Anda di halaman 1dari 78

SKRIPSI

HUKUM SHALAT HADIAH


DALAM PERSPEKTIF ULAMA MAJELIS ULAMA INDONESIA,
MUHAMMADIYAH DAN NAHDHATUL ULAMA

Diajukan kepada Fakultas Syari‟ah dan Hukum

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Muhammad Haikal

NIM: 1113043000036

KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH


PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M/ 1439 H
ii
iii
iv
ABSTRAK
Muhammad Haikal. NIM 1113043000036. HUKUM SHALAT HADIAH (Dalam
Perspektif Majelis Ulama Indonesia, Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama) Program
Studi Perbandingan Madzhab, Konsentrasi Perbandingan Madzhab Fiqih, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439
H/2018 M.
Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai hukum melaksanakan
Shalat Hadiah. Pandangan hukum dalam perspektif para ulama yang berkecimpung
langsung pada Organisasi Masyarakat. Organisasi Masyarakat tersebut antaralain
adalah ulama Majelis Ulama Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdhatul ulama.
Kemudain berkaitan dengan praktek Shalat Hadiah di Indonesia.
Penelitian ini merupakan penggabungan dari penelitian normatif dan
penelitian empiris. Penelitian normatif dilakukan dengan cara mempelajari data
sekunder berupa buku-buku yang terkait dengan masalah yang dibahas, sedangkan
penelitian empiris dilakukan dengan menganalisa putusan dan fatwa yang dikeluarkan
oleh Organisasi Masyarakat Majelis Ulama Indonesia, Muhammadiyah dan
Nahdhatul Ulama. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu studi pustaka
(library research) dan wawancara (interview research). Studi pustaka dan wawancara
dalam penelitian ini dilakukan guna mengeksplorasi teori-teori tentang konsep dan
pemahaman yang terkait dengan tema penelitian penulis yaitu analisis komperatif
pada perspektif Majelis Ulama Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Shalat Hadiah ini didasari dalil yang
tidaklah mu‟tabar yang kemudian menghasilkan Takhrij hadis yang tidak memiliki
asal dikarenakan hadis tersebut tidak menyebutkan rawi dan sanad. Kemudian yang
pada akhirnya berhujung kepada jauhnya dari indikasi hadis yang Maqbul. Dari hasil
penelitian terkait inilah baru kemudian dilihat dari sudut pandang Majelis Ulama
Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama.
Kata kunci : Hukum, Shalat Hadiah, Majelis Ulama Indonesia,
Muhammdiyah, Nahdhatul Ulama.
Pembimbing : 1 Afwan Faizin, MA.
2. H. Qosim Arsadani, MA.
Daftar Pustaka : 1943 s.d. 2018

v
KATA PENGANTAR

‫الرحيم‬
ّ ‫الرحمن‬
ّ ‫بسم اهلل‬
Puji dan rasa syukur yang mendalam penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT. karena berkat limpahan rahmat, hidayah dan inayah-Nya maka
skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Salam cinta dan mahabbah selalu
tercurahkan pada Baginda Rasulullah Muhammad SAW.

Selanjutnya penulis ingin sampaikan rasa terima kasih yang tak


terhingga kepada semua pihak yang membantu kelancaran penulisan skripsi
ini, baik berupa dorongan moril maupun materiil. Oleh karena itu, penulis
secara khusus ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, M.A., selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;

2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., selaku Ketua Program Studi


Perbandingan Madzhab dan Ibu Hj. Siti Hanna, S. Ag., Lc., MA., selaku
Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab;

3. Bapak Dr. H. Abdul Halim M.Ag., selaku Dosen Penasehat Akademik


Penulis;

4. Bapak Afwan Faizin, M.A., dan Bapak H. Qosim Arsadani M.A, selaku
Dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan arahan, saran dan
ilmunya hingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik;

5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri


(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mendidik dan mengajarkan
„Ilmu dan Akhlaq yang tidak ternilai harganya, sehingga penulis dapat

vi
menyelesaikan studi di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;

6. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan Universitas Islam Negeri


(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;

7. Kedua orang tua tercinta Abi dan Umi serta kakak-kakak dan adik, yang
telah mencintai penulis dengan segenap jiwa dan raga, baik doa maupun
dukungan sehingga dengan ridha mereka penulis mampu berada pada titik
seperti saat ini;

8. Keluarga Besar Pondok Pesantren Qotrun Nada Depok, yang telah


memberikan nasehat-nasehat moral terkait ibadah dan kehidupan sehingga
penulis mampu menghadapi lika-liku kehidupan dengan tegar dan ikhlas;

9. Keluarga Besar PMH angkatan 2013 yang telah menemani serta memberi
dukungan, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan
baik.

10. Sahabat-sahabat tercinta khususnya kepada teman-teman satu atap dimana


selalu memberikan motivasi untuk menyelesaikan studi secepatnya
sahabat kosan yudha dkk.

Sebagai akhir kata semoga Allah Subhanahu Wata’ala memberikan


balasan yang berlimpah atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Amin.

Jakarta, 20 Maret 2018


3 Rajab 1439 H

Penulis

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING....................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................iii
LEMBAR PERNYATAAN.........................................................................iv
ABSTRAK.....................................................................................................v
KATA PENGANTAR.................................................................................vi
DAFTAR ISI................................................................................................viii
PEDOMAN TRANSLITERASI................................................................. x
BAB I: PENDAHULUAN............................................................................1

A. Latar Belakang Masalah.....................................................................1


B. Identifikasi Masalah...........................................................................5
C. Batasan Masalah.................................................................................5
D. Rumusan Masalah..............................................................................6
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 6
F. Review Kajian Terdahulu ..................................................................7
G. Metode Penelitian...............................................................................7
H. Sistematika Penulisan.........................................................................9

BAB II: SHOLAT DALAM ISLAM .........................................................11

A. Hakikaat Shalat ................................................................................. 11


B. Kewajiban Shalat bagi individu ........................................................ 17
C. Pengganti Shalat.................................................................................19

viii
BAB III: KONSEP UMUM TENTANG SHALAT HADIAH
....................................................................................................... 26

A. Pengertian Shalat Hadiah .................................................................. 26


B. Tata cara Shalat Hadiah .................................................................... 29
C. Praktek Shalat Hadiah di Indonesia ...................................................34

BAB IV. ANALISIS KOMPARATIF TENTANG SHOLAT


HADIAH.......................................................................................36

A. Pandangan Majelis Ulama Indonesia tentang Hukum Shalat Hadiah


...........................................................................................................36

B. Pandangan Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang Hukum Shalat Hadiah


...........................................................................................................38

C. Pandangan Nahdhatul Ulama tentang Hukum Shalat Hadiah


...........................................................................................................42

D. Analisis Komperatif tentang Hukum Shalat Hadiah


...........................................................................................................45

BAB V. PENUTUP......................................................................................48

A. Kesimpulan .......................................................................................48
B. Saran..................................................................................................50

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................58

LAMPIRAN .................................................................................................59

ix
PEDOMAN TRANSLITERASI

Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan
asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan
terutama bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan
beberapa istilah Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia
atau lingkup masih penggunaannya terbatas.

a. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar akasara Arab dan padanannya dalam
aksara Latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

‫ا‬
Tidak dilambangkan

‫ب‬
b be

‫ت‬
t te

‫ث‬
ts te dan es

‫ج‬
j Je

‫ح‬
h ha dengan garis bawah

‫خ‬
kh ka dan ha

‫د‬
d de

x
‫ذ‬
dz de dan zet

‫ر‬
r Er

‫ز‬
z zet

‫س‬
s es

‫ش‬
sy es dan ye

‫ص‬
s es dengan garis bawah

‫ض‬
d de dengan garis bawah

‫ط‬
t te dengan garis bawah

‫ظ‬
z zet dengan garis bawah

koma terbalik di atas hadap


‫ع‬
kanan

‫غ‬
gh ge dan ha

‫ف‬
f ef

‫ق‬
q Qo

‫ك‬
k ka

xi
‫ل‬
l el

‫م‬
m em

‫ن‬
n en

‫و‬
w we

‫ه‬
h ha

‫ء‬
apostrop

‫ي‬
y Ya

b. Vokal
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia,
memiliki vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Untuk vokal tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai
berikut:
Tanda Vokal
Tanda Vokal Latin Keterangan
Arab

‫ـــــَـــــ‬ a fathah

‫ـــــِـــــ‬ i kasrah

‫ـــــُـــــ‬ u dammah

xii
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih
aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫__َ_ي‬
ai a dan i

‫__َ_و‬
au a dan u

c. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa
Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal
Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ــــَـا‬ â a dengan topi diatas

‫ــــِـى‬ î i dengan topi atas

‫ـــُــو‬ û u dengan topi diatas

d. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan
huruf alif dan lam( ‫) ال‬, dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti
huruf syamsiyyahatau huruf qamariyyah. Misalnya:
‫ = اإلجثهاد‬al-ijtihâd

‫ = الرخصة‬al-rukhsah, bukan ar-rukhsah

e. Tasydîd (Syaddah)

xiii
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah.
Tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu
terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah.
Misalnya:
‫ = الشفعة‬al-syuî ‘ah, tidak ditulis asy-syuf ‘ah

f. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat
contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta
marbûtah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta
marbûtah tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara

1 ‫شزيعة‬ syarî ‘ah


2 ‫الشزيعة اإلسالمية‬ al- syarî ‘ah al-islâmiyyah
3 ‫مقارنة المذاهب‬ Muqâranat al-madzâhib

g. Huruf Kapital
Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital,
namun dalam transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu
diperhatikan bahwa jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka
huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri
tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Misalnya, ‫ = البخاري‬al-
Bukhâri, tidak ditulis Al-Bukhâri.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam
alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak
tebal. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal

xiv
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar
kara nama tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-
Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

h. Cara Penulisan Kata


Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism) atau huruf
(harf), ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara
dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
No Kata Arab Alih Aksara

1 ‫الضرورة تبيح احملظورات‬ al-darûrah tubîhu al-mahzûrât

2 ‫اإلقتصاد اإلسالمي‬ al-iqtisâd al-islâmî

3 ‫أصول الفقه‬ usûl al-fiqh

4 ‫األصل يف األشياء اإلباحة‬ al-‘asl fi al-asyyâ’ al-ibâhah

5 ‫املصلحة املرسلة‬ al-maslahah al-mursalah

xv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sudah menjadi sebuah kewajiban bagi seorang muslim untuk mengerti
dan faham betul apa tujuan mendirikan shalat dan apa manfaat bagi diri sendiri
dan dampak terhadap lingkungan sekitar. Seorang hamba memilki tugas di dalam
kehidupannya sesuai statusnya sebagai seorang hamba. Salah satunya adalah
menyembah kepada Tuhan. Dalam agama islam menyembah atau biasa disebut
dengan istilah “sembahyang” yang berarti menyembah tuhan itu adalah shalat.
Maka salah satu tugas seorang hamba muslim adalah menyembah tuhannya
dengan shalat.
Dalam pandangan filosofis, shalat adalah hubungan antara makhluk dan
khalik. Yaitu sebuah hubungan vertikal tegak lurus dari bawah ke atas, hubungan
antara seorang hamba dengan Tuhan-Nya.1 Ketika memulai shalat seseorang
diperintahkan menghadap ke arah kiblat dengan wajahnya, sedang hatinya hanya
menghadap Allah semata; tidak menoleh dan berpaling kepada selain-Nya.
Kemudian ia berdiri dihadapan Allah dengan rendah diri, tunduk merasa
membutuhkan kepada-Nya, dan mengharap belas kasih dari Tuhan-Nya.2 Uraian
diatas mendeskripsikan sebuah hakikat shalat adalah hubungan ibadah seorang
hamba kepada tuhannya.Hal ini sesuai dengan Firman Allah Swt dalam Q.s Adz-
Dzaariyaat (51): 56:

ِ ‫اْلنْس إََِّّل لِي عب ُد‬ ِْ ‫وما خلَ ْقت‬


‫ون‬ ُ ْ َ َ ِْ ‫اْل َّن َو‬ ُ َ ََ
Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.”

1
Lihat Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus besar bahasa indonesia versi 0,2,0 2016.
2
Ibnul Qoyyim, Rahasia Sholat, (Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2009), h., 27.
1
2

Pada prinsipnya ibadah shalat merupakan sari ajaran Islam yang berarti
penyerahan diri secara sempurna pada kehendak Allah Swt. dengan demikian, hal
ini akan mewujudkan suatu sikap dan perbuatan dalam bentuk ibadah. Apabila hal
ini dapat dicapai sebagai nilai sikap dan perilaku manusia, maka akan lahir suatu
keyakinan tetap mengabdikan diri kepada Allah Swt.
Hal ini berarti tidak akan terbuka peluang bagi penyimpangan yang dapat
merusak pengabdian kepada Allah Swt. penyimpangan pengabdian berarti akan
merusak diri manusia itu sendiri, bukan merusak berakibat kepada Allah Swt.
oleh karena itu beribadah atau tidaknya manusia kepada-Nya tidaklah mengurangi
keagungan dan kebesaran Allah Swt. sebagai Rabb (Pemelihara) bagi alam
semesta.
Secara sosiologis bahwa shalat dapat mencegah dari kemungkinan
melakukan kejahatan dan perbuatan keji. Ini mengindikasikan bahwa shalat
merupakan rukun islam sebagai kontrol mendasar dalam mewujdukan sistem
sosial Islam. Dapat disimpulkan bahwa Shalat secara filosofis dan sosiologis
adalah Sebuah Alat komunikasi antara Makhluk dengan Khalik yang sebagai
upaya mendapatkan kontrol diri yang memiliki imbas baik terhadap lingkungan
sosial di sekitarnya.
Shalat memiliki dampak besar baik bagi individu maupun kelompok.
Dalam tatanan kehidupan ini manusia diatur dengan adanya peraturan. Yang
membedakan manusia dengan hewan adalah karena adanya aturan. Secara sosial
manusia dituntut hidup dengan hukum yang tidak tertulis sesuai dengan kebiasaan
yang dibenarkan dengan tanpa merugikan orang lain. Hukum yang tidak tertulis
ini akan bertujuan mendapatkan keadilan. Karnanya, untuk menggapai dan
mendapatkan sebuah keadilan yang hakiki diperlukannya jiwa-jiwa yang memilki
sikap bijak, tenang, dan adil pula. Beberapa karakteristik demikian akan didapati
oleh jiwa-jiwa yang tenang yakni jiwa yang memenuhi konsumsi spiritual yang
baik. Sudah dapat disimpulkan bahwa mengapa manusia harus mendapatkan
konsumsi spiritual? Karena, dengan mengkonsumsi spiritual itulah yang nantinya
3

akan timbul jiwa-jiwa yang tenang dan terus berkembang menjadi karakter yang
bijak.
Shalat adalah ibadah mahdah, yang apabila dikerjakan ganjaran pahala
ibadah itu sendiri hanya kembali kepada orang yang melaksanakannya. Mengenai
pahala shalat pada hakikatnya akan diberikan kembali kepada siapa yang
melaksanakan shalat tersebut sebagai ganjaran pahala atas ketaatannya. Adapun
pahala shalat yang didapatkan seseorang yang kemudian dihadiahkan kepada
orang yang sedah meninggal merupakan hal yang tidak lumrah.3
Berbeda dengan hal-hal yang berkenaan dengan pahala ibadah yang dapat
dikirimkan kepada orang sudah meninggal. Pahala atau kebaikan yang dapat
dikirimkan kepada orang lain baik masih hidup maupun sudah mati hanya
meliputi tiga hal yaitu, shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak
sholih yang mendoakan kedua orang tuanya. Dalam agama Islam ibadah
dibedakan menjadi ibadah mahdah, yaitu ibadah yang telah diatur dan
dicontohkan pelaksanaannya oleh Rasulullah SAW. Bentuk ibadah ini berupa
kegiatan ritual yang telah pasti dan jelas aturannya seperti shalat, puasa, zakat,
haji dan lain-lain. Sementara itu bentuk ibadah lainnya adalah ghair mahdah,
yaitu seluruh bentuk aktivitas–dalam cakupan yang seluas-luasnya--sebagai
pengabdian dan penghambaan kepada Allah yang diniatkan dalam kerangka
mencari keridhaan-Nya dan dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran
Islam..4
Kemudian timbul sebuah pertanyaan yang berkenaan dengan hal yang
tidaklah masyhur di kalangan masyarakat umum. Sebuah tradisi yang dianggap
menjadi kebiasaan ibadah namun jarang ditemukan di halayak umum. Penulis
kemudian mengangkat sebuah masalah pada adat yang masyru’ atau kebiasaan ini
dalam bidang keagamaan yaitu Shalat Hadiah sebagai penelitian. Sebuah shalat
3
Baidlawi, MODERNISASI PENDIDIKAN ISLAM , Telaah Atas Pembaharuan
Pendidikan di Pesantren. (Tadris: Jurnal Pendidikan Islam, 1(2). 2006), h., 159
4
Baidlawi, MODERNISASI PENDIDIKAN ISLAM , Telaah Atas Pembaharuan
Pendidikan di Pesantren. (Tadris: Jurnal Pendidikan Islam, 1(2). 2006), h., 159
4

sunah yang dilaksanakan sebagai pengganti shadaqah yang kemudian pahalanya


dikirimkan ke mayyit sebagai penghibur di alam kuburnya pada malam pertama
dikebumikan. Pasalnya pada malam pertama di alam kubur si mayit sedang
mendapatkan siksaan yang berat.5
Jika yang dilakukan masih dalam cangkupan yang sudah masyhur di
kalangan masyarakat/umat muslimin yang sudah jelas disyari’atkan oleh agama
maka tentu tidak menjadi masalah. seperti halnya shalat ghaib, shalat mayit dan
tahapan-tahapan sebelum pengkuburan mayit yang dianggap maklum di kalangan
masyarakat umum. Karenanya hal ini menjadi pertanyaan besar dikalangan
masyarakat tentang hukum melaksanakannya yang jarang ditemukan praktiknya
di kalangan masyarakat.
Kendatipun demikian, sudah banyak karya tulis yang membahas berkaitan
Shalat Hadiah namun, tidak ada yang menganalisis pendapat hukum secara
komparatif yang menghasilkan sebuah kesimpulan hukum yang kongkret. Isu ini
menjadi perselisihan di masyarakat akan ke-Shahihan dalilnya, maupun hukum
melaksanakannya. Karenanya penulis tertarik untuk mengangkat tema ini dengan
alasan supaya dapat membantu masyarakat umum dalam mengambil kesimpulan
yang rajih dalam beribadah.

B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang yang telah diulas oleh penulis, penulis
mengidentifikasikan beberapa masalah dari latar belakang tersebut, antara lain;
1. Tata cara pelaksanaan Shalat Hadiah.
2. Pendapat Hukum dalam Perspektif Majelis Ulama Indonesia,
Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama.

5
Muhammad bin Umar Nawawi Al-jawi Al-bantani, Nihâyat al-Zain, (Dar Al-kotob Al-
ilmiyah, bayruth-libanon, tahun 2002), h., 107.
5

C. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas, penulis
membatasi pokok masalah agar tetap terarah dan fokus pada substansi
pembahasan yaitu pendapat hukum MUI, Muhammadiyah, NU tentang Shalat
Hadiah.

D. Rumusan Masalah
Setelah dikemukakan latar belakang masalah di atas, maka dapat ditarik
suatu perumusan masalah yang penulis rinci pertanyaan sebuah peneletian
sebagai berikut:
1. Bagaimana tata cara Shalat Hadiah?
2. Bagaimana pendapat hukum menurut MUI (Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia), Majelis Tarjih Muhammadiyah, dan Bahtsul Masaail Nahdatul
Ulama?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan penelitian
Dalam penulisan skripsi ini ada beberapa tujuan yang hendak dicapai oleh
penulis, adapun tujuan itu adalah
a. Secara khusus, yaitu memenuhi persyaratan formalitas dalam
mendapatkan gelar akademik Sarjana Hukum Islam strata I Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Secara umum:
1) Mendeskripsikan bagaimana pelaksanaan Shalat Hadiah.
2) Menjelaskan sejarah tradisi Shalat Hadiah.
3) Mengidentifikasikan hukum Shalat Hadiah dan hukum
melaksanakannya.
4) Membandingkan pendapat hukum tentang Shalat Hadiah.
2. Manfaat Penelitian
6

Adapun manfaat dalam melaksanakan penelitian ini adalah:


a. Secara Teoritis. Hasil analisis ini, diharapkan dapat memperluas dan
memperkaya ilmu pengetahuan penulis yang diperoleh selama di
bangku kuliah dan juga bermanfaat bagi penulis-penulis yang akan
datang khususnya mengenai hukum Shalat Hadiah.
b. Secara praktis, tulisan ini dapat digunakan sebagai bahan acuan atau
pertimbangan bagi pihak-pihak yang terkait dalam mempertimbangkan
suatu perkara hukum dalam suatu ibadah yang berkenaan dengan Shalat
Hadiah serta solusi hukum yang tepat dalam melaksanakannya.

F. Review Kajian Terdahulu


Sebelum melakukan penelitian, penulis melakukan studi review terdahulu,
pada beberapa karya tulis yang telah dibaca oleh penulis, diantaranya:
1. Skripsi Danang Eko Purwanto yang berjudul Tradisi Shalat Unsil Qabri (Di
Desa Wonolelo Pleret Bantul Yogyakarta), yang diterbitkan oleh UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta tahun 2014. Skripsi ini membahas bagaimana
pelaksanaan dan kepentingan tradisi Shalat Unsil Qabri, dimana didalamnya
hanya fokus terhadap tata cara pelaksanaan dan urgensi dalam melaksanakan
Shalat Unsil Qabri bagi masyarakat Desa Wonolelo Pleret Bantul
Yogyakarta.6
2. Skripsi yang ditulis oleh Fahrul Ilmi, yang berjudul “Hadis tentang sampainya
hadiah pahala terhadap orang yang meninggal dunia” yang diterbitkan pada
tahun 2008 oleh UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kesimpualan yang dapat
diambil bahwa pembahasan pada skripsi ini mengenai Kualitas hadis tentang
sampainya hadiah pahala terhadap orang yang sudah meninggal dunia.7

6
Danang Eko Purwanto, Skripsi Tradisi Shalat Unsil Qabri ( Di Desa Wonolelo Pleret
Bantul Yogyakarta), diterbitkan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2014.
7
Fahrul Ilmi, “Hadis tentang sampainya hadiah pahala terhadap orang yang meninggal
dunia” yang diterbitkan pada tahun 2008 oleh UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
7

G. Metodologi Penelitian
Untuk penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif dengan
pendekatan kualitatif, yakni merupakan suatu strategi inquiry yang menekan
pencarian makna, pengertian konsep, karakteristik, gejala, simbol maupun
deskripsi tentang suatu fenomena, fokus dan multi metode, bersifat alami dan
holistik, mengutamakan kualitas, menggunakan beberapa cara, serta disajikan
secara naratif.8
1. Sumber Data
Di dalam penelitian ini, penulis menggunakan pengumpulan data yaitu dengan
menggunakan study pustaka (library research), dan Interview research. Studi
pustaka dalam penelitian ini dilakukan guna mengeskplorasi dasar-dasar
hukum, pendapat para ulama fiqih. Sedangkan Studi Interview dilakukan
untuk menggali sebuah pendapat dari tokoh yang berkaitan. Studi juga
bersumber dari berbagai tulisan dan hasil penelitian di internet sebagai bahan
pelengkap.
2. Jenis Data
Data-data yang dipergunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi tiga,
yaitu:9
a. Bahan Hukum primer yaitu bahan-bahan hukum antara lain:
1) Al-Qur’an dan Assunnah
2) Kitab Nihayat al-Zein.
b. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan-bahan tertulis yang dipergunakan
untuk memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti
buku-buku tentang praktik Shalat Hadiah dan yang berkaitan dengan
hukum Shalat Hadiah.

8
Muri Yusuf, MetodePenelitian; Kuantitatif, Kualitatifdan Penelitian Gabungan,
(Jakarta, Kencana Prenada Media, 2014), h., 329.
9
Muri Yusuf, MetodePenelitian; Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan,
(Jakarta, Kencana Prenada Media, 2014), h., 24.
8

c. Data Tersier, yaitu data non-hukum yang diharapkan mendukung dalam


penulisan skripsi ini, seperti kamus, media elektronik, serta ensiklopedi
yang berkaitan dengan pembahasan.
3. Analisis Data
Setealah data-data diperoleh dari hasil penelitian kemudian diklarifikasi.
Penulis menganalisis dengan menggunakan metode kulitatif.1 Yaitu 0

menggunakan penafsiran hukum, penalaran hukum dan argumentasi rasional


dan diddokumentasi. Kemudaian data tersebut penulis paparkan dalam bentuk
narasi sehingga menjadi kalimat yang jelas dan dapat dipahami.
4. Teknik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis merujuk kepada buku Pedoman Penulisan
Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidaytullah Jakarta tahun 2017.

H. Sistematika Penelitian
Untuk mempermudah pembahasan dan dalam usaha memberikan
gambaran singkat mengenai isi dari skripsi dalam lima bab, dan tiap babnya
terdiri dari sub-sub bab yang tentunya antara satu bab dengan bab lainnya
mempunyai keterkaitan.
Adapun sistematika penulisan secara terperinci sebagai berikut:
BAB I sebagai pendahuluan yang membahas tentang latar belakang
masalah dan rumusan-rumusan masalah serta hal yang berkitan dengan
permasalahan dalam Hukum Shalat Hadiah.
BAB II merupakan konsep umum tentang shalat dalam islam baik secara
filosofis, dan Sosiologis.

1 0
Muri Yusuf, MetodePenelitian; Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan,
(Jakarta, Kencana Prenada Media, 2014), h., 400.
9

BAB III merupakan konsep umum tentang Shalat Hadiah, yaitu


pengertian Shalat Hadiah, tata cara, sejarah masyru’nya dan praktik Shalat Hadiah
di Indonesia.
BAB IV yaitu pembahasan inti analisis komperatif tentang Shalat Hadiah,
pandangan hukum dalam perspektif MUI, Muhammadiyah dan NU, dan analisis
komperatif dari penulis.
BAB V adalah sebagai penutup, di sini penulis mengemukakan
kesimpulan dan saran-saran seperlunya.
BAB II
SHALAT DALAM ISLAM

A. Hakikat Shalat
Menumbuhkan kesadaran diri manusia bahwa ia adalah makhluk Allah
Swt. Yang diciptakan sebagai insan yang mengabdi kepada-Nya. Hal ini seperti
firman Allah Swt Q.s. Adz-Dzaariyaat (51): 56:
ِ ‫اْلنْس إََِّّل لِي عب ُد‬ ِ ‫وما خلَ ْق‬
‫ون‬ ُ ْ َ َ ِْ ‫ت ا ْْل َّن َو‬
ُ َ ََ
Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.”

Hadiah, yaitu pemberian tanpa mengharap balasan. Dan yang dimaksud di


sini adalah menghadiahkan pahala amal kebaikan kepada orang mukmin baik
yang masih hidup atau yang telah meninggal dunia. Seperti menginfakkan
sebagian harta dan pahalanya dihadiahkan kepada kedua orang tuanya baik yang
masih hidup atau yang telah meninggal dunia. Pahala yang diahadiahkan tersebut
insya Allah bermanfaat bagi yang diberi hadiah selama yang diberi hadiah orang
Islam kecuali kafir, maka tidak bermanfaat dan tidak sampai. Nabi SAW.
memberi contoh hadiah pahala seperti disebutkan dalam Hadis riwayat Imam
Muslim.1 1

Dengan demikian, manusia itu diciptakan bukan untuk berdiam diri di


dunia dan kemudian mengalami kematian tanpa adanya pertanggungjawaban
kepada penciptanya, melainkan manusia itu diciptakan oleh Allah Swt. untuk
mengabdi kepada-Nya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt Q.s. Al-Bayyinah
(98): 5:

1 1
Ahmad Mafaid Nasution, pengamalan Shalat Hadiah untuk orang yang telah
meninggal di kampung mesjid kec. Kualuh Hilir kab. Lauhan batu utara. ( Sumatera Utara
Medan, Studi Hukum Islam Program Pasca Sarjana IAIN, 2014), h., 40.
10
11

ِ َّ ‫لديْ َن ُحنَ َفاءَ َويُِقْي ُمو‬


ِ ‫صْي لَه ا‬
ِِ ِ ِ
‫ك‬ َّ ‫االصلوَة َويُ ْؤتُو‬
َ ‫االزكوَة َو َذال‬ ُ َ ْ ‫َوَماأُم ُرواإََِّّلليَ ْعبُ ُدوااهللا ُمُْل‬
‫ِديْ ُن الْ َقيِ َمة‬
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan
lurus.”

Dari ayat tersebut dapat diartikan bahwa manusia diciptakan bukan


sebagai unsur pelengkap isi alam saja yang hidupnya tanpa ada tujuan, tugas, dan
tanggungjawab. Akan tetapi, penciptaannya melebihi penciptaan makhluk
lainnya. Hal ini tercemin dalam Q.s. At-Tiin (95): 4:

ِْ ‫لََق ْد َخلَ ْقنَا‬


ْ ‫اْلنْ َسا َن ِِف أ‬
‫َح َس ِن تَ ْق ِو مي‬
Artinya: “Sesungguhya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya.”

Pada hakikatnya manusia itu diperintahkan supaya mengabdi kepada


Allah Swt. Karena itu, tidak ada alasan baginya untuk mengabaikan kewajiban
beribadah kepada-Nya. Allah Swt. berfirman dalam Q.s. Al-Baqarah (2): 21:

‫ين ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّ ُقو َن‬ ِ َّ ِ َّ


َ ‫َّاس ْاعبُ ُدوا َربَّ ُك ُم الذي َخلَ َق ُك ْم َوالذ‬
ُ ‫ََي أَيُّ َها الن‬
Artinya: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan
orang-orang yang sebelummu agar kamu bertakwa.”

Hakikat adalah suatu dasar dan mendalam atas sesuatu. Hakikat pada
dasarnya mencari suatu asar dari sesuatu, yakni tujuan dalam menggapai dari apa
yang dikerjakan.1 Dalam KBBI, Hakikat
2
memiliki dua definisi yaitu, yang
pertama berarti intisari atau dasar. Kemudian, yang ke dua kenyataan yang
sebenarnya. Maka dalam hal ini hakikat shalat adalah intisari dari shalat.
Kata shalat seringkali diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan kata
“sembahyang”. Sebenarnya pengertian kedua kata ini mempunyai makna yang

1 2
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus besar bahasa indonesia versi 0,2,0 2016.
12

sangat berbeda. “Sembahyang” seringkali diartikan sebgai “menyembah sang


hiyang”, “menyembah Tuhan.” Kata “Sem bahyang” juga seringkali dikaitkan
dengan kegiatan tertentu yang dilakukan umat beragama secara umum dalam
rangka menyembah Tuhan mereka. Ini berarti kata “Sembahyang” dikenal dalam
semua umat beragama, baik islam maupun lainnya, dengan cara pelaksanaan yang
berbeda-beda. Dalam ajaran Islam ibadah shalat mempunyai kedudukan yang
tertinggi dibandingkan ibadah-ibadah lainnya. Shalat merupakan tiang agama
Islam. Islam tidak dapat tegak kecuali dengan shalat. Disamping itu shalat adalah
ibadah yang diperintahkan langsung oleh Allah Swt. Tanpa perantara, kepada
Rasulullah Saw. sewaktu beliau mi’raj, maka shalat juga merupakan ibadah yang
pertama kali diperintahkan Allah Swt. kepada Rasulullah Saw. Shalat juga
merupakan wasiat terakhir yang diamanatkan oleh Rasulullah kepada umatnya,
sewaktu beliau hendak meninggal dunia.1 3

Pengertian kata “shalat” dalam islam tidaklah sama dengan kata


“sembahyang”. Kata “shalat” berasal dari bahasa Arab yang artinya doa.1
Sedangkan secara istilah shalat adalah ucapan dan perbuatan yang diawali dengan
takbiratulihram dan diakhri dengan salam.1 5
Jadi hakikat shalat adalah alat
berkomunikasi antara Makhluk dan Khalik. Rasulullah bersabda:1 6

ِ ‫ ََِسعت رسوَل‬:‫اب ر ِضي هللا عْن هما قَ َال‬ ِ ْ ‫الر ْْحَ ِن َعْب ِدهللاِ بْ ِن عُمر بْ ِن‬ َّ ‫َِب َعْب ِد‬
‫هللا‬ ُْ َ ُ ْ َ ُ َ ُ َ َ َّ‫الَط‬ ََ ْ ِ‫َع ْن أ‬
‫َن‬ ‫ بُِِن اْ ِْل ْسلَ ُم َعلَى خَْ م‬:‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم يَ ُق ْو ُل‬
َّ ‫ َوأ‬،ُ‫ َش َه َادةُ أَ ْن َّلَ إِلَهَ إَِّلَّ هللا‬:‫س‬ َ
َ
ِ ِ ِ َّ ‫ وإِقَام‬،ِ‫ُُم َّمداً رسو ُل هللا‬
.‫ضا َن‬ َ ‫ َو‬،‫ َو َح ُّج الْبَ ْيت‬،‫ َوإِيْتَاءُ ا َّلزَكاة‬،‫الصلَة‬
َ ‫ص ْوُم َرَم‬ ُ َ ُْ َ َ
)‫(رواه البخاري‬
1
Zurinal Z.& Aminuddin, M.Ag.,3 Fiqih Ibadah, (Jakarta, Lembaga Penelitian
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2008), cetakan 1, h., 67
1 4
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: PP Al-
Munawwir, 1984), h., 366.
1 5
Masykuri Abdurrahman, Kaifiyah dan Hikmah Shalat Versi Kitab Salaf, (Sidogiri,
Pustaka Sidogiri, 2006), Cetakan ke-7, h., 33.
1 6
Muhammad bin Ismail al-Ja’fi al-Bukhâri, Shahih al-Bukhâri, (T.tp: Dar Tuq al-Najah,
1422 H), Juz 1, h., 34.
13

Artinya: “Dari Abu Abdurrahman, Abdullah bin Umar bin Khattab RA, dia
berkata, “Saya mendengar Rasulullah SAW. bersabda, ‘Islam dibangun diatas
lima perkara: bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad
adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji
dan puasa Ramadhan.” (H.r al-Bukhâri).

Hadits diatas menjelaskan bahwa shalat adalah sebuah dasar, yaitu pilar
agama. Hadits ini termasuk hadits penting karena mengandung dasar agama dan
menjadi sumber rujukan bagi sebagian besar hukum Islam. Salah satunya adalah
shalat. Karenanya shalat sangatlah penting dikarenakan shalat adalah bagian dari
dasar sebuah agama.1 7

Pada prinsipnya ibadah shalat merupakan sari ajaran Islam yang berarti
penyerahan diri secara sempurna pada kehendak Allah Swt. dengan demikian, hal
ini akan mewujudkan suatu sikap dan perbuatan dalam bentuk ibadah. Apabila hal
ini dapat dicapai sebagai nilai sikap dan perilaku manusia, maka akan lahir suatu
keyakinan tetap mengabdikan diri kepada Allah Swt. ini berarti tidak akan
terbuka peluang bagi penyimpangan yang dapat merusak pengabdian kepada
Allah Swt. penyimpangan pengabdian berarti akan merusak diri manusia itu
sendiri, bukan merusak berakibat kepada Allah Swt. oleh karena itu beribadah
atau tidaknya manusia kepada-Nya tidaklah mengurangi keagungan dan
kebesaran Allah Swt. sebagai Rabb (Pemelihara) bagi alam semesta.
Selanjutnya mengenai shalat secara maknawi dalam bukunya Pedoman
Shalat Hasbi Ash-Shiddieqy mengatakan, bahwa shalat dalam pengertian Bahasa
Arab ialah “doa memohon kebajikan dan pujian”. Maka shalat Allah SWT kepada
Nabi-Nya ialah pujian Allah SWT kepada Nabi-Nya. Sebelum islam, orang Arab

1 7
Musthafa Dib Al-Bugha, Al-Wafi fi Syarh Al-Arbain An-Nawawiyyah, (Damaskus, Dar
Al-Musthafa, 2007), h., 13.
14

memakai kata shalat dengan arti demikian dan arti itu terdapat juga di beberapa
tempat didalam Al-Quran”1 Firman Allah SWT Q.s.8 At-Taubah (9): 103:
ِ ِ ِِ ِ
َّ ‫ك َس َك ٌن َِلُْم ۗ َو‬
ُ‫اَّلل‬ َ ‫ص ِل َعلَْي ِه ْم ۖ إِ َّن‬
َ َ‫ص َلت‬ َ ‫ص َدقَةً تُطَ ِه ُرُه ْم َوتَُزكي ِه ْم بَا َو‬
َ ‫ُخ ْذ م ْن أ َْم َواِل ْم‬
‫يع َعلِ ٌيم‬ ِ
ٌ ‫ََس‬
Artinya: “Dan bershalatlah atas mereka ("dan berdoalah" untuk mereka) karena
sesungguhnya shalatmu (doamu) itu (menjadi) menenangkan dan menentramkan
mereka dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”

ِ ِ ِ ِ َّ ِ
ً ‫صلُّوا َعلَْيه َو َسل ُموا تَ ْسل‬
‫يما‬ ِ ِ‫صلُّو َن َعلَى الن‬
َ ‫َّب ۚ ََي أَيُّ َها الذ‬
َ ‫ين َآمنُوا‬ َ ُ‫اَّللَ َوَم َلئ َكتَهُ ي‬
َّ ‫إن‬َّ
Artinya: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk
Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan
ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Q.S. al-Ahzaab: 56)

Selanjutnya mengenai urgensi dari shalat juga telah dijelaskan oleh


Rasulullah Saw. bahwa shalat adalah sebagai tolak ukur ibadah seorang hamba.
Rasulullah bersabda:1 9

‫ض ِم ُّي َحدَّثَنَا َس ْه ُل بْ ُن َْحَّ ماد َحدَّثَنَا ََهَّ ٌام قَ َال َح َّدثَِِن‬ َ ‫اْلَ ْه‬ ْ ‫ص ِر بْ ِن َعلِ مي‬ ِ
ْ َ‫َحدَّثَنَا َعل ُّي بْ ُن ن‬
ِ ِ ِ َّ ‫ث ب ِن قَبِيصةَ قَ َال قَ ِدمت الْم ِدينةَ فَ ُق ْل‬ ِ
‫يسا‬
ً ‫ت الل ُه َّم يَس ْر ِل َجل‬ ُ َ َ ُ ْ َ ْ ْ‫اْلَ َس ِن َع ْن ُحَري‬ ْ ‫قَتَ َادةُ َع ْن‬
ِ ‫اَّلل أَ ْن ي رزقَِِن جلِيسا ص‬ ِ
‫اْلًا‬ َ ً َ ُ ْ َ ََّ ‫ت‬ ُ ْ‫ت إِِّن َسأَل‬ ُ ‫ت إِ ََل أَِِب ُهَريْ َرةَ فَ ُق ْل‬ ُ ‫صاْلًا قَ َال فَ َجلَ ْس‬ َ
‫اَّللَ أَ ْن يَْن َف َع ِِن بِِه فَ َق َال‬َّ ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم لَ َع َّل‬
َّ ‫صلَّى‬ َِّ ‫ول‬ ِ ‫يث ََِس ْعتَه ِمن رس‬ ‫فَح ِدثِِْن ِِب ِد م‬
َ ‫اَّلل‬ َُ ْ ُ َ َ
‫ب بِِه الْ َعْب ُد يَ ْوَم الْ ِقيَ َام ِة ِم ْن‬
ُ ‫اس‬ َ َ‫ول إ َّن أ ََّوَل َما ُُي‬
ِ ُ ‫اَّلل َعلَْي ِه وسلَّم ي ُق‬
ََ ََ َُّ ‫صلَّى‬
َِّ ‫ول‬
َ ‫اَّلل‬ َ ‫ت َر ُس‬ ُ ‫ََس ْع‬
ِ
ِ ِ َ ‫ت فَ َق ْد َخ‬ ِِ
‫ص‬َ ‫اب َو َخسَر فَإ ْن انْتَ َق‬ ْ ‫ت فَ َق ْد أَفْ لَ َح َوأ َْْنَ َح َوإِ ْن فَ َس َد‬ َ ‫ص َلتُهُ فَإِ ْن‬
ْ ‫صلُ َح‬ َ ‫َع َمله‬

1
Ahmad Mafaid Nasution,8 pengamalan Shalat Hadiah untuk orang yang telah
meninggal di kampung mesjid kec. Kualuh Hilir kab. Lauhan batu utara. ( Sumatera Utara
Medan, Studi Hukum Islam Program Pasca Sarjana IAIN, 2014), h., 44
1 9
Ahmad bin Syu’aib bin Ali al-Khurasani an-Nasai, Sunan an-Nasai, (Halb: Maktab al-
Mathbu’at al-Islamiyah, T.th.), Juz 1, h., 232.
15

ِ ِ ِ ِ َّ ‫يضتِ ِه َش ْيءٌ قَا َل‬ ِ


‫ص‬
َ ‫ب َعَّز َو َج َّل انْظُُروا َه ْل ل َعْبدي م ْن تَطَُّومع فَيُ َك َّم َل بَا َما انْتَ َق‬
ُّ ‫الر‬ َ ‫م ْن فَ ِر‬
ِ ِ
.‫ك‬ َ ‫يض ِة ُُثَّ يَ ُكو ُن َسائُِر َع َمل ِه َعلَى َذل‬ ِ
َ ‫م ْن الْ َف ِر‬
Artinya: “Ali bin Nashr bin Ali Al Jahdhami menceritakan kepada kami, Sahal
bin Hammad memberitahukan kepada kami, Hammam memberitahukan kepada
kami dari Al Hasan, dari Harits bin Qabishah, ia berkata, "Aku datang ke kota
Madinah sambil berdoa, 'Ya Allah, mudahkanlah bagiku untuk berteman dengan
orang yang shalih'." Ia berkata lagi, "Lalu aku berteman dengan Abu Hurairah,
maka aku berkata, 'Sesungguhnya aku telah meminta kepada Allah untuk diberi
rezeki berupa teman yang shalih, yang mau menceritakan kepadaku suatu hadits
yang ia dengar dari Rasulullah SAW., yang dengan hadits itu Allah akan
memberikan manfaat kepadaku'. Abu Hurairah berkata, 'Aku mendengar
Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguhnya yang pertama kali dihisab pada hari
Kiamat dari amalan manusia adalah shalatnya; jika amalan shalatnya baik maka
ia orang yang bahagia dan beruntung, tetapi jika amalan shalatnya rusak maka
ia termasuk orang yang rugi dan tidak beruntung. Jika terdapat kekurangan
sedikit dari shalat fardhunya, maka Allah berfirman, 'Lihatlah (hai para
malaikat) apakah hambaku mengerjakan shalat sunah untuk menyempurnakan
shalat fardhunya?' Kemudian jika hambaku mengerjakan shalat sunah, maka
shalat sunah itu untuk menyempurnakan shalat fardhunya yang kurang, kemudian
seluruh amalannya diperlakukan seperti itu'.”(H.r An Nasai).

Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa Shalat menjadi parameter


atas amal perbuatan dan kehidupan seorang hamba, hadist diatas menjelaskan jika
shalat kita benar maka semua amal kita akan benar, dan jika shalat kita salah
maka semua amal kita akan salah. Firman Allah SWT Q.s. Al-‘Ankabut (29): 45:

ۗ ‫الص َل َة تَ ْن َهى َع ِن الْ َف ْح َش ِاء َوالْ ُمْن َك ِر‬ َّ ‫اب َوأَقِِم‬


َّ ‫الص َل َة ۖ إِ َّن‬ ِ َ‫ك ِمن الْ ِكت‬ ِ ِ
َ َ ‫اتْ ُل َما أُوح َي إلَْي‬
‫صنَ عُو َن‬
ْ َ‫اَّللُ يَ ْعلَ ُم َما ت‬ َّ ‫َولَ ِذ ْك ُر‬
َّ ‫اَّللِ أَ ْك ََبُ ۗ َو‬
Artinya: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al
Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah
(shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan
Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Ayat Al-Quran di atas menjelaskan dampak sosial dari shalat. Bahwa


dampak baik dari shalat adalah Mujâhadah Nafsiyah yang timbul dari diri, yaitu
16

mengontrol diri dari pekerjaan keji dan mungkar. Karena, ketik seorang hamba
berupaya mendirikan shalat dengan kesungguhan dan rasa khusyu’ maka
dampaknya adalah mendapatkan sebuah ketenangan emosional. Dampak
emosional ini dapat mempengaruhi semua sendi dalam tatanan kehidupan alhasil,
ia mendapatkan pribadi yang lebih bijak dalam mengambil keputusan.
Shalat mengandung banyak faedah. Dengan shalat, seorang hamba
melakukan ikatan perjanjian dengan Tuhannya, menyatakan kehambaannya
kepada Allah; menyerahkan segala persoalan hanya kepada Allah, sambil
mengharap keamanan, ketenangan, dan keselamatan, yaitu jalan untuk mencapai
kemenangan, keberuntungan, dan menjauhkan diri dari segala kejahatan dan
kesalahan. Seperti dalam sabda Nabi Saw.: “Apakah engkau tidak memperhatikan
jika ada sebuah sungai yang mengalir di depan seseorang, lalu ia mandi di
dalamnya lima kali sehari semalam.” Apakah ada dakinya yang tertinggal.”
Rasulullah lalu bersabda: demikianlah perempumaan shalat lima waktu itu, Allah
menghapuskan dosa orang-orang yang melakukannya sebagaimana air mandi
menghapus segala daki yang ada di badan seseorang.2 0

Beberapa dalil diatas menjelaskan betapa penting dan mendasarnya nilai


shalat dalam islam baik secara filosofis maupun sosiologis. Urgensi lain dari
shalat bahwa yang paling pertama yang akan dihisab nanti di hari akhir adalah
shalat. maka ketika shalat seseorang tersebut baik, benar, dan khusyu’ dengan
indikator ikhlas dan karena Allah ta’ala maka baginya adalah pembersihan diri.

B. Kewajiban Shalat bagi individu


Shalat mulai diwajibkan pada seusainya Nabi Muhammad di Isra’
Mi’rajkan Allah Swt. malam 27 Rajab, lebih kurang lima tahun sebelum hijrah.
yang kemudian dibagikan waktu-waktu shalat berikut dengan jumlah raka’at
setiap shalatnya. Shalat fardhu dibagi menjadi lima waktu, shalat Subuh, Zuhur,

2
Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, 0M.A., Menyelami Seluk-Beluk Ibadah Dalam
Islam,(Jakarta, Prenada Media, 2003) h., 180.
17

A‘shar Maghrib, dan Isya yang jika dihitung jumlah raka’at menjadi 17 rakaat.
Shalat lima waktu hukumnya wajib, dan semestinya setiap muslim melaksanakan
shalat tidak hanya sebatas menggugurkan kewajiban, tetapi merupakan sebuah
kebuTuhan, baik rohani maupun lahiriyahnya.
Shalat merupakan kewajiban yang paling besar setelah dua kalimat
syahadah. Begitu besarnya peroalan shalat ini, sehingga Rasulullah menyatakan
bahwa untuk membedakan antara seorang muslim dan seorang kafir adalah
meningglkan shalat.2 Ini berarti bahwa keislaman
1
seseorang dapat diwujudkan
dengan mengerjakan shalat.
Selain shalat wajib, ada shalat sunah. Shalat sunah adalah shalat yang
dilakukan di luar ibadah shalat wajib. Kita pun dianjurkan untuk melaksanakan
shalat sunah. Shalat wajib ibarat modal, sedangkan shalat sunah adalah
keuntungannya. Selain shalat fardhu, umat Islam juga dianjurkan untuk
melaksanakan shalat sunah. Shalat sunah pun memiliki fadhilah atau manfaat,
baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Salah satu fadhilahnya adalah
mendekatkan diri kepada Allah dan menjadikan pelakunya dicintai Allah SWT.
Firman Allah SWT Q.s. Al-Baqarah (2): 238:

.‫ْي‬ ِِ ِ ِ َ ‫الصلوةِ الْ ُو ْس‬


َ ْ ‫ط َوقُ ْوُم ْوا ََّّلل قَنت‬ َّ ‫َحافِظُْوا َعلَى‬
ِ َ‫الصل‬
َّ ‫وت َو‬
Artinya: “Jagalah (peliharah) segala shalat(mu) dan (peliharalah) shalat wustha.
Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu.”

Adapun ayat Al-Quran di atas menunjukkan pentingnya shalat dalam


kehidupan muslim. Alquran menjelaskan bahwa menelantarkan shalat dan
mengabaikannya itu termasuk sifat-sifat yang menyimpang dan tersesat. Adapun
terus menerus mengabaikan shalat dan menghina keberadaannya, maka itu
termasuk kufur/kafir.

2
Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, 1M.A., Menyelami Seluk-Beluk Ibadah Dalam
Islam,(Jakarta, Prenada Media, 2003) h., 180.
18

C. Pengganti Shalat
Bagi yang meninggalkan shalat bisa disebabkan dua hal, yaitu karena
kesengajaan atau ketidaksengajaan. Bagi yang meninggalkan salat secar sengaja
terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, ia meninggalkan shalat karena sengaja,
yaitu mengingkari kewajiban. Dalam hal ini para ulama sepakat bahwa orang
yang menghindar dari kewajiban shalat tanpa ada alasan apapun
Badal di ambil dari bahasa Arab yang artinya pengganti, adapun badal
shalat secara Bahasa adalah pengganti Shalat yakni pengganti shalat seseorang
yang sudah meninggal dunia. Ada beberapa perkara yang dapat mengganti shalat
seseorang yang sudah meninggal yang terjadi dan masyhur dikalangan
masyarakat yaitu Qadha dan Membayar Fidyah.
Qadha secara bahasa adalah memutuskan dan mengganti, sedangkan
menurut istilah fiqih adalah mengerjakan shalat di luar waktu yang telah
disyariatkan. Maka dapat disimpulkan bahwa shalat Qadha diartikan dengan
melaksankan shalat diluar waktu yang ditentukan sebagai pengganti shalat yang
ditinggalkan karena unsur kesengajaan, lupa, memungkinkan atau tidak
memungkinkan dalam pelaksanaan shalat tersebut.2 2

Para ulama sepakat bahwa, barang siapa yang meninggalkan shalat fardhu,
maka wajib menggantinya atau mengqadhanya. Baik ditinggalkannya secara
sengaja, lupa, tidak tahu maupun karena tertidur. Sedangkan yang sedang dalam
keadaan haid atau nifas itu tidak diwajibkan untuk menggantikan shalat, sebab,
kewajiban shalatnya gugur bagi mereka. Namun bagi mereka yang hilang akal
sebab pingsan, mabuk dan gila. Para ulama berbedaa pendapat dalam menyikapi
hal ini, diantara lain adalah:2 3

Mazhab Hanafi mengatakan bahwa orang yang hilang akal disebabkan


benda yang memabukkan yang diharamkan olah Agama, maka hukumnya wajib

2
Qadha dan fidyah Shalat, 2iztyazzahra.wordpress.com/2016/04/15/qadha-dan-fidyah-
shalat-bagi-orang-yang-sudah-meninggal. Diakses pada tanggal 13/03/18 pada pukul 10:32 WIB
2
Muhammad Jawad M, Fiqih3Lima Mazhab, (Jakarta: Basrie Press, 1991) H.172
19

atasnya qadha shalat. Sedangkan orang yang hilang akal sebab pingsan dan gila,
maka gugur bagi mereka kewajiban mengqadha shalat dengan adanya dua
ketentuan syarat, yaitu:
1. Pingsan atau gilanya berlangsung terus menerus sampai lebih dari lima
kali waktu shalat, jika hanya lima kali shalat kurang dari itu, maka
wajib mengqadha atasnya.
2. Tidak sadar selama pingsan atau gilanya itu pada waktu shalat jika ia
sadar dan belum shalat, maka wajib qadha’.
Mazhab Maliki mengatakan bahwa pingsan tidak menggurkan qadha’.
Jadi, orang gila dan pingsan wajib mengqadha shalatnya, sedangkan orang yang
mabuk dibagi menjadi dua pendapat hukumnya:
1. Apabila mabuknya disebabkan oleh barang haram, maka ia wajib
qadha’
2. Jika disebabkan barang halal, maka tidak wajib mengqadha.
Mazhab hambali berpendapat bahwa orang yang pingsan dan mabuk
karena benda haram wajib mengqadha, sedangkan orang gila tidak wajib qadha.
Mazhab Syafii berpendapat bahwa orang gila tidak wajib untuk mengqadha apbila
gilanya menghabiskan seluruh waktu shalat.
Sedangkan Fidyah adalah memberikan makan orang miskin sebagai
pengganti seseorang yang meninggalkan kewajibannya sebagai muslim, baik itu
puasa atau shalat. Pembayaran fidyah ini sebanyak satu mud atau setara dengan 6
ons, bagi setiap shalatnya. Firman Allah Swt. Q.s. Al-Baqarah (2): 184:

ِ َّ ِ ِ ِ ‫أ َََّيما مع ُد م‬
‫ين‬
َ ‫ُخَر ۚ َو َعلَى الذ‬ َ ‫يضا أ َْو َعلَى َس َف مر فَع َّدةٌ م ْن أ َََّيمم أ‬ ً ‫ودات ۚ فَ َم ْن َكا َن مْن ُك ْم َم ِر‬ َ َْ ً
‫وموا َخ ْْيٌ لَ ُك ْم ۖ إِ ْن‬
ُ‫ص‬ ُ َ‫ع َخ ْ ًْيا فَ ُه َو َخ ْْيٌ لَهُ ۚ َوأَ ْن ت‬ ‫يُ ِطي ُقونَهُ فِ ْديَةٌ طَ َع ُام ِمس ِك م‬
َ ‫ْي ۖ فَ َم ْن تَطََّو‬ ْ
‫ُكْن تُ ْم تَ ْعلَ ُمو َن‬
Artinya: “(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara
kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
20

baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.
Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah
yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.”

Mengenai dalil fidyah shalat, memang dalam beberapa dalil hanya


membahas fidyah puasa, akan tetapi ada kesamaan illat yaitu antara puasa dan
shalat, maka pada pengalokasian fidyah shalat disamakan dengan fidyah puasa
yang diberikan kepada orang miskin. Mazhab Syafii berpendapat bahwa dalam
penerimaan fidyah ini golongan faqir lebih utama untuk mendapatkannya karena
dilihat dari kondisi yang lebih memperhatinkan dibandingkan si miskin.
Pembagian fidyah ini tidak diperuntukan 8 golongan dalam pembagian zakat.2
Selanjutnya pendapat Mazhab Syafi’i sejalan dengan fatwa Majelis Ulama
Indonesia tentang Fidyah Shalat dan Qadha tepatnya MUI Provinsi Jakarta pada
tanggal 19 Dzulqa’dah 1420 H/25 Februari 2000 M.2 Di dalam fatwa MUI itu
5

memutuskan bahwa:

1. Pada dasarnya, setiap manusia akan memperoleh balasan (pahala atau


siksa) sesuai dengan amal perbuatannya sewaktu masih hidup di alam
dunia. Mereka tidak akan mendapatkan balasan amal perbuatan yang
dilakukan oleh orang lain. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT
dalam Q.s An-Najm (53): 39-4:

2 4
Syaikh Abu Bakar Syatha, I’anatu Al-Thalibin, (Menara Kudus, Al-haramain, 2007),
Juz II, H.244
2
Lihat Fatwa Majelis Ulama5 Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta, dalam rapatnya
pada tanggal 19 Dzulqa’dah 1420 H., bertepatan dengan tanggal 25 pebruari 2000 M.
21

َّ ‫)وأ‬ ِ ِ ِ ‫وأَ ْن لَي‬


ُ‫)ُثَّ ُُْيَزاه‬
ُ ٤٠(‫ف يَُرى‬
َ ‫َن َس ْعيَهُ َس ْو‬ َ ٣٩(‫س لإلنْ َسان إَّل َما َس َعى‬َ ْ َ
)٤1( ‫األو َف‬ْ َ‫اْلََزاء‬
ْ
Artinya: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain
apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usaha itu kelak akan
diperlihat (kepadanya). Kemudian akan diberi Balasan kepadanya
dengan Balasan yang paling sempurna.”

2. Sungguh pun setiap orang hanya akan mendapat balasan sesuai


dengan amal perbuatannya, agama Islam mewajibkan orang-orang
yang beriman untuk membantu sesama orang-orang yang beriman
dengan menshalatkan jenazahnya dan mendo’akannya agar seluruh
amal ibadahnya diterima Allah SWT dan dosa-dosanya diampuni.
Demikian juga firman Allah SWT dalam Q.s Al-Hasyr (59): 10:

‫وَن‬
َ ‫ين َسبَ ُق‬ ِ َّ ِ ‫والَّ ِذين جاءوا ِمن ب ع ِد ِهم ي ُقولُو َن ربَّنا ا ْغ ِفر لَنا و‬
َ ‫ْلخ َواننَا الذ‬
ْ َ َ ْ ََ َ ْ َْ ْ ُ َ َ َ
‫وف َرِح ٌيم‬ ِِ ِ ِ ِ
َ ‫ين َآمنُوا َربَّنَا إِن‬
ٌ ُ‫َّك َرء‬ ِ
َ ‫ِبْلميَان َوَّل ََْت َع ْل ِف قُلُوبِنَا غل للَّذ‬
Artinya: “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin
dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami
dan saudara-saudara Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami,
dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati Kami
terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya
Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”

Berdasarkan ayat Al-Qur;an dan Hadits-Hadits di atas, para ulama


telah bersepakat bahwa do’a dan perbuatan baik yang diperuntukkan
bagi mayit akan sampai dan bermanfaat baginya. Bahkan Syaikh Al-
Islam Ibnu Taimiyah memfatwakan sebagai berikut: “Barang siapa
berkata bahwa do’a atau perbuatan baik yang diperuntukkan bagi
22

mayit, pahalanya tidak sampai kepadanya maka mereka adalah


termasuk ahli bid’ah.”2 6

3. Agama Islam juga menyarankan kepada keluarga mayit agar beramal


shaleh dan bershadaqah atas nama mayit, meng-qadha’ ibadah haji
yang telah wajib atas mayit tetapi sewaktu hidup belum dilaksanakan
dan sebagainya. Semua pahala amal shalih yang diperuntukkan bagi
mayit akan sampai dan bermanfaat baginya. Para ulama berbeda
pendapat tentang perlu atau tidaknya meng-qadla’ atau membayar
fidyah sebagai ganti terhadap shalat yang ditinggalkan oleh seseorang
yang telah wafat. Perbedaan pendapat ini disebabkan karena tidak
adanya satu pun nash Al-Qur’an atau Hadits yang secara sharih
(jelas) menerangkan masalah ini. Yang dijelaskan di dalam Al-Qur’an
adalah fidyah puasa bagi orang yang tidak mampu melaksanakannya
karena tua renta atau sakit yang kronis sebagaimana disebutkan dalam
QS. Al-Baqarah (2): 184:

‫ع َخ ْ ًْيا فَ ُه َو َخ ْْيٌ لَهُ َوأَ ْن‬ ‫و َعلَى الَّ ِذين يُ ِطي ُقونَهُ فِ ْديَةٌ طَ َع ُام ِمس ِك م‬
َ ‫ْي فَ َم ْن تَطََّو‬ ْ َ َ
)1٨٤( ‫وموا َخ ْْيٌ لَ ُك ْم إِ ْن ُكْن تُ ْم تَ ْعلَ ُمو َن‬
ُ‫ص‬ ُ َ‫ت‬
Artinya: “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya
(jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi
Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati
mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan
berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”;

Menurut Jumhur Ulama, termasuk Syekh Zainuddin Al-Malibari


pengarang kitab Fathul Mu’in, bahwa jika ada orang yang sudah
wafat mempunyai hutang Shalat Fardlu, maka tidak perlu di-qadla’
atau dibayarkan fidyah-nya. Sementara itu menurut sebagian ulama

2 6
Ibn Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1978), Jilid 24, h., 306
23

seperti as-Subki dan Ibnu Burhan berpendapat, bahwa jika ada orang
yang sudah wafat mempunyai hutang shalat Fardlu, maka supaya
dibayarkan fidyah-nya jika mayit meninggalkan harta benda (tirkah).
Pendapat ini didukung oleh para pengikut Mazhab Hanafi. Mereka
berpendapat, jika ada orang sudah wafat mempunyai hutang Shalat
dan Puasa, maka supaya dibayar fidyah-nya kepada kaum fakir
miskin. Pembayaran fidyah tersebut diambilkan dari harta
peninggalan mayit (tirkah) atau dari harta keluarganya. Keterangan
ini dapat dibaca dalam kitab I’anatut Thalibin sebagai berikut;2 7

‫من مات و عليه صلة فل قضاء و َّل فدية و ف قول كجمع جمتهدين‬
‫ و من ُث إختاره مجع من أئمتنا و‬.‫أهنا تقضى عنه لَب البخارى و غْيه‬
‫فعل به السبكي عن بعض أقاربه‬
“Barangsiapa wafat dan dia masih mempunyai hutang shalat, maka
tidak perlu di-qadla’ dan atau dibayarkan fidyah-nya. Menurut
sebagian pendapat para imam mujtahid, bahwa shalat tersebut harus
di-qadla’. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Al-Bukhâri dan yang lain. Sehubungan dengan hal itu, sebagian
ulama kita (Mazhab Syafi’i) memilih pendapat ini, bahkan Imam as-
Subki mempraktekkannya sebagai pengganti shalat yang ditinggalkan
oleh salah seorang kerabatnya”

Sehubungan dengan perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh


diatas, Komisi Fatwa MUI DKI Jakarta memilih pendapat ulama yang
menyatakan bahwa shalat yang telah ditinggalkan mayit sewaktu
masih hidup dapat di-qadla’ atau diganti dengan membayar fidyah.
Sungguh pun demikian, bukan berarti orang yang masih hidup boleh
meninggalkan shalat untuk digantikan dengan membayar fidyah atau

2
Sayid Bakri Muhammad Syatha,7 Hasyiah ‘Ianatut Thalibin Ala Halli Alfadz Fath al-
Mu’in Lisyarh Qurrat al-A’in, (Beirut : Dar al-Fikr, ttH.), Juz ke-1, h., 24. Lihat juga, Wahbah az-
Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami Wa Adilatuhu, (Beirut : Dar al-Fikr, 1999), Juz ke-2, h., 134-135.
24

berwasiat kepada keluarganya agar sesudah wafat, shalat-shalat yang


ditinggalkannya di-qadla’ atau dibayar dengan fidyah.
Dalam menjalankan sebuah kewajiban shalat fardhu terdapat ketentuan-
ketentuan yang mengiringi kewajiban melaksanakan shalat. Apabila tidak
ditunaikan maka akan mendapatkan konsekuensinya sesuai dengan hukum
syari’at. Hukuman bagi yang tidak melaksanakan shalat sudah diatur oleh Agama.
Fardhu/wajib adalah sesuatu yang wajib dikerjakan yang kemudian mendapatkan
pahala dan apabila ditinggalkan mendapat dosa. Selain dosa, Mukallaf ini juga
diwajibkan untuk menggantinya. Dalam pengganti shalat ada beberapa upaya.
Yang pertama ulama Jumhur sepakat bahwa hukum mengganti shalat (qadha’)
adalah wajib.2 Namun, dalam keputusan
8
fatwa MUI Provinsi DKI Jakarta
Komisi Fatwa MUI DKI Jakarta memilih pendapat ulama yang menyatakan
bahwa shalat yang telah ditinggalkan mayit sewaktu masih hidup dapat di-qadla’
atau diganti dengan membayar fidyah.

2 8
Muhammad Jawad M, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Basrie Press, 1991) h.,172
BAB III
KONSEP UMUM TENTANG SHALAT HADIAH

A. Pengertian Shalat Hadiah


Pengertian Hadiah, Kata Hadiah berasal dari bahasa Arab " ‫هدية‬

hadiyyatun" yang biasa disebut Hadiah atau Pemberian. Di dalam kamus al-
Munjid disebutkan bahwa kata ‫ هدية‬jamaknya adalah ‫هداَي‬.2 9

‫تود ًدا‬
ُّ ‫إكر ًاما او‬
َ ‫ ماأحتف به اي بعث به‬:‫اِلدية ج هداَي‬
“Jamak dari hadiyyah adalah hadaya: Maksudnya adalah dipersembahkan atau
dihadiahkan, yaitu mengirimkan sesuatu untuk mengharap kemuliaan atau kasih
sayang.”

Secara bahasa shalat diambil dari bahasa Arab yang berarti doa, Shalat
secara istilah adalah perbuatan yang diawali dengan takbiratul ikhram dan
diakhiri dengan salam.3 Sedangkan hadiah secara
0
bahasa adalah suatu pemberian
untuk mengembirakan seseorang karena sesuatu. Shalat Hadiah adalah shalat
yang dilakukan sebanyak dua raka’at sebagai nafal muthlaq, pada malam yang
pertama sesudah mayit dikebumikan.3 1

Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Swt. di samping mensyariatkan


shalat fardhu juga mensyariatkan kepada hamba-hamba-Nya untuk mendekatkan
diri kepada-Nya (taqarrub) dengan shalat sunnah. Melakukan shalat sunnah
merupakan salah satu sarana terbaik untuk mendekatkan diri kepada-Nya setelah

2 9
Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A'alam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986),
h. 860
3
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam0 (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010), h., 53
3 1
Syafi’i Hazami, Taudihul adillah, (Jakarta, Elex Media Komputindo, 2010, bagian 2)
h., 161
25
26

jihad fi sabilillah dan mencari ilmu. Rasulullah selalu mendekatkan diri kepada
Allah dengan melakukan shalat sunnah. Di dalam shalat tersusun barbagai
macam ibadah, seperti membaca AlQur'an, ruku', sujud, berdoa, merendahkan
diri, menundukkan hati, memohon, bertakbir, bertasbih, dan membaca shalawat
kepada Rasulullah.
Shalat sunah atau biasa disebut dengan “nawafil” adalah bentuk jama dari
kata nafilah yang berarti tambahan. Dilihat dari hukumnya, shalat itu ada yang
diwajibkan ada pula yang disunahkan. Shalat sunah (nawafil) itu ada yang
disunahkan mengerjakannya secara berjama’ah dan ada pula yang tidak
disunahkan untuk berjama’ah, bahkan ada yang disunahkan untuk dikerjakan di
rumah. Pada dasarnya shalat sunah itu lebih baik dikerjakan di rumah masing-
masing dari pada di masjid.
Shalat Hadiah adalah shalat sunah dua rakaat yang dilakukan setelah
mayit dikebumikan. Pada Tiap-tiap rakaat satu kali Fatihah, satu ayat kursi, satu
kali Al-Takatsur dan 10 kali surat Al-Ikhlas dan hendaklah berdoa sesudah
memberi salam.3 Alam kitab karangan2 Syekh Nawawi Al-Bantani, dalam
kitabnya Nihayat al-Zain fi Irsyad al-Mubtadiin, beliau mengutip hadis yang
menjadi dalil hukum Shalat Hadiah:

‫روي عن النب صلى هللا عليه وسلم أنه قال َّل أيتى على امليت أشد من الليلة‬
‫ أي‬:‫ فمن مل ُيد فليصل ركعتْي يقرأ فيهما‬.‫ فارْحوا ِبلصدقة من ميوت‬,‫األوَل‬
,‫ وأِلاكم التكاثر مرة‬,‫ وآية الكرسى مرة‬,‫ِف كل ركعة منهما فاحتة الكتاب مرة‬
‫ اللهم إّن صليت هذه‬:‫ ويقول بعد السلم‬,‫وقل هو هللا أحد عشر مرات‬
‫ اللهم ابعث ثوابا إَل قَب فلن بن فلن فيبعث هللا من‬,‫الصلة وتعلم ما أريد‬

3 2
Muhammad bin Umar Nawawi Al-jawi Al-bantani, Nihâyah al-Zain,(Bayruth-libanon,
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2002) h., 107
27

‫ساعته إَل قَبه ألف ملك مع كل ملك نور وهدية يؤنسونه إَل يوم ينفخ ف‬
.‫الصور‬
Artinya: “Diriwayatkan dari Rasulullah, Ia bersabda,“Tiada beban siksa
yang lebih keras dari malam pertama kematiannya. Karenanya,
kasihanilah mayit itu dengan bersedekah. Siapa yang tidak mampu
bersedekah, maka hendaklah shalat dua raka‘at. Di setiap raka‘at, ia
membaca surat Al-Fatihah 1 kali, ayat Kursi 1 kali, surat Al-Takatsur 1
kali, dan surat Al-Ikhlash 11 kali. Setelah salam, ia berdoa, ‘Allahumma
inni shallaitu hadzihis shalata wa ta‘lamu ma urid. Allahumma ‘ab’ats
tsawabaha ila qabri fulan ibni fulan (sebut nama mayit yang kita
maksud),’ Tuhanku, aku telah lakukan shalat ini. Kau pun mengerti
maksudku. Tuhanku, sampaikanlah pahala shalatku ini ke kubur (sebut
nama mayit yang dimaksud), niscaya Allah sejak saat itu mengirim 1000
Malaikat. Tiap Malaikat membawakan cahaya dan hadiah yang akan
menghibur mayit sampai hari kiamat tiba.

Secara menyeluruh, Shalat Hadiah ini adalah shalat sunah dua raka’at yang
pahala shalatnya dihadiahkan untuk mayyit yang sudah meninggal. Yang
dikhususkan pada malam pertama setelah ia dikubur, untuk meringankan siksaan
kubur. Shalat Hadiah juga memiliki nama atau penyebutan yang berbeda namun
pengertian dan maknanya yang sama yaitu :
1. Shalat Lailat al-dafn: karena malam itu adalah malam pertama mayat
dikuburkan.
2. Shalat al-Wahsyah: mengandung tiga kemungkinan ;
a. Shalat ini mengangkat mayat dari kesendiriannya di dalam kubur dan
meringankan siksaan dan keadaan mayat pada malam pertama.
b. Sebagai pemberitahuan dan cara berpisah dengan mayat, karena
dengan kepergiannya membuat sunyi hati mereka yang ditinggalkan.
c. Merupakan bukti kesetiaan orang yang hidup terhadap orang yang
telah meninggal, dan taqarrub kepada Allah dengan doa dan shalat
untuk ruhnya.
28

3. Shalat al-Hadiah: bahwasannya mayat setelah terputus dari kehidupan


duniawi ia sangat membutuhkan amalan-amalan shalih, maka shalat ini
merupakan hadiah orang yang hidup untuknya.3 3

Jadi, secara keseluruhan baik secara bahasa dan istilah bahwa Shalat
Hadiah ini memiliki tiga sebutan yang berbeda yang yakni, shalat wahsyah,
Shalat Hadiah, dan shalat lailatuddafni. Dan Shalat Hadiah ini adalah shalat
yang sama seperti shalat sunah lainnya hanya saja dengan bacaan-bacaan yang
sudah ditentukan didalam hadist yang dijadikan dalil dan dasar hukum Shalat
Hadiah yang kemudian pahalanya dikirimkan kepada mayyit.

B. Tata cara Shalat Hadiah


Shalat ditinjau menjadi tiga aspek, yaitu sebelum shalat, dalam shalat dan
setelah shalat. adapun tinjauan sebelum shalat adalah Tharah/bersuci. Dalam hal
ini bersuci sebelum shalat adalah berwudhu jika tidak hadas besar. Jika hadas
besar maka wajib mandi terlebih dahulu. Thaharah untuk Shalat Hadiah sama
pada shalat lainnya. Kemudian dilanjutkan didalam Pelaksanaan Shalat Hadiah
ini pada umumnya sama dengan shalat sunah lainnya, mulai dari gerakan dan
jumlah rakaat yang masyhurnya pun sama-sama 2 raka’at. Secara garis besar niat
Shalat Hadiah ini dibagi menjadi dua pendapat, yang pertama dengan niat Shalat
Muthlaq, yang kedua dengan niat Shalat Hadiah.
Berikut beberapa kutipan kitab-kitab yang dipergunakan oleh para ulama
sebagai sumber rujukan dalam pengamalan Shalat Hadiah.
1. Nazahat al-Majâlis yang ditulis oleh as-Shafuri.3 4

ِ ‫رأ يت ِف كتاب املختار ومطالع النوار عن‬


‫النب صلى هللا عليه وسلم أ نه‬
‫قال َّل أييت على امليت أشد من الليلة اَّلوَل فارْحوا مواتكم ِبلصدقة فمن مل‬
3 3
Ahmad Mafaid Nasution, Tesis dengan judul Pengamalan Shalat Hadiah untuk orang
yang telah meninggal di kampung mesjid kec. Kualuh Hilir kab. Lauhan batu utara. ( Sumatera
Utara Medan, Studi Hukum Islam Program Pasca Sarjana IAIN, 2014) h., 44.
3 4
Abdul Rahman as-Shafuri, Syafi’I, Nazâhat al- Majalis ,( ttp. 1346 H ), Jilid 1 h., 63
29

‫ُيد فليصل ركعتْي يقرأ فيهما فاحتة الكتاب وأ ية الكرسي وأ ِلاكم التكاثر‬
‫وقل هو هللا أ حد اإحدى ع ْشة مرة ويقول اللهم اإّن صليت هذه الصلة‬
‫وتعلم ما أ ريد اللهم ابعث ثوابا اإَل قَب فلن بن فلن فيبعث هللا من ساعته‬
‫اإَل قَبه أ لف ملك مع ُك ملك نَّر وهدية يؤنسونه ِف قَبه اإَل أن ينفخ ِف‬
‫الصور ويعطى هللا املصلي بعدد ما طلعت عليه الشمس حس َنت ويرفع هللا‬
ِ ‫ألربعْي ألف درجة وأربعْي ألف حجة وعُرة وي‬
‫نب هللا أللف مدينة ِف اْلنة‬
‫ويعطى ثواب ألف شهيد ويكسى ألف حلة قال مؤلف الكتاب املذكور‬
‫وهذه فائدة عظيمة ينبغي لكل مسلم أن يصليها ُكل ليلة ألموات املسلمْي‬
Artinya: “Aku melihat dalam kitab Al-Mukhtar Wa Matholi'ul Anwar,
diriwayatkan daripada Nabi SAW. bahwasanya ia bersabda: "Tiada
beban siksa mayat yang lebih dahsyat dari malam pertama kematian.
Maka kasihanilah ia dengan bersedekah, jika tidak mampu, shalatlah
dua rakaat. Pada tiap-tiap rakaat menmbaca Al-Fatihah, Ayatul Kursi,
Alhakumuttakasur, Qulhuallahu Ahad 11 kali, lalu berdoa : Ya Allah!
Sesungguhnya aku telah lakukan shalat ini, sedang Engkau Maha
Mengetahui apa yang aku maksudkan. Ya Allah! Sampaikanlah
pahalanya kekubur si Fulan bin Fulanah, niscaya Allah Taala akan
mengirimkan pada saat itu juga seribu Malaikat, bersama tiap-tiap
Malaikat itu cahaya dan hadiah yang akan menghibur mereka
bersamanya di dalam kubur sampai ditiup sangkakala. Dan dikurniai
Allah Taala kepada yang melakukan shalat ini kebajikan sebanyak
bilangan terbitnya matahari, dan Allah Taala angkatkan baginya 40
ribu derajat, 40 ribu haji dan umrah dan dibangunkan baginya seribu
kota di dalam syurga dan diberi pahala seribu syahid dan dipakaikan
seribu persalinan. Pengarang buku tersebut mengatakan, ini adalah
suatu faedah yang sangat besar yang semestinya dilakukan oleh tiap
muslim pada setiap kematian".
30

2. Nihayat al-Zain fi Irsyad al-Mubtadiin yang ditulis oleh Syekh


Muhammad bin Umar Nawawi Al-Jawi.3 5

‫روي عن النب صلى هللا عليه وسلم أنه قال َّل أيتى على امليت أشد من‬
‫ فمن مل ُيد فليصل ركعتْي يقرأ‬.‫ فارْحوا ِبلصدقة من ميوت‬,‫الليلة األوَل‬
‫ وأِلاكم‬,‫ وآية الكرسى مرة‬,‫ أي ِف كل ركعة منهما فاحتة الكتاب مرة‬:‫فيهما‬
‫ اللهم إّن‬:‫ ويقول بعد السلم‬,‫ وقل هو هللا أحد عشر مرات‬,‫التكاثر مرة‬
‫ اللهم ابعث ثوابا إَل قَب فلن بن فلن‬,‫صليت هذه الصلة وتعلم ما أريد‬
‫فيبعث هللا من ساعته إَل قَبه ألف ملك مع كل ملك نور وهدية يؤنسونه‬
.‫إَل يوم ينفخ ف الصو‬
Artinya: “Diriwayatkan dari Nabi SAW. bahwa Nabi bersabda: (Akan
datang pada malam pertama mayat dikebumikan suatu keadaan yang
sangat dahsyat. Oleh kerana itu, kasihani kamulah untuk
mengurangkan keluh kesah mayat itu dengan bersedekah. Jika tidak
mampu bersedekah shalatlah 2 rakaat) bacalah padanya pada tiap-
tiap rakaat satu kali Fatihah, satu ayat Kursi, satu kali Al-Takatasur
dan 10 kali surat Al-Ikhlas, dan hendaklah berdoa sesudah memberi
salam: "Ya Allah! Sesungguhnya aku telah melaksanakan Shalat ini,
sedang Engkau Maha Mengetahui apa yang aku maksudkan. Ya Allah!
Sampaikanlah pahala Shalat ini kekubur si Fulan bin Fulan, maka
Allah akan mengirimkan ke kuburnya pada saat itu juga seribu
Malaikat, bersama tiap-tiap Malaikat itu nur dan hadiah. Dan
berbaurlah mereka itu bersamanya di dalam kubur sampai ditiup
sangkakala. Dan dalam sebuah Hadis disebutkan : Orang yang
melaksanakan Shalat tersebut akan memperoleh pahala yang banyak,
diantaranya ia tidak akan meninggalkan dunia hingga melihat
tempatnya di surga, sebagian mereka berkata: Maka berbahagialah
orang yang melaksanakan Shalat ini setiap malam dan ia memperoleh
pahala untuk tiap-tiap mayat daripada kaum muslimin, dan hanya
kepada Allahlah kita mendapat petunjuk.

3 5
Muhammad bin Umar Nawawi Al-jawi Al-bantani, Nihaayah az-Zain, (Dar Al-kotob
Al-ilmiyah, bayruth-libanon, tahun 2002), h., 107.
31

3. K.H. Muhamad Syafi’i Hazami berpendapat termaktub dalam kitab


Taudihul Adillah. bahwa niat Shalat Hadiah dengan niat shalat sunah
muthlaq (Nafal)3 . Dan tata cara menurut 6beliau yakni:
a. Niat Shalat Hadiah dengan niat shalat muthlaq.
b. Setiap setelah membaca Al-Fatihah bagi tiap rakaatnya membaca:
1) Ayat kursi 1 kali.
2) At-Takâtsur 1 kali.
3) Al-Ikhlas 11 kali.
Surah-surah ini dibaca setiap rakaat sesudah Al Fatihah. Setelah selesai
shalat hendaknya membaca doa sebagai berikut;

‫ث ثَ َو َابَا إِ ََل قََِْب‬ َّ ِ‫ت َه ِذه‬


ْ ‫ اللَّ ُه َّم اَبْ َع‬,‫الص َلةَ َوتَ ْعلَ ُم َما أَ ِريْ ُد‬ َ ‫اللَّ ُه َّم إِِّن‬
ُ ‫صلْي‬
‫فَُلنَ بْ ِن فَُلن‬

Artinya: “Ya Allah. Aku telah lakukan shalat ini, sedang engkau maha
mengetahui apa yang yang aku kehendaki. Ya Alla, kirimkan
pahalanya kepada Qubur si Pulan bin Pulan.”

4. Abdul Rahman bin Ahmad bin Abdullah bin Aliy Kafiy, dalam
karyanya Risâlah al-Kubro mengunakan dalil yang hampir sama tetapi
terdapat beberapa kata (lafaz) yang sedikit berbeda dari syekh
Nawawi al-Bantaniy. Dasar hukum yang beliau gunakan:3 7

‫روي عن النب صلى هللا عليه وسلم أنه قال َّل أيتى على امليت أشد من‬
‫ فمن مل ُيد فليصل ركعتْي يقرأ‬.‫ فارْحوا ِبلصدقة من ميوت‬, ‫الليلة األوَل‬
‫ وقل هو هللا‬,‫ أِلاكم التكاثر مرة‬,‫ وآية الكرس مرة‬,‫فيهما فاحتة الكتاب مرة‬
3 6
Syafi’i Hazami, Taudih al-Adillah, (Jakarta, Elex Media Komputindo, 2010, bagian 2),
h., 161
3 7
Abdul Rahman ibn Ahmad ibn Abdullah ibn Aliy Kafiy ,Risalah al-Kubro,( Darul
Khawa: 1422 H ), h., 277.
32

‫ اللهم إّن صليت هذه الصلة وتعلم‬:‫ ويقول بعد السلم‬,‫أحد عشر مرات‬
‫ اللهم ابعث ثوابا إَل قَب فلن بن فلن فيبعث هللا من ساعته إَل‬,‫ما أريد‬
‫قَبه ألف ملك مع كل ملك نور وهدية يؤنسونه إَل ان ينفخ ف الصور‬
Diriwayatkan dari Rasulullah, Ia bersabda, “Tiada beban siksa yang
lebih keras dari malam pertama kematiannya. Karenanya, kasihanilah
mayit itu dengan bersedekah. Siapa yang tidak mampu bersedekah,
maka hendaklah sembahyang dua raka‘at. Di setiap raka‘at, ia
membaca surat al-Fatihah 1 kali, ayat Kursi 1 kali, surat at-Takatsur
1 kali, dan surat al-Ikhlash 11 kali. Setelah salam, ia berdoa,
‘Allahumma inni shallaitu hadzihis shalata wa ta‘lamu ma urid.
Allahumma ‘ab’ats tsawabaha ila qabri fulan ibni fulan (sebut nama
mayit yang kita maksud),’ Tuhanku, aku telah lakukan sembahyang
ini. Kau pun mengerti maksudku. Tuhanku, sampaikanlah pahala
sembahyangku ini ke kubur (sebut nama mayit yang di maksud),
niscaya Allah sejak saat itu mengirim 1000 Malaika, tiap malaikat
membawakan cahaya dan hadiah yang akan menghibur mayit sampai
hari kiamat tiba.”
Dari beberapa kutipan kitab yang berkaitan dengan tatacara Shalat dapat
ditarik sebuah kesimpulan tata cara Shalat Hadiah dari berbagai kitab, dan di
simpulkan oleh tesis Ahmad Mafaid Nasution yang berjudul, “pengamalan
Shalat Hadiah untuk orang yang telah meninggal di kampung mesjid kec. Kualuh
Hilir kab. Lauhan batu utara.” Setelah jenazah itu dikuburkan siangnya, 3 8

a. Sesudah berwudlu, lalu berdirilah mengerjakan yang dimaksud


dengan lafazh/niatnya:

‫أُصلي ركعتْي سنة اِلدية هللا تعاَل‬


"Aku niat shalat hadiah dua rakaat sunah karena Allah Ta'aala,
Allahu akbar"

3
Ahmad mafaid nasution, 8 pengamalan Shalat Hadiah untuk orang yang telah
meninggal di kampung mesjid kec. Kualuh Hilir kab. Lauhan batu utara. ( Sumatera Utara
Medan, Studi Hukum Islam Program Pasca Sarjana IAIN, 2014) h., 61-62.
33

b. Sesudah pembacaan Fatihah, bacalah pada raka'at pertama dan kedua


Ayatul Kursy (Surah Al-Baqarah ayat 225) sekali, Surah at-Takatsur
sekali, dan Surah Al-Ikhlas 10 kali.
c. Laksanakanlah yang dua raka'at itu sebagaimana shalat sunah yang
lainnya, sehingga sampai kepada Salam.
d. Sehabis Salam, maka berdo'alah ke haderat Allah, kiranya "Shalat
Hadiah" itu disampaikan Tuhan kepada yang dimaksud, do'anya
yaitu :

‫ث ثَ َو َابَا إِ ََل قََِْب‬ َّ ِ‫ت َه ِذه‬


ْ ‫ اللَّ ُه َّم اَبْ َع‬,‫الص َلةَ َوتَ ْعلَ ُم َما أَ ِريْ ُد‬ َ ‫اللَّ ُه َّم إِِّن‬
ُ ‫صلْي‬
‫فَُلنَ بْ ِن فَُلن‬
"Ya Allah, sesungguhnya aku telah menyembahyangkan shalat ini,
dan Engkau Maha Mengetahui apa yang kumaksud, Ya Allah
mohonlah aku kepada-Mu, kiranya Engkau sampaikanlah
ganjaran/pahalanya kepada kuburan si Fulan ibn Fulan.

Demikianlah tata cara melaksanakan Shalat Hadiah dari


beberapa kutipan buku dan kitab-kitab yang membahas tentang
Shalat Hadiah.

C. Praktek Shalat Hadiah di Indonesia


Praktek Shalat Hadiah di Indonesia ini berbagai pendapat pula, kembali
kepada ulasan sebelumnya bahwa, praktek Shalat Hadiah ini hanya terdapat pada
daerah dakwah para penulis kitab yang masyhur diatas. Disamping itu juga
banyak masyarakaat kota yang tidak mengetahui bahwa adanya praktek Shalat
Hadiah.
Untuk menjelaskan bagaimana praktek Shalat Hadiah di Indonesia,
kemudian penulis mengambil satu daerah sebagai sampel untuk menggambarkan
34

praktek Shalat Hadiah di Indonesia. Adapun daerah yang dipilih adalah daerah
hasil observasi tesis Ahmad Mafaid yang telah penulis paparkan, yaitu kampung
mesjid, kecamatan Kualuh Hilir Kabuparen Labuhan Utara, Sumatera Utara.
Ahmad Mafaid Nasution telah mendeskripsikan praktek Shalat Hadiah,
berikut adalah kutipan pada penelitiannya yang penulis simpulkan.
1. Bahwa pendapat tokoh agama di sana mereka mendapatkan tradisi
tersebut dengan belajar dari gurunya yang belajar cukup lama di
mekkah yaitu selama 14 tahun.
2. Kemudian praktik shalatnya sama seperti shalat pada umumnya yang
pada pembahasan sebelumnya penulis sudah paparkan.
a. Sesudah berwudlu, lalu berdirilah mengerjakan yang dimaksud
dengan lafazh/niatnya:

‫أُصلي سنة اِلدية ركعتْي هللا تعاَل‬


"Aku niat shalat hadiah dua rakaat sunah karena Allah Ta'aala,
Allahu akbar"

b. Sesudah pembacaan Fatihah, bacalah pada raka'at pertama dan


kedua Ayatul Kursy (Surah Al-Baqarah ayat 225) sekali, Surah at-
Takatsur sekali, dan Surah Al-Ikhlas 10 kali.
c. Laksanakanlah yang dua raka'at itu sebagaimana shalat sunah
lainnya, sehingga sampai kepada Salam.
d. Sehabis Salam, maka berdo'alah ke haderat Allah, kiranya "Shalat
Hadiah" itu disampaikan Tuhan kepada yang dimaksud, do'anya
yaitu:

‫ث ثَ َو َابَا إِ ََل قََِْب‬ َّ ‫ت َه ِذهِ ال‬


ْ ‫ اللَّ ُه َّم اَبْ َع‬,‫ص َلةَ َوتَ ْعلَ ُم َما أَ ِريْ ُد‬ َ ‫اللَّ ُه َّم إِِّن‬
ُ ‫صلْي‬
‫فَُلنَ بْ ِن فَُلن‬
“Ya Allah, sesungguhnya aku telah melakukan shalat ini, dan
Engkau Maha Mengetahui apa yang kumaksud, Ya Allah
35

mohonlah aku kepada-Mu, kiranya Engkau sampaikanlah


ganjaran/pahalanya kepada kuburan si Fulan ibn Fulan.”

Pelaksanaannya dilakukan setelah Shalat Magrib, yang selanjutnya jika


selesai Shalat kemudian memanjatkan doa untuk si mayat. Kemudian masyarakat
mendapatkan amplop yang dibagi-bagikan sebagai bentuk dan tanda terima kasih
dari keluarga ahli musibah.
BAB IV
ANALISIS KOMPARATIF TENTANG SHALAT HADIAH
DALAM PERSPEKTIF MAJELIS ULAMA INDONESIA,
MUHAMMADIYAH, DAN NAHDHATUL ULAMA.

A. Perspektif Majelis Ulama Indonesia


Anlisis komperatif tentang Shalat Hadiah ini meliputi tiga variabel untuk
penulis jadikan sampel yakni perspektif Majelis Ulama Indonesia,
Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama. Ketiga Organisasi Masyarakat akan
memberikan pendapat hukum berkaitan dengan hukum melaksanakan Shalat
Hadiah. Fatwa atau putusan yang dikeluarkan oleh masing-masing Organisasi
Masyarakat ini yang nantinya akan menjadi data analisis komperatif untuk
penulis ambil kesimpulan sebuah pendapat hukumnya. Penulis membagi menjadi
tiga pertanyaan secara umum yang penulis ajukan. Pertanyaan pertama berkaitan
dengan sudah atau belumnya ketiga Lembaga Organisasi Masyarakat ini
mengeluarkan fatwa tentang Hukum Melaksanakan Shalat Hadiah. Kemudian
pertanyaan kedua memiliki substansi pendapat hukum melaksanakan Shalat
Hadiah. Dan pertanyaan ketiga adalah berkaitan dengan kualitas dalil yang
dijadikan dasar hukum Shalat Hadiah.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa memang tidak
mengeluarkan fatwa berkaitan dengan praktek Shalat Hadiah. Maka dari itu
penulis kemudian mengajukan pertanyaan pendapat hukum kepada Prof. Dr. Hj.
Huzaemah T. Yanggo, MA selaku ketua bidang fatwa MUI dan juga rektor IIQ
(Institut Ilmu Quran).

36
37

Selanjutnya penulis mengajukan beberapa pertanyaan dan pandangan


hukum. Adapun pertanyaannya antara lain:3 9

1. Apakah Majelis Ulama Indonesia pernah mengeluarkan fatwa


mengenai hukum Shalat Hadiah?
Bahwa Komisi Fatwa MUI belum pernah mengeluarkan fatwa
berkaitan dengan hukum mempraktikkan Shalat Hadiah.
2. Jika belum, bagaimana pendapat ibu megenai hukum tentang praktek
Shalat Hadiah?
a. Beliau berpendapat bahwa hukum Shalat Hadiah itu ikhtilaf,
karena Shalat Hadiah ini tidak ditemukan dalam Nash (AlQur’an
dan Hadis) hadis mu’tabarah.
b. Adapun yang membolehkan Shalat Hadiah itu dilihat besarnya
tanggung jawab mendirikan shalat.

‫ َح َّد َِِن‬:‫ َعن إِب َرا ِه َيم ب ِن طَه َما َن قَ َال‬،ِ‫ َعن َعب ِد هللا‬،‫َحدَّثَنَا َعب َدا ُن‬
‫ث‬ ِ ‫ عن ِعمرا َن ب ِن حص م‬،‫ ع ِن اب ِن ب ري َد َة‬،‫اْلسْي المكتِب‬
ُ‫ْي َرض َي هللاُ َعنه‬ َ ُ َ َ َُ َ ُ ُ ُ َُ
‫(ص ِل‬ ِ َّ ‫ فَسأَلت النَِّب ﷺ ع ِن‬،‫ َكانَت ِِب ب و ِاسْي‬:‫قَ َال‬
َ :‫ فَ َق َال‬،‫الص َلة‬ َ َّ ُ َ ُ َ َ
)‫ب‬ ‫ فَِإن َمل تَستَ ِطع فَ َعلَى َجن م‬،‫اع ًدا‬
ِ ‫ فَإِن َمل تَستَ ِطع فَ َق‬،‫قَائِما‬
ً
Artinya: “Abdan telah menceritakan kepada kami, dari 'Abdullah,
dari Ibrahim bin Thahman, beliau berkata: Al-Husain Al-Muktib
menceritakan kepadaku, dari Ibnu Buraidah, dari 'Imran bin
Hushain radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: Dulu aku terkena
penyakit wasir (ambeien). Lalu aku bertanya kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai shalat. Maka beliau
bersabda, “Shalatlah dengan berdiri. Jika engkau tidak mampu,
maka shalatlah dengan duduk. Jika engkau tidak mampu, maka
shalatlah dengan berbaring.”
c. Sebagian dari kalangan Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa hukum
Shalat itu bisa diqiyaskan dengan puasa.

3 9
Huzaemah T. Yanggo, Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Interview
Pribadi, 13 Februari 2018.
38

Bagaimana pendapat Ibu mengenai kedudukan hadis yang dijadikan dalil


yakni tersebut dalam kitab NihayatAl-Zain yang dikarang oleh Muhammad bin
Umar Nawawi Al-Jawi Al-Bantani. Kemudian beliau berpendapat hadis itu
diperselisihkan keshahihannya semacam itu, dalam Nash (AlQur’an dan Hadis).
Dari hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa Prof. Dr. Hj.
Huzaemah T. Yanggo, MA ini berpendapat, hukum melaksanakan Shalat Hadiah
merupakan ikhtilaf ulama. Sedangkan hadis yang dijadikan dasar hukum adalah
hadis tanpa dicantumkannya sanad dan rawi yang jelas, tidak ditemukan pula
dalam kitab-kitab hadis mu’tabarah. Wallahu’alam Bishawwab.

B. Perspektif Tarjih Muhammadiyah


Majelis Tarjih Muhammadiyah memang tidak mengeluarkan fatwa
mengenai hukum Shalat Hadiah akan tetapi penulis meminta data dengan
pendekatan wawancara kepada tokoh yang berkaitan. Penulis meminta Wakil
sekretaris Majelis Tarjih Muhammadiyah yakni Dr. H. Sopa, M. Ag. untuk
memberikan pendapat hukum mengenai praktik Shalat Hadiah.
Selanjutnya penulis mengajukan beberapa pertanyaan dan pandangan
hukum secara normatif. Adapun pertanyaannya anatara lain :4 0

1. Apakah Majelis Tarjih Muhammadiyah pernah mengeluarkan fatwa


atau tarjih mengenai hukum Shalat Hadiah?
2. Jika belum, bagaimana pendapat bapak yakni mengenai pendapat
hukum tentag praktek Shalat Hadiah.
3. Bagaimana pendapat bapak mengenai kedudukan hadis yang
dijadikan dalil yakni tersebut dalam kitab NihayatAl-Zain yang di
karang oleh Muhammad bin Umar Nawawi Al-jawi Al-bantani.
Setelah menimbang dan mengkaji terlebih dahulu dalil yang digunakan
rajih atau tidak. Kemuadian beliau berpendapat:

4 0
Sopa. Wakil Sekretaris Majelis Tarjih Muhammadiyah, Interview Pribadi, 29
November 2017.
39

1. Bahwa Majelis Tarjih Muhammadiyah tidak/belum pernah


mengeluarkan tarjih yang berkaitan dengan Hukum Shalat Hadiah.
2. Bahwa ia berpendapat tidak ada Shalat Hadiah itu dengan
argumentasi sebagai berikut:
a. Shalat termasuk ibadah mahdah. Maka berlaku kaidah:4 1

‫ص ُل ِف الْعِبَ َادةِ البُطْ َلن َح ََّّت يَ ُد َّل الدَّلِْي ُل َعلَى األ َْم ِر‬
ْ َ‫اَّل‬
“Hukum asal ibadah itu batal atau tidak diterima sampai ada
dalil yang memerintahkannya.";

Yang dimaksud dalil adalah Al-qur'an dan hadis maqbul. Setelah


dicek tidak ada dalilnya.
b. Salat merupakan fardu 'ain (kewajiban individual) yang dalam
pelaksanaannya tidak boleh diwakilkan. Apabila ada kesulitan,
diberikan rukhshah dalam berbagai bentuknya. Firman Allah
SWT:

‫الزَكا َة ۚ َوَما تُ َق ِد ُموا ِألَنْ ُف ِس ُك ْم ِم ْن َخ ْمْي ََِت ُدوهُ ِعْن َد‬


َّ ‫الص َل َة َوآتُوا‬
َّ ‫يموا‬ِ
ُ ‫َوأَق‬
ِ ِ ِ َِّ
ٌ‫اَّلل ۗ إ َّن ا ََّّللَ ِبَا تَ ْع َملُو َن بَصْي‬
Artinya: “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan
kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu
akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah
Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.” (Q.S Al-Baqarah:
110).

c. Pahala dan siksa di akhirat didapat oleh manusia berdasarkan


kasab (amal)-nya masing. Firman Allah SWT:

4 1
Ibnu Qayyim al Jauziyah, I'lam al-Muwaqqi'in, (Beirut, Dar al Fikr, T,th.), Juz 1 h.,
344.
40

ِ
ۗ‫ت‬ ْ َ‫ت َو َعلَْي َها َما ا ْكتَ َسب‬ ْ َ‫اَّللُ نَ ْف ًسا إََِّّل ُو ْس َع َها ۚ َِلَا َما َك َسب‬َّ ‫ف‬ ُ ‫ََّل يُ َكل‬
ِ ِ ِ
‫صًرا َك َما‬ْ ِ‫َخطَأْ ََن ۚ َربَّنَا َوََّل َْحتم ْل َعلَْي نَا إ‬
ْ ‫َربَّنَا ََّل تُ َؤاخ ْذ ََن إِ ْن نَسينَا أ َْو أ‬
ِ ِ ِ ِ ‫َْح ْلته علَى الَّ ِذ‬
‫ف‬ُ ‫ين م ْن قَ ْبلنَا ۚ َربَّنَا َوََّل ُحتَم ْلنَا َما ََّل طَاقَةَ لَنَا بِه ۖ َو ْاع‬ َ َ َُ َ
ِ ِ ِ
"; ‫ين‬َ ‫ص ْرََن َعلَى الْ َق ْوم الْ َكاف ِر‬ َ ْ‫َعنَّا َوا ْغف ْر لَنَا َو ْارْحَْنَا ۚ أَن‬
ُ ْ‫ت َم ْوََّل ََن فَان‬
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan)
yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan)
yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami
tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada
kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada
orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya.
Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami.
Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum
yang kafir.” (Q.S Al-Baqarah: 286)

ِ ‫وأَ ْن لَيس لِ ِْإلنْس‬


‫ان إََِّّل َما َس َعى‬ َ َ ْ َ
Artinya: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh
selain apa yang telah diusahakannya.” (Q.S An-Najm :39)

ِ ِِ ِ ِ ْ ‫َوََّل تَ ِزُر َوا ِزَرةٌ ِوْزَر أ‬


ٌ‫ُخَرى ۚ َوإ ْن تَ ْدعُ ُمثْ َقلَةٌ إ ََل ْحْل َها ََّل ُُْي َم ْل مْنهُ َش ْيء‬
ِ ‫ولَ ْو َكا َن َذا قُ ْرَب ۗ إََِّّنَا تُْن ِذر الَّ ِذين ََيْ َش ْو َن رَّبُْم ِِبلْغَْي‬
َّ ‫ب َوأَقَ ُاموا‬
ۚ ‫الص َل َة‬ َ َ ُ َ
ِ َِّ ‫ومن تَ َزَّكى فَِإََّّنَا ي تَ َزَّكى لِنَ ْف ِس ِه ۚ وإِ ََل‬
ُ‫اَّلل الْ َمصْي‬ َ َ ْ ََ
Artinya: “Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa
orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil
(orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan
untuknya sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum
kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan
hanya orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun)
mereka tidak melihat-Nya dan mereka mendirikan sembahyang.
Dan barangsiapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya ia
41

mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada


Allahlah kembali(mu).” (Q.S Fatir: 18);

Beliau berpendapat bahwa, konsep hadiah salat bertentangan


dengan ayat-ayat tersebut.
d. Kalaupun "ditolerir" transfer pahala itu pun hanya sedekah,
bacaan quran, dzikir dan ibadah lain. Saya belum baca pendapat
ulama yang membolehkan transfer pahala salat dari orang hidup
kepada orang mati (baca risalah tahlil). Imam Syafi'i sendiri
berpendapat tidak sampai pahalanya tersebut.
e. Hadis dalam kitab tersbut:
a) Hadis tersebut tidak ada sanadnya dan perawinya (mukharrij
seperti bukhari, muslim dsb). Maka, dalam ulumul hadis
disebut "hadis maudhu";
b) Indikator "kemaudhu'an" semakin kuat dengan memperhatikan
isinya yang menjanjikan pahala yang nyata (kuantitatif) dan
cenderung "berlebih lebihan", bukan kualitatif;
c) Hadis tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadis
muktabar. Wallahu a'lam bish shawab.

Kemudian ia memberikan penjelasan tambahan, bahwa indikator hadis


yang maqbul dan dapat dijadikan dalil.

1. Bahwa hadis itu bukan ditinjau dari masyhurnya akan tapi dilihat dari
keabsahannya, marfu’nya, tersambung kepada Nabi Muhammad
SAW.
2. Bahwa sampai saat ini belum ada bukti dalil secara tersurat, dan
adapun dalil tersebut tidak ada sanadnya dan tidak ada rawinya, dan
dalam Ulumul Hadis, jika tidak ada sanadnya dan tidak ada perawinya
maka hadis itu disebut hadis maudu’.
42

3. Ibadah Mahdah itu harus mengikuti apa yang dicontohkan oleh Nabi
Muhammad SAW.
4. Dalam Tarjih Muhammadiyah syarat hadis itu harus maqbul, yakni
a. Rawinya adil.
b. Dhabit.
c. Ta’amu dhabdi
d. Muttashil al-sanad ghair mua’allalin wa la syadz.
5. Apabila hadisnya tidak marfu’ atau tidak sampai kepada Nabi
Muhammad tidak dibenarkan.
Dan dapat disimpulkan bahwa menurut perspektif Tarjih Muhammadiyah
praktek Shalat Hadiah ini tidak dibenarkan adanya. Wallahu a'lam bish shawab.
Secara garis besar pendapat beliau ini mewakilkan Majelis Tarjih
Muhammadiyah, dan ia berpendapat bahwa Shalat Hadiah tidaklah dibenarkan.

C. Perspektif Nahdhatul Ulama


Kemudian dalam perspektif Bahtsul Masaail Nahdhatul Ulama. Setelah
menelusuri berbagai refrensi buku guna mendapatkan data sebagai bahan
penelitian penulis. Penulis mendapatkan pendapat hukum Shalat Hadiah yang
dikeluarkan pada putusan Muktamar Nahdhatul Ulama ke-6 di Pekalongan.
Pada analisis ini penulis menggunakan pendekatan interview guna
memperkuat putusan Bahtsul Masaail Nahdhatul Ulama pada MUNAS
(Muktamar Nasional) tentang pendapat hukum Shalat Hadiah. Bertepatan pada
Keputusan Muktamar Nahdhatul Ulama Ke-6 di Pekalongan pada tanggal 12
Rabiuts Tsani 1350 H./ 27 Agustus 1931 M.4 2

4 2
M Djamaluddin Miri, AHKAMUL FUQOHA Solusi Problematika Aktual Hukum
Islam: keputusan muktamar, Munas, dan konbes Nahdhatul Ulama (1926-1999), (LTN NU Jawa
Timur dan Diantama, Surabaya , 2004). h., 104
43

MUKTAMAR NAHDHATUL ULAMA KE-6 DI PEKALONGAN


di Pekalongan pada tanggal 12 Rabiuts Tsani 1350 H./ 27
Agustus 1931 M.

ِ ِ ُّ ‫ات الَِِّت استَحسنَ ها‬


ِ َّ‫ك النِي‬
َ ‫ات بِتِْل‬ َّ ِ‫ص ُّح َه ِذه‬ ِ َ‫وََّل ت‬
ْ ‫الصوفيَّةُ م ْن َغ ِْْي أَ ْن يَِرَد َِلَا أ‬
‫َص ٌل‬ ََْ ْ ُ ‫الصلَ َو‬ َ
‫استِ َخارةم‬ ‫الص َلةِ ُُثَّ دعا ب ع َدها ِِبَا ي تض َّمن ََْنو ِ م‬
َّ ‫السن َِّة نَ َع ْم إ ْن نَ َوى ُمطْلَ َق‬
ُّ ‫ِِف‬
َ ْ ‫است َعاذَة أ َْو‬ ْ َ ُ َ ََ َ ْ َ َ َ
ِ
‫س وأُما حديث صلة اِلدية الذى ذكر ف املهي فل يعرف‬ ٌ ْ‫ك ََب‬َ ‫ُمطْلَ َق مة َملْ يَ ُك ْن بِ َذل‬
)‫ ( اْلزء الثىن من حتفة احملتاج ف ِبب صلة األشراق‬.‫صحة راويه‬
“Tidak sah shalat dengan niat seperti yang dianggap baik kalangan sufi tanpa
dasar hadis sama sekali. Namun jika melakukan shalat muthlak dan berdoa
sesudahnya dengan sesuatu yang mengandung semisal doa isti’adzah (mohon
perlindungan) atau istikharah (meminta petunjuk Allah untuk di pilihkan yang
terbaik) maka shalat tersebut sah-sah saja.” (Tuhfah Al-Muhtaj Juz VII, Hal
317)
Dari putusan muktamar Nahdhatul Ulama Ke-6 di Pekalongan dapat
ditarik menjadi beberapa kesimpulan, penulis membaginya menjadi dua sudut
pandang. Yaitu :

1. Jika dilihat dari sudut dalil, bahwa putusan melaksanakan Shalat


Hadiah ini haram dan mengatakan tidak sah dikarenakan hadis yang
dijadikan landasan hukum ini adalah dalil dari kalangan sufi,
ditambah dengan tidak adanya sanad dan rawi yang jelas dari hadis
tersebut. Akan tetapi mereka berpendapat tidak sah dan menjadi
haram melaksankan shalat jika niatnya dengan niat Shalat Hadiah.
2. Kemudian jika dilihat dari sudut sampai tidaknya pahala shalat yang
dihadiahkan kepada si mayyit mereka tidak mempermasalahkan itu,
karena mereka berpendapat bahwa pahala apapun sampai kepada
mayyit.
3. Maka dianjurkan agar mengubah niat shalatnya menjadi Shalat
Muthlaq. Keputusan Muktamar ini sesuai dengan pendapat K.H
44

Hasyim ‘Asyari yakni pendiri Nahdhatul ‘Ulama, yaitu melarang


Shalat Hadiah dengan niat shalat hadiah karena hadis yang
bersangkutan hadis yang tidak diketahui sanad dan perawinya.4 3

Kemudian putusan MUNAS NU ini diperkuat oleh tokoh Ulama


Nahdhatul Ulama yakni bapak Dr. Fuad Thohari M.Ag. penulis mengajukan
beberapa pertanyaan yang berkenaan dengan klarifikasi putusan Mukhtamar
Nahdhatul Ulama ke-6 di Pekalongan tersebut dan berkaitan dengan hukum
melaksanakannya berserta kedudukan dalil yang dijadikan dasar hukum. Penulis
menyimpulkan hasil jadi wawancara menjadi tiga kesimpulan:4 4

1. Hasil putusan mukhtamar terkait adalah benar adanya putusan


Mukhtamar Nahdhatul Ulama ke-6 tentang Hukum Shalat Hadiah.
hanya saja ada sedikit kerancuan tempat dilaksanakannya muktamar
tersebut. Jika di redaksi yang dicantumkan penulis bertempat di
Pekalongan sedangkan beliau berpendapat bertempat di Surabaya.
Perbedaan tempat ini menyebabkan adanya perbedaan redaksi yang
sedikit berbeda pada literasinya, seperti beberapa kata yang tidak ada
dalam redaksi dari refrensi buku yang dicantumkan penulis.
2. Berkaitan dengan hukum melaksanakan Shalat Hadiah beliau
berpendapat bahwa;
a. Berdasarkan putusan Mukhtamar Nahdhatul Ulama ke-6 di
Pekalongan hukumnya tidak sah jika shalat dengan niat Shalat
Hadiah. Namun, jika niat shalatnya diganti dengan shalat Muthlaq
maka sah-sah saja.
b. Kemudian beliau berpendapat segala sesuatu yang berkaitan
dengan ‘amaliyah kalangan sufi tidak dibenarkan dikarenakan

4 3
Syaikh Hasyim Asya’ari Pendiri NU Melarang Shalat Rebo Wekasan dan Shalat
HadiaH./www.nahimunkar.org/syaikh-hasyim-asyaari-pendiri-nu-melarang-shalat-rebo-wekasan-
dan-shalat-hadiah/01/02/2018.
4 4
Fuad Thohari ., Tokoh Ulama Nahdhatul Ulama, Interview Pribadi, 12 Maret 2018.
45

berbeda ranah dalil yang digunakan di kalangan sufi dengan


syari’at.
3. Berkaitan dengan dalil yang dikutip oleh Imam Nawawi al-Jawi
adalah hadits yang tidak disebutkan rawi dan sanad yang jelas. Maka
sulit untuk diteliti pada metode al-Jarh wa Ta’dîl. Indikator Hadis
Maqbul tidak terpenuhi. Seperti, Dhabit, adil, sanad yang
bersambung, dan tanpa adanya ilat dan syadz. Dan yang paling
penting adalah matannya tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.
Wallahu’alam Bi as-Shawwab.

D. Analisis Komperatif
Dari beberapa hasil wawancara yang penulis lakukan kepada 3 Organisasi
Masyarakat, penulis membagi menjadi dua sudut pandang,
1. Dilihat dari sudut hukum melaksanakan Shalat Hadiah. Dalam perspektif
MUI memang tidak mengeluarkan fatwa hukumnya Dari hasil wawanclara
tersebut dapat disimpulkan bahwa Prof. Dr. Hj. Huzaemah T. Yanggo, MA
ini berpendapat, hukum melaksanakan Shalat Hadiah masih menjadi ikhtilaf
keshahihan dalilnya. Wallahu’alam Bishawwab.
2. Dr. H Sopa M.Ag. berpendapat Hadis bisa dijadikan landasan hukum apabila
hadis itu marfu’ sampai kepada rasulullah, kemudian selanjutnya dilihat hadis
itu harus maqbul. Maka dilihatlah syarat-syarat hadis maqbul menurut Tarjih
Muhammadiyah adalah sebagai berikut:
a. Rawinya adil.
b. Dhabit.
c. Ta’amu dhabdi
d. Muttashil al-sanad ghair mua’allalin wa la syadz. (Sanad yang
bersambung tanpa ada ilat dan kerancuan);
Sedangkan hadis yang termaktub tersebut adalah hadis yang sanad dan
rawinya tidak disebutkan. Kemudian juga tidak terdapat dalam kitab-
46

kitab hadis yang mu’tabarah. kendatipun ada maka perkara ini sudah
dibahas di kalangan Madzâhib arba’ah. Kemudian bagaimana hadis ini
bisa disebut dengan hadist yang marfu’ dan maqbul sedangkan rawi dan
sanadnya tidak jelas.
3. Ada sedikit perberbedaan pendapat hukum dari Bahtsul Masail Nahdhatul
‘Ulama, MUKTAMAR NAHDHATUL ULAMA KE-6 DI PEKALONGAN
di Pekalongan pada tanggal 12 Rabiuts Tsani 1350 H./ 27 Agustus 1931 M.
Dijelaskan bahwa muktamar ini menghasilkan pendapat hukum yaitu Tidak
sah shalat dengan niat tersebut. Namun jika melakukan shalat muthlak dan berdoa
sesudahnya dengan sesuatu yang mengandung semisal doa isti’adzah (mohon
perlindungan) atau istikharah (meminta petunjuk Allah untuk di pilihkan yang
terbaik) maka shalat tersebut sah-sah saja.
Dari pendapat diatas dapat disumpulkan menjadi dua kesimpulan,
pertama tidak sahnya shalat saperti yang diniatkan, kemudian dibolehkan jika
niatnya diganti dengan shalat muthlak, maka sah-sah saja. Kesimpulan hukum
yang diambil dari masing-masing ORMAS:
a. Masing-masing ORMAS ini sepakat bahwa, Shalat Hadiah ini adalah
kebiasaan yang dijadikan amalan ibadah disuatu daerah yang
dilaksanakan di malam pertama setelah mayyit dikuburkan
dikarenakan siksaan yang pedih saat malam pertama dikuburkannya.
Adapun guna melaksanakan Shalat Hadiah ini sebagai amal ibadah
yang nantinya pahalanya dapat menolong dan menghibur si mayyit di
dalam kuburnya.
b. Kemudian pendapat hukum yang telah diulas dari tiga organisasi
masyarakat ini menghasilkan keputusan yang berbeda.
c. Jika MUI berpendapat bahwa masih ikhtilaf keshahihan dalilnya
berbeda dengan Muhammadiyah. Muhammadiyah berpendapat bahwa
dalil yang dijadikan dasar hukum adalah hadis yang tidak diketahui
sanad dan rawinya. Dalilnya tidak ditemukan dalam kitab hadis yang
47

mu’tabarah. Dalilnya adalah hadis yang berindikasikan dha’if, karena


tidak diketahui asal hadis tersebut. Syarat-syarat hadis maqbul tidak
terpenuhi didalamnya. Jika benar hadis dan praktek shalat ini
dibenarkan mestinya sudah disyari’atkan dari dahulu. Menurut
perspektif NU tidak sedikit berbeda, NU mengharamkan shalat
dengan niat seperti shalat itu (hadiah). Namun NU memberikan
keterangan lebih lanjut jika niatnya diganti dengan Shalat Muthlaqah
maka sah-sah saja. Wallahu ‘Alam bi shawwab.
48

BAB V
PENUTUP

A. Simpulan
Dari ulasan yang penulis sudah paparkan dalam penelitian. Penulis
menyimpulkan kepada dua jawaban perumusan masalah. Berikut adalah jawaban
dari perumusan masalah:
1. Bahwa tata cara Shalat Hadiah menurut Syafi’i Hazami, Niat Shalat
Hadiah dengan niat Shalat Muthlaq. kemudian sesudah itu Al Fatihah
bagi tiap rakaatnya, membaca Ayat kursi 1 kali, At-Takatsur 1 kali,
Al-Ikhlas 11 kali. Surah-surah ini dibaca setiap rakaat sesudah Al
Fatihah. Setelah selesai shalat hendaknya membaca doa sebagai
berikut:

‫ث ثَ َو َابَا إِ ََل قََِْب‬ َّ ِ‫ت َه ِذه‬


ْ ‫ اللَّ ُه َّم اَبْ َع‬,‫الص َلةَ َوتَ ْعلَ ُم َما أَ ِريْ ُد‬ َ ‫اللَّ ُه َّم إِِّن‬
ُ ‫صلْي‬
‫فَُلنَ بْ ِن فَُلن‬
Artinya: “Ya Allah. Aku telah lakukan sembahyang ini, sedang
engkau Maha Mengetahui apa yang yang aku kehendaki. Ya Allah,
kirimkan pahalanya kepada Kubur si Pulan bin Pulan.”

2. Jawaban dari rumusan masalah kedu yaitu berkaitan dengan hukum


dalam tiga perspektif. Majelis Ulalma Indonesia, Majelis Tarjih
Muhammadiyah, Bahtsul Masail Nahdhatul ‘Ulama. Kemudian
penulis mengambil seorang tokoh dari Komisi Fatwa MUI yaitu Prof.
Dr. Hj. Huzaemah T. Yanggo, MA. Kemudian beliau berpendapat
bahwa hukum melaksanakan Shalat Hadiah masih dalam Ikhtilaf
pada keshahihan dalilnya. Berkaitan dengan dasar hukum dalilnya
adalah hadis yang dha’if dikarenakan tidak terdapat sanad dan
49

rawinya secara jelas dan kemudian juga tidak ditemukan di kitab-


kitab hadis yang mu’tabarah.;
Kemudian Majelis Tarjih Muhammadiyah juga belum mengeluarkan
tarjih tentang hukum Shalat Hadiah. Kemudian, pendapat yang
mewakili Majelis tarjih Muhammadiyah yakni Dr. H. Sopa, M. Ag.
Selaku wakil sekretaris Majelis Tarjih Muhammadiyah. Pendapat
bahwa tidak ditemukan Tarjih Muhammadiyah mengeluarkan
pendapat hukum tentang hukum Shalat Hadiah. Kemudian, beliau
juga berpendapat bahwa tidak dibenarkan adanya praktek Shalat
Hadiah. Beliau juga berpendapat tidak disyariatkan dalam agama
karena shalat itu termasuk ibadah mahdah dan harus jelas betul dasar
dalilnya. Kemudian beliau melanjutkan bahwa syarat hadis itu bisa
dijadikan dasar hukum adalah hadisnya marfu’ sampai kepada Nabi
Muhammad SAW, dan terkategorikan hadis yang maqbul, sanad dan
rawinya, kemudian dhabithnya, adilnya, tidak ada ilat dan Syadz
dalam hadis dan perawinya.;
Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama sudah mengeluarkan pendapat
hukum tentang Shalat Hadiah Bertepatan pada Keputusan Muktamar
Nahdhatul Ulama Ke-6 di Pekalongan pada tanggal 12 Rabiuts Tsani
1350 H./ 27 Agustus 1931 M. Dari putusan muktamar Nahdhatul
Ulama Ke-6 di Pekalongan, Dr. Fuad Thohari M.Ag berpendapat
bahwa putusan melaksanakan Shalat Hadiah itu hukumnya tidak sah
dikarenakan hadis yang dijadikan landasan hukum ini adalah dalil
dari kalangan sufi, ditambah dengan tidak adanya sanad dan rawi
yang jelas dari hadis tersebut.
B. Saran-saran
Demikianlah sudah upaya penulis memberikan sebuah karya ilmiah
penulisan penelitian dalam bentuk komperasi hukum dalam tiga perspektif
Organisasi Masyarakat di Indonesia yakni Majelis Ulama Indonesia, Majelis
50

Muhammadiyah, dan Nahdhatul ‘Ulama. Tentunya dalam penulisan skripsi ini


banyaklah kekurangan dan kekhilafan penulis dalam menyalurkan gagasannya,
baik dalam penulisan maupun substansi tulisan itu sendiri. Dalam capaian ini
penulis menyimpulkan beberapa saran yang mungkin akan dibutuhkan pada
penelitian selanjutnya khususnya kepada:
1. Peneliti selanjutnya agar dapat mencantumkan data daerah yang
melakukan praktek Shalat Hadiah dengan lengkap secara
keseluruhan.
2. Tokoh Ulama Masyarakat untuk memberikan kesimpulan hukum
yang solutif agar supaya masyarakat tidak ragu dalam mengamalkan
ibadah-ibadah yang disyari’atkan.
Demikianlah beberapa saran yang didedikasikan kepada peneliti
selanjutnya. Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagaimana
mestinya, dan semoga masyarakat bisa lebih bijak dalam mengikuti dan
menjalankan suatu kebiasaan ibadah dengan faham dengan dalil yang
mendasarinya. Demikianlah kiranya penulis memaparkan karya ilmiah ini dengan
banyak keterbatasan dan tidak luput dari kekhilafan dan kealfaan yang penulis
lakukan dalam penelitian ini.
51

DAFTAR PUSTAKA

Nasution, A. M. Pengamalan shalat hadiah untuk orang yang telah meninggal di


Kampung Mesjid Kec. Kualuh Hilir Kab. Labuhanbatu Utara (Doctoral
dissertation, Pascasarjana UIN Sumatera Utara), 2014

Yusuf, A. M. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif & Penelitian Gabungan.


Prenada Media, 2016

Munawwir, A. W., & Munawwir, Z. A. Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia. Unit


Pengadaan Buku-Buku Ilmiah Keagamaan, Pondok Pesantren" Al-Munawwir,
1984

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan


Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus besar bahasa indonesia versi 0,2,0
2016

Qoyyim, I. Rahasia Sholat, Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2009

Umar, N. M. Nihaayat al-Zain, Dar Al-kotob Al-ilmiyah, bayruth-libanon, 2002

Danang E. P. Skripsi Tradisi Shalat Unsil Qabri Di Desa Wonolelo Pleret Bantul
Yogyakarta, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2014

Ilmi, Fahrul, Hadis tentang sampainya hadiah pahala terhadap orang yang
meninggal dunia, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. 2008

Yusuf, M. MetodePenelitian; Kuantitatif, Kualitatifdan Penelitian Gabungan,


Jakarta, Kencana Prenada Media, 2014

Zurinalk,. Z. & Aminuddin, M.Ag., Fiqih Ibadah, Jakarta, Lembaga Penelitian


Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2008

Ismail, A. M. , Shahih al-Bukhâri, T.tp: Dar Tuq al-Najah, 1422 H

Musthafa, D. B., Al-Wafi fi Syarh Al-Arbain An-Nawawiyyah, Damaskus, Dar Al-


Musthafa, 2007

Syu’aib, A. A. K. N, Sunan al-Nasai, Halb: Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyah,


T.tH., Juz 1, H. 232
52

Raya, T. Ahmad, M.A., Menyelami Seluk-Beluk Ibadah Dalam Islam, Jakarta,


Prenada Media, 2003

Jawad M, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Basrie Press, 1991

Syatha, Abu Bakar, I’anatu Al-Thalibin, Menara Kudus, Al-haramain, 2007

Taimiyah, I. Majmu’ al-Fatawa, Beirut: al-Maktab al-Islami, 1978, Jilid 24

Syatha, Muhammad. Sayid Bakri. Hasyiah ‘Ianatut Thalibin Ala Halli Alfadz Fath
al-Mu’in Lisyarh Qurrat al-A’in, Beirut : Dar al-Fikr, ttH

Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami Wa Adilatuhu, Beirut : Dar al-Fikr, 1999

Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010

Hazami, Syafi’i, Taudîh al-Adillah, Jakarta, Elex Media Komputindo, 2010

Abdul R. A. Syafi’I, Nazâhat al- Majalis , ttp. 1346 H, Jilid 1

Muhammad bin Umar Nawawi Al-jawi Al-bantani, Nihaayah az-Zain, (Dar Al-kotob
Al-ilmiyah, bayruth-libanon, tahun 2002

Rahman. Abdul. ,Risalah al-Kubro, Darul Khawa: 1422 H

T. Yanggo. Huzaemah, Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Interview


Pribadi, 13 Februari 2018

Sopa., Wakil Sekretaris Majelis Tarjih Muhammadiyah, Interview Pribadi, 2017

Miri, Djamaluddin, Lc, MA. AHKAMUL FUQOHA Solusi Problematika Aktual


Hukum Islam: keputusan muktamar, Munas, dan konbes Nahdhatul Ulama
(1926-1999), LTN NU Jawa Timur dan Diantama, Surabaya, 2004

Thohari. Fuad., Tokoh Ulama Nahdhatul Ulama, Interview Pribadi, 2018

Baidlawi, H. M. MODERNISASI PENDIDIKAN ISLAM, Telaah Atas Pembaharuan


Pendidikan di Pesantren. TADRIS: Jurnal Pendidikan Islam, 1(2). 2006

Syaikh Hasyim Asya’ari Pendiri NU Melarang Shalat Rebo Wekasan dan Shalat
HadiaH ./www.nahimunkar.org/syaikh-hasyim-asyaari-pendiri-nu-melarang-
shalat-rebo-wekasan-dan-shalat-hadiah/01/02/2018 Diakses pada tanggal
13/03/18 pada pukul 10:32 WIB
53

Qadha dan fidyah Shalat, iztyazzahra.wordpress.com/2016/04/15/qadha-dan-fidyah-


shalat-bagi-orang-yang-sudah-meninggal. Diakses pada tanggal 13/03/18 pada
pukul 10:32 WIB
54

LAMPIRAN

FATWA MUI TENTANG FIDYAH SHALAT DAN QADHA

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta, dalam rapatnya
pada tanggal 19 Dzulqa’dah 1420 H, bertepatan dengan tanggal 25 Pebruari 2000 M,
yang membahas tentang Fidyah Shalat, setelah :

Menimbang:
1. Bahwa shalat adalah rukun Islam kedua sesudah syahadat dan merupakan
amal ibadah yang akan dihisab (diperhitungkan) pertama kali oleh Allah
SWT kelak di akhirat. Oleh karena itu umat Islam harus selalu
memperhatikan pelaksanaan shalat serta tidak meninggalkannya.
2. Bahwa sungguh pun demikian, karena satu dan lain hal ada diantara umat
Islam yang kurang sempurna dalam menjalankan ibadah shalat sehingga
ketika wafat mereka masih mempunyai hutang shalat sehingga ketika wafat
mereka masih mempunyai hutang shalat yang ditinggalkannya sewaktu masih
hidup.
3. Bahwa sebagian umat Islam menduga (berasumsi) bahkan meyakini, bahwa
hutang shalat yang ditinggalakan oleh orang yang sudah wafat dapat dibayar
dengan memberikan fidyah kepada fakir miskin. Sementara itu, sebagian yang
lain menolak pemahaman tersebut dan bahkan menilainya sebagai perbuatan
bid’ah.
4. Bahwa untuk meluruskan pemahaman sebagian umat Islam serta
menghindarkan terjadinya perselisihan yang berakibat pada lemahnya
ukhuwah Islamiyah, MUI Provinsi DKI Jakarta memandang perlu untuk
segera mengeluarkan Fatwa tentang Fidyah Shalat.

Mengingat:
55

1. Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia


(PD/PRT MUI)
2. Pokok-Pokok Program Kerja MUI Provinsi DKI Jakarta Tahun 2000 – 2005
3. Pedoman Penetapan Fatwa MUI
Memperhatikan:
Saran dan pendapat para ulama peserta rapat Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 25 Pebruari 2000 M, yang membahas
tentang Fidyah Shalat.

Memutuskan:
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT dan memohon ridha-Nya memfatwakan
sebagai berikut:

1. Pada dasarnya, setiap manusia akan memperoleh balasan (pahala atau siksa)
sesuai dengan amal perbuatannya sewaktu masih hidup di alam dunia.
Mereka tidak akan mendapatkan balasan amal perbuatan yang dilakukan oleh
orang lain. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat an-Najm
ayat 39-41 :

َّ ‫)وأ‬ ِ ِ ِ ‫وأَ ْن لَي‬


َ‫اْلََزاء‬
ْ ُ‫)ُثَّ ُُْيَزاه‬
ُ ٤٠( ‫ف يَُرى‬
َ ‫َن َس ْعيَهُ َس ْو‬ َ ٣٩( ‫س لإلنْ َسان إَّل َما َس َعى‬
َ ْ َ
(٤1( ‫األو َف‬
ْ
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya, dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat
(kepadanya). Kemudian akan diberi Balasan kepadanya dengan Balasan
yang paling sempurna”. [QS. An-Najm (53): 39-41]

2. Sungguh pun setiap orang hanya akan mendapat balasan sesuai dengan amal
perbuatannya, agama Islam mewajibkan orang-orang yang beriman untuk
membantu sesama orang-orang yang beriman dengan menshalatkan
jenazahnya dan mendo’akannya agar seluruh amal ibadahnya diterima Allah
56

SWT dan dosa-dosanya diampuni. Sebagaimana disabdakan Rasulallah SAW


dalah hadits shahih yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Sahabat Abu
Hurairah RA;

“Kewajiban orang Islam atas orang Islam yang lain ada lima ; menjawab
salam, menengok orang sakit, mengiring jenazah (ke kuburan), memenuhi
undangan, dan mendo’akan orang yang bersin”.

Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dari sahabat
Utsman ibnu Affan RA:

“Rasulallah SAW jika selesai menguburkan mayat beliau berdiri di atas


kuburnya dan bersabda; ‘Mohonkanlah ampunan untuk saudaramu ini dan
mohonkanlah untuknya agar diberikan ketetapan iman karena sekarang ia
sedang ditanya (oleh Malaikat Munkar dan Nakir)’”.

Demikian juga firman Allah SWT dalam surat al-Hasyr ayat 10

ِ َ‫وَن ِِبْلمي‬
‫ان َوَّل‬ َ ‫ين َسبَ ُق‬ ِ َّ ِ ‫والَّ ِذين جاءوا ِمن ب ع ِد ِهم ي ُقولُو َن ربَّنا ا ْغ ِفر لَنا و‬
َ ‫ْلخ َواننَا الذ‬
ْ َ َ ْ ََ َ ْ َْ ْ ُ َ َ َ
(1٠( ‫وف َرِح ٌيم‬ ِِ ِ
َ ‫ين َآمنُوا َربَّنَا إِن‬
ٌ ُ‫َّك َرء‬ ِ
َ ‫ََْت َع ْل ِف قُلُوبِنَا غل للَّذ‬
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor),
mereka berdoa: “Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara
Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau
membiarkan kedengkian dalam hati Kami terhadap orang-orang yang
beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha
Penyayang.” QS. Al-Hasyr (59): 10

3. Berdasarkan ayat al-Qur;an dan Hadits-Hadits di atas, para ulama telah


bersepakat bahwa do’a dan perbuatan baik yang diperuntukkan bagi mayit
akan sampai dan bermanfaat baginya. Bahkan Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah
memfatwakan sebagai berikut : “Barang siapa berkata bahwa do’a atau
57

perbuatan baik yang diperuntukkan bagi mayit, pahalanya tidak sampai


kepadanya maka mereka adalah termasuk ahli bid’ah”.
4. Agama Islam juga menyarankan kepada keluarga mayit agar beramal shaleh
dan bershadaqah atas nama mayit, meng-qadha’ ibadah haji yang telah wajib
atas mayit tetapi sewaktu hidup belum dilaksanakan dan sebagainya. Semua
pahala amal shalih yang diperuntukkan bagi mayit akan sampai dan
bermanfaat baginya. Hal ini didasarkan pada hadits shahih yang diriwiyatkan
Imam Ahmad bin Hambal dari ‘Aisyah RA:

“Dari ‘Aisyah RA bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Rasulallah


SAW : ‘Sesungguhnya ibuku telah wafat secara mendadak. Saya yakin jika
beliau berkesempatan untuk berbicara pasti akan bershadaqah. Apakah dia
akan mendapat pahala jika aku bershadaqah atas nama dia?’ Rasulallah
SAW menjawab : “Ya”.

5. Para ulama berbeda pendapat tentang perlu atau tidaknya meng-qadla’ atau
membayar fidyah sebagai ganti terhadap shalat yang ditinggalkan oleh
seseorang yang telah wafat. Perbedaan pendapat ini disebabkan karena tidak
adanya satu pun nash al-Qur’an atau Hadits yang secara sharih (jelas)
menerangkan masalah ini. Yang dijelaskan di dalam al-Qur’an adalah fidyah
puasa bagi orang yang tidak mampu melaksanakannya karena tua renta atau
sakit yang kronis sebagaimana disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 184 :

‫ع َخ ْ ًْيا فَ ُه َو َخ ْْيٌ لَهُ َوأَ ْن‬ ‫…و َعلَى الَّ ِذين يُ ِطي ُقونَهُ فِ ْديَةٌ طَ َع ُام ِمس ِك م‬
َ ‫ْي فَ َم ْن تَطََّو‬ ْ َ َ
(1٨٤( ‫وموا َخ ْْيٌ لَ ُك ْم إِ ْن ُكْن تُ ْم تَ ْعلَ ُمو َن‬
ُ‫ص‬ُ َ‫ت‬
“(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara
kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-
hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang
58

miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan


kebajikan[114], Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih
baik bagimu jika kamu mengetahui”. [QS. Al-Baqarah (2) : 184]

Menurut Jumhur Ulama, termasuk Syekh Zainuddin al-Malibari pengarang


kitab Fathul Mu’in, bahwa jika ada orang yang sudah wafat mempunyai hutang
Shalat Fardlu, maka tidak perlu di-qadla’ atau dibayarkan fidyah-nya. Sementara itu
menurut sebagian ulama seperti as-Subki dan Ibnu Burhan berpendapat, bahwa jika
ada orang yang sudah wafat mempunyai hutang shalat Fardlu, maka supaya
dibayarkan fidyah-nya jika mayit meninggalkan harta benda (tirkah). Pendapat ini
didukung oleh para pengikut Madzhab Hanafi. Mereka berpendapat, jika ada orang
sudah wafat mempunyai hutang Shalat dan Puasa, maka supaya dibayar fidyah-nya
kepada kaum fakir miskin. Pembayaran fidyah tersebut diambilkan dari harta
peninggalan mayit (tirkah) atau dari harta keluarganya. Keterangan ini dapat dibaca
dalam kitab I’anatut Thalibin sebagai berikut;

‫من مات و عليه صلة فل قضاء و َّل فدية و ف قول كجمع جمتهدين أهنا تقضى عنه لَب‬
‫ و من ُث إختاره مجع من أئمتنا و فعل به السبكي عن بعض أقاربه‬.‫البخارى و غْيه‬
“Barangsiapa wafat dan dia masih mempunyai hutang shalat, maka tidak perlu di-
qadla’ dan atau dibayarkan fidyah-nya. Menurut sebagian pendapat para imam
mujtahid, bahwa shalat tersebut harus di-qadla’. Hal ini didasarkan pada hadits
yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan yang lain. Sehubungan dengan hal itu,
sebagian ulama kita (madzhab Syafi’i) memilih pendapat ini, bahkan Imam as-Subki
mempraktekkannya sebagai pengganti shalat yang ditinggalkan oleh salah seorang
kerabatnya”

Sehubungan dengan perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh diatas,


Komisi Fatwa MUI DKI Jakarta memilih pendapat ulama yang menyatakan bahwa
shalat yang telah ditinggalkan mayit sewaktu masih hidup dapat di-qadla’ atau
diganti dengan membayar fidyah. Sungguh pun demikian, bukan berarti orang yang
masih hidup boleh meninggalkan shalat untuk digantikan dengan membayar fidyah
59

atau berwasiat kepada keluarganya agar sesudah wafat, shalat-shalat yang


ditinggalkannya di-qadla’ atau dibayar dengan fidyah.

Jakarta, 19 Dzulqa’dah 1420H.

25 Pebruari 2000 M.

KOMISI FATWA

MAJELIS ULAMA INDONESIA DKI JAKARTA


Ketua, Sekretaris,

ttd ttd

Prof. KH. Irfan Zidny, MA KH. Drs. M. Hamdan Rasyid, MA


Mengetahui,

Ketua Umum, Sekretaris Umum,

ttd ttd

KH. Achmad Mursyidi Drs. H. Moh. Zainuddin


60

MUKTAMAR NAHDHATUL ULAMA KE-6 DI PEKALONGAN


di Pekalongan pada tanggal 12 Rabiuts Tsani 1350 H./ 27
Agustus 1931 M.

ِ ِ ُّ ‫ات الَِِّت استَحسنَ ها‬


ِ َّ‫ك النِي‬
َ ‫ات بِتِْل‬ َّ ِ‫ص ُّح َه ِذه‬ ِ َ‫وََّل ت‬
ْ ‫الصوفيَّةُ م ْن َغ ِْْي أَ ْن يَِرَد َِلَا أ‬
‫َص ٌل‬ ََْ ْ ُ ‫الصلَ َو‬ َ
‫استِ َخارةم‬ ‫الص َلةِ ُُثَّ دعا ب ع َدها ِِبَا ي تض َّمن ََْنو ِ م‬
َّ ‫السن َِّة نَ َع ْم إ ْن نَ َوى ُمطْلَ َق‬
ُّ ‫ِِف‬
َ ْ ‫است َعاذَة أ َْو‬ ْ َ ُ َ ََ َ ْ َ َ َ
ِ
‫س وأُما حديث صلة اِلدية الذى ذكر ف املهي فل يعرف‬ ٌ ْ‫ك ََب‬َ ‫ُمطْلَ َق مة َملْ يَ ُك ْن بِ َذل‬
)‫ ( اْلزء الثىن من حتفة احملتاج ف ِبب صلة األشراق‬.‫صحة راويه‬
“Tidak sah shalat dengan niat seperti yang dianggap baik kalangan sufi tanpa
dasar hadis sama sekali. Namun jika melakukan shalat muthlak dan berdoa
sesudahnya dengan sesuatu yang mengandung semisal doa isti’adzah (mohon
perlindungan) atau istikharah (meminta petunjuk Allah untuk di pilihkan yang
terbaik) maka shalat tersebut sah-sah saja.” (Tuhfah Al-Muhtaj Juz VII, Hal
317)

Anda mungkin juga menyukai