Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH KELOMPOK 1

KELUASAN DAN KELUWESAN HUKUM ISLAM

Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Qawaid Fiqhiyyah

Dosen Pengampu: Dr. Hj. Azizah, M. A.

Disusun Oleh

Farhan Shadik (11210440000015)

Izzatul Ulfa (11210440000017)

Milda Dzulfika Khofifah (11210440000024)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami ucapkan
puji syukur atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada pemakalah sehingga tugas makalah
dapat terselesaikan. Shalawat serta salam atas junjungan Nabi besar Muhammad SAW, sebagai
uswatun khasanah, sosok teladan yang baik bagi manusia untuk meraih kesuksesan dunia dan
akhirat.

Makalah ini telah kami susun dengan proses analisis dan diskusi yang maksimal dan juga
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak serta beberapa sumber terpercaya sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami mengucapkan banyak terimakasih kepada
semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan, baik
dalam segi kalimat, tata bahasa serta isi dari makalah. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka
kami menerima segala saran dan kritik dari para pembaca agar dapat memperbaiki makalah ini
sehingga mendekati kata sempurna.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Ciputat, Maret 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. i


DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................... 2
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................ 2
D. Manfaat Penulisan .......................................................................................... 2
E. Metode Penulisan ........................................................................................... 2
F. Sistematika Penulisan .................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................... 4
A. Keluasan Hukum Islam .................................................................................. 4
B. Keluwesan Hukum Islam ............................................................................... 11
BAB III PENUTUP .................................................................................................. 17
A. Simpulan ........................................................................................................ 17
B. Saran .............................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum adalah salah satu elemen ajaran yang penting dalam agama Islam. Dalam
istilah agama ini hukum disebut syariah atau fikih. Tetapi kedua kata itu tidak memiliki
pengertian yang sama dengan kita menyebut dan mengenal hukum dalam kehidupan
sehari-hari kita. Pengertian hukum yang kita kenal sehari-hari dan lebih khusus dalam
imu hukum merujuk kepada sekumpulan norma yang disebut norma hukum. Di antara
cirí norma hukum itadalah bahwa ia ditegakkan dengan dukungan kekuasaan dan
karenanya bersifat memaksa. Sementara pengertian hukum yang terkandung dalam
syariah atau fikih selain mencakup norma hukum juga mencakup norma agama, norma
susila dan norma sosial yang diajarkan agama Islam. Jadi pengertian hukum yang
terkandung dalam syariah atau fikih jauh lebih luas dan lebih cair dari pengertian hukum
yang kita kenal dalam keseharian kita. Tentu masih banyak perbedaan yang lain.1
Hukum Islam dalam tata hukum di Indonesia merupakan salah satu hukum positif
yang berlaku di Indonesia. Hukum Islam dianut dan ditaati oleh umat Islam yang
merupakan penduduk terbesar di Indonesia. Dalam praktiknya, hukum Islam adalah salah
satu bagian sistem hukum yang berlaku di Indonesia, yang mempunyai peranan yang
amat penting dan menentukan dalam mengatur kehidupan bangsa Indonesia.
Hukum Islam secara pokok terbagi dalam dua bidang hukum, meliputi: 1) Hukum
yang bersifat Ubudiyah melipui hukum tentang Thaharah, tentang Ibadah, yaitu
menyangkut salat, puasa, zakat dan haji. 2) Hukum tentang kehidupan sosial, yaitu:
Hukum perkawinan, hukum waris, mu'amalah, hibah, wasiat, al-sulthaniyah, hukum
pidana (hukum qishas (jinayat), hukum hudud), hukum jihad, hukum tentang makanan
dan penyembelihan, hukum aqdiyah (hukum-hukum pengadilan), dan hukum al khilafah
(suatu susunan pemerintahan diatur menurut ajaran Agama Islam). Hukum Islam sebagai
bagian dari sistem dan tata hukum di Indonesia mempunyai beberapa bidang hukum

1
Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer, cet. 1, (Yogyakarta: UAD PRESS), h. 1.

1
cakupan yang kesemuanya mengatur seluruh tata kehidupan umat manusia dan secara
khusus mengatur perilaku umat Islam.2
Sedangkan kata keluasan itu adalah sisi lain dari kata keluwesan. Dua kata ini
hanya berbeda pada harkatnya saja. Dalam bahasa Arab keluasan memakai harakat
fathah, sedangkan keluwesan memakai harakat kasrah. Namun, dalam bahasa Indonesia
ada konsonan a dan b saja, tidak ada konsonan e. Jadi dalam bahasa Arab ditulis luas dan
luwes. Jika dilihat dari maknanya, luas adalah terkait dengan daya tampung. Islam
disebut mencakup seluruh dimensi kehidupan. Sedangkan, luwes maknanya adalah
fleksibilitas atau fungsi penyesuaian, maksudnya bisa dilaksanakan di setiap waktu,
zaman dan keadaan sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana keluasan hukum Islam dari aspek agamis, sosiologi dan historis ?
2. Bagaimana keluwesan hukum Islam?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Qowaid Fiqhiyyah tentang Keluasan dan
Keluwesan hukum Islam.
2. Agar penulis dan para pembaca dapat mengetahui tentang kaitan dan hubungan antara
keluasan dan keluwesan hukum Islam.
3. Untuk memahami apa saja aspek-aspek yang ada dalam keluasan dan keluesan
hukum Islam.
D. Manfaat Penulisan
Agar dapat menambah minat para pembaca untuk mengetahui lebih dalam tentang
keluasan dan keluwesan hukum Islam, serta untuk menambah wawasan para penulis
tentang pembahasan tersebut.
E. Metode Penulisan
Metode penulisan yang penyusun pilih adalah metode kajian pustaka yang berarti
mempelajari materi dengan mengumpulkan data yang bersumber dari buku, jurnal atau
informasi yang berasal dari internet.
F. Sistematika Penulisan

2
Palwati Tahir dan Dini Handayani, Hukum Islam, cet. 1, (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2018), h. 1-2.

2
1. BAB I : Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan dan batasan masalah,
tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
2. BAB II : Penyusun akan menjabarkan tentang keluasan dan keluwesan hukum Islam.
3. BAB III : Penulis akan membuat kesimpulan dan beberapa saran bagi para pembaca
dan penulis.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Keluasan Hukum Islam


Istilah “Hukum Islam” yang terdiri dari rangkaian kata “hukum” dan “Islam”,
secara tegas tidak terdapat dalam Al-Quran. Meskipun kata hukum, baik dalam bentuk
ma‟rifah maupun nakīrah, disebutkan pada 108 ayat dalam Alquran.3 Tidak satupun dari
ayat-ayat tersebut mengungkapkan rangkaian kata “hukum Islam”. Pada literatur hukum
dalam Islam juga tidak ditemukan lafaz “hukum Islam”. Yang biasa digunakan adalah
kata syarī‟at, fiqh, hukum Allah, atau hukum syar‟i.4
Syariah dalam pengertian etimologi adalah jalan ke tempat mata air, atau tempat
yang dilalui oleh air sungai, sedangkan syariah dalam pengertian terminologi adalah
seperangkat norma Ilahi atau aturan Allah SWT yang mengatur hubungan manusia
dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan sesamanya dalam kehidupan sosial,
hubungan manusia dengan makhluk lainnya di alam lingkungan hidupnya.5 Sedangkan
Fiqh (fikih dalam bahasa Indonesia) secara etimologi artinya paham, pengertian, dan
pengetahuan. Fiqh secara terminologi adalah hukum syara' yang bersifat praktis (amaliah)
yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci. Dari pengertian di atas menunjukkan
bahwa antara syariah dan fiqh mempunyai hubungan yang sangat erat, yaitu dapat
dibedakan tetapi tidak dapat diceraipisahkan. Kedua istilah dimaksud, yaitu (1) syariat
Islam dan (2) Fikih Islam.6
Hukum Islam dapat dipahami sebagai sebuah hukum yang bersumber dari ajaran
syariat Islam yaitu Al-Qur'an dan as-Sunnah atau hadist. Secara sederhana hukum dapat
dipahami sebagai seperangkat aturan-aturan atau norma-norma yang mengatur tingkah
laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan
yang tumbuh dan berkembang di masyarakat maupun sebuah ketentuan yang ditetapkan

3
Faidullah al-Maqdisi, Fath al-Rahmān, (Bairūt: Mathba‟ah Ahliyah, 1323 H), h. 112.
4
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikirian dalam Hukum Islam, (Padang: Angkasa Raya, 1990), h. 18.
5
Zainuddin Ali, Hukum Islam, cet. 1, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006), h. 3.
6
Zainuddin Ali, Hukum Islam, h. 4.

4
oleh penguasa. Bentuknya bisa tertulis seperti peraturan perundangan maupun tidak
tertulis seperti hukum adat.7
Keluasan hukum Islam dapat dilihat dari 3 aspek berikut, yaitu:
1. Aspek Agamis
Hukum Islam itu sendiri dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu: ibadah dan
muamalah.8 Ibadah berisi aturan-aturan tentang relasi/komunikasi antara manusia
dengan Tuhannya, sekalipun tetap ada dimensi-dimensi kemanusiaan dan sosialnya.
Sedangkan muamalah berisi aturan-aturan tentang interaksi antara sesama manusia
atau dengan alam sekitarnya, walaupun tetap ada dimensi ketuhanannya.9 Dalam
kaitan ini, Alquran hanya memberikan prinsip dasarnya saja, sedangkan penjelasan
(bayan) nya adalah melalui hadis-hadis Rasulullah saw.
Aturan-aturan hukum syariat tersebut pada hakikatnya harus ditaati oleh umat
Islam. Dalam mentaati dan melaksanakannya, tidak selamanya didasarkan kepada
pengetahuan manusia terhadap tujuan hukum itu. Artinya, bahwa akal manusia
terkadang tidak mampu memahami alasan dan tujuan suatu aturan hukum syariat
yang harus ditaati dan dilaksanakannya. Ketaatan manusia kepada aturan hukum
syariat tersebut tidak selamanya didasarkan kepada kemaslahatan yang akan
diperoleh manusia dalam kehidupan di dunia, meskipun sebenarnya aturan hukum
syariat tersebut pasti mengandung kemaslahatan bagi manusia, hanya saja manusia
tidak memahaminya.
Ketaatan manusia terhadap ketentuan hukum syariat tidak didasarkan kepada
alasan rasional dari hukum syariat tersebut, akan tetapi lebih cenderung sebagai
bentuk ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan kepada Allah swt. Oleh karena itu,
berdasarkan pengamalannya, hukum Islam itu bisa dibedakan kepada dua macam,
yaitu ta‟abbudi dan ta‟aqquli.
a) Ta‟abbudi
Ta„abbudi berasal dari bahasa Arab, sebagai mashdar dari fi„il ta’abbadaa-
yata’abbadu-ta’abbudan, yang berarti penghambaan diri, ketundukan dan

7
Saija dan Iqbal Taufik, Dinamika Hukum Islam Indonesia, ed. 1, cet. 1, (Yokyakarta: Deepublish, 2016),
h. 1.
8
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, cet. 3 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 52.
9
Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazal Maslahah Mursalah & Relevansinya
dengan Pembaharuan Hukum Islam, Cet. I (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 15

5
kerendahan diri,10 kepatuhan, penyembahan, ketaatan kepada Allah swt. Secara
terminologi, di dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan, ta„abbudi adalah
ketentuan hukum di dalam nash (Alquran dan Sunnah) yang harus diterima apa
adanya dan tidak dapat dinalar secara akal.11
Menurut Al-Syatibi, arti ta„abbudi adalah hanya mengikuti apa yang telah
ditetapkan oleh Syāri„,12 atau sesuatu yang secara khusus menjadi hak Allah.13
Muhammad Salam Madkur mengemukakan, ta„abbudi adalah semata mata
mengabdi kepada Allah dengan mengerjakan perintah-perintah-Nya sebagaimana
yang termuat di dalam Alquran maupun Sunnah Rasulullah, tanpa mengubah,
mengurangi, atau menambahnya.14
Dari definisi diatas dapat dipahami bahwa dalam ketentuan ta„abbudi
manusia hanya menerima ketentuan hukum syariat apa adanya dan
melaksanakannya sesuai dengan ketentuan syari‟at tersebut. Tegasnya, dalam
bidang ibadah terkandung nilai nilai ta„abbudi, di mana manusia tidak boleh
beribadah kecuali dengan apa yang telah disebutkan atau disyariatkan. 15 Dalam
bidang ini, tidak ada celah bagi manusia untuk mengubah tata cara pelaksanaan
ibadah mahdhah16 berbeda dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.,
umpamanya dalam pelaksanaan salat dan haji. Demikian juga, manusia tidak bisa
mengubah waktu-waktu pelaksanaan ibadah mahdhah tersebut, baik waktu salat
lima waktu, waktu puasa Ramadhan, maupun waktu pelaksanaan ibadah haji, di
luar waktu yang telah disyariatkan.
Salah satu dasar pemahaman ta‟abbdudi diatas adalah Qs. al-Bayyinah ayat
5:

﴾٥ ﴿ ‫انضكَاة َ ۚ ًَ َٰرَنِكَ ِدينُ ْانقَيِّ ًَ ِت‬ ‫صينَ نَوُ انذِّينَ ُحنَفَا َء ًَيُ ِقي ًٌُا ان ا‬
‫ص ََلةَ ًَيُؤْ تٌُا ا‬ ‫ًَ َيا أ ُ ِي ُشًا إِ اَّل ِنيَ ْعبُذ ًُا ا‬
ِ ‫َّللاَ ُي ْخ ِه‬

10
Ibn Manzhur, Lisān al-‘Arab, Jilid IV, (Libanon: Dar al-Ma‟arif, 1981), h. 262.
11
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5, (Jakarta: Dar an-Nafais, 1996), h. 1723.
12
al-Syathibi, al-Muwāfaqāt, Jilid 2, (Jakarta: Dar Ibn Affan), h. 304.
13
al-Syathibi, al-Muwāfaqāt, h. 315.
14
Muhammad Salam Madkur, Madkhāl al-Fiqh al-Islām, (Kahirah: Dar al-Nahdah al-Arabi, 1963), h. 18.
15
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, h. 52.
16
Ibadah mahdhah adalah ibadah yang dilaksanakan hanya semata-mata karena Allah, tidak ada makna
secara langsung yang diketahui pada waktu pelaksanaannya, baik unsur maupun nilai sosialnya. Jalaluddin Rahmat,
Islam dalam Perspektif Pemikiran Kontemporer, cet. I (Ujung Pandang: PT Umitoha Ukhuwah Grafika, 1997), h. 6.

6
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan
supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian
itulah agama yang lurus”.
Dari ketentuan Al-Qur‟an tersebut, muncul kaidah fiqh, yaitu:
‫ ًيا نى يذل عهيو دنيم؛ فيٌ بذعت‬،‫األصهفي انعبادة انتٌقيف فَل يششع عشيء ينيا إَّل بذنيم‬
“Pada dasarnya suatu ibadah tidak boleh dikerjakan, tidak disyari‟atkan sesuatu
kecuali ada dalil, jika tidak ada dalil yang mengisyaratkan suatu perbuatan maka
itu adalah bid‟ah.”17
b) Ta‟aqquli
Ta„aqquli berasal dari bahasa Arab yang berarti sesuatu yang masuk akal
(rasional).18 Ta„aqquli adalah hukum-hukum yang memberi peluang dan
kemungkinan kepada akal untuk memikirkan, baik sebab maupun illat
ditetapkannya hukum. Kemungkinan ini diberikan agar manusia (mukallaf) dapat
memetik kemaslahatan dari hukum-hukum Allah, baik bagi individu maupun
masyarakat.19
Ta‟aqquli juga diartikan sebagai “ma‟qulatul ma‟na” (dapat dipikirkan),
maksudnya ajaran yang perlu dikembangkan oleh akal manusia dan dirumuskan
sesuai dengan perkembangan masyarakat, kebutuhan hukum dan keadilan pada
suatu masa, tempat dan lingkungan.20 Lebih jelasnya, konsep yang berkaitan
dengan ta‟aqquli adalah setiap hal yang berkaitan dengan bidang mu‟amalah
(ahkam al-mu‟amalat), seperti masalah kemasyarakatan, politik, kebudayaan, dan
semua yang berkaitan dengan kepentingan umum.21
2. Aspek Sosiologi

17
Ahmad bin „Abdul Halim, Al-Qawāid al-Tauraniyah al-Fiqhiyah, juz I, (Bairūt: Dār al- Ma‟rifah, 1399
H), h. 112.
18
Ibn Manzur, Lisān al-‘Arab, h. 3046.
19
Mukhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam, (Bandung: PT Al-Ma‟arif,
1986), h. 362.
20
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 88
21
M. Rasyid Ridha, Tarikh Ustadz al-Imam al-Syaikh Muhammad Abduh, Jilid IV, (Mesir: dar al-Iman,
1931), h. 940.

7
Sosiologi adalah berbicara mengenai masyarakat. Berkaitan dengan suatu ilmu,
maka sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang situasi masyarakat yang aktual.
Oleh karenanya ilmu yang mempelajari hukum dalam hubungan dengan situasi
masyarakat adalah sosiologi hukum.22
Kajian sosiologi hukum Islam berangkat dari satu asumsi dasar bahwa hukum
Islam sesungguhnya bukanlah sistem hukum matang yang datang dari langit dan
terbebas dari alur sejarah manusia. Sebagaimana halnya dengan sistem-sistem hukum
lain, hukum Islam tidak lain adalah hasil dari interaksi manusia dengan kondisi sosial
dan politiknya. Pemahaman seperti inilah yang menjadi dasar perlunya pendekatan
sosio historis terhadap kajian hukum Islam.23
Menurut Sudirman Tebba tinjauan hukum Islam dalam perspektif sosiologis
dapat dilihat dari pengaruh hukum Islam terhadap perubahan masyarakat muslim.
Demikian juga sebaliknya pengaruh masyarakat muslim terhadap perkembangan
hukum Islam.24 Yaitu dengan menerapkan konsep sosiologi hukum ke dalam kajian
hukum Islam. Dengan demikian pembicaraan mengenai sosiologi hukum Islam
merupakan suatu metode melihat aspek hukum Islam dari sisi perilaku
masyarakatnya. Pengertian sosiologi hukum Islam juga berarti bahwa suatu
metodologi yang secara teoretis analitis dan empiris menyoroti pengaruh gejala sosial
terhadap hukum Islam.25
Jadi, dari pemaparan sosiologi hukum dan hukum Islam di atas, maka yang
dimaksud dengan sosiologi hukum Islam adalah ilmu sosial yang mempelajari
fenomena hukum yang bertujuan memberikan penjelasan atas praktik-praktik ilmu
hukum yang mengatur tentang hubungan secara timbal balik antara aneka macam
gejala-gejala sosial di masyarakat muslim sebagai mahluk yang berpegang teguh pada
syariat Islam.26 Sosiologi Hukum Islam juga berarti suatu ilmu sosial yang
menjelaskan mengenai adanya hubungan timbal balik antara perubahan sosial dengan
penempatan hukum Islam.
22
Nasrullah, Sosiologi Hukum Islam, (Surakarta: Pustaka Setia, 2016), h. 7.
23
Bani Syarif Maula, Sosiologi Hukum Islam di Indonesia: Studi tentang Realita Hukum Islam dalam
Konfigurasi Sosial dan Politik, (Malang: Aditya Media Publishing, 2010), h. 10.
24
Sudirman Tebba, Sosiologi Hukum Islam, (Yogyakarta: UII-Press Indonesia, 2003), h. 9.
25
Bani Syarif Maula, Sosiologi Hukum Islam di Indonesia: Studi tentang Realita Hukum Islam dan
Konfigurasi Sosial dan Politik, h. 7.
26
Nasrullah, Sosiologi Hukum Islam, h. 18.

8
Atho Mudzhar menyatakan bahwa studi Islam dengan pendekatan sosiologi dapat
mengambil, setidaknya lima tema, yaitu:27
a) Studi mengenai pengaruh agama terhadap perubahan masyarakat. Tema ini,
mengingatkan kita pada Emile Durkheim yang mengenalkan konsep fungsi sosial
agama. Dalam bentuk ini studi Islam mencoba memahami seberapa jauh pola-
pola budaya masyarakat (misalnya menilai sesuatu sebagai baik atau tidak baik)
berpangkal pada nilai agama, atau seberapa jauh struktur masyarakat (misalnya
supremasi kaum lelaki) berpangkal pada ajaran tertentu agama atau seberapa jauh
perilaku masyarakat (seperti pola berkonsumsi dan berpakaian masyarakat)
berpangkal tolak pada ajaran tertentu agama.28
b) Studi tentang pengaruh struktur dan perubahan masyarakat terhadap pemahaman
ajaran agama atau konsep keagamaan, seperti studi tentang bagaimana tingkat
urbanisme Kufah telah mengakibatkan lahirnya pendapat-pendapat hukum Islam
rasional ala Hanafi.
c) Studi tentang tingkat pengamalan beragama masyarakat. Studi Islam dengan
pendekatan sosiologi dapat juga mengevaluasi pola penyebaran agama dan
seberapa jauh ajaran agama itu diamalkan masyarakat, seperti seberapa intens
mereka menjalankan ritual agamanya dan sebagainya.
d) Studi pola sosial masyarakat Muslim, seperti pola sosial masyarakat Muslim kota
dan masyarakat Muslim desa, pola hubungan antar agama dalam suatu
masyarakat, perilaku toleransi antara masyarakat Muslim terdidik dan kurang
terdidik, hubungan tingkat pemahaman agama dengan perilaku politik, hubungan
perilaku keagamaan dengan perilaku kebangsaan, agama sebagai faktor integrasi
dan disintegrasi dan berbagai senada lainnya.
e) Studi tentang gerakan masyarakat yang membawa paham yang dapat melemahkan
atau menunjang kehidupan beragama. Gerakan kelompok Islam yang mendukung
paham kapitalisme, sekularisme, komunisme merupakan beberapa contoh di

27
M. Atho‟ Mudzhar, Pendekatan Sosiologi dalam Studi Hukum Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000),
h. 30.
28
Sebagai contoh misalnya, bagaimana ajaran Islam tentang Muhrim telah cenderung mendorong
masyarakat Arab menilai bahwa kehidupan yang baik adalah yang mempraktikkan segregasi antara laki-laki dan
perempuan, juga bagaimana ajaran tentang larangan riba menyebabkan banyak orang berperilaku tidak mau
menyimpan uangnya di bank-bank konvensional, sehingga berkembang bank syari‟ah.

9
antara gerakan yang mengancam kehidupan beragama dan karenanya perlu dikaji
seksama.
3. Aspek Historis (Sejarah)
Hukum Islam selalu dinamis dan dapat diterapkan di setiap zaman dan tempat.
Hukum Islam sanggup menghadapi dan memberikan jawaban terhadap semua
perkembangan dan kejadian baru, kapan dan di mana saja, sehingga ia tetap aktual
selamanya dan tidak ketinggalan zaman, atau dengan kata lain hukum Islam mampu
beradaptasi dengan perubahan sosial. Kedinamisan hukum Islam ini terutama
ditunjang oleh metodologi yang dipakainya, yaitu prinsip-prinsip yang dipakai dalam
metodologi hukum Islam (ushul al-fiqh), seperti ijma' (konsensus), qiyas (analogi
sistematis), istihsan (pilihan hukum terbaik), mashlahah mursa- lah (kepentingan
yang tak terbatas), dan prinsip-prinsip lainnya yang kesemuanya merupakan bagian
dari ijtihad.29
Ketika aturan Allah diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW. di Jazirah Arab,
masyarakat di sana berada dalam kondisi tertentu. Demikian pula ketika aturan-aturan
Allah dan penjelasan Nabi Muhammad melalui Sunnah diformulasikan dan
dikompilasikan oleh para mujtahid (pemikir hukum Islam) ke dalam kitab-kitab fikih,
kehidupan umat Islam berada dalam kondisi sosial yang belum banyak berbeda
dengan keadaan yang berlaku ketika Nabi Muhammad masih hidup. Rentang waktu
dari masa berlangsungnya formulasi dan kompilasi kitab-kitab fikih dengan masa
sekarang ini sangat jauh, kira-kira dua belas abad, yang tentunya mempunyai
perbedaan situasi dan kondisi. Banyak problema kemasyarakatan waktu itu yang
dapat diselesaikan secara hukum yang kemudian diformulasikan ke dalam kaidah
kaidah hukum Islam dan juga dikompilasikan dalam kitab-kitab fikih sebagai rujukan
hukum yang dapat diamalkan secara praktis pada saat ini.30
Kalau kita perhatikan kembali empat mujtahid besar pendiri empat aliran
(mazhab) besar dalam hukum Islam (fikih) yang terkenal hingga sekarang, yaitu
Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam al- Syafi'i, dan Imam Ahmad Ibn Hanbal,
terlihat jelas bahwa ijtihad mereka mengikuti prinsip-prinsip seperti di atas yang

29
Marzuki, “Dinamika Hukum Islam Suatu Pendekatan Historis”, Cakrawala Pendidikan, Vol. 2, No. 15,
(1996), h. 62-63.
30
Marzuki, “Dinamika Hukum Islam Suatu Pendekatan Historis”, h. 63.

10
pelaksanaannya terbatas pada tempat mereka sendiri, dan karenanya tidak mempunyai
kekuatan untuk mengikat umat Islam di luar daerah mereka, seperti di Indonesia,
negara-negara Afrika, dan daerah-daerah lainnya. Para imam mazhab itu tidak pernah
menyatakan bahwa sistem pengambilan hukum atau thariqat al-istinbath merekalah
yang final dan wajib diikuti.31
Dari uraian di atas, perlu ditegaskan bahwa tidaklah benar kalau hukum Islam itu
bersifat statis dan tidak dapat mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat.
Hakikat hukum Islam tidaklah menghendaki keadaan statis, tetapi sebaliknya
menghendaki perkembangan.32
B. Keluwesan Hukum Islam
Hukum Islam bersifat luwes (elastis, lentur), ia meliputi segala bidang dan
lapangan kehidupan manusia. Permasalahan kemanusiaan, kehidupan jasmani dan rohani,
hubungan sesama makhluk, hubungan makhluk dengan khalik serta tuntutan hidup dunia
akhirat terkandung dalam ajarannya. Hukum Islam memperhatikan berbagai segi
kehidupan, baik muamalah, ibadah, jinayah, dan lainnya. Meski demikian ia tidaklah
kaku, keras, dan memaksa. Ia hanya memberikan kaidah umum yang seharusnya
dijalankan oleh umat manusia. Dengan demikian umat Islam dapat menumbuhkan dan
mengembangkan proses ijtihad, yang menurut Iqbal disebut prinsip gerak dalam Islam.
Ijtihad merupakan suatu teori yang aktif, produktif, dan konstruktif.33
Fleksibilitas (keluwesan) hukum Islam berarti kelenturan hukum Islam dalam
menghadapi persoalan-persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Kondisi
masyarakat yang terus berkembang dan berubah menuntut hukum Islam untuk mampu
menjawab berbagai permasalahan-permasalahan yang timbul. Selain itu juga faktor
kondisi dan adat kebiasaan masyarakat di setiap tempat tentunya pasti berbeda-beda. Hal
ini menguji bagaimana sifat hukum Islam yang fleksibel mampu menyesuaikan dengan
keadaan yang ada di sekitarnya.
Fleksibilitas ini nampaknya lebih banyak terdapat dalam persoalan-persoalan
duniawi, seperti dalam persoalan teknis praktis dan seni yang lebih banyak menyangkut
sarana dan metodenya. Hal inilah yang dikatakan Rasulullah Saw. dalam sabdanya,

31
Marzuki, “Dinamika Hukum Islam Suatu Pendekatan Historis”, h. 63.
32
Marzuki, “Dinamika Hukum Islam Suatu Pendekatan Historis”, h. 65 .
33
Rohidin, Pengantar Hukum Islam, Cet. 1, (Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books, 2016), h. 69.

11
“Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian sendiri”. Begitu pula dengan para sahabat
setelahnya. Mereka membuat peraturan-peraturan dan pekerjaanpekerjaan yang tidak
pernah ada di masa Rasulullah Saw., seperti membuat kantor-kantor, menentukan batas-
batas wilayah, mengumpulkan Al-Qur‟an dalam mushaf dan menyebarkannya ke seluruh
wilayah, menunjuk orang khusus untuk jabatan qadhi, pengiriman pos, dan lain
sebagainya yang banyak manfaatnya dan tidak diragukan lagi kemaslahatannya. Bahkan
kemunculannya pun tidak pernah dihalangi oleh agama.34
Sifat fleksibel dari hukum Islam tersebut terbukti dengan dirumuskannya
beberapa kaidah oleh ahli hukum Islam yaitu:

‫ْان ُح ْك ُى يَذ ًُْ ُس َي َع ِعهاتِ ِو ًُ ُج ٌْدًا ًَ َعذ َ ًيا‬

“Hukum berputar (berlaku) bersama ada atau tidak adanya 'illat”.35

Maknanya adalah bahwa jika „illah-nya ada, maka hukumnya pun ada.
Sebaliknya, jika „illahnya tidak ada, maka hukumnya pun tidak ada. Jika „illah-nya kuat,
maka hukumnya pun kuat. Sebaliknya, jika „illah-nya lemah, maka hukumnya pun lemah.
Dalam Kaidah fiqhiyah lainnya juga menyebutkan:

‫ث ً ا ْنعَ ٌَائِ ِذ‬ ِ ‫تَغَي ُُّش ْانفَتْ ٌٍَ بِ َح ْس‬


ِ ‫ب تَغَي ُِّش اْأل َ ْص ِينَ ِت ًَ اْأل َ ْي ِكنَ ِت ًَ اْألَحْ ٌَا ِل ًَ اننِّياا‬

“Perubahan fatwa karena perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan kebiasaan”.36

Kaidah tersebut mengisyaratkan bahwa hal yang patut diperhatikan dari fatwa
ialah faktor-faktor perubahan hukum itu sendiri, yaitu sesuai dengan perubahan zaman,
tempat, keadaan, niat dan kebiasaan. Hal ini mengisyaratkan bahwa sejatinya hukum
Islam itu bersifat fleksibel dalam menghadapi berbagai keadaan dan juga persoalan yang
terjadi di masyarakat.

Bahkan jauh sebelum kaidah itu dibuat oleh para ahli hukum Islam, sifat hukum
Islam yang fleksibel itu nampaknya telah ada pada masa Nabi dan Sahabat, dikisahkan
bahwa ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Nabi tentang bolehkan mencium istri

34
Yusuf al-Qardhawi, Min Ajli Shahwatin Râsyidah Tujaddidu ad-Dîn wa Tanhadhu bi ad-Dunyâ, terj.
Rusydi Helmi, Membangun Masyarakat Baru, cet. 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 85.
35
Ali Ahmad al-Nadawiy, Mawsu'ah al-Qawa'id wa al-Dhawabith al-Fiqhiyah alHakimah li-al-Mu'amalat
al-Maliyah fi alFiqh al-Islamiy, (Riyadh: Dar 'Alam alMa'rifah, 1999), h. 395.
36
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lâm Al Muwâqqi’în, jil. 3, (Beirut : Dar al-Fikr, 1977), h. 3.

12
ketika sedang berpuasa, pada waktu itu datang seorang pemuda, ia berkata, “Wahai
Rasulullah, bolehkah saya mencium (istri) ketika sedang shaum?” Rasulullah menjawab,
“Tidak”. Kemudian datang orang tua, ia bertanya, “Bolehkah saya mencium (istri) ketika
sedang shaum?” Rasulullah menjawab, “Ya”. Orang yang diizinkan adalah orang tua,
sedangkan orang yang dilarang adalah pemuda”. Kemudian Nabi berkata “Sesungguhnya
orang tua bisa menahan syahwatnya”.37

Selanjutnya pada masa Abu Bakar, ia menetapkan hukuman peminum khamer


sebanyak 40 kali cambukan, yang pada masa Rasulullah tidak ada batas tertentu, sampai
Rasulullah berkata “cukup”. Hal itu karena orang-orang yang minum khamer pada masa
khilafah Abu Bakar lebih banyak daripada masa Nabi pada waktu itu.38 Kemudian pada
masa Umar Bin Khattab, yaitu tidak diterapkannya hukuman potong tangan bagi pencuri
dikarenakan kondisi paceklik, hal ini menunjukkan kedalaman ilmu Umar ra. yang
hukumnya mengikuti perubahan keadaan dan kondisi masyarakat, yang dikenal dengan
yaumul maja‟ah “hari kelaparan”, banyak orang yang mencuri karena keadaan terpaksa.39

Kemudian fatwa Ibnu Abbas tentang taubatnya seorang pembunuh, yakni seorang
lelaki bertanya kepada Ibnu Abbas: “Apakah orang yang membunuh seorang Mukmin itu
mendapatkan taubat?”. Ia menjawab “Tidak. Ia masuk neraka”. Setelah lelaki itu pergi,
kawan-kawan Ibnu Abbas menegur “Mengapa anda berfatwa seperti itu?, berbeda dengan
fatwamu dahulu bahwa pembunuh berhak mendapatkan taubat?” Maka Ibnu Abbas ra.
menjawab: “Karena tampak kulihat ia sedang membenci seseorang dan ia ingin
membunuh”. Lalu mereka diutus untuk memantau lelaki itu, ternyata memang betul ia
membunuh.40

Kisah tersebut menunjukkan bahwa hukum Islam bersifat fleksibel dengan


melihat kondisi orangnya, apakah ia orang yang telah menyesal membunuh dan dengan
tulus berniat untuk bertobat, sehingga ia berhak mendapatkan pintu taubat, ataukah orang

37
Yusuf al-Qardhawi, Membumikan Syari’at Islam; Keluwesan Aturan Ilahi Untuk Manusia, (Bandung:
Arasy Mizan, 2003), h. 221.
38
Yusuf al-Qardhawi, Membumikan Syari’at Islam; Keluwesan Aturan Ilahi Untuk Manusia, h. 228.
39
Yusuf al-Qardhawi, Al-Madkhâl li Al-Dirâsah al-Syarî’ah al-Islâmiyah, terj. Nabani Idris, Bagaimana
Memahami Syari‟at Islam, (Jakarta: Islamuna Press, 2003), h. 290.
40
Yusuf al-Qardhawi, Membumikan Syari’at Islam; Keluwesan Aturan Ilahi Untuk Manusia, h. 246.

13
yang dalam kondisi marah yang berniat membunuh orang lain, sehingga Ibnu Abbas
mengatakan ia masuk neraka.

Contoh selanjutnya yaitu hukum wanita yang bekerja dalam berbagai bidang.
Terlebih lagi setelah wanita menyaingi laki-laki dalam segala bentuk pendidikan, baik
dalam jenjang sarjana maupun pascasarjana. Wanita pun banyak yang menjadi dokter,
insinyur, akuntan, administrator, ekonom, guru, ahli matematika, dan profesor dalam
berbagai bidang.41 Kondisi seperti itu menuntut ahli hukum Islam, terutama yang
bersikap keras terhadap wanita, untuk meninggalkan pemikiran keras dan sempit
terhadap wanita. Mereka harus menerima jika wanita bekerja dengan aturan-aturan baik
dan dalam berbagai profesi. Terlebih lagi, jika pekerjaan tersebut dekat kepada tabiatnya
sebagai wanita dan memberikan pelayanan kepada wanita lagi. Tidak boleh lagi dikuasai
oleh ketakutan terhadap fitnah untuk kemudian mengurung wanita. Padahal, wanita
tersebut memiliki kemampuan untuk mengajar, mengobati, dan mengisi kekosongan
dalam berbagai bidang dengan penuh keahlian dan amanah.

Kondisi seperti itu menuntut ahli hukum Islam, terutama yang bersikap keras
terhadap wanita, untuk meninggalkan pemikiran keras dan sempit terhadap wanita, yakni
melarang wanita berpergian tanpa mahram sebagaimana terdapat dalam hadis Nabi Saw.
Mereka harus menerima jika wanita bekerja dengan aturan-aturan baik dan dalam
berbagai profesi. Pada saat ini tidak boleh lagi dikuasai oleh ketakutan terhadap fitnah
untuk kemudian mengurung wanita.42

Contoh lainnya yaitu Majelis Fatwa dan Riset Eropa pernah mengeluarkan fatwa
tentang bolehnya membeli rumah dari bank riba bagi masyarakat minoritas muslim yang
tinggal di negara mayoritas non muslim. Biaya bulanan yang dibayar untuk rumah
dianggap sebagai kredit bulanan. Landasan syariat majelis adalah kebutuhan umat Islam
yang sangat penting. Para ahli fikih menganggap kebutuhan tersebut sebagai kondisi
darurat (dharurah). Kaidah yang digunakan oleh mereka adalah, “al-hâjatu tanzilu

41
Yusuf al-Qardhawi, Mujîba alTaghayyur Fatwâ fî Ashrinâ, terj. Arif Munandar Riswanto, Faktor-faktor
Pengubah Fatwa, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2009), h. 126.
42
Yusuf al-Qardhawi, Mujîba alTaghayyur Fatwâ fî Ashrinâ, terj. Arif Munandar Riswanto, Faktor-faktor
Pengubah Fatwa, h. 126.

14
manzilat al-dharûrah khâshah kânat au „âmmah” (kebutuhan menduduki posisi darurat,
baik khusus ataupun umum).43

Selanjutnya Majelis Tarjih Muhammadiyah menyatakan bolehnya seorang wanita


menjadi pemimpin. Dalam hal ini, yang menjadi persoalan adalah mengenai cara
memahami hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah yang menyatakan bahwa:

)‫ (سًاه انبخاسٍ ً اننسائَ ً انتشيزٍ ً أحًذ‬.ٌ‫نَ ْن يُ ْف ِه َح قَ ٌْ ٌو ًَنَ ٌْ أ َ ْي َش ُى ْى ِإ ْي َشأَة‬

“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita.”
(HR. Al-Bukhari, an-Nasa‟i, at-Tirmidzi dan Ahmad).

Muhammadiyah dalam memahami hadis yang diriwayatkan Abu Bakrah ini


dengan pemahaman yang kontekstual, tidak terpaku pada teks (pemahaman secara
harfiah). Muhammadiyah memahami hadis tersebut dari sisi semangat dan „illat-nya.
„illat tidak diperbolehkannya wanita menjadi pemimpin pada masa Nabi adalah karena
kondisi wanita pada waktu itu belum memungkinkan mereka untuk menangani urusan
kemasyarakatan, karena ketiadaan pengetahuan dan pengalaman, sedangkan pada zaman
sekarang sudah banyak wanita yang memiliki pengetahuan dan pengalaman mengenai
urusan tersebut. Apabila melihat hadis ini dari sisi asbab al-wurud (sebab-sebab
munculnya hadis), Hadis ini harus dikaitkan dengan konteks saat Rasulullah Saw.
mensabdakannya.

Memperhatikan asbab al-wurudnya, hadis ini ditujukan Nabi Saw kepada


peristiwa pengangkatan putri penguasa tertinggi Persia sebagai pewaris kekuasaan
ayahnya yang meninggal. Bagaimana mungkin hadis tersebut dapat dipahami bahwa
semua penguasa tertinggi yang berkelamin perempuan pasti mengalami kegagalan,
sementara dalam al-Qur‟an menceritakan betapa bijaksananya Ratu Saba‟ yang
memimpin negeri Yaman sebagaimana terdapat dalam surat an-Naml ayat 44.44

Dari beberapa kasus tersebut, ini merupakan bukti bahwa hukum Islam bersifat
fleksibel. Fleksibilitas hukum Islam, bisa dimaknai bahwa hukum Islam senantiasa
relevan pada setiap zaman dan setiap tempat. Meskipun terkadang ada pertentangan di
43
Yusuf al-Qardhawi, Mujîba alTaghayyur Fatwâ fî Ashrinâ, terj. Arif Munandar Riswanto, Faktor-faktor
Pengubah Fatwa, h. 126.
44
Arif Fikri, “Fleksibilitas Hukum Islam dalam Perubahan Sosial”, Vol. 11, No. 2, (2019), h. 154.

15
antara umat Islam dalam menerima fleksibilitas hukum Islam itu sendiri. Tidak jarang
perbedaan itu sangat tajam, berkaitan dengan bagaimana fleksibilitas itu mesti
diwujudkan. Pertentangan itu misalnya, berkaitan dengan hubungan antara teks dan
konteks. Jika terjadi pertentangan antara teks dan konteks, manakah yang harus
dimenangkan.

Kelompok Muslim skripturalis atau seringkali diistilahkan dengan puritan,


fundamentalis dan radikal akan cenderung menempatkan teks sebagai pemenang. Karena
bagi kelompok Muslim seperti ini, keislaman yang benar adalah keislaman seperti yang
termaktub dalam al-Qur‟an dan Sunnah. Itu bermakna bahwa penuturan-penuturan
tekstual Al-Qur‟an harus dipatuhi. Sedangkan konteks dengan sendirinya harus
menyesuaikan dengan teks. Karena bagi kelompok ini, jika teks harus disesuaikan dengan
konteks, maka itu bermakna Qur‟an dan Sunnah adalah dasar hukum yang tidak
konsisten.

Sementara kelompok kontekstualis melihat konteks sebagai faktor determinan


dalam menentukan hukum. Mereka berargumen bahwa al-Qur‟an dan Sunnah tidak turun
di ruang kosong. Keduanya turun di tengah masyarakat atau komunitas yang telah
memiliki sistem nilai, sistem budaya dan sistem sosial yang mapan. Sehingga turunnya
sebuah ayat atau hadits, selalu memperhatikan unsur-unsur ini. Maka, istilah asbab al-
nuzul (sebab-sebab turunnya al-quran) dan asbab al-wurud (sebab-sebab lahirnya hadits)
menunjukkan tidak pernah terpisahnya sebuah teks dari konteks yang ada di sekitarnya.45

45
Arif Fikri, “Fleksibilitas Hukum Islam dalam Perubahan Sosial”, h. 155.

16
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
Dari pemaparan materi diatas, dapat disimpulkan bahwa jika dilihat dari
maknanya, luas adalah terkait dengan daya tampung. Islam disebut mencakup seluruh
dimensi kehidupan. Sedangkan, luwes maknanya adalah fleksibilitas atau fungsi
penyesuaian, maksudnya bisa dilaksanakan di setiap waktu, zaman dan keadaan sesuai
dengan kemampuan dan kesanggupan. Hukum Islam dapat dipahami sebagai sebuah
hukum yang bersumber dari ajaran syariat Islam yaitu Al-Qur'an dan as-Sunnah atau
hadist. Keluasan hukum Islam dapat dilihat dari 3 aspek, diantaranya adalah aspek
agamis yang terdapat juga konsep ta‟abbudi (ibadah mahdah) dan ta‟aqquli (muamalah)
di dalamnya, kemudian aspek sosiologis yang mempelajari fenomena hukum yang
bertujuan memberikan penjelasan atas praktik-praktik ilmu hukum yang mengatur
tentang hubungan secara timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial di
masyarakat muslim sebagai mahluk yang berpegang teguh pada syariat Islam. Terakhir
adalah aspek historis yang membahas bagaimana hukum Islam itu digunakan seiring
berkembangnya zaman, karena hukum Islam tidaklah menghendaki keadaan statis, tetapi
sebaliknya menghendaki perkembangan.
Hukum Islam bersifat luwes (elastis, lentur), ia meliputi segala bidang dan
lapangan kehidupan manusia. Fleksibilitas (keluwesan) hukum Islam berarti kelenturan
hukum Islam dalam menghadapi persoalan-persoalan yang muncul di tengah-tengah
masyarakat. Kondisi masyarakat yang terus berkembang dan berubah menuntut hukum
Islam untuk mampu menjawab berbagai permasalahan-permasalahan yang timbul.
B. Saran
Dari penjelasan materi di atas, penulis berharap agar para pembaca dapat
memahami materi tersebut dengan baik dan bisa bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun dari pembaca, sangat penulis harapkan untuk perbaikan kedepannya.

17
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Ali, Zainuddin. Hukum Islam. Cet. 1. Jakarta, Sinar Grafika, 2006.
al-Jauziyyah, Ibn Qayyim. I’lâm Al Muwâqqi’în. Jilid. 3. Beirut : Dar al-Fikr, 1977.
al-Maqdisi, Faidullah. Fath al-Rahmān. Bairūt: Mathba‟ah Ahliyah, 1323 H.
al-Nadawiy, Ali Ahmad. Mawsu'ah al-Qawa'id wa al-Dhawabith al-Fiqhiyah alHakimah li-al-
Mu'amalat al-Maliyah fi alFiqh al-Islamiy. Riyadh: Dar 'Alam alMa'rifah, 1999.
al-Qardhawi, Yusuf. Al-Madkhâl li Al-Dirâsah al-Syarî’ah al-Islâmiyah, terj. Nabani Idris,
Bagaimana Memahami Syari‟at Islam. Jakarta: Islamuna Press, 2003.
al-Qardhawi, Yusuf. Membumikan Syari’at Islam; Keluwesan Aturan Ilahi Untuk Manusia.
Bandung: Arasy Mizan, 2003.
al-Qardhawi, Yusuf. Min Ajli Shahwatin Râsyidah Tujaddidu ad-Dîn wa Tanhadhu bi ad-Dunyâ,
terj. Rusydi Helmi, Membangun Masyarakat Baru. Cet. 1. Jakarta: Gema Insani Press,
2000.
al-Qardhawi, Yusuf. Mujîba alTaghayyur Fatwâ fî Ashrinâ, terj. Arif Munandar Riswanto,
Faktor-faktor Pengubah Fatwa. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2009.
al-Syathibi. al-Muwāfaqāt. Jilid 2. Jakarta: Dar Ibn Affan.
Anwar, Syamsul. Studi Hukum Islam Kontemporer. Cet. 1. Yogyakarta: UAD PRESS, 2020.
Dahlan, Abdul Azis. Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid 5.Jakarta: Dar an-Nafais, 1996.
Djamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam. Cet. 3. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Fikri, Arif. “Fleksibilitas Hukum Islam dalam Perubahan Sosial”, ASAS, Vol. 11, No. 2, (2019),
h. 154.
Halim, Ahmad bin „Abdul. Al-Qawāid al-Tauraniyah al-Fiqhiyah. Juz I. Bairūt: Dār al-
Ma‟rifah, 1399 H.
Madkur, Muhammad Salam. Madkhāl al-Fiqh al-Islām. Kahirah: Dar al-Nahdah al-Arabi, 1963.
Manzhur, Ibn. Lisān al-‘Arab. Jilid IV. Libanon: Dar al-Ma‟arif, 1981.
Marzuki. “Dinamika Hukum Islam Suatu Pendekatan Historis”. Cakrawala Pendidikan, Vol. 2,
No. 15, (1996), h. 62-63.
Maula, Bani Syarif. Sosiologi Hukum Islam di Indonesia: Studi tentang Realita Hukum Islam
dalam Konfigurasi Sosial dan Politik. Malang: Aditya Media Publishing, 2010.

18
Mudzhar, M. Atho‟. Pendekatan Sosiologi dalam Studi Hukum Islam. Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2000.
Nasrullah. Sosiologi Hukum Islam. Surakarta: Pustaka Setia, 2016.
Ridha, M. Rasyid. Tarikh Ustadz al-Imam al-Syaikh Muhammad Abduh. Jilid IV. Mesir: dar al-
Iman, 1931).
Rohidin. Pengantar Hukum Islam. Cet. 1. Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books, 2016.
Saija dan Iqbal Taufik. Dinamika Hukum Islam Indonesia. Ed. 1. Cet. 1. Yokyakarta:
Deepublish, 2016.
Suratmaputra, Ahmad Munif. Filsafat Hukum Islam Al-Ghazal Maslahah Mursalah &
Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam. Cet. I. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.
Syarifuddin, Amir. Pembaharuan Pemikirian dalam Hukum Islam. Padang: Angkasa Raya,
1990.
Tahir, Palwati dan Dini Handayani. Hukum Islam. Cet. 1. Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2018.
Tebba, Sudirman. Sosiologi Hukum Islam. Yogyakarta: UII-Press Indonesia, 2003.
Yahya, Mukhtar dan Fathurrahman. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam. Bandung: PT Al-
Ma‟arif, 1986.

19

Anda mungkin juga menyukai