Anda di halaman 1dari 81

HUKUM IMAM PEREMPUAN DALAM SHALAT BERJAMAAH

(STUDI KOMPARATIF IMAM MALIK


DAN IMAM SYAFI’I)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Penelitian S1

Oleh:

RABIATUL ADAWIAH BINTI MOHD SAID


NIM : 11423206277

JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
1441 H / 2019 M
PERSEMBAHAN

JIKA HARI INI KITA MASIH BOLEH BERBICARA

MAKA BICARALAH YANG BAIK-BAIK

JIKA HARI INI KITA MASIH BOLEH BERGURAU SENDA

MAKA BERGURAULAH DENGAN PENUH KASIH SAYANG

JIKA HARI INI KITA MASIH LAGI BOLEH MENGHIRUP UDARA SEGAR

MAKA BANYAKKAN IBADAT DAN JAUHI MAKSIAT

JIKA HARI INI KITA MASIH LAGI BOLEH MEMBACA AL-QURAN

MAKA HAYATILAH MAKNA SETIAP AYAT DENGAN PENUH INSAF

JIKA HARI INI KITA MASIH LAGI BOLEH SOLAT DENGAN PENUH KHUSYUK

MAKA BANYAKKANLAH DOA JANGAN ALPA

JIKA HARI INI KITA MASIH LAGI BOLEH BERSAMA INSAN TERSAYANG

MAKA PENUHILAH DENGAN RASA KEBAIKAN DAN KENANGAN YANG TAK


TERLUPAKAN

SIAPA TAHU ESOK SEMUANYA TIADA LAGI

SIAPA TAHU ESOK KITA PULA AKAN DISOLATKAN

SIAPA TAHU ESOK KITA PULA YANG MENDENGAR

SUARA BACAAN AL-QURAN PENUH TANGISAN

SIAPA TAHU ESOK TEMPAT KITA SUDAH BERUBAH

DARI ALAM DUNIA YANG HANYA PINJAMAN

KE ALAM FANA KEKAL SELAMANYA.


ABSTRAK

Rabiatul Adawiah binti Mohd Said, (2019): Hukum Imam Wanita dalam
Shalat Berjamaah, Studi
Komperatif Imam Malik dan
Imam Syafi’i

Dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil pokok permasalahan


sebagai berikut: pertama, apa pendapat Imam Malik tentang hukum imam wanita
dalam shalat berjamaah serta apakah dalil yang digunakan. Kedua, apa pendapat
Imam Syafi’i tentang hukum imam wanita dalam shalat berjamaah serta apakah
dalil yang digunakan. Dan yang ketiga, bagaimanakah analisa fiqh muqaranah
terhadap pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang hukum imam wanita
dalam shalat berjamaah.
Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif hukum Islam dengan
menggunakan metode library research, yaitu dengan mengambil dan membaca
serta menelaah literatur-literatur yang berhubungan dengan penelitian ini. Dengan
sumber data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
dan bahan hukum tertier. Seluruh buku-buku yang berkaitan dengan sumber
hukum tersebut, penulis telaah baik dari Imam Malik dan juga Imam Syafi’i untuk
menyelesaikan persoalan ini.
Dalam Imam Malik mereka berpendapat bahwa wanita tidak
diperbolehkan menjadi imam dalam shalat berjamaah sama ada shalat fardhu
maupun shalat sunat didasari oleh dalil hadits Abi Sa’id al-Khudhri. Namun
berbeda pula dengan pendapat dari Imam Syafi’i yang membolehkan wanita
menjadi imam dalam shalat berjamaah dengan didasari oleh dalil hadits Ummu
Waraqah. Hasil kajian ini penulis mendukung kedua pendapat Imam Malik dan
Imam Syafi’i dengan menggunakan kaidah al-jam’u wa taufiq (dengan usaha
mendekatkan pengertian kedua dalil itu, maka kedua dalil yang bertentangan
menjadi tidak bertentangan sehingga masing-masing dapat digunakan pada
tempatnya).

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis sanjung tinggikan ke hadirat Allah SWT,

yang telah melimpahkan rahmat dan kurnia-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul “HUKUM IMAM WANITA DALAM

SHALAT BERJAMAAH (Studi komparatif antara Imam Malik dan Imam

Syafi’i).” Kemudian, shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad SAW yang

telah menuntun umat manusia ke arah yang di ridhai oleh Allah SWT.

Dalam menyelesaikan penulisan ini, penulis menyadari bahwa skripsi ini

tidak dapat terselesaikan tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk

itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada para

pihak yang telah banyak membantu, terutama kepada:

1. Ayahanda yang dihormati Mohd Said bin Jusoh dan bunda tercinta Rohana

binti Chik yang tidak pernah putus mendoakan penulis, adinda-adinda yang

disayangi Iskandar Zulqarnain, Mohd Haziq Aiman, Thaqifuddin, Hannan

Nabilah, dan Mus‟ab al-Khairi yang banyak membantu, serta seluruh anggota

keluarga dan saudara mara sebagai pemberi motivasi, dorongan moral dan

materil beserta doa, sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis

mendoakan semoga Allah SWT sentiasa memberkati dan merahmati

kehidupan kalian di dunia dan akhirat. Aamiin.

2. Bapak Prof. Dr. H. Akhmad Mujahidin, M.Ag selaku Rektor UIN Suska Riau

beserta jajarannya.

ii
3. Bapak Dr. H. Hajar Hasan, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum

beserta Wakil Dekan I, Wakil Dekan II dan Wakil Dekan III.

4. Bapak Darmawan Tia Indrajaya, MA selaku Ketua Jurusan Perbandingan

Mazhab Dan Hukum beserta Bapak H. Akhmal Abdul Munir, LC, MA selaku

Seketaris Ketua Jurusan.

5. Bapak H. Rahman Alwi, MA selaku pembimbing skripsi ini yang telah

membantu dan meluangkan waktu untuk memberi bimbingan, pengarahan

serta petunjuk sejak dari awal sampai selesai karya ilmiah ini.

6. Seluruh karyawan dan karyawati Perpustakaan UIN Suska Riau, Fakultas dan

Pustaka Wilayah yang memberikan fasilitas dan pelayanan dengan sebaik

mungkin dalam meminjamkan literatur-literatur yang diperlukan.

7. Bapak Marzuki, MA selaku Pembimbing Akademis penulis yang banyak

memberi nasihat dan dorongan.

8. Semua dosen Fakultas Syariah yang telah membekali ilmu sejak semester

pertama hingga akhir.

9. Bapak Afrizal S.Ag, dosen yang banyak memberi nasihat dan membimbing

penulis dalam menambah baik penulisan skripsi.

10. Tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman

seperjuangan, Laila, Maryam, Syazana, Khaleeda, Zulaikha, Nurul, Fatin,

Hadirah, Fatisa, Atiqah, Fatimoh, dan lain-lain lagi yang telah banyak

membantu dan memberi dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini baik

secara langsung maupun tidak langsung.

iii
Akhir kata, penulis amat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan, hal ini karena keterbatasan ilmu yang penulis miliki. Penulis

berharap semoga skripsi ini dapat memberi manfaat khususnya bagi penulis dan

umumnya kepada para pembaca. Akhirnya, kami memohon do‟a dan restu

semoga segala bantuan dan sumbangan fikiran tersebut tercatat sebagai amal

shaleh disisi Allah SWT, Amin Ya Rabbal „alamin.

Pekanbaru, 29 November 2019

Rabiatul Adawiah BT Mohd Said

iv
DAFTAR ISI

ABSTRAK ...................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................ 1
B. Batasan Masalah...................................................................... 11
C. Rumusan Masalah ................................................................... 11
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................ 11
E. Metode Penelitian.................................................................... 12
F. Sistematika Penulisan .............................................................. 14

BAB II BIOGRAFI IMAM MALIK DAN IMAM SYAFI’I


A. Biografi Imam Malik bin Anas (93-179 H) ............................ 16
1. Riwayat Hidup Imam Malik ............................................. 16
2. Pendidikan dan Guru-gurunya .......................................... 18
3. Karya-karya Imam Malik .................................................. 21
4. Murid-murid Imam Malik ................................................. 22
5. Metode Ijihad Imam Malik ............................................... 23
B. Biografi Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (150-204 H) ........ 24
1. Riwayat hidup Imam Asy-Syafi’i ..................................... 24
2. Pendidikan dan Guru-gurunya .......................................... 26
3. Karya-karya Imam asy-Syafi’i .......................................... 29
4. Murid-murid Imam asy-Syafi’i ......................................... 31
5. Metode Ijtihad Imam asy-Syafi’i ...................................... 33

BAB III PEMBAHASAN


A. Pengertian Shalat .................................................................... 39
B. Shalat Berjamaah..................................................................... 41
C. Pengertian Imamah dan Imam................................................. 45
D. Syarat-syarat Menjadi Imam ................................................... 45

v
E. Orang yang Paling Berhak Menjadi Imam .............................. 52
F. Mengimami Jamaah Laki-laki dan Wanita ........................... 55
G. Imamah Wanita terhadap Laki-laki ......................................... 56
H. Cara Imam Wanita Mengimami Jamaah Wanita .................... 60

BAB IV ANALISA FIQH MUQARANAH TERHADAP PENDAPAT


IMAM MALIK DAN IMAM SYAFI’I TENTANG HUKUM
IMAM WANITA DALAM SHALAT BERJAMAAH
A. Pendapat Imam Malik Serta Dalil Yang Digunakan ............... 61
1. Pendapat ........................................................................... 61
2. Dalil .................................................................................. 64
B. Pendapat Imam Syafi’i serta Dalil yang Digunakan ............... 67
1. Pendapat ........................................................................... 67
2. Dalil .................................................................................. 69
C. Analisa Fiqih Muqaran ............................................................ 72

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.............................................................................. 81
B. Saran ........................................................................................ 82

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

vi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada zaman kemajuan sekarang ini, para wanita ikut serta mengambil

bagian hampir pada semua lapangan kegiatan atau pekerjaan. Di Indonesia

terutama, ada wanita yang menjadi menteri, pemimpin perusahaan, angkatan

bersenjata, anggota permusyawaratan rakyat, pegawai negeri dan menjadi

buruh serta pembantu rumah tangga, dianggap lapisan paling bawah. 1 Wanita

sebelum Islam (masyarakat Jahiliyah) tidak memiliki peran apa pun. Dirampas

haknya, diperjual-belikan seperti budak, dan diwariskan tetapi tidak

mewarisi.2 Sebagian mereka tidak senang dengan kelahiran anak perempuan

yang dianggapnya sebagai pembawa malapetaka. Untuk menghindari

malapetaka itu, sesegera mungkin mereka menguburnya hidup-hidup. Karena

dengan begitu menurut mereka, keluarganya akan terhindar dari malapetaka.

Sebagaimana firman Allah SWT, dalam QS. An-Nahl ayat 58-59:

           

               

   

1
Hasan, M. Ali, Masail Fiqhiyah al-Haditsah pada Masalah-Masalah Kontemporer
Hukum Islami, (Jakarta: PT. Raja Granfindo Persada, 1997), h. 185.
2
M. Anis Qasim Ja‟far, Perempuan & Kekuasaan: Menelusuri Hak Politik dan Persoalan
Gender dalam Islam, (Bandung: Zaman, 1998), h. 11.

1
2

Artinya: “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran)
anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia
sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak,
disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah
dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah
akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah,
alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS. An-nahl:
58-59)

Selain itu, perempuan tidak menerima waris, melainkan dianggap

sebagai bagian harta warisan. Apabila seorang laki-laki meninggal dan

meninggalkan seorang isteri, maka isterinya dianggap sebagai harta warisan

yang diwarisi anak orang itu.3

Setelah Islam datang wanita mendapat angin segar. Mereka

diperlakukan sebagaimana layaknya manusia pada umumnya, tidak ada pilih

kasih antara pria dan wanita. Perhatian yang penuh dari al-Quran,

menunjukkan kedudukan yang tinggi yang di tempati wanita dalam pandangan

Islam. Kedudukan yang demikian itu belum pernah diperoleh kaum wanita

dalam syariat-syariat agama yang dahulu atau dalam undang-undang buatan

manusia dengan persetujuan bersama dan dipergunakan sebagai peraturan dan

hukum.4

Wanita sangat berperan dalam rangka memperbaiki kehidupan

masyarakat. Al-Quran telah menjelaskan bahwa dalam masalah sosial

kemasyarakatan, wanita mempunyai tanggungjawab yang sama sebagaimana

tanggungjawab laki-laki.5

3
QS. An-Nisa‟: 19.
4
Mahmud Syaltut, Akidah dan Syariah Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), cet. III, h.
216
5
Yusuf al-Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002),
382.
3

Islam mengajarkan kepada pemeluknya bahwa wanita dan laki-laki

setara di hadapan Allah. Berikut prinsip-prinsip kesetaraan wanita dan laki-

laki sebagaimana disebutkan Al-Quran. Wanita dan laki-laki sama-sama

sebagai hamba Allah sebagaimana firman-Nya dalam surat adz-Dzariyat ayat

56,

      


Artinya: “Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka

beribadah kepada-Ku.”

Akan tetapi dalam hal tertentu, kedudukan perempuan tidak harus

sama benar dengan kaum pria. Bukan karena kekurangan penghargaan, akan

tetapi karena kodrat perempuan yang menghendaki demikian. Sebagaimana

firman Allah SWT Qs an-Nisa‟ ayat 34.:

           

           

        

           

Artinya: “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah
telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang
lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan
nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang shalih
adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika
(suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).”

Lebih tegas lagi dinyatakan dalam Al-Quran, bahwa laki-laki tidak

sama dengan wanita, sebagaimana firman Allah Qs ali-Imran ayat 36.:


4

              

          

Artinya: “Maka ketika melahirkannya, dia berkata, “Ya Tuhanku, aku telah
melahirkan anak perempuan.” Padahal Allah lebih tahu apa yang
dia lahirkan, dan laki-laki tidak sama dengan perempuan. “Dan aku
memberinya nama Maryam, dan aku mohon perlindungan-Mu
untuknya dan anak cucunya dari (gangguan) setan yang terkutuk."

Islam sebagai agama yang diturunkan untuk umat manusia sebagai

rahmatan lil „alamin. Islam mengajarkan persamaan gender (derajat) untuk

umat manusia. Tidak ada penyebab yang menjadi sebab lebih tingginya derajat

manusia yang satu dengan yang lain, kecuali peringkat iman dan

ketaqwaannya di sisi Allah. Manusia itu berbagai macam perbedaan dan

kesamaan yang mencapai derajat yang tinggi dan akan memperoleh kemuliaan

yang tinggi di sisi Allah, tanpa melihat jenis kelamin baik itu laki-laki maupun

wanita, sebagaimana firman Allah Qs al-hujurat ayat 13.:

            

         

Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari


seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudia Kami jadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling
mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah Maha
Mengetahui, Mahateliti.”

Sedangkan orang bisa dilihat taqwa atau tidaknya itu berdasarkan

dengan shalatnya, karena shalat merupakan sebuah keharusan dan kewajiban

bagi semua umat Islam di seluruh dunia secara spiritualitas. Shalat adalah
5

jalinan (hubungan) yang kuat antara langit dan bumi, antara Allah dan hamba-

Nya. Shalat dalam Islam memiliki kedudukan yang tinggi yaitu sebagai rukun

dan tiang agama.6

Shalat dalam bahasa adalah doa sedangkan menurut istilah adalah

ibadah yang terdiri dari perkataan, perbuatan tertentu yang di awali dengan

takbir al-ihram dan di akhiri dengan salam.7

Menurut Wahbah Zuhaili definisi shalat menurut arti bahasa adalah doa atau

doa meminta kebaikan. Allah SWT berfirman dalam surat at-Taubah ayat 103,

            

     


Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah
untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman
jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui”.

Maksud dari kata ash-shalaah di sini adalah berdoa. Adapun menurut

syara‟, shalat beerti semua perkataan dan perbuatan tertentu yang dimulai

dengan takbir dan disudahi dengan salam.8

Shalat adalah ibadah pertama yang diwajibkan oleh Allah. Menurut

Kamus Al-Muhith, al-„abdiyah, al-„ubudiyah, dan al-„ibadah artinya taat. Dan

dalam Mukhtar Ash-Shihhah, makna dasar dari al-„ubudiyah adalah

ketundukan dan kepasrahan, sementara at-ta‟bid artinya kepasrahan.

6
Hilmi al-Khuli, Ajaibnya Gerakan Shalat Bagi Kesehatan Fisik dan Jiwa, (Jakarta:
Buku Kita, 2013), h. 27.
7
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Cairo: Al-Fath lia‟lam „Arobi,tt), jil. I, h. 63.
8
Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, Fiqhul Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2010),
jil. I, h. 541.
6

Dikatakan, thariq (jalan) mu‟abbad dan unta yang mu‟abbad, artinya yang

sudah disiapkan. Semua makna ini sesuai dengan isytiqaq-nya, Allah SWT

berfirman: “Masuklah dalam ibadah-Ku” (QS. Al-Fajr (89): 29) artinya

dalam kelompok-Ku, Allah menambahkan satu makna baru, yaitu loyalitas.

Sedangkan „ubudiyah artinya menampakkan ketundukan, walaupun kata

ibadah lebih dalam maknanya karena merupakan puncak ketundukan dan tidak

ada sesuatu pun yang berhak mendapat penghambaan, kecuali yang memiliki

puncak keutamaan, yaitu Allah SWT. 9

Secara garis besar ibadah itu dapat dikategorikan menjadi dua bagian,

yaitu: Ibadah mahdhah (pokok). Kelompok ibadah ini adalah segala sesuatu

yang menjadi rukun Islam, apabila hilang salah satu ibadah tersebut di saat

syarat wajib untuk melaksanakannya terpenuhi, maka akan mengakibatkan

kurang dan bahkan batalnya status keislaman seseorang. Macam ibadah ini

antara lain, shalat yang harus diawali dengan bersuci dan disertai penegasan

syahadat, puasa, zakat, dan haji. Kemudian bagian ibadah lainnya adalah

ghairu mahdhah (ibadah yang bukan pokok), atau ibadah selain hal-hal yang

tersebut di atas, namun masuk bagian ibadah apabila dilakukan dengan ikhlas

dan diawali dengan niat.10

Sebagai ibadah berpredikat tiang agama, shalat yang dilaksanakan

harus menyentuh setiap aspek ajaran Islam. Secara umum Islam mengajarkan

pentingnya memelihara hubungan dengan Allah dan sesama manusia.

Pelaksanaan shalat dapat dilakukan dengan dua cara, sendiri (fardiyah) dan

9
Prof. Dr. Su‟ad Ibrahim Shalih, Fiqh Ibadah Wanita, (Jakarta: AMZAH, 2011), h. 3.
10
Dr. Zulkifli, M. Ag, Rambu-rambu Fiqh Ibadah, (Yogyakarta: KALIMEDIA, 2016), h.
11.
7

secara jamaah. Khusus untuk shalat wajib melaksanakannya secara berjamaah

lebih utama. Rasulullah SAW mengingatkan kita tentang pentingnya shalat

berjamaah dan anjuran melaksanakannya di masjid, antara lain:11

َ َ‫ول اَللَّ ِه صلى اهلل عليه وسلم ق‬


:‫ال‬ َّ ‫; أ‬-‫ضي اَللَّهُ َعنْ ُه َما‬
َ ‫َن َر ُس‬ ِ ِ َّ ِ
َ ‫ َر‬- ‫َع ْن َع ْبد اَلله بْ ِن عُ َم َر‬
12 ِ ِ ِ ِ ‫ضل ِمن‬ ِ َ ‫(ص ََلةُ اَلْجم‬
َ ‫ص ََلة اَلَْف ِّذ ب َس ْب ٍع َوع ْش ِر‬
‫ين َد َر َجةً ) ُمتَّ َف ٌق َعلَْيه‬ َ ْ ُ َ ْ‫اعة أَف‬ ََ َ
Artinya: “Dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Shalat

berjamaah lebih baik dari pada shalat sendirian dengan 27 kali

lipat.” (Muttafaq „Alaih).

Hukum berjamaah itu, berbeda-beda sesuai dengan perbedaan jenis

shalat yang mengharuskan berjamaah.13 Dan di dalam shalat berjamaah itu

harus ada imam dan ada makmum sebagaimana yang di sampaikan oleh

baginda Nabi SAW di dalam hadis As-Syarif:

‫ قَا َل َر ُسو ُل َا ه َِّلل صىل هللا ػليه وسمل ( اه ه َما‬:‫َو َغ ْن َأ ِِب ه َُرْي َر َة ريض هللا غنه قَا َل‬
ِ
,‫ َوا َذا َر َك َع فَ ْار َك ُؼوا‬,‫ َو َْل تُ َك ِ ّ َُّبوا َح هَّت يُ َك ِ ّ ََّب‬,‫ فَا َذا َك ه ََّب فَ َك ِ ّ َُّبوا‬,‫ُج ِؼ َل َا ْْل َما ُم ِم ُي ْؤ َ هَت ِب ِه‬
, ُ‫ َانلههُ هم ِ َربهنَا َ ََل َامْ َح ْمد‬:‫ فَ ُقومُوا‬,‫ َ ِوا َذا قَا َل َ َِس َع َا ه َُّلل ِم َم ْن َ َِحدَ ُه‬,‫َو َْل تَ ْر َك ُؼِوا َح هَّت يَ ْر َك َع‬
‫ َوا َذا‬,‫ َوا َذا َص هىل قَائِ ًما فَ َصلُّوا ِق َيا ًما‬, َ‫ َو َْل ِ ت َ ْس ُجدُ وا َح هَّت ي َْس ُجد‬,‫َوا َذا ََسَدَ فَ ْاَسُدُ وا‬
‫ َو َه َذا مَ ْف ُظه َُو َأ ْص ُ ُُل ِ ِِف‬,َ‫َ ِص هىل قَا ِػ ًدا فَ َصلُّوا قُ ُؼودًا َأ ْ َْج ِؼ َني ) َر َوا ُه َأبُ ِو د َُاود‬
.14 ‫َا همص ِحي َح ْني‬
Artinya: Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya imam itu
dijadikan untuk diikuti. Maka apabila ia telah bertakbir,
bertakbirlah kalian dan jangan bertakbir sebelum ia bertakbir.
Apabila ia telah ruku', maka ruku'lah kalian dan jangan ruku'
11
Jefry Noer, Pembinaan Sumber Daya Manusia Berkualitas & Bermoral Melalui Shalat
Yang Benar, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 123.
12
Al-Imam Al-Hafiz Abul Husain Muslim Al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Saudi Arabia:
International Ideas Home, 1998), h. 522
13
Syaikh Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Panduan Lengkap Shalat, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2007), h. 314.
14
Op. Cit., h. 178.
8

sebelum ia ruku'. Apabila ia mengucapkan (sami'allaahu liman


hamidah) maka ucapkanlah (allaahumma rabbanaa lakal hamdu).
Apabila ia telah sujud, sujudlah kalian dan jangan sujud sebelum ia
sujud. Apabila ia shalat berdiri maka shalatlah kalian dengan berdiri
dan apabila ia shalat dengan duduk maka shalatlah kalian semua
dengan duduk." Riwayat Abu Dawud. Lafaznya berasal dari Shahih
Bukhari-Muslim.

Dalam memilih seorang imam, orang yang paling utama (pantas)

menjadi imam adalah orang yang paling bagus (fasih) dalam membaca Al-

Quran (mengetahui makharijul huruf yaitu tempat keluar huruf, tidak keliru

dalam melafazkannya, mampu mempraktekkan kaidah bacaan Al-Quran tanpa

kesulitan atau difasih-fasihkan), serta mengetahui ketentuan shalat dan

hukum-hukum yang terkait dengan shalat (seperti syarat-syaratnya, rukun-

rukunnya, kewajiban-kewajibannya, serta hal-hal yang dapat

membatalkannya).15 Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW,

‫ قَا َل َر ُسو ُل َا ه َِّلل صىل هللا ػليه وسمل ( ي َ ُؤ ُّم‬:‫َو َغ ْن َأ ِِب َم ْس ُؼو ٍد ريض هللا غنه قَا َل‬
‫ فَا ْن ََكهُوا ِِف‬,‫ فَا ْن ََكهُوا ِِف َامْ ِق َرا َء ِة َس َوا ًء فَأَػْلَ ُمه ُْم ِب ُّمس نه ِة‬,‫َامْ َق ْو َم َأ ْق َر ُؤ ُ ُْه ِم ِكتَ ِاب َا ه َِّلل‬
:‫ ِ َو ِِف ِر َواي َ ٍة‬- ‫ ِ فَا ْن ََكهُوا ِِف َامْهِ ْج َر ِة َس َوا ًء فَأَ ْقدَ ُمهُ ْم ِسلْ ًما‬,ً‫َا ُّمس نه ِة َس َوا ًء فَأَ ْقدَ ُمه ُْم ِِه َْرة‬
ِ
‫ َو َْل ي َ ْق ُؼ ْد ِِف بَيْ ِت ِه ػَ َىل تَ ْك ِر َم ِت ِه ا هْل‬,‫ َو َْل ي َ ُؤ هم هن َا همر ُج ُل َا همر ُج َل ِِف ُسلْ َطا ِه ِه‬-‫ِس نًّا‬
ِ 16
‫) َر َوا ُه ُم ْس ِمل‬."‫ِب ْذ ِه ِه‬
ِ
Artinya: Dari Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Yang mengimami kaum
adalah orang yang paling pandai membaca al-Qur'an di antara
mereka. Jika dalam bacaan mereka sama, maka yang paling banyak
mengetahui tentang Sunnah di antara mereka. Jika dalam Sunnah
mereka sama, maka yang paling dahulu berhijrah di antara mereka.
Jika dalam hijrah mereka sama, maka yang paling dahulu masuk
Islam di antara mereka." Dalam suatu riwayat: "Yang paling tua."
"Dan Janganlah seseorang mengimami orang lain di tempat

15
Shalaih bin Fauzan bin Abdullah Ali Fauzan, Ringkasan Fikih Syaikh Al Fauzan,
penerjemah: Kamaluddin Sahar, (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2006), h. 210.
16
Al-Imam Al-Hafiz Abul Husain Muslim Al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Saudi Arabia:
International Ideas Home, 1998), h. 264.
9

kekuasaannya dan janganlah ia duduk di rumahnya di tempat


kehormatannya kecuali dengan seidzinnya." Riwayat Muslim

Imamah merupakan tugas agama yang penting, sehingga Nabi SAW

mengangkat dirinya sebagai imam dan mengangkat para khulafaurrasyidin

sebagai imam.17 Salah satu syarat dalam shalat berjamaah adalah imamnya

harus seorang laki-laki tulen. Oleh karena itu tidak sah hukumnya shalat

fardhu berjamaah jika dipimpin oleh seorang wanita atau seorang khuntsa

(berkelamin ganda) sementara makmumnya ada yang laki-laki. Adapun jika

makmumnya semuanya wanita maka tidak disyaratkannya agar menjadi imam

mereka adalah seorang laki-laki, dan sah shalat seorang wanita yang dipimpin

oleh wanita lainnya, atau juga oleh seorang khuntsa. Hukum ini disepakati

oleh tiga madzhab selain madzhab Maliki.18

Tidak sah kepimpinan shalat seorang wanita ataupun waria kepada

laki-laki; baik dalam shalat fardhu ataupun shalat sunnah. Sedangkan jika

makmumnya adalah kaum wanita maka tidak disyaratkan imamnya harus laki-

laki, menurut mayoritas ulama. Karena itu, sah saja kepemimpinan shalat

seorang wanita untuk sesama kaum wanita, menurut mereka. Berdasarkan

hadits yang diriwayatkan dari Aisyah, Ummu Salamah dan Atha, bahwa

seorang wanita pernah mengimami kaum wanita. Ad-Daruquthni juga

17
Op. Cit., h. 209
18
Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Madzhab, penerjemah: Shofa‟u Qolbi
Djabir, Lc, MA, Dudi Rosyadi, Lc dan Rasyid Satari, Lc, (Jakarta: PUSTAKA AL-KAUTSAR,
2015), jil. II, h.12-13.
10

meriwayatkan dari Ummi Waraqah, bahwa Nabi SAW telah mengizinkannya

untuk mengimami para wanita di rumahnya.19

Imam Syafi‟i berkata: Apabila seorang wanita menjadi imam kaum

laki-laki, kaum wanita, dan sekelompok anak laki-laki, maka shalat kaum

wanita itu sah namun shalat kaum laki-laki dan sekelompok anak laki-laki

menjadi tidak sah.20 Menurut imam Malik, wanita tidak boleh menjadi imam

bagi laki-laki dan tidak pula kepada wanita dalam shalat fardhu dan shalat

sunat. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Abu Hanifah dan jumhur

fuqaha.21

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merasa tertarik untuk

membahas lebih lanjut dengan mengangkat judul “Hukum Imam Wanita

dalam Shalat Berjamaah Studi Perbandingan Imam Malik dan Imam

Syafi’i.”

B. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka rumusan masalah

yang akan diteliti adalah:

1. Apakah pendapat Imam Malik tentang hukum imam wanita dalam shalat

berjamaah serta apakah dalil yang digunakan?

2. Apakah pendapat Imam Syafi‟i tentang hukum imam wanita dalam shalat

berjamaah serta apakah dalil yang digunakan?

19
Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani,
2010), jil. I, h. 308.
20
Imam Syafi‟i Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkasan kitab Al Umm,
penerjemah: Mohammad Yasir Abd Mutholib, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2013), h. 232.
21
Al-Qadhi Abi al-Walid Sulaiman bin Khalaf bin Sa‟id bin Ayyub al-Baji, Al-Muntaqa
Syarah Muwaththa‟ Malik, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiah, 1999), jil. I, h. 203.
11

3. Bagaimana analisa fiqih muqaranah terhadap pendapat Imam Malik dan

Imam Syafi‟i terhadap hukum imam wanita dalam shalat berjamaah?

C. Rumusan Masalah

Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah hukum imam

wanita dalam shalat berjamaah studi perbandingan Imam Malik dan Imam

Syafi‟i.

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan pemasalahan yang disebutkan di atas, maka

tujuan penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui pendapat Imam Malik tentang hukum imam wanita

dalam shalat berjamaah serta dalil yang digunakan.

b. Untuk mengetahui pendapat Imam Syafi‟i tentang hukum imam wanita

dalam shalat berjamaah serta dalil yang digunakan.

c. Untuk mengetahui analisa fiqh muqaranah terhadap pendapat Imam

Malik dan Imam Syafi‟i tentang hukum imam wanita dalam shalat

berjamaah.

2. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan yang utama dari hasil penelitian ini yaitu mencapai ridha

Allah SWT, serta menambah ilmu, dan sebagai bahan informasi bagi

masyarakat Islam, baik dalam kalangan intelektual maupun dari

kalangan orang awam tentang hukum Islam. Khususnya yang


12

berkenaan dengan hukum imam wanita dalam shalat berjamaah

menurut pendapat Imam Malik dan Imam Syafi‟i.

b. Sebagai sebuah karya ilmiah, dan kiranya dapat menambah referensi

atau literatur bacaan bagi para pembaca dalam kajian fiqih dan ilmu

hukum.

c. Sebagai salah satu bacaan yang dapat mengembangkan khazanah ilmu

pengetahuan.

d. Sebagai pensyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum Islam di Fakultas

Syari‟ah dan Ilmu Hukum, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif

Kasim Riau.

E. Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian pada skripsi ini penulis mengambil

langkah-langkah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian merupakan kajian kepustakaan (library research), yakni

satu kajian yang menggunakan literatur kepustakaan dengan cara

mempelajari buku- buku, kitab- kitab, maupun informasi lainnya yang ada

relevansinya dengan ruang lingkup pembahasan.

2. Sumber Data

Penelitian ini adalah kajian kepustakaan, maka sumber data yang

digunakan adalah sumber data primer dan sumber data sekunder.

a. Data primer, sumber data yang digunakan dalam penyusunan dan

penulisan skripsi ini diperolehi melalui penyelidikan kepustakaan yaitu

dengan rujukan utama terhadap kitab fikih Imam Malik yang


13

bersumberkan daripada kitab Al-Mudawwanah dan kitab al-Umm

karangan Imam Syafi‟i.

b. Data sekunder, merupakan sumber data yang diambil literatur, buku-

buku yang ada hubungan dengan masalah penelitian seperti terjemahan

kitab al-Mudawwanah , terjemahan kitab al-Umm, kitab fikih empat

mazhab, skripsi yang mempunyai pendapat kedua imam mazhab dan

sebagainya.

c. Data tertier, merupakan karya-karya yang membahas tentang imamah

seperti Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, Ibnu Rusyd,

Shahih Fikih Sunnah, Abu Malik Kamal bin As-Sayid Salim, Fiqih

Sunnah, Muhammad Sayyid Sabiq, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Prof

Wahbah Zuhaili, dan Fikih Empat Madzhab, Syaikh Abdurrahman Al-

Jaziri.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah dengan studi library, yaitu dengan mempelajari, menganalisa

literatur-literatur yang erat hubungannya dalam masalah yang dibahas

kemudian peneliti mengklasifikasikannya sesuai dengan pokok-pokok

pemasalahan yang dibahas dengan melakukan pengutipan baik secara

langsung maupun tidak langsung pada bagian-bagian yang dapat dijadikan

sumber rujukan untuk nantinya disajikan secara sistematis.

4. Metode Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

komparatif, yaitu dengan mencari dan mengumpulkan data dari buku-


14

buku kedua Imam Mazhab mengenai pemasalahan yang dibahas,

kemudian data-data tersebut dianalisa dengan mencari dalil-dalil yang di

gunakan oleh masing- masing pendapat dan kemudian dibandingkan.

5. Metode Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode berikut:

a. Metode deduktif, yaitu menggambarkan secara umum yang ada

kaitannya dengan penulisan ini, dianalisis dan diambil kesimpulan

secara khusus.

b. Metode induktif : yaitu menggambarkan data khusus yang ada

kaitannya dengan penulisan ini. Kemudian dianalisa dan ditarik

kesimpulan secara umum.

c. Metode komparatif : yaitu membandingkan antara dua pemikiran

kemudian diambil kesimpulan dengan jalan mengkompromikan kedua

pendapat tersebut atau menguatkan salah satu dari keduanya.

F. Sistematika Penulisan

Agar penulisan laporan ini tersusun secara sistematis maka penulis

menyusun laporan ini dengan sistematika sebagaimana berikut :

BAB I : Adalah bab pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang masalah,

rumusan masalah, batasan masalah, tujuan dan kegunaan

penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, sumber

data,metode pengumpulan data, metode analisa data, metode

penulisan, dan sistematika penulisan.


15

BAB II : Di dalam bab ini menjelaskan biografi Imam Malik dan Imam

Syafi‟i, sejarah ringkas kedua imam, pendidikan dan guru-

gurunya, karya- karya, murid- muridnya serta metode

ijtihadnya.

BAB III : Bab ini menjelaskan tentang tinjauan teoritis tentang imamah

wanita dalam shalat diantaranya pengertian shalat, syarat wajib

shalat bagi wanita, syarat sah shalat bagi wanita, pengertian

imam, dasar hukum shalat berjamaah, syarat-syarat menjadi

imam, orang paling berhak untuk menjadi imam, mengimami

jamaah laki-laki dan wanita, seorang laki-laki mengimami

jamaah wanita sahaja, sebaik-baik barisan wanita, imamah

wanita terhadap laki-laki, imamah wanita terhadap jamaah

wanita, dan cara imam wanita mengimami jamaah wanita.

BAB IV : Pada bab ini berisikan hasil penelitian terdiri dari pendapat

Imam Malik serta dalil yang digunakan, pendapat Imam Syafi‟i

serta dalil yang digunakan dan analisa fiqh muqaranah terhadap

pendapat Imam Malik dan Imam Syafi‟i tentang hukum imam

wanita dalam shalat berjamaah.

BAB V : Kesimpulan dan saran yang berisikan kesimpulan dan saran.


BAB II

BIOGRAFI IMAM MALIK DAN IMAM SYAFI’I

A. Biografi Imam Malik bin Anas (93-179 H)

1. Riwayat Hidup Imam Malik

Imam Malik dilahirkan pada tahun 93 Hijrah bersamaan 712

Masihi di kota Madinah dengan nama Malik bin Anas bin Abu Amr bin

Amar bin Harits bin Ghaiman bin Kutsail bin Amr Harits al-Ashbahi al-

Humairi, Abu Abdillah al-Madani dan merupakan imam Dar Al-Hijrah.

Nenek moyang mereka berasal dari Bani Tamim bin Murrah dari suku

Quraisy. Malik adalah sahabat Utsman bin Ubaidillah At-Taimi, saudara

Thalhah bin Ubaidillah.22 Selama hidupnya tidak pernah meninggalkan

kota Madinah sampai wafatnya pada tahun 179 Hijrah bersamaan 795

Masihi, kecuali ke kota Makkah untuk menunaikan ibadah haji.23 Beliau

dilahirkan pada zaman al-Walid bin Abdul Malik dan meninggal di

Madinah pada zaman pemerintahan al-Rasyid.24

Datuknya yang kedua, Abu Amir bin Amr salah seorang sahabat

Rasulullah SAW yang ikut berperang bersama Rasulullah kecuali dalam

perang Badar. Datuk Malik yang pertama yaitu Malik bin Amar dari

golongan Tabi‟in gelarannya ialah Abu Anas. Datuknya termasuk salah

seorang penulis ayat suci, al-Quran semasa Khalifah Utsman

22
Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h.
260.
23
Zulkayandri, Fikih Muqaran, (Yogyakarta: Pelangi Aksara: 2008), h. 51.
24
Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2007),
cet. 10, h. 41.

16
17

memerintahkan supaya mengumpulkan ayat suci al-Quran dan Abdul Aziz

pernah meminta pendapatnya.25

Sejarah Anas, bapaknya Imam Malik tidak disebutkan dalam buku-

buku sejarah. Apa yang diketahui beliau tinggal di suatu tempat bernama

Zulmarwah, nama suatu tempat di padang pasir di sebelah Utara Al-

Madinah. Bapak Imam Malik bukan seorang yang biasa menuntut ilmu

walaupun demikian beliau pernah mempelajari sedikit banyak hadits-

hadits Rasulullah, beliau bekerja sebagai pembuat panah sebagai sumber

nafkah bagi hidupnya. Ibu Imam Malik bernama Al-Ghalit binti Syarik bin

Abdul Rahman bin Syarik al-Azdiyyah dan ada pula yang mengatakan

namanya Talhah. Tetapi dia lebih terkenal dengan nama yang pertama.26

Semasa hidupnya, Imam Malik dapat mengalami dua corak

pemerintahan, Umayyah dan Abbasiyah di mana terjadi perselisihan hebat

di antara dua pemerintahan. Di masa itu pengaruh ilmu pengetahuan Arab,

Persi dan Hindi (India) tumbuh dengan subur di kalangan masyarakat di

kala itu. Malik dapat melihat perselisihan antara pro-Abbasiyyah dan pro-

„Alwiyyin dan juga orang Khawarij, dan juga perselisihan antara golongan

Syi‟ah dan golongan Ahli Sunnah dan orang Khawarij. Beliau juga dapat

menyaksikan percampuran antara bangsa dan keturunan yaitu orang Arab,

Persi, Rom dan Hindi.27

25
Dr. Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, (Jakarta:
AMZAH, 2013), h. 72-73.
26
Ibid., h. 73.
27
Ibid., h. 71-72.
18

2. Pendidikan dan Guru-gurunya

Adz-Dzahabi berkata, “Malik mulai menuntut ilmu ketika umurnya

menginjak belasan tahun, sedang Malik mulai memberikan fatwa dan

memberikan keterangan tentang hukum ketika umurnya 21 tahun. Dan,

orang-orang telah mengambil hadits darinya di saat dia masih muda belia.

Orang-orang dari berbagai penjuru sudah mulai menuntut ilmu kepadanya

sejak pada akhir kekuasaan Abu Ja‟far al-Manshur. Dan orang-orang

mulai ramai menuntut ilmu kepadanya ketika pada zaman khalifah ar-

Rasyid sampai Malik meninggal.28

Beliau mempelajari ilmu pada ulama-ulama Madinah, di antara

para tabi‟in, para cerdik pandai, dan para ahli hukum agama. Guru beliau

yang pertama adalah Abdur Rahman ibnu Hurmuz, beliau dididik di

tengah-tengah mereka itu sebagai seorang anak yang cerdas pikiran, cepat

menerima pelajaran, kuat ingatan, dan teliti. Dari kecil beliau membaca al-

Quran dengan lancar di luar kepala dan mempelajari pula tentang sunnah

dan selanjutnya setelah dewasa beliau belajar kepada para ulama dan

fuqaha. Beliau menghimpun pengetahuan yang didengar dari mereka,

menghafalkan pendapat-pendapat mereka, menaqal atsar-atsar mereka,

mempelajari dengan seksama pendirian-pendirian atau aliran-aliran

mereka, dan mengambil kaidah-kaidah mereka sehingga beliau pandai

tentang semuanya itu.29

28
Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h.
260-261.
29
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h.
195.
19

Pada mulanya, imam Malik bercita-cita ingin menjadi penyanyi.

Ibunya menasihatkan supaya beliau meninggalkan cita-citanya dan

meminta beliau supaya mempelajari ilmu fiqih. Beliau menerima nasihat

ibunya dengan baik. Ibunya mengetahui beliau bercita-cita sedemikian

ibunya memberitahukan padanya: Bahwa penyanyi yang mukanya tidak

bagus tidak disenangi oleh orang banyak, oleh karena itu ibunya minta

supaya beliau mempelajari ilmu fiqih saja. Tujuan ibunya berkata

demikian ialah hendak mencegah Malik menjadi seorang penyanyi, karena

apa yang kita ketahui imam Malik adalah terkenal seorang yang tampan

wajahnya.30

Kepandaian imam Malik tentang ilmu hadits melalui pengajuan

para ahli ilmu hadits:31

a. Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi‟i berkata: “Apabila datang hadits

kepadamu dari imam Malik, maka pegang teguhlah olehmu dengan

kedua tanganmu, karena ia menjadi alasan bagimu”.

b. Juga beliau pernah berkata: “Apabila disebut-sebut ulama ahli hadits,

maka imam Malik bintangnya, dan tidak ada seorang pun yang lebih

aku percaya tentang hadits selain daripada imam Malik”.

c. Imam Abdur Rahman bin Mahdi berkata: “Saya belum pernah

mendahulukan seorang pun tentang shahihnya hadits daripada imam

Malik”. Beliau juga berkata: “Tidak ada di muka bumi ini seorang pun

30
Dr. Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, (Jakarta:
AMZAH, 2013), h. 74.
31
M. Ali Hasan, op. cit.,h. 196.
20

pada masa itu yang lebih dipercayai tentang hadits selain imam

Malik”.

d. Imam Yahya bin Mu‟in pernah berkata: “Imam Malik adalah seorang

raja bagi orang-orang yang beriman tentang ilmu hadits, yakni seorang

yang tertinggi tentang ilmu hadits”.

Di waktu imam Malik menuntut ilmu, beliau mempunyai guru

banyak. Kitab “Tahzibul-asma Wallughat” menerangkan bahwa imam

Malik pernah belajar kepada sembilan ratus orang syeikh. Tiga ratus

darinya golongan tabi‟in dan enam ratus lagi dari tabi‟-tabi‟in. Mereka

semua adalah orang yang terpilih dan cukup dengan syarat-syarat yang

dapat dipercaya dalam bidang agama dan hukum fiqih.32

Imam Malik berguru dengan Abdur Rahman ibnu Hurmuz selama

kurang lebih tujuh tahun. Dalam masa tersebut beliau tidak pernah pergi

belajar kepada guru yang lain. Beliau pernah memberi buah kurma kepada

anak-anaknya Abdur Rahman dengan tujuan supaya mereka

memberitahukan pada mereka yang hendak datang menemui imam Malik

bahwa imam Malik sedang sibuk. Tujuan beliau ialah supaya Syeikh

Abdur Rahman dapat mencurahkan waktu untuknya dengan itu dapatlah

beliau leluasa mempelajari sebanyak yang beliau sukai. Kadangkala beliau

belajar dengan Syeikh itu satu hari penuh.33

Antara lain syeikh-syeikhnya ialah Rabi‟ah bin Abdul Rahman

Furukh. Beliau berguru padanya ketika masih kecil. Sebagai buktinya

32
Dr. Ahmad Asy-Syurbasi, op. cit., h. 75-76.
33
Ibid., h. 76.
21

ialah ucapannya terhadap ibunya: “Aku pergi dan aku menulis pelajaran”.

Ibunya menyiapkan pakaian yang lengkap dengan kain sorban serta

menyuruh beliau hadir ke rumah Rabi‟ah untuk belajar menulis. Ibunya

meminta ia belajar ilmu akhlak dari Rabi‟ah sebelum mempejari ilmu-ilmu

yang lain. Malik mematuhi perintah ibunya.34

Di antara gurunya lagi ialah, Nafi‟i Auli Abdullah, Ja‟far bin

Muhammad al-Baqir, Muhammad bin Muslim az-Zuhri, Abdul Rahman

bin Zakuan, Yahya bin Said al-Ansari, Abu Hazim Salmiah bin Dinar,

Muhammad bin al-Munkadir dan Abdullah bin Dinar, dan masih banyak

lagi dari golongan at-Tabi‟in sebagaimana yang diterangkan oleh an-

Nawawi.35

3. Karya-karya Imam Malik

Para penulis buku biografi berkata, bahwa imam Malik memiliki

buku dalam berbagai bidang, antaranya bidang perbintangan, berhitung

dan ilmu falak, buku-buku ini disifati oleh mereka sebagai buku yang baik

dan sangat bermanfaat sehingga banyak dijadikan rujukan dalam kurun

waktu yang cukup lama. Beliau juga memiliki buku dalam bidang tafsir

yaitu At-Tafsir li gharib al-Quran. Beliau juga mengarang booklet kecil

yaitu “Risalah kepada Ibnu Wahab” dalam bidang tauhid, buku Imam

Malik yang paling terkenal adalah “Kitab al-Muwaththa‟”, yang artinya

34
Ibid.
35
Ibid.
22

“al-Muyassir” atau “al-Musahhil” atau yang mempermudah. Buku ini

pada akhirnya menjadi yang paling valid setelah al-Quran.36

Dalam suatu riwayat dikatakan, bahwa imam Malik menghimpun

hadits Nabi selama empat puluh tahun dan dalam suatu riwayat lagi ada

yang menyatakan bahwa imam Malik telah hafal seratus ribu hadits dan

beliaulah orang yang paling hafal hadits Nabi. Kemudian hadits-hadits

yang banyak itu beliau sedikit lebih lanjut dan beliau periksa lebih dalam

lagi, sehingga dari hadits yang sekian banyak itu tinggal sepuluh ribu pun

masih beliau teliti dan beliau cocokkan dengan al-Quran dan akhirnya

hanya lima ribu haditslah yang beliau himpun kemudian hadits-hadits itu

disusun dalam bentuk sebuah buku yang diberi nama kitab al-

Muwaththa‟.37

Imam Malik juga berkata, “Aku telah memperlihatkan kitabku ini

kepada 70 ulama fikih yang ada di Madinah, mereka semua memberikan

masukan dan menyetujuinya (watha‟a), maka aku menamakannya dengan

al-Muwaththa‟.38

4. Murid-murid Imam Malik

Kebanyakan imam-imam yang termasyhur pada zaman imam

Malik adalah murid beliau dan murid-muridnya datang dari berbagai

penjuru negeri. Oleh karena itu beliau tinggal di Madinah, maka keadaan

36
Syaikh Muhammad Al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2005), h. 44.
37
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h.
198.
38
Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h.
275.
23

ini dapat memberi kesempatan yang baik kepada orang-orang yang naik

haji yang datang menziarah makam Rasulullah SAW menemui beliau. Di

samping itu pula disebabkan umurnya sudah meningkat sembilan puluh

tahun.39

Telah diceritakan dari imam Malik bahwa di antara murid-

muridnya ialah guru-guru dari golongan tabi‟in mereka itu ialah az-Zuhri,

Ayub asy-Syakh-fiyani, Abul Aswad, Rabi‟ah bin Abi Abdul Rahman,

Yahya bin Said al-Ansari, Musa bin „Uqbah dan Hisyam bin „Arwah. Dan

golongan bukan tabi‟in ialah Nafii‟ bin Abi Nu‟im, Muhammad bin Ajlan,

Salim bin Abi Umaiyyah, Abu an-Nadri, Maula Umar bin Abdullah dan

lain-lainnya. Dari sahabatnya yaitu Sufyan ath-Thauri, Al-Liat bin Sa‟d,

Hamad bin Salamah, Hamad bin Zaid, Sufyan bin Uyainah, Abu Hanifah,

Abu Yusuf, Syarik ibnu Lahi‟aj dan Ismail bin Kathir dan lain-lain. Di

antara murid-muridnya juga ialah Abdullah bin Wahab, Abdul Rahman

ibnu al-Qasim, Asyhab bin Abdul Aziz, Asad bin al-Furat, Abdul Malik

bin al-Majisyun dan Abdullah bin Abdul Hakim.40

5. Metode Ijihad Imam Malik

Abu Zahrah merumuskan secara ringkas sistematika sumber hukum

mazhab Maliki yang dijelaskan Qadi „Iyadh dalam kitab al-Madarik dan

penjelasan Rasyid dari kalangan fuqaha‟ Malikiyyah dalam kitab al-

Bahjah, sebagai berikut:

39
Dr. Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, (Jakarta:
AMZAH, 2013), h. 89-90.
40
Ibid., h. 90.
24

a. Al-Kitab
b. Al-Sunnah
c. Amal Ahli Madinah.
d. Fatwa Shahabat
e. Al-Qiyas
f. Maslahah Mursalah
g. Istihsan
h. Adz-Dzari‟ah.41

B. Biografi Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (150-204 H)

1. Riwayat hidup Imam Asy-Syafi‟i

Imam Asy-Syafi‟i berasal usul dari Idris, ayah Asy-Syafi‟i, bin

Abbas bin Utsman bin Syafi‟i, tinggal di tanah Hijaz, ia adalah keturunan

Arab dari kabilah Quraisy. Kita tidak mengetahui banyak informasi

tentang Idris ini kecuali bahwa dia menikah dengan Fathimah Al-

Azdiyyah salah satu kabilah di Yaman; yang hidup dan menetap di Hijaz.

Semenjak kecil dia (Fathimah) merupakan gadis yang banyak beribadah,

memegang agamanya dengan kuat dan sangat taat kepada Rabb-Nya. Dia

juga dikenal sangat cerdas dan mengetahui seluk beluk Al-Quran dan As-

Sunnah; baik ushul maupun furu‟ (cabang).42

Nama lengkap Imam Asy-Syafi‟i adalah Muhammad bin Idris bin

Al-Abbas bin Utsman bin Syafi‟i bin As-Saib bin Ubaid bin Abdi Yazid

bin Hashim bin Al-Muthalib bin Abdul Manaf bin Qushay bin Kilab bin

Murrah bin Ka‟ab bin Lu‟ai bin Ghalib. Nama panggilannya adalah Abu

41
Zulkayandri, Fiqh Muqaran, (Program Pascasarjana UIN Suska Riau, 2008), cet. ke-1,
h. 55-56.
42
Syaikh Muhammad Al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2003), h. 59.
25

Abdillah.43 Abd. Al-Manaf ibn Qushay kakek kesembilan dari Imam Asy-

Syafi‟i adalah Abd Manaf ibn Qushay kakek keempat dari Nabi

Muhammad SAW. Jadi nasab Imam Syafi‟i bertemu dengan nasab Nabi

Muhammad SAW pada Abd Manaf. Adapun nasab Imam Syafi‟i bin

Fathimah binti Abdullah ibn Hasan ibn Husen ibn Ali ibn Abi Thalib.

Dengan demikian, maka ibu Imam Syafi‟i adalah cucu dari Sayyidina Ali

ibn Abi Thalib, menantu Nabi Muhammad SAW dan khalifah keempat

yang terkenal. Dalam sejarah ditemukan, bahwa Saib ibn Yazid, kakek

Imam Syafi‟i yang kelima adalah sahabat Nabi Muhammad SAW. 44

Beliau dilahirkan pada bulan Rajab di Ghazzah Palestina pada

tahun 150 Hijrah bersamaan dengan 767 Masihi, yaitu pada tahun

wafatnya Abu Hanifah.45 Beliau meninggal dunia pada 204 Hijrah

bersamaan dengan 821 Masihi ketika berusia 54 tahun setelah berada di

sana selama 6 tahun.46 Ayah beliau meninggal dunia saat itu umur Asy-

Syafi‟i belum menginjak dua tahun. Beliau kemudian dibesarkan dan

dididik oleh ibunya. Ibunya melihat bahwa jika tetap tinggal di Ghazzah

maka sambungan nasabnya kepada Quraisy akan hilang, di samping iu,

akan terhalangi untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Maka dia

memutuskan untuk membawa Asy-Syafi‟i ke Makkah Al-Mukarramah,

43
Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h.
355.
44
Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos,
1997), h. 121.
45
Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2007),
cet. 10, h. 44.
46
Zulkifli Ahmad, Pendidikan Al-Quran dan As-Sunnah, (Kelantan: Pustaka Media Jaya,
2006), h. 334.
26

dan tinggal di sebuah kampung di sana dekat Masjid Al-Haram, yang

disebut kampung Al-Khaif.47

2. Pendidikan dan Guru-gurunya

Asy-Syafi‟i dibesarkan dalam kondisi yatim dan fakir, hidup atas

bantuan keluarganya dari kabilah Quraisy, namun bantuan yang beliau

dapatkan sangat minim, tidak cukup untuk membayar guru yang bisa

mengajarkan tahfidz Al-Quran serta dasar-dasar membaca dan menulis.

Karena kefakirannya sering memungut kertas-kertas yang telah dibuang

kemudian dipakainya untuk menulis.48 Namun karena sang guru melihat

kecerdasan Asy-Syafi‟i serta kecepatan hafalannya, ini menyebabkannya

dibebaskan dari bayaran.49 Imam asy-Syafi‟i dapat menghafal Al-Quran

dengan mudah, yaitu ketika beliau masih kecil dan beliau menghafal serta

menulis hadits-hadits. Beliau sangat tekun mempelajari kaidah-kaidah dan

nahwu bahasa Arab. Untuk tujuan itu beliau pernah mengembara ke

kampung-kampung dan tinggal bersama puak (kabilah) “Huzail” lebih

kurang sepuluh tahun, lantaran hendak mempelajari bahasa mereka dan

juga adat istiadat mereka.50

Ketika beliau tinggal bersama kabilah Huzail di al-Baadiyah, satu

kabilah yang terkenal dengan kefasihan bahasa Arabnya, Imam asy-Syafi‟i

banyak mempelajari dan menghafal syair mereka. Imam Syafi‟i adalah

47
Syaikh Muhammad Al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2003), h. 61.
48
Prof. H. A. Djazuli, Ilmu Fiq: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum
Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), cet. 7, h. 129.
49
Syaikh Muhammad Al-Jamal, loc. cit.
50
Dr. Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, (Jakarta:
AMZAH, 2013), h. 143.
27

tokoh bahasa dan sastra Arab. Al-Ashmu‟i pernah berkata bahwa syair

Hudzail telah diperbaiki oleh seorang pemuda Quraisy bernama

Muhammad bin Idris. Ini jelas menunjukkan bahwa dia adalah imam

dalam bidang bahasa Arab dan memainkan peranan penting dalam

perkembangannya.51 Di samping mempelajari ilmu pengetahuan beliau

mempunyai kesempatan pula mempelajari memanah, sehingga beliau

dapat memanah sepuluh batang panah tanpa melakukan satu kesilapan.

Beliau pernah berkata: Cita-citaku adalah dua perkara: panah dan ilmu,

aku berdaya mengenakan target sepuluh dari sepuluh. Mendengar

percakapan itu orang yang bersamanya berkata: “Demi Allah bahwa

ilmumu lebih baik dari memanah.”52

Imam asy-Syafi‟i belajar di Makkah kepada muftinya, yaitu imam

Muslim bin Khalid al-Zanji hingga Imam asy-Syafi‟i mendapat izin untuk

memberikan fatwa. Pada masa itu, Imam asy-Syafi‟i baru berumur kira-

kira 15 tahun. Setelah itu, beliau pergi ke Madinah. Di sana beliau menjadi

murid Imam Malik bin Anas. Beliau belajar dan menghafal al-Muwaththa‟

hanya dalam masa sembilan malam saja. Dalam suatu riwayat disebutkan

bahwasanya Imam Malik berkata kepada Imam asy-Syafi‟i,

“Sesungguhnya Allah SWT telah menyinari hatimu dengan nur-Nya, maka

jangan padamkan nur-Nya dengan berbuat maksiat.”53 Dia juga

51
Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2007),
cet. 10, h. 44.
52
Dr. Ahmad Asy-Syurbasi, op. cit., h. 144.
53
Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h.
359.
28

meriwayatkan hadits dari Sufyan bin Uyainah, Fudhail bin Iyadh, dan

pamannya, Muhammad bin Syafi‟i serta lain-lain.54

Setelah berguru kepada Imam Malik, Imam asy-Syafi‟i lalu pindah

ke Yaman, kemudian ke Baghdad pada tahun 182 Hijrah dan ke Baghdad

untuk kedua kalinya pada tahun 195 Hijrah. Beliau telah mempelajari

kitab fuqaha Iraq dari Muhammad ibnul Hassan. Beliau juga mengadakan

perbincangan dan pertukaran pendapat dengan Muhammad ibnul Hassan.

Perbincangan ini sangat menggembirakan ar-Rasyid. Di Baghdad beliau

memberikan pelajaran kepada murid-muridnya. Di antara muridnya yang

sangat terkenal adalah Ahmad Ibn Hanbal yang sebelumnya pernah

bertemu dengan Imam asy-Syafi‟i di Makkah pada tahun 187 Hijrah dan

di Baghdad pada tahun 195 Hijrah. Beliau belajar ilmu fiqih dan usul fiqih

serta ilmu nasikh dan mansukh Al-Quran dari Imam asy-Syafi‟i. Dia wafat

di Mesir dalam keadaan syahid karena ilmu pada akhir bulan Rajab, hari

Jumaat tahun 204 Hijrah. Dia dimakamkan di al-Qarafah setelah Asar

pada hari yang sama. Semoga Allah SWT merahmatinya.55

Guru-guru Imam asy-Syafi‟i:56

a. Muslim bin Khalid az-Zanji, Mufti Makkah tahun 180 Hijrah yang

bertepatan dengan tahun 796 Masihi, ia adalah maula (budak) Bani

Makhzum.

54
Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2007),
cet. 10, h. 44.
55
Ibid. h. 44-45.
56
Imam Syafi‟i Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkasan Kitab al-Umm, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2004), h. 4-5.
29

b. Sufyan bin Uyainah al-Hilali yang berada di Makkah, ia adalah salah

seorang yang terkenal ke-tsiqah-annya (jujur dan adil).

c. Ibrahim bin Yahya, salah seorang ulama Madinah.

d. Malik bin Anas. Imam asy-Syafi‟i pernah membaca kitab al-

Muwaththa‟ kepada Imam Malik setelah ia menghafalnya di luar

kepala, kemudian ia menetap di Madinah sampai Imam Malik wafat

tahun 179 Hijrah, bertepatan dengan tahun 795 Masihi.

e. Waki‟ bin Jarrah bin Malih al-Kufi.

f. Hammad bin Usamah al-Hasyimi al-Kufi.

g. Abdul Wahhab bin Abdul Majid al-Bashri.

3. Karya-karya Imam asy-Syafi‟i

Di antara karya-karya imam asy-Syafi‟i adalah:57

a. Kitab al-Umm. Setelah Imam asy-Syafi‟i meninggal, para muridnya

mengumpulkan beberapa pelajarannya untuk disatukan menjadi satu

kitab. Dugaan paling kuat bahwa kumpulan tersebut diberi nama Al-

Umm merujuk pada generasi kedua. Sebuah pembahasan dan telaah

panjang dilakukan guna mengungkap tentang siapakah sebenarnya

orang yang telah membuat dan menyeleksinya hingga menjadi buku

dengan nama Al-Umm ini.

b. Kitab As-Sunan Al-Ma‟tsurah. Kitab ini adalah riwayat Ismail bin

Yahya Al-Muzni yang telah sukses dicetak di Haidar Abad, Al-

Qahirah pada tahun 1315 Hijrah.

57
Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h.
376-377.
30

c. Kitab ar-Risaalah. Kitab ini menjelaskan tentang masalah ushul fiqh.

Kitab ini diberi nama ar-Risaalah karena Imam asy-Syafi‟i menulisnya

untuk menjawab surat yang berisi permintaan dari Abdurrahman bin

Mahdi. Dalam Bahasa Arab, ar-Risaalah mempunyai arti surat. Kitab

ini telah ditahkik Ahmad Syakir dan terbit di Kairo pada tahun 1940

Masihi.

d. Kitab Musnad. Dalam kitab ini disebutkan hadits-hadits yang telah

dikumpulkan Abul Abbas Ibnu Muhammad bin Ya‟qub Al-Asham dari

karya Imam asy-Syafi‟i yang lain. Kitab Musnad ini dicetak menjadi

satu dengan kitab Al-Umm.

e. Kitab Ikhtilaf Al-Hadits yang dicetak menjadi satu dengan kitab Al-

Umm.

f. Kitab Al-Aqidah.

g. Kitab Ushul Ad-Din wa Masa‟il As-Sunnah.

h. Kitab Ahkam Al-Quran. Kitab ini setelah ditahkik oleh Al-Ithar

menjadi dua juz.

i. Kitab Masa‟il fi Al-Fiqh Sa‟alaha Abu Yusuf wa Muhammad bin Al-

Hasan Asy-Syaibani li Asy-Syafi‟i wa Ajwibatuha.

j. Kitab As-Sabaq wa Ar-Ramyu.

k. Kitab Washiyah.

l. Kitab Al-Fiqh Al-Akbar yang telah dicetak di Kairo pada tahun 1900

Masihi.
31

4. Murid-murid Imam asy-Syafi‟i

Di antara murid Imam asy-Syafi‟i yang paling terkenal di Hijaz ada

empat orang:58

a. Muhammad bin Idris. Ia biasa dijuluki Abu Bakar. Namanya sama

dengan nama gurunya. Ia selalu menemani Syafi‟i ke mana pun pergi

dan banyak meriwayatkan darinya.

b. Ibrahim ibn Muhammad ibn al-Abbas ibn Utsman ibn Syafi‟ al-

Muththalibi. Julukannya adalah Abu Ishaq. Ia sepupu Imam asy-

Syafi‟i.

c. Musa ibn Abi al-Jarud al-Makkiy (Abu al-Walid). Ia adalah seorang

mufti kota Makkah yang kualitas keagamaan, amanat, dan

kewarakannya diakui semua orang. Ia juga terkenal banyak menghafal

catatan dan tulisan Imam asy-Syafi‟i.

d. Imam Abu Bakar al-Humaidi. Ia adalah seorang ahli fikih dan ahli

hadits yang terpercaya. Dia termasuk orang alim yang memiliki

keutamaan. Ia banyak belajar dari Imam asy-Syafi‟i bahkan menjadi

pengikut setianya.

Di antara sahabat Imam asy-Syafi‟i dan pengikutnya di Irak


adalah:59

a. Imam Ahmad ibn Hanbal. Ia adalah pemuka ahli hadits pada zamannya

yang keilmuannya tidak diragukan oleh para pengikut dan

58
Dr. Tariq Suwaidan, Biografi Imam Syafi‟i, (Jakarta: Zaman, 2007), h. 273-275.
59
Ibid., h. 276-282.
32

penentangnya yang memiliki pandangan objektif. Ia termasuk murid

Syafi‟i yang paling menonjol dan paling banyak menemaninya.

b. Ibrahim ibn Khalid al-Kalbi (Abu Tsaur). Abu Tsaur termasuk orang

yang paling utama dalam ilmu fikih, tentang halal dan haram. Dia

sangat loyal kepada Imam asy-Syafi‟i, walau ia memiliki fikih

tersendiri.

c. Muhammad ibn al-Hassan ibn al-Shabah al-Za‟farani (Abu Ali). Abu

Ali adalah imam ketiga yang termasuk murid Imam asy-Syafi‟i di Irak.

Ia seorang imam yang sangat mulia, seorang ahli fikih dan ahli hadits,

fasih, terpercaya, dan konsisten.

d. Abu Abdurrahman Ahmad ibn Muhammad ibn Yahya al-Asy‟ari al-

Bashri. Ia adalah murid yang paling terobsesi dengan Imam asy-Syafi‟i

dan paling terpengaruh oleh kepribadiannya. Ia juga orang yang paling

membela Imam asy-Syafi‟i, khususnya setelah sang imam pergi dari

Irak dan tinggal di Mesir.

e. Abu Ali al-Husain ibn Ali ibn Yazid al-Karabisi. Dia termasuk ulama

besar yang ditinggalkan Imam asy-Syafi‟i di Baghdad dan salah satu

dari empat orang yang meriwayatkan fikih Syafi‟i di Irak.

Di antara sahabat dan pengikut Imam asy-Syafi‟i yang menjadi

muridnya di Mesir adalah:60

a. Abu Ya‟qub Yusuf ibn Yahya al-Buwaithi. Ia adalah murid pertama

Imam asy-Syafi‟i di Mesir. Namanya dinisbahkan kepada Buwaithi,

60
Ibid., h. 284-294.
33

desa di Mesir. Al-Buwaithi merupakan sahabat Imam asy-Syafi‟i yang

paling utama dari Mesir.

b. Al-Rabi‟ ibn Sulaiman Abu Muhammad. Al-Rabi‟ adalah imam kedua

dari Mesir yang menjadi murid Imam asy-Syafi‟i.

c. Al-Rabi‟ ibn Sulaiman al-Jizi. Ia termasuk murid Imam asy-Syafi‟i

yang berasal dari daerah Giza. Julukannya adalah Abu Muhammad.

d. Sulaiman ibn Yahya ibn Ismail al-Muzanni. Ia adalah seorang imam

besar dan mulia. Ia salah seorang murid Syafi‟i dan bergelar Abu

Ibrahim dari Mesir. Ia pendukung mazhab Syafi‟i yang sangat loyal,

ahli fikih, dan ahli debat.

e. Yunus ibn Abdul A‟la al-Shadafi. Ia termasuk tokoh murid Imam asy-

Syafi‟i di Mesir. Ia bagaikan ensiklopedia berjalan di bidang agama.

f. Harmalah ibn Yahya ibn Harmalah at-Tajibi. Ia adalah imam terakhir

yang ditinggal Imam asy-Syafi‟i di Mesir. Ia banyak meriwayatkan

banyak kitab dari Syafi‟i.

g. Muhammad ibn Abdullah ibn Abdul Hakam. Ia termasuk salah seorang

murid Imam asy-Syafi‟i yang bergelar Abu Abdullah. Ia menjadi

pengikut setia Imam asy-Syafi‟i.

5. Metode Ijtihad Imam asy-Syafi‟i

Pokok-pokok pikiran imam asy-Syafi‟i dalam mengistinbathkan

hukum adalah:61

61
Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandinagn Mazhab, (Jakarta: Logos,
1997), h. 128-131.
34

a. Al-Quran dan Sunnah.

Imam asy-Syafi‟i memandang al-Quran dan Sunnah berada

dalam satu martabat. Beliau menempatkan al-Sunnah sejajar dengan al-

Quran, karena menurut beliau, Sunnah itu menjelaskan al-Quran,

kecuali hadits ahad tidak sama nilainya dengan al-Quran dan hadits

mutawatir. Di samping itu, karena al-Quran dan Sunnah keduanya

adalah wahyu, meskipun kekuatan Sunnah secara terpisah, tidak sekuat

seperti al-Quran.

Imam asy-Syafi‟i dalam menerima hadits ahad mensyaratkan

sebagai berikut:

1) Perawinya terpercaya. Ia tidak menerima hadits dari orang yang

tidak dipercaya.

2) Perawinya berakal, memahami apa yang diriwayatkannya.

3) Perawinya dhabith (kuat ingatan).

4) Perawinya benar-benar mendengar sendiri hadits itu dari orang

yang menyampaikan kepadanya.

5) Perawi itu tidak menyalahi para ahli ilmu yang juga meriwayatkan

hadits itu.

b. Ijma‟62

Imam asy-Syafi‟i mengatakan, bahwa ijma‟ adalah hujjah dan

ia menempatkan ijma‟ sesudah al-Quran dan Sunnah sebelum qiyas.

Imam asy-Syafi‟i menerima ijma‟ sebagai hujjah dalam masalah-

62
Ijma‟ adalah kesepakatan para ulama di satu masa terhadap satu hukum yang bersifat
praktis berdasarkan dalil yang menjadi sandaran mereka.
35

masalah yang tidak diterangkan dalam al-Quran dan Sunnah. Ijma‟

menurut pendapat imam asy-Syafi‟i adalah ijma‟ ulama pada suatu

masa di seluruh dunia Islam, bukan ijma‟ suatu negeri saja dan bukan

pula ijma‟ kaum tertentu saja. Namun imam asy-Syafi‟i mengakui,

bahwa ijma‟ sahabat merupakan ijma‟ yang paling kuat. Imam asy-

Syafi‟i berteori, bahwa tidak mungkin segenap masyarakat Muslim

bersepakat dalam hal-hal yang bertentangan dengan al-Quran dan

Sunnah.

Ijma‟ yang dipakai imam asy-Syafi‟i sebagai dalil hukum itu

adalah ijma‟ yang disandarkan kepada nash atau ada landasan riwayat

dari Rasulullah SAW. Secara tegas ia mengatakan bahwa ijma‟ yang

berstatus dalil hukum itu adalah ijma‟ sahabat. Imam asy-Syafi‟i hanya

mengambil ijma‟ sharih sebagai dalil hukum dan menolak ijma‟ sukuti

menjadi dalil hukum. Alasannya menerima ijma‟ sharih, karena

kesepakatan itu disandarkan kepada nash dan berasal dari semua

mujtahid secara jelas dan tegas sehingga tidak mengandung keraguan.

Sementara alasannya menolak ijma‟ sukuti, karena tidak merupakan

kesepakatan semua mujtahid. Diamnya sebagian mujtahid menurutnya

belum tentu menunjukkan setuju.

c. Qiyas63

Imam asy-Syafi‟i menjadikan qiyas sebagai hujjah dan dalil

keempat setelah al-Quran, Sunnah dan ijma‟ dalam menetapkan


63
Qiyas adalah menyamakan satu kasus yang hukumnya tidak tertulis dalam nash dengan
kasus lain yang hukumnya tertulis dalam nash dengan melihat kesamaan „illah hukum di antara
keduanya.
36

hukum. Imam asy-Syafi‟i adalah mujtahid pertama yang

membicarakan qiyas dengan patokan kaidahnya dan menjelaskan asas-

asasnya. Sebagai dalil penggunaan qiyas, imam asy-Syafi‟i

mendasarkan pada firman Allah dalam al-Quran surat an-Nisaa‟ ayat

59. Selain berdasakan al-Quran, imam asy-Syafi‟i juga berdasarkan

kepada Sunnah dalam menetapkan qiyas sebagai hujjah, yaitu hadits

tentang dialog Rasulullah dengan sahabat yang bernama Mu‟adz ibn

Jabal, ketika ia akan diutus ke Yaman sebagai Gubernur di sana:

‫ عن رجال من‬،‫ عن أيب عون عن احلارث بن عمرو‬،‫حدثنا وكيع عن شعبة‬


‫ أن رسول الله صلى الل علي هه وسلم ب عث معاذا إهل‬:‫أصحاب معاذ عن معاذ‬
‫ قال "فهإن ل‬.‫اب الله‬ ‫ضي هبا هف كهت ه‬
‫ أق ه‬:‫ضي" ؟ ف قال‬ ‫اليم هن ف قال "كيف ت ق ه‬
‫ قال "فهإن ل يكن هف سن هة‬.‫ول الله‬ ‫اب الله" ؟ قال "فبهسن هة رس ه‬
‫يكن هف كهت ه‬
‫ قال "احلمد لهل هه ال هذي‬.‫ أجتهد رأيهي‬:‫ول الله صلى الل عليهه وسلم ؟ " قال‬ ‫رس ه‬
64 ‫ه‬ ‫وفق رسول رس ه‬
"‫ول الل‬
Artinya: Telah diceritakan Waqi‟ dari Syu‟bah, dari Abi „Aun dari Al-
Harits bin „Amr, dari laki-laki dari shahabat Mu‟adz dari
Mu‟adz: Nabi SAW mengutus Mu‟adz ke Yaman, maka Nabi
bertanya kepadanya. “Bagaimana kamu memutuskan hukum
apabila dibawa kepada kamu sesuatu permasalahan?”
Mu‟adz menjawab: “Saya akan memutuskan hukum
berdasarkan kitab Allah.” Nabi bertanya lagi: “Sekiranya
kamu tidak mendapati di dalam kitab Allah?” Jawab
Mu‟adz: “Saya akan memutuskan berdasarkan Sunnah.”
Tanya Nabi lagi: “Sekiranya kamu tidak menemui di dalam
Sunnah?” Mu‟adz menjawab: “Saya akan berijtihad dengan
pandanganku.” Nabi pun bersabda: “Segala puji bagi Allah
yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah.”

64
Abi „Isa Muhammad ibn „Isa ibn Saurah At-Tirmidzi, Jami‟ At-Tirmidzi, (Jordan:
International Ideas Home, TT), h. 233.
37

d. Imam asy-Syafi‟i menafikan istihsan65

Istihsan sama dengan sembilan per sepuluh ilmu, menurut

imam Malik. Imam asy-Syafi‟i berkata, “Siapa yang melakukan

istihsan berarti ia telah membuat hukum sendiri.” Menurut imam

Malik, istihsan adalah mempertimbangkan maslahat yang sesuai

dengan hukum syara‟ saat tidak ada nash yang menegaskannya,

sementara imam asy-Syafi‟i menafikannya secara mutlak.

Alasan imam asy-Syafi‟i menolak istihsan adalah karena,

pertama, melakukan istihsan membuktikan bahwa Allah tidak

membahas hukum suatu masalah. Padahal Allah telah berfirman,

“Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa

pertanggungjawaban)?” QS. Al-Qiyamah ayat 36. Kedua, ketaatan

hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Hukum hanyalah yang diturunkan

Allah. Hukum bisa didapat dengan melihat nash atau dengan

mengqiyaskan dengan nash. Ketiga, Nabi SAW tidak menerangkan

hukum-hukum fikih dengan cara istihsan, tetapi dengan menanti

wahyu dalam setiap masalah yang tidak ada nashnya. Jika istihsan

dibolehkan maka Nabi SAW akan melakukannya sebelum turun

wahyu. Keempat, Nabi SAW pernah mengingkari hukum-hukum yang

diputuskan para sahabat berdasarkan istihsan mereka, yaitu saat

mereka membunuh seorang kafir yang lari, bersembunyi di balik

pohon, dan berkata, “Aku telah masuk Islam karena Allah.” Menyikapi

65
Dr. Tariq Suwaidan, Biografi Imam Syafi‟i, (Jakarta: Zaman, 2007), h. 263-264.
38

kasus ini, para sahabat melakukan istihsan. Dengan istihsan, mereka

menganggap membunuh orang itu lebih baik karena menurut mereka ia

mengucapkan keislamannya di bawah tekanan dan ancaman pedang.

Sikap para sahabat ini dikecam oleh Nabi SAW. Kelima, istihsan tidak

memiliki standar dan hal itu pasti akan menimbulkan pertentangan

karena tak memiliki aturan yang bisa dijadikan rujukan. Keenam,

istihsan maknanya mempertimbangkan maslahat. Jika ini diterima,

niscaya orang alim dan orang awam bisa melakukannya karena mereka

juga bisa mengenal maslahat.


BAB III

PEMBAHASAN

A. Pengertian Shalat

Shalat secara etimologis artinya adalah doa. Sebagaimana Allah swt

berfirman,66

               

  


Artinya: “Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan
menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya
doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah
Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”
Secara epistimologis (secara syariat) shalat artinya adalah urutan

perkataan dan perbuatan yang dimulai oleh takbir dan diakhiri dengan salam.67

Shalat juga berarti memberi berkah, sebagaimana yang disebutkan oleh

firman Allah swt yang berbunyi, 68

            

 

Artinya: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya berselawat untuk Nabi.


Wahai orang-orang yang beriman! Berselawatlah kamu untuk Nabi
dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.”
Shalat adalah salah satu kewajiban yang disyariatkan oleh Allah

kepada hamba-Nya yang beriman. Shalat wajib adalah shalat lima waktu yang

66
Hasan Ayyub, Fiqih Ibadah, alih bahasa oleh Muhammad Rais, MA., (Depok: PT
Fathan Prima Media, 2014), h. 78.
67
Hasan Ayyub, loc. Cit.
68
Dr. Zulkifli, M. Ag, Rambu-rambu Fiqh Ibadah, (Yogyakarta: KALIMEDIA, 2016), h.
79.

39
40

harus dilaksanakan oleh setiap muslim dalam sehari semalam. Shalat adalah

rukun terpenting di antara rukun-rukun Islam lainnya. Shalat menempat urutan

kedua setelah membaca dua kalimat syahadat. Baru setelahnya adalah zakat,

puasa di bulan Ramadhan dan menunaikan ibadah haji di Tanah Suci.69 Di

antara dalil al-Quran yang menjelaskan mengenai kewajiban shalat adalah,

           

     

Artinya: “Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas


menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga
agar melaksanakan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian
itulah agama yang lurus (benar).”
Sedangkan hadits yang menjelaskan tentang kewajiban shalat antara

lain adalah,

َ ٍَ‫َّللاِ ت ُْي ُهْ َصى قَا َل أَ ْخثَ َسًَا َح ٌْظَلَحُ ت ُْي أَ ِتً ُص ْف‬
‫اى َع ْي ِع ْك ِس َهحَ تْ ِي خَالِ ٍد َع ْي ات ِْي‬ َّ ‫َح َّدثٌََا ُعثَ ٍْ ُد‬

َ ٌُِ‫َّللاُ َعلَ ٍْ َِ َّ َصلَّ َن ت‬


ٍ ‫ً ا ْ ِْلص ََْل ُم َعلَى َخ ْو‬
‫ش‬ َّ ‫صلَّى‬ َّ ‫َّللاُ َع ٌُِْ َوا قَا َل قَا َل َزصُْ ُل‬
َ ِ‫َّللا‬ َّ ً ِ ‫ُع َو َس َز‬
َ ‫ض‬

َ َّ ِّ ‫َاء ال َّز َكا ِج َّ ْال َحج‬


‫ص ْْ ِم‬ ِ َّ ‫َّللاُ َّأَ َّى ُه َح َّودًا َزصُْ ُل‬
ِ ‫َّللا َّ ِئقَ ِام الص َََّل ِج َّ ِئٌت‬ َّ ‫َشَِا َد ِج أَ ْى ََل ِئلَََ ِئ ََّل‬

70
‫اى‬
َ ‫ض‬َ ‫َز َه‬

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Musa dia berkata, telah
mengabarkan kepada kami Hanzhalah bin Abu Sufyan dari 'Ikrimah
bin Khalid dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Islam dibangun diatas lima (landasan);
persaksian tidak ada ilah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad
utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji dan puasa
Ramadhan".

69
Hasan Ayyub, Fiqih Ibadah, alih bahasa oleh Muhammad Rais, MA., (Depok: PT
Fathan Prima Media, 2014), h. 85.
70
Imam Al-Hafidz Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari,
(Saudi Arabia: International Ideas Home for Publishing & Distribution, 1998), h. 25.
41

Shalat disyariatkan pelaksanaannya secara jamaah. Dengan jamaah

shalat ma‟mum terhubung dengan shalat imamnya. Legilitas syara‟ shalat

jamaah ditetapkan dalam al-Quran, sunnah, dan kesepakatan ulama (ijma‟).

B. Shalat Berjamaah

Islam merupakan agama kesatupaduan (jamaah) mengedepankan

konsep umat yang satu, bertanah air satu, dan berkiblat satu, bahkan berjasad

satu. Sesungguhnya Islam menganjurkan kepada pemeluknya (kaum

muslimin) untuk saling mengenal (ta’aruf), saling memahami (tafahum),

saling membantu (ta’awun), dan saling melengkapi kekurangan masing-

masing (takaful) sesama mereka. Semuanya itu, dipandang sangat penting bagi

masyarakat Muslim di satu negara atau yang hidup di satu tempat yang sama

dalam rangka membangun kebersamaan selanjutnya menumbuhkan

kepedulian satu sama lain.71

Perintah untuk melaksanakan shalat fardhu secara berjamaah,

mengantarkan kita untuk dapat bertemu setidaknya lima kali atau minimal satu

kali dalam sehari. Pertemuan di dalam masjid, selain untuk melaksanakan

shalat berjamaah, juga sebagai sarana mewujudkan makna persatuan dan

sekaligus sebagai syi‟ar, membentuk satu perasaan dalam jamaah di antara

kaum muslimin. Untuk itu, formulasi yang dibentuk ketika melaksanakan

shalat berjamaah dengan membentuk shaf yang satu (barisan yang rapi) dan

menjaganya dalam pelaksanaannya shalat lima waktu setiap hari, menjadikan

71
Jefry Noer, Pembinaan Sumber Daya Manusia Berkualitas dan Bermoral Melalui
Shalat yang Benar, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 125-126.
42

mereka berperasaan satu serta mendorong terjalinnya hubungan kekerabatan

(iltiham) yang menutup peluang munculnya rasa dengki dan saling membenci

yang mungkin saja timbul pada diri mereka masing-masing.72

Shalat berjamaah hukumnya sunnah muakkadah bagi laki-laki, khusus

untuk shalat lima waktu. Kecuali Malikiyyah dan Hanabilah mereka

berpendapat hukumnya adalah wajib, hal ini sesuai dengan hadits dari Abu

Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda,73

‫ت أَ ْى‬
ُ ‫ لَقَ ْد َُ َو ْو‬،ٍِ ‫(ّالَّ ِري ًَ ْف ِضً تٍَِ ِد‬ َ َ‫صلَّى َّللا َعلَ ٍْ َِ َّ َصلَّ َن ق‬
َ :‫ال‬ َ ‫َّللا‬
ِ ‫ْل‬ َ ‫ أَ َّى َز ُص‬:َ‫َع ْي أَتًِ ُُ َس ٌْ َسج‬

‫ ثُ َّن أُ َخالِفَ ئِلَى‬،‫اس‬


َ ٌَّ‫ ثُ َّن آ ُه َس َز ُجَلً فٍََ ُإ َّم ال‬،‫ص ََل ِج فٍَُ َإ َّذىَ لََِا‬
َّ ‫ ثُ َّن آ ُه َس تِال‬،‫ة‬
َ َ‫ة فٍَُحْ ط‬
ٍ َ‫آ ُه َس ِت َحط‬

َ ‫ال فَأ ُ َح ِّس‬


ّْ َ‫ أ‬،‫ أًَََُّ ٌَ ِج ُد َعسْ قًا َص ِو ًٌٍْا‬:‫ لَ ْْ ٌَعْ لَ ُن أَ َح ُدُُ ْن‬،ٍِ‫ َّالَّ ِري ًَ ْف ِضً تٍَِ ِد‬،‫ق َعلَ ٍْ ِِ ْن تٍُُْتَُِ ْن‬ ٍ ‫ِز َج‬
74
.)‫ِهسْ َهاتَ ٍْ ِي َح َضٌَتَ ٍْ ِي لَ َش ِِ َد ْال ِع َشاء‬

Artinya: “Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda, demi Dzat
yang menggenggam diriku, sungguh aku ingin menyuruh orang-orang
membawa kayu lalu mengumpulkannya, kemudian aku perintahkan
seseorang untuk menyerukan adzan shalat, kemudian aku
memerintahkan seseorang untuk menjadi imam. Kemudian aku akan
menemui orang-orang yang tidak shalat berjamaah lalu aku bakar
rumah-rumah mereka. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya,
apabila salah seorang mereka mengetahui bahwa ia memperoleh
tulang yang gemuk atau daging yang baik, niscaya ia akan
menghadiri shalat Isya’.”75

Hukum berjamaah itu, berbeda-beda sesuai dengan perbedaan jenis

shalat yang mengharuskan berjamaah. Terkadang hukumnya fardhu (wajib),

seperti mendapatkan rakaat terakhir pada shalat Jumaat. Terkadang merupakan

72
Ibid., h. 126.
73
Syaikh Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Panduan Lengkap Shalat Menurut Empat Madzhab,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), h. 313.
74
Al-Imam Abi Abdillah Muhammad Ibn Abi Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari,
(Beirut: Dar Ibn Kathir, 2002), cet. ke-1, h. 162.
75
Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari: Penjelasan Kitab Shahih
Al-Bukhari, alih bahasa oleh Amiruddin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2014), cet. ke-8, jilid 4, h. 137.
43

syarat sahnya shalat, seperti shalat yang dilakukan secara jama‟ karena dalam

kondisi hujan, sebagaimana akan diketahui dalam pembahasan tentang jama‟.

Dan shalat dua hari raya menurut madzhab yang mengatakan bahwa

berjamaah adalah syarat bagai shalat dua hari raya. Terkadang hukumnya

mandub (dianjurkan), seperti shalat tarawih dan witir dalam bulan Ramadhan,

serta shalat gerhana. Dan terkadang hukumnya mubah, yaitu untuk shalat

sunnah mutlak.76

Dalil disyariatkannya shalat berjamaah ada dalam al-Quran dan

sunnah. Adapun dalam al-Quran adalah sebagaimana firman Allah,

            

          

           

               

              

Artinya: “Dan apabila engkau (Muhammad) berada di tengah-tengah mereka


(sahabatmu) lalu engkau hendak melaksanakan shalat bersama-sama
mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat)
besertamu dan menyandang senjata mereka, kemudian apabila
mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan satu
rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk
menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang lain yang
belum shalat, lalu mereka shalat denganmu, dan hendaklah merekka
bersiap siaga dan menyandang senjata mereka. Orang-orang kafir
ingin agar kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu
mereka menyerbu kamu sekaligus. Dan tidak mengapa kamu
meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat suatu kesusahan
karena hujan atau karena kamu sakit, dan bersiap siagalah kamu.
Sungguh, Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi
orang-orang kafir itu.”
76
Syaikh Abdul Qadir Ar-Rahbawi, op. cit., h. 314.
44

Shalat berjamaah selain berfungsi sebagai wadah berkomunikasi

dengan Allah juga mampu dijadikan sebagai perekat hubungan sosial

antarsesama Muslim. Ia termasuk salah satu keistimewaan yang diberikan dan

disyariatkan secara khusus bagi umat Islam. Ia mengandung nilai-nilai

pembiasaan diri untuk patuh, bersabar, berani, dan tertib aturan, disamping

nilai sosial untuk menyatukan hati dan menguatkan ikatan.77

Shalat jamaah juga disyariatkan bagi kaum perempuan. Caranya, salah

satu dari mereka maju menjadi imam di kalangan mereka. Kaum perempuan

boleh datang ke masjid untuk melakukan shalat jamaah dengan syarat harus

tertutup, tidak berdandan (tabarruj), dan tidak memakai wewangian yang

dapat merangsang nafsu syahwat. Namun, yang lebih utama bagi kaum

perempuan adalah tidak menghadiri shalat jamaah di masjid, merujuk pada

hadis narasi Ibnu Umar:78

ِ ‫ول اللَّ ِو صلَّى اللَّو علَي ِو وسلَّم ََل َتَْن عوا نِساء ُكم الْمس‬
‫اج َد‬ ُ ‫ال َر ُس‬
َ َ‫ال ق‬ َ َ‫َع ْن ابْ ِن ُع َمَر ق‬
َ َ ْ َ َ َُ َ َ َ ْ َ ُ َ
79
‫َوبُيُوتُ ُه َّن َخْي ٌر ََلُ َّن‬
Artinya: Dari Ibnu Umar RA, dia berkata, "Rasulullah SAW bersabda,
'Janganlah kalian melarang kaum wanita pergi ke masjid, akan tetapi
sebenarnya rumah-rumah mereka itu lebih baik bagi mereka. "

Kebolehan kaum perempuan keluar rumah dan pergi ke masjid

disyaratkan harus benar-benar aman dari fitnah. Jika tidak, maka mereka tidak

boleh, Aisyah ra berkata: “Seandainya Nabi saw mendapati apa yang terjadi

77
Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas,
Fiqh Ibadah, alih bahasa oleh Karman As‟at Irsyady, Lc., Ahsan Taqwim, Lc., Al-Hakam Faishol,
Lc., (Jakarta: AMZAH, 2013), Cet. Ke-3, h. 238.
78
Ibid., h. 240-241.
79
Abi Daud Sulaiman bin Al-„Asy‟ats Al- Sujastani, Sunan Abi Daud, (Jordan:
International Ideas Home, tt), h. 85.
45

pada kaum perempuan sepeninggalnya, maka beliau pasti melarang mereka

pergi ke masjid sebagaimana kasus pelarangan serupa pada kaum wanita Bani

Israil”.80

C. Pengertian Imamah dan Imam

‫ خشبة البناء اليت يتبعها يف‬:‫ واإلمام‬،‫ اَلقتداء واإلمام املقتدى بو‬:‫اإلمامة يف اللغة‬
،‫ واملأموم املقتدي‬،‫ منها – تشيبها هبا‬،‫ وقيل أصل إمام اَلقتداء‬،‫استقامة أعمالو‬
.81‫دماغو‬ ‫واملأموم من شج يف رأسو فوصلت إىل أم‬
Maksud imamah dari segi bahasa adalah mengikuti. Manakala imam

adalah orang yang diikuti. Dan (asal makna perkataan imam) adalah kayu

binaan yang diikuti (diukur) dalam menegakkan suatu kerja. Dan dikatakan,

asal perkataan imam membawa maksud mengikuti adalah apabila ianya

diangkat menjadi perumpamaan. Manakala kata makmum bermaksud orang

yang mengikuti, dan makna lain bagi makmum adalah orang yang luka di

kepalanya dan luka tersebut sampai ke lapisan otaknya.

D. Syarat-syarat Menjadi Imam

Ada beberapa syarat bagi seorang imam, yaitu:82

1. Islam. Shalat tidak sah dengan imam seorang kafir. Jika dia orang fasiq

atau mubtadi’ (pelaku bid’ah), maka diperbolehkan shalat dibelakangnya,

80
Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas,
loc. cit.
81
Syihabuddin Ahmad bin Idris Al-Qarafi, Adz-Dzakhirah, (Beirut: Dar al-Gharib al-
Islamiyy, 1994), cet. ke-1, jilid 1, h. 237.
82
Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Fikih Shalat Empat Madzhab, alih bahasa oleh Abu Firly
Bassam Taqiy, (Jogjakarta: HIKAM PUSTAKA, 2007), h. 297-302.
46

meskipun hukumnya makruh. Hal tersebut berdasarkan riwayat dari

„Abdullah bin „Umar RA., dia berkata: “Rasulullah SAW bersabda:

‫صلوا َعلَى‬ ِ ُ ‫ال رس‬ َ َ‫َو َع ْن ابْ ِن ُع َمَر َر ِض َي اللُ َعْن ُه َما ق‬
َ ‫ول الل صلى الل عليو وسلم‬ ُ َ َ َ‫ ق‬:‫ال‬
.‫ ََل إِلَوَ إََِّل الل‬:‫ال‬
َ َ‫ف َم ْن ق‬
َ ْ‫صلوا َخل‬ َ ‫ ََل إِلَوَ إََِّل الل َو‬:‫ال‬
َ َ‫َم ْن ق‬
Artinya: Dan dari Ibnu Umar RA ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
“Shalatlah kalian atas orang yang mengucapkan laa ilaaha illa Allah
(tiada tuhan selain Allah) dan shalatlah di belakang orang yang
mengucapkan laa ilaaha illa Allah (tiada tuhan selain Allah)83
Imam Bukhari juga meriwayatkan bahwa Ibnu „Umar pernah shalat di

belakang Al-Hujjaj dan Ibnu Mas‟ud pernah shalat dengan bermakmum

kepada Walid bin „Uqbah bin Abu Mu‟ith, padahal dia seorang peminum

khamr.

Ulama Hanabilah berpendapat bahwa tidak sah shalat di belakang

imam yang fasiq, berdasarkan riwayat dari Sa‟ib bin Khalad:

َّ ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم أ‬ ِ ‫َصح‬ ِ ٍ ِ ِ‫السائ‬


‫َن َر ُج ًَّل أ ََّم قَ ْوًما‬ َ ‫َِّب‬ِّ ِ‫اب الن‬ َ ْ ‫ب بْ ِن َخ ََّّلد م ْن أ‬ َّ ‫َع ْن أَِِب َس ْهلَ َة‬
‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‬ ِ ُ ‫ول اللَِّو صلَّى اللَّو علَي ِو وسلَّم ي نْظُر فَ َق َال رس‬
َ ‫ول اللَّو‬ َُ ُ َ َ ََ َْ ُ َ ُ ‫ص َق ِيف الْ ِقْب لَ ِة َوَر ُس‬َ َ‫فَب‬
ِ ِ ِ ِ ِ
‫صلَّى‬ َ ‫َخبَ ُروهُ بَِق ْول َر ُسول اللَّو‬ ْ ‫صلِّ َي ََلُ ْم فَ َمنَ عُوهُ َوأ‬ َ ‫صلِّي لَ ُك ْم فَأ ََر َاد بَ ْع َد ذَل‬
َ ُ‫ك أَ ْن ي‬ َ ُ‫غ ََل ي‬ َ ‫ني فَ َر‬
َ‫ح‬
ِ ِ ِ ِ ِ َ ِ‫اللَّو علَي ِو وسلَّم فَ َذ َكر ذَل‬
َ ‫ت أَنَّوُ قَ َال إِن‬
‫َّك‬ ُ ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم فَ َق َال نَ َع ْم َو َحسْب‬ َ ‫ك لَر ُسول اللَّو‬ َ َ ََ َْ ُ
.ُ‫ت اللَّ َو َوَر ُسولَو‬ َ ْ‫آذَي‬
Artinya: Dari Abu Sahlah As-Sa’ib bin Khallad-beliau termasuk sahabat Nabi
SAW-, bahwasanya seorang laki-laki menjadi imam shalat suatu
kaum, lalu orang itu meludah ke arah kiblat, sedangkan Rasulullah
SAW melihatnya, maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya setelah
selesai shalat, "Orang itu tidak boleh shalat (menjadi imam) untuk
kalian. " Setelah itu, orang tersebut hendak mengerjakan shalat
sebagai imam mereka, lalu mereka mencegahnya dan
memberitahukan kepadanya larangan Rasulullah tersebut, maka
orang tersebut menyampaikan peristiwa itu kepada Rasulullah SAW,
lalu beliau SAW bersabda, "Ya, benar". Aku menyangka beliau SAW

83
Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan‟ani, Subulussalam Syarah Bulughul Maram,
(Jakarta: Darus Sunnah Press, 2016), cet. ke-1, jilid 1, h. 664.
47

bersabda, "Sesungguhnya engkau telah menyakiti Allah dan Rasul-


Nya. "84

2. Baligh. Tidak sah hukumnya seorang dewasa shalat di belakang imam yang

masih kanak-kanak dalam shalat fardhu dan diperbolehkan dalam shalat

sunnah. Kecuali ulama Hanafiyah, menurut mereka tidak diperbolehkan

shalat sunnah di belakang imam seorang anak kecil.

Dalam pandangan ulama Syafi‟iyah diperbolehkan shalat dengan imam

seorang anak kecil yang telah mumayyiz dalam shalat fardhu dan shalat

sunnah. Kecuali pada shalat Juma‟at jika jumlah jama‟ah tidak sempurna

tanpa adanya anak kecil tersebut. Pendapat ini berdasarkan dari „Amr bin

Salamah RA, dia berkata:

‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم فَ َكانُوا إِ َذا‬ َّ ِ‫َّاس إِ َذا أَتَ ْوا الن‬
َ ‫َِّب‬ ِ ٍِ ِ ِ
ُ ‫َع ْن َع ْمرو بْ ِن َسلَ َم َة قَ َال ُكنَّا ِبَاضر ََيُر بنَا الن‬
‫ت غُ ََّل ًما َحافِظًا‬ ِ
ُ ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم قَ َال َك َذا َوَك َذا َوُكْن‬
ِ َ ‫َن رس‬
َ ‫ول اللَّو‬ ُ َ َّ ‫َخبَ ُرونَا أ‬ ْ ‫َر َجعُوا َمروا بِنَا فَأ‬
‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ِيف نَ َف ٍر ِم ْن‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ ‫ك قُ ْرآنًا َكث ًريا فَانْطَلَ َق أَِِب َواف ًدا إِ َىل َر ُسول اللَّو‬ َ ‫ت ِم ْن َذل‬ ُ ْ‫فَ َحفظ‬
ِ َّ ‫قَ ْوِم ِو فَ َعلَّ َم ُه ْم‬
‫ت‬ُ ‫َّم ِوِن فَ ُكْن‬ُ ‫ظ فَ َقد‬ ُ ‫َح َف‬ ْ‫ت أ‬ ُ ‫ت أَقْ َرأ َُى ْم ل َما ُكْن‬ ُ ‫الص ََّل َة فَ َق َال يَ ُؤم ُك ْم أَقْ َرُؤُك ْم َوُكْن‬
‫ِّس ِاء‬ ِ
َ ‫ت ْامَرأَةٌ م ْن الن‬ ْ َ‫ت َع ِِّّن فَ َقال‬ ْ ‫ت تَ َك َّش َف‬ُ ‫ت إِ َذا َس َج ْد‬ ُ ‫ص ْفَراءُ فَ ُكْن‬
ِ ‫أ َُؤمهم وعلَي ب ردةٌ ِِل‬
َ ٌ‫صغ َرية‬ َ َ ُْ َّ َ َ ْ ُ
‫اإل ْس ََّلِم فَ َرِحي بِِو‬ ِْ ‫ت بِ َشي ٍء بَ ْع َد‬ ِ ِ ِ ِ
ً ‫َو ُاروا َعنَّا َع ْوَرةَ قَا ِرئ ُك ْم فَا ْشتَ َرْوا ِِل قَم‬
ْ ُ ‫يصا عُ َمانيًّا فَ َما فَر ْح‬
.‫ني‬ ِِ ِ ِِ
َ ‫ني أ َْو ََثَان سن‬ َ ‫ت أ َُؤم ُه ْم َوأَنَا ابْ ُن َسْب ِع سن‬ ُ ‫فَ ُكْن‬
Artinya: Dari Amr bin Salamah RA, dia berkata, "Kami pernah berada di
suatu tempat yang sering dilewati oleh orang-orang yang datang
menghadap kepada Nabi SAW. Apabila mereka pulang, mereka
melewati kami, lalu memberitahukan kepada kami bahwa Rasulullah
SAW bersabda, "Begini dan begini. " Saya adalah seorang pemuda
yang kuat hafalannya, karena itu saya telah mampu menghafal
banyak Al Qur'an. Ayahku pernah datang menghadap kepada
Rasulullah SAW bersama beberapa orang sebagai utusan kaumnya.
Lalu beliau SAW mengajarkan kepada mereka tentang shalat, yaitu
dengan sabdanya, "Yang berhak menjadi imam kamu (dalam shalat)
84
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shahih Sunan Abu Daud, alih bahasa oleh
Tajuddin Arief, Abdul Syukur Abdul Razak, Ahmad Rifa‟i Utsman, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2006), jilid 1, h. 193-194.
48

adalah yang paling ahli dalam membaca Al Qur'an." (Pada saat itu)
akulah yang paling ahli dalam membaca Al Quran di antara mereka,
karena aku sudah dapat menghafalnya, lalu mereka mempersilahkan
aku maju (untuk jadi imam). Aku biasa menjadi imam mereka
dengan memakai kain yang kecil berwarna kuning, sehingga kalau
aku sujud, terbuka auratku sedikit. Lalu seorang wanita di antara
mereka berkata, "Tutupilah dari kami aurat ahli Al Qur'an (yang
jadi imam) di antara kamu!. Lalu mereka membelikan untukku baju
buatan Oman. Betapa gembiranya aku, karena sejak aku masuk
islam, belum pernah merasakan kegembiraan seperti itu. Aku
menjadi imam bagi mereka, sedang usiaku baru tujuh atau delapan
tahun.

3. Berakal. Tidak sah shalat di belakang imam seorang yang gila jika dia

belum sembuh. Jika penyakit gilanya kambuhan, maka sah shalat

bermakmum dengannya ketika penyakitnya sedang tidak kambuh dan tidak

sah ketika gilanya sedang kambuh.

4. Laki-laki tulen. Tidak sah shalat seorang laki-laki dengan imam seorang

perempuan atau banci, baik dalam shalat fardhu maupun shalat sunnah.

Pendapat ini berdasarkan riwayat dari Jabi RA, bahwa Nabi SAW

bersabda:

ِ ‫و ِإلب ِن ماجو ِمن ح ِدي‬


‫ َوََل أ َْعَرِِبي‬،‫ َوََل تَ ُؤَّم َّن ْامَرأَةٌ َر ُج ًَّل‬:ُ‫ث َجابِ ٍر َر ِض َي اللُ َعْنو‬ ْ َ ْ َْ َ ْ َ
ِ َ‫ وََل ف‬،‫اجرا‬
‫ وإسناده واه‬.‫اجٌر ُم ْؤِمنًا‬ ِ
َ ً ‫ُم َه‬
Artinya: Dan bagi Ibnu Majah dari Jabir RA: “Janganlah seorang
wanita mengimami seorang laki-laki, jangan pula seorang
Baduwi terhadap seorang Muhajir, serta jangan pula seorang
yang kafir terhadap seorang mukmin.” Sanadnya waahin
(sangat lemah)85.

Jika semua jama‟ahnya adalah wanita, maka tidak disyaratkan

imamnya seorang laki-laki, bahkan sah shalatnya dengan imam seorang

wanita atau banci. Hal itu sebagaimana tertera dalam riwayat Ummu
85
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-„Asqolani, Terjemah Bulughul Maram, alih bahasa oleh Ust.
Badru Salam, Lc., (Bogor: Pustaka Ulil Albab, 2006), cet. ke-1, jilid 1, h. 166.
49

Waraqah yang pernah diperintahkan oleh Nabi SAW agar mengimami

keluarganya. (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Ibnu

Khuzaimah). „Aisyah juga biasa mengimami para wanita dan terkadang

berdiri bersama mereka dalam satu shaff. Begitu pula dengan Ummu

Salamah yang biasa melakukannya. Kecuali ulama Malikiyah, mereka

berpendapat tidak sah shalat dengan imam seorang wanita atau banci secara

mutlak. Baik mengimami seorang laki-laki atau perempuan, baik dalam

shalat fardhu atau shalat sunnah.

5. Membaguskan bacaan pada bacaan wajib yang tidak sah shalat kecuali

dengan membacanya. Wajibnya bagus bacaan tersebut adalah jika

makmumnya adalah orang yang bagus bacaannya pula. Oleh karena itu

seorang yang buta huruf tidak boleh menjadi imam, kecuali semua

makmumnya juga buta huruf. Hal tersebut berdasarkan hadits Jabir yang

telah lalu, dimana di dalamnya terdapat kalimat “dan janganlah seorang

Baduwi (menjadi imam) terhadap orang Muhajir.”

6. Bebas dari kotoran (najis), seperti mimisan terus menerus atau kencing

terus menerus dan lainnya. Kecuali ulama Malikiyah dan Syafi‟iyah,

menurut mereka orang yang menanggung najis sah menjadi imam, hanya

saja hukumnya makruh kecuali karena ada „udzur.

7. Suci dari hadats dan najis. Orang yang berhadats atau terkena najis tidak

sah menjadi imam. Jika dia lupa bahwa dia sedang berhadats dan menjadi

imam serta hal itu tidak diketahui oleh makmumnya hingga shalatnya
50

selesai, maka shalatnya makmum sah dan shalatnya imam batal. Hal ini

berdasarkan riwayat dari Abu Ali al-Hamdani, Nabi SAW bersabda:

‫ت‬ ْ ‫َع ْن أَِِب َعلِ ٍّي ا َْلَ ْم َد ِاِنِّ أَنَّوُ َخَر َج ِيف َس ِفينَ ٍة فِ َيها ُع ْقبَةُ بْ ُن َع ِام ٍر‬
ْ َ‫اْلُ َه ِِّن فَ َحان‬
ِ ‫ك أَنْت‬ ِ ِ َّ ‫ص ََّلةٌ ِمن‬
‫ب‬ ُ ‫صاح‬ َ َ َ ‫َحقنَا بِ َذل‬ َ‫ك أ‬ َ َّ‫الصلَ َوات فَأ ََم ْرنَاهُ أَ ْن يَ ُؤَّمنَا َوقُلْنَا لَوُ إِن‬ ْ َ
ِ‫ول اللَّ ِو صلَّى اللَّو علَيو‬ ِ َ ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم فَأ َََب فَ َق‬ ِ ِ
َْ ُ َ َ ‫ت َر ُس‬ ُ ‫ال إِ ِِّن ََس ْع‬ َ ‫َر ُسول اللَّو‬
ِ
‫ك َشْيئًا‬َ ‫ص ِم ْن َذل‬ َ ‫الص ََّلةُ لَوُ َوََلُ ْم َوَم ْن انْتَ َق‬
َّ َ‫اب ف‬ َ ‫َص‬ َ ‫َّاس فَأ‬ َ ‫ول َم ْن أ ََّم الن‬ ُ ‫َو َسلَّ َم يَ ُق‬
.‫فَ َعلَْي ِو َوََل َعلَيْ ِه ْم‬
Artinya: Dari Abu Ali Al Hamdani, bahwa dia pergi dengan menaiki
perahu, dan di dalam perahu itu ada Uqbah bin Amir Al Juhani.
Ketika tiba waktu shalat, kami memerintahkannya untuk
mengimami kami, dan kami mengatakan kepadanya bahwa
kamu lebih berhak menjadi imam daripada kami, karena kamu
adalah sahabat Rasulullah SAW". Lalu Uqbah menolak dan
berkata, "Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah
SAW bersabda, 'Barangsiapa mengimami orang-orang
kemudian ia benar, maka pahala shalat tersebut baginya dan
bagi orang yang diimami. Barangsiapa mengimami shalat lalu
salah (berkurang), maka kesalahan itu hanya dilimpahkan
kepadanya dan bukan kepada mereka'. "86

Dari Sahl, dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:

‫صلو َن هبِِ ْم‬ ِِ


َ ُ‫ِّم فْت يَا َن قَ ْومو ي‬
ِ ‫اع ِدي ي َقد‬
ُ ُ
ِ ‫الس‬َّ ‫ال َكا َن َس ْه ُل بْ ُن َس ْع ٍد‬ َ َ‫َحدَّثَنَا أَبُو َحا ِزٍم ق‬
ِ‫ول اللَّ ِو صلَّى اللَّو علَيو‬ ِ ِ ِ
َْ ُ َ َ ‫ت َر ُس‬ ُ ‫ال إِ ِِّن ََس ْع‬ َ َ‫ك ق‬ َ َ‫ك ِم ْن الْق َدِم َما ل‬َ َ‫يل لَوُ تَ ْف َعلُ َول‬
َ ‫فَق‬
.‫َساءَ يَ ْع ِِّن فَ َعلَْي ِو َوََل َعلَْي ِه ْم‬ ِ ِ ‫اإلمام‬
ْ ‫ضام ٌن فَِإ ْن أ‬
َ ‫َح َس َن فَلَوُ َوََلُ ْم َوإ ْن أ‬ َ ُ َ ِْ ‫ول‬ ُ ‫َو َسلَّ َم يَ ُق‬
Artinya: Dari Ibnu Hazim, ia berkata, "Sahal bin Sa'ad As-Sa'idi
menunjuk seorang anak muda untuk menjadi imam shalat
bersama mereka, lalu dikatakan kepada Abu Hazim, 'Kamu
melakukan hal itu, sedangkan kamu lebih dahulu masuk Islam,
mengapa?'" Kemudian ia menjawab, "Sesungguhnya aku telah
mendengar Rasululah SAW bersabda, 'Imam itu orang yang
bertanggungjawab. Apabila dia baik, maka kebaikan itu

86
Muhammad Nasiruddin Al Albani, Shahih Sunan Ibnu Majah, alih bahasa oleh Iqbal
Mukhlis, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), cet. ke-2, jilid 1, h. 406-407.
51

baginya dan bagi mereka. Tetapi apabila dia jelek, maka


kejelekannya hanya untuk dirinya dan bukan untuk mereka'. "87

„Umar RA, juga menerangkan bahwa dia pernah shalat

(sebagai imam) bersama para shahabatnya ketika dalam keadaan junub

yang tidak disadarinya. Maka dia mengulangi. Kecuali ulama Hanafiyah,

menurut mereka apabila makmum mengetahui batalnya shalat imam, maka

dia harus mengulangi shalatnya juga.

Bila imam teringat bahwa dia sedang berhadats ketika sedang di

tengah-tengah shalat, maka dia harus minggir dan digantikan oleh orang

yang dibelakangnya untuk meneruskan shalat, dan dengan demikian shalat

mereka sah. Sedangkan jika imam masih meneruskan dengan melakukan

perbuatan shalat setelah mengetahui bahwa dia berhadats, maka shalat

berjama‟ahnya batal (dan shalatnya makmum terhitung shalat

munfarid/sendiri. pentrj.). Sedangkan menurut ulama Hanafiyah batal

seluruhnya secara mutlak.

8. Mampu melafazkan huruf sebagaimana mestinya. Tidak sah shalat

berjama‟ah yang imamnya tidak mampu melafazkan huruf secara benar,

seperti orang yang merubah bunyi “ra” menjadi “ghain”, “sin” menjadi

“tsa”, atau “dzal” menjadi “zai” kecuali jika makmum seluruhnya juga

tidak mampu mengucapkannya. Begitu pun sang imam harus berusaha

semaksimal mungkin untuk melafazkannya dengan benar. Tetapi jika dia

mampu mengucapkannya dengan benar namun tidak melakukannya, maka

batal shalat mereka seluruhnya. Jika memang tidak mampu sama sekali

87
Ibid.
52

maka sah shalat dengan imam yang demikian itu bagi sesama mereka yang

tidak mampu.

Adapun jika imamnya orang gagap (tamtam), yaitu orang yang

dalam berbicara banyak mengulang penyebutan “ta’” atau “fa’”, maka sah

menjadi imam dengan hukum makruh.

9. Imamnya bukan masbuq (yang tertinggal dalam shalat berjam‟ah). Kecuali

menurut ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah, menurut mereka sah mengikuti

imam dari jama‟ah yang masbuq setelah imam sebelumnya salam, kecuali

dalam shalat Juma‟at.

Bagi imam shalat Juma‟at ada tambahan khusus yaitu harus orang

yang merdeka, maka tidak sah menjadikan imam shalat Juma‟at seorang

budak. Kecuali ulama Hanafiyah yang mengatakan bahwa tidak ada syarat

orang yang merdeka dalam imam shalat Juma‟at. Pendapat ini disepakati

oleh ulama Syafi‟iyah selama imam tersebut tidak termasuk dalam

hitungan jumlah jama‟ah yang harus terpenuhi dalam shalat Juma‟at. Sebab

ulama Syafi‟iyah menerapkan syarat jumlah jama‟ah untuk sahnya shalat

Juma‟at.

E. Orang yang Paling Berhak Menjadi Imam

Orang yang paling berhak menjadi imam adalah imam yang ditunjuk

dan digaji oleh negara, karena meskipun ia adalah wakil yang ditunjuk oleh

pemerintah tetapi tetap dia yang lebih utama, dan jika dipilih dengan

kesepakatan ahli masjid maka ia lebih berhak. Status keimamam merupakan

otoritas khusus (al-walayah al-khashshah).


53

Dianjurkan kepada tuan rumah agar memberikan izin kepada orang

yang lebih utama darinya untuk menjadi imam shalat. Hikmahnya adalah jika

seorang menjadi imam bagi orang lain di rumah atau wilayah orang lain tanpa

mendapatkan izin, maka hal itu terkesan merendahkan status pemimpin

wilayah tersebut dan akan menimbulkan kebencian, perselisihan, dan

memunculkan perbedaan yang harus dihilangkan dalam shalat jama‟ah. Dari

sini maka sebaiknya orang yang mempunyai kekuasaan didahulukan, terutama

dalam shalat hari raya dan shalat Juma‟at. Tidak diperbolehkan pula

melangkahi imam kampung dan tuan rumah kecuali dengan izinnya.\

Jika tidak ditemukan imam yang dipilih pemerintah dan juga tidak ada

imam dari tuan rumah yang pantas menjadi imam, maka yang berhak menjadi

imam berikutnya dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam hadis narasi Abu

Mas‟ud RA, beliau bersabda:

ِ ِ َ‫ول اللَِّو صلَّى اللَّو علَي ِو وسلَّم ي ؤم الْ َقوم أَقْ رُؤىم لِ ِكت‬ ٍ ‫أَبا مسع‬
‫ت‬ ْ َ‫اب اللَّو فَِإ ْن َكان‬ ْ ُ َ َ ْ َُ َ َ َ ْ َ ُ َ ُ ‫ول قَ َال َر ُس‬ ُ ‫ود يَ ُق‬ ُْ َ َ
ِ ِ ِ ِ
‫ت ا َْل ْجَرةُ َس َواءً فَ ْليَ ُؤَّم ُه ْم أَ ْكبَ ُرُى ْم سنًّا َوََل يَُؤَّم‬ ْ َ‫قَراءَتُ ُه ْم َس َواءً فَ ْليَ ُؤَّم ُه ْم أَقْ َد ُم ُه ْم ى ْجَرًة فَِإ ْن َكان‬
.‫س َعلَى تَ ْك ِرَمتِ ِو ِيف بَْيتِ ِو إََِّل بِِإ ْذ ٍن أ َْو بِِإ ْذنِِو‬ ِِ ِ ِ ِ ِ َّ
ْ َ‫الر ُج ُل يف أ َْىلو َوََل يف ُس ْلطَانو َوََل ُُْيل‬
Artinya: Dari Abu Mas'ud, ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda,
'Hendaknya yang menjadi imam pada suatu kaum —dalam shalat—
adalah yang paling banyak hafalan Al Qur'annya. Seandainya
hafalan Al Quran mereka sama, maka hendaknya yang menjadi
imam adalah orang yang paling dulu hijrah di antara mereka.
Seandainya hijrah mereka sama, maka hendaklah yang menjadi
imam adalah yang paling tua di antara mereka. Seseorang tidak
boleh menjadi imam bagi orang yang dipimpinnya dan juga dalam
kekuasaannya, serta tidak boleh duduk pada tempat duduk (yang
dikhususkan bagi) orang yang terhormat kecuali dengan izin (atau
dengan izinnya)'. "88

88
Ibid.
54

Yang dimaksud sulthan adalah orang yang mengurusi perkara orang

lain. Ia didahulukan daripada yang lain, meskipun ia yang paling sedikit

hafalan al-Qurannya dan kemampuan fiqhnya. Jauh lebih baik jika

mengartikan sulthan sebagai segala urusan yang menyangkut tuan rumah dan

imam masjid. Hal ini sejalan dengan disyariatkannya shalat jamaah berupa

penguatan basis hubungan dan komunikasi.

Dikatakan bahwa maksud ‫ األَ ْق َس ْأ‬dalam hadits di atas adalah orang yang

paling bagus bacaannya atau orang yang paling banyak hafalan al-Qurannya.

Dari aspek literal hadis ini dapat dipahami bahwa orang yang paling

ahli al-Quran didahulukan daripada orang yang ahli fiqh, sebagaimana

dikatakan dalam hadits: “Jika kemampuan al-Quran mereka sama, maka

dipilihlah yang paling mengetahui sunnah.” Nabi SAW juga mendahulukan

Abu Bakar dibanding yang lain karena ia merupakan sahabat yang paling

mengerti al-Quran. Beliau bersabda, “Orang yang paling ahli al-Quran di

antara kalian adalah Abu Bakar.” Mereka berargumen bahwa yang dimaksud

ِ ‫ أَ ْق َس ُؤُُ ْن لِ ِكتَا‬adalah yang paling mengerti kitab Allah,


hadits Nabi SAW: ِ‫ب َّللا‬

mengingat tidak ada seorang pun sahabat yang hafal satu ayat pun kecuali jika

telah mengetahui perkara halal, haram, perintah dan larangan yang terkandung

di dalamnya.89

89
Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas,
Fiqh Ibadah, alih bahasa oleh Karman As‟at Irsyady, Lc., Ahsan Taqwim, Lc., Al-Hakam Faishol,
Lc., (Jakarta: AMZAH, 2013), Cet. ke-3, h. 253-255.
55

F. Mengimami Jamaah Laki-laki dan Wanita

‫ َع ْن إِ ْس َح َق بْ ِن َعْب ِد اللِ بْ ِن أَِِب‬،‫س‬ ِ


ُ ‫ َح َّدثَنَا َمال‬،‫ َح َّدثَنَا َم ْع ٌن‬،‫صا ِري‬
ٍ َ‫ك بْ ُن أَن‬ َ ْ‫َح َّدثَنَا إِ ْس َح ُق ْالَن‬
ٍ ِ‫س ب ِن مال‬
:‫ك‬ َ ْ ٍ َ‫ َع ْن أَن‬،‫طَلْ َح َة‬
:‫ ُثَّ قَ َال‬،ُ‫ فَأَ َك َل ِمْنو‬،ُ‫صنَ َعْتو‬ ٍ ِ ِ ِ َ ‫ "أَ َّن ج َّدتَو ملَي َك َة دعت رس‬-
َ ‫صلَّى اللُ َعلَْيو َو َسلَّ َم لطَ َعام‬ َ ‫ول الل‬ َُ ْ ََ ْ ُ ُ َ
ِ ِ ِ ِ ِ َ ُ‫قُوموا فَلْن‬
ُ‫ض ْحتُو‬َ َ‫ فَن‬،‫س‬ َ ‫اس َوَّد م ْن طُول َمالُب‬ ْ ‫ت إِ َىل َحص ٍري لَنَا قَ ْد‬ ُ ‫ فَ ُق ْم‬:‫س‬ٌ َ‫ قَ َال أَن‬،‫ص ِّل ب ُك ْم‬ ُ
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ُ ‫ فَ َق َام َعلَْيو َر ُس‬،‫بِالْ َماء‬
‫وز م ْن‬ُ ‫ َوالْ َع ُج‬،ُ‫يم َوَراءَه‬
ُ ‫ت َعلَْيو أَنَا َوالْيَت‬ َ ‫صلَّى اللُ َعلَْيو َو َسلَّ َم َو‬
ُ ‫ص َف ْف‬ َ ‫ول الل‬
."‫ف‬ َ ‫صَر‬ ِ ْ َ‫صلَّى بِنَا رْك َعت‬ ِ
َ ْ‫ ُثَّ ان‬،‫ني‬ َ َ َ‫ ف‬،‫َوَرائنَا‬
Artinya: Ishak Al Anshari menceritakan kepada kami, Ma’an menceritakan
kepada kami, Malik bin Anas menceritakan kepada kami, dari Ishak
bin Abdillah bin Abi Thalhah, dari Anas bin Malik bahwa Mulaikah,
neneknya, mengundang Rasulullah SAW untuk mencicipi makanan
yang dibuatnya, maka beliau pun mencicipinya. Kemudian beliau
bersabda, “Berdirilah kalian, niscaya kami akan shalat bersama
kalian.” Anas berkata, “Kemudian aku pun berdiri mengambil tikar
kami yang telah hitam karena telah lama dipakai, kemudian aku
memercikkannya dengan air. Selanjutnya Rasulullah SAW berdiri di
atasnya, maka aku dan seorang anak yatim membuat barisan di
belakangnya, sedang nenek berdiri di belakang kami. Kemudian
beliau shalat bersama kami dua rakaat, lalu beliau berpaling.”90
Masih dari Anas bin Malik berkata:

ِِ ِ ِِ ِ ٍ ِ ِ ُ ‫س قَ َال صلَّى رس‬


‫ت‬ َ ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم بِ ْامَرأَة م ْن أ َْىلو َوِِب فَأَقَ َام ِِّن َع ْن ََيينو َو‬
ْ َّ‫صل‬ َ ‫ول اللَّو‬ َُ َ ٍ َ‫َع ْن أَن‬
.‫الْ َم ْرأَةُ َخ ْل َفنَا‬
Artinya: Dari Anas, ia berkata, "Rasulullah SAW shalat bersama salah
seorang istri beliau dan juga bersamaku, maka Rasulullah
menempatkan aku di sebelah kanan beliau dan wanita tersebut
shalat di belakang kami."91
Apabila wanita muslimah shalat berjamaah dengan laki-laki, maka

tidak diperbolehkan baginya berdiri di sebelah kanannya, melainkan tepat di

90
Abu Alula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri, Syarah Sunan
Tirmidzi, alih bahasa oleh Shafaul Qaldi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), cet. ke-1, jilid 1, h. 498-
499.
91
Muhammad Nasiruddin Al Albani, Shahih Sunan Ibnu Majah, alih bahasa oleh Iqbal
Mukhlis, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), cet. ke-2, jilid 1, h. 403.
56

belakangnya. Dalam shalat berjama‟ah, posisi jama‟ah laki-laki tepat di

belakang imam, disusul golongan anak-anak (laki-laki) dan selanjutnya

jama‟ah wanita.92

Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari

Abdurrahman bin Ghanim, dari Abu Malik Al-Asy‟ari, dari Rasulullah SAW,

di mana beliau menyamakan antara keempat kategori (imam, orang laki-laki,

anak-anak dan wanita) di dalam bacaan, waktu berdiri dan menjadikan rakaat

pertama lebih panjang daripada rakaat-rakaat berikutnya, agar orang-orang

mau berkumpul. Sementara itu beliau menempatkan laki-laki dewasa berada

di depan anak-anak (laki-laki) sedang kaum wanita berada di belakang anak-

anak.93

G. Imamah Wanita terhadap Laki-laki

Tentang kebolehan atau tidaknya seorang wanita menjadi imam

shalat, hal ini dibahas juga dalam Musyawarah Nasional (Munas) MUI VII

pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H/26-29 Juli 2005, menetapkan fatwa tentang

wanita menjadi imam dalam shalat. Ketetapan tersebut adalah sebagai berikut:

Wanita menjadi imam shalat jamaah yang di antara makmumnya

terdapat pria hukumnya haram dan tidak sah. Dan bila wanita yang menjadi

imam shalat berjamaah yang makmumnya wanita hukumnya mubah.

Dasar fatwa tersebut adalah Al-Quran, Sunnah, dan ijma ulama.

Pertama terdapat dalam QS. An-Nisaa‟ [4]: 34.

92
Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, alih bahasa oleh M. Abdul Ghoffar
E.M, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), cet. ke-1, h. 165-166.
93
Ibid.
57

              

           

              

  

Artinya: “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena


Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian
yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah
memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan
yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga
diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga
(mereka). Peerempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan
nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah
mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah
mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha
Tinggi, Maha Besar.”
Menurut ijma ulama, tidak pernah seorang wanita di zaman itu

menjadi imam shalat jamaah dengan makmumnya pria. Wanita boleh menjadi

imam shalat berjamaah yang makmumnya hanya wanita seperti yang

dilakukan Aisyah dan Ummu Salamah.

Alasan lainnya, karena wanita dilarang mengumandangkan

(mengeraskan suara) dihadapan laki-laki lantaran dikhawatirkan akan timbul

fitnah dari suaranya yang merdu, oleh karenanya tidak boleh baginya untuk

mengimami jama‟ah laki-laki.94

Imam Syafi‟i berkata: Apabila seorang wanita menjadi imam kaum

laki-laki, kaum wanita, dan sekelompok anak laki-laki, maka shalat kaum

wanita itu sah namun shalat kaum laki-laki dan sekelompok anak laki-laki

94
Dr. Muhammad Utsman Al-Khasyt, Fikih Wanita Empat Madzhab, alih bahasa oleh
Abu Khadijah, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2017), h. 113
58

menjadi tidak sah, karena Allah SWT telah menjadikan kaum laki-laki sebagai

pemimpin bagi kaum wanita, maka tidak boleh bagi seorang wanita menjadi

imam bagi laki-laki dalam keadaan bagaimana pun. Begitu juga apabila ada di

antara mereka wanita khuntsa musykil (banci yang sulit diketahui apakah lebih

menyerupai laki-laki atau wanita), maka ia tidak boleh shalat bersama wanita

itu. Apabila ia (khuntsa musykil) shalat bersama wanita dan ia tidak mengganti

shalatnya hingga diketahui dengan jelas bahwa banci itu jauh lebih

menyerupai wanita, maka saya menyukai agar ia mengulangi shalatnya. 95

Berikut ini adalah serangkaian peristiwa pada saat Amina Wadud

memimpin imam shalat Juma‟at pada hari Jumat tanggal 18 Maret 2005 pukul

13.00 – 15.00 waktu setempat, sebagaimana ditulis dalam majalah GATRA:96

Di Gereja Katedral Saint John The Divine, New York terjadi sebuah

prosesi ibadah yang tidak lazim berlangsung yakni shalat Jumat dengan imam

dan khatib seorang wanita. Imam wanita itu adalah Dr. Amina Wadud asisten

professor studi Islam di Departemen Filsafat dan Studi Agama, Virginia

Commonwealth University. Ritual itu disponsor oleh Muslim Wake Up! dan

Muslim’s Freedom Tour.

Karena itu, Juma‟atan dengan imam wanita terasa lain. Sejam sebelum

acara dimulai, 50-an jamaah sudah antre masuk kompleks gereja yang diawasi

oleh polisi New York. Badan mereka diperiksa dengan detector dan harus

menyerahkan kunci dan peralatan besi. Namun ada yang menentang acara

95
Imam Syafi‟i Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkasan Kitab Al Umm, alih
bahasa oleh Mohammad Yasir Abd Mutholib, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2013), h. 232-233
96
Nasrul Latif, Pendapat Amina Wadud tentang Wanita sebagai Imam Shalat,
https://www.academia.edu/7146564/30_BAB_III_PENDAPAT_AMINA_WADUD_TENTANG_
WANITA_SEBAGAI_IMAM_SHALAT, h. 44-46.
59

tersebut dengan membawa sepanduk bertuliskan, “Mixed gender prayers

today hellfire tomorrow”. Dan juga mendapat ancaman bom.

Acara itu diawali dengan ucapan selamat datang dari Asra Nomani,

pendiri Muslim Women’s Freedom Tour yang mengatakan, “hari ini

merupakan hari bersejarah, karena posisi kaum wanita yang biasanya di

bagian belakang masjid telah dipindahkan ke bagian paling depan.” Setelah

itu, dilanjutkan dengan azan dari Sueyhla El-Attar, penyiar radio di Atlanta,

Georgia. Kedua wanita ini tidak mengenakan jilbab. Kamudian diteruskan

dengan zikir diketua oleh Saleemah Abdul Ghafur, pengarang buku Living

Islam Out Loud: American Muslim Women Speak.

Usai zikir, Dr. Amina Wadud masuk ke ruangan, sambil membawa

dua buku catatan untuk bahan khutbah. Isi khutbahnya menceritakan tentang

gambaran bahwa Islam adalah agama cinta damai. Katanya lagi. “wanita

bukanlah seperti dasi yang menjadi pelengkap busana saja, wanita memiliki

posisi yang sama dengan laki-laki di segala bidang. Tidak ada ayat dalam al-

Quran yang menyebutkan bahwa wanita tidak boleh menjadi imam. Pada abad

ke-7, Nabi Muhammad pernah mengizinkan wanita menjadi imam bagi

jamaah laki-laki dan wanita. Nabi Muhammad meminta Ummu Waraqah

menjadi imam dalam shalat Jumat bagi jamaah di luar kota Madinah. Kita

sebagai umat Islam yang hidup di abad ke-21, mempunyai mandat untuk

memperbaiki tanggungjawab partisipasi laki-laki dan wanita. Kita harus saling

bergandeng tangan untuk memperbaiki posisi wanita yang selama ini

dipandang sebagai “rekanan seksual” belaka. Kapanpun laki-laki melakukan


60

kontak dengan wanita, maka wanita harus diperlakukan sejajar dan seimbang.

Melalui shalat Jumat kali ini, kita sama-sama melangkah ke depan. Langkah

ini merupakan symbol dari adanya banyak kemungkinan dalam Islam.”

H. Cara Imam Wanita Mengimami Jamaah Wanita

Jika seorang wanita mengimami jamaah yang semuanya terdiri dari

wanita maka tempat berdirinya adalah di tengah-tengah shaf mereka; sebab

sangat dianjurkan bagi wanita agar terlindung dari pandangan laki-laki,

sementara keberadaannya di tengah-tengah shaf akan membuatnya lebih

terlindung. Cara yang demikian ini adalah jika makmumnya banyak. Jika

makmumnya hanya satu orang wanita, maka berdirinya imam wanita adalah di

sebelah kiri makmumnya. 97

97
Dr. Muhammad Utsman Al-Khasyt, op.cit., h. 115
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan apa yang telah dijelaskan oleh penulis, maka penulis dapat

menyimpulkan bahwa:

1. Menurut Imam Malik seorang wanita tidak dibolehkan menjadi imam

dalam shalat berjamaah sekalipun sesama wanita, sama ada dalam shalat

fardhu maupun shalat sunat. Karena beliau berpandangan bahwa wanita itu

tidak sempurna akal dan agamanya. Imam Malik menggunakan dalil dari

Abu Sa’id al-Khudhri yang menceritakan tentang kaum wanita itu paling

banyak menghuni di neraka yang disebabkan banyak melaknat dan

mengingkari kebaikan suami. Pada teks hadits tersebut juga menyatakan

bahwa wanita adalah makhluk yang kurang akal dan agamanya. Dalam

ushul fiqhiyah, Imam Malik menggunakan metode mafhum mukhalafah

dalam menentukan hukum imam wanita dalam shalat berjamaah.

2. Imam Syafi’i pula menyatakan bahwa wanita boleh menjadi imam dalam

shalat berjamaah sesama mereka karena menurut beliau shalat berjamaah

sesama wanita lainnya itu adalah suatu sunnah. Imam Syafi’i berpegang

pada dalil hadits Ummu Waraqah yang menceritakan bahwa Nabi SAW

memerintahkan Ummu Waraqah untuk mengimami ahli rumahnya. Beliau

juga berdalil dengan hadits-hadits mauquf yang menyatakan bahwa Aisyah

R.A dan Ummu Salamah pernah mengimami shalat berjamaah sesama

wanita. Dalam ushul fiqhiyah, Imam Syafi’i menggunakan kaidah sunnah

81
82

untuk menentukan hukum imam wanita dalam shalat berjamaah sesama

wanita.

3. Penulis mendukung pendapat Imam Syafi’i karena shalat berjamaah itu

sangat dianjurkan dalam Islam sebagaimana sabda Rasulullah SAW,

“shalat berjamaah 27 derajat lebih utama daripada shalat bersendirian.”

Akan tetapi, penulis meraikan pendapat Imam Malik karena wanita itu

tidak bisa lari dari fitrah kejadiannya yang tidak sempurna akal dan

agamanya. Maksud disebutkan kekurangan wanita ini bukan untuk

mencela mereka, sebab yang demikian itu sudah merupakan sifat dasar

penciptaan.

B. Saran

Berkaitan dengan pembahasan skripsi ini, maka penulis akan

menyampaikan beberapa saran antaranya:

1. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pengetahuan yang lebih

mendalam lagi bagi ummat Islam tentang hukum imam wanita dalam

berjamaah , supaya tidak salah dalam memahami cara mengamalkannya,

karena manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Orang yang salah, khilaf,

dan lupa harus segera memohon ampunan kepada Allah SWT.

2. Hendaknya orang muslim selalu mempelajari dan mengkaji apakah boleh

seorang wanita menjadi imam dalam shalat berjamaah sesama mereka. Di

samping itu, penulis menyarankan kepada semua muslimin dan muslimat

mengetahui lebih mendalam lagi tentang hukum imam wanita dalam shalat
83

berjamaah, karena hal-hal ibadah amat perlu dititikberatkan demi kebaikan

dunia dan akhirat.

3. Akhirnya, penulis sadari dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat

kekurangan, baik dalam segi penulisan maupun susunan kalimatnya. Maka

dari itu, sangatlah dibutuhkan kritik dan saran yang membangun dari

pembaca agar penulisan skripsi di lain kesempatan bisa jauh lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Fikih Shalat Empat Madzhab, alih bahasa oleh Abu
Firly Bassam Taqiy, (Jogjakarta: HIKAM PUSTAKA, 2007)

Abi Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Bashri, Al-Hawi al-
Kabir, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994)

Abi Yahya Zakaria al-Anshori asy-Syafi’i, Asna al-Mathalib Syarh Raudhatu ath-
Thalib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt, 2009)

Abu Alula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri, Syarah


Sunan Tirmidzi, alih bahasa oleh Shafaul Qaldi, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2008)

Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy’ats Al-Sujastani, Sunan Abu Daud, (Jordan: Dar
ar-Risalah al-‘Alamiyah, 2009)

Al-Hafidz al-Kabir Abi Bakr Abdurrazzaq bin Hammam Ash-Shan’ani, Al-


Mushannaf, (Pakistan: Majlis Ilmi, 1983)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqolani, Terjemah Bulughul Maram, alih bahasa oleh
Ust. Badru Salam, Lc., (Bogor: Pustaka Ulil Albab, 2006)

Al-Imam Abi Abdillah Muhammad Ibn Abi Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari,
(Beirut: Dar Ibn Kathir, 2002)

Al-Imam Al-Hafiz Abul Husain Muslim Al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Saudi


Arabia: International Ideas Home, 1998)

Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari: Penjelasan Kitab


Shahih Al-Bukhari, alih bahasa oleh Amiruddin, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2014)

Al-Imam Hafiz Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari,
(Riyadh: Baitul Afkar, 1998)

Al-Qadhi Abi al-Walid Sulaiman bin Khalaf bin Sa’id bin Ayyub al-Baji, Al-
Muntaqa Syarah Muwaththa’ Malik, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiah,
1999)

Dr. Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, (Jakarta:
AMZAH, 2013)

Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandinagn Mazhab, (Jakarta:


Logos, 1997)
Dr. Muhammad Utsman Al-Khasyt, Fikih Wanita Empat Madzhab, alih bahasa
oleh Abu Khadijah, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2017)

Dr. Tariq Suwaidan, Biografi Imam Syafi’i, (Jakarta: Zaman, 2007)

Dr. Zulkifli, M. Ag, Rambu-rambu Fiqh Ibadah, (Yogyakarta: KALIMEDIA,


2016)

Hasan Ayub, Fiqih Ibadah, alih bahasa oleh Muhammad Rais, MA., (Depok: PT
Fathan Prima Media, 2014)

Hasan, M. Ali, Masail Fiqhiyah al-Haditsah pada Masalah-Masalah


Kontemporer Hukum Islami, (Jakarta: PT. Raja Granfindo Persada, 1997)

Hilmi al-Khuli, Ajaibnya Gerakan Shalat Bagi Kesehatan Fisik dan Jiwa,
(Jakarta: Buku Kita, 2013)

Imam Al-Hafidz Abi Abdillah Al-Hakim Al-Naisaburi, Al-Mustadrak ‘Ala Ash-


Shahihain, (Mesir: Dar al-Haramain lil Thabaa’ah wa an-Nasyr wa at-
Tauzii’: 1997)

Imam Al-Hafidz Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih


Bukhari, (Saudi Arabia: International Ideas Home for Publishing &
Distribution, 1998)

Imam Malik bin Anas al-Ashbahi, Al-mudawwanah al-Kubro, (Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, 1994)

Imam Muhammad Ibn Idris Asy-Syafi’i, Al-Umm, (Mesir: Dar Al-Wafa’, 2001)

Imam Syafi’i Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkasan Kitab Al Umm, alih
bahasa oleh Mohammad Yasir Abd Mutholib, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2013)

Jefry Noer, Pembinaan Sumber Daya Manusia Berkualitas & Bermoral Melalui
Shalat Yang Benar, (Jakarta: Kencana, 2006)

M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996)

M. Anis Qasim Ja’far, Perempuan & Kekuasaan: Menelusuri Hak Politik dan
Persoalan Gender dalam Islam, (Bandung: Zaman, 1998)

Mahmud Syaltut, Akidah dan Syariah Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994)

Muhammad al-Khurasyi Abu Abdullah, al-Khurasyi ‘ala Mukhtashar Sayyidi


Khalil, (Mesir: al-Mathba’ah al-‘Alamiyyah al-Kubro, 1317)
Muhammad bin Ismail al-Amir ash-Shan’ani, Subulus Salam, Syarah Bulughul
Maram, (Jakarta: Darus Sunnah, 2007)

Muhammad Nashiruddin Al Albani, Shahih Sunan Abu Daud, alih bahasa oleh
Tajuddin Arief, Abdul Syukur Abdul Razak, Ahmad Rifa’i Utsman,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2007)

Muhammad Nasiruddin Al Albani, Shahih Sunan Ibnu Majah, alih bahasa oleh
Iqbal Mukhlis, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007)

Nasrul Latif, Pendapat Amina Wadud tentang Wanita sebagai Imam Shalat,

Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed
Hawwas.

Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008)

Prof. Dr. Su’ad Ibrahim Shalih, Fiqh Ibadah Wanita, alih bahasa oleh Dr.
Nadirsah Hawari, M.A., (Jakarta: AMZAH, 2011)

Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani,
2007)

Prof. H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan


Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2010)

Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Cairo: Al-Fath lia’lam ‘Arobi,tt)

Shalaih bin Fauzan bin Abdullah Ali Fauzan, Ringkasan Fikih Syaikh Al Fauzan,
penerjemah: Kamaluddin Sahar, (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2006)

Syaikh Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Panduan Lengkap Shalat, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2007)

Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Madzhab, penerjemah: Shofa’u


Qolbi Djabir, Lc, MA, Dudi Rosyadi, Lc dan Rasyid Satari, Lc, (Jakarta:
PUSTAKA AL-KAUTSAR, 2015)

Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,


2005)

Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita, alih bahasa oleh M. Abdul
Ghoffar EM, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998)

Syaikh Muhammad Al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, (Jakarta: Pustaka Al-


Kausar, 2005)
Syihabuddin Ahmad bin Idris Al-Qarafi, Adz-Dzakhirah, (Beirut: Dar al-Gharib
al-Islamiyy, 1994)

Yusuf al-Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press,


2002)

Zulkayandri, Fiqh Muqaran, (Program Pascasarjana UIN Suska Riau, 2008)

Zulkifli Ahmad, Pendidikan Al-Quran dan As-Sunnah, (Kelantan: Pustaka Media


Jaya, 2006)
BIOGRAFI PENULIS

Nama lengkap penulis adalah Rabiatul Adawiah

binti Mohd Said. Dilahirkan di Hospital Besar Kuala

Terengganu, Malaysia, pada tanggal 03 April 1993.

Yang dilahirkan sebagai anak pertama daripada enam

bersaudara dan menetap di Terengganu, Malaysia.

Mendapat pendidikan awal di Pusat Asuhan

Tunas-Tunas Islam (PASTI) Kampung Lubuk Pait, mulai tahun 1998-1999,

kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Kebangsaan Cheting (SKC) Hulu

Terengganu mulai tahun 2000-2005 sebelum memasuki tingkat menengah di

Sekolah Menengah Kebangsaan (Agama) Durian Guling (SMKADG),

Terengganu mulai tahun 2006-2010. Seterusnya penulis melanjutkan pengajian

Sijil Tinggi Agama di Institut Pengajian Islam (INSPI) di Kemaman, Terengganu.

Seterusnya penulis meneruskan lagi pencarian ilmu di Bumi Lancang Kuning,

Riau Indonesia dalam Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum di Universitas

Islam Negeri Sultan Syarif Kasim (UIN SUSKA) untuk mendapat gelar sarjana

mulai tahun 2014-2019.

Anda mungkin juga menyukai