Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

SYARI’AH & FIKIH DALAM MODEL STUDI ISLAM

Dosen Pengampu: Siti Khoiriyah, M.Pd

Penyusun :

1. Lukman Alhakim (20015077) 2.


Dzurriyatus Sholihah (20015177) 3.
Siti Munawaroh (20015092) 4. Alfi
Nur Rohmah (20015049)
5. Moch. Ichwan Rusdiana (20015003)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS


TARBIYAH UNU SUNAN GIRI BOJONEGORO 2021
Kata Pengantar

Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah
Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini sebagai salah
satu tugas kelompok mata kuliah “Pengantar Studi Islam”.

Kami menyadari banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, hal itu dikarenakan
kemampuan penulis yang terbatas. Namun, berkat bantuan dan dorongan berbagai pihak
akhirnya makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Kami berharap dalam penulisan makalah ini dapat memberikan manfaat, khususnya bagi
kami sendiri dan para pembaca umumnya. Dan semoga dapat menjadi bahan pertimbangan untuk
mengembangkan dan meningkatkan prestasi di masa yang akan datang.

16 November 2021
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................... i
DAFTAR ISI .............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................... 1
B. Rumusan masalah .......................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 2
A. Pengertian Syari‟ah ........................................................................................ 2

B. Pengertian Fikih ............................................................................................. 4

C. Membedakan antara Syari‟ah dan Fikih ........................................................ 6

D. Hubungan antara fikih dan kondisi sosial masyarakat ................................... 7

BAB III PENUTUPAN............................................................................................ 10


A. Kesimpulan ................................................................................................... 10
B. Saran ............................................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 11

ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem hukum di setiap masyarakat memiliki sifat, karakter, dan ruang lingkupnya sendiri.
Begitu juga halnya dengan sistem hukum dalam Islam. Islam memlliki sistem hukum sendiri
yang dikenal dengan sebutan hukum Islam. Ada beberapa istilah yang terkalt dengan kajian
hukum Islam, yaitu syariat, fikih, usul fikih, dan hukum Islam sendiri.

Istilah syariat, fikih,dan hukum Islam sangat populer di kalangan para pengkaji hukum
Islamdi lndonesia. Namun demikian, ketiga istilah ini sering dipahami secara tidak tepat,
sehingga ketiganya terkadang saling tertukar. Untuk Itu, di bawah ini akan dijelaskan
masingmasing dari ketiga istilah tersebut dan hubungan antar ketiganya, terutama hubungan
antara syariat dan fikih.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Syari‟ah?
2. Apa yang dimaksud Fikih?
3. Bagaimana model studi hukum Islam?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Syati‟ah
2. Mengetahui Fikih
3. Mengetahui model studi hukum Islam

BAB III

PEMBAHASAN

A. Pengertian Syari’ah

Secara etimologis (lughawi) kata syari’at berasal dari kata bahasa Arab al-syari’ah )
ْ ‫ (ال ّش ِس ْي َع‬yang berarti „jalan ke sumber air‟ atau jalan yang harus diikuti, yakni jalan kea rah
‫ت‬

1
sumber pokok bagi kehidupan.1 Syariat diartikan jalan air karena siapa saja yang mengikuti
syariat akan mengalir dan bersih jiwanya. Allah menjadikan air sebagai penyebab kehidupan
tumbuhtumbuhan dan binatang sebagaimana Dia menjadikan syari‟at sebagai penyebab
kehidupan jiwa insani.

Banyak ayat dalam al-Qur‟an yang memuat kata syari„ah dengan berbagai bentuknya, di
antaranya surat al-Ma‟idah [5] ayat 48:

ٍّ‫احدةًٍَّ َول َِكهٍّْلِيَبْلىَُك ُْم فِ ْي َمب‬ِ ‫لك ٍّْما ه ُمتًٍّ َو‬َُ ‫لج َع‬ َ ‫ك لٍٍّّّ َج َع ْل‬
َ ‫ىب ِم ْى ُك ٍٍّّْم ِش ْس َعتًٍّ َو ِم ْىهَبجًبٍّ َولَ ْى َشب َءهال َُّل‬ ُ ِ‫ل‬

‫لى هال َِّل َم ْس ِجع ُُك ٍّْم َج ِم ْيعًب فَيىَُبِّئ ُُك ٍّْمب َِمب ُكىْت ُْم فِ ْيهٍِّت َْختلَِفىُْ ٍَّن‬ َ ِ‫اتَبَ ُك ٍٍّّْمفَبٍّسْتبَقِىُْاٍّ ْال َخ ْي َساثٍِّا‬
Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan (syariat) dan jalan (cara).
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan satu umat, tetapi Allah hendak menguji
kalian terhadap pemberianNya kepada kalian, maka berlomba-lombalah kalian pada kebajikan.
Hanya kepada Allah, kalian semua kembali, lalu diberitahukan kepada kalian apa yang telah
kalian perselisihkan.

Syari„ah merupakan nilai-nilai keagamaan yang berfungsi mengarahkan kehidupan


manusia. Jika mengacu kepada informasi ayat-ayat al-Qur‟an di atas, ajaran-ajaran agama
sebelum Islam, dalam pengertian teknis juga disebut syari„ah. Allah memberikan syari„ah bagi
setiap umat. Dengan demikian, ajaran-ajaran agama yang diturunkan kepada para nabi terdahulu,
disebut syari„ah.2

Adapun secara terminologis syariat didefinisikan dengan berbagai variasi, para ahli berbeda
pendapat dalam memberikan definisi syari„ah.

1. Wahbah Al-Zuhaili mendefinisikan syariat sebagai setiap hukum yang disyariatkan oleh
Allah kepada hamba-Nya baik melalui Al-Qur‟an maupun sunnah, baik yang terkait
dengan masalah akidah yang secara khusus menjadi kajian ilmu kalam, maupun masalah
amaliah yang menjadi kajian ilmu fikih.

1 Marzuki. Pengantar Srudi Hukum Islam, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2017) hlm. 41
2 Sahid HM. Legislasi Hukum Islam di Indonesia. (Surabaya: Pustaka Idea, 2016) hlm. 3
2
2. Muhammad Yusuf Musa mengartikan syariat sebagai semua peraturan agama yang
ditetapkan oleh Allah untuk kaum muslim baik yang ditetapkan dengan Al-Q‟uran
maupun dengan sunah Rasul. Yusuf Musa juga mengemukakan satu definisi syariat yang
dikutip dari pendapat Muhammad Ali al-Tahanwy. Menurut al-Tahanwy syariat adalah
hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya yang dibawa
Nabi, baik yang berkaitan dengan cara perbuatan yang dinamakan dengan hukum-hukum
cabang dan amaliah yang dikodifikasikan dalam llmu fikih, ataupun yang berkaitan
dengan kepercayaan yang dinamakan dengan hukum-hukum pokok dan iktikadiah
(i'tiqdiyah) yang dikodifikasikan dalam ilmu kalam.3

Dari beberapa definisi syariat di atas dapat dipahami bahwa syariat pada mulanya identik
dengan agama (din) dan objeknya mencakup ajaran-ajaran pokok agama (ushuiuddin/akidah),
hukum-hukum amaliah, dan etika (akhlak). Pada perkembangan selanjutnya (pada abad ke-2
Hijriah atau abad ke-9 M) objek kajian syariat kemudian dikhususkan pada masalah-masalah
hukum yang bersifat amaliah, sedangkan masalah-masalah yang terkait dengan pokok-pokok
agama menjadi objek kajian khusus bagi akidah (ilmu ushuluddin). Pengkhususan ini
dimaksudkan karena agama pada dasarnya adalah satu dan berlaku secara universal, sedangkan
syariat berlaku untuk masing-masing umat dan berbeda dengan umat-umat sebelumnya. Dengan
demikian, syari‟at lebih khusus dari agama. Syari‟at adalah hukum amaliah yang berbeda
minurut perbedaan Rasul yang membawanya. Syariat yang datang kemudian mengoreksi dan
membatalkan syariat yang lebih dahulu, sedangkan dasar agama, yaitu akidah (tauhid), tidak
berbeda di antara para rasul.4

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada mulanya syari‟at bermakna umum
(identik dengan agama) yang mencakup hukum-liukum akidah dan amaliah, tetapi kemudian
syariat hanya dikhususkan dalam bidang hukum-hukum amaliah. Bidang kajian syariat hanya
terfokus pada hukum-hukum amaliah manusia dalam rangka berhubungan dengan Tuhannya,
sesama manusia, dan alam semesta. Adapun sumber syari‟at adalah Al-Qur‟an yang merupakan
wahyu Allah dan dilengkapi dengan sunah Nabi Muhammad saw.

3 Marzuki. Pengantar Studi Hukum Islam. (Yogyakarta: Penerbit Ombak,2017) hlm.16-17


4 Marzuki, Pengantar Studi Hukum Islam. (Yogyakarta: Penerbit Ombak,2017) hlm.17
3
B. Pengertian Fikih

Secara etimologis, fiqih berasal dari kata fiqhan yang merupakan masdar dari kata
faqihayafqahu yang berarti paham. Selain itu, fiqih juga berarti paham yang mendalam melalui
proses pemikiran yang sungguh-sungguh.5 Kata fikih pada mulanya digunakan orang-orang Arab
untuk seseorang yang ahli dalam mengawinkan unta, yang mampu membedakan unta betina yang
sedang birahi dan unta betina yang sedang bunting. Dari ungkapan ini fikih kemudian diartikan
'pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu hal'. Dalam buku al-Ta'rifat,
sebuah buku semisal kamus karya al-Jarjani, dijelaskan, kata 'fiqh' menurut bahasa adalah
ungkapan dari pemahaman maksud pembicara dari perkataannya (al-Jarjani, 1988: 168). Kata
fikih semula digunakan untuk menyebut setiap ilmu tentang sesuatu, namun kemudian
dikhususkan untuk ilmu tentang syariat.

Al-Qur‟an menggunakan kata 'fiqh‟ atau yang berakar kepada kata 'faqiha‟ memiliki arti
paham, misalnya dalam al-Qur‟an surat al-Taubah [9] ayat 122:

ٍّ‫ت ِم ْىهُ ْم طَبِئفَتًٍّلِيتَفَقههُىْا فيٍِّْال ِديّْ ِه َولِي ْىُ ِر ُز ْوا قَ ْى َمهُ ٍّْما ِذاَ َز َجعىُْا‬ َ ‫فَلَىْلٍََّ َو‬
ِ ‫فس ِم ْه ُك ِّل‬
َ ‫فسْق‬

ٍّ.‫ن‬ َُ ْ‫اِلَ ْي ِه ٍّْمل َعَلههُ ٍّْميَح‬


َ ‫رز ْو‬
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memahami pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.

Pada masa Rasulullah istilah fikih belum digunakan untuk pengertian hukum secara
khusus, tetapi punya pengertian luas yang mencakup semua dimensi agama seperti teologi,
politik, ekonomi, dan hukum. Fikih dipahami sebagai ilmu tentang agama. Fikih dipahami
sebagai ilmu tentang agama yang akan mengantarkan manusia pada kebaikan dan kemuliaan.
Pengertian tersebut berbeda dengan pengertian pada masa sebelum Islam yang mengartikan fikih
sebagai pemahaman dan ilmu secara umum, bukan pemahaman ilmu agama. Orang dikatakan
faqih pada masa sebelum Islam apabila ia mempunyai ilmu yang luas. Pada masa awal
perkembangan Islam, istilah fiqh digunakan dalam pengertian tentang ilmu agama. Hal ini dapat
terlihat bahwa Nabi pada suatu hari mendoakan Ibn „Abbas, Allahumma faqqihhu fi al-din (Ya

5 Sahid HM. Legislasi Hukum Islam di Indonesia. (Surabaya: Pustaka Idea, 2016) hlm.6
4
Allah, berilah dia pemahaman tentang agama). Dalam hal ini, Nabi tidak menegaskan suatu
pengertian yang ekskulsif tentang hukum tetapi mengarah pada pemahaman yang mendalam
tentang agama secara umum.6

Adapun secara terminologis fikih didefinisikan sebagai ilmu tentang hukum-hukum syarak
yang bersifat amaliah yang digali dari dalil-dalil terperinci.7 Dari definisi ini dapat diambil
beberapa pengertian sebagai berikut:

1. Fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syarak. Kata hukum di sini menjelaskan bahwa
hal-hal yang tidak terkait dengan hukum seperti zat tidak termasuk ke dalam pengertian
fikih. Penggunaan kata syarak dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa fikih itu
menyangkut ketentuan syarak, yaitu 'sesuatu yang berasal dari kehendak Allah'.
2. Fikih hanya membicarakan hukum-hukum syarak yang bersifat amaliah (praktis). Kata
amaliah menjelaskan bahwa fikih itu hanya menyangkut tindak-tanduk manusia yang
bersifat lahiriah, Karena itu, hal-hal yang bersifat bukan amaliah seperti keimanan

(akidah) tidak termasuk wilayah fikih.


3. Pemahaman tentang hukum-hukum syarak tersebut didasarkan pada dalil-dalil terperinci,
yakni Al-Qur‟an dan sunnah. Kata terperinci (tafshili) menjelaskan dalil-dalil yang

digunakan seorang mujtahid (ahli fikih) dalam penggalian dan penemuannya.

4. Fikih digali dan ditemukan melalui penalaran para mujtahid. Kata digali dan ditemukan
mengandung arti bahwa fikih merupakan hasil penggalian dan penemuan tentang hukum.

Fikih juga merupakan penggalian dan penemuan mujtahid dalam hal-hal yang tidak
dijelaskan oleh dalii-dalil (nas) secara pasti.8

Adapun yang menjadi objek pembahasan ilmu fikih adalah perbuatan orang mukalaf. Atau
dengan kata lain, sasaran ilmu fikih adalah manusia serta dinamika dan perkembangannya yang
semuanya merupakan gambaran nyata dari perbuatan-perbuatan orang mukalaf yang ingin
dipolakan dalam tata nilai yang menjamin tegaknya suatu kehidupan beragama dan
bermasyarakat yang baik.9

6 Sahid HM. Legislasi Hukum Islam di Indonesia. (Surabaya: Pustaka Idea, 2016) hlm.7
7 Marzuki, Pengantar Studi Hukum Islam. (Yogyakarta: Penerbit Ombak,2017) hlm.19
8 Marzuki. Pengantar Srudi Hukum Islam, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2017) hlm.19-20
9 Marzuki, Pengantar Studi Hukum Islam. (Yogyakarta: Penerbit Ombak,2017) hlm.20
5
C. Membedakan antara Syari’ah dan Fikih

Al-Asymawi mengatakan bahwa dalam melakukan studi hukum Islam harus membedakan
antara wilayah syari‟ah dan fikih. Syari‟ah adalah segala bentuk aturan yang telah ditetapkan
oleh Allah melalui al-Qur‟an dan Hadits Nabi, yang manusia tidak memiliki hak untuk
merubahnya. Sementara fikih adalah pemahaman manusia terhadap Syari‟ah yang memiliki
perbedaan pemahaman.10

Syari‟ah agama Islam itu satu tetapi pemahaman terhadap agama itu beragam. Syariah itu
agama, sementara fikih adalah bentuk dari pemahaman terhadap agama. Contoh, ayat riba itu
agama (Syari‟ah), di mana agama menetapkan riba itu haram, tetapi pemahaman terhadap
sesuatu yang dikategorikan sebagai riba atau tidak adalah fikih.

Pemahaman seseorang terhadap agama dalam bentuk fikih itu sangat dipengaruhi oleh
faktor sosiologis, ekonomi dan politik masyarakatnya. Maka syari‟ah yang universal pada tataran
fikih akan ditemukan perbedaan dalam kaitannya dengan perbedaan sosial dan kondisi
politiknya.

Syari‟ah secara etimologis berarti murid al-ma‟ (tempat jalannya air). Maka Syari‟ah dapat
diartikan sebagai metode atau jalan, bukan kumpulan seperangkat hukum. Maka ditemukan
dalam agama-agama samawi bahwa agama itu satu, tetapi syari‟ahnya yang berbeda.

D. Hubungan antara Fikih dan Kondisi Sosial Masyarakat

Abdullah Ahmad al-Na‟im, dalam tulisannya tentang dekonstruksi syari‟ah mengatakan


bahwa selama ini jawaban yang diberikan oleh umat Islam dalam menjawab tantangan dianggap
belum memadai bahkan mengecewakan. Pihak fundamentalis selalu menegaskan bahwa Islam
telah sempurna dan selalu memberi jawaban untuk setiap masalah umat manusia, sementara
kalangan sekuler seolah-olah ingin melarikan diri dari kenyataan, dan agama hanya dibatasi pada
masalah ritual belaka, sehingga menurut kalangan sekuler, masalah sosial harus dicarikan
solusinya dari luar agama.

10 Pengantar Studi Islam.(Surabaya: UIN Sunan Ampel Press,2018) hlm.166


6
Al-Na‟im mengatakan bahwa penafsiran dan praktik semua agama, termasuk Islam, sangat
dipengaruhi oleh kondisi sosiologis, ekonomi dan politik masyarakat tertentu, sehingga sistem
hukum yang bersandar pada agama juga demikian, ada variasi dan kekhasan lokal. Tetapi pelu
dikemukan bahwa meskipun ada yang bersifat lokal, ada beberapa aspek Islam yang tetap
bersifat universal.

Hukum Islam yang berlaku di setiap masyarakat muslim bukanlah ekspresi dari Islam itu
sendiri, tetapi sebatas pada interpretasi terhadap teks dasarnya sebagaimana dipahami dalam
konteks historis tertentu. Dengan demikian, hukum Islam yang telah disusun oleh para ahli dapat
direkonstruksi pada aspek-aspek tertentu selama masih bersandar pada sumber-sumber dasar
Islam yang sama dan sepenuhnya sesuai dengan pesan moral dan agama.

Menurut Al-Na‟im, selama ini kebanyakan umat Islam dalam memahami hubungan antara
negara dan syari‟ah merujuk pada pemikiran ulama klasik tanpa mengkaji lebih jauh tentang
kondisi masyarakat penulisnya. Oleh karena itu, dalam mengamati permasalahan kontemporer,
terutama yang menyangkut persoalan politik, manurut al-Na‟im, seseorang harus berhati-hati
ketika menggunakan karya ulama pra modern awal dan klasik walaupun karya itu ditulis oleh
ulama ahli syari‟ah yang secara tajam menyadari perlunya penyesuaian kehidupan dunia dengan
ajaran syari‟ah. Akan tetapi, apa yang dikemukakan dalam karya mereka itu tidak dapat
diasumsikan begitu saja sesuai dengan tuntutan syari‟ah. Sesungguhnya apa yang mereka
kemukakan dalam karyanya pada masa itu adalah dipengaruhi oleh kondisi masyarakat yang
tidak kondusif untuk penerapan syari‟ah secara ketat. Para ulama tersebut berkarya pada masa
kemunduran dinasti Abbasiyah (Abad XI dan XII), yang kondisinya benar-benar kacau sehingga
para ulama harus mencurahkan perhatiannya pada kesatuan dan keamanan umat Islam.

Dalam kondisi demikian itulah al-Mawardi misalnya, membenarkan perebutan kekuasaan


dengan kekerasan atas dasar kebutuhan. Padahal, membolehkan perebutan kekuasaan seperti itu
bertentangan dengan syari‟ah.

Maka Gibb mengatakan bahwa dengan membenarkan pengabaian hukum atas dasar
kebutuhan dan kebijakan politik, Al-Mawardi mengakui bahwa dalam kasus-kasus tertentu
mungkin berlaku persamaan hak. Sekali hal ini dibolehkan maka ambruklah seluruh
suprastruktur sistem peradilan.

7
Konsekuensinya, banyak di antara para ulama harus membuat konsesi tehadap realitas umat
Islam dengan mengurangi tekanan aspek-aspek syari‟ah tertentu, dalam rangka melakukan
rekonsiliasi dengan apa yang mereka pahami sebagai kepentingan lebih utama (al-ashlah) umat
Islam pada waktu itu.

Sementara itu, beberapa ulama lain dengan mudah mengabaikan realitas dan mengalihkan
perhatiannya kepada situasi ideal dengan cara menteorisasikan apa yang seharusnya. Di antara
ulama yang termasuk dalam kelompok ini adalah Ibn Taymiyyah. Dalam karyanya, Ibn
Taymiyyah menekankan kewajiban untuk patuh pada syari‟ah, dan tidak jadi soal, apakah
pemimpinnya sendiri mentaati syari‟ah ataukah tidak.

Nampaknya tawaran Ibn Taymiyyah mendapatkan banyak kendala di lapangan karena umat
Islam merasa berat untuk mematuhi aturan syari‟ah secara sempurna. Maka tawaran untuk
melakukan perubahan dalam hukum publik di negara-negara Islam menjadi alternatif yang
banyak dilakukan dalam bentuk sekularisasi hukum kehidupan publik. Dengan perubahan itu,
baik masyarakat muslim maupun non muslim sama-sama mendapatkan keuntungan dari
sekularisasi kehidupan publik tersebut, sehingga penerapan syari‟ah di suatu negara, menurut al-
Na‟im, akan membuat umat Islam kehilangan banyak manfaat yang paling bermakna dari
sekularisasi. Masyarakat non muslim misalnya, akan mendapat status sebagai warga negara
nomor dua, jika dilakukan penerapan syari‟ah Islam, berbeda jika mereka berada di bawah
naungan negara sekuler, karena syari‟ah Islam tidak memberikan persamaan konstitusional dan
hukum kepada warga non muslim. Perempuan muslimah pun demikian, mereka akan kehilangan
banyak hak dalam beraktivitas ketika berada di bawah naungan hukum syari‟ah, berbeda ketika
mereka berada di bawah naungan negara sekuler, mereka akan dapat menikmati peningkatan
yang berarti dalam status dan hak mereka dengan bertambahnya akses ke dalam kehidupan
publik dan kesempatan memperoleh pendidikan dan lapangan pekerjaan yang lebih terhormat.

Bahkan kalangan laki-laki juga akan merasa tertekan dengan bayang-bayang pemurtadan
ketika mereka berada di bawah naungan hukum syari‟ah. Untuk itu, masing-masing dari umat
Islam di suatu wilayah berhak menentukan nasibnya sendiri secara syari‟ah. Tawaran yang dapat
diambil untuk mendamaikan permasalahan di atas adalah dengan cara membangun suatu versi
hukum publik Islam yang sesuai dengan konstitusionalisme, hukum pidana, hukum internasional
dan hak-hak asasi manusia modern.
8
Dalam pandangan mayoritas umat Islam, syari‟ah sudah lengkap dan final sehingga dengan
menganggap ada bagian syari‟ah yang kurang memadai akan dituduh bid‟ah oleh mayoritas
umat Islam. Pandangan semacam ini merupakan penghambat psikologis dalam upaya
merekonstruksi syari‟ah, apalagi jika dihadapkan pada ancaman tuntutan hukum pidana dengan
dakwaan murtad (apostasy). Untuk menembus hambatan ini adalah dengan menunjukkan bahwa
sejatinya hukum publik syari‟ah bukanlah hukum yang semua prinsipnya diwahyukan Allah
kepada Nabi Muhammad saw, karena syari‟ah adalah produk proses penafsiran dan penjabaran
logis dari teks al-Qur‟an dan Sunnah serta berbagai tradisi lainnya.

Jika dapat dipahamkan bahwa syari‟ah disusun oleh para ahli hukum Islam awal
berdasarkan interpretasi sumber asasinya (al-Qur‟an dan Hadits), maka umat Islam kontemporer
akan lebih terbuka menerima kemungkinan reformasi syari‟ah secara substansial.11

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Syari‟ah adalah segala bentuk aturan yang telah ditetapkan oleh Allah melalui al-Qur‟an
dan Hadits Nabi, yang manusia tidak memiliki hak untuk merubahnya. Sementara fikih adalah
pemahaman manusia terhadap Syari‟ah yang memiliki perbedaan pemahaman.

Penafsiran dan praktik semua agama, termasuk Islam, sangat dipengaruhi oleh kondisi
sosiologis, ekonomi dan politik masyarakat tertentu, sehingga sistem hukum yang bersandar pada
agama juga demikian, ada variasi dan kekhasan lokal.

B. Saran

Penulis tentunya menyadari jika makalah diatas masih terdapat banyak kesalahan dan jauh
dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun

11 Pengantar Studi Islam.(Surabaya: UIN Sunan Ampel Press,2018) hlm.167-172


9
demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Harapan penulis semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Syafak,Hammis dkk. 2018. Pengantar Studi Islam. Surabaya: UIN Sunan Ampel Press.

Marzuki. 2017. Pengantar Studi hukum Islam. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Sahid HM. 2016. Legislasi Hukum Islam di Indonesia. Surabaya: Pustaka Idea.

10
11

Anda mungkin juga menyukai