Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH FIQIH

FIQH MAWARIS
Dosen Pengampu:

Erik Rahman Gumiri,M.H

Disusun Oleh :

NAMA : NPM :
Saipul Umami 2321020281
Candra Aditia 2321020164
Fakhri Nabil Aldafa 2321020190

PRODI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI RADEN INTAN LAMPUNG

TAHUN AJARAN 2023/2024


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puja dan puji bagi Allah SWT yang telah menciptakan
manusia sebagai makhluk terbaik di bumi, dan telah mewariskan bumi seisinya
kepada manusia semua. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW sebagai pelaksana dan pembina syariat Islam diatas bumi ini,
dan telah mewariskan syari'at Islam tersebut kepada umat manusia. Untuk
pendidikan tinggi, mata kuliah Fiqh Mawaris yang diberikan sudah lebih
mendalam. Literatur asli Fiqh Mawaris berbahasa Arab, dan tidak semua
mahasiswa dapat memahaminya dengan baik. Menurut hemat untuk
mempermudah mahasiswa, maka penulis berusaha menulis buku refrensi Fiqh
Mawaris ini.

Buku refrensi Fiqh Mawaris ini ditulis juga merupakan bagian dari kegiatan
dosen untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Buku ini merupakan kumpulan
materi kuliah Fiqh Mawaris yang penulis sampaikan kepada para mahasiswa
Fakultas Syari'ah IAIN Raden Intan Lampun, khususnya sebagai literatur wajib
dalam mata kuliah Fiqh Mawaris, karena materi kuliah tersebut akan semakin
besar mamfaatnya jika dihimpun dalam satu buku dan disusun dengan bahasa yang
mudah, sederhana, dan dengan sistematika sebagaimana yang akan diuraikan nanti.
Hal ini adalah untuk membantu mahasiswa memahami masalah Fiqh Mawaris
secara cepat sesuai dengan mata kuliah yang diasuh, dan kepada bangsa Indonesia
yang berminat untuk mempelajari dan memperdalam hukum warisan Islam,
sebagai salah satu koleksi literatur yang dapat memberikan sumbangan yang
positif. Berbicara warisan menyalurkan fikiran orang kearah kejadian penting
dalam suatu masyarakat, yaitu ada seorang anggota dari masyarakat itu yang
meninggal dunia. Oleh sebab itu pengertian "warisan" yaitu suatu cara
penyelesaian perhubungan-perhubungan hukum dalam masyarakat, yang
melahirkan kesulitan sebagai akibat dari wafatnya seorang manusia. Justru itu
ditegaskan bahwa soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-
kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan
beralih kepada ahliwaris yang masih hidup.

ii
Kepada para Fuqahak dan para sarjana yang telah lebih dahulu menulis ilmu fiqh
mawaris ini disampaikan terima kasih banyak, karena dari karya beliau banyak
memberikan aspirasi kepada penulis untuk menulis buku Fiqh Mawaris ini.
Disadari bahwa penulisan buku ini masih terdapat kekurangan, namun penulis
telah berusaha semaksimal mungkin agar buku ini dapat difahami oleh mahasiswa
dengan sebaik-baiknya.

Sebagai karya ilmiah yang dirancang sebagai buku refrensi, buku ini banyak
kelemahan dan kekurangannya, kiranya akan lebih sempurna jika mendapat
koreksi dari pembaca yang budiman. Atas koreksinya, penulis mengucapkan
banyak terima kasih. Kepada Allah SWT juga penulis memohon taufik dan
hidayah-Nya. Semoga buku ini bermamfaat adanya.

Bandar Lampung, Januari 2020

Penulis,

Dra. Firdaweri, M.H.I.

iii
DAFTAR ISI

COVER............................................................................................................................. i

KATA PENGANTAR.................................................................................................... ii

DAFTAR ISI.................................................................................................................. iv

BAB I PENGERTIAN, HUKUM BELAJAR DAN

MENGAJARKAN FIQK MAWARIS, SERTA

HUKUM MEMBAGI HARTA WARISAN................................................ 1

A. Pengertian Fiqk Mawaris..................................................................................... 1


B. Hukum Belajar dan Mengajarkan Fiqk Mawaris.....................................................
C. Hukum Membagi Harta Warisan......................................................................... 2

BAB II SUBAB – SEBAB MEWARISI.................................................................... 3

A. Sebab – Sebab Mewarisi Mewarisi Pada Zaman Jahiliyah.................................. 3


B. Sebab – Sebab Mewarisi Pada Awal Islam.......................................................... 4
C. Sebab – Sebab Mewarisin Dalam Islam.............................................................. 6

BAB III ASHHABUL FURUD DAN BAGIANNYA................................................ 8

A. Pengertian Ashhabul Furudh................................................................................ 8


B. Bagian atau Hak Ahli Waris Furud.........................................................................

1. Bagian Suami, Dalil dan Contohn.................................................................

2. Bagian Isteri, Dalil dan Contohnya...............................................................

3. Bagian Ayah, Dalil dan Contohnya............................................................ 9

4. Bagian Kakek, Dalil dan Contohnya.............................................................

5. Bagian Ibu, Dalil dan Contohnya...................................................................

iv
6. Bagian Nenek, Dalil dan Contohnya.......................................................... 10

7. Bagian Anak Perempuan, Dalil dan Contohnya.............................................

8. Bagian Anak Perempuan dari Anak Laki - Laki (cucu perempuan),

Dalil Contohnya....................................................................................... 11

9. Bagian Saudara Perempuan Kandung, Dalil dan Contohnya .......................

10. Bagian Saudara Perempuan se Ayah, Dalil dan Contohnya..................... 12

. 11. dan 12. Bagian Saudara Perempuan dan Saudara laki-laki se Ibu................

, Dalil dan Contohnya.................................................................................13

v
BAB I

PENGERTIAN, HUKUM BELAJAR DAN MENGAJARKAN

FIQH MAWARIS, SERTA HUKUM MEMBAGI HARTA WARISAN

A. Pengertian Fiqh Mawaris.

Figh Mawaris adalah kata yang berasal dari bahasa Arab, fiqh dan mawaris. Syafi'i Karim
menjelaskan bahwa Fiqh menurut bahasa berarti mengetahui, memahami, yakni mengetahui sesuatu atau
memahami sesuatu sebagai hasil usaha mempergunakan fikiran yang sungguh-sungguh."

Daud Ali juga mengemukakan dengan redaksi yang berbeda, bahwa fiqh adalah memahami dan
mengetahui wahyu (Al-Qur aan dan Al-Hadis) dengan menggunakan penalaran akal dan metode tertentu,
sehingga diketahui ketentuan hukumnya dengan dalil secara rinci.

Disamping demikian Imam Syafi'i mengemukakan bahwa fiqh ialah suatu ilmu yang menerangkan
segala hukum syara' yang berhubungan dengan amaliyah, dipetik dari dalil- dalilnya yang jelas (tafshili).
Maka dia melengkapi hukum- hukum yang difahami para mujtahid dengan jalan ijtihad dan hukum yang
tidak diperlukan ijtihad, seperti hukum yang dinashkan dalam Al-Qur aan, As-Sunnah.

Berdasarkan pengertian yang dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa fiqh itu dipakai dalam
dua arti, yaitu:

1. Sebagai nama Ilmu.

2. Sebagai hukum-hukum yang diperoleh dengan jalan

ijtihad dalam menghasilkannya.

subjek dari hukum tersebut. Adapun yang menggunakan nama warisan memandang kepada harta
warisan yang menjadi objek dari hukum tersebut. Karena ada beberapa istilah yang digunakan,
pembahasan selanjutnya akan memakai kata figh mawaris sesuai dengan judul mata kuliah yang menjadi
mata kuliah pokok di Fakultas Syari'ah.

B. Hukum Belajar dan Mengajarkan Fiqh Mawaris

Bagi seorang muslim, tidak terkecuali apakah dia laki- laki atau perempuan yang tidak memahami
fiqh mawaris (hukum waris Islam), maka wajib hukumnya (dilaksanakan berpahala, tidak dilaksanakan
berdosa) baginya mempelajari hukum waris Islam. Dan bagi siapa yang telah memahami fiqh mawaris
tersebut, maka ia berkewajiban untuk mengajarkannya kepada orang lain.

vi
Kewajiban belajar dan mengajarkan fiqh mawaris dimaksudkan agar dikalangan kaum muslimin
khususnya dalam keluarga sendiri tidak terjadi perselisihan disebabkan masalah pembagian harta warisan
yang mengakibatkan perpecahan dalam hubungan kekeluargaan kaum muslimin lantaran ketiadaan ulama
ahli faraidh. Ini berdasarkan Hadis:

10 ‫ َتْع َلُم وا اْلُقْر آَن َو اْلَقَر اِئَض َو َع َلُم وا الَّناَس َفِإِّني مقبوض والعلم مرفوع‬: ‫عن أبي هريرة قال قال رسول هللا صلى هللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬

Dari Abi Hurairah ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: Pelajarilah Al-Qur aan dan Faraaidh (Figh
Mawaris), dan ajarkanlah kepada manusia. Maka sesungguhnya aku seorang yang akan mati. Dan ilmu
bakal diangkat. (HR Tirmizi).

Hadis tersebut dapat difahami bahwa betapa pentingnya mempelajari figh mawaris. Dan yang
dimaksud "ilmu akan terangkat" adalah bahwa ilmu yang didapat oleh Rasul dari wahyu akan hilang, jika
Rasul meninggal dunia. Oleh sebab itu sangat dianjurkan untuk mempelajari figh mawaris dan
mengajarkannya kepada orang-orang.

Adapun tujuan mempelajari fiqh mawaris ialah agar masyarakat dapat menyelesaikan masalah harta
peninggalan sesuai dengan ketentuan agama, jangan sampai ada yang dirugikan dan memakan hak orang
lain. Hal ini akan bermanfaat untuk dirinya dan masyarakat pada umumnya.

C.Hukum Membagi Harta Warisan

.Setiap muslim berkewajiban melaksanakan peraturan- peraturan hukum Islam yang ditunjuk oleh
peraturan-peraturanyang jelas (nash-nash yang sharih) selama peraturan tersebut tidak ditunjuk oleh dalil
nash yang lain yang menunjukkan ketidak- wajibannya. mesti berdasarkan ketentuan Al-Qur aan. Dan
dalam hal ini Rasulullah SAW lebih memperjelas lagi dalam sabda :

13 ‫عن ابن عباس قال قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم أْقِس ُم وا اْلَم اَل َبْيَن أْهِل اْلَفَر اِئض َع َلى ِكتاب هللا‬

Bagilah harta pusaka antara ahli-ahli waris menurut Kitabullah (Al-Qur aan). (HR Muslim)

Namun demikian ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa pembagian harta warisan boleh
tidak dilaksanakan sebagaimana ketentuan pembagian yang terdapat dalam Al-Qur aan, yang mana
pembagiannya dapat dilaksanakan dengan jalan musyawarah diantara keluarga. Pendapat diatas
sebenarnya didasarkan kepada pemahaman tentang sifat-sifat hukum, yang terdiri dari: 1. Hukum yang
memaksa. 2. Hukum yang mengatur.

vii
BAB II

SEBAB-SEBAB MEWARISI

A. Sebab-Sebab Mewarisi pada zaman Jahiliyah.

Bangsa Arab memiliki sifat kekeluargaan patrilineal. Bangsa Arab jahiliyah tergolong salah satu
bangsa yang gemar mengembara dan berperang. Kondisi daerahnya kering dan tandus yang
mengharuskan mereka menjalani hidup penuh keberanian dan kekerasan. Mata pencaharian mereka yang
utama adalah berdagang yang dilakukan dengan cara menempuh perjalanan jauh dan berat. Permusuhan
antara kabilah seringkali terjadi yang mengakibatkan peperangan, yang menang berhasil membawa harta
rampasan. Beberapa hal tersebut mempengaruhi kematangan cara mereka yang mengandalkan kepada
kekuatan fisik."

Adapun sebab-sebab mereka berhak menerima harta

warisan pada zaman jahiliyah ada 3 macam yaitu:

1. Karena adanya hubungan kerabat (garabah)

2. Karena adanya janji prasetia (muhalafah)

3. Karena adanya pengangkatan anak (tabanny atau adopsi).

1. Karena adanya hubungan kerabat.

Kekerabatan adalah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang
mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran. Hubungan kerabat saja tidak cukup dijadikan alasan
untuk menuntut harta warisan, tapi harus dilengkapi dengan dua syarat lagi yaitu: a. Sudah
dewasa. b. Orang laki-laki. Hal ini karena selagi tidak dilengkapi dengan adanya kekuatan
jasmani yang sanggup untuk membela, melindungi dan memelihara kabilah atau sekurang-
kurangnya sanggup memelihara keluarga mereka.

Para ahli waris pada zaman jahiliyah adalah :

a. Anak laki-laki.

b. Saudara laki-laki.

c. Paman.

d. Anak Paman yang laki-laki,

viii
yang kesemuanya harus sudah dewasa.

2. Karena adanya janji prasetia.

Janji prasetia baru terjadi dan mempunyai kekuatan hukum, bila salah seorang pihak telah
meikrarkan janji prasetianya kepada pihak lain, seperti ucapan: Darahku darahmu, pertumpahan
darahku pertumpahan darahmu, perjuanganku perjuanganmu. Atau dengan ungkapan lain
misalnya: berprasetia dan berjanjilah padaku untuk saling menolong dan bantu membantu.
Sebagai akibat dari janji prasetia yang telah mereka setujui bersama, konsekuensinya yang
terjadi adalah jika salah satu pihak meninggal dunia, pihak lain yang masih hidup berhak
mempusakai harta peninggalannya sebanyak 1/6 bagian. Kemudian sisa harta. setelah dikurangi
1/6 tersebut baru dibagi-bagikan kepada ahli waris yang lain. Janji prasetia itu adalah merupakan
dorongan kemauan bersama untuk saling membela jiwa raga dan kehormatan mereka.

3. Karena adanya pengangkatan anak (tabanny atau adopsi).

Seorang yang telah mengambil anak laki-laki orang lain untuk dipelihara dan dimasukkan
didalam keluarga yang menjadi tanggungannya, dan ia menjadi bapak angkat terhadap anak yang
telah diadopsi dengan berstatus sebagai bapak nasab, dan anaknya berstatus sebagai anak nasab.
Apabila anak angkat tersebut sudah dewasa dan bapak angkatnya meninggal dunia, ia dapat
mewarisi harta peninggalan bapak angkatnya seperti anak keturunan sendiri. Didalam segala hal
ia diperlakukan sebagai anak kandung dan dinasabkan kepadanya, bukan dinasabkan kepada
bapak kandungnya. Bahkan mereka beranggapan bahwa janda dari orang yang telah meninggal
adalah sebagai wujud harta peninggalan yang dapat diwarisi olch ahli warisnya.

B. Sebab - Sebab Mewarisi pada awal Islam.

Pada masa awal Islam ada beberapa sebab mewarisi disamping karena adanya hubungan
kerabat/nasab yaitu:

1. Pengankatan anak.

2. Hijrah dari mekah ke Madinah dan persaudaraan antara kaum muhajirin

dan anshar (al- muakhkhah).

1.Pengankatan anak.

Pengangkatan anak atau adopsi sebagai sebab mempusakai pada masa jahiliyah terus
berlaku sampai pada permulaan Islam. Rassulullah SAW sebelum diangkat menjadi Rasul,
beliau mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi anaknyasetelah ia dibebaskan dari status

ix
perbudakan. Karena status anak angkat identik dengan anak keturunan sendiri para sahabat
memanggilnya bukan Zaid bin Haritsah, tetapi Zaid bin Muhammad. Hal ini berlaku sampai
permulaan Islam, sehingga turun QS Al-Ahzab (33) ayat 4 dan 5 serta ayat 40:

... ‫َو َم ا َجَعَل َأْد ِعَياَء ُك ْم َأْبَناءُك ْم َذ ِلُك ْم َقْو َلُك م ِبَأْفَو اِم ُك ْم‬

‫ وهللا َيُقوُل الَح ِّق َو ُهَو َيْهِد ي الَّس ِبل‬. ...

Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu(sendiri) yang demikian
itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia
menunjukkan jalan yang benar (ayat 4). 2. Hijrah dari Mekah ke Madinah dan persaudaraan
antara kaum muhajirin dan anshar (al-muakhkhah).

2. Hijrah dari Mekah ke Madinah dan persaudaraan antara kaum

muhajirin dan anshar (al-muakhkhah).

Hijrah dari Mekah ke Madinah, pada awal Islam menjadi sebab waris mewarisi. Kekuatan
kaum muslimin pada saat itu masih lemah, karena jumlah mereka sedikit. Untuk menghadapi
kaum musyrikin Quraisy yang sangat kuat dan banyak pengikutnya, tidak ada jalan lain yang
ditempuh oleh Rasulullah SAW beserta pengikut-pengikutnya selain meminta bantuan kepada
penduduk di luar kota yang sefaham dansimpatik terhadap perjuangan beliau beserta kaum
muslimin dalam memberantas kemusyrikan.

Setelah menerima perintah dari Allah SWT agar meninggalkan kota Mekah, Rasulullah saw
bersama dengan sejumlah sahabat besar meinggalkan kota Mekah menuju kota Madinah. Di
Madinah Rasul beserta rombongannya disambut gembira oleh orang-orang Madinah dengan
ditempatkan dirumah-rumah mereka, dicukupi segala keperluan, dilindungi jiwanya dari
pengejaran kaum musyrikin quraesy dan dibantu dalam menghadapi musuh yang
menyerangnya.

Keistimewaan-keistimewaan yang terdapat dalam

hukum kewarisan Islam antara lain adalah:

1. Tidak menyerahkan sepenuhnya kepada orang yang mewariskan seluruh harta


peninggalannya untuk di wasiatkankepada orang yang dipilihnya, baik dari kerabat yang
jauh, maupun kerabat yang dekat, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Yunani

x
dan Romawi kuno. Akan tetapi syariat Islam membolehkan wasiat maksimal 1/3 harta
dengan maksud supaya tidak merugikan ahli waris yang lain.

2. Tidak melarang bapak dan leluhur untuk mewarisi bersama- sama dengan anak si mati, dan
tidak melarang si isteri untuk mewarisi suaminya atau sebaliknya, seperti cara mewarisi
yang dilakukan orang Yahudi dan Romawi. Tetapi Islam menetapkan bahwa mereka semua
adalah tergolong ahli waris yang sama mempunyai hak menerima harta warisan.

3. Tidak mengistimewakan pemberian harta warisan kepada satu macam pewaris saja,
misalnya hanya diberikan kepada seorang anak laki-laki yang sulung saja, sekalipun jumlah
anak-anak tersebut banyak, tetapi syari'at Islam menyamakan hak anak tersebut sesuai
dengan bagian masing-masing.

4. Tidak menolak anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan untuk menerima harta
warisan.

5. Tidak membenarkan anak angkat dan orang-orang yang mengadakan janji prasetia untuk
mewarisi harta peninggalan si mati sebagai ahli waris, disebabkan mereka tidak mempunyai
hubungan kerabat / pertalian darah dengan simati sedikitpun.

C. Sebab-Sebab Mewarisi Dalam Islam.

Harta pewaris dengan sendirinya beralih kepada ahli warisnya, dalam literatur hukum Islam,
dinyatakan ada empat hubungan yang menyebabkan seseorang menerima harta warisan dari
seseorang yang telah mati, yaitu:

1. Hubungan kerabat,

2. Hubungan perkawinan,

3. Hubungan wala' (memerdekakan budak) 4. Hubungan sesama Islam.

xi
1. Hubungan kerabat / Nasab.

Hubungan kekerabatan ialah hubungan nasab (hubungan darah), atau disebut juga dengan
hubunganDitinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang mewariskan dengan yang
mewarisi, dapat diklasipikasikan kepada tiga golongan:

a. Furu', yaitu anak turun (cabang) dari simati.

b. Ushul, yaitu leluhur (pokok atau asal) yang menyebabkan adanya si mati.

c. Hawary, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan simati melalui garis menyamping,

seperti saudara, paman, bibi, dan anak turunnya.

2. Hubungan perkawinan.

Disamping hak kewarisan berlaku atas dasar hubungan kekerabatan, hak kewarisan juga
berlaku atas dasar hubungan perkawinan atau disebut juga dengan hubungan sababiyah.
dengan arti bahwa suami ahli waris bagi isterinya yang meninggal dunia, isteri menjadi ahli
waris bagi suaminya yang meninggal dunia. Sekalipun belum terjadi persetubuhan.24

a.Perkawinan itu Sah Menurut Syari'at Islam.

Perkawinan yang sah menurut syari'at Islam adalah perkawinan yang memenuhi rukun
dan syarat perkawinan, serta terlepas dari semua halangan pernikahan, walaupun
belum terjadi persetubuhan antara keduanya. b. Perkawinannya Masih Utuh.

b.Perkawinan masih utuh

maksudnya adalah suami isteri masih terikat dalam tali perkawinan saat salah satu pihak
meninggal dunia.25 Termasuk dalam ketentuan ini adalah bila salah satu pihak
meninggal dunia sedangkan ikatan perkawinan telah putus dalam bentuk tala' raj'i dan
perempuan masih berada dalam masa iddah. Seorang perempuan yang sedang
menjalani iddah talak raj'i berstatus sebagai isteri dengan segala akibat hukumnya,
kecuali hubungan kelamin.

xii
BAB III

AHLI WARIS ASHHABUL FURUDH DAN BAGIANNYA

Sebelum dijelaskan uraian mengenai ashhabul furudh

perlu diketahui bahwa ahli waris dapat dikelompokkan menjadi

tiga macam, yaitu:

A Ashhabul furudh

B. Ashabah

C. Dzawil Arham

A. Pengertian Ashhabul furudh

Ashabul furudh atau ahlul furudh atau dzawil furudh adalah ahli waris yang mendapat
bagian yang tertentu, yang mempunyai bagian harta warisan yang sudah ditentukan dalam Al-
Qur aan, As-Sunnah dan Ijma'. Bagian yang sudah ditentukan kan itu: 1/2, 1/4, 1/8, 1/3, 2/3,
1/6. Orang-orang yang menjadi ahli waris ashabul furudh ini berjumlah 25 orang yang terdiri 15
orang laki-laki dan 10 orang perempuan sebagaimana telah dijelaskan diatas pada keterangan
ahli waris.

B. Bagian Atau Hak Ahli Waris Asahhabul furudh

1. Bagian Suami (1/2 atau 1/4)

Bagian Suami ada 2 macam :

a. Suami mendapat ½ bila simayat tidak mempunyai anak


Dan cucu (anak dari anak laki-laki).

2. Bagian Isteri (1/4 atau 1/8)

Bagian isteri ada dua macam :

a. Isteri mendapat 1/4 bila simayat tidak mempunyai anak dan cucu (anak dari anak laki-laki).

b. Isteri mendapat 1/8 bila simayat mempunyai anak atau cucu (anak dari anak laki-laki).

xiii
3. Bagian Ayah (1/6 atau 1/6+ ashabah binnafsi atau ashabah bin nafsi

Bagian Ayah ada 3 macam, yaitu:

a. Ayah mendapat 1/6 bila simayat mempunyai anak laki-laki

atau cucu (anak laki-laki dari anak laki-laki).

b. Ayah mendapat 1/6+ ashabah binnafsi bila simayat mempunyai anak perempuan
atau cucu perempuan (anak perempuan dari anak laki-laki), dan harta masih berlebih.
c. Ayah mendapat ashabah bin nafsi bila simayat tidak mempunyai anak, atau cucu
(anak laki-laki dari anak laki- laki).

4. Bagian Kakek (1/6 atau 1/6 + ashabah binnafsi atau

Kakek yang menjadi ahli waris adalah ayah dari ayah, meskipun yang teratas seperti
ayah dari ayah dari ayah dan begitu selanjutnya. Adapun kakek yang bertalian dari ibu,

seperti ayah dari ibu, dan ayah dari ibu dari ayah tidak menjadi akan dijelaskan dibelakang.
Bagian kakek ada 3 macam, yaitu waris, hanya ia termasuk golongan dzawil arham
(masalahnya sama dengan bagian ayah, kakek mendapat bagian kalau ayah tidak ada,
yaitu:

Bagian kakek (ayah dari ayah) ada 3 macam, yaitu:


a. Kakek mendapat 1/6 bila simayat mempunyai anak laki-laki atau cucu
(anak laki-laki dari anak laki-laki)
. b. Kakek mendapat 1/6+ ashabah binnafsi bila simayat
mempunyai anak perempuan atau cucu perempuan (anak
perempuan dari anak laki-laki), dan harta masih berlebih.
b. Kakek mendapat ashabah bin nafsi bila simayat tidak
mempunyai anak, dan anak dari anak laki-laki

5. Ibu (1/6 atau 1/3), Dalil dan Contoh: Bagian, yaitu:

a. Ibu mendapat 1/6 bila simayat mempunyai anak (baik anak itu laki-laki atau perempuan)
atau cucu (anak dari anak laki- laki, baik cucu itu laki-laki atau perempuan) atau bila simayat
mempunyai berbilang saudara, baik kandung, atau sebapak atau scibu, baik laki-laki maupun

xiv
perempuan atau saudara-saudara itu bercampur baur, baik saudara-saudara itu menjadi waris
atau terhijab.

c. ibu mendapat 1/3 adalah kebalikan dari ibu mendapat 1/6, yaitu bila simayat tidak
mempunyai anak, atau cucu (anak dari anak laki-laki) dan tidak mempunyai berbilang
saudara. Jika saudara hanya 1 orang ibu tetap mendapat bagian 1/3.

6. Bagian Nenek (ibu dari ibu dan ibu dari ayah)

Bagian Nenek satu macam saja, yaitu 1/6. Bagian nenek satu macam saja yaitu 1/6, dengan
syarat

ibu si mayat tidak ada, jika simayat mempunyai ibu, nenek terhijab atau tidak mendapat
bagian. Kalau nenek itu lebih dari

satu orang, mereka berserikat pada bagian 1/6 itu, dengan pembagian yang sama banyak.

Dalil: Hadis Rasul yaitu:

Qubaishah bin Duaib menerangkan: Seorang nenek datang kepada Abu Bakar, menanyakan
hak warisannya. Setelah itu Abu Bakar menjawab: Tidak ada tersebut bagian engkau dalam
Kitab Allah dan tidak pula aku ketahui dalam sunnah Nabi SAW, oleh sebab itu hendaklah
engkau pulang dahulu, menjelang aku bertanya kepada manusia. Lalu Abu Bakar bertanya
kepada manusia. Pada waktu itu Mughirah bin Syu'bah berkata: Aku hadir dekat Rasulullah
sedang dia memberikan kepada nenek 1/6. Kemudian Abu Bakar bertanya: Adakah orang lain
yang tahu selain engkau ?. Maka berdiri Muhammad bin Salamah, lalu menerangkan seperti
yang diterangkan Mughirah itu. Lantas Abu Bakar memberikan bagian nenek 1/6...."

7. Bagian Anak perempuan (1/2 atau 2/3 atau ashabah bil ghairi.

Bagian anak perempuan ada 3 macam :

a. Anak perempuan mendapat 1/2 bila dia sendiri dan tidak ada anak laki-laki dari simayat. b.
b. Anak perempuan mendapat 2/3 bila anak perempuan itu 2

xv
orang atau lebih, dan tidak ada anak laki-laki dari si mayat.

c. perempuan menjadi ashabah bil ghairi bila bersama anak laki-laki dari simayat. Dalam hal
ini anak laki-laki mendapat dua kali bagian anak perempuan. Anak laki-laki dihitung dua
kepala, dan anak perempuan dihitung satu kepala. Misalnya ahli waris terdiri dari 2 orang
anak laki- laki dan 1 orang anak perempuan, semuanya dihitung menjadi 5 kepala.

8. Bagian Anak perempuan dari anak laki-laki atau cucu perempuan dari anak laki-laki
(1/2 atau 2/3 atau 1/6 atau ashabah bil ghairi)..

Bagiannya ada 4 macam :

a. Cucu perempuan mendapat 1/2 dengan syarat:

1). Jika ia seorang diri.

2). Jika tidak ada anak dari simayat, baik anak perempuan ataupun anak laki-laki.

3). Jika tidak ada saudaranya yang laki-laki, yaitu anak laki-laki

dari anak laki-laki

. b. Cucu perempuan mendapat 2/3 dengan syarat:

1). Jika ia dua orang atau lebih.

2). Jika tidak ada anak simayat baik anak perempuan ataupun anak laki-laki.

9. Bagian Saudara perempuan kandung (1/2 atau 2/3 atau ashabah bil ghairi atau ashabah
ma'al ghairi

Bagian saudara perempuan kandung ada 4 macam, yaitu :

a. Saudara perempuan kandung mendapat 1/2 dengan

syarat:

1). Jika dia seorang saja.

2). Jika tidak ada saudaranya yang laki-laki.

xvi
b. Saudara perempuan mendapat 2/3 dengan syarat:

1). Jika dia dua orang atau lebih.

2). Jika tidak ada saudaranya yang laki-laki.

c. Saudara perempuan kandung mendapat ashabah bil ghairi dengan syarat ada
saudaranya yang laki-laki. Dalam hal ini laki-laki mendapat dua kali bagian yang
perempuan.

d. Saudara perempuan kandung mendapat ashabah ma'al

ghairi dengan syarat:

1) Jika ada anak perempuan dari simayat atau cucu perempuan (anak perempuan dari
anak laki-laki).

2). Jika tidak saudara laki-laki yang kandung.

3). Jika tidak saudara laki-laki yang kandung.

10. Bagian Saudara perempuan yang seayah (1/2 atau 2/3 atau 1/6 atau ashabah bil ghairi
atau ashabah ma'al

ghairi.

a. Saudara perempuan yang seayah mendapat 1/2 dengan

syarat:

1). Jika ia seorang saja.

2). Jika tidak ada saudara perempuan yang kandung.

3). Jika tidak ada saudaranya yang laki-laki.

b. Saudara perempuan yang seayah mendapat 2/3 dengan syarat:

1). Jika ia dua orang atau lebih.

2). Jika tidak ada saudara perempuan yang kandung

xvii
3). Jika tidak ada saudaranya yang laki-laki.

c. Saudara perempuan yang seayah mendapat 1/6 dengan

syarat:

1). Jika ada satu orang saudara perempuan yang kandung dari simayat.

2). Jika tidak ada dua orang saudara perempuan yang kandungdari simayat.

3). Jika tidak ada saudara laki-laki seayah dari simayat.

d. Saudara perempuan yang seayah mendapat ashahabah

bil ghairi dengan syarat:

1). Jika ada saudaranya yang laki-laki.

2). Tidak ada saudara laki-laki atau saudara perempuan kandung dari simayat.

11 dan 12 Bagian Saudara perempuan atau saudara saudara laki-laki yang seibu adalah
1/6 atau 1/3

Contoh nya: Sebagai saudara perempuan atau saudara laki – laki seibu ada 2 macam:

a. Saudara perempuan atau saudara laki-laki yang seibu mendapat 1/6 jika
ia seorang, baik laki-laki ataupun perempuan.

b. Saudara perempuan atau saudara laki-laki yang seibu mendapat 1/3


bagian jika ia lebih dari seorang, baik laki-laki ataupun perempuan
ataupun bercampur laki-laki dengan perempuan masing-masing mereka
itu mendapat pembagian yang sama dalam yang 1/3 itu, yaitu saudara
laki-laki seibu tidak dua kali bagian saudara perempuan seibu.

xviii
DAFTAR PUSTAKA

Effendi Perangin, Hukum Waris, Jakarta : Rajawali Pers, Cet ke 12, 2014.

Hasanain Muhammad Makhluf, Al-Mawarits fi Al-Syari'ati Al- Islam Juz III, Kairo: Lajnah Al-
Bayan, tt

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur aan dan

Hadis, Jakarta: Tintamas, 1982.

Ibnu Rusyd, Analisa Fiqh Para Mujtahid, Juz III, Jakarta: Pustaka Imami, 2002.

Jalal al-Dien al-Mahalliy, Syarhu Minhaj al-Thalibin, Juz III, Cairo, Dar Ihya' al-Kutub al-
Arabiy, tt.

K.H.Q.Shaleh, H. A. A. Dahlan, Asbabun Nuzul, Bandung: CV

Penerbit Diponegoro, Cet ke X, 2006.

Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, Jakarta:

PT Rineka Csipta, Cet ke IV, 2006. Mawardi Muhammad, Ilmu Faraidl (Fikhi Mawarits),
Padang:Sridarma, 1982.

Muhammad Ali Al-Sabouni, Hukum Kewarisan menurut Al- Qur an dan Sunnah, (Terj: Hamdan
Rasyid), Jakarta: Dk Islamiyah, Cet 1, 2005.

Muhammad Ali Al-Saayis, Tafsiir Ayaat Al-Ahkam, Kairo:Muhammad Ali Shiibiih, tt.

Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid, Juz II, Kairo: Musthafa Al-Babi Al-
Halabi, tt.

Muhammad bin Asy-Syafi'i.Al-Um, Juz III,Kairo:Kitab Al-Sya'bi, 1968.

Moh.Anwar: Fara 'idl, Hukum Waris Dalam Islam dan Masalah-Masalahnya, Surabaya: Al-
Ikhlas, 1981.

Moh.Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di
Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Muhammad Fuad Abdul Baqy, Al-lu 'lu' wa Al-Marjan, Juz II, Kairo, Darul Ihya Al-kutub Al-
Arabiyah, tt.

Muhammad Yusuf Al-Tirkah wa Al-Mirats fi Al-Islam, Kairo: Darul Ma'arif, tt.

xix
Muhammad Ali Al Saayis, Tafsir Ayat Al-Ahbam, Juz II, Kairo : Penerbit Muhammad 'Ali
Shabiih, tt,

Muhammad Ali Ash-Shabani, Pembagian Waris Menurut Islam, Jakarta: Gema Insani Press,
1995

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 2, Jakarta : lentera hati, Cet X, 2007.

Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, Cet ke V, 1995.

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 1977.

Suhrawardi K.Lubis, Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap & Praktis), Jakarta:
Sinar Grafika, Cet ke II, 2008.

Syafi'i Karim, Fiqh, Ushulul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 2001.

Tahir Azhari, Karakteristik Hukum Kewarisan Islam dalam Bunga Rampai Hukum Islam
Indonesia, Jakarta : 1992.

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2001.

Wirjono Projodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung: PT Bale, Cet ke VIII, 1986.

xx

Anda mungkin juga menyukai