Kelompok 3
Alifviya Sari (23010049)
Desi Anastasya (23010062)
Farah Salsabila (23010132)
Siti Aisyah Nasution (23010135)
Fitri Ramadhani (23010140)
Zahara Maghfiratush Sholihah (23010141)
Laila Wahyuni Lubis (23010162)
T.A 2023/2024
KATA PENGANTAR
Penyusun,
Kelompok 3
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar belakang
Islam sebagai syariat dari semua syariat yang telah diturunkan Allah SWT dimuka bumi
ini, merupakan satu-satunya ajaran yang cocok dan sesuai untuk semua ruang, waktu dan
kondisi. Ajarannya sangat agung dan mulia karena mengatur dan mengarahkan kehidupan
manusia dan alam semesta sesuai dengan asas keadilan yang menjadi harapan.
Islam tidak hanya mengatur masalah yang terbatas pada masa tertentu, akan tetapi
ajarannya mampu memberikan solusi pada berbagai masalah yang dihadapi manusia dan alam
semesta termasuk masalah klasik dan kontemporer. Hal itu karena pintu ijtihad selalu terbuka
dan memberi peluang bagi segenap para cendikia untuk memberi terobosan hukum baru yang
dibutuhkan. Sumber-sumber hukum Islam merupakan dalil-dalil tempat berpijaknya setiap
kebijakan hukum Islam. Menurut Imam al-Amidiy, dalil yang merupakan bentuk tunggal dari
al-Adillah menurut bahasa adalah pedoman yang dapat mengarahkan kepada sesuatu baik
secara eksplisit maupun secara implisit. Sedangkan secara istilah, dalil adalah sesuatu yang
bisa menyampaikan kepada kesimpulan hukum melalui serangkaian perangkat teori yang
teruji.
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian sumber hukum Islam?
2. Apa saja sumber-sumber hukum Islam?
3. Bagaimana fungsi sunnah terhadap Al Qur'an?
4. Apa saja metode berijtihad dan syarat-syaratnya?
5. Apa peran ijtihad dalam pengembangan hukum Islam?
C. Tujuan penulis
1. Untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Pendidikan Agama Islam 1
2. Untuk menunjang pembelajaran di kampus
3. Untuk menambah wawasan pemakalah dan pembaca tentang sumber-sumber hukum Islam
dan metode berijtihad.
4
BAB II
PEMBAHASAN
2. Al-Furqaan, artinya pembeda maksudnya yang membedakan yang benar dan yang batil.
Hal ini dapat dilihat dalam surah:
ً ع ْب ِد ِه ِليَكُونَ ل ِْل َع َلمِ ينَ نَذ
ِيرا َ َل تبركَ الذِي نَز َل ْالفُرْ قَان
َ علَى
Artinya: Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al-Qur'an) kepada
hamba-Nya, agar Dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam (QS. Al-
Furqaan: 1)
3. Adz-Dzikir, artinya peringatan sebagaimana terdapat dalam surah:
ِ إِنا نَحْنُ نَز ْلنَا
َالذ ْك َر َوإِنا لَهُ َخ ِفظُون
Artinya: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur'an, dan Sesungguhnya
Kami benar-benar memeliharanya (QS. Al-Hijr: 9).
Selain ketiga nama di atas menurut Imam As Suyuthy menyebutkan nama-nama Al-Qur'an
diantaranya: Al-Mubiin, Al-Kariim, Al-Kalam dan An-Nuur.
Al-Qur'an diturunkan secara berangsur-angsur selama 22 tahun, 2 bulan dan 22 hari.
Ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah disebut Makkiyah dan ayat-ayat yang turun di Madinah
disebut Madaniyyah. Al-Qur'an terdiri dari 30 Juz, 114 Surah dan 6.236 ayat. Perbedaan ayat
makkiyah dan ayat madaniyyah yaitu:
1. Ayat-ayat makkiyah pada umumnya pendek-pendek sedangkan madaniyyah panjang-
panjang ayatnya.
6
2. Dalam ayat makkiyah terdapat kata-kata "ya ayyuhannas" (wahai manusia) sedangkan
dalam ayat madaniyyah terdapat kata-kata "ya ayyuhalladzina" (wahai orang-orang
yang beriman).
3. Ayat-ayat makkiyah pada umumnya mengandung hal-hal yang berhubungan dengan
keimanan, ancaman dan pahala, kisah-kisah umat terdahulu sedangkan ayat-ayat
madaniyyah mengandung hukum-hukum, seperti hukum kemasyarakatan, hukum antar
agama dan lain sebagainya.
7
1. Hukum-hukum I'tiqodiyyah, adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah
aqidah atau keyakinan seperti keimanan kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, dan hari
akhir.
2. Hukum akhlak dan perilaku atau Khuluqiyah, adalah hukum yang berkaitan dengan
metode penggemblengan dan pembersihan jiwa, seperti hukum-hukum yang
membahas amalan hati, akhlak mulia contohnya rasa takut, cinta, harap, jujur, syukur,
berbakti kepada orang tua, bersilaturahmi, sabar, memaafkan sesama, menepati janji,
dan lainnya.
3. Hukum-hukum Amaliah, adalah hukum yang pembahasannya berkaitan dengan
perbuatan mukallaf (orang yang baligh dan berakal). Dan hukum ini dibagi menjadi
dua jenis, yaitu:
a. Hukum ibadah yaitu hukum yang membahas segala sesuatu yang menghubungkan
antara manusia dan Tuhannya, semisal hukum Shalat, zakat, puasa, haji. Syaikh
Sulaiman Ar-Ruhaili Hafidzhahullahu ta'ala mengatakan ibadah adalah segala
sesuatu yang dilakukan dengan tujuan utama mengharapkan pahala dari Allah
ta'ala.
b. Hukum Muamalah, adalah istilah yang digunakan untuk menyebut segala sesuatu
selain ibadah, dan yang dimaksud Muamalah adalah hukum-hukum yang berkaitan
dengan pengaturan hubungan antara individu dan kelompok. Seperti hukum pidana,
jual beli, nikah, talak, politik Islam. Dikatakan juga oleh Syaikh Sulaiman Ar
Ruhaili Hafidzhahullahu ta'ala bahwa muamalah adalah segala bentuk perbuatan
yang dilakukan dengan tujuan utama untuk mendapatkan perkara dunia.
d. Sejarah Pembukuan Al-Qur'an
Sejarah dari pembukuan Al-Qur'an, yaitu ketika diturunkan satu atau beberapa ayat,
Rasulullah SAW langsung menyuruh para sahabat untuk menghafalkannya dan menuliskannya
di hadapan beliau. Rasulullah mendiktekannya kepada para penulis wahyu. Para penulis wahyu
menuliskannya ke dalam lembaran-lembaran yang terbuat dari kulit, daun, kaghid, tulang yang
pipih, pelepah kurma, dan batu-batu tipis. Ketika Rasulullah SAW wafat, Al-Qur'an secara
keseluruhan sudah tertulis pada lembaran-lembaran, tulang-tulang, pelepah kurma, batu-batu
tipis, dan dalam hafalan para sahabat.
Lalu, Pengumpulan Al-Qur'an yang dilakukan Zaid bin Tsabit. Pengumpulan ini tidak
berdasarkan hafalan para huffazh saja, melainkan dikumpulkan terlebih dahulu apa yang sudah
tertulis di hadapan Rasulullah saw. Lembaran al-Qur'an tersebut tidak diterima, kecuali setelah
disaksikan dan juga dipaparkan di depan dua orang saksi yang menyaksikan bahwa lembaran
ini merupakan lembaran-lembaran yang ditulis di hadapan Rasulullah SAW. Tidak selembar
pun diambil kecuali memenuhi dua syarat, yaitu:
1. Harus diperoleh secara tertulis dari salah seorang sahabat.
2. Harus dihafal oleh salah seorang dari kalangan sahabat.
Karena telitinya, hingga pengambilan akhir Surah at-Taubah sempat terhenti karena
tidak bisa dihadirkannya dua orang saksi yang. menyaksikan bahwa akhir Surah at-Taubah tsb
ditulis di hadapan Rasululllah saw, kecuali kesaksian Khuzaimah saja. Para sahabat tidak
berani menghimpun akhir ayat tersebut, sampai terbukti bahwa Rasulullah telah berpegang
8
pada kesaksian Khuzaimah, bahwa kesaksian Khuzaimah sebanding dengan kesaksian dua
orang muslim yang adil. Barulah mereka menghimpun lembaran yang disaksikan oleh
Khuzaimah tersebut.
Perlu diketahui, bahwa pengumpulan-pengumpulan ini bukan pengumpulan Al-Qur'an
untuk ditulis dalam satu mushaf, tetapi sekedar mengumpulkan lembaran- lembaran yang telah
dituliskan di hadapan Rasulullah SAW ke dalam satu tempat.
Lembaran-lembaran Al-Qur'an ini tetap terjaga bersama Abu Bakar selama hidupnya.
Kemudian berada pada Umar bin al-Khaththab selama hidupnya. Kemudian bersama Ummul
Mu'minin Hafshah binti Umar ra sesuai wasiat Umar.
e. Penyalinan Al-Qur'an
Kemudian datanglah masa pemerintahan Amirul Mu'minin Utsman bin Affan ra. Di
wilayah-wilayah yang baru dibebaskan, sahabat nabi yang bernama Hudzaifah bin al-Yaman
terkejut melihat terjadi perbedaan dalam membaca al-Qur'an. Hudzaifah melihat penduduk
Syam membaca al-Qur`an dengan bacaan Ubay bin Ka'ab. Mereka membacanya dengan
sesuatu yang tidak pernah didengar oleh penduduk Irak. Begitu juga ia melihat penduduk Irak
membaca al- Qur'an dengan bacaan Abdullah bin Mas'ud, sebuah bacaan yang tidak pernah
didengar oleh penduduk Syam. Implikasi dari fenomena ini adalah adanya peristiwa saling
mengkafirkan di antara sesama muslim. Perbedaan bacaan tersebut juga terjadi antara
penduduk Kufah dan Bashrah.
Hudzaifah pun marah. Kedua matanya merah. Hudzaifah berkata, "Penduduk Kufah
membaca qiraat Ibnu Mas'ud, sedangkan penduduk Bashrah membaca qiraat Abu Musa. Demi
Allah jika aku bertemu dengan Amirul Mu'minin, sungguh aku akan memintanya untuk
menjadikan bacaan tersebut menjadi satu."
Sekitar tahun 25 H, datanglah Huzaifah bin al-Yaman menghadap Amirul Mu'minin
Utsman bin Affan di Madinah. Hudzaifah berkata "Wahai Amirul Mu'minin, sadarkanlah umat
ini sebelum mereka berselisih tentang al-Kitab (al-Qur'an) sebagaimana perselisihan Yahudi
dan Nasrani."
Utsman kemudian mengutus seseorang kepada Hafshah agar Hafshah mengirimkan
lembaran-lembaran al-Qur'an yang ada padanya kepada Utsman untuk disalin ke dalam
beberapa mushhaf, dan setelah itu akan dikembalikan lagi.
9
dengan sunnah, maka dapat berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun
persetujuan dari Rasulullah SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum Islam.
As-Sunnah atau Al-Hadits merupakan wahyu kedua setelah Al- Qur'an. sudah menjadi
kesepakatan seluruh kaum muslimin pada generasi awal, bahwa As-Sunnah merupakan sumber
kedua dalam syari'at Islam di semua sisi kehidupan manusia, baik dalam perkara ghaib yang
berupa aqidah dan keyakinan, maupun dalam urusan hukum, politik, pendidikan dan lainnya.
Tidak boleh seorang pun melawan As-Sunnah dengan pendapat, ijtihad maupun qiyas. Imam
Syafi'i Rahimahullah di akhir kitabnya, Ar-Risalah berkata, "Tidak halal menggunakan qiyas
tatkala ada hadits (shahih)." Kaidah Ushul menyatakan, "Apabila ada hadits (shahih) maka
gugurlah pendapat”, dan juga kaidah "Tidak ada ijtihad apabila ada nash yang (shahih)".
a. Macam-macam Sunnah
Ditinjau dari segi maddah (bahan) atau urgensinya as sunnah terbagi menjadi 4 (empat)
macam yaitu: Qouliyyah, Filiyyah, Taqririyyah, dan Hammiyyah. Penjelasan masing-masing
sunnah di atas ialah sebagai berikut:
1. Sunnah Qauliyah (Sunnah yang bangsa ucapan), yaitu Hadits- Hadits atau berita-berita
yang diucapkan Rasulullah SAW dalam berbagai topik, tujuan dan dalam keadaan yang
berlainan.
2. Sunnah Filiyah (Sunnah yang bangsa perbuatan Rasulullah SAW). seperti perbuatan
Rasulullah dalam melaksanakannya shalat 5 (lima) waktu, ibadah haji, zakat dan
ibadah-ibadah lainnya dalam segala bentuk dan rukunnya.
3. Sunnah Taqririyah (ketetapan/pengakuan Rasulullah SAW terhadap segala ucapan atau
perbuatan para sahabatnya).
4. Sunnah Hammiyah, yaitu keinginan Nabi Muhammad SAW untuk melakukan suatu
hal, seperti keinginan untuk berpuasa pada tanggal 9 Muharram.
Kemudian dari kuantitas periwayatannya, as sunnah hanafiyyin terbagi menjadi 3 (tiga)
macam, yaitu sunnah mutawattir, sunnah masyhur, dan sunnah ahad. Penjelasan dari ketiga
sunnah di atas. yaitu:
1. Mutawattir adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang menurut akal tidak
mungkin mereka bersepakat dusta
2. Masyhur adalah hadits yang diriwatkan oleh orang banyak tetapi tidak sampai kepada
derajat mutawattir, baik karena jumlahnya maupun tidak melalui jalan indra.
3. Ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih yang tidak sampai derajat
mutawatir dan masyhur
Ditinjau dari segi kualitas haditsnya, as-sunnah terbagi menjadi 4 (empat) macam,
yaitu: berupa shahih, hasan, dan dhe'if serta maudhu Penjelasannya, yaitu:
1. Shahih adalah hadits yang sehat, yang diriwayatkan oleh orang- orang yang terpercaya
dan kuat hafalannya, materinya baik dan persambungan sanadnya dapat
dipertanggungjawabkan.
2. Hasan adalah hadits yang memenuhi persyaratan hadits shahih kecuali di segi
hafalannya periwatnya yang kurang baik.
10
3. Dha'if adalah hadits lemah, baik karena terputus salah satu sanadnya atau karena salah
satu pembawanya kurang baik dan lain-lain.
4. Maudhu adalah hadits palsu, hadits yang dibuat oleh seseorang dan dikatakan sebagai
sabda atau perbuatan Rasul
Ditinjau dari sumbernya atau dari segi orang berbuat atau berkara. Terbagi menjadi 3
(tiga) macam, yaitu: hadits Marfa, Mauquf, dan Maqthu, Penjelasannya ialah sebagai berikut:
1. Marfu' adalah betul-betul Rasul yang pernah bersabda, berbuat dan memberi izin.
2. Mauquf adalah sahabat Rasul yang berbuat akan tetapi Rasul tidak menyaksikan
perbuatan sahabat tersebut.
3. Maqtu adalah tabi'in yang berbuat. Artinya perkataan tabi'in yang berhubungan dengan
soal-soal keagamaan.
Ditinjau dari segi diterima dan tidaknya, berupa hadits maqbul adalah hadits yang mesti
diterima dan mardud adalah hadits yang mesti diitolak. Selain hadits-hadits di atas dikenal pula
hadits qui adalah hadits suci yang isinya berasal dari Allah SWT kemudian disampaikan oleh
Rasulullah SAW. Hadits qudsi tidak termasuk dalam Al-Qur'an, tetapi memiliki nilai otoritas
dan keagungan karena sumbernya Allah SWT.
3. Ijma’
Kesepakatan seluruh ulama mujtahid pada satu masa setelah zaman Rasulullah atas
sebuah perkara dalam agama. Dan ijma’ yang dapat dipertanggungjawabkan adalah yang
terjadi di zaman sahabat, tabiin (setelah sahabat), dan tabi’ut tabiin (setelah tabiin). Karena
setelah zaman mereka para ulama telah berpencar dan jumlahnya banyak, dan perselisihan
semakin banyak, sehingga tak dapat dipastikan bahwa semua ulama telah bersepakat. Ijma’
ulama menjadi sangat penting dalam menghadapi permasalahan kehidupan umat Islam dalam
perkembangan yang sangat pesat dewasa ini. Meski demikian, Ijma’ ulama tidaklah mudah
untuk dilakukan, sebab terdapat persyaratan yang harus dipenuhi, antara lain:
a. Terdapat perwakilan ulama-ulama mujtahid dari segenap perwakilan umat Islam di
seluruh negara untuk berkumpul atau saling berkomunikasi membahas suatu
permasalahan baru yang tidak bisa ditemukan kejelasannya baik dalam al-Qur’an
maupun al-Sunnah.
b. Para ulama mujtahid itu bersepakat untuk memutuskan hukum dibahas secara bersama-
sama, sehingga keputusan itu merupakan keputusan dari seluruh ulama Islam di seluruh
negara.
c. Kesepakatan pendapat tersebut harus nyata, baik melalui perbuatan maupun fatwanya,
sebab terdapat kemungkinan ada diantara ulama mujtahid yang diam, yang
mengakibatkan perbedaan dalam nilai ijma’ sukuti atau diam.
d. Kebulatan pendapat yang bukan ulama mujtahid tidak disebut ijma‟ ulama, demikian
pula kebulatan pendapat hanya mencakup sebagian besar ulama mujtahid, bukan ijma’
ulama (Rozak dan Ja’far, 2019).
4. Qiyas
11
Sumber hukum Islam yang keempat setelah Al-Quran, Al-Hadits dan Ijma’ adalah
Qiyas. Qiyas berarti menjelaskan sesuatu yang tidak ada dalil nashnya dalam Al Qur'an
ataupun hadis dengan cara membandingkan sesuatu yang serupa dengan sesuatu yang hendak
diketahui hukumnya tersebut. Artinya jika suatu nash telah menunjukkan hukum mengenai
suatu kasus dalam agama Islam dan telah diketahui melalui salah satu metode untuk
mengetahui permasalahan hukum tersebut, kemudian ada kasus lainnya yang sama dengan
kasus yang ada nashnya itu dalam suatu hal itu juga, maka hukum kasus tersebut disamakan
dengan hukum kasus yang ada nashnya.
5.Macam-Macam Hukum Islam
a. Wajib
Wajib adalah sesuatu perbuatan yang jika dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika
ditinggalkan akan diberi siksa. Contoh dari perbuatan yang memiliki hukum wajib adalah
shalat lima waktu, memakai hijab bagi perempuan, puasa, dan banyak lagi.
b. Sunnah
Sunnah ialah sesuatu perbuatan yang dituntut agama untuk dikerjakan tetapi tuntutannya tidak
sampai ke tingkatan wajib atau sederhananya perbuatan yang jika dikerjakan akan
mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak akan mendapatkan siksaan atau hukuman.
Contoh dari perbuatan yang memiliki hukum sunnah ialah shalat yang dikerjakan
sebelum/sesudah shalat fardhu, membaca shalawat Nabi, mengeluarkan sedekah dan
sebagainya.
c. Haram
Haram ialah sesuatu perbuatan yang jika dikerjakan pasti akan mendapatkan siksaan dan jika
ditinggalkan akan mendapatkan pahala. Contoh perbuatan yang memiliki hukum haram adalah
berbuat zina, minum alkohol, bermain judi, mencuri, korupsi dan banyak lagi.
d. Makruh
Makruh adalah suatu perbuatan yang dirasakan jika meninggalkannya itu lebih baik dari pada
mengerjakannya. Contoh dari perbuatan makruh ini adalah merokok, dan sebagainya.
e. Mubah
Mubah adalah suatu perbuatan yang diperbolehkan oleh agama antara mengerjakannya atau
meninggalkannya. Contoh dari mubah adalah olahraga, dan sebagainya.
Sunnah, yang mencakup hadis dan perbuatan Nabi Muhammad SAW, membantu
dalam memahami dan menjelaskan ayat-ayat Al-Qur'an yang mungkin memerlukan konteks
atau penjelasan tambahan. Hadist-hadist Nabi sering kali memberikan tafsir atau penjelasan
lebih lanjut tentang konsep-konsep dalam Al-Qur'an. Dengan demikian Sunnah merupakan
keterangan Nabi Muhammad SAW baik berupa ucapan ( sunnah qauliyah ), perbuatan ( sunnah
12
filiyah ), maupun ketetapan Nabi ( sunnah taqririyah ). Selain itu, Sunnah juga merupakan
sumber hukum kedua setelah al Quran. Hal demikian itu disebabkan adanya perbedaan sifat,
yaitu al Quran bersifat qhati al wurud , sedangkan sunnah bersifat dhanni al wurud
Sementara fungsi sunnah terhadap Al-Quran adalah pertama, sunnah berfungsi sebagai
penguat ( taqid ) atas apa yang dibawa Al-Quran. Kedua, fungsi sunnah sebagai penjelas
(tabyin) atas apa yang terdapat dalam Al-Quran. Dan ketiga , fungsi sunnah sebagai
mustaqillah atau menetapkan hukum yang belum ada hukumnya dalam Al-Quran.
Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al Qur'an . Hal ini
berarti bahwa ketetapan hadis itu merupakan ketetapan yang bersifat tambahan hal-hal yang
tidak disinggung oleh Alquran dan hukum-hukum.
c. Pelaksanaan Sunnah
1. Ijma', adalah persetujuan atau kesesuaian pendapat para ahli mengenai suatu masalah
pada suatu tempat di suatu masa.
2. Qiyas, adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya di dalam
Al-Qur'an dan As-Sunah dengan hal (lain) yang hukumnya disebut dalam Al-Qur'an
13
dan sunnah Rasul karena persamaan illat-Nya. Contoh: Larangan meminum khamr
yang telah terdapat dalam Al- Qur'an surah Al-Maidah ayat 90. Yang menyebabkan
minuman itu dilarang adalah illat-Nya yakni memabukkan. Sebab minuman yang
memabukkan, dari apapun ia dibuat, hukumnya sama dengan khamr yaitu dilarang
untuk diminum. Dan untuk menghindari akibat buruk meminum minuman yang
memabukkan itu, maka dengan qiyas pula ditetapkan semua minuman yang
memabukkan, apapun namanya, dilarang untuk diminum dan diperjual belikan untuk
umum.
3. Istidlal, adalah menarik kesimpulan dari dua hal yang berlainan. Contoh: Menarik
kesimpulan dari adat-istiadat dan hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam.
4. Al mashalih al mursalah, adalah cara menemukan hukum sesuatu hal yang tidak
terdapat ketentuannya baik di dalam Al-Qur'an maupun dalam kitab-kitab hadits,
berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum. Contoh:
Pembenaran pemungutan pajak penghasilan untuk kemaslahatan, yang sama sekali
tidak ada disinggung di dalam Al- Qur'an dan As Sunnah Rasul.
5. Istishan, adalah cara menentukan hukum dengan cara menyimpang dari ketentuan yang
sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial. Istishan adalah suatu cara untuk
mengambil keputusan yang tepat menurut suatu keadaan. Contohnya: Pencabutan hak
milik seseorang atas tanah untuk pelebaran jalan, pembuatan irigasi untuk mengairi
sawah-sawah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial.
6. Istisab, adalah menetapkan hukum suatu hel menurut keadaan yang terjadi sebelumnya,
sampai ada dalil yang mengubahnya. Contoh: A mengadakan perjanjian utang-piutang
dengan B menurut A utangnya telah dibayar kembali, tanpa menunjukan bukti atau
saksi. Dalam kasus ini berdasarkan istisab dapat ditetapkan bahwa A masih belum
membayar utangnya dan perjanjian itu masih tetap berlaku selama belum ada bukti
yang telah menyatakan bahwa perjanjian utang-piutang tersebut telah berakhir.
7. Adat-Istiadat atau 'Urf, adalah yang tidak bertentangan hukum Islam dapat dikukuhkan
tetap terus berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan. Contoh: Melamar wanita
dengan memberikan sebuah tanda (pengikat), pembayaran mahar secara tunai atau
utang atas persetujuan kedua belah pihak, dan lain-lain.
Melansir dari isi buku Filsafat Hukum dan Maqashid Syariah, Muhammad Syukuri
Albani Nasution dan Rahmat Hidayat Nasution (2020:31), berikut syarat-syarat ijtihad yang
wajib dipenuhi agar dapat membuat ketetapan hukum Islam.
1. Para mujtahid (ulama yang melakukan ijtihad) haruslah menguasai bahasa Arab dan
ilmu pengetahuan lainnya
2. Mujtahid haruslah memiliki pengetahuan yang luas tentang asbabul nuzul ayat Alquran
dan hadist beserta seluk beluk dan tafsir-tafsirnya
3. Mujtahid perlu mengetahui dan memahami kesepakatan yang telah dilakukan
ulama/mustahid sebelumnya dalam menetapkan hukum Islam
4. Mujtahid haruslah memahami ilmu fiqih dan kaidah-kaidah dalam agama Islam
5. Mujtahid haruslah memahami perkara yang hendak dicarikan ketetapan hukumnya
tersebut
6. Mujtahid haruslah memiliki akhlak terpuji dan memiliki niat ikhlas dalam melakukan
ijtihad
14
E. Peran Ijtihad Dalam Pengembangan Hukum Islam
Ijtihad memiliki peran penting dalam pengembangan hukum Islam. Ini adalah proses
interpretasi dan analisis hukum Islam untuk menghadapi perubahan zaman dan kondisi sosial.
Ijtihad memungkinkan ulama dan cendekiawan agama untuk mengadaptasi hukum Islam ke
dalam konteks kontemporer. Proses ini dapat menghasilkan fatwa atau pandangan hukum baru
yang relevan dengan perubahan zaman, menjadikan hukum Islam lebih dinamis dan sesuai
dengan kebutuhan masyarakat modern.
Ijtihad memiliki peran penting dalam pengembangan hukum Islam, yaitu:
• Penyesuaian terhadap Konteks Modern: Ijtihad memungkinkan hukum Islam untuk
disesuaikan dengan kondisi sosial dan teknologi yang berkembang. Sebagai contoh,
dalam era digital, ijtihad dapat digunakan untuk menentukan pandangan hukum tentang
masalah seperti perdagangan Online atau keuangan berbasis teknologi.
15
BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Kesimpulannya, sumber hukum dan metode ijtihad merupakan landasan penting dalam
pengembangan hukum Islam. Sesuai dengan pentingnya sumber hukum, terutama Al-Qur'an
dan Sunnah, serta metode ijtihad dalam membentuk dan mengembangkan hukum Islam.
Sumber-sumber ini memberikan dasar yang kokoh untuk memahami dan menetapkan hukum
dalam konteks kehidupan umat Islam. Dengan memahami serta mengaplikasikan sumber-
sumber ini, umat Islam dapat mengatasi tantangan hukum dalam konteks kehidupan mereka.
B. SARAN
Sebagai umat Islam, ada baiknya kita lebih aktif terlibat dalam pemahaman dan aplikasi
sumber hukum Islam. Meningkatkan pemahaman terhadap Al Qur'an dan Sunnah melalui
pengajaran agama, mengamalkan atau mempraktikkan ijtihad dalam kehidupan sehari-hari
untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan hukum Islam. Sehingga, kita semua
bisa menjadikan sumber hukum Islam dan ijtihad sebagai panduan dalam menjalani
kehidupan sehari-hari.
16
DAFTAR PUSTAKA
Diya al-Afkar.(2017).Al-Sunnah dan Tafsir Al Qur'an (Tinjauan tentang Fungsi dan Posisi Al
Sunnah dalam Tafsir Al Qur'an). Vol 5. No.1. Hal 25-26.
Eva iryani.(2017). Hukum Islam, Demokrasi Dan Hak Asasi Manusia. Jurnal Ilmiah
Universitas Batang Hari Jambi. Vol 17. No. 2.
Muannif Ridwan. M Hasbi Umar. Abdul Ghafar.(2021). Sumber-sumber Hukum Islam dan
Implementasinya (Kajian Deskriptif Kualitatif tentang Al Qur'an, Sunnah, dan Ijma').
Borneo: Journal Of Islamic Studies. Vol 1. No.2. Hal 32.
Buku Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi. Sumber Ajaran Islam dan Metode-
metode Berijtihad. Bab 5. Hal 73-97.
https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-6478802/metode-ijtihad-dalam-islam-apa-itu
17