Anda di halaman 1dari 15

SEJARAH WARIS MEWARISI PADA ZAMAN

JAHILIYAH, AWAL ISLAM DAN DI


INDONESIA

Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur
Matakuliah : Fiqh Mawaris
Dosen : Prof. Dr. H. Kosim, M. Ag.

Disusun oleh :

Fajar Setiawan (2283130018)


Rifkih Maulana (2283130011)

JURUSAN HUKUM TATANEGARA (KELAS A)

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SYEKH NURJATI CIREBON

1444H/2023M
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. karena atas rahmat, karunia serta kasih
sayang-Nya kami dapat menyelesaikan makalah mengenai Proses Jasa Pendidikan ini dengan sebaik
mungkin. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi terakhir, penutup para Nabi
sekaligus satu-satunya uswatun hasanah kita, Nabi Muhammad SAW. tidak lupa pula saya ucapkan
terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. H. Kosim, M. Ag. selaku dosen mata Fiqh Mawaris.

Tulisan yang telah disusun ini merupakan makalah yang akan digunakan untuk mahasiswa
semester III Jurusan Hukum Tata Negara Islam di Fakultas Syari’ah, Institut Agama Islam Negeri
Syekh Nurjati Cirebon, sebagai acuan pembahasan materi pada matakuliah Fiqh Mawaris yang
kemudian akan didiskusikan/dipantik oleh dosen pengampu matakuliah.

Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari masih banyak terdapat kesalahan dan
kekeliruan, baik yang berkenaan dengan materi pembahasan maupun dengan teknik pengetikan,
walaupun demikian, inilah usaha maksimal kami selaku para penulis usahakan.

Semoga dalam makalah ini para pembaca dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan dan
diharapkan kritik yang membangun dari para pembaca guna memperbaiki kesalahan sebagaimana
mestinya.

Cirebon, 14 September 2023

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................................2


DAFTAR ISI...................................................................................................................................3
BAB 1 PENDAHULUAN ..............................................................................................................4
A. Latar Belakang .....................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah ................................................................................................................6
C. Tujuan Penelitian .................................................................................................................6
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................................7
A. Sejarah Waris Pada Zaman Jahiliyah ...................................................................................7
B. Sejarah Waris Pada Masa Awal Islam .................................................................................9
C. Sejarah Waris Di Indonesia ...............................................................................................10
1. Sebelum Masa Pemerintahan Belanda ...........................................................................10
2. Paska Pemerintahan Belanda (Masa Penjajahan)...........................................................10
3. Masa Pemerintahan Indonesia (Paska Kemerdekaan) ...................................................11
BAB III PENUTUP ......................................................................................................................14
A. Kesimpulan ........................................................................................................................14
B. Saran ..................................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................15

3
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Latar Belakang disusunnya makalah ini selain untuk memenuhi tugas terstruktur dari dosen
pengampu matakuliah Fiqh Mawaris, juga adalah untuk membantu teman-teman mahasiswa/i
lainnya dalam mempelajari atau mengkaji materi tentang sejarah waris mewarisi pada zaman
jahiliyah, awal islam dan di indonesia yang ada dalam ilmu Fiqh Mawaris.

Selain itu, makalah ini diharapkan bisa membantu teman-teman mahasiswa/i untuk
mengetahui sejarah waris mewarisi pada zaman jahiliyah, sejarah waris pada zaman awal islam
dan sejarah waris di indonesia. Waris adalah hal yang selalu melekat dalam diri manusia, karena
mau bagaimanapun ketika manusia meninggal, ia pasti akan meninggalkan sesuatu pula yang
semula ada pada dirinya kini diwariskan atau diteruskan kepada keturunannya atau keluarga nya.
Waris tersebut bisa berupa harta atau ilmu yang bermanfaat, waris ini biasa menjadi hal yang
selalu diperebutkan oleh para pewaris. Maka dari itu, kita harus mempelajari ilmu tentang waris
ini agar tidak terjadi yang namanya perselisihan antar keluarga.

Dasar hukum waris ini diperjelas dalam Al-qur’an surat Al-jasiyah ayat 18, yang berbunyi:

َ ْ ُ َ ْ َ َ َ ْ َّ َ َ ْ َ ْ ََّ َ َ َ ْ َّ َ ْ َ ْ َ َ ْ َ ٰ َ َ ٰ ْ َ َ َُّ
‫ثم جعلنك على ش ِريع ٍة ِمن الام ِر فات ِبعها ولا تت ِبع اهواۤء ال ِذين لا يعلمون‬

Artinya:

“Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan) dari agama itu,
maka ikutilah (syariat itu) dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak
mengetahui”.1 (Q.S Al-jasiyah ayat 18)

Berdasarkan ayat tersebut, ulama-ulama Islam memberi definisi Syariat sebagai keseluruhan
hukum yang diadakan Tuhan untuk hamba-hamba-Nya, dibawa oleh seorang Nabi.2 Syariat
kemudian terbagi menjadi 2 himpunan hukum, yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan
tata cara pengadaan perbuatan disebut sebagai hukum cabang dan amalan yang dipelajari dalam
ilmu fiqih dan hukum-hukum pokok kepercayaan yang memuat cara mengadakan kepercayaan
(i’tiqad) dalam suatu himpunan ilmu kalam.

Pemisahan tersebut dimaksudkan untuk memberi pemahaman bahwa Agama memiliki


cakupan yang luas, sedangkan syariat dapat berbeda-beda antar umat yang menganutnya karena
secara hakikat syariat merupakan suatu norma hukum dasar yang ditetapkan oleh Allah yang wajib

1
Al-qur’an Surat Al-jasiliyah ayat 18
2
Ahmad, Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), 9.
4
diikuti oleh umat Islam berdasarkan keyakinan disertai akhlak dalam suatu hubungan manusia
dengan Allah, dengan sesama manusia, dan dengan alam semesta.3

Selain terdapat di dalam Al-Qur’an, Syariat diperinci oleh Rasulullah S.A.W. dalam sunnah
yang diriwayatkan dalam hadist-hadist Beliau supaya umat Islam tidak tersesat dalam perjalanan
hidupnya karena umat Islam memiliki pegangan Al-Qur’an dan sunah Rasulullah.

Sejak didakwahkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya, ajaran Islam menyebar ke
seluruh penjuru dunia. Dari Abu Umamah Al-Baahili ra meriwayatkan dalam suatu hadist bahwa
Rasulullah S.A.W. bersasbda, “sesungguhnya Allah dan para Malaikat, serta semua makhluk di
langit dan di bumi, sampai semut dalam lubangnya dan ikan (di lautan), benar-bernar
bershalawat mendoakan kebaikan bagi orang yang mengajarkan kebaikan (ilmu agama) kepada
manusia”.4 Penyebaran tersebut melalui jalur perdagangan yang dibawa oleh orang Arab ke
seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Setelah dibawa oleh saudagar dan pedagang dari Arab, ajaran Islam didakwahkan oleh para
Wali sehingga ajaran Islam menjadi akrab dengan masyarakat lewat berbagai kesenian yang sedari
awal sudah membudaya. Ajaran Islam tersebut tidak hanya menyangkut kepercayaan kepada
Allah, tetapi juga mencakup syariat yang mengatur kehidupan manusia. Dalam hal ini seluruh
kehidupan manusia menjadi cakupan yang diatur dalam syariat, tidak terkecuali urusan pewarisan
harta.5

Masuknya Islam ke Indonesia turut memberi pengaturan kepada masyarakat mengenai tata
cara pewarisan menurut ajaran Islam. Pengaturan tersebut kemudian membudaya menjadi suatu
kebiasaan masyarakat yang disesuaikan dengan budaya masyarakat setempat. Hal ini merupakan
bukti adanya suatu pembudayaan Islam sebagai suatu ajaran yang tetap mempertahankan
substansial syariat-syariat sekaligus mengalami penyesuaian dengan keadaan masyarakat tersebut.
Setelah Indonesia merdeka, seluruh ajaran dan implementasinya dalam masyarakat dirangkum
dalam suatu Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadi pedoman secara sah bahwa hukum
Islam dapat diberlakukan dalam suatu sistem hukum positif di Indonesia. Pada akhirnya
berdasarkan latar belakang tersebut, Penulis bermaksud melakukan penelitian mengenai
pewarisan berdasarkan hukum Islam yang diterapkan di Indonesia.6

3
Ahmad, Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), 11.
4
Hadist dari Abu Umamah Al-Baahili
5
Gisca, Nur, Assyafira, Waris Berdasarkan Hukum Islam Di Indonesia, (VOL. 8: jurnal Hukum Islam dan Pranata
Sosial Islam, 2020), 69.
6
Gisca, Nur, Assyafira, Waris Berdasarkan Hukum Islam Di Indonesia, (VOL. 8: jurnal Hukum Islam dan Pranata
Sosial Islam, 2020), 70.
5
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka dapat ditarik
permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

1) Bagaimana sejarah waris mewarisi pada zaman jahiliyah?

2) Bagaimana sejarah waris mewarisi pada zaman awal islam?

3) Bagaimana sejarah waris di indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penyusun dalam menyusun makalah ini, yaitu sebagai berikut:

1) Untuk mengetahui bagaimana sejarah waris mewarisi pada zaman jahiliyah

2) Untuk mengetahui bagaimana sejarah waris mewarisi pada zaman awal islam

3) Untuk mengetahui bagaimana sejarah waris di indonesia

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Waris Pada Zaman Jahiliyah

Sejarah telah mencatat bahwa perihal kewarisan bukanlah perkara baru dalam kehidupan umat
manusia. Hukum kewarisan dalam berbagai bentuknya senantiasa mengiringi peradaban umat
manusia dari masa ke masa. Hal tersebut karena kewarisan berhubungan erat dengan siapa yang
mampu mewujudkan sistem hukum kewarisan karena membutuhkannya. Tidak lain adalah umat
manusia, satu-satunya makhluk Allah yang ada di muka bumi yang diberi kewenangan untuk
mengatur dan mengelola bumi serta memakmurkannya.7

Pada zaman jahiliyah, aturan pusaka orang Arab didasarkan atas nasab dan kekerabatan.
Namun terbatas kepada anak laki-laki yang sudah dapat memanggul senjata untuk membela
kehormatan keluarga dan dapat memperoleh harta rampasan perang. Hal ini terus berlaku sampai
permulaan Islam, sampai turunnya surat An-Nisa ayat 7 yang menerangkan bahwa para lelaki
memperoleh bagian dari harta peninggalan orang tua dan kerabat terdekat. Dengan turunnya ayat
tersebut terhapuslah adat jahiliyah yang tidak memberikan pusaka bagi anak kecil dan
perempuan.8

Bangsa Arab Pada masa pra-Islam dikenal juga dengan masa jahiliah yang mana mereka selalu
melakukan peperangan dan bertindak tidak adil. Kehidupan bangsa Arab saat itu, bergantung pada
hasil perniagaan, jarahan, dan hasil rampasan perang dari bangsa-bangsa yang mereka taklukkan.
Ketika itu, kekayaan berada di tangan laki-laki dewasa yang mampu dan memiliki kekuatan serta
kekuasaan, yang berlaku juga terhadap pembagian harta warisan. Sehingga, menjadi wajar jika
harta warisan diserahkan kepada laki-laki dewasa, bukan kepada perempuan dan anak-anak.9

Pembagian harta warisan pada masa pra-Islam, dilakukan dengan memakai dua sistem, yaitu
sistem keturunan dan sistem sebab.10 Tradisi dalam pembagian harta warisan pada masa jahiliah
bersifat patrilinear, artinya anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan tidak berhak
mendapatkan harta warisan, sekalipun mereka merupakan ahli waris dari yang telah meninggal
dunia.11 Sangat jelas bahwa sebelum datangnya Islam, bangsa Arab memperlakukan kaum wanita
secara zalim. Mereka tidak memberikan hak waris kepada kaum wanita dan anak-anak, baik dari
harta peninggalan ayah, suami, maupun kerabat mereka.

Dan lagi mereka juga beranggapan bahwa kaum wanita tidak dapat ikut berperang membela
kaum dan sukunya. Bangsa Arab jahiliah dengan tegas menyatakan, “Bagaimana mungkin kami
memberikan warisan (harta peninggalan) kepada orang yang tidak bisa dan tidak pernah

7
Maimun Nawawi, Pengantar Hukum Kewarisan Islam, (Surabaya: Pustaka Radja, 2016), 51.
8
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010), 3.
9
Ahmad Affandy, Sejarah Kewarisan Islam Dan Terwujudnya Hukum Kewarisan Di Indonesia, (VOL. 15: Jurnal
Studi Islam, 2020), 36.
10
Muhammad Suhaili Sufyan, Fiqh Mawaris Praktis, (Bandung: Cita Pusaka Media Perintis, 2012), 7.
11
Moh. Muhibbudin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 32.
7
menunggang kuda, tidak mampu memanggul senjata, serta tidak pula berperang melawan
musuh.”12

Mereka mengharamkan kaum wanita menerima harta warisan sebagaimana mereka


mengharamkannya kepada anak-anak kecil. Bahkan, sebagian mereka beranggapan bahwa
perempuan janda yang ditinggal mati termasuk harta yang dapat diwariskan kepada dan diwarisi
oleh para ahli waris suaminya.13

Pada masa pra-Islam, warisan dapat diberikan jika ada hubungan kekerabatan. Selain itu,
mereka berkeyakinan bahwa harta warisan dapat diberikan kepada orang-orang yang mempunyai
perjanjian prasetia, dan anak-anak yang diadopsi (pengangkatan anak). Dapat dipahami bahwa,
seseorang akan mendapatkan harta warisan apabila:14

1) Adanya Pertalian Kerabat

Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang
mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran. Pertalian kerabat yang menyebabkan seorang ahli
waris dapat menerima warisan adalah laki-laki yang memiliki kekuatan untuk membela,
melindungi, dan memelihara qabalah (persukuan) atau sekurang-kurangnya keluarga
mereka.15 Persyaratan ini mengakibatkan anak-anak yang belum dewasa dan kaum
perempuan tidak dapat menerima pusaka. Pantangan menerima pusaka bagi kedua golongan
ini karena dianggap tidak sanggup melakukan tugas-tugas peperangan dan lebih dari itu
mereka dipandang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Oleh karena itu, para ahli waris
jahiliah dari golongan kerabat semuanya terdiri atas: (a) anak laki-laki, (b) saudara laki-laki,
(c) paman, (d) anak-anak yang semuanya harus dewasa, dan (e) anak laki-laki paman. Apabila
pewaris tidak meninggalkan anak laki-laki yang sudah besar, maka harta peninggalannya jatuh
kepada saudara laki-lakinya yang sanggup berperang. Satu hal lain yang aneh ialah bahwa
yang diwariskan itu tidak hanya harta peninggalan saja, tetapi juga isterinya, asalkan saja istri
itu bukan ibu kandung yang mewarisi. Mereka juga memberi warisan kepada anak yang lahir
di luar pernikahan.16

2) Adanya Janji Ikatan Prasetia

Janji prasetia adalah dorongan kemauan bersama untuk saling membela jiwa raga dan
kehormatan mereka. Tujuan ini tidak mungkin terealisasi apabila pihak-pihak yang berjanji
adalah anak-anak yang belum dewasa, apalagi kaum wanita. Adapun isi janji prasetia tersebut
adalah:

12
Muhammad Ali ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Inasani Press, 1995), 10.
13
Ahmad Affandy, Sejarah Kewarisan Islam Dan Terwujudnya Hukum Kewarisan Di Indonesia, (VOL. 15: Jurnal
Studi Islam, 2020), 36.
14
Ahmad Affandy, Sejarah Kewarisan Islam Dan Terwujudnya Hukum Kewarisan Di Indonesia, (VOL. 15: Jurnal
Studi Islam, 2020), 37.
15
Moh. Muhibbudin, Hukum Kewarisan Islam, (Bandung: Al-Ma'arif, 1981), 34.
16
Ismuha, Penggantian Tempat Dalam Hukum Waris Menurut KUH Perdata, Hukum Adat dan Hukum Islam
(Darussalam: Bulan Bintang, 1978), 28.
8
“Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan darahmu, perjuanganku
perjuanganmu, perangku perangmu, damaiku damaimu, kamu mewarisi hartaku aku
mewarisi hartamu, kamu dituntut darahmu karena aku dan aku dituntut darahku karena
kamu, dan diwajibkan membayar denda sebagai ganti nyawaku, aku pun diwajibkan
membayar denda sebagai pengganti nyawamu”.17

Konsekuensi janji setia itu adalah jika salah satu pihak meninggal dunia, maka pihak lain
yang masih hidup berhak mempusakai harta peninggalan partner-nya sebanyak 1/6 bagian
harta peninggalannya. Adapun sisa harta setelah dikurangi 1/6 dibagikan kepada ahli
warisnya.18

3) Adanya Pengangkatan Anak

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pewarisan atas pertalian kerabat, pewarisan


atas dasar ikatan janji prasetia, dan pewarisan atas dasar pengangkatan anak, disyaratkan harus
laki-laki yang sudah dewasa (kuat). Adapun tendensi mereka untuk mengadakan janji prasetia
dan pengangkatan anak adalah adanya dorongan kemauan bersama untuk saling membela jiwa
raga dan kehormatan mereka serta memelihara dan mengembangkan harta kekayaan mereka.
Hal itu tidak akan terealisasikan jika masih anak-anak atau perempuan.19

B. Sejarah Waris Pada Masa Awal Islam

Pada awal kedatangan Islam yang ditandai dengan turunnya wahyu di gua hira’, sistem
kewarisan masih belum banyak berubah, karena memang penyebaran Islam tidak langsung
sekaligus, akan tetapi membutuhkan waktu untuk bisa diterima oleh masyarakat arab, bahkan oleh
keluarga Muhammad sendiri.20 Saat itu masih berlaku sistem pembagian kewarisan masa jahiliah
hingga turun ayat yang menerangkan bahwa para lelaki (tidak memandang dewasa atau anak-
anak) memperoleh bagian (pusaka) dari harta peninggalan orang tua dan kerabat- kerabat terdekat,
begitu juga dengan perempuan, baik harta itu sedikit maupun banyak.21

Dengan turunnya ayat Q.S. an-Nisa’ (4) : 7, terhapuslah adat jahiliah yang tidak memberikan
pusaka kepada perempuan dan anak-anak kecil. Di sisi lain, pada masa awal Islam, Rasulullah
telah menerapkan hukum kewarisan. Sehingga dapat dipahami bahwa dalam pewarisan pada awal
Islam, kaum kerabat yang berhak menerima harta warisan tidak terbatas kepada kaum laki-laki
dewasa saja, melainkan juga kepada anak-anak dan perempuan. Adanya hijrah dan ikatan

17
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), 14.
18
Moh. Muhibbudin, Hukum Kewarisan Islam, (Bandung: Al-Ma'arif, 1981), 34.
19
Ahmad Affandy, Sejarah Kewarisan Islam Dan Terwujudnya Hukum Kewarisan Di Indonesia, (VOL. 15: Jurnal
Studi Islam, 2020), 38.
20
Maimun Nawawi, Pengantar Hukum Kewarisan Islam, (Surabaya: Pustaka Radja, 2016), 66.
21
Ahmad Affandy, Sejarah Kewarisan Islam Dan Terwujudnya Hukum Kewarisan Di Indonesia, (VOL. 15: Jurnal
Studi Islam, 2020), 39.
9
persaudaraan juga memungkinkan untuk mendapatkan harta warisan, dan dalam kewarisan Islam,
tidak dikenal adanya janji prasetia dan pengangkatan anak (adopsi).22

C. Sejarah Waris Di Indonesia

1. Sebelum Masa Pemerintahan Belanda

Pemberlakuan hukum Islam sebelum masa pemerintahan Belanda, telah banyak dilakukan
oleh kerajaan Islam di Nusantara seperti kerajaan Pasai, Cirebon, Demak, Buton dan Ternate. Pada
umumnya paham yang dianut adalah bermazhab Syafi’i, kerajaan tersebut telah menerapkan
norma-norma hukum Islam.23 Dengan demikian apabila mereka telah menerima Islam sebagai
agamanya, maka otomatis mereka akan menerima otoritas hukum Islam terhadap dirinya. Bagi
orang Islam saat itu, hukum Islam adalah kehendak Allah dan tradisi rasul.24

Selanjutnya dalam sebuah teori syahadat yang disebut teori krido, yaitu teori yang
mengharuskan pelaksanaan hukum Islam oleh mereka yang telah mengucapkan dua kalimah
syahadat sebagai konsekuesi logis dari pengucapan kredonya.25 Pada kerajaan-kerajaan dan
kesultanan-kesultanan selalu membentuk badan-badan peradilan untuk memeriksa, mengadili dan
memutuskan perkara berdasarkan hukum acara peradilan Islam (mukhasamat) dilihat dari sudut
penataan hukum Islam, melaksanakan syari’at Islam yang dilengkapi dengan institusi-institusi
keagamaan, seperti pengadilan agama merupakan fardu kifayah (kewajiban sosial). Hal ini
merupakan salah satu pendekatan syariat Islam. Dari sinilah, kerajaan dan kesultanan itu
menerapkan hukum waris sebagai hukum yang hidup (living law) di masyarakat sekaligus
menjadi budaya hukum Indonesia pada masanya.26

2. Paska Pemerintahan Belanda (Masa Penjajahan)

Diantara kebijakan pemerintah Hindia Belanda pada masa tersebut, dalam merespon
pemikiran dan mengimplementasikan hukum Islam adalah dengan merumuskan dan
menformulasikan teori-teori yang berkenaan dengan cita-cita hukum dan adat masyarakat
Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda datang, pada waktu itu Indonesia sudah melaksanakan
hukum agama Islam, yang kemudian tetap dilanjutkan dan diakui kewenangan hukumnya.27

22
Ahmad Affandy, Sejarah Kewarisan Islam Dan Terwujudnya Hukum Kewarisan Di Indonesia, (VOL. 15: Jurnal
Studi Islam, 2020), 39.
23
Ahmad Affandy, Sejarah Kewarisan Islam Dan Terwujudnya Hukum Kewarisan Di Indonesia, (VOL. 15: Jurnal
Studi Islam, 2020), 43.
24
A. Rahmad Rosyadi dan M. Rais Ahmad, Formulasi Syari’at Islam Dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia
(Bogor: Ghalia I ndonesia, 2006), 74.
25
Imam Syaukani, Rekontruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia Dan Relevansinya Bagi Pembangunan Hukum
Nasional (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada 2006), 67.
26
Ahmad Affandy, Sejarah Kewarisan Islam Dan Terwujudnya Hukum Kewarisan Di Indonesia, (VOL. 15: Jurnal
Studi Islam, 2020), 44.
27
A. Rahmad Rosyadi dan M. Rais Ahmad, Formulasi Syari’at Islam Dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia
(Bogor: Ghalia I ndonesia, 2006), 76.
10
Selanjutnya, Van den Berg mengonsepkan Staatsblat 1882 Nomor 152 yang berisi ketentuan
bagi rakyat pribumi atau rakyat jajahan harus berlaku hukum agama di lingkungan hidupnya.
Teori ini merupakan rumusan hasil pergulatan pemikirannya, setelah memperhatikan dan
mencermati fakta-fakta hukum yang terjadi pada masyarakat pribumi. Diantara teori yang dikenal
luas adalah:28

a) Teori receptie in complexu

Oleh Lodewijke William Christian van den Berg pada tahun 1884 menulis buku dengan
nama Muhammadagch recht (Asas-Asas Hukum Islam) menyatakan bahwa hukum Islam
berlaku bagi orang-orang Islam Indonesia walaupun terdapat sedikit penyimpangan-
penyimpangan.29 pendapat van den Berg ini dikenal dengan teori receptio in complexu.

Teori tersebut mempunyai subtansi bahwasannya setiap sengketa antara orang-orang


Indonesia yang beragama Islam diberlakukan hukum Islam. Hukum agama, adat dan
kebiasaan itu juga dipakai oleh hakim Eropa pada Pengadilan yang lebih tinggi. Persengketaan
diantara orang Indonesia atau yang dipersamakannya harus tunduk pada keputusan Hakim
Agama menurut hukum agama.30

b) Teori receptie

Oleh Chritian Snouck Hoergronje, adalah penasehat Pemerintah Hindia Belanda mengenai
permasalahan Islam dan anak negeri. Hal ini memperkuat kritikan van Vollenhomen terhadap
teori receptie in complexu Menurut Snouck Horgronje, hukum yang berlaku bagi orang-orang
Islam adalah hukum adat mereka masing-masing. Hukum Islam dapat berlaku apabila telah
diresepsi oleh hukum adat. Pendapat Snouck Horgronje ini disebut dengan teori receptie31,
Jadi adatlah yang dapat menentukan ada atau tidaknya hukum Islam.32

3. Masa Pemerintahan Indonesia (Paska Kemerdekaan)

Pada masa bangsa Indonesia menyatakan diri untuk merdeka, Pada tanggal 17 Agustus 1945,
pada tanggal 18 Agustus 1945 hasil perumusan rancangan Undang-Undang Dasar oleh Panitian
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Panitia sembilan) disahkan menjadi Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Melalui pernyataan Indonesia merdeka berarti
mempunyai pengaruh terhadap sistem hukum di Indonesia. Selanjutnya, pasal II tentang Aturan
Peralihan Undang-Undang 1945 ditekanankah bahwa hukum warisan kolonial Belanda masih

28
Ahmad Affandy, Sejarah Kewarisan Islam Dan Terwujudnya Hukum Kewarisan Di Indonesia, (VOL. 15: Jurnal
Studi Islam, 2020), 45.
29
Sayuti Thalib, Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam, (Jakarta: Bina Aksara 1980), 7.
30
Ahmad Affandy, Sejarah Kewarisan Islam Dan Terwujudnya Hukum Kewarisan Di Indonesia, (VOL. 15: Jurnal
Studi Islam, 2020), 45.
31
Ahmad Affandy, Sejarah Kewarisan Islam Dan Terwujudnya Hukum Kewarisan Di Indonesia, (VOL. 15: Jurnal
Studi Islam, 2020), 45.
32
A. Rahmad Rosyadi dan M. Rais Ahmad, Formulasi Syari’at Islam Dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia
(Bogor: Ghalia I ndonesia, 2006), 76.
11
tetap berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Dalam hal ini
Hazairin memahami pasal tersebut bahwa hukum koloinial Belanda yang hasil produk teori
receptie dianggap tidak berlaku lagi harus exit karena bertenatangan dengan Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul.33

Warga Negara Indonesia mayoritas beragama Islam, dan dalam memahami ajaran agamanya
bersifat totalitas maka perkembangan selanjutnya ahli hukum Islam Indonesia berusaha agar
hukum Islam itu menjadi hukum nasional, dengan mengadakan seminar nasional dalam
pembentukan hukum, hukum Islam dijadikan sebagai salah satu sumber hukum disamping hukum
Eropa dan hukum Adat. Karena itu, nilai-nilai hukum Islam tidak boleh dari doktrin agama Islam.
Sehingga ada suatu realitas sejarah yang tidak dapat dipungkiri oleh ahli hukum nasional,
keberadaan sosok intelektual prof. Hazairin dengan teori kewarisan bilateral dan konsep
mawalinya, yang dimaksud dengan pembagian kewarisan secara bilateral adalah setiap orang
dapat menarik garis keturunannya melalui keturunan ayah maupun melalui keturunan ibunya,
Mawali adalah ahli waris pengganti. Yang dimaksud ialah ahli waris yang menggantikan
seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang digantikan
itu.34

Inti pembaharuan hukum waris pada pemikiran Hazairin adalah:

1) Ahli waris perempuan sama dengan ahli laki-laki dapat menghalangi ahli waris yang lebih
rendah. Sehingga selama masih ada anak, baik laki-laki maupun perempuan, maka saudara
baik laki-laki maupun perempuan sama-sama terhalang untuk mendapatkan warisan.

2) Hubungan kewarisan melalui garis laki-laki sama kuatnya dengan garis perempuan.
Karenanya penggolongan ahli waris menjadi ahshabah dan zawu al-arham tidak diakui dalam
teori ini.

3) Adanya ahli waris pengganti tidak terhalang oleh ahli waris lain (utama). Jadi, cucu dapat
mewarisi bersama dengan anak manakala orang tuanya meninggal dunia lebih dulu daripada
kakeknya dan bagian yang diterimanya sama besarnya dengan yang diterima oleh orang
tuanya (seandainya masih hidup).

Dewan Perwakilan Rakyat dan komitmen Pemerintah pada akhir tahun 1989
memperjuangkan secara gigih untuk menjadikan pengadilan agama mempunyai kedudukan, tugas
dan fungsi yang sederajat dengan pengadilan yang lain ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dengan memiliki kewenangan dalam perkara perkawinan,
waris, wasiat, wakaf dan hibah berdasarkan hukum Islam, wakaf dan sedekah (Pasal 49).
Kemudian berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang amandemen UU Nomor 7 Tahun 1989
kata berdasarkan hukum Islam dihilangkan, maka pengadilan agama memiliki kewenangan dalam

33
A. Rahmad Rosyadi dan M. Rais Ahmad, Formulasi Syari’at Islam Dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia
(Bogor: Ghalia I ndonesia, 2006), 76.
34
Ahmad Affandy, Sejarah Kewarisan Islam Dan Terwujudnya Hukum Kewarisan Di Indonesia, (VOL. 15: Jurnal
Studi Islam, 2020), 46.
12
perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, shadakah dan ekonomi syari’ah.
Dalam perkembangan hukum Islam di Indonesia selanjutnya lahirlah Kompilasi Hukum Islam
(KHI), setelah eksistensi Peradilan Agama diakui dengan hadirnya UU No. 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.35

Penyusunan KHI mempunyai tema utama mempositifkan hukum Islam di Indonesia untuk
dijadikan pedoman oleh para hakim dalam melaksanakan tugasnya supaya terjamin adanya
kesatuan dan kepastian hukum. Agar berlaku hukum Islam di Indonesia, maka harus ada hukum
yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan masyarakat. Melalui
keberadaan KHI, semua hakim di lingkungan PA diarahkan kepada persepsi penegakan hukum
yang sama. KHI terdiri atas tiga buku, yaitu: Buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang
Kewarisan dan Buku III tentang Perwakafan. Pasal pasal hukum perkawinan dalam Buku I yang
terdiri dari 170 pasal, telah memuat materi hukum yang rinci.36

Sehingga menjadi jelas bahwa yang fundamental dari bangunan pemikiran hukum Islam
adalah maslahat, maslahat manusia universal atau keadilan sosial, karena itu tawaran ijtihadi baik
didukung dengan nash ataupun tidak, yang dapat mewujudkan kemaslahatan manusia adalah sah,
dan umat Islam terikat untuk mengambilnya dan merealisasikannya. Sebaliknya tawaran ijtihadi
yang secara meyakinkan tidak mendukung terjaminnya maslahat, lebih-lebih yang membuka
kemungkinan terjadinya kemudaratan adalah fasid, dan umat Islam secara orang perorang atau
bersama-sama terikat untuk menolak dan mencegahnya. KHI telah menunjukkan adanya law and
rule dalam prakteknya di Pengadilan Agama, meskipun masih bersifat sebagai sumber hukum
pendukung utama dalam memeriksa dan memutuskan setiap perkara di Pengadilan Agama.37

35
Ahmad Affandy, Sejarah Kewarisan Islam Dan Terwujudnya Hukum Kewarisan Di Indonesia, (VOL. 15: Jurnal
Studi Islam, 2020), 48.
36
Ahmad Affandy, Sejarah Kewarisan Islam Dan Terwujudnya Hukum Kewarisan Di Indonesia, (VOL. 15: Jurnal
Studi Islam, 2020), 48.
37
Ahmad Affandy, Sejarah Kewarisan Islam Dan Terwujudnya Hukum Kewarisan Di Indonesia, (VOL. 15: Jurnal
Studi Islam, 2020), 49.
13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Sejarah waris mewarisi pada zaman jahiliya, pembagian harta warisan pada masa ini,
dilakukan dengan memakai dua sistem, yaitu sistem keturunan dan sistem sebab. Tradisi dalam
pembagian harta warisan pada masa jahiliah bersifat patrilinear, artinya anak-anak yang belum
dewasa dan kaum perempuan tidak berhak mendapatkan harta warisan, sekalipun mereka
merupakan ahli waris dari yang telah meninggal dunia. Sangat jelas bahwa sebelum datangnya
Islam, bangsa Arab memperlakukan kaum wanita secara zalim. Mereka tidak memberikan hak
waris kepada kaum wanita dan anak-anak, baik dari harta peninggalan ayah, suami, maupun
kerabat mereka.

Sejarah waris mewarisi pada zaman awal islam, ada dua teori yang muncul yaitu teori receptie
in complexu oleh Lodewijke William Christian van den Berg pada tahun 1884 menulis buku
dengan nama Muhammadagch recht (Asas-Asas Hukum Islam) menyatakan bahwa hukum Islam
berlaku bagi orang-orang Islam Indonesia walaupun terdapat sedikit penyimpangan-
penyimpangan dan teori receptie Oleh Chritian Snouck Hoergronje, adalah penasehat Pemerintah
Hindia Belanda mengenai permasalahan Islam dan anak negeri. Hal ini memperkuat kritikan van
Vollenhomen terhadap teori receptie in complexu Menurut Snouck Horgronje, hukum yang
berlaku bagi orang-orang Islam adalah hukum adat mereka masing-masing. Hukum Islam dapat
berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum adat.

Warga Negara Indonesia mayoritas beragama Islam, dan dalam memahami ajaran agamanya
bersifat totalitas maka perkembangan selanjutnya ahli hukum Islam Indonesia berusaha agar
hukum Islam itu menjadi hukum nasional, dengan mengadakan seminar nasional dalam
pembentukan hukum, hukum Islam dijadikan sebagai salah satu sumber hukum disamping hukum
Eropa dan hukum Adat. Karena itu, nilai-nilai hukum Islam tidak boleh dari doktrin agama Islam.
KHI telah menunjukkan adanya law and rule dalam prakteknya di Pengadilan Agama, meskipun
masih bersifat sebagai sumber hukum pendukung utama dalam memeriksa dan memutuskan
setiap perkara di Pengadilan Agama.

B. Saran

Besar harapan penyusun agar setelah pembaca membaca makalah ini, pembaca akan lebih
bijak dalam menyikapi permasalahan tentang waris dan dapat mengambil pelajaran dari sejarah
yang telah dipaparkan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam,


(Jakarta: Bulan Bintang, 1970)

Gisca, Nur, Assyafira, Waris Berdasarkan Hukum Islam Di Indonesia,


(VOL. 8: jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Islam, 2020)

Maimun Nawawi, Pengantar Hukum Kewarisan Islam,


(Surabaya: Pustaka Radja, 2016)

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris,


(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010)

Ahmad Affandy, Sejarah Kewarisan Islam Dan Terwujudnya Hukum Kewarisan Di Indonesia,
(VOL. 15: Jurnal Studi Islam, 2020)

Muhammad Suhaili Sufyan, Fiqh Mawaris Praktis,


(Bandung: Cita Pusaka Media Perintis, 2012)

Moh. Muhibbudin, Hukum Kewarisan Islam,


(Jakarta: Sinar Grafika, 2009)

Muhammad Ali ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam,


(Jakarta: Gema Inasani Press, 1995)

Ismuha, Penggantian Tempat Dalam Hukum Waris Menurut KUH Perdata, Hukum Adat dan Hukum
Islam,
(Darussalam: Bulan Bintang, 1978)

Fatchur Rahman, Ilmu Waris,


(Bandung: Al-Ma’arif, 1981)

Sayuti Thalib, Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam,


(Jakarta: Bina Aksara 1980)

A. Rahmad Rosyadi dan M. Rais Ahmad, Formulasi Syari’at Islam Dalam Perspektif Tata Hukum
Indonesia,
(Bogor: Ghalia I ndonesia, 2006)

15

Anda mungkin juga menyukai