang diterbitkan bank selaku kreditor

hilang.

Kendala pertama ini disebabkan karena pada saat kredit sudah

lunas, bank selaku kreditor tidak langsung menerbitkan surat royanya.

Debitur selaku pemohon roya pada saat itu juga tidak memintakan Bank

untuk segera menerbitkan surat royanya. Hal ini mengakibatkan kerugian

bagi Debitur, karena surat roya sebagai persyaratan untuk pelaksanaan

roya di Kantor Pertanahan tidak ada maka pelaksanaan roya tidak dapat

dilakukan menjadi terhambat. Saat pemohon memintakan kembali surat

roya dari bank maka bank juga memerlukan waktu untuk melakukan

verifikasi data kredit debitur yang sudah lunas tersebut. Hambatan kedua

ini terutama disebabkan karena kelalaian dari debitur yang sudah lunas

untuk menyimpan arsip roya Hak Tanggungan yang diterbitkan bank

selaku kreditor. Debitor yang sudah lunas pada saat itu juga tidak

33
Ibid.

66
langsung mengurus Roya Hak Tanggungannya di Kantor Badan

Pertanahan Nasional Makassar.34

Hilangnya sertipikat tanah yang akan diroya juga merupakan

hambatan dalam pelaksanaan roya di Kantor Badan Pertanahan Nasional

Kota Makassar. Hilangnya sertiifkat tanah yang akan diroya ini dapat

terjadi di bank, Notaris/PPAT atau mungkin pula disebabkan karena

kelalaian dari pemilik sertipikat tanah sendiri. Sertipikat Hak Tanggungan

hilang juga dapat menjadi penyebab hambatan untuk pelaksanaan roya

hak tanggungan di Kantor Badan Pertanahanan Nasional Kota Makassar.

Hilangnya sertipikat Hak Tanggungan ini dapat terjadi di bank, Notaris /

PPAT atau mungkin pemilik sertipikat tanah sendiri atau mungkin pula di

Kantor Pertanahan. Identitas pemohon roya kadangkala juga sudah tidak

berlaku lagi. Seperti Kartu Tanda Penduduknya sudah tidak berlaku

demikian pula identitas yang lain.35

Permasalahan yang timbul akibat sistem regulasi mengenai hak

tanggungan, yang masih tumpang tindih, yaitu tepatnya setelah keluarnya

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah,

permasalahan yang muncul adalah berkaitan dengan adanya ketentuan

peraturan yang saling bertentangan satu sama lain yaitu Pasal 2 Ayat (2)

undang-undang hak tanggungan dengan Peraturan Menteri Negara

34
Ibid.
35
Ibid.

67
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997

Tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun

1997 Tentang Pendaftaran Tanah, yang terdapat dalam Pasal 124 Ayat

(2). Selanjutnya dengan terbitnya Peraturan Kepala Badan Pertanahan

Nasional Republik Indonesia (Perkaban) Nomor 8 Tahun 2012 Tentang

Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang

Pendaftaran Tanah, menambah permasalahan baru dalam pelaksanaan

roya partial karena jelas bertentangan dengan ketentuan diatasnya yaitu

undang-undang hak tanggungan mengenai pengaturan klausula roya

partial.

Pelaksanaan roya partial yang dilakukan oleh Kantor Badan

Pertanahan Nasional Kota Makassar harus dilandaskan kepada ketentuan

peraturan Perundang-undangan yang berlaku dalam hal ini adalah

Undang-Undang Hak Tanggungan dan Peraturan Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 sehingga dapat tercipta suatu

kepastian hukum terhadap roya parsial dimana pelaksanaan roya partial

tersebut hanya dapat dilakukan terhadap obyek jaminan hak tanggungan

yang digunakan sebagai jaminan terhadap satu hutang debitur yang

senilai dengan obyek hak tanggungan tersebut.

Disamping itu pelaksanaan roya partial hanya dapat dilakukan

sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila

68
obyek jaminan hak tanggungan yang telah dilunasi utangnya oleh debitur

berada dalam satu APHT (Akta Pemberian Hak Tanggungan) dengan

obyek jaminan hak tanggungan lainnya di dalam jaminan hutang yang

berbeda. Hal ini dimaksud agar dapat tercipta suatu kekuatan hukum

(legalitas) dalam pelaksanaan roya parsial tersebut. Dan yang terpenting

adalah bahwa klausula pelaksanaan roya partial sudah tercantum terlebih

dahulu di APHT, karena itu merupakan syarat mutlak, dan jika tidak dibuat

klausula tersebut maka tidak dapat dilakukan roya partial.

BAB V

PENUTUP
A. KESIMPULAN

1. Pelaksanaan Roya Partial di Kantor Badan Pertanahan Nasional

Kota Makassar dapat berjalan dengan baik dan lancar. Pencoretan

ini dibuat oleh Kreditur, surat permohonan Roya yang diberikan

69
debitur atau Notaris PPAT dimana Hak Tanggungan tersebut

dilaksanakan. Pencoretan Hak Tanggungan dilakukan atas

permohonan pihak yang berkepentingan dengan melampirkan

sertipikat Hak Tanggungan yang telah diberi catatan oleh Kreditur,

bahwa Hak Tanggungan telah hapus karena piutang yang dijamin

pelunasannya atau karena kreditur melepaskan Hak Tanggungan

yang bersangkutan.

2. Faktor-faktor yang menjadi kendala pelaksanaan Roya Partial Hak

Tanggungan di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Makassar

Adanya ketentuan peraturan yang saling bertentangan satu sama

lain yaitu Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997

dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan. Penyelesaianya adalah dengan mengikuti ketentuan

yang diatur dalam Surat Edaran Deputi bidang Pengukuran dan

Pendaftaran Tanah Nomor 600-494.D.IV tentang pelaksanaan

Roya Partial Hak Tanggungan dikembalikan pada Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Dan faktor kendala

lainnya seperti ketidaklengkapan dokumen atau persyaratan Roya

Partial.

B. SARAN

1. Sebaiknya pelakasanaan Roya Partial Hak Tanggungan di Kantor

Badan Pertanahan Nasional Kota Makassar perlu melakukan

penyuluhan secara intensif kepada pihak-pihak yang berkaitan

70
dalam Pembuatan dan pemasangan Hak Tanggungan, agar

mereka dapat memahami dengan benar mulai pada saat

pembuatan APHT sampai dengan proses pendaftarannya sehingga

terhadap pihak-pihak yang menghendaki adanya Roya Partial

dikemudian hari dapat melaksanakan hak-haknya tanpa adanya

kesulitan.

2. Sebaiknya faktor-faktor kendala yang dihadapi Pelaksanaan Roya

Partial di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Makassar yang

berkaitan alangkah baiknya unsur-unsur yang ada dalam Peraturan

Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 dapat dijadikan

pertimbangan dalam merivisi Undang-Undang Hak Tanggungan

dan ketidaklengkapan dokumen atau persyaratan pendukung dapat

dicarikan solusi/jalan keluar dengan melakukan pendekatan

terhadap pihak-pihak terkait yang mengeluarkan dokumen-

dokumen tersebut, sehingga pelaksanaan Roya Partial dalam

rangka pembebanan jaminan hak tanggungan di Kantor Badan

Pertanahan Nasional Kota Makassar tidak terkendala dan dapat

berjalan lancar.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran dan Terjemahannya, Departemen Agama Republik Indonesia.

71
BUKU-BUKU :

Adrian Sutedi. 2007. Pengalihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya,

Jakarata: Sinar Grafika, Hal.34

Boedi Harsono. 2008. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan

Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya Jilid I

Hukum Tanah Nasional, Jakarta: Djambatan.

------------,1999. Hukum Agraria Indonesia JilidI.Jakarta:

Djambatan,Hal.411

Hilman Hadikusuma. 1995. Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi

Ilmu hukum, Bandung: Mandar Maju, Hal.61

Hartono Hadisaputra. 1984. Seri Hukum Perdata, Pokok-pokok Hukum

Perdata dan Hukum Jaminan, Yogyakarta: Liberty. Hal 50

J. Satrio. 1998. Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak

Tanggungan Jilid II, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Hal. 298

Kashadi. 2000. Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia. Semarang, Hal.64

Mariam Darus Badrulzaman. 2000. Permasalahan Hukum Hak Jaminan

Hukum Bisnis. Bandung: Citra Aditya Bakti. Hal.12

M. Kholidin. 2017. Hukum Jaminan (Hak-Hak Jaminan, Hak Tanggungan

dan Eksekusi Hak Tanggungan), Surabaya: Laksbang Yustisia

Surabaya, Hal.6-7

Rachmadi Usman. 2008. Hukum Jaminan Keperdataan, Jakarta: Sinar

Grafika, Hal.69

72
-------------.1999. Pasal-Pasal tentang Hak Tanggungan Atas Tanah,

Cetakan II, Jakarta: Djambatan, Hal.69

Salim HS. 2004. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta :

Rajawali press. Hal.23

Sutan Remy Sjahdeni. 1996. Hak Tanggungan : Asas-asas, ketentuan-

ketentuan pokok dan masalah-masalah yang dihadapi oleh

Perbankan, Airlangga Universitas Press, Surabaya, Hal.8

------------------. 1999. Hak Tanggungan Atas Tanah, Bandung, Hal.55

------------------.1999. Hak Tanggungan Asas-Asas. Ketentuan-Ketentuan

Pokok dan Masalah yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian

Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Bandung: Penerbit

alumni. Hal.148,

Try Widiyono. 2009. Agunan Kredit Dalam Financial Engineering, Jakarta:

Ghalia Indonesia, Hal.176

Zainuddin Ali.2011. Metode Penelitian Hukum,Jakarta: SinarGrafika,

Hal.30

JURNAL:

M.R.S. Kashadi, Siti Malikhatun Badriyah. 2016 "Pelaksanaan Roya

Partial Hak Tanggungan Menurut Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan,

Diponegoro Law Journal, vol. 5, no. 2

Denico doly. 2016. Aspek Hukum Tanggungan Dalam Pelaksanaan Roya,

Negara Hukum Journal, Vol. 2, No. 1

73
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Nomor 23 tahun 1847 Buku

Ke II

 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

Atas Tanah Berserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.

 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria.

 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun.

 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah

 Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional jo No.

11/KPBN/1998 tentang Organinsasi dan Tata Kerja Badan

Pertanahan Nasional jo No. 1/KPBN/1989 tentang Organisasi dan

Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional di Propinsi

dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota jo Keputusan Presiden

Nomor 103 Tahun 2001 jo Keputusan Presiden Nomor 110 Tahun

2001.

 Peraturan Menteri/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 Tentang

Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

74
1997 Tentang Pendaftaran Tanah sebagaimana telah diubah

dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8

Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997

tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

75

Anda mungkin juga menyukai