Muhammad Haikal
NIM: 1113043000036
v
KATA PENGANTAR
الرحيم
ّ الرحمن
ّ بسم اهلل
Puji dan rasa syukur yang mendalam penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT. karena berkat limpahan rahmat, hidayah dan inayah-Nya maka
skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Salam cinta dan mahabbah selalu
tercurahkan pada Baginda Rasulullah Muhammad SAW.
1. Bapak Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, M.A., selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;
4. Bapak Afwan Faizin, M.A., dan Bapak H. Qosim Arsadani M.A, selaku
Dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan arahan, saran dan
ilmunya hingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik;
vi
menyelesaikan studi di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;
7. Kedua orang tua tercinta Abi dan Umi serta kakak-kakak dan adik, yang
telah mencintai penulis dengan segenap jiwa dan raga, baik doa maupun
dukungan sehingga dengan ridha mereka penulis mampu berada pada titik
seperti saat ini;
9. Keluarga Besar PMH angkatan 2013 yang telah menemani serta memberi
dukungan, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan
baik.
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING....................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................iii
LEMBAR PERNYATAAN.........................................................................iv
ABSTRAK.....................................................................................................v
KATA PENGANTAR.................................................................................vi
DAFTAR ISI................................................................................................viii
PEDOMAN TRANSLITERASI................................................................. x
BAB I: PENDAHULUAN............................................................................1
viii
BAB III: KONSEP UMUM TENTANG SHALAT HADIAH
....................................................................................................... 26
BAB V. PENUTUP......................................................................................48
A. Kesimpulan .......................................................................................48
B. Saran..................................................................................................50
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................58
LAMPIRAN .................................................................................................59
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan
asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan
terutama bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan
beberapa istilah Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia
atau lingkup masih penggunaannya terbatas.
a. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar akasara Arab dan padanannya dalam
aksara Latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
ا
Tidak dilambangkan
ب
b be
ت
t te
ث
ts te dan es
ج
j Je
ح
h ha dengan garis bawah
خ
kh ka dan ha
د
d de
x
ذ
dz de dan zet
ر
r Er
ز
z zet
س
s es
ش
sy es dan ye
ص
s es dengan garis bawah
ض
d de dengan garis bawah
ط
t te dengan garis bawah
ظ
z zet dengan garis bawah
غ
gh ge dan ha
ف
f ef
ق
q Qo
ك
k ka
xi
ل
l el
م
m em
ن
n en
و
w we
ه
h ha
ء
apostrop
ي
y Ya
b. Vokal
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia,
memiliki vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Untuk vokal tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai
berikut:
Tanda Vokal
Tanda Vokal Latin Keterangan
Arab
ـــــَـــــ a fathah
ـــــِـــــ i kasrah
ـــــُـــــ u dammah
xii
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih
aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
__َ_ي
ai a dan i
__َ_و
au a dan u
c. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa
Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal
Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
d. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan
huruf alif dan lam( ) ال, dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti
huruf syamsiyyahatau huruf qamariyyah. Misalnya:
= اإلجثهادal-ijtihâd
e. Tasydîd (Syaddah)
xiii
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah.
Tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu
terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah.
Misalnya:
= الشفعةal-syuî ‘ah, tidak ditulis asy-syuf ‘ah
f. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat
contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta
marbûtah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta
marbûtah tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
g. Huruf Kapital
Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital,
namun dalam transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu
diperhatikan bahwa jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka
huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri
tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Misalnya, = البخاريal-
Bukhâri, tidak ditulis Al-Bukhâri.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam
alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak
tebal. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal
xiv
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar
kara nama tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-
Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
xv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sudah menjadi sebuah kewajiban bagi seorang muslim untuk mengerti
dan faham betul apa tujuan mendirikan shalat dan apa manfaat bagi diri sendiri
dan dampak terhadap lingkungan sekitar. Seorang hamba memilki tugas di dalam
kehidupannya sesuai statusnya sebagai seorang hamba. Salah satunya adalah
menyembah kepada Tuhan. Dalam agama islam menyembah atau biasa disebut
dengan istilah “sembahyang” yang berarti menyembah tuhan itu adalah shalat.
Maka salah satu tugas seorang hamba muslim adalah menyembah tuhannya
dengan shalat.
Dalam pandangan filosofis, shalat adalah hubungan antara makhluk dan
khalik. Yaitu sebuah hubungan vertikal tegak lurus dari bawah ke atas, hubungan
antara seorang hamba dengan Tuhan-Nya.1 Ketika memulai shalat seseorang
diperintahkan menghadap ke arah kiblat dengan wajahnya, sedang hatinya hanya
menghadap Allah semata; tidak menoleh dan berpaling kepada selain-Nya.
Kemudian ia berdiri dihadapan Allah dengan rendah diri, tunduk merasa
membutuhkan kepada-Nya, dan mengharap belas kasih dari Tuhan-Nya.2 Uraian
diatas mendeskripsikan sebuah hakikat shalat adalah hubungan ibadah seorang
hamba kepada tuhannya.Hal ini sesuai dengan Firman Allah Swt dalam Q.s Adz-
Dzaariyaat (51): 56:
1
Lihat Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus besar bahasa indonesia versi 0,2,0 2016.
2
Ibnul Qoyyim, Rahasia Sholat, (Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2009), h., 27.
1
2
Pada prinsipnya ibadah shalat merupakan sari ajaran Islam yang berarti
penyerahan diri secara sempurna pada kehendak Allah Swt. dengan demikian, hal
ini akan mewujudkan suatu sikap dan perbuatan dalam bentuk ibadah. Apabila hal
ini dapat dicapai sebagai nilai sikap dan perilaku manusia, maka akan lahir suatu
keyakinan tetap mengabdikan diri kepada Allah Swt.
Hal ini berarti tidak akan terbuka peluang bagi penyimpangan yang dapat
merusak pengabdian kepada Allah Swt. penyimpangan pengabdian berarti akan
merusak diri manusia itu sendiri, bukan merusak berakibat kepada Allah Swt.
oleh karena itu beribadah atau tidaknya manusia kepada-Nya tidaklah mengurangi
keagungan dan kebesaran Allah Swt. sebagai Rabb (Pemelihara) bagi alam
semesta.
Secara sosiologis bahwa shalat dapat mencegah dari kemungkinan
melakukan kejahatan dan perbuatan keji. Ini mengindikasikan bahwa shalat
merupakan rukun islam sebagai kontrol mendasar dalam mewujdukan sistem
sosial Islam. Dapat disimpulkan bahwa Shalat secara filosofis dan sosiologis
adalah Sebuah Alat komunikasi antara Makhluk dengan Khalik yang sebagai
upaya mendapatkan kontrol diri yang memiliki imbas baik terhadap lingkungan
sosial di sekitarnya.
Shalat memiliki dampak besar baik bagi individu maupun kelompok.
Dalam tatanan kehidupan ini manusia diatur dengan adanya peraturan. Yang
membedakan manusia dengan hewan adalah karena adanya aturan. Secara sosial
manusia dituntut hidup dengan hukum yang tidak tertulis sesuai dengan kebiasaan
yang dibenarkan dengan tanpa merugikan orang lain. Hukum yang tidak tertulis
ini akan bertujuan mendapatkan keadilan. Karnanya, untuk menggapai dan
mendapatkan sebuah keadilan yang hakiki diperlukannya jiwa-jiwa yang memilki
sikap bijak, tenang, dan adil pula. Beberapa karakteristik demikian akan didapati
oleh jiwa-jiwa yang tenang yakni jiwa yang memenuhi konsumsi spiritual yang
baik. Sudah dapat disimpulkan bahwa mengapa manusia harus mendapatkan
konsumsi spiritual? Karena, dengan mengkonsumsi spiritual itulah yang nantinya
3
akan timbul jiwa-jiwa yang tenang dan terus berkembang menjadi karakter yang
bijak.
Shalat adalah ibadah mahdah, yang apabila dikerjakan ganjaran pahala
ibadah itu sendiri hanya kembali kepada orang yang melaksanakannya. Mengenai
pahala shalat pada hakikatnya akan diberikan kembali kepada siapa yang
melaksanakan shalat tersebut sebagai ganjaran pahala atas ketaatannya. Adapun
pahala shalat yang didapatkan seseorang yang kemudian dihadiahkan kepada
orang yang sedah meninggal merupakan hal yang tidak lumrah.3
Berbeda dengan hal-hal yang berkenaan dengan pahala ibadah yang dapat
dikirimkan kepada orang sudah meninggal. Pahala atau kebaikan yang dapat
dikirimkan kepada orang lain baik masih hidup maupun sudah mati hanya
meliputi tiga hal yaitu, shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak
sholih yang mendoakan kedua orang tuanya. Dalam agama Islam ibadah
dibedakan menjadi ibadah mahdah, yaitu ibadah yang telah diatur dan
dicontohkan pelaksanaannya oleh Rasulullah SAW. Bentuk ibadah ini berupa
kegiatan ritual yang telah pasti dan jelas aturannya seperti shalat, puasa, zakat,
haji dan lain-lain. Sementara itu bentuk ibadah lainnya adalah ghair mahdah,
yaitu seluruh bentuk aktivitas–dalam cakupan yang seluas-luasnya--sebagai
pengabdian dan penghambaan kepada Allah yang diniatkan dalam kerangka
mencari keridhaan-Nya dan dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran
Islam..4
Kemudian timbul sebuah pertanyaan yang berkenaan dengan hal yang
tidaklah masyhur di kalangan masyarakat umum. Sebuah tradisi yang dianggap
menjadi kebiasaan ibadah namun jarang ditemukan di halayak umum. Penulis
kemudian mengangkat sebuah masalah pada adat yang masyru’ atau kebiasaan ini
dalam bidang keagamaan yaitu Shalat Hadiah sebagai penelitian. Sebuah shalat
3
Baidlawi, MODERNISASI PENDIDIKAN ISLAM , Telaah Atas Pembaharuan
Pendidikan di Pesantren. (Tadris: Jurnal Pendidikan Islam, 1(2). 2006), h., 159
4
Baidlawi, MODERNISASI PENDIDIKAN ISLAM , Telaah Atas Pembaharuan
Pendidikan di Pesantren. (Tadris: Jurnal Pendidikan Islam, 1(2). 2006), h., 159
4
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang yang telah diulas oleh penulis, penulis
mengidentifikasikan beberapa masalah dari latar belakang tersebut, antara lain;
1. Tata cara pelaksanaan Shalat Hadiah.
2. Pendapat Hukum dalam Perspektif Majelis Ulama Indonesia,
Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama.
5
Muhammad bin Umar Nawawi Al-jawi Al-bantani, Nihâyat al-Zain, (Dar Al-kotob Al-
ilmiyah, bayruth-libanon, tahun 2002), h., 107.
5
C. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas, penulis
membatasi pokok masalah agar tetap terarah dan fokus pada substansi
pembahasan yaitu pendapat hukum MUI, Muhammadiyah, NU tentang Shalat
Hadiah.
D. Rumusan Masalah
Setelah dikemukakan latar belakang masalah di atas, maka dapat ditarik
suatu perumusan masalah yang penulis rinci pertanyaan sebuah peneletian
sebagai berikut:
1. Bagaimana tata cara Shalat Hadiah?
2. Bagaimana pendapat hukum menurut MUI (Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia), Majelis Tarjih Muhammadiyah, dan Bahtsul Masaail Nahdatul
Ulama?
6
Danang Eko Purwanto, Skripsi Tradisi Shalat Unsil Qabri ( Di Desa Wonolelo Pleret
Bantul Yogyakarta), diterbitkan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2014.
7
Fahrul Ilmi, “Hadis tentang sampainya hadiah pahala terhadap orang yang meninggal
dunia” yang diterbitkan pada tahun 2008 oleh UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
7
G. Metodologi Penelitian
Untuk penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif dengan
pendekatan kualitatif, yakni merupakan suatu strategi inquiry yang menekan
pencarian makna, pengertian konsep, karakteristik, gejala, simbol maupun
deskripsi tentang suatu fenomena, fokus dan multi metode, bersifat alami dan
holistik, mengutamakan kualitas, menggunakan beberapa cara, serta disajikan
secara naratif.8
1. Sumber Data
Di dalam penelitian ini, penulis menggunakan pengumpulan data yaitu dengan
menggunakan study pustaka (library research), dan Interview research. Studi
pustaka dalam penelitian ini dilakukan guna mengeskplorasi dasar-dasar
hukum, pendapat para ulama fiqih. Sedangkan Studi Interview dilakukan
untuk menggali sebuah pendapat dari tokoh yang berkaitan. Studi juga
bersumber dari berbagai tulisan dan hasil penelitian di internet sebagai bahan
pelengkap.
2. Jenis Data
Data-data yang dipergunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi tiga,
yaitu:9
a. Bahan Hukum primer yaitu bahan-bahan hukum antara lain:
1) Al-Qur’an dan Assunnah
2) Kitab Nihayat al-Zein.
b. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan-bahan tertulis yang dipergunakan
untuk memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti
buku-buku tentang praktik Shalat Hadiah dan yang berkaitan dengan
hukum Shalat Hadiah.
8
Muri Yusuf, MetodePenelitian; Kuantitatif, Kualitatifdan Penelitian Gabungan,
(Jakarta, Kencana Prenada Media, 2014), h., 329.
9
Muri Yusuf, MetodePenelitian; Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan,
(Jakarta, Kencana Prenada Media, 2014), h., 24.
8
H. Sistematika Penelitian
Untuk mempermudah pembahasan dan dalam usaha memberikan
gambaran singkat mengenai isi dari skripsi dalam lima bab, dan tiap babnya
terdiri dari sub-sub bab yang tentunya antara satu bab dengan bab lainnya
mempunyai keterkaitan.
Adapun sistematika penulisan secara terperinci sebagai berikut:
BAB I sebagai pendahuluan yang membahas tentang latar belakang
masalah dan rumusan-rumusan masalah serta hal yang berkitan dengan
permasalahan dalam Hukum Shalat Hadiah.
BAB II merupakan konsep umum tentang shalat dalam islam baik secara
filosofis, dan Sosiologis.
1 0
Muri Yusuf, MetodePenelitian; Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan,
(Jakarta, Kencana Prenada Media, 2014), h., 400.
9
A. Hakikat Shalat
Menumbuhkan kesadaran diri manusia bahwa ia adalah makhluk Allah
Swt. Yang diciptakan sebagai insan yang mengabdi kepada-Nya. Hal ini seperti
firman Allah Swt Q.s. Adz-Dzaariyaat (51): 56:
ِ اْلنْس إََِّّل لِي عب ُد ِ وما خلَ ْق
ون ُ ْ َ َ ِْ ت ا ْْل َّن َو
ُ َ ََ
Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.”
1 1
Ahmad Mafaid Nasution, pengamalan Shalat Hadiah untuk orang yang telah
meninggal di kampung mesjid kec. Kualuh Hilir kab. Lauhan batu utara. ( Sumatera Utara
Medan, Studi Hukum Islam Program Pasca Sarjana IAIN, 2014), h., 40.
10
11
Hakikat adalah suatu dasar dan mendalam atas sesuatu. Hakikat pada
dasarnya mencari suatu asar dari sesuatu, yakni tujuan dalam menggapai dari apa
yang dikerjakan.1 Dalam KBBI, Hakikat
2
memiliki dua definisi yaitu, yang
pertama berarti intisari atau dasar. Kemudian, yang ke dua kenyataan yang
sebenarnya. Maka dalam hal ini hakikat shalat adalah intisari dari shalat.
Kata shalat seringkali diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan kata
“sembahyang”. Sebenarnya pengertian kedua kata ini mempunyai makna yang
1 2
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus besar bahasa indonesia versi 0,2,0 2016.
12
ِ ََِسعت رسوَل:اب ر ِضي هللا عْن هما قَ َال ِ ْ الر ْْحَ ِن َعْب ِدهللاِ بْ ِن عُمر بْ ِن َّ َِب َعْب ِد
هللا ُْ َ ُ ْ َ ُ َ ُ َ َ َّالَط ََ ْ َِع ْن أ
َن بُِِن اْ ِْل ْسلَ ُم َعلَى خَْ م:صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم يَ ُق ْو ُل
َّ َوأ،ُ َش َه َادةُ أَ ْن َّلَ إِلَهَ إَِّلَّ هللا:س َ
َ
ِ ِ ِ َّ وإِقَام،ُُِم َّمداً رسو ُل هللا
.ضا َن َ َو، َو َح ُّج الْبَ ْيت، َوإِيْتَاءُ ا َّلزَكاة،الصلَة
َ ص ْوُم َرَم ُ َ ُْ َ َ
)(رواه البخاري
1
Zurinal Z.& Aminuddin, M.Ag.,3 Fiqih Ibadah, (Jakarta, Lembaga Penelitian
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2008), cetakan 1, h., 67
1 4
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: PP Al-
Munawwir, 1984), h., 366.
1 5
Masykuri Abdurrahman, Kaifiyah dan Hikmah Shalat Versi Kitab Salaf, (Sidogiri,
Pustaka Sidogiri, 2006), Cetakan ke-7, h., 33.
1 6
Muhammad bin Ismail al-Ja’fi al-Bukhâri, Shahih al-Bukhâri, (T.tp: Dar Tuq al-Najah,
1422 H), Juz 1, h., 34.
13
Artinya: “Dari Abu Abdurrahman, Abdullah bin Umar bin Khattab RA, dia
berkata, “Saya mendengar Rasulullah SAW. bersabda, ‘Islam dibangun diatas
lima perkara: bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad
adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji
dan puasa Ramadhan.” (H.r al-Bukhâri).
Hadits diatas menjelaskan bahwa shalat adalah sebuah dasar, yaitu pilar
agama. Hadits ini termasuk hadits penting karena mengandung dasar agama dan
menjadi sumber rujukan bagi sebagian besar hukum Islam. Salah satunya adalah
shalat. Karenanya shalat sangatlah penting dikarenakan shalat adalah bagian dari
dasar sebuah agama.1 7
Pada prinsipnya ibadah shalat merupakan sari ajaran Islam yang berarti
penyerahan diri secara sempurna pada kehendak Allah Swt. dengan demikian, hal
ini akan mewujudkan suatu sikap dan perbuatan dalam bentuk ibadah. Apabila hal
ini dapat dicapai sebagai nilai sikap dan perilaku manusia, maka akan lahir suatu
keyakinan tetap mengabdikan diri kepada Allah Swt. ini berarti tidak akan
terbuka peluang bagi penyimpangan yang dapat merusak pengabdian kepada
Allah Swt. penyimpangan pengabdian berarti akan merusak diri manusia itu
sendiri, bukan merusak berakibat kepada Allah Swt. oleh karena itu beribadah
atau tidaknya manusia kepada-Nya tidaklah mengurangi keagungan dan
kebesaran Allah Swt. sebagai Rabb (Pemelihara) bagi alam semesta.
Selanjutnya mengenai shalat secara maknawi dalam bukunya Pedoman
Shalat Hasbi Ash-Shiddieqy mengatakan, bahwa shalat dalam pengertian Bahasa
Arab ialah “doa memohon kebajikan dan pujian”. Maka shalat Allah SWT kepada
Nabi-Nya ialah pujian Allah SWT kepada Nabi-Nya. Sebelum islam, orang Arab
1 7
Musthafa Dib Al-Bugha, Al-Wafi fi Syarh Al-Arbain An-Nawawiyyah, (Damaskus, Dar
Al-Musthafa, 2007), h., 13.
14
memakai kata shalat dengan arti demikian dan arti itu terdapat juga di beberapa
tempat didalam Al-Quran”1 Firman Allah SWT Q.s.8 At-Taubah (9): 103:
ِ ِ ِِ ِ
َّ ك َس َك ٌن َِلُْم ۗ َو
ُاَّلل َ ص ِل َعلَْي ِه ْم ۖ إِ َّن
َ َص َلت َ ص َدقَةً تُطَ ِه ُرُه ْم َوتَُزكي ِه ْم بَا َو
َ ُخ ْذ م ْن أ َْم َواِل ْم
يع َعلِ ٌيم ِ
ٌ ََس
Artinya: “Dan bershalatlah atas mereka ("dan berdoalah" untuk mereka) karena
sesungguhnya shalatmu (doamu) itu (menjadi) menenangkan dan menentramkan
mereka dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
ِ ِ ِ ِ َّ ِ
ً صلُّوا َعلَْيه َو َسل ُموا تَ ْسل
يما ِ ِصلُّو َن َعلَى الن
َ َّب ۚ ََي أَيُّ َها الذ
َ ين َآمنُوا َ ُاَّللَ َوَم َلئ َكتَهُ ي
َّ إنَّ
Artinya: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk
Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan
ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Q.S. al-Ahzaab: 56)
ض ِم ُّي َحدَّثَنَا َس ْه ُل بْ ُن َْحَّ ماد َحدَّثَنَا ََهَّ ٌام قَ َال َح َّدثَِِن َ اْلَ ْه ْ ص ِر بْ ِن َعلِ مي ِ
ْ ََحدَّثَنَا َعل ُّي بْ ُن ن
ِ ِ ِ َّ ث ب ِن قَبِيصةَ قَ َال قَ ِدمت الْم ِدينةَ فَ ُق ْل ِ
يسا
ً ت الل ُه َّم يَس ْر ِل َجل ُ َ َ ُ ْ َ ْ ْاْلَ َس ِن َع ْن ُحَري ْ قَتَ َادةُ َع ْن
ِ اَّلل أَ ْن ي رزقَِِن جلِيسا ص ِ
اْلًا َ ً َ ُ ْ َ ََّ ت ُ ْت إِِّن َسأَل ُ ت إِ ََل أَِِب ُهَريْ َرةَ فَ ُق ْل ُ صاْلًا قَ َال فَ َجلَ ْس َ
اَّللَ أَ ْن يَْن َف َع ِِن بِِه فَ َق َالَّ اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم لَ َع َّل
َّ صلَّى َِّ ول ِ يث ََِس ْعتَه ِمن رس فَح ِدثِِْن ِِب ِد م
َ اَّلل َُ ْ ُ َ َ
ب بِِه الْ َعْب ُد يَ ْوَم الْ ِقيَ َام ِة ِم ْن
ُ اس َ َول إ َّن أ ََّوَل َما ُُي
ِ ُ اَّلل َعلَْي ِه وسلَّم ي ُق
ََ ََ َُّ صلَّى
َِّ ول
َ اَّلل َ ت َر ُس ُ ََس ْع
ِ
ِ ِ َ ت فَ َق ْد َخ ِِ
صَ اب َو َخسَر فَإ ْن انْتَ َق ْ ت فَ َق ْد أَفْ لَ َح َوأ َْْنَ َح َوإِ ْن فَ َس َد َ ص َلتُهُ فَإِ ْن
ْ صلُ َح َ َع َمله
1
Ahmad Mafaid Nasution,8 pengamalan Shalat Hadiah untuk orang yang telah
meninggal di kampung mesjid kec. Kualuh Hilir kab. Lauhan batu utara. ( Sumatera Utara
Medan, Studi Hukum Islam Program Pasca Sarjana IAIN, 2014), h., 44
1 9
Ahmad bin Syu’aib bin Ali al-Khurasani an-Nasai, Sunan an-Nasai, (Halb: Maktab al-
Mathbu’at al-Islamiyah, T.th.), Juz 1, h., 232.
15
mengontrol diri dari pekerjaan keji dan mungkar. Karena, ketik seorang hamba
berupaya mendirikan shalat dengan kesungguhan dan rasa khusyu’ maka
dampaknya adalah mendapatkan sebuah ketenangan emosional. Dampak
emosional ini dapat mempengaruhi semua sendi dalam tatanan kehidupan alhasil,
ia mendapatkan pribadi yang lebih bijak dalam mengambil keputusan.
Shalat mengandung banyak faedah. Dengan shalat, seorang hamba
melakukan ikatan perjanjian dengan Tuhannya, menyatakan kehambaannya
kepada Allah; menyerahkan segala persoalan hanya kepada Allah, sambil
mengharap keamanan, ketenangan, dan keselamatan, yaitu jalan untuk mencapai
kemenangan, keberuntungan, dan menjauhkan diri dari segala kejahatan dan
kesalahan. Seperti dalam sabda Nabi Saw.: “Apakah engkau tidak memperhatikan
jika ada sebuah sungai yang mengalir di depan seseorang, lalu ia mandi di
dalamnya lima kali sehari semalam.” Apakah ada dakinya yang tertinggal.”
Rasulullah lalu bersabda: demikianlah perempumaan shalat lima waktu itu, Allah
menghapuskan dosa orang-orang yang melakukannya sebagaimana air mandi
menghapus segala daki yang ada di badan seseorang.2 0
2
Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, 0M.A., Menyelami Seluk-Beluk Ibadah Dalam
Islam,(Jakarta, Prenada Media, 2003) h., 180.
17
A‘shar Maghrib, dan Isya yang jika dihitung jumlah raka’at menjadi 17 rakaat.
Shalat lima waktu hukumnya wajib, dan semestinya setiap muslim melaksanakan
shalat tidak hanya sebatas menggugurkan kewajiban, tetapi merupakan sebuah
kebuTuhan, baik rohani maupun lahiriyahnya.
Shalat merupakan kewajiban yang paling besar setelah dua kalimat
syahadah. Begitu besarnya peroalan shalat ini, sehingga Rasulullah menyatakan
bahwa untuk membedakan antara seorang muslim dan seorang kafir adalah
meningglkan shalat.2 Ini berarti bahwa keislaman
1
seseorang dapat diwujudkan
dengan mengerjakan shalat.
Selain shalat wajib, ada shalat sunah. Shalat sunah adalah shalat yang
dilakukan di luar ibadah shalat wajib. Kita pun dianjurkan untuk melaksanakan
shalat sunah. Shalat wajib ibarat modal, sedangkan shalat sunah adalah
keuntungannya. Selain shalat fardhu, umat Islam juga dianjurkan untuk
melaksanakan shalat sunah. Shalat sunah pun memiliki fadhilah atau manfaat,
baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Salah satu fadhilahnya adalah
mendekatkan diri kepada Allah dan menjadikan pelakunya dicintai Allah SWT.
Firman Allah SWT Q.s. Al-Baqarah (2): 238:
2
Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, 1M.A., Menyelami Seluk-Beluk Ibadah Dalam
Islam,(Jakarta, Prenada Media, 2003) h., 180.
18
C. Pengganti Shalat
Bagi yang meninggalkan shalat bisa disebabkan dua hal, yaitu karena
kesengajaan atau ketidaksengajaan. Bagi yang meninggalkan salat secar sengaja
terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, ia meninggalkan shalat karena sengaja,
yaitu mengingkari kewajiban. Dalam hal ini para ulama sepakat bahwa orang
yang menghindar dari kewajiban shalat tanpa ada alasan apapun
Badal di ambil dari bahasa Arab yang artinya pengganti, adapun badal
shalat secara Bahasa adalah pengganti Shalat yakni pengganti shalat seseorang
yang sudah meninggal dunia. Ada beberapa perkara yang dapat mengganti shalat
seseorang yang sudah meninggal yang terjadi dan masyhur dikalangan
masyarakat yaitu Qadha dan Membayar Fidyah.
Qadha secara bahasa adalah memutuskan dan mengganti, sedangkan
menurut istilah fiqih adalah mengerjakan shalat di luar waktu yang telah
disyariatkan. Maka dapat disimpulkan bahwa shalat Qadha diartikan dengan
melaksankan shalat diluar waktu yang ditentukan sebagai pengganti shalat yang
ditinggalkan karena unsur kesengajaan, lupa, memungkinkan atau tidak
memungkinkan dalam pelaksanaan shalat tersebut.2 2
Para ulama sepakat bahwa, barang siapa yang meninggalkan shalat fardhu,
maka wajib menggantinya atau mengqadhanya. Baik ditinggalkannya secara
sengaja, lupa, tidak tahu maupun karena tertidur. Sedangkan yang sedang dalam
keadaan haid atau nifas itu tidak diwajibkan untuk menggantikan shalat, sebab,
kewajiban shalatnya gugur bagi mereka. Namun bagi mereka yang hilang akal
sebab pingsan, mabuk dan gila. Para ulama berbedaa pendapat dalam menyikapi
hal ini, diantara lain adalah:2 3
2
Qadha dan fidyah Shalat, 2iztyazzahra.wordpress.com/2016/04/15/qadha-dan-fidyah-
shalat-bagi-orang-yang-sudah-meninggal. Diakses pada tanggal 13/03/18 pada pukul 10:32 WIB
2
Muhammad Jawad M, Fiqih3Lima Mazhab, (Jakarta: Basrie Press, 1991) H.172
19
atasnya qadha shalat. Sedangkan orang yang hilang akal sebab pingsan dan gila,
maka gugur bagi mereka kewajiban mengqadha shalat dengan adanya dua
ketentuan syarat, yaitu:
1. Pingsan atau gilanya berlangsung terus menerus sampai lebih dari lima
kali waktu shalat, jika hanya lima kali shalat kurang dari itu, maka
wajib mengqadha atasnya.
2. Tidak sadar selama pingsan atau gilanya itu pada waktu shalat jika ia
sadar dan belum shalat, maka wajib qadha’.
Mazhab Maliki mengatakan bahwa pingsan tidak menggurkan qadha’.
Jadi, orang gila dan pingsan wajib mengqadha shalatnya, sedangkan orang yang
mabuk dibagi menjadi dua pendapat hukumnya:
1. Apabila mabuknya disebabkan oleh barang haram, maka ia wajib
qadha’
2. Jika disebabkan barang halal, maka tidak wajib mengqadha.
Mazhab hambali berpendapat bahwa orang yang pingsan dan mabuk
karena benda haram wajib mengqadha, sedangkan orang gila tidak wajib qadha.
Mazhab Syafii berpendapat bahwa orang gila tidak wajib untuk mengqadha apbila
gilanya menghabiskan seluruh waktu shalat.
Sedangkan Fidyah adalah memberikan makan orang miskin sebagai
pengganti seseorang yang meninggalkan kewajibannya sebagai muslim, baik itu
puasa atau shalat. Pembayaran fidyah ini sebanyak satu mud atau setara dengan 6
ons, bagi setiap shalatnya. Firman Allah Swt. Q.s. Al-Baqarah (2): 184:
ِ َّ ِ ِ ِ أ َََّيما مع ُد م
ين
َ ُخَر ۚ َو َعلَى الذ َ يضا أ َْو َعلَى َس َف مر فَع َّدةٌ م ْن أ َََّيمم أ ً ودات ۚ فَ َم ْن َكا َن مْن ُك ْم َم ِر َ َْ ً
وموا َخ ْْيٌ لَ ُك ْم ۖ إِ ْن
ُص ُ َع َخ ْ ًْيا فَ ُه َو َخ ْْيٌ لَهُ ۚ َوأَ ْن ت يُ ِطي ُقونَهُ فِ ْديَةٌ طَ َع ُام ِمس ِك م
َ ْي ۖ فَ َم ْن تَطََّو ْ
ُكْن تُ ْم تَ ْعلَ ُمو َن
Artinya: “(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara
kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
20
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.
Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah
yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.”
memutuskan bahwa:
2 4
Syaikh Abu Bakar Syatha, I’anatu Al-Thalibin, (Menara Kudus, Al-haramain, 2007),
Juz II, H.244
2
Lihat Fatwa Majelis Ulama5 Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta, dalam rapatnya
pada tanggal 19 Dzulqa’dah 1420 H., bertepatan dengan tanggal 25 pebruari 2000 M.
21
وَن
َ ين َسبَ ُق ِ َّ ِ والَّ ِذين جاءوا ِمن ب ع ِد ِهم ي ُقولُو َن ربَّنا ا ْغ ِفر لَنا و
َ ْلخ َواننَا الذ
ْ َ َ ْ ََ َ ْ َْ ْ ُ َ َ َ
وف َرِح ٌيم ِِ ِ ِ ِ
َ ين َآمنُوا َربَّنَا إِن
ٌ َُّك َرء ِ
َ ِبْلميَان َوَّل ََْت َع ْل ِف قُلُوبِنَا غل للَّذ
Artinya: “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin
dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami
dan saudara-saudara Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami,
dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati Kami
terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya
Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”
ع َخ ْ ًْيا فَ ُه َو َخ ْْيٌ لَهُ َوأَ ْن و َعلَى الَّ ِذين يُ ِطي ُقونَهُ فِ ْديَةٌ طَ َع ُام ِمس ِك م
َ ْي فَ َم ْن تَطََّو ْ َ َ
)1٨٤( وموا َخ ْْيٌ لَ ُك ْم إِ ْن ُكْن تُ ْم تَ ْعلَ ُمو َن
ُص ُ َت
Artinya: “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya
(jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi
Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati
mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan
berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”;
2 6
Ibn Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1978), Jilid 24, h., 306
23
seperti as-Subki dan Ibnu Burhan berpendapat, bahwa jika ada orang
yang sudah wafat mempunyai hutang shalat Fardlu, maka supaya
dibayarkan fidyah-nya jika mayit meninggalkan harta benda (tirkah).
Pendapat ini didukung oleh para pengikut Mazhab Hanafi. Mereka
berpendapat, jika ada orang sudah wafat mempunyai hutang Shalat
dan Puasa, maka supaya dibayar fidyah-nya kepada kaum fakir
miskin. Pembayaran fidyah tersebut diambilkan dari harta
peninggalan mayit (tirkah) atau dari harta keluarganya. Keterangan
ini dapat dibaca dalam kitab I’anatut Thalibin sebagai berikut;2 7
من مات و عليه صلة فل قضاء و َّل فدية و ف قول كجمع جمتهدين
و من ُث إختاره مجع من أئمتنا و.أهنا تقضى عنه لَب البخارى و غْيه
فعل به السبكي عن بعض أقاربه
“Barangsiapa wafat dan dia masih mempunyai hutang shalat, maka
tidak perlu di-qadla’ dan atau dibayarkan fidyah-nya. Menurut
sebagian pendapat para imam mujtahid, bahwa shalat tersebut harus
di-qadla’. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Al-Bukhâri dan yang lain. Sehubungan dengan hal itu, sebagian
ulama kita (Mazhab Syafi’i) memilih pendapat ini, bahkan Imam as-
Subki mempraktekkannya sebagai pengganti shalat yang ditinggalkan
oleh salah seorang kerabatnya”
2
Sayid Bakri Muhammad Syatha,7 Hasyiah ‘Ianatut Thalibin Ala Halli Alfadz Fath al-
Mu’in Lisyarh Qurrat al-A’in, (Beirut : Dar al-Fikr, ttH.), Juz ke-1, h., 24. Lihat juga, Wahbah az-
Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami Wa Adilatuhu, (Beirut : Dar al-Fikr, 1999), Juz ke-2, h., 134-135.
24
2 8
Muhammad Jawad M, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Basrie Press, 1991) h.,172
BAB III
KONSEP UMUM TENTANG SHALAT HADIAH
hadiyyatun" yang biasa disebut Hadiah atau Pemberian. Di dalam kamus al-
Munjid disebutkan bahwa kata هديةjamaknya adalah هداَي.2 9
تود ًدا
ُّ إكر ًاما او
َ ماأحتف به اي بعث به:اِلدية ج هداَي
“Jamak dari hadiyyah adalah hadaya: Maksudnya adalah dipersembahkan atau
dihadiahkan, yaitu mengirimkan sesuatu untuk mengharap kemuliaan atau kasih
sayang.”
Secara bahasa shalat diambil dari bahasa Arab yang berarti doa, Shalat
secara istilah adalah perbuatan yang diawali dengan takbiratul ikhram dan
diakhiri dengan salam.3 Sedangkan hadiah secara
0
bahasa adalah suatu pemberian
untuk mengembirakan seseorang karena sesuatu. Shalat Hadiah adalah shalat
yang dilakukan sebanyak dua raka’at sebagai nafal muthlaq, pada malam yang
pertama sesudah mayit dikebumikan.3 1
2 9
Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A'alam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986),
h. 860
3
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam0 (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010), h., 53
3 1
Syafi’i Hazami, Taudihul adillah, (Jakarta, Elex Media Komputindo, 2010, bagian 2)
h., 161
25
26
jihad fi sabilillah dan mencari ilmu. Rasulullah selalu mendekatkan diri kepada
Allah dengan melakukan shalat sunnah. Di dalam shalat tersusun barbagai
macam ibadah, seperti membaca AlQur'an, ruku', sujud, berdoa, merendahkan
diri, menundukkan hati, memohon, bertakbir, bertasbih, dan membaca shalawat
kepada Rasulullah.
Shalat sunah atau biasa disebut dengan “nawafil” adalah bentuk jama dari
kata nafilah yang berarti tambahan. Dilihat dari hukumnya, shalat itu ada yang
diwajibkan ada pula yang disunahkan. Shalat sunah (nawafil) itu ada yang
disunahkan mengerjakannya secara berjama’ah dan ada pula yang tidak
disunahkan untuk berjama’ah, bahkan ada yang disunahkan untuk dikerjakan di
rumah. Pada dasarnya shalat sunah itu lebih baik dikerjakan di rumah masing-
masing dari pada di masjid.
Shalat Hadiah adalah shalat sunah dua rakaat yang dilakukan setelah
mayit dikebumikan. Pada Tiap-tiap rakaat satu kali Fatihah, satu ayat kursi, satu
kali Al-Takatsur dan 10 kali surat Al-Ikhlas dan hendaklah berdoa sesudah
memberi salam.3 Alam kitab karangan2 Syekh Nawawi Al-Bantani, dalam
kitabnya Nihayat al-Zain fi Irsyad al-Mubtadiin, beliau mengutip hadis yang
menjadi dalil hukum Shalat Hadiah:
روي عن النب صلى هللا عليه وسلم أنه قال َّل أيتى على امليت أشد من الليلة
أي: فمن مل ُيد فليصل ركعتْي يقرأ فيهما. فارْحوا ِبلصدقة من ميوت,األوَل
, وأِلاكم التكاثر مرة, وآية الكرسى مرة,ِف كل ركعة منهما فاحتة الكتاب مرة
اللهم إّن صليت هذه: ويقول بعد السلم,وقل هو هللا أحد عشر مرات
اللهم ابعث ثوابا إَل قَب فلن بن فلن فيبعث هللا من,الصلة وتعلم ما أريد
3 2
Muhammad bin Umar Nawawi Al-jawi Al-bantani, Nihâyah al-Zain,(Bayruth-libanon,
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2002) h., 107
27
ساعته إَل قَبه ألف ملك مع كل ملك نور وهدية يؤنسونه إَل يوم ينفخ ف
.الصور
Artinya: “Diriwayatkan dari Rasulullah, Ia bersabda,“Tiada beban siksa
yang lebih keras dari malam pertama kematiannya. Karenanya,
kasihanilah mayit itu dengan bersedekah. Siapa yang tidak mampu
bersedekah, maka hendaklah shalat dua raka‘at. Di setiap raka‘at, ia
membaca surat Al-Fatihah 1 kali, ayat Kursi 1 kali, surat Al-Takatsur 1
kali, dan surat Al-Ikhlash 11 kali. Setelah salam, ia berdoa, ‘Allahumma
inni shallaitu hadzihis shalata wa ta‘lamu ma urid. Allahumma ‘ab’ats
tsawabaha ila qabri fulan ibni fulan (sebut nama mayit yang kita
maksud),’ Tuhanku, aku telah lakukan shalat ini. Kau pun mengerti
maksudku. Tuhanku, sampaikanlah pahala shalatku ini ke kubur (sebut
nama mayit yang dimaksud), niscaya Allah sejak saat itu mengirim 1000
Malaikat. Tiap Malaikat membawakan cahaya dan hadiah yang akan
menghibur mayit sampai hari kiamat tiba.
Secara menyeluruh, Shalat Hadiah ini adalah shalat sunah dua raka’at yang
pahala shalatnya dihadiahkan untuk mayyit yang sudah meninggal. Yang
dikhususkan pada malam pertama setelah ia dikubur, untuk meringankan siksaan
kubur. Shalat Hadiah juga memiliki nama atau penyebutan yang berbeda namun
pengertian dan maknanya yang sama yaitu :
1. Shalat Lailat al-dafn: karena malam itu adalah malam pertama mayat
dikuburkan.
2. Shalat al-Wahsyah: mengandung tiga kemungkinan ;
a. Shalat ini mengangkat mayat dari kesendiriannya di dalam kubur dan
meringankan siksaan dan keadaan mayat pada malam pertama.
b. Sebagai pemberitahuan dan cara berpisah dengan mayat, karena
dengan kepergiannya membuat sunyi hati mereka yang ditinggalkan.
c. Merupakan bukti kesetiaan orang yang hidup terhadap orang yang
telah meninggal, dan taqarrub kepada Allah dengan doa dan shalat
untuk ruhnya.
28
Jadi, secara keseluruhan baik secara bahasa dan istilah bahwa Shalat
Hadiah ini memiliki tiga sebutan yang berbeda yang yakni, shalat wahsyah,
Shalat Hadiah, dan shalat lailatuddafni. Dan Shalat Hadiah ini adalah shalat
yang sama seperti shalat sunah lainnya hanya saja dengan bacaan-bacaan yang
sudah ditentukan didalam hadist yang dijadikan dalil dan dasar hukum Shalat
Hadiah yang kemudian pahalanya dikirimkan kepada mayyit.
ُيد فليصل ركعتْي يقرأ فيهما فاحتة الكتاب وأ ية الكرسي وأ ِلاكم التكاثر
وقل هو هللا أ حد اإحدى ع ْشة مرة ويقول اللهم اإّن صليت هذه الصلة
وتعلم ما أ ريد اللهم ابعث ثوابا اإَل قَب فلن بن فلن فيبعث هللا من ساعته
اإَل قَبه أ لف ملك مع ُك ملك نَّر وهدية يؤنسونه ِف قَبه اإَل أن ينفخ ِف
الصور ويعطى هللا املصلي بعدد ما طلعت عليه الشمس حس َنت ويرفع هللا
ِ ألربعْي ألف درجة وأربعْي ألف حجة وعُرة وي
نب هللا أللف مدينة ِف اْلنة
ويعطى ثواب ألف شهيد ويكسى ألف حلة قال مؤلف الكتاب املذكور
وهذه فائدة عظيمة ينبغي لكل مسلم أن يصليها ُكل ليلة ألموات املسلمْي
Artinya: “Aku melihat dalam kitab Al-Mukhtar Wa Matholi'ul Anwar,
diriwayatkan daripada Nabi SAW. bahwasanya ia bersabda: "Tiada
beban siksa mayat yang lebih dahsyat dari malam pertama kematian.
Maka kasihanilah ia dengan bersedekah, jika tidak mampu, shalatlah
dua rakaat. Pada tiap-tiap rakaat menmbaca Al-Fatihah, Ayatul Kursi,
Alhakumuttakasur, Qulhuallahu Ahad 11 kali, lalu berdoa : Ya Allah!
Sesungguhnya aku telah lakukan shalat ini, sedang Engkau Maha
Mengetahui apa yang aku maksudkan. Ya Allah! Sampaikanlah
pahalanya kekubur si Fulan bin Fulanah, niscaya Allah Taala akan
mengirimkan pada saat itu juga seribu Malaikat, bersama tiap-tiap
Malaikat itu cahaya dan hadiah yang akan menghibur mereka
bersamanya di dalam kubur sampai ditiup sangkakala. Dan dikurniai
Allah Taala kepada yang melakukan shalat ini kebajikan sebanyak
bilangan terbitnya matahari, dan Allah Taala angkatkan baginya 40
ribu derajat, 40 ribu haji dan umrah dan dibangunkan baginya seribu
kota di dalam syurga dan diberi pahala seribu syahid dan dipakaikan
seribu persalinan. Pengarang buku tersebut mengatakan, ini adalah
suatu faedah yang sangat besar yang semestinya dilakukan oleh tiap
muslim pada setiap kematian".
30
روي عن النب صلى هللا عليه وسلم أنه قال َّل أيتى على امليت أشد من
فمن مل ُيد فليصل ركعتْي يقرأ. فارْحوا ِبلصدقة من ميوت,الليلة األوَل
وأِلاكم, وآية الكرسى مرة, أي ِف كل ركعة منهما فاحتة الكتاب مرة:فيهما
اللهم إّن: ويقول بعد السلم, وقل هو هللا أحد عشر مرات,التكاثر مرة
اللهم ابعث ثوابا إَل قَب فلن بن فلن,صليت هذه الصلة وتعلم ما أريد
فيبعث هللا من ساعته إَل قَبه ألف ملك مع كل ملك نور وهدية يؤنسونه
.إَل يوم ينفخ ف الصو
Artinya: “Diriwayatkan dari Nabi SAW. bahwa Nabi bersabda: (Akan
datang pada malam pertama mayat dikebumikan suatu keadaan yang
sangat dahsyat. Oleh kerana itu, kasihani kamulah untuk
mengurangkan keluh kesah mayat itu dengan bersedekah. Jika tidak
mampu bersedekah shalatlah 2 rakaat) bacalah padanya pada tiap-
tiap rakaat satu kali Fatihah, satu ayat Kursi, satu kali Al-Takatasur
dan 10 kali surat Al-Ikhlas, dan hendaklah berdoa sesudah memberi
salam: "Ya Allah! Sesungguhnya aku telah melaksanakan Shalat ini,
sedang Engkau Maha Mengetahui apa yang aku maksudkan. Ya Allah!
Sampaikanlah pahala Shalat ini kekubur si Fulan bin Fulan, maka
Allah akan mengirimkan ke kuburnya pada saat itu juga seribu
Malaikat, bersama tiap-tiap Malaikat itu nur dan hadiah. Dan
berbaurlah mereka itu bersamanya di dalam kubur sampai ditiup
sangkakala. Dan dalam sebuah Hadis disebutkan : Orang yang
melaksanakan Shalat tersebut akan memperoleh pahala yang banyak,
diantaranya ia tidak akan meninggalkan dunia hingga melihat
tempatnya di surga, sebagian mereka berkata: Maka berbahagialah
orang yang melaksanakan Shalat ini setiap malam dan ia memperoleh
pahala untuk tiap-tiap mayat daripada kaum muslimin, dan hanya
kepada Allahlah kita mendapat petunjuk.
3 5
Muhammad bin Umar Nawawi Al-jawi Al-bantani, Nihaayah az-Zain, (Dar Al-kotob
Al-ilmiyah, bayruth-libanon, tahun 2002), h., 107.
31
Artinya: “Ya Allah. Aku telah lakukan shalat ini, sedang engkau maha
mengetahui apa yang yang aku kehendaki. Ya Alla, kirimkan
pahalanya kepada Qubur si Pulan bin Pulan.”
4. Abdul Rahman bin Ahmad bin Abdullah bin Aliy Kafiy, dalam
karyanya Risâlah al-Kubro mengunakan dalil yang hampir sama tetapi
terdapat beberapa kata (lafaz) yang sedikit berbeda dari syekh
Nawawi al-Bantaniy. Dasar hukum yang beliau gunakan:3 7
روي عن النب صلى هللا عليه وسلم أنه قال َّل أيتى على امليت أشد من
فمن مل ُيد فليصل ركعتْي يقرأ. فارْحوا ِبلصدقة من ميوت, الليلة األوَل
وقل هو هللا, أِلاكم التكاثر مرة, وآية الكرس مرة,فيهما فاحتة الكتاب مرة
3 6
Syafi’i Hazami, Taudih al-Adillah, (Jakarta, Elex Media Komputindo, 2010, bagian 2),
h., 161
3 7
Abdul Rahman ibn Ahmad ibn Abdullah ibn Aliy Kafiy ,Risalah al-Kubro,( Darul
Khawa: 1422 H ), h., 277.
32
اللهم إّن صليت هذه الصلة وتعلم: ويقول بعد السلم,أحد عشر مرات
اللهم ابعث ثوابا إَل قَب فلن بن فلن فيبعث هللا من ساعته إَل,ما أريد
قَبه ألف ملك مع كل ملك نور وهدية يؤنسونه إَل ان ينفخ ف الصور
Diriwayatkan dari Rasulullah, Ia bersabda, “Tiada beban siksa yang
lebih keras dari malam pertama kematiannya. Karenanya, kasihanilah
mayit itu dengan bersedekah. Siapa yang tidak mampu bersedekah,
maka hendaklah sembahyang dua raka‘at. Di setiap raka‘at, ia
membaca surat al-Fatihah 1 kali, ayat Kursi 1 kali, surat at-Takatsur
1 kali, dan surat al-Ikhlash 11 kali. Setelah salam, ia berdoa,
‘Allahumma inni shallaitu hadzihis shalata wa ta‘lamu ma urid.
Allahumma ‘ab’ats tsawabaha ila qabri fulan ibni fulan (sebut nama
mayit yang kita maksud),’ Tuhanku, aku telah lakukan sembahyang
ini. Kau pun mengerti maksudku. Tuhanku, sampaikanlah pahala
sembahyangku ini ke kubur (sebut nama mayit yang di maksud),
niscaya Allah sejak saat itu mengirim 1000 Malaika, tiap malaikat
membawakan cahaya dan hadiah yang akan menghibur mayit sampai
hari kiamat tiba.”
Dari beberapa kutipan kitab yang berkaitan dengan tatacara Shalat dapat
ditarik sebuah kesimpulan tata cara Shalat Hadiah dari berbagai kitab, dan di
simpulkan oleh tesis Ahmad Mafaid Nasution yang berjudul, “pengamalan
Shalat Hadiah untuk orang yang telah meninggal di kampung mesjid kec. Kualuh
Hilir kab. Lauhan batu utara.” Setelah jenazah itu dikuburkan siangnya, 3 8
3
Ahmad mafaid nasution, 8 pengamalan Shalat Hadiah untuk orang yang telah
meninggal di kampung mesjid kec. Kualuh Hilir kab. Lauhan batu utara. ( Sumatera Utara
Medan, Studi Hukum Islam Program Pasca Sarjana IAIN, 2014) h., 61-62.
33
praktek Shalat Hadiah di Indonesia. Adapun daerah yang dipilih adalah daerah
hasil observasi tesis Ahmad Mafaid yang telah penulis paparkan, yaitu kampung
mesjid, kecamatan Kualuh Hilir Kabuparen Labuhan Utara, Sumatera Utara.
Ahmad Mafaid Nasution telah mendeskripsikan praktek Shalat Hadiah,
berikut adalah kutipan pada penelitiannya yang penulis simpulkan.
1. Bahwa pendapat tokoh agama di sana mereka mendapatkan tradisi
tersebut dengan belajar dari gurunya yang belajar cukup lama di
mekkah yaitu selama 14 tahun.
2. Kemudian praktik shalatnya sama seperti shalat pada umumnya yang
pada pembahasan sebelumnya penulis sudah paparkan.
a. Sesudah berwudlu, lalu berdirilah mengerjakan yang dimaksud
dengan lafazh/niatnya:
36
37
َح َّد َِِن: َعن إِب َرا ِه َيم ب ِن طَه َما َن قَ َال،ِ َعن َعب ِد هللا،َحدَّثَنَا َعب َدا ُن
ث ِ عن ِعمرا َن ب ِن حص م، ع ِن اب ِن ب ري َد َة،اْلسْي المكتِب
ُْي َرض َي هللاُ َعنه َ ُ َ َ َُ َ ُ ُ ُ َُ
(ص ِل ِ َّ فَسأَلت النَِّب ﷺ ع ِن، َكانَت ِِب ب و ِاسْي:قَ َال
َ : فَ َق َال،الص َلة َ َّ ُ َ ُ َ َ
)ب فَِإن َمل تَستَ ِطع فَ َعلَى َجن م،اع ًدا
ِ فَإِن َمل تَستَ ِطع فَ َق،قَائِما
ً
Artinya: “Abdan telah menceritakan kepada kami, dari 'Abdullah,
dari Ibrahim bin Thahman, beliau berkata: Al-Husain Al-Muktib
menceritakan kepadaku, dari Ibnu Buraidah, dari 'Imran bin
Hushain radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: Dulu aku terkena
penyakit wasir (ambeien). Lalu aku bertanya kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai shalat. Maka beliau
bersabda, “Shalatlah dengan berdiri. Jika engkau tidak mampu,
maka shalatlah dengan duduk. Jika engkau tidak mampu, maka
shalatlah dengan berbaring.”
c. Sebagian dari kalangan Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa hukum
Shalat itu bisa diqiyaskan dengan puasa.
3 9
Huzaemah T. Yanggo, Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Interview
Pribadi, 13 Februari 2018.
38
4 0
Sopa. Wakil Sekretaris Majelis Tarjih Muhammadiyah, Interview Pribadi, 29
November 2017.
39
ص ُل ِف الْعِبَ َادةِ البُطْ َلن َح ََّّت يَ ُد َّل الدَّلِْي ُل َعلَى األ َْم ِر
ْ َاَّل
“Hukum asal ibadah itu batal atau tidak diterima sampai ada
dalil yang memerintahkannya.";
4 1
Ibnu Qayyim al Jauziyah, I'lam al-Muwaqqi'in, (Beirut, Dar al Fikr, T,th.), Juz 1 h.,
344.
40
ِ
ۗت ْ َت َو َعلَْي َها َما ا ْكتَ َسب ْ َاَّللُ نَ ْف ًسا إََِّّل ُو ْس َع َها ۚ َِلَا َما َك َسبَّ ف ُ ََّل يُ َكل
ِ ِ ِ
صًرا َك َماْ َِخطَأْ ََن ۚ َربَّنَا َوََّل َْحتم ْل َعلَْي نَا إ
ْ َربَّنَا ََّل تُ َؤاخ ْذ ََن إِ ْن نَسينَا أ َْو أ
ِ ِ ِ ِ َْح ْلته علَى الَّ ِذ
فُ ين م ْن قَ ْبلنَا ۚ َربَّنَا َوََّل ُحتَم ْلنَا َما ََّل طَاقَةَ لَنَا بِه ۖ َو ْاع َ َ َُ َ
ِ ِ ِ
"; ينَ ص ْرََن َعلَى الْ َق ْوم الْ َكاف ِر َ َْعنَّا َوا ْغف ْر لَنَا َو ْارْحَْنَا ۚ أَن
ُ ْت َم ْوََّل ََن فَان
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan)
yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan)
yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami
tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada
kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada
orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya.
Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami.
Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum
yang kafir.” (Q.S Al-Baqarah: 286)
1. Bahwa hadis itu bukan ditinjau dari masyhurnya akan tapi dilihat dari
keabsahannya, marfu’nya, tersambung kepada Nabi Muhammad
SAW.
2. Bahwa sampai saat ini belum ada bukti dalil secara tersurat, dan
adapun dalil tersebut tidak ada sanadnya dan tidak ada rawinya, dan
dalam Ulumul Hadis, jika tidak ada sanadnya dan tidak ada perawinya
maka hadis itu disebut hadis maudu’.
42
3. Ibadah Mahdah itu harus mengikuti apa yang dicontohkan oleh Nabi
Muhammad SAW.
4. Dalam Tarjih Muhammadiyah syarat hadis itu harus maqbul, yakni
a. Rawinya adil.
b. Dhabit.
c. Ta’amu dhabdi
d. Muttashil al-sanad ghair mua’allalin wa la syadz.
5. Apabila hadisnya tidak marfu’ atau tidak sampai kepada Nabi
Muhammad tidak dibenarkan.
Dan dapat disimpulkan bahwa menurut perspektif Tarjih Muhammadiyah
praktek Shalat Hadiah ini tidak dibenarkan adanya. Wallahu a'lam bish shawab.
Secara garis besar pendapat beliau ini mewakilkan Majelis Tarjih
Muhammadiyah, dan ia berpendapat bahwa Shalat Hadiah tidaklah dibenarkan.
4 2
M Djamaluddin Miri, AHKAMUL FUQOHA Solusi Problematika Aktual Hukum
Islam: keputusan muktamar, Munas, dan konbes Nahdhatul Ulama (1926-1999), (LTN NU Jawa
Timur dan Diantama, Surabaya , 2004). h., 104
43
4 3
Syaikh Hasyim Asya’ari Pendiri NU Melarang Shalat Rebo Wekasan dan Shalat
HadiaH./www.nahimunkar.org/syaikh-hasyim-asyaari-pendiri-nu-melarang-shalat-rebo-wekasan-
dan-shalat-hadiah/01/02/2018.
4 4
Fuad Thohari ., Tokoh Ulama Nahdhatul Ulama, Interview Pribadi, 12 Maret 2018.
45
D. Analisis Komperatif
Dari beberapa hasil wawancara yang penulis lakukan kepada 3 Organisasi
Masyarakat, penulis membagi menjadi dua sudut pandang,
1. Dilihat dari sudut hukum melaksanakan Shalat Hadiah. Dalam perspektif
MUI memang tidak mengeluarkan fatwa hukumnya Dari hasil wawanclara
tersebut dapat disimpulkan bahwa Prof. Dr. Hj. Huzaemah T. Yanggo, MA
ini berpendapat, hukum melaksanakan Shalat Hadiah masih menjadi ikhtilaf
keshahihan dalilnya. Wallahu’alam Bishawwab.
2. Dr. H Sopa M.Ag. berpendapat Hadis bisa dijadikan landasan hukum apabila
hadis itu marfu’ sampai kepada rasulullah, kemudian selanjutnya dilihat hadis
itu harus maqbul. Maka dilihatlah syarat-syarat hadis maqbul menurut Tarjih
Muhammadiyah adalah sebagai berikut:
a. Rawinya adil.
b. Dhabit.
c. Ta’amu dhabdi
d. Muttashil al-sanad ghair mua’allalin wa la syadz. (Sanad yang
bersambung tanpa ada ilat dan kerancuan);
Sedangkan hadis yang termaktub tersebut adalah hadis yang sanad dan
rawinya tidak disebutkan. Kemudian juga tidak terdapat dalam kitab-
46
kitab hadis yang mu’tabarah. kendatipun ada maka perkara ini sudah
dibahas di kalangan Madzâhib arba’ah. Kemudian bagaimana hadis ini
bisa disebut dengan hadist yang marfu’ dan maqbul sedangkan rawi dan
sanadnya tidak jelas.
3. Ada sedikit perberbedaan pendapat hukum dari Bahtsul Masail Nahdhatul
‘Ulama, MUKTAMAR NAHDHATUL ULAMA KE-6 DI PEKALONGAN
di Pekalongan pada tanggal 12 Rabiuts Tsani 1350 H./ 27 Agustus 1931 M.
Dijelaskan bahwa muktamar ini menghasilkan pendapat hukum yaitu Tidak
sah shalat dengan niat tersebut. Namun jika melakukan shalat muthlak dan berdoa
sesudahnya dengan sesuatu yang mengandung semisal doa isti’adzah (mohon
perlindungan) atau istikharah (meminta petunjuk Allah untuk di pilihkan yang
terbaik) maka shalat tersebut sah-sah saja.
Dari pendapat diatas dapat disumpulkan menjadi dua kesimpulan,
pertama tidak sahnya shalat saperti yang diniatkan, kemudian dibolehkan jika
niatnya diganti dengan shalat muthlak, maka sah-sah saja. Kesimpulan hukum
yang diambil dari masing-masing ORMAS:
a. Masing-masing ORMAS ini sepakat bahwa, Shalat Hadiah ini adalah
kebiasaan yang dijadikan amalan ibadah disuatu daerah yang
dilaksanakan di malam pertama setelah mayyit dikuburkan
dikarenakan siksaan yang pedih saat malam pertama dikuburkannya.
Adapun guna melaksanakan Shalat Hadiah ini sebagai amal ibadah
yang nantinya pahalanya dapat menolong dan menghibur si mayyit di
dalam kuburnya.
b. Kemudian pendapat hukum yang telah diulas dari tiga organisasi
masyarakat ini menghasilkan keputusan yang berbeda.
c. Jika MUI berpendapat bahwa masih ikhtilaf keshahihan dalilnya
berbeda dengan Muhammadiyah. Muhammadiyah berpendapat bahwa
dalil yang dijadikan dasar hukum adalah hadis yang tidak diketahui
sanad dan rawinya. Dalilnya tidak ditemukan dalam kitab hadis yang
47
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Dari ulasan yang penulis sudah paparkan dalam penelitian. Penulis
menyimpulkan kepada dua jawaban perumusan masalah. Berikut adalah jawaban
dari perumusan masalah:
1. Bahwa tata cara Shalat Hadiah menurut Syafi’i Hazami, Niat Shalat
Hadiah dengan niat Shalat Muthlaq. kemudian sesudah itu Al Fatihah
bagi tiap rakaatnya, membaca Ayat kursi 1 kali, At-Takatsur 1 kali,
Al-Ikhlas 11 kali. Surah-surah ini dibaca setiap rakaat sesudah Al
Fatihah. Setelah selesai shalat hendaknya membaca doa sebagai
berikut:
DAFTAR PUSTAKA
Danang E. P. Skripsi Tradisi Shalat Unsil Qabri Di Desa Wonolelo Pleret Bantul
Yogyakarta, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2014
Ilmi, Fahrul, Hadis tentang sampainya hadiah pahala terhadap orang yang
meninggal dunia, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. 2008
Syatha, Muhammad. Sayid Bakri. Hasyiah ‘Ianatut Thalibin Ala Halli Alfadz Fath
al-Mu’in Lisyarh Qurrat al-A’in, Beirut : Dar al-Fikr, ttH
Muhammad bin Umar Nawawi Al-jawi Al-bantani, Nihaayah az-Zain, (Dar Al-kotob
Al-ilmiyah, bayruth-libanon, tahun 2002
Syaikh Hasyim Asya’ari Pendiri NU Melarang Shalat Rebo Wekasan dan Shalat
HadiaH ./www.nahimunkar.org/syaikh-hasyim-asyaari-pendiri-nu-melarang-
shalat-rebo-wekasan-dan-shalat-hadiah/01/02/2018 Diakses pada tanggal
13/03/18 pada pukul 10:32 WIB
53
LAMPIRAN
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta, dalam rapatnya
pada tanggal 19 Dzulqa’dah 1420 H, bertepatan dengan tanggal 25 Pebruari 2000 M,
yang membahas tentang Fidyah Shalat, setelah :
Menimbang:
1. Bahwa shalat adalah rukun Islam kedua sesudah syahadat dan merupakan
amal ibadah yang akan dihisab (diperhitungkan) pertama kali oleh Allah
SWT kelak di akhirat. Oleh karena itu umat Islam harus selalu
memperhatikan pelaksanaan shalat serta tidak meninggalkannya.
2. Bahwa sungguh pun demikian, karena satu dan lain hal ada diantara umat
Islam yang kurang sempurna dalam menjalankan ibadah shalat sehingga
ketika wafat mereka masih mempunyai hutang shalat sehingga ketika wafat
mereka masih mempunyai hutang shalat yang ditinggalkannya sewaktu masih
hidup.
3. Bahwa sebagian umat Islam menduga (berasumsi) bahkan meyakini, bahwa
hutang shalat yang ditinggalakan oleh orang yang sudah wafat dapat dibayar
dengan memberikan fidyah kepada fakir miskin. Sementara itu, sebagian yang
lain menolak pemahaman tersebut dan bahkan menilainya sebagai perbuatan
bid’ah.
4. Bahwa untuk meluruskan pemahaman sebagian umat Islam serta
menghindarkan terjadinya perselisihan yang berakibat pada lemahnya
ukhuwah Islamiyah, MUI Provinsi DKI Jakarta memandang perlu untuk
segera mengeluarkan Fatwa tentang Fidyah Shalat.
Mengingat:
55
Memutuskan:
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT dan memohon ridha-Nya memfatwakan
sebagai berikut:
1. Pada dasarnya, setiap manusia akan memperoleh balasan (pahala atau siksa)
sesuai dengan amal perbuatannya sewaktu masih hidup di alam dunia.
Mereka tidak akan mendapatkan balasan amal perbuatan yang dilakukan oleh
orang lain. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat an-Najm
ayat 39-41 :
2. Sungguh pun setiap orang hanya akan mendapat balasan sesuai dengan amal
perbuatannya, agama Islam mewajibkan orang-orang yang beriman untuk
membantu sesama orang-orang yang beriman dengan menshalatkan
jenazahnya dan mendo’akannya agar seluruh amal ibadahnya diterima Allah
56
“Kewajiban orang Islam atas orang Islam yang lain ada lima ; menjawab
salam, menengok orang sakit, mengiring jenazah (ke kuburan), memenuhi
undangan, dan mendo’akan orang yang bersin”.
Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dari sahabat
Utsman ibnu Affan RA:
ِ َوَن ِِبْلمي
ان َوَّل َ ين َسبَ ُق ِ َّ ِ والَّ ِذين جاءوا ِمن ب ع ِد ِهم ي ُقولُو َن ربَّنا ا ْغ ِفر لَنا و
َ ْلخ َواننَا الذ
ْ َ َ ْ ََ َ ْ َْ ْ ُ َ َ َ
(1٠( وف َرِح ٌيم ِِ ِ
َ ين َآمنُوا َربَّنَا إِن
ٌ َُّك َرء ِ
َ ََْت َع ْل ِف قُلُوبِنَا غل للَّذ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor),
mereka berdoa: “Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara
Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau
membiarkan kedengkian dalam hati Kami terhadap orang-orang yang
beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha
Penyayang.” QS. Al-Hasyr (59): 10
5. Para ulama berbeda pendapat tentang perlu atau tidaknya meng-qadla’ atau
membayar fidyah sebagai ganti terhadap shalat yang ditinggalkan oleh
seseorang yang telah wafat. Perbedaan pendapat ini disebabkan karena tidak
adanya satu pun nash al-Qur’an atau Hadits yang secara sharih (jelas)
menerangkan masalah ini. Yang dijelaskan di dalam al-Qur’an adalah fidyah
puasa bagi orang yang tidak mampu melaksanakannya karena tua renta atau
sakit yang kronis sebagaimana disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 184 :
ع َخ ْ ًْيا فَ ُه َو َخ ْْيٌ لَهُ َوأَ ْن …و َعلَى الَّ ِذين يُ ِطي ُقونَهُ فِ ْديَةٌ طَ َع ُام ِمس ِك م
َ ْي فَ َم ْن تَطََّو ْ َ َ
(1٨٤( وموا َخ ْْيٌ لَ ُك ْم إِ ْن ُكْن تُ ْم تَ ْعلَ ُمو َن
ُصُ َت
“(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara
kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-
hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang
58
من مات و عليه صلة فل قضاء و َّل فدية و ف قول كجمع جمتهدين أهنا تقضى عنه لَب
و من ُث إختاره مجع من أئمتنا و فعل به السبكي عن بعض أقاربه.البخارى و غْيه
“Barangsiapa wafat dan dia masih mempunyai hutang shalat, maka tidak perlu di-
qadla’ dan atau dibayarkan fidyah-nya. Menurut sebagian pendapat para imam
mujtahid, bahwa shalat tersebut harus di-qadla’. Hal ini didasarkan pada hadits
yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan yang lain. Sehubungan dengan hal itu,
sebagian ulama kita (madzhab Syafi’i) memilih pendapat ini, bahkan Imam as-Subki
mempraktekkannya sebagai pengganti shalat yang ditinggalkan oleh salah seorang
kerabatnya”
25 Pebruari 2000 M.
KOMISI FATWA
ttd ttd
ttd ttd