Anda di halaman 1dari 89

PENGANGKATAN HAKIM PERIODE KERAJAAN ISLAM

DI KAWASAN ANDALUSIA

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy.)

Oleh :

NAILINNAFIS
NIM: 1112044100008

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437/2016
ii
PENGESAIIAN UJIAN MUNAQASYAH

Skrifsi berjudul Pengangkatan Hakim Periode Kerajaan Islam di


Kawasan
Andalusia telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Program Studi Hukum Keluarga
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada
hari senin tanggal 18 April 2016. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-l) pada Program Studi Hukum
Keluarga.

Jakarta, 18 April 2016 M


10 R.ajab 1437 H

Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

NIP: 19691216 199603 I 001

PANITIA UJIAN ML]NAQASYAH

1. Ketua Dr. Abdul Halim. M.Ae.


NrP. 19670608199403100s

2. Seketaris Arip Purkon. MA.


NrP . 1 97 9 0 427 2003 1 2 1 002

3. Pembimbing Dri. Noryamin Aini. MA.


NrP. 196303051991031002

4. Penguji I Dr. Abdurrahman Dahlan. MA.


NIP. 19581 1 101988031001

5. Penguji II Drs. Sinil Wafa. MA.


NrP. 19600318199103

111
LEMBARPERNYATAAN

Dengal ini saya menyatalan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar stata satu (S1) pada Program

Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan kebutuhan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatuliah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukanlah hasil karya asli

saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain. maka saya

bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarla, April 2016

NAILINNAFIS

lv
ABSTRAK

NAILINNAFIS. NIM 1112044100008. PENGANGKATAN HAKIM


PERIODE KERAJAAN ISLAM DI KAWASAN ANDALUSIA. Program Studi
Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyyah), Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H / 2016 M.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme pengangkatan


hakim pengadilan Islam di kawasan Andalusia, serta mengetahui pola hubungan
keluarga diantara para hakim pengadilan Islam yang menjabat di kawasan
Andalusia. Signifikansi penelitian ini ialah mengambil pelajaran baik pada masa
lampau yang dapat diterapkan pada masa sekarang serta mempelajari hal-hal
buruk pada masa lampau agar tidak terulang pada masa sekarang.

Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research),


sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sejarah (historical
approach). Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan studi
dokumentasi (documentation), kemudian data-data tersebut dianalisis dengan
metode analisis isi. Pada penelitian ini penulis memilih buku Târîkh al-Qudhât al-
Andalusy karangan Ibnu Hasan al-Nabahy al-Andalusy sebagai sumber data
primer yang menghimpun data-data hakim periode kerajaan Islam di Andalusia.

Penelitian ini menunjukkan bahwa mekanisme pengangkatan hakim


periode kerajaan Islam di kawasan Andalusia adalah dengan cara penunjukan.
Mekanisme penunjukan yang diterapkan dalam pengangkatan hakim diputuskan
berdasarkan keilmuan yang dimiliki oleh masing-masing hakim. Sedang pola
hubungan keluarga diantara hakim periode kerajaan Islam ditemukan dengan rasio
hanya sebesar 7%. Oleh karena itu, pola hubungan keluarga diantara hakim tidak
memengaruhi proses pengangkatan hakim-hakim lainnya.

Kata Kunci : Hakim, Kedudukan, Peradilan Islam

Pembimbing : Drs. Noryamin Aini, MA.

Daftar Pustaka : 1979 sampai dengan 2015

v
KATA PENGANTAR
Bismillâhirrahmânirrahîm
Alhamdulillah, syukur kepada Allah SWT. yang telah memberikan
kesehatan, kekuatan serta petunjuk kepada penulis sehingga mampu
menyelesaikan skripsi dalam rangka memenuhi persyaratan untuk memperoleh
gelar sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Hukum Keluarga Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat serta salam
senantiasa dihaturkan pada manusia tauladan, yaitu baginda Rasulullah SAW.
semoga syafa’atnya kelak mengalir kepada umatnya.
Bahagia dan ucapan terima kasih atas terselesaikannya skripsi yang
berjudul “Pengangkatan Hakim Periode Kerajaan Islam di Kawasan Andalusia”
Penulis persembahkan khusus untuk kedua orang tua, Abah H. Muhammad Nurul
Huda serta Ibu Hj. Siti Fatimah yang senantiasa mendoakan, memberikan kasih
sayang serta mendukung proses pendidikan Penulis dari jenjang paling dini
hingga pada titik ini demi meraih kesuksesan dan keberhasilan.
Dalam proses penulisan, penulis tidak luput dari kesulitan dan hambatan.
Namun, berkat motivasi dan bimbingan dari semua pihak, akhirnya penulisan
skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Dr. H. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. dan Arip Purkon, MA., Ketua dan Sekretaris
Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. Noryamin Aini, MA., Pembimbing yang telah meluangkan ide,
pikiran, dan waktu selama proses penulisan skripsi ini.
4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staff pengajar lingkungan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah mengamalkan ilmunya kepada penulis selama studi
berlangsung.

vi
5. Pendamping hidup penulis, suami tercinta Muhammad Jauharul Manasik,
yang telah bersabar menemani dalam doa serta membantu mengartikan isi
hati penulis. Xie xie airen.
6. Abah dan Ibu Mertua, H. Ali Syafi’i dan Hj. Lu’luatul Fuad yang selalu
penulis hormati. Beliau telah mengajarkan penulis makna kehidupan di sisi
yang berbeda dari biasanya. Serta adik-adik yang selalu mewarnai
keceriaan, Labib, Illiyya, Saniya, Hasana, dan Aimana. Stay young.
7. Keluarga kedua penulis di Kota Jakarta, Paman Chotibul Umam dan Tante
Siti Latifah yang telah memberikan banyak inspirasi pada penulis. Serta
adik sepupu yang kerap mengundang tawa Maza, Hanum, Sila, Nada, dan
Ima. Lets’ fun as always.
8. Sahabat-sahabat Penulis yang dipertemukan di Asrama Putri Veny,
Aisyah, Upik, dan Ayu. Dan yang dipertemukan di kelas Peradilan Agama
angkatan 2012, Deza, Nanik, April, Putri, Alvida, Syarifah, Nisa, Iffah,
serta teman-teman lain yang tak bisa disebut satu per satu. Kalian teman-
teman yang tak terlupakan.
9. Teman-teman Moot Court Community (MCC) yang telah memberikan
semangat dan menghibur Penulis dalam proses penyusunan skripsi. MCC
kepakkan selalu sayapmu.
10. Kakak kelas dan adik kelas Alumni M3M yang juga telah menghibur dan
mengajak refreshing penulis di tengah-tengah proses penulisan skripsi.

Semoga kebaikan pada tiap-tiap mereka diberi balasan oleh Allah SWT.
dengan balasan yang berlipat ganda. Penulis berharap agar skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi penulis dan bagi pembaca.

Jakarta, April 2016


Rajab 1437

Penulis

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................. i


PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ............................................................................... vi
DAFTAR ISI .............................................................................................. viii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................ 5
C. Perumusan dan Pembatasan Masalah .................................. 5
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 6
E. Studi Terdahulu ................................................................... 7
F. Metode Penelitian ................................................................ 10
G. Pedoman Sistematika Penulisan ......................................... 12

BAB II HAKIM DALAM PERADILAN ISLAM


A. Teori Kedudukan ................................................................. 14
B. Teori Pengangkatan Hakim ................................................. 17
C. Hukum Menerima Pengangkatan Sebagai Hakim ............... 21
D. Syarat-Syarat dan Kompetensi Hakim ................................ 24

BAB III PERADILAN ISLAM DI ANDALUSIA


A. Sejarah Singkat Penaklukan Andalusia ............................... 28
B. Peralihan Pemerintahan dan Kebijakan Peradilan Islam
di Andalusia ......................................................................... 31
C. Târîkh al-Qudhât al-Andalusy ............................................. 34
D. Qadhi-Qadhi di Andalusia ................................................... 36

viii
BAB IV PENGANGKATAN HAKIM DALAM KONTEKS KARIR DAN
SOSIAL DI ANDALUSIA
A. Mekanisme Pengangkatan Hakim di Andalusia ................. 52
B. Pengaruh Hubungan Keluarga terhadap Pengangkatan
Hakim di Andalusia ............................................................. 61
C. Refleksi Pola Pengangkatan Hakim di Andalusia ............... 64

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 70
B. Saran .................................................................................... 71

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 73


LAMPIRAN ............................................................................................... 78

ix
BAB I

PENDAHULUAN

Pada bab ini akan dipaparkan subbab latar belakang masalah disusul

dengan subbab identifikasi masalah. Subbab ketiga mengenai perumusan dan

pembatasan masalah. Subbab keempat mengenai tujuan dan manfaat penelitian.

Subbab kelima mengenai tinjauan studi terdahulu. Subbab keenam mengenai

metode penelitian. Subbab ketujuh mengenai pedoman penulisan, terakhir subbab

mengenai sistematika penulisan.

A. Latar Belakang Masalah

Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu prinsip

penting bagi setiap negara hukum. Prinsip ini menghendaki kekuasaan

kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak manapun dan dalam bentuk

apapun, sehingga dalam menjalankan tugas dan kewajibannya ada jaminan

untuk tidak berpihak kecuali terhadap hukum dan keadilan. Upaya

membangun kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut dilakukan dengan

cara: mengadakan penataan ulang lembaga yudikatif1, peningkatan kualifikasi

hakim, dan penataan ulang perundang-undangan yang berlaku.2

Peningkatan kualifikasi hakim dimulai dengan perbaikan mekanisme

penyeleksian hakim-hakimnya. Hal tersebut dikarenakan penyeleksian hakim

merupakan pijakan awal yang utama menuju proses pengangkatan hakim.


1
Lembaga yudikatif adalah lembaga yang melaksanakan kekuasaan kehakiman.
2
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945, Cet.I. (Jakarta: Kencana, 2010), h.210.

1
2

Begitu pentingnya proses seleksi ini, maka walaupun tata peraturan telah

ditetapkan sedemikian rincinya, masih saja muncul rasa curiga terhadap pihak

penyeleksi hakim. Seperti, kekhawatiran masyarakat pada lembaga peradilan

yang secara kebetulan menyeleksi serta mengangkat hakim dari kalangan

kerabat terdekat, orang tua-anak.

Like parents, like kid. Begitu pepatah menggambarkan hubungan

profil antara orang tua dan anak. Saat seorang anak bercita-cita menjadi

seorang guru, kemungkinan besar karena orang tuanya juga sebagai guru.

Saat seorang anak bercita-cita menjadi dokter, kemungkinan besar karena

orang tuanya juga sebagai dokter. Saat seorang anak bercita-cita menjadi

hakim, kemungkinan besar karena orang tuanya juga sebagai hakim. Pola

pemikiran masa depan seperti ini sudah banyak terbukti dalam kehidupan

sehari-hari. Bahkan, saat seorang Jenderal akan berbesan, kemungkinan besar

ia akan memilih calon istri atau suami untuk anaknya dari kalangan kolonel.

Individu yang menggapai cita-cita sebagai hakim tidak jauh dari latar

belakang keluarganya yang juga berprofesi sebagai hakim. Hal tersebut

dipahami oleh mayoritas masyarakat bahwa profesi yang dicapai merupakan

salah satu warisan yang harus dilestarikan. Bahkan jika dibandingkan dengan

profesi yang hanya bersifat simbolik, maka lebih banyak ditemukan

mekanisme pengangkatannya dengan cara turun temurun atau wasiat.

Jika pengangkatan dengan sistem tradisional turun temurun sudah


banyak diterapkan pada lembaga non formal, bagaimana dalam sistem
peradilan Islam ? Apakah sistem pengangkatan hakim peradilan Islam masa
kerajaan juga menggunakan model prosedur tradisional ?
3

Secara praktis proses peradilan yang pertama kali dipraktekkan dalam

sejarah umat manusia adalah proses peradilan terhadap pertikaian antara

Qabil dan Habil, dimana pada saat itu Nabi Adam as sendiri yang menjadi

hakim untuk memutuskan dan menyelesaikan pertikaian di antara kedua

putranya.3 Proses yang dilakukan Nabi Adam terhadap kedua putranya pada

hakikatnya sudah mencerminkan praktik pengadilan dalam konteks yang

sangat sederhana. Sedangkan istilah „hakim‟ sendiri pertama kali disematkan

dalam sejarah manusia adalah kepada Nabi Daud as dan Nabi Sulaiman as.

Kisah tersebut terekam dalam QS. Al- Shaad (38): 17-26 dan QS. Al- Anbiya

(21): 78-79. Hingga Islam datang, Allah memerintahkan Nabi Muhammad

menyampaikan risalah serta menyelesaikan segala sengketa yang muncul di

antara masyarakat juga terekam dalam QS. Al- Maidah (5): 65.

Apakah sejarah dalam alquran tersebut memberikan isyarat adanya


sistem mewarisi dalam pengangkatan hakim di peradilan islam ? Apakah ini
akan menjadi tolak penugasan hakim-hakim di masa mendatang –kerajaaan
islam hingga peradilan islam yang berdiri di setiap negara hukum- ?

Sistem peradilan agama yang telah dicapai saat ini tidak terlepas dari

sejarah peradilan Islam dengan seluruh dinamikanya di setiap negara yang

pernah dikuasai Islam. Salah satu peradilan yang sudah tersistemasi adalah

peradilan yang berada di kawasan kerajaan Andalusia. Kawasan ini dipilih

3
Samir Aliyah, alih bahasa Asmuni Solihan Zamakhsyari, Sistem Pemerintahan, Peradilan
dan Adat dalam Islam, (Jakarta: Khalifa, 2004), h.285
4

karena disebut dalam sejarah peradaban Islam sebagai titik awal ekspansi dan

peradaban terbesar dunia Islam.4

Mekanisme pengangkatan penguasa pada masa kerajaan Islam di

Andalusia dengan pola turun menurun. Pola turun menurun ini sudah

terkonsepsi sejak kerajaan Islam pertama berlangsung, yakni setelah masa

pemerintahan khulafaurrasyidin. Sepanjang pola ini diterapkan di Andalusia,

perkembangan infrastruktur kawasan Andalusia semakin meningkat. Lahir

pula seorang penguasa termuda dan terlama menjabat di Andalusia,

Abdurrahman ad-Dakhil, yakni berkuasa pada umur 23 tahun dan menjabat

selama 50 tahun.5

Jika ditelusuri lebih dalam di bidang peradilannya, apakah pola turun


menurun pada jabatan penguasa juga diterapkan pada jabatan hakim-
hakimnya ? Apakah hakim yang akan diangkat harus memiliki hubungan
dengan pemimpin yang sedang menjabat ?

Bertolak dari pertanyaan-pertanyaan terkait sejarah perkembangan

peradilan Islam di Andalusia serta minimnya kontribusi para pemerhati

sejarah yang menulis tentang perkembangan peradilan Islam di Andalusia,

maka Penulis akan mengangkat judul skripsi “Pengangkatan Hakim Periode

Kerajaan Islam di Kawasan Andalusia”.

4
Qasim A. Ibrahim dan Muhammad A. Saleh, Buku Pintar Sejarah Islam Jejak Langkah
Peradaban Islam dari Masa Nabi hingga Masa Kini diterjemahkan dari al-Muyassarah fi al-
Tarikh al-Islam, Penerjemah Zainal Arifin, (Jakarta: Zaman, Cet I, 2014), h.495
5
Abdul Halim Quais, Analisa Runtuhnya Daulah Islam, (Solo: Pustaka Mantik, 1994),
h.108.
5

B. Identifikasi Masalah

Paparan latar belakang di atas jelas menggambarkan banyak masalah

yang muncul. Identifikasi masalah tersebut antara lain:

1. Bagaimanakah kewenangan hakim pada masa kerajaan Islam di

Andalusia?

2. Bagaimanakah mekanisme penugasan hakim di sentra-sentra peradilan

Islam di Andalusia?

3. Bagaimana sistem pembinaan karir seorang hakim dalam peradilan

Islam?

4. Bagaimana sistem seleksi hakim dalam peradilan Islam?

5. Apakah terdapat otoritas dari suatu lingkup keluarga hakim dalam

mekanisme pengangkatan hakim peradilan Islam?

6. Apakah pemerintah memiliki kewenangan penuh terhadap proses

pengangkatan hakim peradilan Islam?

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Latar belakang serta identifikasi masalah yang sudah digambarkan di

atas menggambarkan permasalahan yang cukup luas dan kompleks. Agar

pembahasan dalam penelitian ini terfokus, maka masalah dalam penelitian

ini hanya dibatasi pada;

a. Data-data hakim dalam Kitab Tarikh al-Qudhat al-Andalusy, yang

ditulis oleh Ibn Hasan al-Nabahiy al-Andalusy


6

b. Pola dan mekanisme pengangkatan hakim periode kerajaan Islam,

dimulai sejak ekspansi pertama oleh Bani Umayyah di wilayah

Andalusia (711 M) sampai akhir abad kedelapan.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah, serta pembatasan

masalah, maka munculah pokok rumusan masalah yang menjadi fokus

utama dalam pembahasan skripsi ini. Rincian rumusan masalah tersebut

adalah sebagai berikut;

a. Bagaimana mekanisme pengangkatan hakim di kawasan Andalusia?

b. Apakah terdapat pola hubungan kekeluargaan di antara para hakim

yang memengaruhi proses pengangkatan hakim di kawasan

Andalusia?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Bertolak dari rumusan masalah di atas, maka skripsi ini disusun

dengan tujuan untuk:

a. Mengetahui mekanisme pengangkatan hakim yang bertugas dalam

menyelesaikan masalah di kawasan Andalusia.

b. Mengetahui adanya pola hubungan kekeluargaan antara satu hakim di

suatu wilayah dengan hakim di wilayah lainnya yang memengaruhi

proses pengangkatan hakim di kawasan Andalusia.


7

2. Manfaat Penelitian

Adanya penelitian tentang skripsi yang dibahas ini, penulis

mengharapkan hasil dari penelitian dapat memberikan manfaat diantaranya

sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Untuk memperkaya keilmuan dan wawasan sekaligus sebagai

pijakan awal (starting point) dalam penelitian selanjutnya yang akan

datang, serta dapat dijadikan acuan bagi para pencari ilmu yang ingin

mengetahui lebih banyak hal tentang pengangkatan hakim peradilan

Islam di periode kerajaan Andalusia.

b. Manfaat Praktis

Untuk menambah sumbangsih pengetahuan baru bagi

Mahasiswa/i Fakultas Syariah dan Hukum, serta dapat pula

dikembangkan lebih dalam oleh Mahasiswa/i Fakultas Syariah dan

Hukum.

c. Manfaat bagi Penulis

Manfaat terakhir, semoga penelitian ini dapat memperdalam ilmu

pengetahuan bagi penulis, khususnya dalam bidang hukum serta hal-hal

yang berkaitan dengan alur pengangkatan hakim dalam peradilan Islam.

E. Studi Terdahulu

Penulis telah meninjau studi terdahulu yang membahas poin utama dari

penelitian ini, baik yang ditulis oleh sejarawan maupun sarjana, baik lingkup

nasional maupun internasional. Tidak banyak ditemukan tulisan-tulisan yang


8

berkaitan dengan peradilan Islam di Andalusia. Ini jelas dikarenakan

minimnya literatur yang menulis tentang peradilan di Andalusia, serta

pergolakan politik pada masa itu yang cukup menegangkan, sehingga tidak

banyak ilmuwan yang pada saat tersebut menulis. Mayoritas tulisan yang

ditemukan terfokus pada satu pokok bahasan kecil atau yang terlalu besar,

dengan pembatasan periode tertentu, seperti Kerajaan Umayyah, Kerajaan

Abbasiyah dan Kerajaan Turki Ustmani. Berikut studi pustaka yang berkaitan

pada pembahasan peradilan Islam di Andalusia;

Is al-Andalus Different? Continuity as Contested, Constructed, and

Performed across Three Maliki Fatwas, karya Jocelyn Hendrickson. Artikel

ini merupakan suatu penelitian yang menggambarkan adanya para mufti yang

sering melakukan manipulasi opini atau pendapat hukum atau fatwa para

pendahulu mereka, demi membangun opini yang lebih kuat yang dinisbahkan

kepada mereka langsung.6

The Andalusian Qadi in the Almoravid Period: Political and Judicial

Authority, karya Rachid El Hour. Artikel ini secara jelas memaparkan hakim-

hakim dan beberapa kebiasaan dalam pengangkatannya dalam lintasan

sejarah Islam di Andalusia.7

Rulers and Qadis: Their Relationship During The Nasrid Kingdom,

karya M. Isabel Calero Secall. Artikel ini menjelaskan hubungan antara para

6
Jocelyn Hendrickson , “Is al-Andalus Different? Continuity as Contested, Constructed,
and Performed across Three Maliki Fatwas,” Islamic Law and Society No. 20 (2013).
7
Rachid El Hour, “The Andalusian Qadi in the Almoravid Period: Political and Judicsial
Authority,” Studia Islamica No. 90 (2000).
9

pembuat peraturan dengan para hakim pada masa Kerajaan Nasrid di

Granada, serta landasan hukum dari mazhab Maliki. (1232-1492 M).8

Tabaqat al-Umam of Qadi Sa’id al-Andalusi (1029-1070 A.D.), karya

M.S. Khan. Artikel ini menjelaskan panjang lebar terkait tabaqat al-qadi

versi Sa‟id al-Andalusi dengan kritikan-kritikan tajamnya.9

Muslim Minorities and The Obligation to Emigrate to Islamic

Territory: Two Fatwas From Fifteenth-Century Granada, karya Kathryn A.

Miller. Artikel ini mengangkat pembahasan terkait pergolakan kristiani dalam

mengindahkan hukumnya kemudian direspon dengan dua fatwa yang

sekarang ini tidak begitu dikenal, yaitu fatwa yang dikeluarkan oleh al-Haffar

dan al-Mawwaq, yang mana keduanya hidup pada masa Kerajaan Islam di

Andalusia, tepatnya di Granada.10

Legal Practice in an Andalusi-Maghribi Source From The Twelfth

Century CE: The Madhâhib al-Hukkâm fi Nawazil al-Ahkam, karya

Delfina Serrano. Artikel ini memaparkan studi terkait praktik peradilan yang

terjadi di wilayah-wilayah kecil Andalusia, Ceuta dan Maghrib, dengan

hubungannya antara pegikut Maliki dan bukan pengikut Maliki.11

Judging with God’s Law on Earth: Judicial Powers of The Qadi al-

Jama’a of Cordoba in the Fifth/Eleventh Century, karya Christian Muller.

8
M. Isabel Calero Secall, “Rulers and Qadis: Their Relationship During The Nasrid
Kingdom,” Islamic Law and Society 7 (2000).
9
M.S. Khan, “Tabaqat al-Umam of Qadi Sa‟id al-Andalusi (1029-1070 A.D),” Indian
Journal of History of Science 30 (1995).
10
Kathryn A. Miller, “Muslim Minorities and The Obligation to Emigrate to Islamic
Territory: Two Fatwas From Fifteenth-Century Granada,” Islamic Law and Society 7 (2000).
11
Delfina Serrano, “Legal Practice in an Andalusi-Maghribi Source From The Twelfth
Century CE: The Madhahib al-Hukkam fi Nawazil al-Ahkam,” Islamic Law and Society 7 (2000).
10

Artikel ini secara khusus membahas perkara-perkara peradilan yang

dikompilasikan oleh salah seorang hakim Andalusia, yaitu Ibn Sahl (d. 486 H

/1093 M), disadur dari kitab besarnya al-Ahkam al-Kubrâ.12

Manajemen Peradilan Islam di Era Abbasiyah (Studi Komparatif

Manajemen Peradilan Islam Masa Islam Klasik), karya Siti Nuraviva.

Dalam skripsi ini, Penulis banyak memaparkan praktek peradilan pada masa

Abbasiyah, yang dimulai sejak 750 M sampai 847 M. Skripsi ini

menggunakan metode kualitatif berbentuk deskriptif. Penulis banyak menukil

dari buku-buku yang membahas manajemen peradilan islam, maka dapat

dikatakan pula Penulis skripsi ini melakukan pengumpulan data yang

diperoleh melalui kepustakaan. Terakhir, Penulis membandingkan

manajemen peradilan islam di era abbasiyah dengan manajemen peradilan

islam masa Islam klasik.13

Seluruh studi terdahulu tersebut berbeda dengan Penelitian yang akan

saya lakukan. Saya akan membahas lebih rinci bagaimana mekanisme

pengangkatan hakim peradilan Islam saat kerajaan Andalusia berlangsung.

F. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library

research), artinya data yang menjadi rujukan dalam penelitian ini adalah

12
Christian Muller, “Judging with God‟s Law on Earth: Judicial Powers of The Qadi al-
Jama‟a of Cordoba in the Fifth/Eleventh Century,” Islamic Law and Society 7 (2000).
13
Siti Nuraviva, “Manajemen Peradilan Islam di Era Abbasiyah (Studi Komparatif
Manajemen Peradilan Islam Masa Islam Klasik),” (Skripsi S1 Fakultas Syari‟ah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015).
11

literatur atau dari buku-buku, kitab-kitab maupun dokumen-dokumen yang

berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan masalah yang dibahas.

2. Jenis Pendekatan

Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan sejarah (historical approach). Pendekatan ini dilakukan

dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi, serta

mensintesiskan data-data untuk menegakkan fakta dengan kesimpulan

yang kuat (sahih). Dasar penelitian ini diperoleh dari data-data yang telah

terjadi.14

3. Sumber Data

Dalam penelitian ini data yang digunakan ialah data sekunder.15

Berikut bahan-bahan yang dibutuhkan;

a. Bahan Primer

Bahan primer dari penelitian ini adalah Kitab Târîkh al-Qudhât al-

Andalusy, ditulis oleh Ibnu Hasan al-Nabahy al-Andalusy. Penulisan

kitab ini dimulai pada masa pemerintahan Daulah Umayyah sampai

ujung usia an-Nabahy, yaitu 792 M. Kemudian, diterbitkan oleh Daarul

Kitab pada 1995 M yang diketuai oleh Sayid Muhammad „Ali

Baydhun. Pemilihan kitab tersebut sebagai bahan primer dikarenakan

keotentikan data-data yang langsung ditulis oleh saksi sejarah pada

masa kejadian berlangsung.

14
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2003),
h.34.
15
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Lihat, Bambang
Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2003), h.13.
12

b. Bahan Sekunder

Bahan sekunder yang behubungan dengan permasalahan serta

mendukung dalam proses penulisan penelitian ini antara lain;. Nizham

ad-Daulah wa al-‘Urfi fi al-Islam karya Samir Aliyah. Al-Ahkam Al-

Shulthaniyyah wal wilayatud dîniyyah karya Abu Hasan „Ali bin

Muhammad bin Habib al-bashra. Al-Qadha’ fi al-Islam karya

Muhammad Salam Madkur. dan History of The Arabs karya, Philip

Khuri Hitti.

4. Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini

adalah dengan studi dokumentasi (documentation). Kemudian, seluruh

data yang diperoleh dari hasil studi dokumentasi dianalisis dengan metode

analisis isi. Penulis akan menjawab pertanyaan penelitian dengan

menganalisis isi pesan (teks) yang ada dalam bahan-bahan primer dan

mengolahnya secara objektif dan sistematis, sehingga dapat dilakukan

penarikan sebuah kesimpulan.16

G. Pedoman dan Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini berpedoman pada Buku Pedoman Penulisan

Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

Untuk mempermudah penulisan skripsi ini, Penulis membuat

sistematika penulisan sesuai dengan kebutuhan masing-masing bab sehingga


16
Husein Umar, Metode Riset Komunikasi Organisasi, ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2002), h. 44.
13

membaginya menjadi lima bab. Masing-masing bab tersebut terdiri dari

subbab yang merupakan penjelasan dari bab tersebut. Berikut sistematika

penyusunannya:

Bab Kesatu Pendahuluan dengan uraian Latar Belakang Masalah,

Identifikasi Masalah, Perumusan dan Pembatasan Masalah,

Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Studi Terdahulu,

Metode Penelitian, Pedoman dan Sistematika Penulisan.

Bab Kedua Bab ini akan mengurikan Definisi Pengangkatan Hakim,

Teori Pengangkatan Hakim, Hukum Menerima

Pengangkatan Sebagai Hakim serta Syarat-Syarat dan

Kompetensi Hakim.

Bab Ketiga Bab ini akan menguraikan Sejarah Singkat Penaklukan

Andalusia, Peralihan Pemerintahan dan Kebijakan

Peradilan di Andalusia, Kasus Hukum di Andalusia, Târîkh

al-Qudhât al-Andalusy, serta Qadhi-Qadhi di Andalusia.

Bab Keempat Bab ini akan menguraikan Mekanisme pengangkatan hakim

di kawasan Andalusia, Pola hubungan kekeluargaan

diantara para hakim yang memengaruhi proses

pengangkatan hakim di kawasan Andalusia, serta Refleksi

Penulis.

Bab Kelima Sebagai penutup penulis akan memberikan kesimpulan dan

sara terkait dengan jawaban dari pembahasan permasalahan

dalam penelitian ini.


BAB II

HAKIM DALAM PERADILAN ISLAM

Pada Bab II ini akan dipaparkan teori-teori yang dijadikan alat untuk

menganalisis permasalahan. Sebelum masuk pada subbab teori perlu adanya

pemahaman yang selaras antara Penulis dan pembaca pada konsep kedudukan dan

pengangkatan. Kedudukan adalah posisi seseorang dalam suatu jabatan. Jadi teori

kedudukan digunakan untuk mengetahui cara mendapatkan suatu jabatan. Namun,

teori ini tidak serta merta dapat diterapkan langsung pada semua jenis jabatan.

Sedangkan pengangkatan adalah proses berpindah dari satu kedudukan ke

kedudukan yang lainnya. Jadi teori pengangkatan digunakan untuk mengetahui

proses-proses pengangkatan. Subbab pertama menjelaskan teori kedudukan.

Subbab kedua menjelaskan teori pengangkatan hakim. Subbab ketiga menjelaskan

hukum menerima pengangkatan sebagai hakim. Subbab keempat menjelaskan

syarat-syarat dan kompetensi hakim.

A. Teori Kedudukan

Kedudukan hakim bukan seperti kedudukan anak yang mudah didapat

hanya dengan alasan telah dilahirkan oleh orang tua. Ada beberapa kualifikasi

yang perlu dipenuhi agar kedudukan hakim dapat disematkan kepada

seseorang. Sebelum membahas apa saja kualifikasi tersebut, perlu dipahami

sebelumnya bagaimana proses seseorang mendapatkan kedudukan secara

teoritis.

14
15

Berangkat dari pertanyaan, mengapa dalam kehidupan sosial terdapat


kedudukan atau lapisan-lapisan sosial ? Apabila dalam masyarakat terdapat
sesuatu yang dihargai, kemudian ada sebagian masyarakat yang mempunyai
sesuatu tersebut, maka sesuatu tadi dapat menjadi tunas yang menumbuhkan
adanya sistem lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat. Sesuatu yang dihargai
tersebut dapat berupa benda yang bernilai, kekuasaan, ilmu pengetahuan,
kesalehan beragama, dan seterusnya. Sedangkan hal yang mewujudkan unsur-
unsur baku dalam sistem lapisan-lapisan sosial masyarakat adalah kedudukan
(status). Pada umumnya manusia bercita-cita agar tidak ada perbedaan
kedudukan dalam masyarakat. Tetapi kenyataannya tidak demikian,
kedudukan tertentu memerlukan kemampuan dan latihan yang tidak selalu
sama. Hingga masyarakat harus menyediakan sistem pembalasan jasa sebagai
pendorong agar warganya melaksanakan kewajiban sesuai dengan posisinya
di dalam masyarakat. Situasi ini menyebabkan munculnya kedudukan serta
lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat.1

Kedudukan dan lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat yang


dianggap tertinggi ialah kedudukan yang dianggap memiliki kemampuan
untuk memengaruhi pihak lain serta memerlukan latihan yang maksimal
untuk mencapainya. Dua contoh kedudukan yang dianggap terpenting ialah
pemimpin dan hakim. Pemimpin memiliki kewenangan untuk memengaruhi
dan mengatur masyarakat, sedangkan hakim memiliki kewenangan untuk
membentuk dan menegakkan hukum bagi masyarakat. Dua kedudukan di atas
mempunyai hubungan timbal balik. Satu pihak yakni hukum memberi batas
kekuasaan, dan di lain pihak kekuasaan merupakan suatu jaminan berlakunya
hukum.2
Secara umum ilmu sosial dalam pembahasan kedudukan menuturkan

adanya tiga proses seseorang mendapatkan kedudukan. Tiga proses yang

dimaksud ialah Ascribed Status3, Achieved Status, dan Assigned Status.

1. Ascribed Status (Kedudukan Warisan)

Ascribed Status ialah kedudukan seseorang di antara masyarakat

dengan tanpa memerhatikan perbedaan seseorang, karena diperoleh dari

1
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2014, Cet 23), h.89.
2
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2014, Cet 23), h.93.
3
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi; Teks Pengantar dan Terapan (Jakarta:
Prenada Media, 2004), h.137.
16

proses kelahiran.4 Ascribed status banyak dijumpai pada pola masyarakat

dengan sistem pelapisan sosial yang tertutup 5 , seperti sistem pelapisan

berdasarkan perbedaan ras. Misalnya, kedudukan anak seorang bangsawan

ialah bangsawan pula. Kedudukan seorang anak yang lahir dari kasta

Brahmana juga akan memeroleh kasta yang sama seperti orangtuanya,

brahmana pula. Pada era modern model ascribed status dijumpai pada

sistem pemerintahan dengan bentuk kerajaan, seperti Inggris yang

mewariskan kedudukan Raja pada keturunannya.

2. Achieved Status (Kedudukan Capaian)

Achieved Status ialah kedudukan seseorang di antara masyarakat

yang dicapai dengan usaha-usaha yang sengaja dilakukan, bukan diperoleh

karena kelahiran (pewarisan). Achieved status banyak dijumpai pada pola

masyarakat dengan sistem pelapisan sosial yang terbuka6. Kedudukan ini

juga bersifat terbuka bagi siapapun tergantung dari kemampuan yang

dimiliki oleh setiap individu dalam mengejar dan meraih tujuan-

tujuannya.7 Artinya latar lingkungan, budaya, masa, periode, serta masalah

sulit yang dihadapi merupakan konteks penting untuk mendapatkan

kedudukan. Misalnya, setiap orang bisa menjadi pilot, polisi, dokter,

4
Model ini menekankan siapa anda (turunan), bukan apa anda (capaian). Lihat, Noryamin
Aini, “Tradisi Mahar di Ranah Lokalitas Umat Islam”, Ahkam: Vol. XIV, No. 1, (Januari 2014) :
h.22 ;
5
Lapisan sosial tertutup adalah kondisi masyarakat yang memiliki kemungkinan kecil
untuk pindah dari satu lapisan ke lapisan yang lain. Dalam sistem ini satu-satunya jalan untuk
menjadi anggota suatu lapisan dalam masyarakat adalah kelahiran (keturunan). Oleh karena itu,
masyarakat lebih bersifat statis terutama lapisan bawah dalam masyarakat.
6
Lapisan sosial terbuka adalah kondisi masyarakat yang memiliki peluang atau
kemungkinan besar untuk berpindah ke lapisan sosial yang lain. Masyarakat dapat masuk dan
keluar atau naik dan turun diantara lapisan-lapisan sosial.
7
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi; Teks Pengantar dan Terapan (Jakarta:
Prenada Media, 2004), h.138.
17

hakim, asalkan dia memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan.

Oleh karena itu, usaha dan proses dari segala penjuru akan menentukan

kesanggupan seseorang meraih sesuatu yang menjadi tujuannya.

3. Assigned Status (Kedudukan Penugasan)

Assigned Status adalah kedudukan yang diperoleh seseorang di

dalam lingkungan masyarakat yang bukan didapat sejak lahir, tetapi


8
diberikan karena usaha dan kepercayaan masyarakat. Teori ini

menjembatani dua teori ekstrim sebelumnya, ascribed status dan achieved

status. Warisan bukan faktor utama untuk mendapatkan kedudukan,

sebaliknya usaha-usaha yang sengaja dilakukan juga bukan faktor

persyaratannya, namun poin pentingnya pada kepercayaan masyarakat

yang telah didapatkannya. Misalnya, kepercayaan masyarakat yang

menjadikan ia sebagai kepala suku, ketua adat, atau pahlawan.

B. Teori Pengangkatan Hakim

Pengangkatan berasal dari akar kata angkat, yaitu berpindah. Sedangkan

tambahan awalan pe- dan akhiran –an pada kata angkat melahirkan kata

benda, pengangkatan. Arti dari pengangkatan adalah proses berpindah dari

satu tempat atau kedudukan ke kedudukan yang lainnya. Selanjutnya, hakim

adalah profesi yang berwenang memutuskan perkara pada lembaga peradilan,

dapat dikatan juga sebagai aktor utama dalam peradilan. Dalam bahasa arab,

hakim disebut dengan Qadhi.9

8
Abdulsyani, Sosiologi: Skematika, Teori, dan Terapan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012)
9
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT Mahmud Yunus, 1990),h.347.
18

Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan

Komisi Yudisial Republik Indonesia No.01/PB/MA/IX/2012 dan

No.01/PB/P.KY/09/2012 tentang Seleksi Pengangkatan Hakim mengartikan

pengangkatan hakim pada Pasal 1 adalah rangkaian proses mulai dari

pendidikan calon hakim Terpadu, sampai pada penentuan akhir untuk

diangkat menjadi hakim.

Oleh karena itu, pengangkatan hakim merupakan proses yang bertahap

agar seseorang dapat mencapai kedudukan hakim. Proses pengangkatan ini

memiliki variasi, ada yang melalui proses penyeleksian, ada yang melalui

proses pembaiatan, dan ada juga yang melalui proses penunjukan. Berikut

uraian tiga teori10 pengangkatan hakim;

1. Membentuk diri-sendiri (self made man)

Tipe membentuk diri-sendiri ialah tipe penobatan seorang hakim


11
yang terjadi dengan sendirinya. Tipe pertama ini memiliki dua

pengertian. Pertama seseorang yang ingin menjadi hakim akan

mendeklarasikan dirinya sendiri untuk menjadi hakim. Mekanisme

penobatan semacam ini terjadi jika pada suatu wilayah yang belum pernah

ada seseorang yang menjabat sebagai hakim, serta situasi dan kondisi

wilayah tersebut sedang membutuhkan peran seorang hakim. Contoh

untuk pengertian yang pertama digambarkan oleh Nabi Muhammad. Pada

awal pemerintahan di Madinah Nabi memandang bahwa peradilan

10
Tiga pembagian ini dikemukakan oleh Ordway Tead yang disadur dari pembahasan
Timbulnya Seorang Pemimpin. Lihat, Sunindhia dan Ninik Widiyanti, Kepemimpinan dalam
Masyarakat Modern (Jakarta: PT Bina Aksara, 1988, Cetakan I), h.22.
11
Sunindhia dan Ninik Widiyanti, Kepemimpinan dalam Masyarakat Modern (Jakarta: PT
Bina Aksara, 1988, Cetakan I), h.23.
19

merupakan elemen penting dalam bernegara, hingga ia sendiri yang

menyelesaikan perselisihan di kalangan masyarakat serta menetapkan

hukuman terhadap pelanggaran perjanjian. Sirah al-Nabawiyah karangan

Ibnu Hisyam yang dikutip dalam buku Fiqh Siyasah memaparkan bahwa

kaum Yahudi pernah melakukan pelanggaran sebanyak tiga kali terhadap

isi piagam madinah, Nabi bertindak sebagai qadhi-nya sebanyak dua kali,

dan satu kali Nabi mewakilkan kepada sahabatnya.12

Pengertian kedua ialah seseorang yang ingin menjadi hakim akan

mengikuti seleksi hakim yang sudah ditentukan. Pengertian kedua ini

merupakan relevansi perkembangan sistem dan birokrasi dalam peradilan

modern. Saat syarat-syarat sudah terpenuhi serta uji kemampuan telah

berhasil, maka seseorang tersebut akan diangkat dan sah menjadi hakim

dalam suatu peradilan. Peradilan di Indonesia mengaturnya dalam

Undang-Undang No. 4 tahun 2004 jo. Undang-undang No. 48 tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman.

2. Pembaiatan

Tipe kedua yaitu Pembaiatan atau dipilih oleh golongan, yakni

penobatan seorang hakim yang terjadi karena mendapatkan dukungan serta

sumpah kesetian oleh golongan karena kecakapannya dalam hukum,

keberaniannya dalam memutuskan masalah serta jasa-jasanya dalam

bidang hukum.13 Mekanisme penobatan ini terjadi saat suatu wilayah atau

12
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Rajawali,
1995),h.98.
13
Sunindhia dan Ninik Widiyanti, Kepemimpinan dalam Masyarakat Modern (Jakarta: PT
Bina Aksara, 1988, Cetakan I), h.23.
20

golongan menghadapi masalah-masalah sulit yang akhirnya memerlukan

sosok hakim yang berani dan tidak gentar terhadap masalah tersebut, serta

dapat memutuskan masalah tersebut dengan bijaksana. Keadaan seperti ini

mengundang simpati penduduk suatu wilayah atau golongan untuk

melakukan pembaiatan seorang hakim.

Mekanisme ini pernah terjadi pada masa pengangkatan Khalifah Abu

Bakar. Ia dibai‟at oleh Umar bin Khattab menjadi khalifah pengganti Nabi

Muhammad. Posisi khalifah saat itu sekaligus merangkap tugas hakim

untuk menyelesaikan sengketa yang muncul di masyarakat Madinah.

Pembaiatan Umar bin Khattab kepada Abu Bakar diikuti oleh sahabat-

sahabat lain. Model pembaiatan ini hanya ditemukan dalam sejarah

Peradaban Islam.14

3. Penunjukan

Penunjukan ialah proses dimana orang yang dipercayai sebagai

atasan, pemimpin, memilih kemudian mengangkat seseorang untuk

menjadi hakim di suatu wilayah. Proses pemilihannya beragam, namun

dari sisi pengalaman dan kemampuan merupakan dua hal yang

14
Cerita lain menuturkan, Basyir Ibnu Sa‟ad dan Abu Ubaidah Ibnu Jarrah dengan spontan
mengucapkan, “Demi Allah kami tidak akan menyerahkan kekuasaan kecuali padamu. Engkau
tokoh paling mulia dari golongan muhajirin, Tsaniu Istnain di dalam gua bersama Rasulullaah, dan
pengganti Rasulullah dalam Imam shalat. Shalat merupakan sendi paling utama. Lantas, siapa
yang membelakangimu ? dan siapa yang lebih layak dari pada engkau ? Silahkan ulurkan
tanganmu dan Kami Bai‟at”. Lihat, Joesoef Sou‟yub, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1979, Cet I), h.24
21

15
diprioritaskan. Mekanisme terakhir ini diterapkan pada peradilan

tradisional, dimana belum ada peraturan tertulis16 yang harus dipatuhi.

Pengangkatan model penunjukan ini pernah dilakukan Nabi

Muhammad saat Islam sudah melakukan ekspansi ke luar kota Madinah.

Mekanisme pengangkatannya dilakukan dalam tiga bentuk: pertama, Nabi

Muhammad memerintahkan sahabat untuk menjadi penguasa di wilayah

tertentu sekaligus diberi kewenangan menyelesaikan sengketa di antara

anggota masyarakat. 17 Kedua, Nabi Muhammad menugaskan sahabat

untuk menyelesaikan perkara tertentu, dalam jangka waktu tertentu.

Ketiga, Nabi Muhammad menugaskan sahabat didampingi dengan sahabat

lain untuk menyelesaikan kasus tertentu dalam suatu daerah.18

C. Hukum Menerima Pengangkatan Sebagai Hakim

Pengangkatan hakim merupakan kebutuhan primer di setiap wilayah

masyarakat, yaitu untuk mengatur kompleksitas permasalahan,

menyelesaikan perselisihan, dan memelihara kemaslahatan-kemaslahatan.

Dasar diperintahkannya untuk memutuskan perkara terdapat pada surat al-

shad ayat 26,


15
Sunindhia dan Ninik Widiyanti, Kepemimpinan dalam Masyarakat Modern (Jakarta: PT
Bina Aksara, 1988, Cetakan I), h.22
16
Menggali hukum yang dilakukan oleh hakim bertujuan untuk menemukan hukum. Dalam
konteks peradilan islam, hukum yang ada dalam Al-quran, Hadis, dan Kitab-Kitab Fiqih
dikategorikan sebagai hukum yang tidak tertulis. Sehingga, hakim peradilan islam dapat menggali
hukum dari sumber-sumber tersebut. Lihat, Jaenal Aripin, Jejak Langkah Peradilan Agama di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2013), h.178.
17
Dalam sistem ketatanegaraan Islam klasik dikenal dengan beberapa badan kekuasaan
negara, yaitu sulthah tanfidziyah (kekuasaan eksekutif), sulthah tasyri‟iyyah (kekuasaan legislatif)
dan sulthah qadhaiyyah (kekuasaan yudikatif). Namun ketiganya belum dipisahkan satu sama
lainnya layaknya lembaga yang mandiri, bahkan dalam praktiknya masih dipegang oleh satu
tangan, yaitu penguasa atau pemerintah. Lihat, Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai
Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h.146.
18
Seperti kisah Mu‟adz bin Jabal yang diutus Nabi Muhammad untuk menjadi hakim di
daerah Yaman.
22

         

“Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (pemimpin) di muka bumi, Maka
berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil”

Karena tidak mungkin seorang pemimpin akan mampu menyelesaikan sendiri

seluruh permasalahan masyarakat, maka pemimpin memerlukan tenaga ahli

lain untuk menyelesaikannya. Salah satunya melalui pengangkatan hakim

tersebut.

Mayoritas ulama fiqih sepakat jika hanya ada satu orang yang

berkompeten dan layak menjadi hakim dan kemudian dia dipilih, maka

hukum baginya wajib untuk menerima sebagai hakim. 19 Pemimpin yang

mengangkat hakim harus memaksanya agar menerima keputusan tersebut,

sebab masyarakat membutuhkan ilmu serta pemikirannya dalam memutuskan

perkara. Urgensi menerima pengangkatan hakim tersebut disamakan dengan

seseorang yang memiliki makanan, namun dia tidak mau memberikan kepada

orang yang membutuhkan makanan.

Persoalan muncul jika dalam satu wilayah terdapat banyak orang yang

layak untuk menjadi hakim, maka orang yang dipilih boleh menerima atau

menolaknya. Dari kedua pilihan tersebut, manakah opini yang lebih

diutamakan, menerima atau menolaknya ?

19
Lihat, Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu. Jilid VI. (Damaskus: Darul
Fikri, 1985, Cetakan II), h. 485.
23

“Barangsiapa diangkat menjadi hakim di tengah-tengah masyarakat maka dia (bagaikan)


disembelih dengan tanpa menggunakan pisau”20

Berdasarkan hadis di atas, jumhur ulama dalam mazhab empat berpendapat

bahwa menolak permintaan/amanat tersebut lebih utama. Sebagian sahabat

dan imam fiqih menolak untuk menjadi hakim, seperti Ibnu Umar dan Abu

Hanifah. Alasan utama penolakan tersebut yaitu adanya ancaman mengenai

berat dan beresikonya menjadi seorang hakim. 21 Diriwayatkan juga dari

sahabat Anas bahwa Nabi Muhammad bersabda, “Siapa yang meminta untuk

menjadi hakim maka (semuanya) dibebankan kepadanya. Barangsiapa

dipaksa untuk menerimanya, maka akan turun malaikat yang akan

menolongnya”.22

Sebagian ulama menerangkan bahwa menerima pengangkatan sebagai

hakim merupakan pilihan yang lebih utama, sebab Nabi dan Khulafaur

Rasyidin juga bertugas sebagai hakim. Mereka ialah teladan yang seharusnya

menjadi panutan. Jika tugas sebagai hakim diniati karena Allah, maka hal itu

bernilai sebagai ibadah. Pendapat ini berdasar pada sabda Nabi Muhammad,

“Sehari yang dilalui oleh imam yang adil adalah lebih utama daripada

beribadah enam puluh tahun.”.23Sebagian ulama ini juga menyatakan bahwa

hadis “Barangsiapa diangkat menjadi hakim di tengah-tengah masyarakat

20
HR Ahmad dan imam-imam pengarang kitab Sunan empat, hadits dari Abu Hurairah.
Imam al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Abi Syaibah, Abu Ya‟la, al-Bazzar, ad-Daruquthni juga
meriwayatkannya. Imam at-Tirmidzi menilai hadits ini hasan; Ibnu Huzaimah dan Ibnu Hibban
menilainya sahih. Hadis ini mempunyai banyak jalur sanad, di antaranya diriwayatkan oleh Ibnu
Adi dari Ibnu Abbas. Sunan al-Tirmidzi 1340.
21
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu......... h.485
22
HR Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad. Lihat, Wahbah az-Zuhaili, Al-
Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu........ h.486
23
HR Ishaq bin Rahuyah, al-Thabari dalam al-Awsath dari Ibnu Abbas. Lihat, Wahbah az-
Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu........ h.486
24

maka dia (bagaikan) disembelih dengan tanpa menggunakan pisau”

merupakan batasan serta celaan terhadap hakim yang bodoh, hakim yang

pandai tetapi fasik, hakim yang menyimpang dari nilai-nilai yang sudah

ditentukan, atau hakim yang mau menerima sogokan atau suap dari berbagai

pihak. Imam al-Qaduri24 (w.428 M) menegaskan apabila setiap orang yang

yakin bahwa dirinya mampu menjalankan tugas sebagai hakim, maka dia

layak masuk ke dalam dunia peradilan. Sebaliknya, apabila sesorang takut

tidak mampu menjalankan tugas sebagai hakim, maka dia seharusnya tidak

masuk ke dalam dunia peradilan.25

D. Syarat-Syarat dan Kompetensi Hakim

Banyak perbedaan yang muncul di kalangan Fuqaha‟ dalam penetapan

syarat-syarat seseorang menjadi hakim. Fuqaha‟ tersebut ada yang

mengatakan seorang hakim harus memenuhi 3 syarat saja. Ada pula yang

menentukan 7 syarat. Perselisihan jumlah (syarat) tersebut bukan berarti

menjadi polemik baru, hanya saja persepektif yang dipakai di masing-masing

fuqaha‟ berbeda.26

24
Nama asli Imam al-Qaduri adalah Abu Husain Ahmad bin Muhammad bin Ahmad al-
Baghdadi al-Qaduri. Beliau merupakan pengikut mazhab Hanafi. Beberapa karyanya adalah
Mukhtasar al-Qaduri, al-Tajrid, al-Taqrib dan Sharh Mukhtasar al-Kharki.
25
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu............ h.487.
26
Maksud dari berbeda persepektif di sini ialah; Sebagian fuqaha‟ menyimpulkan bahwa
syarat B dan C sudah dapat dicakup dalam syarat A, namun sebagian fuqaha yang lain
mengartikan bahwa syarat B dan C tidak selalu dapat dicakup dalam syarat A. Lihat, Salam
Madkur, Peradilan Islam..........h.53.
25

Beberapa syarat yang telah dikemukakan oleh ulama terdapat banyak

persamaan dan sedikit perbedaan. Syarat-syarat tersebut dapat dikategorikan

ke dalam beberapa rumpun. Berikut ulasannya27:

1. Status : laki-laki, Islam, dewasa, dan merdeka.

2. Fisik : tidak buta, tidak tuli, dan tidak bisu.

3. Kepribadian : berakal,berwibawa, dan santun.

4. Keahlian : memahami pokok-pokok hukum islam terperinci

5. Integritas Moral : senang bermusyawarah, cerdas dan adil.

Sedangkan perbedaan syarat-syarat yang dikemukakan oleh ulama ialah:

1. Kebolehan perempuan menjadi hakim dalam perkara selain had-

qishash.28

2. Mensyaratkan bahwa hakim akan sampai pada titik sempurna

apabila tidak terkena hukuman had; Tidak cacat nasabnya sebab

anak li‟an atau zina; Tidak miskin; Tidak buta huruf dan; Tidak

lemah.29

Kompetensi hakim dalam doktrin hukum tata negara Islam memiliki

pokok-pokok tersendiri. Berikut merupakan kompetensi hakim yang telah

disepakati oleh ahli fiqih;

27
Muhammad Salam Madkur, al-Qadha‟ fi al-Islam (Qahirah: al-Mathba‟ah al-„Alamiyah,
t.th).h.37; Samir Aliyah, Nizham ad-Daulah wa al-„Urfi fi al-Islam – Sistem Pemerintahan,
Peradilan, dan Adat dalam Islam, Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari (Jakarta: Khalifa,
Cetakan I, 2004), h.337-341; Abu Hasan „Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashra, Al-Ahkam Ash-
Shulthaniyyah wal wilayatud dîniyyah, (Qahirah, Mesir: al-Maktabah at-Tawfikia, t.th),h.128;
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu. Jilid VI. (Damaskus: Darul Fikri, 1985,
Cetakan II), h.481.
28
Muhammad Salam Madkur, al-Qadha‟ fi al-Islam (Qahirah: al-Mathba‟ah al-„Alamiyah,
t.th).h.37.
29
Ibnu Hasan an-Nabahy, Târîkh al-Qudhât al-Andalusy (Beirut, Libanon: Darul Kitab
Ilmiah, Cetakan I, 1995), h.19.
26

1. Menyelesaikan sengketa di antara orang yang berselisih, baik dengan

cara damai, menerima untuk saling memaafkan, maupun dengan

menetapkan suatu putusan;

2. Menekan orang-orang yang dhalim, menolong orang-orang yang

terdhalimi, dan memberikan hak kepada orang yang berhak;

3. Melaksanakan wasiat;

4. Mengawasi masalah perwakafan;

5. Menetapkan masalah waris;

6. Mengurusi masalah anak yatim, orang gila, dan mengangkat orang-

orang yang bertanggung jawab untuk menjaga harta mereka;

7. Menyelesaikan masalah tindakan kriminal, baik sebatas luka maupun

pembunuhan;

8. Menetapkan keputusan;

9. Mengakadkan pernikahan wanita yang tidak memiliki wali atau yang

walinya tidak mau menikahkannya;

10. Melarang orang-orang melakukan tindakan yang melampaui batas di

jalan-jalan dan tempat umum.30

Sistem peradilan modern mengenal adanya kompetensi absolut dan

kompetensi relatif. Kompetensi absolut31 adalah wewenang untuk menerima,

memeriksa, dan mengadili perkara-perkara jenis tertentu yang mutlak tidak

30
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu......h.488
31
Kompetensi absolut menekankan pertanyaan, pengadilan „apa‟ yang akan menangani
perkara.
27

dapat dilakukan badan peradilan lain. Sementara kompetensi relatif32 adalah

wewenang untuk menerima, memeriksa, dan mengadili perkara-perkara

berdasarkan wilayah yurisdiksi tempat tinggal pihak-pihak yang berperkara.33

Indonesia membagi kompetensi absolut dalam empat macam peradilan

beserta kompetensi relatifnya di masing-masing wilayah kabupaten/kota.

Empat kompetensi absolut pelaksana kehakiman di bawah Mahkamah Agung

tersebut adalah Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Militer,

dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Salah satu contohnya, Pengadilan Agama

memiliki Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Pengadilan agama

yang salah satu pasalnya menerangkan tentang Kewenangan hakim-

hakimnya. Pasal 49 menyebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan

berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara-perkara di

tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang

Perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, ekonomi islam, infak dan

sedekah. Sedangkan Pengadilan Tinggi Agama berwenang dan bertugas

mengadili perkara-perkara yang menjadi wewenang dan tugas Pengadilan

Agama dalam tingkat banding, juga menyelesaikan sengketa yurisdiksi antara

Pengadilan Agama.34

32
Kompetensi relatif menekankan pertanyaan, pengadilan „mana‟ yang akan menangani
perkara.
33
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012)h.195.
34
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012, Cet.VI).h.13.
BAB III

PERADILAN ISLAM DI ANDALUSIA

Pada bab ini akan dipaparkan data-data yang akan dianalisis pada Bab IV.

Subbab pertama untuk mengenal Andalusia maka disajikan sejarah singkat

penaklukan Andalusia. Subbab kedua untuk mengetahui kondisi Andalusia maka

disajikan peralihan pemerintahan dan kebijakan peradilan di Andalusia. Subbab

ketiga mengenai dokumen yang menerangkan data-data primer yaitu Târîkh al-

Qudhât al-Andalusy. Subbab terakhir menerangkan biografi singkat Hakim-hakim

di Andalusia.

A. Sejarah Singkat Penaklukan Andalusia1

Dinasti Umayyah mengalami masa keemasaan saat serangan ekspansi

terjauhnya berada di dataran Afrika-Eropa. Operasi genting yang dilakukan

oleh orang-orang arab ini terjadi pada pemerintahan Khalifah Walid bin

Abdul Malik (w. 715 M). Pengintaian awal diperintahkan oleh Musa bin

Nushair (w. 718 M), gubernur yang tersohor di Afrika Utara pada periode

Umayyah, kepada Tharif2 saat mendarat di semenanjung kecil yang terletak di

ujung paling selatan benua Eropa. Setelah berhasil melawan pasukan

1
Andalusia merupakan sebutan/nama Arab untuk Semenanjung atau Jazirah Alberia atau
Iberia. Semenjak awal abad V M, wilayah tersebut dikuasai oleh bangsa Vandal, hingga disebut
pula Vandaluzia. Pada masa sekarang dikenal sebagai Spanyol dan Portugis. Lihat, Abdul Halim
Quais, Analisa Runtuhnya Daulah Islam, (Solo: Pustaka Mantik, 1994), h.7
2
Orang kepercayaan Musa bin Nushair, namun tidak jelas apakah termasuk bangsa Arab
atau Berber. Saat ini semenanjung kecil yang menjadi langkah awal Tharif dalam pengintaian
dikenal sebagai Tarifa, istilah latinnya Terifa, Jazirah Tharif.

28
29

Bizantium di wilayah Barat hingga meluas ke atlantik, Musa terdorong untuk

melakukan penyerangan ke arah Spanyol.

Pada tahun 92 H/711 M, Musa memerintahkan Thariq bin Ziyad

(w.720M), mantan budak Musa dari bangsa Berber yang sudah

dibebaskannya, beserta 12.0003 pasukan untuk memasuki kawasan Spanyol.

Thariq diiringi kapal-kapal 4 pasukannya mendarat di dekat gunung batu

besar, yang kemudian diabadikan namanya menjadi Jabal Thariq atau

Gibraltar.

Raja Andalusia 5 melakukan pertahanan dari serangan Thariq beserta

pasukannya di daerah tepi Guadalete. 6 Thariq mengalahkan sang raja dan

memperoleh harta rampasan perang. Setelah kemenangan ini, pasukan

muslim menguasai kota-kota di Spanyol dengan mudah. Masih di bawah

pimpinan Thariq, mereka berjalan menuju Ecija, Toledo, menghindari

Sevilla, karena dikelilingi benteng kuat. Beberapa pasukan yang dikirim

Thariq ke kota-kota tetangga juga mengalami keberhasilan, seperti Elvira

3
Cerita lain menuliskan, pada awalnya sebanyak 7.000 pasukan dari bangsa berber,
kemudian mendapatkan kekuatan tambahan sebanyak 12.000 pasukan. Lihat, Philip K. Hitti,
History of the Arabs, Penerjemah R. Cecep Lukman dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: Serambi,
2006),h.628
4
Sebagian besar Kapal yang mereka tumpangi disediakan oleh Julian, pangeran Ceuta .
Kerjasama Julian dengan orang-orang arab merupakan tindakan balas dendamnya terhadap
Roderick, Raja Andalusia, yang telah melakukan pemerkosaan terhadap anak gadisnya yang
cantik, Florinda. Cerita lain menuliskan bahwa ini hanya legenda belaka, karena cerita-cerita
tentang penaklukan sudah sudah banyak disamarkan oleh penulis kronik Spanyol dan Arab. Lihat,
Philip K. Hitti, The History of Arabs, h.628
5
Raja Andalusia adalah Roderick. Cerita lain menuliskan bahwa Raja Andalusia adalah
Adrinoq, ia melawan Thariq di wilayah Jahafalah. Lihat, Qadhi Syaikh Muhammad bin Ahmad
Kan’an, DAULAH BANI UMAYAH- Fragmen Sejarah Khilafah Islamiyah Sejak Era Muawiyah
bin Abu Sufyan hingga Marwan bin Muhammad, Terjemahan Tarikh Ad-Daulatul Umayah-
Khalashatul Tarikh Ibnu Kastir, Penerjemah Irwan Raihan, (Solo: Alqowam, 2015, Cet I) h.552
6
Ahmad Thomson dan Muhammad ‘Ata ‘Ur Rahim, Islam Andalusia – Sejarah
Kebangkitan dan Keruntuhan, alih bahasa Kampung Kreasi, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004)
h.19.
30

dekat Granada, Malaga dan Toledo. Pasukan terakhir dikirim untuk

menyerang Kordova, setelah bertahan selama dua bulan, ibukota masa depan

orang Islam ini baru menyerah7 kepada pengepungnya. Tercatat, Thariq telah

menghancurkan kerajaan dan menjadi penguasa atas separuh wilayah Spanyol

saat berlayar di musim semi hingga akhir musim panas (711 M).

Pada saat keberhasilan yang gemilang di Andalusia, Thariq menulis

surat kepada Musa bin Nushair untuk mengabarkan kemenangan itu. Rasa

cemburu yang menyelimuti Musa, saat mendengar berita kemenangan Thariq,

mendorongnya untuk menulis surat kepada Walid bin Abdul Malik, Khalifah

Umayyah di Damaskus. Surat tersebut mengabarkan keberhasilan ekspansi

Islam di Andalusia namun dengan redaksi yang berbeda, yaitu menisbahkan

kemenangan yang diraih atas dirinya.8 Kemudian ia membawa 10.000 tentara

dari bangsa Arab dan Suriah menyusul Thariq di dataran Spanyol untuk

melanjutkan serangan di kota-kota yang belum tertaklukan, Medina, Sidon

dan Carmona.9

Khalifah mencium gelagat buruk Musa bin Nusair hingga menariknya

kembali ke Ibukota. Musa pun beranjak menuju ibukota, yaitu Damaskus.10

Sejak peristiwa itu, wilayah Andalusia merupakan wilayah Daulat Bani

Umayyah yang berpusat di Damaskus, dengan Khalifahnya yang bernama

7
Cerita lain menuliskan sikap menyerah kepada pengepung dikarenakan adanya
pengkhianatan seorang penggembala yang menunjukkan jalan terobosan dinding benteng. Lihat,
Philip K. Hitti, The History of Arabs, h. 630
8
Lihat, Qadhi Syaikh Muhammad bin Ahmad Kan’an, DAULAH BANI UMAYAH-
Fragmen Sejarah Khilafah Islamiyah Sejak Era Muawiyah bin Abu Sufyan hingga Marwan bin
Muhammad, Terjemahan Tarikh Ad-Daulatul Umayah-Khalashatul Tarikh Ibnu Kastir,
Penerjemah Irwan Raihan, (Solo: Alqowam, 2015, Cet I). h.553
9
Lihat, Philip K. Hitti, The History of Arabs, h.630.
10
Lihat, Philip K. Hitti, The History of Arabs, h.631.
31

Walid bin Abdul Malik. Kekuasaan Islam di Andalusia (Spanyol)

berlangsung kurang lebih tujuh setengah abad, dimulai dari tahun 711 M

hingga 1492 M.

B. Peralihan Pemerintahan dan Kebijakan Peradilan di Andalusia

Sepanjang tujuh setengah abad, Islam di Andalusia mengalami

beberapa kali reformasi internal pemerintahan. Diawali dengan

kepemimpinan Thariq bin Ziyad dari Bani Umayyah, sejarah mencatat ada

beberapa pemerintahan Islam yang pernah berkuasa di Andalusia, yaitu Bani

Umayyah, Bani Abbasiyah11, Dinasti ‘Amiriyah, Muluk at-Tawaif (Kerajaan-


12
Kerajaan Kecil), Dinasti al-Murabitun, Dinasti al-Muwahhidun, dll.

Berpindah tangannya dinasti dalam pemerintahan di Andalusia dikarenakan

pada tahun 718 M – 1002 M Andalusia mengalami era desentralisasi 13 .

Dalam sejarah peradaban Islam kondisi ini diawali dengan memudarnya

kekuasaan daulah Bani Umayyah karena jabatan Khalifah sudah tidak begitu

kuat sebagaimana pada era keemasannya.

Pemisahan diri Andalusia dari pusat pemerintahan Islam merupakan

peristiwa pertama kali dalam sejarah pemerintahan dunia. Kondisi ini terjadi

pada tahun 755 M – 1030 M14, dengan pendirinya Abdurrahman ad-Dakhil

11
Namun saat pemerintahan Bani Abbasiyahh tengah terpusat di kota Baghdad, Andalusia
(Spanyol) memutuskan untuk memisahkan diri dari pusat Pemerintahan. Referensi lain menuliskan
bahwa, walaupun Andalusia sudah memiliki independensi serta otonomi sendiri, ia tetap masih
loyal terhadap Khilafah Abasiyah. Lihat, Syamsul Bakri, Peta Sejarah Peradaban Islam,
(Yogyakarta, Fajar Media, Cet I, 2011), h.73
12
Ahmad Thomson and Muhammad Ata’urrahman, Islam Andalusia, (Jakarta: Gaya
Media, 2004, Cet I), h.19
13
Maksud dari Era desentralisasi dalam sejarah peradaban islam adalah memudarnya
kesatuan politik kekuasaan Islam dan terpecah belahnya dalam berbagai kekuatan politik.
14
Lihat, Ahmad al Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam hingga Abad XX, Judul
Asli Tarikh Islam, Penerjemah Samson Rahman, (Jakarta: Akbar Media, Cet I, 2003). h.239.
32

bin Muawiyah bin Hisyam bin Abdul Malik (w.788 M). Ia melarikan diri dari

kerajaan orang-orang Bani Abbasiyah setelah runtuhnya pemerintahan Bani

Umayyah di Damaskus. Kemudian ia menyebrang ke Andalusia dan dikenal

dengan sebutan Abdurrahman ad Dakhil. 15 Sejak saat itu muncul kembali

Daulah Umayyah II di Andalusia (Spanyol).

Sejarah peralihan pemerintahan Islam di Andalusia di atas diiringi juga

dengan perkembangan kebijakan peradilan. Pada masa Islam klasik

kewenangan peradilan masih berada pada satu tangan dengan

pemimpin/khalifah, namun ekspansi Islam ke berbagai daerah, termasuk

Andalusia, mendorong untuk tersedianya tenaga lain dalam menangani

persoalan peradilan. Oleh karena itu khalifah mengangkat hakim-hakim yang

membantu dalam proses peradilan di ibu kota pemerintahan, serta

memberikan kewenangan pada Gubernur untuk mengangkat hakim di

masing-masing daerah pemerintahannya.16

Putusan peradilan di wilayah kekuasaan Islam berlandaskan al-quran,

sunnah, serta diwarnai dengan pendapat Imam-imam mazhab. Mazhab Maliki

mendominasi kawasan Andalusia17, tetapi kemajemukan mazhab yang dianut

di berbagai daerahnya juga memengaruhi putusan-putusan yang dikeluarkan

oleh hakim. Pada saat itu muncul persoalan dalam proses putusan, yaitu

apabila ada dua pihak yang berperkara dan bukan pengikut dari mazhab yang

masyhur di wilayah tersebut, bagaimana memutuskan perkaranya. Setelah

15
Abdul Halim Quais, Analisa Runtuhnya Daulah Islam,.......................h.9.
16
Asadullah al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam, (Jakarta: Pustaka Yustisia, 2009),
h.47.
17
W. Montgomery and Pierre Cachia, Islamic Survey – A History of Islamic Spain,
(Edinburg: Edinburg University Press, 1992) h.59.
33

dirundingkan, maka ditunjuk18 seorang hakim yang sama mazhabnya dengan

pihak yang berperkara untuk memutuskan persoalan19.

Situasi di atas mendorong Ibnu Muqaffa20 (w. 760 M) untuk mengirim

surat kepada khalifah agar memilih diantara pendapat imam dan fuqaha’ yang

akan dijadikan pegangan oleh para hakim di seluruh negeri. Khalifah

menyetujui kesepakatan tersebut dan meminta Imam Malik (w.796 M) untuk

mengawal para hakim di peradilan. Lahir pula satu perubahan kebijakan

organisasi peradilan yang signifikan, yaitu dengan dibentuknya suatu

lembaga peradilan Qadhi al-Jama’ah 21 . Fungsi Utama Qadhi al-Jama’ah

adalah untuk menertibkan masalah yang muncul dalam peradilan, mengawasi

hakim pada peradilan di bawahnya, mengangkat hakim di wilayah yang lebih

kecil, memecat hakim yang telah menyimpang, serta meninjau putusan-

putusan hakim yang telah dikeluarkan di berbagai wilayah yang lebih kecil.22

Struktur politis menggambarkan bahwa Qadhi al-Jama’ah diangkat dan

kedudukan jabatannya berada di bawah khalifah. Namun sebenarnya ia

sebagai penyeimbang kekuasaan khalifah, seperti wizarat dan diwan 23 . 24

18
Penunjukan ini bersifat kasuistik saja. Apabila ada yang membutuhkan, baru menunjuk
hakim yang akan mengadili. Tetapi penunjukan ini berakhir saat lembaga Qadhi al-Jama’ah sudah
terbentuk. Lihat, Salam Madkur, Peradilan Islam................h.49.
19
Muhammad Salam Madkur, al-Qadha’ fi al-Islam (Qahirah: al-Mathba’ah al-‘Alamiyah,
t.th).h.32.
20
Nama aslinya adalah Abu Muhammad Abdullah Ruzbih bin Daduya. Dia merupakan
penerjemah, pemikir dan penulis yang kritis.
21
Penyebutan Qadhi al-Jama’ah hanya digunakan di Andalusia, tetapi pada intinya sama
dengan penyebutan Qadhi al-Qudhah di Baghdad. Lihat, Salam Madzkur, ......., h.49 ; Referensi
lain menyatakan, gelar Qadhi al-Qudhah pertama kali dijabat dan ditujukan kepada Abu Yusuf
Ya’qub bin Ibrahim, seorang murid dan juga sahabat Imam Abu Hanifah. Lihat, Alaiddin Koto,
Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 2011), h.118
22
Muhammad Salam Madkur, al-Qadha’ fi al-Islam (Qahirah: al-Mathba’ah al-‘Alamiyah,
t.th).h.33.
23
Wizarat adalah lembaga pemerintahan setingkat dengan menteri. Orang yang menjabat
disebut Wazir. Wazir berhak menjadi hakim dalam menyelesaikan suatu perkara apabila diberi
34

Mengingat khalifah sebagai penguasa tertinggi tidak mungkin melaksanakan

seluruh kekuasaan yang menjadi kewenangannya, maka sebagian kekuasaan

salah satunya kekuasaan kehakiman didelegasikan kepada Qadhi al-Jama’ah

yang merupakan instansi tertinggi dalam peradilan.

Selanjutnya, disamping adanya lembaga Qadhi al-Jama’ah dibentuk

pula Dewan Syura pada peradilan di Andalusia. Dewan syura berfungsi untuk

memelihara para hakim dari kesalahan dan kekeliruan dalam penetapan

putusan perkara. Dewan Syura ini terdiri dari ulama-ulama yang terkenal

keilmuan dan wawasannya. Kebiasaan ini terus berlanjut hingga muncul

sistem baru yaitu pertemuan hakim-hakim dalam mengadakan persidangan

terbuka.25

Paparan di atas secara singkat menerangkan peralihan pemerintahan dan

kebijakan peradilan di Andalusia. Sedangkan data-data primer yang akan

dianalisis oleh Penulis terkumpul dalam satu dokumen. Maka subbab setelah

ini akan memperkenalkan dokumen tersebut.

C. Târîkh al-Qudhât al-Andalusy

Pada subbab ini penulis akan mengulas data primer yang digunakan

dalam proses penulisan skripsi. Berikut merupakan ulasan dokumen yang

berisi kumpulan data-data primer beserta penulis yang mendokumentasikan;

kewenangan atau ditunjuk langsung oleh Khalifah. Dengan ketentuan Wazir memiliki keahlian
dalam proses peradilan. Lihat, Alaiddin Koto, ................. h.117
24
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2008), h.163
25
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), h.
85. Lihat juga, Hasbi ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT Pustaka
Rezki Putra, 2001), h.53.
35

Di kota Malaga tepatnya pada tahun 713 H atau 1293 M lahirlah

seorang bayi yang diberi nama Abu Hasan Ali bin Abdullah bin Muhammad

bin Muhammad bin Abdullah bin Hasan bin Muhammad bin Hasan

Aljadzami Almalaqi. Ia juga dikenal dengan Ibnu Hasan, Ibnu Abi Hasan,

serta Annabahy. Ia tumbuh besar dan belajar di kota kelahirannya. Saat genap

berumur 80 tahun, ia menemui kematiannya yaitu pada tahun 793 H atau

1373 M.

Pada masa Kesultanan Bani Ahmar di Granada, Ibnu Hasan al-Nabahy

al-Andalusy pernah menulis catatan-catatan tentang peradilan dan beberapa

biografi hakim di Andalusia. Selanjutnya oleh Doktor Maryam Qasim

Thawil, dosen bahasa spanyol dan sejarah andalusia di Universitas Libanon,

tulisan-tulisan tersebut dikumpulkan dan ditunjukkan kepada Muhammad

‘Ali Baidhuni, direktur penerbitan buku Darul Kitab Beirut Libanon, untuk

dapat diterbitkan. Setelah melalui banyak proses, akhirnya pada tahun 1415 H

atau 1995 M kumpulan tulisan Ibnu Hasan al-Nabahy al-Andalusy diterbitkan

pertama kali dengan judul Târîkh al-Qudhât al-Andalusy.

Pada Muqaddimah Annabahy menuliskan bahwa kumpulan tulisannya

mencakup empat bab, namun Thawil hanya menemukan dua bab awal saja.

Bab pertama menerangkan Peradilan dan Seluk Beluknya, serta Bab kedua

menerangkan perjalanan sebagian hakim dan pemimpin terdahulu. Cerita-

cerita yang disajikan dalam tulisan Annabahy ini dimulai sejak Masa Daulah

Bani Umayyah II (92 H) sampai akhir Abad delapan hijriyah.

Buku ini berjumlah 303 halaman dengan rincian sebagai berikut;


36

 11 halaman Muqaddimah Penyunting


 1 halaman Muqaddimah Penulis
 25 halaman Bab Pertama tentang Peradilan dan Seluk Beluknya
 210 halaman Bab Kedua tentang Perjalanan Sebagian Hakim dan
Pemimpin Terdahulu
 7 halaman Indeks Bab, Pasal dan Terjemah
 20 halaman Indeks Nama
 1 halaman Indeks Golongan dan Suku
 6 halaman Indeks Tempat
 7 halaman Indeks Kitab dalam Cerita
 6 halaman Indeks Syair
 8 halaman Daftar Pustaka
 1 halaman Daftar Isi
Disimpulkan bahwa ulasan tentang Kitab Târîkh al-Qudhât al-Andalusy

karangan Ibnu Hasan al-Nabahy al-Andalusy di atas membuktikan bahwa

tulisan-tulisan dalam kitab tersebut masih begitu otentik sejak penulisannya

hingga saat ini di tangan penulis. Banyak cerita hakim pada masa itu yang

belum terungkap dan terdengar oleh civitas akademik saat ini.

D. Qadhi-Qadhi26 di Andalusia

Pada subbab ini Penulis menyajikan biografi singkat Qadhi-qadhi

(hakim) di Andalusia yang bersumber dari Kitab Târîkh al-Qudhât al-

Andalusy karangan Ibnu Hasan al-Nabahy al-Andalusy. Kelemahan biografi

singkat ini terdapat pada keterangan periode tahun diangkat serta berakhirnya

seorang hakim yang tidak banyak terdeteksi. Namun sejatinya periode

26
Khusus pada subbab ini disebutkan; kata qadhi untuk mengganti hakim dengan tujuan
menghormati dan menjaga keaslian penyebutan qadhi pada masa peradilan Islam di Andalusia.
Referensi tahun yang dituliskan dengan versi Hijriyah untuk menjaga keaslian data-data primer.
37

pengangkatan hakim hanya akan berakhir jika seseorang yang mengangkat

telah memecatnya, hakim tersebut menjadi gila, atau hakim tersebut

meninggal dunia.27

Tujuan disajikannya data-data hakim ini untuk membantu Penulis

beserta Pembaca mengetahui serta mengenal hakim-hakim di Andalusia.

Berikut merupakan biografi singkat sembilan puluh sembilan qadhi di

Andalusia yang diklasifikasikan berdasarkan wilayah yurisdiksi dengan

urutan, sebutan Qadhi, nama asli, nama julukan, tahun lahir dan wafat, Amir

atau Gubernur yang mengangkat, nama guru, nama murid, serta hubungan

keluarga atau pemerintahan;

Granada

1. Qadhi Muhammad bin Alhasan al-Judzamiy an-Nubahy. Ia diangkat

menjadi Qadhi oleh Amir Yahya al-Mu’tali bi Dhohir.28

2. Qadhi Abul Asbagh 'Isa bin Sahl bin Abdillah al-Asadiy. Ia lahir pada

tahun 1022 dan wafat 4 Februari 1093. Ia berguru kepada Abu

Muhammad Makkiy, Abu Abdullah bin ‘Attab, Abu Marwan bin Malik,

dan Abu Amar bin al-Qattan. Ia diangkat menjadi Qadhi oleh Amir Ali

bin Yusuf bin Tasyufin.29

3. Qadhi Musa bin Hammad. Ia diangkat menjadi Qadhi oleh Amir Ali bin

Yusuf bin Tasyufin.

27
Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu.........h.130.
28
Yahya al-Mu’tali bi Dhohir adalah Amir Granada 1021-1023 M dan 1025-1026 M.
29
Amir Ali bin Yusuf adalah Amir kelima dari Dinasti Murabithun yang berkuasa di
Maroko pada tahun 1106–1143 M). Saat itu, Granada adalah salah satu provinsi dalam kerajaan
Murabithun.
38

4. Qadhi Muhammad bin Abdullah bin Hasan al-Malaqi. Ia berguru kepada

Abu Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Hamdi, Abul Hasan Siraj, Abu

Muhammad bin ‘Attab, dan Abu Ali al-Ghassaniy. Ia diangkat menjadi

Qadhi Granada pada tahun 515 H (1121 M).

5. Qadhi Abul Fadhil 'Iyadh al-Yahshobiy. Ia diangkat menjadi Qadhi di

Granada pada tahun 530 H (1135 M).

6. Qadhi Muhammad bin Simak al-‘Amiliy dengan nama asli Muhammad

bin Abdullah bin Ahmad. Ia diangkat menjadi Qadhi di Granada.

7. Qadhi Abdul Mun'im bin al-Faras putra dari Muhammad bin

Abdurrahman. Ia diangkat menjadi Qadhi di Granada.

8. Qadhi al-Hasan bin Haniy putra dari Abdurrahman bin Qasim. Ia berguru

kepada Ghalib bin ‘Athiyah, Abul Hasan bin al-Baghasy, Abu

Muhammad bin ‘at-Tab dan Abul Walid bin Rusyd. Ia diangkat menjadi

Qadhi di Granada pada tahun 541 H (1146 M).

9. Qadhi Ibnu Rusyd al-Hafid dengan nama asli Muhammad bin Ahmad

Abul Qasim bin Muhammad Abul Walid. Ia merupakan cucu dari Qadhi

Abul Walid di Kordoba.

10. Qadhi Yahya bin Abdurrahman bin Rabi' al-Asy’ariy. Ia wafat pada 639

H. Ia diangkat menjadi Qadhi oleh al-Ghalib billah Abu Abdullah bin

Nasr. Ia berguru kepada Abu Bakar bin Al-Jadd, Ibn Zarqun, dan Ibnu

Basykual. Ia juga merupakan saudara dari Qadhi Abu Sulaiman. Ia

diangkat menjadi Qadhi di Granada.30

30
Periode pengangkatanya pada tahun 636 H (1238 M)
39

11. Qadhi Muhammad bin Ghalib al-Anshariy dengan nama asli Muhammad

bin Ibrahim bin Muhammad. Ia wafat pada tahun 649 H (1251 M). Ia

diangkat menjadi Qadhi oleh al-Ghalib billah Abu Abdullah bin Nasr. Ia

diangkat menjadi Qadhi di Granada.31

12. Qadhi Muhammad bin Adhha al-Hamadaniy. Ia merupakan keturunan

Abul Hasan bin Adhha, Amir Andalusia yang pernah berkuasa pada

tahun 539 H. Ia diangkat menjadi Qadhi di Granada oleh al-Ghalib billah

Abu Abdullah bin Nasr.32

13. Qadhi Abul Qasim Abdurrahman bin Rabi' al-Asy’ariy dengan nama asli

Abdurrahman bin Abu Amir Yahya bin Abdurrahman. Ia merupakan

putra dari Qadhi Yahya bin Abdurrahman bin Rabi’ al-Asy’ariy.Ia

diangkat menjadi Qadhi oleh al-Ghalib billah Abu Abdullah bin Nasr.

14. Qadhi Abu Bakr Muhammad al-Asyburun dengan nama asli Muhammad

bin Fatah bin Ahmad al-Anshariy. Ia wafat pada 698 H. Ia diangkat

menjadi Qadhi oleh al-Ghalib billah Abu Abdullah bin Nasr.33

15. Qadhi Ghalib bin Hasan bin Sidbunah. Ia diangkat menjadi Qadhi oleh

al-Ghalib billah Abu Abdullah bin Nasr. Ia berguru kepada Abu

Abdullah bin Muzyin dan Abu Ahmad bin Sidbuni. Ia wafat pada 651 H.

16. Qadhi Muhammad bin Yahya bin Bakr al-Asy'ariy putra dari Yahya bin

Ahmad bin Muhammad bin Bakr. Ia berguru kepada Abdul Wahid bin

Abi Saddad, Muhammad bib Abbas al-Khazraji, Abul Hasan bin

31
Periode pengangkatanya pada tahun 639 H (1241 M)
32
Periode pengangkatanya pada tahun 649 H (1251 M)
33
Periode pengangkatannya pada tahun 671 H (1272 M)
40

Fadhilah, Abu Faris Abdul Aziz al-Hawwariy, Abu Ishaq at-Talmasaniy,

dan Abul Qosim Abdur Rohim.

17. Qadhi Abu Abdullah Muhammad bin 'Ayyasy dengan nama asli

Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin 'Ayyasy al-Kharajiy. Ia

diangkat menjadi Qadhi oleh Amir Abul Hallaj. Ia juga berguru kepada

Qadhi Muhammad bin Yahya bin Bakr al-Asy'ariy.

18. Qadhi Abu Muhammad Abdullah bin Yahya al-Anshariy dengan nama

asli Abdullah bin Yahya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariyya al-

Anshariy al-Ausiy. Ia lahir pada 675 H dan wafat pada 745 H. Ia juga

berguru kepada Abu Ja'far bin Azzubair, Qadhi Abu Abdillah bin

Hisyam, dan Abul Hasan bin Fadhilah.

19. Qadhi Abu Bakr Muhammad bin Ahmad bin Syabrin al-Judzamiy

dengan nama asli Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad

bin Muhammad bin Ahmad al-Judzamiy. Ia juga berguru kepada Abu

Bakr bin Ubaidah al-Isybiliy, Abul Ishaq al-Ghafiqi, dan Qadhi Abu

Ishaq Ibrahim bin Abdul Rofi'.

20. Qadhi Abu Ishaq Ibrahim bin Yahya bin Zakariyya dengan nama asli

Ibrahim bin Yahya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariyya al-

Anshariy al-Ausiy. Ia lahir pada 751 H. Ia berguru kepada Abu Ja'far bin

Azzubair, dan Abu Ishaq Alghafiqiy. Ia juga merupakan saudara kandung

Qadhi Abu Muhammad Abdullah bin Yahya.

21. Qadhi Abul Qasim bin Salmun dengan nama asli Salmun bin Salmun bin

Ali bin Abdullah bin Ali bin Salamun al-Kinaniy. Ia lahir pada 688 H
41

dan wafat pada 767 H. Ia juga berguru kepada Abu Ja'far bin az-Zubair,

Qadhi Ahmad bin Muhammad al-Khazrajiy, Syarifuddin bin Ahmad bin

Khalaf ad-Dimyathiy, dan Abu Ali Manshur bin Ahmad bin Abdul Haq

al-Masydaliy.

22. Qadhi Abul Qasim asy-Syarif al-Gharnatiy dengan nama asli Muhammad

bin Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Abdillah al-Hasaniy. Ia

diangkat menjadi Qadhi oleh Amir al-Mu'ayyad al-Manshur Abu

Abdillah. Ia juga berguru kepada Abu Abdillah bin ‘Ayasy.

Kordoba

1. Qadhi Mahdi bin Muslim. Ia diangkat menjadi Qadhi oleh Uqbah dîn al-

Hajjaj.

2. Qadhi ‘Antarah bin Falah. Ia diangkat menjadi Qadhi oleh Uqbah dîn al-

Hajjaj.

3. Qadhi Yahya bin Zaid. Ia diangkat menjadi Qadhi oleh Umar bin Abdul

Aziz.

4. Qadhi Mu'awiyah bin Shalih al-Hadhramy. Ia wafat pada 168 H. Ia

diangkat menjadi Qadhi oleh Amir Abdurrahman bin Mu’awiyah.

Diantara muridnya ialah Sufyan ats-Tsauri, al-Laits bin Sa’ab, dan Ibnu

‘Uyainaq.

5. Qadhi Nashru bin Thorif al-Yahshobiy. Ia diangkat menjadi Qadhi oleh

Amir Abdurrahman bin Mu’awiyah.


42

6. Qadhi Yahya bin Mu'ammar. Ia diangkat menjadi Qadhi oleh Amir

Abdurrahman bin Mu’awiyah. Ia berguru kepada Asyhad bin Abdul

Aziz.

7. Qadhi Mush'ab bin 'Imron. Ia diangkat menjadi Qadhi oleh Amir

Abdurrahman bin Mu’awiyah.34

8. Qadhi Muhammad bin Basyir al-Ma’afiriy. Ia diangkat menjadi Qadhi

oleh Amir al-Hakam bin Hisyam. Ia berguru kepada Malik bin Anas.

9. Qadhi Alfaraj bin Kinanah. Ia diangkat menjadi Qadhi oleh Amir al-

Hakam bin Hisyam. Ia berguru kepada Abdurrahman bin al-Qasim.

10. Qadhi Sa'id bin Sulaiman al-Ghofiqiy. Ia diangkat menjadi Qadhi oleh

Amir al-Hakam bin Hisyam.

11. Qadhi Mu'adz bin Utsman Asysya’baniy. Ia diangkat menjadi Qadhi oleh

Amir Abdurrahman.

12. Qadhi Muhammad bin Ziyad. Ia diangkat menjadi Qadhi oleh Amir

Abdurrahman. Ia berguru kepada Mu’awiyah bin Sholih.

13. Qadhi Sulaiman bin al-Aswad al-Ghofiqiy. Ia diangkat menjadi Qadhi

oleh Amir Muhammad bin Abdurrahman as-Samiy.

14. Qadhi Aslam bin Abdul 'aziz. Ia diangkat menjadi Qadhi oleh Amir an-

Nasir li dînillah. Ia wafat pada tahun 317 H.

15. Qadhi Ahmad bin 'Abdullah bin Abi Thalib. Ia diangkat menjadi Qadhi

oleh Amir an-Nasir li dînillah.

34
Periode pengangkatannya pada tahun 172 H (788 M)
43

16. Qadhi Ahmad bin Baqi bin Makhlad. Ia diangkat menjadi Qadhi oleh

Amir al-Hakam al-Muntasyir billah.

17. Qadhi Mundzir bin Sa'id Abdullah. Ia diangkat menjadi Qadhi oleh Amir

an-Nasir li dînillah pada tahun 314 H (926 M). Salah satu muridnya ialah

Ibnu Asbagh al-Hamadaniy.

18. Qadhi Muhammad bin Assalim. Ia diangkat menjadi Qadhi oleh Amir al-

Hakam al-Muntashir billah.

19. Qadhi Muhammad bin Yabqa bin Zarb. Ia lahir pada 319 H dan wafat

pada 381 H. Ia diangkat menjadi Qadhi oleh Amir Hisyam.

20. Qadhi Ibn Barthal dengan nama aslinya Muhammad bin Yahya bin

Zakaria. Ia wafat pada 394 H. Ia merupakan paman dari al-Mansur

Muhammad bin Abi Amir.

21. Qadhi Abul ‘Abbas bin Dzakwan dengan nama aslinya Ahmad bin

Abdullah bin Dzakwan. Ia wafat pada 413 H. Ia diangkat menjadi Qadhi

oleh Amir al-Mansur bin Abi Amir.

22. Qadhi Abu al-Muthorrif bin Futhais dengan nama aslinya Abdurrahman

bin Muhammad bin ‘Isa. Ia diangkat menjadi Qadhi oleh Amir al-Mansur

bin Abi Amir.

23. Qadhi Yahya bin Abdurrahman bin Wafid. Ia diangkat menjadi Qadhi

oleh Amir al-Mansur bin Abi Amir pada tahun 401 H (1010 M).

24. Qadhi Abu Bakr Muhammad bin Mandzur. Ia wafat pada 464 H. Ia

diangkat menjadi Qadhi oleh al-Mu’tamit Muhammad bin ‘Abbad. Ia


44

berguru kepada Abdul Qasim bin ‘Usfur al-Hadhramiy dan Abu bakr bin

Abdurrahman al-‘Awwat.

25. Qadhi Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd. Ia berguru kepada

Abu Ja’far Ahmad bin yazid, Abu Marwan bin Siraj, Abu Abdillah

Muhammad bin Khoiroh, Abu Ali al-Ghassaniy.

26. Qadhi Abu Abdullah Muhammad bin al-Hajj. Ia berguru kepada Abu

Ja'far Ahmad bin Riziq, Abu Marwan Abdul Malik bin Siraj, Abu

Abdullah bin Muhammad bin faraj, dan Abu Ali Al-Ghossaniy.

27. Qadhi Abul Qasim bin Hamdin. Ia berguru kepada Muhammad bin Ali

bin Muhammad (Ayahnya), Abu Abdullah Muhammad bin Faraj, Abu

Ali al-Ghossaniy, Abu Qasim bin Madyan al-Muqri'.

28. Qadhi Hamdin bin Hamdin putra dari Muhammad bin Hamdin. Ia

diangkat menjadi Qadhi di Kordoba pada tahun 529 H

29. Qadhi Ahmad bin Yazid bin Baqiy al-Lumawiy. Ia wafat pada 625 H.

Salah satu muridnya ialah Abu Abdullah Malik bin Anas. Ia juga berguru

kepada Abul Walid (ayahnya), Abul Hasan Abdurrahman (kakeknya),

Abu Abdullah bin Abdul Haq al-Khazraji, Ibnu Basykual, dan Ibnu

Quzman.

30. Qadhi Rabi' bin Abdurrahman bin Rabi' al-Asy'ariy dengan nama asli

Rabi’ bin Abdurrahman bin Rabi’. Ia diangkat menjadi Qadhi oleh Amir

Muhammad bin Hud.


45

Malaga

1. Qadhi Muhammad bin Sulaiman al-Anshariy al-Maliqi. Ia diangkat

menjadi Qadhi di Malaga.

2. Qadhi Abul Muthorrif Abdurrahman asy-Syi’biy putra dari Qasim. Ia

diangkat menjadi Qadhi di Malaga.

3. Qadhi Abu Bakr Muhammad bin Abi Zamanain dengan nama asli

Muhammad bin Abdullah bin Muhammad. Ia berguru kepada Abu

Marwan bin Uzman, Abu Ali bin Sahl al-Kusyani, Ibnu Muhriz dan Ibnu

Ni'mah.35

4. Qadhi Muhammad bin al-Hasan bin Muhammad bin al-Hasan an-nubahiy.

Ia diangkat menjadi Qadhi di Malaga pada tahun 626 H (1228 M).

5. Qadhi Muhammad bin Hasan bin Shohib ash-Sholat dengan nama asli

Muhammad bin Hasan bin Muhammad.

6. Qadhi Abu Abdullah bin 'Askar dengan nama asli Muhammad bin ‘Ali bin

Khidir. Ia wafat pada 636 H.

7. Qadhi al-Hasan bin al-Hasan al-Judzamiy an-Nubahiy. Ia diangkat

menjadi Qadhi di Malaga.

8. Qadhi Utsman bin Mandhur dengan julukan Abu Umar. Ia putra dari

Muhammad bin Yahya bin Muhammad bin Mandzur. Ia wafat pada 735

H. Salah satu muridnya ialah abu Bakr bin al-Fakhar. Ia berguru kepada

Abu Muhammad al-Bahiliy.

35
Periode pengangkatannya pada tahun 592 H (1195 M)
46

9. Qadhi Abu Bakr Muhammad bin Abdullah bin Mandzur al-Qisiy dengan

nama asli Muhammad bin Ubaidillah bin Muhammad bin Yusuf bin

Yahya bin Ubaidillah bin Mandzur. Ia wafat pada 750 H. Ia berguru

kepada Abu Muhammad bin Abi as-Saddad al-Bahiliy, Ibnuz Zubair, dan

Ibnu Uqail Azzundiy.

10. Qadhi Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad At-Thonjaliy dengan nama

asli Muhammad bin Abu Ja’far Ahmad bin Abu Abdillah Muhammad

bin Ahmad bin Yusuf al-Hasyimiy at-Thanjaliy. Ia diangkat menjadi

Qadhi oleh Amir al-Mu’ayyad Abul Hajjaj.

Vez

1. Qadhi Isa bin al-Maljum putra dari Yusuf bin Isa al-Azdiy. Ia berguru

kepada Abu Ali al-Ghossaniy, Abu Abdullah bin faraj, dan Abu Bakar

Hazim.

2. Qadhi Abu Ja'far al-Mazdaghiy dengan nama asli Ahmad bin al-

Mazdaghiy. Ia wafat pada 669 H.

3. Qadhi Muhammad bin 'Ali al-Jazuli Ibnu al-Haj putra dari Ali bin

Abdurrazaq al-Jazuliy. Ia berguru kepada Abu Usman bin Isa al-Himyari.

4. Qadhi Abu Ishaq Ibrahim at-Tisuliy Syarih putra dari Abi Yahya at-Tasuli

at-tazi. Ia berguru kepada Qadhi Abu Hasan ash-Shoghir.

5. Qadhi Abu Abdullah al-Muqriy at-Tilmisaniy dengan nama asli

Muhammad bin Muhammad bin ahmad al-Muqri’ at-Tilmisaniy. Ia

diangkat menjadi Qadhi oleh Amir Abu ‘Anan. Ia juga berguru kepada

Abu Musa Imron al-Masydaliy.


47

6. Qadhi Abu Abdullah Muhammad al-Fisytaliy dengan nama asli

Muhammad bin Ahmad bin Abdullah al-Fisytaliy. Ia wafat pada 779 H.Ia

diangkat menjadi Qadhi oleh Amir Abu ‘Anan.36

Almeria

1. Qadhi Abdul Haq bin Gholib bin 'Athiyyah. Ia lahir pada 481 H dan wafat

pada 541 H. Ia menjadi Qadhi di Almeria pada tahun 529 H

2. Qadhi Muhammad bin Muhammad bin Hisyam. Ia diangkat menjadi

Qadhi oleh Sultan Abu Abdullah.

3. Qadhi Abu Bakr Yahya bin Mas'ud al-Muharibiy. Ia lahir pada 653 H da

wafat pada 727 H. Diantara muridnya ialah Abu Ja'far bin az-Zubair,

Ibnu Thola', dan Ibnu Abil Akhwas. Ia putra dari Qadhi Abu yahya dan

Saudara Abul Hasan, Menteri Daulah Isma’iliyyah.

Valencia

1. Qadhi Abu al-Khatthab Ahmad bin Wajib al-Qaisiy dengan nama asli

Ahmad bin Muhammad bin Umar. Ia berguru kepada Abul Hasan bin

Hulail, Abu Marwan bin Quzman, Qadhi Abu Bakar al-'Arabiy, dan Abul

Walid bin Ad-Dibagh.

2. Qadhi Abur Rabi' Sulaiman al-Kala'i dengan nama asli Sulaiman bin Musa

bin Salim. Ia wafat pada 565 H dan wafat pada 634 H. Ia berguru kepada

Abul Qasim Hubais, Abu Bakr bin al-Jad, Ibn Zarqun dan Abul Walid

bin Abu Qasim.

36
Periode pengangkatannya pada tahun 759 H (1357 M)
48

Andalusia Timur (Zaragoza dan Murcia)

1. Qadhi Abu ‘Amr Muhammad bin Yusuf. Ia merupakan sepupu dari Ismail

bin Hammad. Ia diangkat menjadi Qadhi Baghdad oleh Amir al-

Mutawakkil.37

2. Qadhi Abul Walid Sulaiman al-Bâjiy dengan nama aslinya Sulaiman bin

Khalaf. Ia wafat pada 474 H.

3. Qadhi Abul Walid Yunus bin Mughits. Ia diangkat menjadi Qadhi oleh

Amir Hisyam bin Muhammad al-Marwaniy pada tahun 419 H.

Sevila

1. Qadhi Isma'il bin 'Abbad. Ia diangkat menjadi Qadhi oleh Amir al-mansur

bin Abi Amir.

2. Qadhi Abu Bakr bin al-‘Arabiy al-Ma’afiriy dengan nama asli Muhammad

bin Abdullah bin Muhammad. Ia berguru kepada Abu Bakar Muhammad

bin al-Walid ath-Thurtusi, Abu Hamid ath-Thusi al-Ghozali, dan Abu

Bakar asy-Syasyi.38

Reyo

1. Qadhi Alhasan bin Abdullah al-Judzamiy al-Maliqi. Ia wafat pad 392 H. Ia

diangkat menjadi Qadhi oleh al-Mansur bin Abi Amir. Ia berguru pada

Qasim bin Asbagh.

2. Qadhi Abu Muhammad Abdullah al-Wahidiy dengan nama asli Abdullah

bin Umar bin Ahmad al-Wahidiy. Ia berguru kepada Abul Walid al-Bâjiy

dan Abul Muthorrif asy-Sya'bi.


37
Periode pengangkatannya pada tahun 383 H untuk menggantikan sepupunya yang wafat,
yaitu Qadhi Isma'il bin Hammad.
38
Periode pengangkatannya pada tahun 493 H
49

3. Qadhi Ahmad bin al-Hasan al-Judzamiy putra dari al-Hasan bin Yahya bin

al-Hasan al-Judzamiy.

Ceuta

1. Qadhi Abu Abdullah bin Abdul Muhaimin al-Hadhramiy dengan nama

asli Muhammad bin Abdul Muhaimin bin Muhammad. Ia wafat pada 712

H. Ia memiliki hubungan keluarga dengan Bani Ghazafi, penguasa ceuta.

2. Qadhi Abu Ishaq Ibrahim al-Ghofiqiy dengan nama asli Ibrahim bin

Ahmad bin Isa al-Ghofiqiy. Ia wafat pada 716 H. Ia berguru kepada Abul

Hasan bin Abil Robi', Muhammad bin Abdullah bin Sulaiman, dan Qadhi

Abu abdullah bin Qadhi Abu Musa Imron.

3. Qadhi Muhammad bin Muhammad al-Ikhomy al-Qurthubiy. Ia wafat pada

723 H.

4. Qadhi Muhammad bin Mansur bin Ali at-Tilmisaniy. Ia wafat pada 736H.

Malorca

1. Qadhi Ibrahim bin Ahmad al-Anshariy al-Granada dengan nama asli

Ibrahim bin Ahmad bin Abdurrahman. Ia diangkat menjadi Qadhi oleh

Ishak bin Muhammad bin Ghoniyah al-Lamtuni.

Maroko

1. Qadhi Abu Abdullah bin Abdul Malik dengan nama asli Muhammad bin

Muhammad bin Sa’id bin Abdul Malik al-Marakusyi. Ia wafat pada 703

H. Ia berguru kepada Abul Hasan bin Muhammad az-zulbiy.


50

Peca

1. Qadhi Abul 'Abbas al-Ghobriniy putra dari Ahmad al-Ghobriniy. Ia wafat

pad 704 H.

Beja

1. Qadhi Abulqasim al-Khidhr bin Abi al-‘Afiyah dengan nama asli al-

Khidhr bin Ahmad bin Abu al-‘Afiyah al-Anshariy. Ia wafat pada 745 H.

Tunisia

1. Qadhi Abu Abdullah Muhammad bin Abdussalam dengan nama asli

Muhammad bin Abdussalam al-Munastiriy. Ia wafat pada 750 H.

Malli

1. Qadhi Abu 'Amr 'Ustman bin Musa al-Janiy dengan nama asli Ustman bin

Musa al-Janiy.

Mutasi39

1. Qadhi Muhammad bin 'Abdullah bin Abi 'Isa. Ia diangkat menjadi Qadhi

oleh Amir an-Nasir li dînillah di Toledo, kemudian Pecina, kemudian

Elvira.

2. Qadhi Abu Muhammad Abdullah bin Huthillah al-Anshariy dengan nama

asli Abdullah bin Sulaiman bin Dawud. Ia diangkat menjadi Qadhi di

Sevilla, Mallorca, Murcia, Kordoba, dan Ceuta.

3. Qadhi Abu 'Ali bin al-Nadhir dengan nama asli al-Husain bin Abdul Aziz

bin Muhammad. Ia diangkat menjadi Qadhi di Almeria, kemudian Baza,

kemudian Malaga. Ia juga berguru kepada Abu Muhammad al-Kawwab,

39
Yang dimaksud mutasi di sini bukan nama suatu wilayah, melainkan kategori hakim-
hakim yang pernah dimutasi dari satu wilayah ke wilayah yang lain.
51

Abul Hasan bin Jabir ad-Dabaj, Qadhi Abdul Qasim bin Baqiy, Sahal bin

Malik al-Azdi, Abdurrabi' bin Salim, Abul Abbas bin ‘Ayasy, dan Abu

Muhammad ‘Athiyyah.

4. Qadhi Muhammad bin Ya'qub Almarsiy. Ia wafat pada 690 H. Ia diangkat

menjadi Qadhi di Beja dan kemudian Tunisia.

5. Qadhi Abu Tamam Gholib bin Sayidbunah al-Khoza’i. Ia wafat pada 624

H. Ia diangkat menjadi Qadhi di Albaicin dan kemudian Granada. Ia

berguru kepada Abul Hasan bin Fadhilah. Ia juga merupakan cucu dari

Qadhi Sidbunah.

6. Qadhi Abu Ja'far Ahmad bin Farkun dengan nama asli Ahmad bin

Muhammad bin Ahmad. Ia lahir pada 649 H dan wafat pada 729 H. Ia

diangkat menjadi Qadhi di Reyo, kemudian Malaga, kemudian Almeria,

kemudian Granada. Ia juga berguru kepada Abu Abdillah Muhammad

bin Ibrahim at-Tho'iy.

7. Qadhi Abu Ja'far Ahmad bin Burthal dengan nama asli Ahmad bin

Muhammad bin Ali bin Ahmad al-‘Umawiy. Ia wafat pada 750 H. Ia

diangkat menjadi Qadhi di Granada dan kemudian Malaga.

8. Qadhi Abu al-Barakat Ibn al-Haj al-Balfiqiy dengan nama asli Muhammad

bin Muhammad bin Ibrahim bin Muhammad bin Khalaf as-Sulamiy. Ia

wafat pada 773 H. Ia diangkat menjadi Qadhi di Malaga, kemudian

Granada, kemudian Almeria. Ia juga berguru kepada Abu Ali Manshur

bin Ahmad bin Abdul Haqq al-Masydaliy, Abu Abdillah at-Thanjaliy,

dan Qadhi Abu Bakr bin al-‘Aarabiy.


BAB IV

PENGANGKATAN HAKIM DALAM KONTEKS KARIR DAN SOSIAL

DI ANDALUSIA

Pada Bab IV ini akan dipaparkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan

yang telah diajukan pada Bab I, serta menganalisis hasil temuan berdasarkan teori

yang telah dipaparkan pada Bab II dan data yang telah dideskripsikan pada Bab

III. Subbab pertama menjawab mengenai mekanisme pengangkatan hakim di

Andalusia, disini akan ditampilkan tabel klasifikasi hakim. Subbab selanjutnya

menjawab mengenai pengaruh hubungan keluarga terhadap pengangkatan hakim

di Andalusia. Terakhir merupakan subbab dari refleksi Penulis terhadap hasil

penelitian skripsi ini.

A. Mekanisme Pengangkatan Hakim di Andalusia

Mekanisme peradilan yang pernah terjadi pada masa Islam klasik

banyak diadopsi dan dikembangkan oleh mekanisme peradilan saat ini. Salah

satunya pada poin upaya hukum oleh pihak yang merasa haknya belum

terpenuhi. Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib (w.661 M) bahwa, “Aku

akan putuskan perkara diantara kalian, jika kalian telah menerima

keputusanku, maka lakukanlah keputusanku. Tetapi jika kalian tidak

menerimanya, maka aku cegah salah satu dari kalian untuk melakukan

52
53

sesuatu, hingga kalian menghadap sendiri pada Nabi” 1 . Penuturan Ali

menggambarkan kebolehan pihak yang belum merasa terpenuhi haknya untuk

melakukan upaya hukum pada yang lebih tinggi, yaitu Nabi. Sejalan pula

dengan sistem peradilan modern saat ini yang memberikan kesempatan upaya

hukum biasa ataupun luar biasa.

Apakah pada poin pengangkatan hakim pada masa Islam klasik hingga

Kerajaan Islam juga diadopsi oleh peradilan modern ? Sistem pengangkatan

hakim dapat dibagi menjadi dua pola besar, yaitu pola tradisional dan pola

modern. Pola tradisional identik dengan diwariskan serta berujung pada

sistem dinasti. Sedangkan pola modern lebih bersifat sebagai profesi dengan

syarat dan aturan tertentu agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai. Dari

kedua pola tersebut, manakah pola yang digunakan sebagai mekanisme

pengangkatan hakim di kawasan Andalusia ?

Untuk mengantarkan pada inti jawaban, analisisnya akan ditampilkan

berupa tabel klasifikasi hakim. Tabel yang akan disajikan ini diperoleh dari

dokumen yang berisi kumpulan data-data hakim di kawasan Andalusia. Data-

data hakim yang ditemukan tersebut diolah dalam bentuk yang lebih

sederhana, yaitu dengan mengelompokkan hakim berdasarkan wilayah

yurisdiksi hukum, mutasi hakim, guru hakim serta kepemilikan hubungan

keluarga diantara para hakim. Pengelompokkan hakim ini digambarkan

melalui dua tabel besar, yaitu tabel distribusi hakim berdasarkan wilayah serta

1
Muhammad Salam Madkur, al-Qadha’ fi al-Islam (Qahirah: al-Mathba‟ah al-„Alamiyah,
t.th).h.22.
54

tabel klasifikasi hakim berdasarkan status dalam keluarga dan pendidikan.

Berikut merupakan tabel pengelompokkan hakim beserta penjelasannya :

Tabel.4.1. Distribusi hakim berdasarkan wilayah

No. Kriteria Jumlah


1. Hakim dengan wilayah yurisdiksi di Semenanjung Iberia 97
1. Andalusia Timur 3
2. Kordoba 32
3. Toledo 1
4. Pecina 1
5. Sevila 3
6. Elvira 1
7. Malaga 14
8. Reyo 1
9. Granada 25
10. Almeria 6
11. Malorca 2
12. Beja 1
13. Ceuta 5
14. Valencia 2
2. Hakim dengan wilayah yurisdiksi bukan di Semenanjung 15
Andalusia
1. Baghdad 1
2. Irak 1
3. Afrika 4
4. Maroko 1
5. Tunisia 2
6. Vez 6
55

Tabel yang disajikan di atas mendeskripsikan, pertama Banyak Hakim-

Hakim (94%) yang berasal dari Andalusia ditugaskan menjadi Hakim di

kawasan Andalusia juga, walaupun begitu terdapat juga 6% Hakim yang

berasal dari Andalusia ditugaskan di luar kawasan Andalusia. Ini artinya

bahwa Gubernur yang sedang menjabat di setiap periode tidak mengabaikan

kebutuhan Hakim di kawasan yang baru dilakukan ekspansi pemerintahan,

khususnya pada saat pusat pemerintahan Andalusia masih berada di bawah

Dinasti Abasiyah Baghdad. Maka muncul pula data hakim yang berada di

luar kawasan Andalusia.

Kedua, Jumlah perkara di kota kecil lebih sedikit dibandingkan dengan

jumlah perkara yang terdapat di kawasan kota besar. Terlihat dari jumlah

hakim yang menjabat di kawasan kota besar lebih banyak dari jumlah hakim

di kawasan kota kecil. Contohnya adalah Kordoba yang memiliki jumlah

hakim terbanyak, 32 hakim, karena ia merupakan pusat pemerintahan

andalusia saat itu. Disusul kawasan Granada sebanyak 25 hakim, kemudian

Malaga sebanyak 14 hakim. Selain itu, kota-kota dengan jumlah hakim yang

lebih banyak memiliki dua prediksi: (1) Ia merupakan kota besar dan menjadi

pusat pemerintahan dari kota kecil di sekelilingnya. Seperti Granada dengan

kota di sekelilingnya Jaen dan Guadix, serta Andalusia Timur untuk Zaragoza

dan Murcia. (2) Ia merupakan kota tua, yaitu kota yang terlebih dahulu

menjadi kekuasaan Islam. Seperti Malaga dengan teritorial hanya 7.308 km2

namun memiliki jumlah hakim yang lebih banyak.


56

Tabel.4.2. Klasifikasi hakim berdasarkan status dalam keluarga dan


pendidikan
No. Kriteria Jumlah
1. Hakim yang pernah dimutasi 8
2. Hakim yang memiliki hubungan keluarga ke atas-bawah 4
3. Hakim yang memiliki hubungan keluarga ke samping 3
4. Hakim dengan sistem pengangkatan yang ditunjuk 53
5. Hakim dengan sistem pengangkatan yang tidak 46
ditemukan
6. Hakim yang berguru kepada Sahnun 2
7. Hakim yang berguru kepada Abu Ali Al-Ghossaniy 5
8. Hakim yang berguru kepada Ibnu Basykual 2
9. Hakim yang berguru kepada Abu Ali Manshur bin 3
Ahmad bin Abdul Haq Almasydaliy
10. Hakim yang berguru kepada Abu Ja'far bin Azzubair 4

Selanjutnya, Tabel 4.2 yang disajikan diatas mendeskripsikan, pertama

Khalifah di Andalusia tidak banyak memutasi Hakim dari satu wilayah ke

wilayah lain. Sebagian besar Hakim yang telah menjabat di suatu wilayah

akan terus bertahan di wilayah tersebut. Tabel diatas membuktikan bahwa

hanya terdapat 8 hakim yang dimutasi sepanjang periode Daulat Umayah II di

Andalusia.

Kedua, Minimnya hubungan kekeluargaan diantara para hakim di

Andalusia. Ditunjukkan pada kolom nomor dua yaitu hubungan keluarga

atas-bawah adalah hubungan antara orang tua dan keturunannya sebanyak

empat hakim, serta kolom nomor tiga yaitu hubungan keluarga ke-samping
57

adalah hubungan antara saudara kandung atau saudara sepupu sebanyak tiga

hakim.

Ketiga, Mazhab yang dianut oleh Khalifah memengaruhi mazhab-

mazhab para hakim yang menjabat saat itu. Mazhab tersebut adalah Mazhab

Maliki. Terlihat dari Hakim-Hakim yang berguru pada Ulama‟-ulama‟ yang

beraliran Maliki, seperti Sahnun, Abu Ali Al-Ghossaniy, Ibnu Basykual, Abu

Ja'far bin Azzubair, dan Ali Manshur bin Ahmad bin Abdul Haq

Almasydaliy.

Kewenangan pengangkatan hakim-hakim di atas dimiliki oleh Khalifah

atau Gubernur di masing-masing wilayah pemerintahan. Mereka mengangkat

hakim-hakim tersebut dengan tanpa adanya tim khusus yang menyeleksi

terlebih dahulu. Walaupun begitu, pengangkatan tersebut tidak terjadi dengan

asal tunjuk, dikarenakan Khalifah atau Gubernur hanya menunjuk orang-

orang yang dianggap layak untuk menduduki jabatan tersebut. Dibuktikan

dengan cerita-cerita di dalam Tarikh Qudhat al-Andalus tentang beberapa

peristiwa yang menunjukkan kualitas masing-masing hakim berdasarkan cara

mereka dalam menyelesaikan suatu permasalahan hukum. Seperti

pengangkatan hakim Sulaiman oleh khalifah Muhammad bin Abdurrahman di

Kordoba. Berikut kisahnya;

Pada saat itu Muhammad bin Abdurahman masih menjabat sebagai


gubernur di kota Merida, sedangkan Sulaiman bin al Aswad al Ghafiqi
menjadi hakim untuk Abdur Rahman (Khalifah Andalusia). Muhammad
mengambil paksa seorang budak wanita yang disukainya dari tangan
seorang pedagang Yahudi di kota Galicia. Pedagang itu bersikeras untuk
mempertahankannya sehingga Muhammad mengutus beberapa pengawal
untuk merebut budak tersebut. Kemudian pedagang itu melaporkan tindakan
kejahatan tersebut kepada Sulaiman dan meminta beberapa orang yang
58

mengetahui kejadian itu agar menjadi saksi. Kemudian Sulaiman mengajak


pedagang tersebut menemui Muhammad untuk menyampaikan kejadian itu
dan kesaksian-kesaksian yang telah didengarnya, serta menuntut supaya
Muhammad mengembalikan budak tersebut. Muhammad menolak apa yang
dituduhkan oleh pedagang Yahudi itu dan mempertahankan pendapatnya.
Kemudian Sulaiman mengulangi keputusannya kepada Muhammad dan
mengatakan: “Orang Yahudi yang lemah ini tidak kuasa untuk menuduh
gubernur dengan kejahatan! Sudah ada beberapa pedagang yang bersaksi di
hadapanku! Hendaknya gubernur memerintahkan untuk
mengembalikannya!” Namun Muhammad dan Sulaiman bersikeras dengan
pendapat masing-masing. Kemudian Sulaiman mengulangi lagi keputusannya
dengan bersumpah demi Allah apabila Muhammad tidak mengembalikan
budak itu kepada si pedagang Yahudi, dia akan secepatnya menemui
Khalifah Abdur Rahman (ayah Muhammad) dan menyampaikan kabar
tersebut serta melaporkan keputusannya. Muhammad tetap tidak bergeming
dengan ancaman tersebut. Sulaiman bergegas menaiki tunggangannya
menuju Kordoba. Saat Sulaiman baru sampai di gerbang keluar kota Merida,
terdapat dua penjaga yang menemui Muhammad dan memberitahukan
kejadian itu. Muhammad menjadi luluh karena hal itu, lalu mengutus
seseorang yang terpercaya untuk menyusul Sulaiman serta menyampaikan
bahwa budak tersebut berada pada kondisi yang aman. Namun dengan sigap
Sulaiman mengatakan: “Demi Allah, aku tidak akan kembali dari tempat ini
jika budak itu tidak dibawa ke tempat ini dan dikembalikan kepada
pemiliknya di sini! Kalau tidak, aku akan meneruskan perjalananku!” Maka
Muhammad mengirim budak itu kepadanya dan memerintahkan pedagang
Yahudi untuk datang ke tempat itu bersama beberapa tokoh kota Merida, lalu
menyerahkan budak itu kepada pemiliknya di hadapan mereka. Kejadian ini
membuat Muhammad kagum kepada Sulaiman dan mendukung keputusannya
serta memuliakannya. Saat dinobatkan menjadi Khalifah Andalusia,
Muhammad mengangkat Sulaiman sebagai Qadhi di ibukota Kordoba.2

Jika tidak menggunakan cara di atas, cara lain yang digunakan untuk

menunjukkan kualitas seorang hakim dalam buku ini adalah dengan

menjelaskan opini hakim-hakim lain dari generasi setelahnya tentang hakim

tersebut.

Analisis terhadap buku Tarikh Qudhat al-Andalus di atas menunjukkan

bahwa pengangkatan hakim di Andalusia dilakukan dengan cara penunjukan

2
Ibnu Hasan an-Nabahy al-Andalusy, Târîkh Qudhât al-Andalus, (Beirut, Libanon: Dârul
Kutub al-„ilmiyah, 1995), h.78.
59

secara langsung.3 Simpulan ini didapat dari 54% catatan buku tersebut yang

menyebutkan proses pengangkatan masing-masing dari mereka. Sedangkan

selebihnya hanya berupa uraian singkat tentang idenditas mereka. Walaupun

terdapat empat puluh delapan hakim yang tidak diuraikan secara jelas proses

pengangkatannya, dapat disimpulkan bahwa mereka juga diangkat dengan

cara penunjukan. Alasan utamanya ialah pada saat itu wilayah yurisdiksi

hukum yang dijabat mereka samadengan 54% hakim yang disebutkan proses

pengangkatannya, serta pihak yang memiliki kewenangan untuk menunjuk

serta mengangkat hakim adalah sama.

Selain mekanisme penunjukan diterapkan pada pengangkatan hakim di

kawasan Andalusia, mekanisme penunjukan juga diterapkan pada

pengangkatan Qadhi Jama‟ah. Tercatat bahwa delapan diantara lima puluh

tiga hakim di atas merupakan hakim-hakim yang diangkat menjadi Qadhi

Jama‟ah karena diyakini memiliki kualitas lebih untuk mengawasi hakim-

hakim di bawahnya. Berikut delapan nama qadhi jama‟ah beserta wilayah

yurisdiksi yang diamanatkan kepadanya;

1. Hakim Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusydi di Kordoba

2. Hakim Yahya bin Abdurrahman bin Rabi' al-Asy‟ariy di Granada

3. Hakim Abul Qasim Abdurrahman bin Rabi' al-Asy‟ariy di Granada

4. Hakim Abul Qasim bin Salmun di Granada

5. Hakim Abu Abdullah Muhammad bin 'Ayyasy di Granada

3
Pengangkatan hakim dapat dilakukan dengan dua cara: pertama, langsung dengan
memberikan pernyataan secara lisan jika hakim hadir di tempat pengangkatan; kedua, tidak
langsung dengan memberikan pernyataan tertulis jika hakim tidak hadir di tempat pengangkatan.
Lihat, Imam al-Mawardi, Ahkam Sulthaniyah, (Jakarta: Qisthi Press, 2015).h.131.
60

6. Hakim Abu Ja'far Ahmad bin Burthal di Malaga

7. Hakim Abu al-Barakat Ibn al-Haj al-Balfiqiy di Almeria

8. Hakim Muhammad bin Ya'qub Almarsiy di Beja

Delapan hakim di atas merupakan simbol akhir dalam putusan peradilan.

Dikarenakan selain mengawasi, Qadhi Jama‟ah merupakan pengadilan

tingkat banding sekaligus pengadilan yang mengakhiri upaya hukum dalam

suatu putusan.

Salah satu Qadhi Jama‟ah di atas memiliki keunikan, yaitu Qadhi

Jama‟ah di Beja. Beja merupakan wilayah kompetensi pengadilan banding

bagi daerah beja sendiri dan sekitarnya. Berdasarkan analisis pada tabel

klasifikasi hakim bahwa jumlah hakim di daerah beja hanya berjumlah satu

orang. Sedangkan kota-kota di sekitar beja, seperti: Evora, Faro, dan

Santarem, tidak tercatat adanya pengangkatan hakim. Maka dapat

diprediksikan bahwa selain sebagai pengadilan pertama, pengadilan beja juga

merupakan pengadilan banding bagi daerah Beja dan sekitarnya.

Mekanisme pengangkatan hakim di Andalusia dilakukan dengan cara

penunjukan. Pola pengangkatan ini identik dengan pola pengangkatan

tradisional bukan modern. Akan tetapi substansi penunjukan yang dilakukan

oleh Gubernur ataupun Khalifah tetap berdasarkan kapasitas keilmuan

kehakiman tiap-tiap hakim.

Sementara mekanisme pengangkatan hakim oleh lembaga peradilan

modern dilakukan dengan cara penyeleksian. Contohnya, mekanisme

pengangkatan hakim di Indonesia melalui proses seleksi yang diadakan oleh


61

Mahkamah Agung. Selain telah memenuhi persyaratan, calon hakim juga

harus melakukan 4 : ujian tertulis/lisan komprehensif, ujian kode etik dan

pedoman perilaku hakim, serta evaluasi magang, tutor, dan mentor. Substansi

dari tahapan ujian serta evaluasi yang dilakukan calon hakim juga

berdasarkan kapasitas keilmuan kehakiman.

Jadi mekanisme pengangkatan hakim di kawasan Andalusia berbeda

dengan mekanisme pengangkatan hakim di peradilan modern, namun

substansi pada masing-masing mekanismenya adalah sama, yaitu berdasarkan

keilmuan.

B. Pengaruh Hubungan Keluarga terhadap Pengangkatan Hakim di

Andalusia

Pola dinasti yang pernah terbentuk pada sistem Kerajaan Islam berada

pada aspek peralihan kekuasaan atau kepemimpinan. Sistem ini menerapkan

pewarisan pemimpin melalui jalur keturunan. Seseorang akan menjadi

pemimpin hanya jika ia memiliki hubungan keturunan dengan pemimpin

sebelumnya. Pilihan antara pengalaman dan keilmuan tidak akan ditawar jika

sudah bertemu dengan keturunan. Seperti, pengganti Muawiyah bin Abi

Sufyan (w.680 M) pada dinasti Umayah I adalah Yazid bin Muawiyah

(w.683). Masa kepemimpinan Yazid hanya bertahan selama tiga tahun.

4
Poin-poin ini diambil dari Pasal 5 Peraturan Bersama antara Mahkamah Agung dan
Komisii Yudisial Nomor 01/PB/MA/IX/2012 dan Nomor 01/PB/P.KY/09/2012 tentang proses
seleksi pengangkatan.
62

Banyak kisah yang menyeritakan bahwa Yazid adalah Pemimpin yang

seharusnya tidak memimpin5.

Apakah dinasti kepemimpinan yang pernah terjadi di Kerajaan Islam

juga terjadi pada aspek peradilan? Hasil analisis dari tabel klasifikasi hakim

yang telah disajikan pada subbab A menyebutkan bahwa Jumlah hakim yang

memiliki hubungan keluarga sangat minim, yaitu hanya empat hakim dengan

pola hubungan atas-bawah dan tiga hakim dengan pola ke-samping. Berikut

merupakan hakim-hakim yang tercatat memiliki pola hubungan atas-bawah

yaitu ayah dengan anak dan kakek dengan cucu, serta pola hubungan ke-

samping yaitu saudara kandung dan sepupu;

1. Hakim Abul Qasim Abdurrahman bin Rabi‟ anak dari Hakim Yahya

bin Abdurrahman bin Rabi‟ al-Asy‟ariy.

2. Hakim Abu Yahya anak dari Hakim Abu Bakr Yahya bin Mas‟ud al-

Muharibiy.

3. Hakim Ibnu Rusyd al-Hafid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad

bin Ahmad bin Rusyd cucu dari Hakim Abdul Walid Muhammad bin

Ahmad bin Rusyd.

4. Hakim Abu Tamam Ghalib bin Hasan bin Ghalib bin Hasan bin Ahmad

bin Yahya bin Sidbunah cucu dari Hakim Ghalib bin Hasan bin Ahmad

bin Yahya bin Sidbunah.

5
Diceritakan bahwa orang-orang kufah merintih karena kekejaman dan penyalahgunaan
pemerintah oleh Gubernur provinsi yang diangkat oleh Yazid. Hingga Imam Husain menuju kufah
untuk melawan Yazid dan berakhir pada peristiwa karbala. Lihat, Syed Mahmudunnasir, ISLAM
Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005).h.177.
63

5. Hakim Ishaq Ibrahim bin Yahya bin Zakaria saudara kandung Hakim

Abu Muhammad Abdullah bin Yahya bin Zakaria.

6. Hakim Robi' bin Abdurrahman bin Robi' al-Asy'ariy saudara kandung

Hakim Yahya bin Abdurrahman bin Robi' al-Asy'ariy.

7. Hakim Ismail bin Ishaq bin Ismail bin Hammad al-Azdi (w.895 M)

sepupu dari Hakim Abu „Amr Muhammad bin Yusuf bin Ismail bin

Hammad.

Sebaliknya, dengan rentang waktu sepanjang tujuh setengah abad

ditemukan lebih banyak hakim yang tidak memiliki hubungan keluarga

dengan hakim lainnya. Hasil ini mengidentifikasikan bahwa sedikit generasi

baru pada waktu itu yang tertarik mengikuti jejak langkah pendahulunya di

dunia peradilan. Salah satu penyebab minimnya ketertarikan pada bidang

peradilan khususnya hakim ialah tidak banyak motivasi untuk mendalami

dunia peradilan dari para Gubernur ataupun Khalifah pada periode ini.

Mereka lebih gencar melakukan pertumbuhan dan perkembangan dalam ilmu

pengetahuan dan teknologi, astronomi, sastra, botanik, dan sebagainya6 selain

pada bidang peradilan.

Analisis data menggambarkan bahwa pola hubungan kekeluargaan di

antara para hakim tidak memengaruhi proses pengangkatan hakim di kawasan

Andalusia. Hubungan keluarga bukan merupakan sesuatu yang menjadi

pertimbangan dalam proses pengangkatan seseorang sebagai hakim. Bahkan,

jumlah hakim yang memiliki hubungan keluarga hanya mencapai 7% dari

6
W. Montgomery Watt dan Pierre Cachia, A History Islamic Spain, (Edinburg: Edinburg
University, 1992).h.ix.
64

keseluruhan hakim yang tercatat. Rasio hakim yang memiliki hubungan

keluarga dengan hakim lain tersebut sangat kecil. Informasi tentang hubungan

keluarga tersebut juga hanya disampaikan secara singkat sebagai informasi

tambahan saja.

Kualitas keilmuan para Hakim yang dipaparkan dalam buku Tarikh

Qudhat al-Andalus merupakan bukti bahwa mereka termasuk pejabat tipe

intelektual. Kiprah mereka di bidang peradilan merefleksikan intelektualitas

mereka tanpa dipengaruhi oleh relasi mereka dengan Khalifah atau pejabat

lain. Oleh karena itu, kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa hubungan

keluarga tidak berpengaruh terhadap pengangkatan jabatan Hakim di

Andalusia. Jabatan tersebut merupakan achieved status, yaitu suatu

kedudukan diantara masyarakat yang dapat dicapai dengan usaha-usaha yang

dilakukan7.

C. Refleksi Pola Pengangkatan Hakim di Andalusia

True scholars do not create followers, they create more scholars.

Madzhab yang dianut oleh sebagian besar muslim dengan berbagai

caranya merupakan hasil jerih amat payah para Ulama terdahulu.

Kesungguhan ulama dalam menuntut serta mengamalkan ilmu sepenuh

hidupnya dapat dinikmati penganutnya hingga sekarang. Tentu dengan

kepintaran yang dimiliki oleh seorang ulama mengundang banyak murid dari

penjuru dunia untuk berguru. Ilmu dan akhlak yang luhur diwariskan ulama

7
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, SOSIOLOGI; Teks Pengantar dan Terapan
(Jakarta: Prenada Media, 2004), h.137.
65

pada muridnya. Fenomena ini lazim ditemui, bahkan kharisma yang dimiliki

seorang ulama tidak jarang diikuti oleh murid-muridnya.

Proses pembelajaran ini memberikan titik terang tentang arti dari sentra

sebuah pendidikan. Saat diucapkan kata bukhara8, maka pasangan kata yang

selalu mendampingi ialah Imam Bukhori. Saat diucapkan kata pare9, maka

pasangan katanya ialah Privat Bahasa Inggris. Saat disebutkan kata

jombang 10 , maka pasangan katanya ialah Kota Santri. Beberapa contoh

klausul tersebut merupakan bukti adanya sentra pendidikan.

Pola sentra pendidikan di atas tidak berbeda ketika dibandingkan

dengan pola pendidikan hakim yang berlangsung di Periode Kerajaan Islam

Andalusia. Ketertarikan seorang hakim untuk menitipkan anaknya agar

berguru pada Hakim yang lebih masyhur juga terjadi. Berguru pada hakim

masyhur di kota kelahiran, hingga berguru pada Hakim yang lebih masyhur di

kawasan Andalusia. Terakhir ialah berguru pada Ulama atau Hakim yang

bermazhab Maliki, karena di Andalusia mayoritas bermazhab pada Imam

Malik. Langkah awal yang dilakukan seorang hakim tersebut

menggambarkan adanya doktrinisasi profesi hakim pada keturunannya.

Jumlah hakim yang memiliki kedekatan hubungan keluarga lebih

sedikit daripada jumlah hakim yang memiliki kedekatan hubungan

seperguruan atau satu pemahaman (mazhab). Analisis dari tabel klasifikasi

8
Bukhara adalah tempat lahirnya Imam besar hadis.
9
Pare adalah sebuah kecamatan yang terdapat di Kabupaten Kediri, Jawa timur. Kurang
lebih terdapat 20 tempat kursus bahasa inggris di daerah tersebut.
10
Jombang adalah sebuah kabupaten yang terdapat di Provinsi Jawa Timur. Disana terdapat
empat pesantren besar yang didirikan sejak sebelum Indonesia, yaitu Manba‟ul Maarif, Darul
Ulum, Bahrul Ulum, dan Tebu Ireng.
66

hakim pada subbab A menyebutkan enam hakim yang memiliki kedekatan

hubungan keluarga, sedangkan kedekatan hubungan seperguruan disebutkan

enam belas hakim. Jadi seorang ahli hukum memiliki pengaruh yang lebih

besar untuk menanamkan ilmu hukum pada calon-calon hakim daripada

seorang hakim sendiri.

Kedudukan seseorang yang dicapai saat ini merupakan buah dari

tempaan yang sudah dilalui sebelumnya. Seberat atau seringan apapun

tempaan tersebut, secara filosofis itu merupakan orientasi pengalaman untuk

menuju kedudukan selanjutnya.

Sistem mutasi merupakan salah satu proses tempaan dalam berkarir di

dunia peradilan. Gubernur ataupun Khalifah memutasi hakim dari satu kota

ke kota lainnya untuk memenuhi keperluan hakim di masing-masing kota.

Menariknya walaupun pola hubungan kekeluargaan diantara para hakim di

Andalusia tidak memengaruhi mekanisme pengangkatannya, dengan cara

penunjukan oleh Gubernur ataupun Khalifah yang sedang menjabat, tetapi

pola hubungan kekeluargaan diantara hakim tersebut memengaruhi proses

mutasi dari masing-masing hakimnya. Contohnya pada keluarga Hakim Abu

Tamam Ghalib bin Sidbunah cucu dari Hakim Sidbunah, kedua Hakim

tersebut berada pada wilayah yurisdiksi Granada sejak awal menjabat hingga

akhir hayat11.

Paparan yang telah dijelaskan di atas membuktikan bahwa tidak ada

keluarga yang mendominasi jabatan hakim di kawasan Andalusia. Meskipun

11
Ibnu Hasan an-Nabahy al-Andalusy, Târîkh Qudhât al-Andalus, (Beirut, Libanon: Dârul
Kutub al-„ilmiyah, 1995, Cet 1), h.162.
67

jumlah pola kekeluargaan yang ditemukan diantara para hakim sangat minim

dan pola tersebut tidak memengaruhi mekanisme pengangkatannya, di sini

akan digambarkan silsilah hakim dengan pola keluarga. Silsilah Hakim

dengan Pola Keluarga ialah silsilah hakim yang digambar sesuai dengan

hubungan keluarga yang dimiliki oleh beberapa hakim di Andalusia. Berikut

merupakan silsilah hakim dengan pola keluarga;

Saudara Kandung12

Ayah
Yahya bin Zakaria

Anak Anak
Hakim Ishaq Ibrahim bin Yahya Hakim Abu Muhammad
bin Zakaria Abdullah bin Yahya bin Zakaria
(Granada) (Granada, 694 H)

Ayah
Abdurrahman bin Robi' al-
Asy'ariy

Anak Anak
Hakim Robi' bin Abdurrahman Hakim Yahya bin
bin Robi' al-Asy'ariy Abdurrahman bin Robi' al-
(Kordoba) Asy'ariy
(Granada, 636 H)

12
Pola hubungan keluarga hakim Abu Ishaq saudara kandung hakim Muhammad bin
Zakaria terdapat pada, Ibnu Hasan an-Nabahy al-Andalusy, Târîkh Qudhât al-Andalus, (Beirut,
Libanon: Dârul Kutub al-„ilmiyah, 1995), h.191 ; Pola hubungan keluarga hakim Robi‟
Abdurrahman bin Robi‟ al-Asy‟ariy saudara kandung hakim Abi Sulaiman terdapat pada, Ibnu
Hasan an-Nabahy al-Andalusy, Târîkh Qudhât al-Andalus, (Beirut, Libanon: Dârul Kutub al-
„ilmiyah, 1995), h.159.
68

Anak Hakim13

Ayah Ayah
Hakim Yahya bin Abdurrahman Hakim Abu Bakr Yahya bin
bin Rabi‟ al-Asy‟ariy Mas'ud al-Muharibiy
(Granada, 636 H) (Granada, 729 H)

Anak Anak
Hakim Abul Qasim Abdurrahman Hakim Abu Yahya
bin Rabi‟ (Granada)
(Granada)

Cucu Hakim14

Kakek Kakek
Hakim Abul Walid Hakim Ghalib bin Hasan bin
Muhammad bin Ahmad bin Ahmad bin Yahya bin
Rusyd Sidbunah
(Kordoba) (Granada)

Anak Anak
Abul Qasim Ahmad bin Abul Hasan bin Ghalib
Walid

Cucu
Cucu
Hakim Abu Tamam Ghalib
Hakim Ibnu Rusyd al-Hafid
bin Hasan bin Ghalib bin
Muhammad bin Ahmad bin
Hasan bin Ahmad bin Yahya
Muhammad bin Ahmad bin
bin Sidbunah
Rusyd
(Granada)
(Kordoba)

13
Pola hubungan keluarga hakim Abu Bakr Yahya bin Mas'ud al-Muharibiy dan anakya,
Abu Yahya terdapat pada, Ibnu Hasan an-Nabahy al-Andalusy, Târîkh Qudhât al-Andalus, (Beirut,
Libanon: Dârul Kutub al-„ilmiyah, 1995), h.175 ; dan pola hubungan keluarga hakim Abul Qasim
anak dari hakim Yahya bin Abdurrahman terdapat pada, Ibnu Hasan an-Nabahy al-Andalusy,
Târîkh Qudhât al-Andalus, (Beirut, Libanon: Dârul Kutub al-„ilmiyah, 1995), h.161.
14
Pola hubungan keluarga hakim Ibnu Rusyd cucu hakim Abul Walid terdapat pada, Ibnu
Hasan an-Nabahy al-Andalusy, Târîkh Qudhât al-Andalus, (Beirut, Libanon: Dârul Kutub al-
„ilmiyah, 1995), h.145 ; Pola hubungan keluarga hakim Abu Tamam cucu hakim Ghalib bin
Hasan bin Ahmad bin Yahya bin Sidbunah terdapat pada, Ibnu Hasan an-Nabahy al-Andalusy,
Târîkh Qudhât al-Andalus, (Beirut, Libanon: Dârul Kutub al-„ilmiyah, 1995), h.172.
69

Saudara Sepupu15

Kakek
Ismail Hammad

Ayah Ayah
Yusuf bin Ismail Ishaq bin Ismail

Anak Anak
Hakim Abu „Amr Hakim Ismail bin Ishaq bin Ismail
Muhammad bin Yusuf bin bin Hammad al-Azdi
Ismail bin Hammad (Samarra, Iraq, 246 H)
(Iraq)

Silsilah Hakim di atas menunjukkan tidak adanya lebih dari dua orang

yang memiliki hubungan keluarga, baik dalam satu generasi maupun generasi

yang berbeda. Jadi hubungan keluarga yang ada hanya bersifat insidensial,

karena tidak ada bukti yang mendukung adanya keluarga hakim yang

mendominasi dalam bidang peradilan di Andalusia.

15
Pola hubungan keluarga hakim Abu „Amr sepupu hakim Isma‟il terdapat pada, Ibnu
Hasan an-Nabahy al-Andalusy, Târîkh Qudhât al-Andalus, (Beirut, Libanon: Dârul Kutub al-
„ilmiyah, 1995), h.55.
BAB V

PENUTUP

Pada Bab terakhir ini akan disajikan subbab kesimpulan yang

menyimpulkan jawaban pertanyaan penelitian. Kemudian subbab saran yang

berisi saran-saran dari penulis.

A. Kesimpulan

Hasil analisis data pada Bab IV dapat Penulis kemukakan beberapa

kesimpulan, antara lain sebagai berikut :

1. Mekanisme pengangkatan hakim peradilan Islam di kawasan Andalusia

merupakan mekanisme tradisional, yaitu dengan cara penunjukan. Namun

penunjukan tersebut dilakukan dengan cara hati-hati berdasarkan berbagai

pertimbangan agar terpilih seseorang yang benar-benar memenuhi kriteria.

Keilmuan dan pengalaman adalah kriteria utama yang dijadikan tolok ukur

oleh Khalifah dalam proses penunjukan, bukan karena kecenderungan

hubungan kekeluargaan atau relasi dengan pemegang kekuasaan

pemerintahan. Keberhasilan mekanisme ini dibuktikan dengan adanya

narasi tentang cara hakim-hakim dalam menjalankan tugasnya sehari-hari

dalam buku Târîkh al-Qudhât al-Andalusy. Selain pengangkatan hakim,

mekanisme pengangkatan Qadhi al-Jama’ah juga melalui penunjukan oleh

Gubernur atau Khalifah di tiap wilayah. Tercatat delapan qadhi al-jama’ah

yang pernah menjabat di kawasan Andalusia. Ditemukan juga bahwa

70
71

mayoritas mazhab yang dianut dari delapan qadhi al-Jama’ah tersebut

adalah mazhab Maliki.

2. Hubungan keluarga diantara sembilan puluh sembilan biografi hakim

yang ada dalam dokumen utama, ditemukan ada empat belas hakim yang

memiliki hubungan keluarga. Hubungan keluarga tersebut terdiri dari

empat pola hubungan, yaitu: hubungan ayah-anak (empat hakim), kakek-

cucu (empat hakim), saudara sepupu (empat hakim) dan saudara kandung

(dua hakim). Rasio hakim yang memiliki hubungan keluarga sangat kecil

jika dibandingkan dengan hakim yang tidak memiliki hubungan keluarga,

yaitu kurang dari 8%. Selain itu anak-anak hakim atau cucu-cucu hakim

yang diangkat menjadi hakim telah memenuhi kriteria dan kualitas yang

sama dengan masing-masing ayah atau kakek mereka. Jadi dapat

disimpulkan bahwa hubungan keluarga tidak berpengaruh dominan

terhadap pengangkatan hakim di Andalusia.

B. Saran

Tidak banyak saran-saran yang dapat penulis berikan dalam skripsi ini

kecuali pada beberapa hal berikut;

1. Mekanisme penunjukan hakim di Andalusia sebaiknya tidak diterapkan di

Indonesia karena tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegak

hukum di Indonesia masih rendah. Rendahnya kepercayaan masyarakat

ini tentunya cukup beralasan, diantaranya banyak kasus penyelewengan

kekuasaan hakim yang terjadi di Indonesia walaupun hakim-hakim


72

tersebut sudah melewati proses seleksi kepatutan dan kelayakan. Hal ini

bertolak belakang dengan apa yang pernah terjadi di Andalusia. Hakim-

hakim di Andalusia diangkat secara langsung hanya berdasarkan rekam

jejak mereka. Setelah diangkat mereka juga melaksanakan tugas dengan

baik, bahkan banyak diantara mereka yang tidak bersedia menerima gaji

dari pemerintah karena menganggap pekerjaan sebagai hakim adalah

bagian dari amal ibadah.

2. Skripsi ini hanya Penulis fokuskan pada pembuktian analisis bahwa ada

atau tidaknya hubungan keluarga diantara para hakim yang

mempengaruhi pengangkatan mereka sebagai hakim pada periode

kerajaan islam di kawasan Andalusia dengan menggunakan dokumen

utama buku Târîkh al-Qudhât al-Andalusy karangan Ibnu Hasan an-

Nabahy al-Andalusy. Dokumen utama ini masih memiliki keterbatasan

dalam pemaparan wilayah yurisdiksi setiap hakim serta periode-periode

pengangkatannya. Oleh karena itu, peneliti selanjutnya diharapkan dapat

meneliti subjek ini dengan menyempurnakan data mengenai wilayah

yurisdiksi serta periode pengangkatan para hakim, sehingga dapat

menghasilkan kesimpulan tentang pengaruh faktor-faktor tersebut

terhadap pengangkatan hakim.

3. Pola hubungan antar hakim yang telah dipaparkan oleh Penulis terbatas

pada sisi kekeluargaan saja. Pola ini dapat dikembangkan lebih lanjut,

diantaranya pola hubungan antar hakim dalam suatu periode. Hingga

dapat diklasifikasikan hakim-hakim pada masa klasik, neo-klasik, dan


73

seterusnya serta membuktikan ada atau tidaknya pengaruh

pengangkatannya pada setiap masa tersebut.

Terakhir, semoga skripsi ini bermanfaat dan banyak memberikan ilmu

pengetahuan baru bagi Penulis serta bagi Pembaca sekalian. Aamiin.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran

Aini, Noryamin .“Tradisi Mahar di Ranah Lokalitas Umat Islam.” Ahkam:


XIV. No. 1 (Januari 2014): h.13-30.

Alatas, Alwi. Sang Penakluk Andalusia: Thariq ibn Ziyad dan Musa ibn
Nusayr. Jakarta: Zikrul, 2007.

Ali, Achmad. Keterpurukan Hukum di Indonesia Penyebab dan Solusinya.


Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009.

Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Cet. II. Jakarta: Sinar Grafika,
2010.

Aliyah, Samir. Nizham ad-Daulah wa al-„Urfi fi al-Islam – Sistem


Pemerintahan, Peradilan, dan Adat dalam Islam. Cetakan I.
Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari. Jakarta: Khalifa, 2004.

Aripin, Jaenal. Jejak Langkah Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta:


Kencana, 2013.

Aripin, Jaenal. Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di


Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

Bashra, al, Abu Hasan „Ali bin Muhammad bin Habib. Al-Ahkam Al-
Shulthaniyyah wal wilayatud dîniyyah. Qahirah, Mesir: al-
Maktabah at-Tawfikia, t.th.

Bastomi, Hepi Andi. Sejarah Para Khalifah. Jakarta: Pustaka al-Kautsar,


2008.

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pedoman


Penulisan Skripsi. Jakarta: PPJM FSH UIN Jakarta, 2012.

Glasse, Cyril. Ensiklopedia Islam (ringkas). Penerjemah Ghufron A.


Mas‟adi. Cet. Kedua. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999.

Harahap, Yahya. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Hasan, M. Iqbal. Pokok-pokok Materi dan Metodologi Penelitian. Jakarta:


PT. Ghalia Indonesia, 2002.

74
75

Hendrickson, Jocelyn. “Is al-Andalus Different? Continuity as Contested,


Constructed, and Performed across Three Maliki Fatwas,” Islamic
Law and Society No.20 (2013).

Hitti, Philip K. History of The Arabs. Penerjemah R. Cecep Lukman dan


Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: Serambi, 2006.

Hour, el, Rachid. “The Andalusian Qadi in the Almoravid Period: Political
and Judicial Authority,” Studia Islamica No. 90 (2000).

Ibrahim, Qasim A. dan Saleh, Muhammad A. Buku Pintar SEJARAH


ISLAM Jejak Langkah Peradaban Islam dari Masa Nabi hingga
Masa Kini. Cetakan I. Penerjemah Zainal Arifin. Jakarta: Zaman,
2014.

Kan‟an, Qadhi Syaikh Muhammad bin Ahmad. DAULAH BANI UMAYAH-


Fragmen Sejarah Khilafah Islamiyah Sejak Era Muawiyah bin Abu
Sufyan hingga Marwan bin Muhammad. Penerjemah Irwan Raihan.
Solo: Alqowam, 2015.

Khan, M.S. “Tabaqat al-Umam of Qadi Sa‟id al-Andalusi (1029-1070


A.D),” Indian Journal of History of Science 30 (1995).

Koto, Alaidin. Sejarah Peradilan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,


2011.

Kuntjaraningrat. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia,


1991.

Madkur, Muhammad Salam. al-Qadha‟ fi al-Islam. Qahirah: al-Mathba‟ah


al-„Alamiyah, t.th.

Mahmudunnasir, Syed. ISLAM Konsepsi dan Sejarahnya. Bandung: PT


Remaja Rosdakarya, 2005.

Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan


Agama. Cet.VI. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.

Manan, Abdul. Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan. Jakarta:


Kencana Prenada Group, 2007.

Mawardi, al. Al-Ahkam al-Sulthaniyah. Jakarta: Daarul Falah, 2000.

Miller, Kathryn A. “Muslim Minorities and The Obligation to Emigrate to


Islamic Territory: Two Fatwas From Fifteenth-Century Granada,”
Islamic Law and Society 7 (2000).
76

Montgomery, W. and Cachia, Pierre. Islamic Survey – A History of Islamic


Spain. Edinburg: Edinburg University Press, 1992.

Muller, Christian. “Judging with God‟s Law on Earth: Judicial Powers of


The Qadi al-Jama‟a of Cordoba in the Fifth/Eleventh Century,”
Islamic Law and Society 7 (2000).

Nabahy, al, Ibnu Hasan. Târîkh al-Qudhât al-Andalusy. Cetakan I. Beirut,


Libanon: Darul Kitab Ilmiah, 1995.

Narwoko, J. Dwi dan Suyanto, Bagong. Sosiologi; Teks Pengantar dan


Terapan. Jakarta: Prenada Media, 2004.

Pulungan, J. Suyuthi. Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran.


Jakarta: Rajawali, 1995.

Quais, Abdul Halim. Analisa Runtuhnya Daulah Islam. Solo: Pustaka


Mantik, 1994.

Rahman, Fatchur. Hadist-Hadist tentang Peradilan Agama. Jakarta: Bulan


Bintang, t.th.

S., Nasution. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Tarsito, 1992.

Secall, M. Isabel Calero.“Rulers and Qadis: Their Relationship During The


Nasrid Kingdom.” Islamic Law and Society 7, Vol.II (2000): h.235-
255.

Serrano, Delfina. “Legal Practice in an Andalusi-Maghribi Source From The


Twelfth Century CE: The Madhahib al-Hukkam fi Nawazil al-
Ahkam,” Islamic Law and Society 7 (2000).

Shiddiqi, al, Hasbi. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 1997.

SJ. Fadil. Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah. Cet.
Kesatu. Malang: UIN Malang Press, 2008.

Soekanto, Soerjono dan Mamudji Sri. Penelitian Hukum Normatif Suatu


Tinjauan Singkat. Cet. IV. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1995.

Soekanto, Soerjono dan Mamudji Sri. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum.


Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet 23, 2014.
77

Sou‟youb, Joesoef. Sejarah Daulat Abbasiyah II. Jakarta: Bulan Bintang,


t.th.

Sou‟youb, Joesoef. Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin. Jakarta: Bulan


Bintang, Cet I, 1979.

Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT Raja


Grafindo, 2003.

Sya‟roni, Maman A. Malik. Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik


hingga Modern. Solo: Lesfi, 2004.

Thomson, Ahmad dan Rahim, Muhammad „Ata „Ur. Islam Andalusia –


Sejarah Kebangkitan dan Keruntuhan. Penerjemah Kampung
Kreasi. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004.

Tsabaaru, I‟shom Muhammad. Qadhi al-Qudhat fil Islam. Beirut, Libanon:


Daaru Mishabahil Fikri, 2008.

Umar, Husein. Metode Riset Komunikasi Organisasi. Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama, 2002

Umar, Husein. Metode Riset Komunikasi Organisasi. Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama, 2002.

Usairy, al, Ahmad. Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam hingga Abad
XX. Penerjemah Samson Rahman. Jakarta: Akbar Media, 2003.

Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum dalam Praktek. Jakarta: Sinar


Grafika, 1991.

Widiyanti, Ninik dan Sunindhia. Kepemimpinan dalam Masyarakat


Modern. Cetakan I. Jakarta: PT Bina Aksara, 1988.

Zuhaili, al, Wahbah. Al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu. Jilid VI. Cetakan II.
Damaskus: Darul Fikri, 1985.
78

Lampiran I

Daftar Amir semenanjung Iberia yang berkedudukan di Toledo (711 M – 755 M )


pada masa Daulah Umayyah yang berpusat di Damaskus1
711 – 713 Thariq bin Ziyad
713 – 714 Musa bin Nushair
714 – 716 Abdul Aziz bin Musa
716 – 717 Ayyub bin Hubaib al-Lakhmi
717 – 719 al-Hurr bin Abdirrahman al-Tsakfi
719 – 721 as-Sammah bin Malik al-Khaulani
721 – 724 Abdurrahman al-Ghafiki
724 – 726 ‘Anbasah al-Kalbi
726 Uzrah al-Fihri
726 – 729 Yahya bin Salma al-Kalbi
729 Hudzaifah bin al-Ahwash
729 – 730 Ustman bin Abinisat al-Khatsami
730 – 731 al-Haitsam bin Ubaid al-Kinani
731 Muhammad bin Abdil Malik al-Asyjai
731 – 733 Abdurrahman al-Ghafiki
733 – 735 Abdul Malik bin Qattan
735 – 740 Uqbah bin Hujjaj
740 – 741 Abdul Malik bin Qattan
741 – 742 Balj bin Gisyri al-Kusyairi
742 – 743 Tsa’laba bin Salama al-Amili
743 – 748 al-Hissam bin Dharar al-Kalbi
748 – 750 Yusuf bin Abdirrahman bin Hubaib
Saat-saat terakhir daulat Umayyah yang berpusat di Damaskus direbut oleh
daulat Abbasiyah, maka terjadi perebutan kekuasaan al-Wali di Toledo. Stabilitas
pemerintah kembali pulih setelah masuknya Abdurrahman ad-Dakhil, cucu
Muawiyah bin Hisyam bin Abdul Malik, ke wilayah Andalusia. Masa ini dikenal

1
Abdul Halim Quais, Analisa Runtuhnya Daulah Islam, (Solo: Pustaka Mantik, 1994)
h.177.
79

sebagai Daulat Umayyah II. Berikut daftar Khalifah yang pernah memerintah di
Andalusia (756 M – 1031 M)2;
756 – 788 Abdurrahman ad-Dakhil
788 – 796 Hisyam bin Abdurrahman
796 – 822 Hakam I bin Hisyam
822 – 852 Abdurrahman II
852 – 886 Muhammad I
886 – 888 Mundzir bin Muhammad
888 – 912 Abdullah bin Muhammad
912 – 961 Abdurrahman III
961 – 976 Hakam II
976 – 1009 Hisyam II al-Muayyad
1009 – 1010 Muhammad II al-Mahdi
1010 – 1017 Sulaiman al-Musta’in
1017 – 1023 Abdurrahman bin Muhammad al-Murtadho
1023 – 1024 Hisyam III al-Mu’tamid3
1024 – 1031 Umayyah bin Abdurrahman

2
Hepi Andi Bastomi, Sejarah Para Khalifah, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008), h. xxiii.
3
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Abbasiyah II, (Jakarta: Bulan Bintang, t.th), h.261.
80

Lampiran II

Peta Kekuasaan Dinasti Umayyah II di Andalusia

Anda mungkin juga menyukai